Anda di halaman 1dari 18

Evaluasi Purna Huni

Evaluasi Purna Huni Pasar Badung

Disusun oleh :

Pipit Ratna Sari (1705521018)

Wilda R Siahaan (1705521068)

Delonia Maria Fernanda Lopes Fonseca (1705521080)

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Evaluasi Purna Huni Pasar
Badung. Makalah ini merupakan salah satu penilaian tugas pada mata kuliah Evaluasi Purna
Huni. Kami juga berterimakasih kepada dosen pembimbing kami, Dr. Ir. Widiastuti, MT.
dan Ni Luh Putu Eka Pebriyanti, S.T, M.Sc. pada mata kuliah Evaluasi Purna Huni.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
Evaluasi Purna Huni Pasar Badung ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Evaluasi Purna Huni Pasar Badung
ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Terimakasih dan semoga makalah ini bisa memberikan pengetahuan bagi kita
semua.

Bukit Jimbaran, 10 Maret 2020


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pasar tradisional merupakan salah satu penggerak inti perekonomian di
Indonesia. Pedagang menduduki urutan kedua dari pekerjaan yang paling banyak
dianut oleh seluruh rakyat Indonesia (BPS RI, 2010) dan bergantung pada 13.450
pasar tradisional di seluruh Indonesia (Kemendag, 2007). Pasar modern tumbuh
31.4% per tahun sehingga pasar tradisional kalah saing dengan pasar modern dengan
menyusutnya pertumbuhan pasar tradisional 8 persen per tahun (Koran SINDO,
2015). Penyebab utama kalah bersaingnya pasar tradisional dengan pasar modern
adalah lemahnya manajemen dan buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan
sepenuhnya karena keberadaan pasar modern. Pasar modern sebenarnya mengambil
keuntungan dari kondisi buruk yang ada pada pasar tradisional (Poesoro, 2007). Oleh
sebab itu, demi meningkatkan daya saing pasar tradisional terhadap pasar modern,
pemerintah perlu memperbaiki fisik maupun pengelolaan dari pasar tradisional.
Perancangan fisik bangunan menjadi salah satu penyebab pasar tradisional
yang terbangun akhirnya sepi (Sitompul, 2012: 143-144). Akibat adanya kegagalan
revitalisasi yang terjadi, rencana pembangunan pada pasar yang akan direvitalisasi
selanjutnya menjadi perhatian yang perlu dievaluasi kembali perancangannya. Bahwa
perlu dikaji kembali kesesuaian bangunan pasar dengan teori dan standar yang ada.
Zonasi merupakan pengelompokan komoditas yang memiliki sifat sejenis atau
spesifikasi tertentu. Berdasarkan SNI (2015) yang menjadi acuan pembangunan
revitalisasi pasar, penataan zonasi harus memenuhi dikelompokkan secara terpisah
untuk bahan pangan basah, bahan pangan kering, siap saji, non pangan, dan tempat
pemotongan unggas hidup. Komoditas menurut KBBI adalah barang dagangan utama
atau barang niaga. Dalam SNI (2015), komoditas dalam pasar diklasifikasikan
menjadi 5, yaitu: bahan pangan basah, bahan pangan kering, makanan siap saji, non
pangan, dan tempat pemotongan unggas hidup. Dari kelima komoditas tersebut,
dijabarkan kembali pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Cara Ritel
Pangan yang Baik di Pasar Tradisional mengenai kategori barang dagangan yang
termasuk dalam komoditas-komoditas tersebut. Pengkategorian barang dagangan
sesuai dengan komoditasnya dipaparkan sebagai berikut:

