Anda di halaman 1dari 20

PENANGANAN PASCAPANEN SIMPLISIA

Oleh Indra T. Maulana


A. Pertanyaan
1. Bagaimana tahapan penanganan paskapanen untuk menghasilkan simplisia berkualitas
2. Bagaimana penanganan Pascapanen untuk simplisia yang mengandung minyak atsiri
3. Bagaimana penanganan Pascapanen untuk simplisia yang membutuhkan reaksi enzimatis
4. Bagaimana penanganan Pascapanen untuk simplisia yang tidak diharapkan terjadi reaksi
enzimatis

B. Pendahuluan
Penyediaan simplisia yang bermutu merupakan elemen penting dalam menunjang kegiatan
produksi di Industri Obat Tradisional. Simplisia berkualitas saat diproses di industri obat
tradisional tentunya akan menghasilkan produk obat tradisional yang aman, berkhasiat serta
memenuhi aspek mutu. Pada pembahasan bab sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa terdapat
3 tahap penting untuk menghasilkan simplisia yang berkualitas yaitu
1. Pra panen, dimulai sejak pemilihan bibit, kultivasi, hingga pemeliharaan tanaman bakal
simplisia
2. Saat proses panen, proses pemeliharaan tanaman hingga tiba waktu panen, pemilihan bagian
simplisia yang akan dipanen, serta penelitian terkait umur tanaman yang tepat untuk panen
3. Pascapanen, yakni proses pengelolaan bahan tanaman obat hasil pemanenan hingga diperoleh
simplisia yang memenuhi persyaratan.
Proses penanganan setelah pemanenan merupakan tahapan yang sangat penting disamping
pra panen (budidaya) dan proses panen. Apabila kita salah dalam memilih metode Pascapanen,
maka bahan tanaman obat hasil budidaya dan panen yang semula bermutu akan menghasilkan
simplisia yang tidak bermutu. Pentingnya menjaga tahapan prapanen, saat panen dan Pascapanen
bertujuan untuk
1. Menghasilkan bahan baku obat tradisional yang memiliki kadar zat aktif yang tinggi, sehingga
efek farmakologi bahan dapat terjaga dengan baik.
2. Menjaga/mempertahankan supaya kandungan kimia didalam simplisia dapat terjaga dengan
baik (stabil) dan tidak berkurang sedikitpun.
3. Mempertahankan supaya penampilan fisik bahan baku obat tetap terjaga dengan baik
4. Menjaga kebersihan bahan sehingga mencegah terjadinya kontaminasi cemaran terhadap
bahan baku obat dan juga kontaminasi silang
5. Mampu menjadikan bahan obat lebih awet sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu lama
Proses pengolahan Pascapanen sebaiknya dilakukan di tempat yang berdekatan dengan
lokasi panen untuk menghindari terjadinya penundaan proses penanganan yang dapat berdampak
pada menurunnya kualitas simplisia yang dihasilkan. beberapa hal yang dapat menyebabkan
penurunan kualitas bahan setelah proses panen diantaranya adalah :
1. Enzim yang aktif setelah proses panen dan menyebabkan terjadinya reaksi enzimatik sehingga
menjadikan senyawa kimia tidak aktif secara farmakologi