1. Komoditas bahan pangan basah


Terdiri dari ikan segar, daging segar, daging unggas, pangan yang diproses lebih
lanjut (kelapa parut, santan, bumbu giling, singkong parut, tahu, cincau, kolangkaling,
cendol, dan sejenisnya).
2. Komoditas bahan pangan kering
Terdiri dari sembako, sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, produk susu, telur,
pangan beku, pangan mentah kering, pangan terkemas, tepung, gula, serealia atau
kacang-kacangan, kerupuk mentah, dan lain-lain.
3. Komoditas makanan siap saji
Terdiri dari masakan siap saji, kue basah, ketering, kudapan, lauk pauk, minuman,
makanan sepinggan, buah iris, pangan yang disiapkan dan diolah di tempat.
4. Komoditas non pangan
Terdiri dari pakaian, tekstil, sepatu, aksesoris, alat tulis, mainan, perabot/alat rumah
tangga, pupuk.
5. Tempat pemotongan unggas hidup
Terdiri dari tempat penyediaan pemenggalan atau pemotongan hewan unggas hidup.
Pada Pasar Badung, terdapat hanya 4 komoditas dari 5, yaitu komoditas bahan
pangan basah, bahan pangan kering, makanan siap saji, dan non pangan.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengevaluasi Pasar Badung dari segi social, ekonomi, budaya dan
spasial.
2. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Evaluasi Purna Huni.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Mengetahui serta memahami keadaan di Pasar Badung setlah diperbarui dan
tingkah laku civitas yang menggunakannya.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pasar Tradisional

Pasar tradisional merupakan ruang transaksi komoditas kebutuhan subsisten yang


prosesnya masih kental diwarnai suasana ekonomipedesaan dengan tradisi yang masih kental.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan
adanya transaksi langsung yang biasanya diawali dengan proses tawar-menawarharga.
Sementara, pasar modern merupakan ajang praktik ekonomi perkotaan yang diwarnai oleh
sain dan teknologi modern, baik dari segi komoditas, aktor yang terdapat di dalamnya,
bahkan proses dan aturan main seperti yang telah ditetapkan oleh pengelola.
Berdasarkan pemahaman di atas, pengertian tentang pasar (khususnya pasar
tradisional) selalu dibatasi oleh anggapanbahwa pembeli dan penjual harus bertemu secara
langsung untuk melakukan interaksi jual beli (proses penawaran). Namun dalam konteks
pasar modern tidakada kewajiban antarapenjual dan pembeli harus bertemupada suatu tempat
tertentu. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti internet penjual dan pembeli
dapat melakukan transaksi jual beli terhadap suatu barang kendati dengan jarak yang
berjauhan.Di samping itu dalam pasar modern antarapenjual dan pembeli tidak bertransaksi
secara langsung, tetapi pembeli cukup melihat label harga (barcode) yang tercantum dalam
barang.Globalisasi dengan berbagai bentuk dan caranya berlangsung hingga jauh dan telah
masuk ke sudut-sudut ruang dan tempat di seluruh pelosok negara karena hadirnya industri,
investasi individu, dan informasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Appadurai (dalam Ritzer
dan Goodman, 2011:598) bahwa arus kebudayaan global (global cultural flow) dapat
diketahui, yakni dengan memperhatikan hubungan antara lima komponen dari ciri-ciri
kebudayaan global, yaitu diistilahkan dengan: (a) ethnoscape, yaitu perpindahan penduduk
atau orang dari suatu negara ke negara lain; (b) technoscape, yaitu arus teknologi yang
mengalir begitu cepat dan tidakmengenal batas negara; (c) mediascape, media yang dapat
menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia; (d) Finanscape, yakni aspek finansial atau
uang yang sulit diprediksi pada era globalisasi; dan (e) ideoscape, yaitu komponen yang
terkait dengan masalah politik seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan, dan
hak seseorang.Pertumbuhan dan mobilitas penduduk disertai dengan kehidupan
perekonomian yang berkembang pesat didukung sektor pariwisata menunjukkan gejala
adanya pengaruh global terhadap perilaku konsumen. Kompleksitas dan perubahan telah
menjadi ciri dominan masyarakat industri dewasa ini. Permasalahan kompleksitas hampir
telah memasuki semua aspek kehidupan, seperti pemasaran global, sistem perdagangan,
teknologi, dan mediayang menjadikan dunia ini semakin sempit (global vilage).Kapitalisme
merupakan ideologi yang serakah mengambil semua yang ada untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Dengan menggunakan teknologi dan media komunikasi yang
mereka ciptakan dan dapat menembusbatas-batas suatu wilayah, maka kapitalisme secara
cepat dapat menguasai sektor-sektor penting di daerah/wilayah tersebut. Globalisasi sering
dikaitkan dengan pasar bebas. Istilah ini cukup membuat kekhawatiran sebagian orang, sebab
di dalamnya istilah itu terkandung bahaya akan globalisasi dan pasar bebas yang sejatinya
adalah usaha untuk mengembangkan kapitalisme di seluruh dunia, sehingga muncullah istilah
global kapital.