1
2. Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukan bahan simplisia
3. Jamur Aspergillus spp yang dapat mencemari simplisia dengan dihasilkannya aflatoksin
4. Kamir dan kapang
5. Serangga
6. Kandungan air yang melebihi batas standar, dimana poin 1 hingga 4 semuanya akan
bermasalah apabila kandungan air didalam bahan lebih dari 10%.
Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan senyawa dalam bahan yang perlu
diperhatikan pada saat memilih strategi penanganan Pascapanen adalah sebagai berikut
1. Stabilitas senyawa kimia didalam bahan
Senyawa kimia berdasarkan strukturnya kita ketahui ada yang mudah rusak dan ada yang
stabil. Struktur senyawa kimia yang mudah mengalami perubahan apabila terjadi kenaikan suhu
disebut sebagai senyawa termolabil. Sedangkan struktur senyawa yang stabil pada saat terjadi
kenaikan suhu disebut sebagai senyawa termostabil. Senyawa termostabil tidak menjadi masalah
pada saat penanganan pascapanen bahan simplisia, namun senyawa termolabil perlu menjadi
perhatian utama. Apabila struktur senyawa berubah secara irreversible, maka tentunya akan
berpengaruh pada aktivitas farmakologi dari senyawa tersebut. beberapa senyawa diketahui
menjadi tidak aktif akibat adanya perubahan struktur. Bahkan adanya senyawa kimia yang berubah
menjadi toksik saat terjadi perubahan struktur. Beberapa gugus yang diduga mudah rusak pada
struktur senyawa diantaranya adalah gugus ester, ikatan O-glikosida, eter, ikatan rangkap pada
rantai lurus, β-laktam, dan anhidrida. Gugus – gugus tersebut mudah mengalami perubahan
disebabkan karena beberapa hal seperti mudah berikatan dengan unsur Hidrogen membentuk
struktur senyawa baru, atau terjadinya proses oksidasi oleh oksigen pada saat proses pemanasan
berlangsung. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu bahan terdapat senyawa yang diketahui
termolabil, maka pada saat penanganan pascapanen jangan menggunakan metode yang
menggunakan pemanasan tinggi (lebih dari 40 OC)
2. Sifat fisikokimia senyawa
Beberapa senyawa kimia diketahui memiliki sifat mudah berubah wujud namun ada juga
senyawa yang stabil pada saat terjadi perubahan suhu. kita mengenal adanya istilah sublimasi yaitu
perubahan wujud senyawa dari bentuk padat menjadi gas dan sebaliknya. Kita juga mengenal
adanya senyawa yang mudah menguap, yaitu senyawa yang dapat menguap pada suhu kamar.
Senyawa mudah menguap berbeda dengan senyawa termolabil. Senyawa dikatakan mudah
menguap apabila pada saat terjadi kenaikan suhu maka wujud senyawa tersebut berubah, namun
strukturnya tidak mengalami perubahan. Sehingga pada saat suhu kembali ke titik semula, maka
wujud senyawa akan kembali ke bentuk semula.
3. Aktivitas enzim
Enzim merupakan elemen penting dalam tubuh mahluk hidup. Enzim berperan penting pada
proses biosintesis senyawa aktif dalam tumbuhan. Namun enzim juga memiliki peranan pada
proses degradasi senyawa kimia yang bekerja sesaat setelah bahan dipanen. Enzim mampu
mengubah struktur senyawa sehingga dapat mengubah senyawa kimia aktif menjadi tidak aktif.
Untuk menghindari terjadinya hal ini, maka dilakukan mekanisme inaktivasi enzim sehingga

2
reaksi enzimatik tidak terjadi. Enzim akan aktif apabila kandungan air didalam bahan lebih dari
10%. Beberapa metode yang dilakukan untuk menginaktivasi enzim diantaranya adalah
a. Merendam bahan di dalam etanol 70%
b. Blansing yaitu merendam bahan di dalam air panas 90 hingga 95 OC
c. Pengeringan bahan hingga diperoleh kadar air kurang dari 10% misalnya pengarangan
(panning)
d. Penyemprotan dengan uap panas (steaming)
Khusus untuk bahan daun, biasanya terlebih dahulu daun dilakukan pelayuan dengan panas,
misalnya adalah proses pelayuan daun teh untuk dibuat teh hijau (Yulianto, Arifan, Ariwibowo,
Hartati, & Mustikaningtyas, 2007) dan pelayuan daun alpukat untuk dijadikan teh herbal (Widarta,
Permana, & Wiadnyani, 2018).
Reaksi enzimatik untuk beberapa bahan simplisia ternyata sangat dibutuhkan, dimana reaksi
enzimatik dapat meningkatkan tampilan warna, aroma dan juga bisa mengubah senyawa dari tidak
aktif menjadi aktif. Disamping itu, reaksi enzimatik juga mampu mengubah beberapa senyawa
kompleks di dalam suatu bahan menjadi senyawa sederhana yang lebih aktif. Berikut ini adalah
beberapa bahan yang terlebih dahulu dilakukan proses fermentasi.
- Teh hitam (Camellia sinensis (L.) Kuntze) yang dibuat dengan cara fermentasi dari teh hijau
yang telah dipanen. Tujuannya adalah memperbaiki warna, rasa dan aroma meskipun pada
proses tersebut terjadi degradasi katekin (Yulianto et al., 2007)
- Biji kakao (Theobroma cacao L) yang difermentasi menghasilkan aktivitas antioksidan lebih
baik dibandingkan tanpa fermentasi (Maulana, Sakti, Alroza, & Lisnawati, 2015)
- Biji kola (Cola nitida) yang difermentasi diketahui memiliki aktivitas antioksidan lebih
tinggi, kandungan fenol, vitamin C lebih tinggi dibandingkan yang tidak difermentasi
(Fabunmi & Arotupin, 2015).
- Biji Vanilin (Vanilla planifolia G. Jackson) terlebih dahulu difermentasi untuk
menghidrolisis shikimat glukosida sehingga menghasilkan turunan shikimat sehingga
meningkatkan aroma dan rasa dari vanila (Pérez, Gunata, Lepoutre, & Odoux, 2011).
- Umbi bidara upas
- Umbi bawang
Titik kritis terkait dengan reaksi enzimatik yang terjadi dalam bahan terletak pada proses
pengeringan bahan saat pascapanen. Tanaman yang diharapkan didalamnya terjadi reaksi
enzimatis maka kadar air didalam bahan dibiarkan dalam kondisi diatas 10% selama beberapa
waktu tertentu hingga proses enzimatis selesai.

C. Tahapan Pascapanen
Tahapan pengolahan pascapanen secara umum dibagi menjadi 6 tahapan yaitu Sortasi basah,
Pencucian, Perajangan, Pengeringan, Sortasi kering, dan Penyimpanan (B2P2TOOT, 2011). Mari
kita bahas satu per satu
1. Sortasi Basah

3
Sortasi basah merupakan tahapan awal dari proses penanganan Pascapanen dengan
memisahkan antara bagian tanaman yang akan dijadikan simplisia dengan bagian lain yang tidak
diperlukan termasuk pengotor ataupun benda asing lainnya. Tujuan tahap sortasi adalah untuk
menjaga kemurnian bahan dari pencemar yang dapat menurunkan kualitas bahan serta
memperoleh simplisia dengan jenis dan ukuran yang seragam. Beberapa hal yang dilakukan pada
tahap sortasi
- Pemilahan bahan dari bahan yang telah membusuk (rusak) serta bagian lain yang tidak
diinginkan dipisahkan dari bahan simplisia.
- Pembersihan bahan dari tanah, kerikil, gulma, dan beberapa serangga
- Pemisahan bahan dari tanaman lain yang terbawa saat pengambilan bahan simplisia. Untuk
bahan hasil pengambilan dari alam liar (hutan, halaman, pinggir jalan) maka ada
kemungkinan tercampur dengan tanaman lain yang mirip namun memiliki efek farmakologi
yang berbeda.
- Pengelompokan bahan berdasarkan ukuran (panjang, lebar, besar, kecil) serta warna.
Proses sortasi basah biasanya dilakukan bersamaan dengan proses pencucian, namun ada pula yang
dilakukan secara terpisah.

Gambar. Proses sortasi basah untuk bahan simplisia daun (B2P2TOOT, 2011)
2. Pencucian
Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan pengotor seperti tanah ataupun pencemar
lainnya yang masih melekat pada bahan. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih
bertekanan (mengalir) sehingga dapat mencegah terjadinya penempelan kembali pengotor pada
bahan. Air yang digunakan pada proses pencucian adalah air yang bersih, jernih dan tidak berbau,
dapat berupa air sumber, air sumur ataupun dari PDAM Pada dasarnya proses pencucian tidak
akan mampu menghilangkan mikroba yang menempel pada bahan, dikarenakan pada air sendiri
terdapat mikroba dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu, pencucian minimal dilakukan sebanyak
tiga kali.
Simplisia dalam jumlah besar sebaiknya dicuci dengan menggunakan bak bertingkat dengan
konsep air mengalir (B2P2TOOT, 2011). Untuk bahan simplisia yang berada di dalam ataupun
pada permukaan tanah seperti akar dan umbi, maka proses pencucian dilakukan dengan disemprot
menggunakan air bertekanan tinggi serta disikat hingga tanah dan pengotor lainnya hilang. Bahan
simplisia berupa akar, umbi, batang atau buah, dapat dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk
menghindari cemaran mikroba, karena sebagian besar mikroba menempel pada permukaan bahan
yaitu kulitnya.