Polanyi (2003) mengatakan pasar merupakan sebuah institusi sebagai arena praktik
transaksi ekonomi berlangsung, dan telah ada sejak manusia mulai mengenal pertukaran
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam
masyarakat, pasar mengalami perkembangan dan perubahan. Sampai dewasa ini masyarakat
mengenal dua jenispasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Kedua jenis pasar ini
memiliki karakter dan pelaku pasar yang relatif berbeda.

2.2 Evaluasi Purna Huni

Evaluasi Purna Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat
keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada penghuni,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.

Kegiatan EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan
lingkungan binaan dengan nilai –nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu juga
untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi yang sama.

EPH bermanfaat untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan penghuni atas bangunan dan
lingkungan binaan yang dihuni (Suryadhi, 2005). Menurut Preiser (1998). Evaluasi Purna
Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu
bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai–nilai
dan kebutuhannya. Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuai anantara
bangunan (lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/pemakainya dan
sebagai masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.

Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Purna Huni (EPH) didefinisikan
sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatub angunan dalam memberikan
kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi
terhadap tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan dengan mempelajari Performance
(tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat.
Pengertian dari Evaluasi Purna Huni adalah :
1. Merupakan sebuah proses evaluasi bangunan dalam suatu carayang ketat dan sistematis
setelah bangunan tersebut dihuni beberapa saat.
2. Evaluasi Purna Huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan kebutuhan-kebutuhannya.
3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian hari.
4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal telah dilakukan
sehari-hari (sadar atau tidak, terstruktur atau tidak).
5. Kegunaana.

a. Jangka pendek :

 Mengidentifikasikan keberhasilan dan kegagalan bangunan.

 Membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah.Memberi masukan untuk


tahapan pembiayaan proyekb.

b. Jangka menengah :

 Membuat keputusan bagi pengguna kembali dan pembangunan baru.

 Memecahkan masalah bagi bangunan yang ada.

c. Jangka Panjang

 Digunakan sebagai acuan pembangunan mendatang

 Mengembangkan “state of the art” bangunan dengan fungsi yang sama.


BAB III

RANCANGAN PASAR BADUNG


BAB IV

SPASIAL, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA

4.1 Kondisi Pasar

Kondisi pasar badung setelah direnovasi cukup mengalami banyak perubahan seperti
penempatan los, dan ruangan lainnya. Pasar badung saat ini sudah dibilang cukup modern,
dimana pasar badung ini memiliki entrance dengan jalur yang berbeda bagi pengguna sepeda
motor dan kendaraan beroda empat. Pada bagian entrance pun terdapat layanan karcis untuk
parkir dan sirkulasi parkir juga terlihat sangat lancar dan nyaman dikarenakan pasar badung
memiliki 2 basement untuk parkir mobil dan motor. Areal parkir baik untuk mobil dan sepeda
motor cukup luas, walaupun pada hari-hari tertentu saat menjelang hari raya keagamaan
selalu penuh sesak. Barang-barang kebutuhan ditawarkan dengan harga terjangkau,
didatangkan langsung dari pusat produksi. Beberapa barang yang dijual di pasar ini antara
lain, segala jenis pakaian, termasuk pakaian adat Bali, perlengkapan upacara keagamaan dan
sembako. Kondisi pada ruang luar pasar sudah terbilang baik karena penataan area parkir
yang baik dan teratur.

Pasar badung memiliki 4 lantai bangunan sebagai tempat untuk menjual barang –
barang dengan setiap lantainya masing – masing memiliki perbedaan barang dagang. Pasar
badung ini juga memiliki sistem transportasi dengan menggunakan tangga, escalator dan lift.
Kondisi pada ruang luar pasar sudah terbilang baik karena penataan area parkir yang baik dan
teratur. Pada ruang dalam pasar kurang terlihat teratur dikarenankan para pedangang sering
kali tidak menaruh barang – barang dangangannya dengan rapih dan baik. Pada bagian lantai
3 terlihat kurang rapih dan bersih. Karena para pedagang hanya membersihkan tempat/los
yang ia tempati saja. Untuk toilet di lantai 3 pun untuk saat ini tidak bisa digunkan
dikarenakan rusak, dan toilet ini pun terlihat kurang dibersihkan.
4.2 Kondisi Ekonomi

Untuk kondisi ekonominya tersendiri di bagian lantai 3 pada hasil survey, pedagang
di lantai 3 kurang mendapatkan keuntungan dan kebanyakan mengalami kerugian
dikarenakan barang yang di jual merupakan peralatan rumah tangga (seperti tikar, ember,
barang pecah belah dan lain-lain), alat sembahyang, cemilan dan sebagainya. Para pedangang
mengakatan bahwa hasil penjualannya lebih banyak mendapatkan keuntungan di waktu dulu
sebelum pasar badung direnovasi.

4.3 Kondisi Sosial

Dalam kondisi social tersebut para pedangang dan pembeli sering kali berinteraksi
dengan baik. Para pedangang pun sangat ramah dan melayani para pembeli dengan baik. Para
pedangang pun saling berinterikasi dan berkomunikasi dengan baik satu sama lainnya. Dan
pada pasar badung ini belum pernah ada kejadian yang melibatkan perkelahian antara penjual
maupun pedagang. Dalam sisi keamanan pun pasar badung ini sudah terbilang aman karena
tidak pernah ada ada laporan bahwa pasar ini atau pedangang yang berjualan kehilangan
barang dagangannya.

4.4 Kondisi Budaya

Budaya lokal yang tetap terjaga, menyebabkan pasar rakyat di Kota Denpasar masih
menunjukan eksistensinya. Pada pasar badung ini memilik tingkat kebudayaan yang sangat
tinggi dimana bisa dapat dilihat pada fasad bangunan ini yang memiliki gambaran bangunan
dengan arsitektur Bali yang sangat kental karena bentuk dan material yang digunakan pun
sudah mengikuti ciri khas daerah Bali. Kebudayaan dan kesenian yang ada pada Pulau Bali
ini menjadikan Pulau Bali ini memiliki daya tarik yang sangat kuat ini membuat pasar badung
ini seringkali menjadi tempat wisata bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali.
BAB V

EPH TEKNIS, FUNGSI DAN PERILAKU

Purna Huni menurut Preiser dan Kawan-kawan (1998) EPH Evaluasi adalah Proses
mengevaluasi bangunan secara sistematis dan mendalam setelah bangunan tersebut selesai
dibangun dan dihuni untuk beberapa lama. Ada 3 (tiga) kategori elemen performansi
bangunan sebagai berikut:

5.1 Aspek Teknikal

Aspek teknikal dapat menjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna beraktifitas.
Aspek teknikal meliputi : Struktur, sanitasi, dan ventilasi, keselamatan, kebakaran, elektrikal,
dinding eksterior, finishing interior, atap, akustik, pencahayaan, dan sistim control
lingkungan (preiser dkk. 1998).

Pada pasar Badung aspek teknikal dapat dilihat dari yang pertama yaitu:

a. Struktur, Tiang struktur pada fasad diekspose sebagai pola repetitif yang diwujudkan
dengan ragam hias saka Bali. Sistem struktur yang digunakan ada struktur prestress
dan struktur konvensional. Namun, selang beberapa waktu setelah diresmikan oleh
presiden RI Joko Widodo terdapat permasalahan yaitu lepasnya tempelan, retak-retak
rambut atau terjadinya pergeseran struktur juga bisa dipengaruhi dengan bahan yang
digunakan.