4
Sesaat setelah pencucian selesai, bahan harus langsung ditiriskan hingga air tidak lagi
menetes dari bahan. Proses penirisan dilakukan di tempat teduh dan terbuka dengan aliran udara
yang baik serta tidak terkena sinar matahari. Bahan disimpan pada rak – rak yang telah diatur
sedemikian rupa sehingga air dapat cepat keluar dari bahan. Proses penirisan bertujuan untuk
mempercepat proses pengeringan sehingga dapat mempercepat hilangnya air dari bahan dan
menghindari reaksi enzimatis dan pembusukan serta tumbuhnya bakteri, kamir, dan kapang.
Selama proses penirisan, bahan harus dibolak balik untuk mempercepat proses penguapan di kedua
sisi. Setelah air tidak lagi menetes dari bahan, beberapa bahan terlebih dahulu dirajang menjadi
ukuran yang sesuai tergantung dari jenis bahannya.

Gambar. Proses penirisan simplisia setelah pencucian.

a. Daun : apabila akan digunakan dalam kondisi segar, maka harus dicuci terlebih dahulu
sebelum dilakukan proses selanjutnya
b. Buah cabe jawa sebaiknya sebelum dikeringkan dicuci dahulu dengan air mengalir,
kemudian setelah itu dimasukkan kedalam air panas selama beberapa menit baru ditiriskan
dan dikeringkan
c. Herba, bahan biasanya dicuci dahulu dengan air mengalir, terutama pada bagian akarnya.
Untuk memudahkan dalam menghilangkan tanah yang menempel, akar sebaiknya direndam
dahulu baru dilakukan pencucian secara menyeluruh.

5
d. Kulit kayu, sebelum dicuci sebaiknya direndam terlebih dahulu sebentar supaya debu dan
kotoran di sela – sela kulit dapat terlepas, namun jangan terlalu lama supaya minyak atsirinya
tidak hilang
e. Bahan simplisia yang tumbuh dipermukaan tanah atau didalam tanah seperti akar dan
rimpang (seperti akar wangi, purwaceng, akar kolesom) akan banyak mengandung tanah dan
bakteri. Oleh karena itu, sebelum dicuci sebaiknya direndam dahulu sebentar supaya tanah
atau kerikil yang menempel dapat terlepas. Proses pencucian dilakukan dengan air
bertekanan dan dapat dibantu dengan menggunakan sikat halus
f. Khusus untuk simplisia yang mengandung senyawa larut air (polar), maka pencucian
dilakukan lebih cepat dan tidak dilakukan perendaman.
Beberapa bagian bahan yang tidak memerlukan proses pencucian
a. Daun yang diproduksi dalam jumlah besar, biasanya langsung dikeringkan tanpa melalui
proses pencucian.
b. Biji biasanya langsung dikeringkan tanpa melalui proses pencucian
c. Simplisia bunga sebaiknya tidak dicuci dahulu namun langsung dikeringkan yang bertujuan
untuk mempertahankan aroma dan warna

3. Perajangan (pengecilan ukuran)


Proses perajangan bertujuan untuk menghasilkan ukuran simplisia yang lebih kecil. Bentuk
rajangan disesuaikan dengan karakteristik setiap bahan, seperti misalkan serbuk kasar, irisan tipis,
potongan, dan serutan. Proses perajangan diperlukan untuk mempermudah proses pengeringan,
penyimpanan, dan pengolahan simplisia, serta menjadikan ukuran simplisia seragam. Semakin
tipis ukuran rajangan atau serutan, maka semakin cepat air menguap sehingga waktu pengeringan
akan semakin singkat.
Ukuran rajangan yang tipis juga akan membantu mempermudah keluarnya senyawa pada
proses ekstraksi. Semakin kecil ukuran simplisia maka semakin besar luas permukaan kontak
antara simplisia dengan pelarut pengekstraksi. Beberapa alat yang dapat digunakan pada proses
pengecilan ukuran diantaranya adalah pisau stainless steel, alat pemecah biji, rasingko, penyerut
kayu dan beberapa alat pemotong lainnya.

(a) (b)
Gambar. Alat rajang mekanik (a) alat rajang untuk umbi atau empon-empon (b) Alat rajang
singkong (rasingko)

6
Bentuk rajangan tidak boleh terlalu tipis. Ukuran rajangan yang terlalu tipis dapat
menyebabkan hilangnya senyawa yang mudah menguap sehingga akan mempengaruhi kualitas
bahan dalam hal aroma, rasa dan warna. Disamping itu juga dapat membuat bahan simplisia mudah
rusak saat proses pengeringan dan pengemasan. Berikut adalah tabel terkait tehnik pengecilan
ukuran untuk setiap bahan (B2P2TOOT, 2011).
Tabel 1. Jenis bahan serta tejnik pengecilan bahan
Jenis Bahan Tehnik Pengecilan Bahan Ukuran
Umbi, Rimpang, dan Akar Diiris tipis melintang + 3 mm
Rimpang jahe, kencur, dan kunyit Diiris tipis membujur + 3 mm
Daun (mengandung senyawa
Dipotong melintang Lebar + 2 cm
termostabil dan tidak mudah menguap)
Kulit batang Diiris dan dipotong persegi 2 x 2 cm
Panjang : 25 – 28 cm
Kulit batang Dipotong persegi panjang
Lebar: 3 – 7 cm
Batang kayu Diserut tipis + 3 mm
Daging Buah Diiris tipis 3 – 5 mm

Gambar. Proses perajangan bahan

Tidak semua bahan simplisia membutuhkan proses perajangan. Beberapa bahan daun yang
mengandung senyawa termolabil dan mudah menguap sebaiknya proses perajangan dilakukan
setelah proses pengeringan. Bahkan beberapa bahan ada yang langsung diolah tanpa melalui proses

7
perajangan terlebih dahulu. Sebagai contoh, daun serai wangi yang langsung disuling tanpa proses
pengecilan ukuran. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga rendemen dan kualitas dari minyak
atsirinya (BPTRO, 2019).
4. Pengeringan
Proses pengeringan merupakan faktor yang paling kritis dalam proses penanganan pasca
panen. Bahan simplisia jarang sekali digunakan dalam kondisi segar, karena mudah rusak dan
tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Adapun bahan segar biasanya digunakan untuk
konsumsi sendiri, saat penyulingan minyak atsiri, atau pembuatan produk obat tradisional yang
ingin menjaga aroma, rasa dan warna asli dari bahan.
Bahan simplisia dengan kadar air yang tinggi (biasanya diatas 10%) merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk mikroorganisme seperti bakteri, jamur, kamir dan kapang sehingga
menyebabkan kerusakan bahan. Disamping itu, tumbuhnya jamur Aspergillus flavus pada bahan
yang dapat memproduksi aflatoksin dapat menjadikan bahan simplisia berbahaya untuk
dikonsumsi. Tingginya kadar air juga dapat memicu terjadinya reaksi enzimatis yang tidak
diharapkan sehingga menyebabkan penurunan kandungan senyawa kimia didalam bahan. Oleh
karena itu, proses pengeringan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar air didalam bahan
hingga mencapai kadar yang diinginkan.

Gambar (a) Aspergillus flavus (http://thunderhouse4-yuri.blogspot.com/), (b) jagung terpapar


jamur Aspergillus flavus (https://www.stalam.com/), (c) struktur aflatoksin yang dihasilkan jamur
Aspergillus flavus

Tehnik pengeringan harus disesuaikan dengan jenis bahan simplisia yang akan diolah seperti
bentuk daun, bunga, akar, kulit batang, rimpang dan lain sebagainya. Proses pengeringan yang
salah dapat mempengaruhi tingkat warna serta aroma dari produk akhir yang dihasilkan. Tehnik
pengeringan yang baik adalah pengeringan yang mampu mempertahankan bentuk fisik bahan,
kandungan kimia di dalam bahan, serta efisien secara waktu dan biaya.
Tujuan dari proses Pengeringan bahan diantaranya adalah
1. Memperpanjang waktu simpan
2. Mencegah terjadinya penurunan kualitas simplisia akibat kerusakan
3. Mencegah terjadinya reaksi enzimatis
4. Mencegah tumbuhnya mikroorganisme