Umumnya ini terjadi karena banyak dinding yang dibuat dari batako yang memiliki
sifat cepat sekali kering dan menghisap air sehingga hubungan batako dengan
struktur kolong jika diplester akan menjadi retak. Selain itu juga bisa disebabkan oleh
kondisi iklim dan penggunaan bahan.
b. Ventilasi, ventilasi pada pasar badung khususnya lantai 3 memiliki penerangan dan
penghawaan yang kurang. Sehingga terdapat bebarap titik penempatan kipas angin
dan pencahayaan buatan yang dapat membantu segala aktivitas pada pasar yang padat.

c. Kebakaran, Sistem pemadam kebakaran yang digunakan di pasar Badung adalah


APAR
d. Dinding Eksterior dan Interior finishing, pada bagian eksterior pasar dinding
difinishing menggunakan cat, pada bagian dalam dinding finishing hanya diplester.
Pada bagian plafon dibiarkan ekspos.
e. Atap, Bentuk dasar bangunan menggunakan bentuk dasar segi empat, dengan
ketinggian maksimal 4 lantai (15 meter),dan basement 2 lt. Unsur Arsitektur Bali
penerapan Tri Angga :kaki, badan, kepala. Atap bentuk limasan, sudut 30*.

5.2 Aspek Fungsional

Organisasi yang menempati gedung mengaharapkan memperoleh kepuasan dari


gedung tersebut karena kinerja fungsionalnya. Aspek Fungsional meliputi faktor manusia,
penyimpanan, komunikasi, dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, spesialisasi dalam tipe
atau unit bangunan (preiser dkk,1998).

Pada pasar badung khususnya lantai 3 merupakan tempat penjualan jajanan


tradisional, kepeluan ibadah serta kerajinan tangan. Pembagian zonasi berjualan berdarkan
jenis barang dagangan memberikan kesulitan bagi para pedagang untuk menjajakan barang
dagangannya. Hal ini dikarenakan pengunjung enggan naik ke lantai 3 karena kebutuhan
pokok terletak di lantai 1 dn lantai 2 pasar. Hal ini berimbas pada pendapatan pedagang yang
semakin hari semakin berkurang dengan kondisi lantai yang sepi.
5.3 Aspek Behavioral

Aspek behavioral dari performansi menghubungkan antara aktivitas dan kepuasan


pengguna dengan lingkungan fisik. Aspek behavioral meliputi proksemik, teritorilitas,
privasi, interaksi, presepsi lingkungan, citra dan makna, kognisi dan orientasi lingkungan
(preiser dkk.1988).

Privasi pada pasar badung meliputi privasi pedagang dan pembeli yang dimana tempat
pedagang yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung dengan karena memiliki privasi baik
untuk menyimpan barang berharga ataupun uang. Sehingga terdapat batasan antara ruang
untuk pedagang dan pembeli.

Territorial, sebuah tindakan antara individu atau kelompok terhadap lingkungannya,


Teritorialitas terjadi karena pengguna ruang berinteraksi dalam suatu wilayah termasuk dalam
ruang sosial.

Pada gambar dapat dilihat batas antara ruang sirkulasi untung pengunjung dan untuk
pedagang. Deretan los-los menjadi pembatas antara 2 ruang tersebut. Namun pada sebgian
tempat tertentu di lantai 3 terdapat pelanggaran mengenai territorial yaitu penggunaan ruang
untuk sirkulasi pengunjung dialihfungsikan sebagai tempat meletakkan barang sehingga
mengganggu sirkulasi aktivitas pengunjung.
BAB VII

KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini adalah belum maksimal dalam memenuhi tujuan utama perilaku
huni dalam rancangan. Hal ini diakibatkan karena ada sedikit permasalahan yang dikeluhkan
oleh beberapa penjual tentang posisi dan tempat penjualan yang menyulitkan penjual perihal
ekonomi dimana pada tempat dan jenis barang yang mereka jual tidak dapat memberikan
mereka keuntungan karena kurangnya pembeli yang berminat untuk naik sampai ke lantai 3
dengan hanya untuk membeli barang (cemilan, perlengkapan rumah tangga, dll).

Anda mungkin juga menyukai