8
Oleh karena itu, pengeringan bahan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses panen,
kecuali jika dikehendaki lain.
5 hal yang perlu diperhatikan pada saat pengeringan adalah
1. Suhu pengeringan yang tepat dan sesuai untuk setiap bahan
2. Kelembaban udara
3. Aliran udara
4. Lamanya waktu pengeringan
5. Luas permukaan bahan
Pengeringan yang tidak tepat akan menyebabkan bahan mengalami kerusakan seperti face
hardening yaitu bagian luar yang terlalu kering namun bagian dalam bahan masih basah. Face
hardening terjadi karena kecepatan pengeringan pada bagian luar lebih cepat dibandingkan dengan
bagian dalam sehingga air yang terdapat didalam bahan terjebak dan tidak dapat berdifusi keluar.
Hal tersebut dapat menyebabkan pembusukan bagian dalam bahan. Face hardening biasanya
terjadi karena beberapa faktor seperti
- Irisan atau potongan yang terlalu tebal sehingga penyebaran panas tidak merata
- Suhu pengeringan terlalu tinggi
Suhu pengeringan yang digunakan tentunya bervariasi tergantung dari jenis bahan yang
dikeringkan. FHI menyatakan bahwa pengeringan bahan simplisia dilakukan pada suhu kurang
dari 60 OC (Menkes RI, 2009). Adapun untuk bahan yang mengandung senyawa termolabil dan
senyawa mudah menguap sebaiknya dikeringkan pada suhu antara 30 – 40 OC dengan durasi waktu
tertentu.
Kita mengenal adanya dua jenis pengeringan yakni pengeringan alami dan pengeringan
buatan.
1) Pengeringan Alamiah
Pengeringan alamiah adalah pengeringan bahan tanpa bantuan alat pengering. Pengeringan
alami terdiri dari dua cara yakni :
a. Penjemuran dibawah sinar matahari langsung
Pada tehnik ini bahan langsung dihamparkan dilantai atau tanah dengan diberikan alas tikar
atau alas lain yang memiliki lubang berpori kemudian dibiarkan terkena sinar matahari langsung.
Lamanya proses pengeringan sangat bergantung pada jenis bahan yang dikeringkan serta
lamanya penyinaran sinar matahari. Biasanya metode ini membutuhkan waktu antara 1 – 2
minggu. Beberapa bahan yang cocok dikeringkan menggunakan metode ini adalah bahan dengan
tekstur keras seperti akar, kulit batang, kayu dan biji. Tehnik ini dapat digunakan untuk bahan
yang mengandung senyawa aktif yang termostabil dan tidak mudah menguap. Keuntungan dari
proses pengeringan ini adalah
- Ekonomis dan murah, karena tidak membutuhkan biaya yang besar untuk bahan bakar.
- Mudah dilakukan, karena tidak membutuhkan alat – alat canggih.
Adapun kelemahan dari metode ini diantaranya adalah
- Terjadinya kontaminasi dari lingkungan seperti debu, adanya gangguan hewan seperti
serangga, hewan pengerat (rodentia), serta kotoran burung

9
- Suhu matahari tidak dapat dikontrol, sehingga memungkinkan terjadinya susut pengeringan
yang berlebihan jika terlalu panas, namun jika suhu kurang panas, maka penguapan akan
lambat sehingga rentan terjadinya reaksi enzimatis dan pembusukan. Rentang suhu sinar
matahari berfluktuasi antara 25 – 50 OC
- Kualitas bahan hasil pengeringan biasanya kurang baik seperti warna yang berubah, aroma
yang menurun serta adanya kandungan cemaran dari udara.
- Pemanasan tidak merata pada seluruh bagian bahan sehingga bahan tidak kering sempurna
- Tidak semua daerah dapat mengaplikasikan metode ini dikarenakan kondisi cuaca yang
berbeda - beda. Hanya daerah dengan durasi panas yang lama seperti wilayah pantai dan
dataran rendah saja yang memungkinkan dilakukannya metode ini.

b. Diangin-anginkan tanpa penjemuran dibawah sinar matahari


Metode ini dilakukan dengan cara bahan disebar pada wadah dengan permukaan datar
kemudian disimpan ditempat teduh (tidak kontak dengan sinar matahari) yang memiliki
aliran/sirkulasi udara yang baik. Metode ini digunakan pada bahan dengan tekstur lunak seperti
bunga yang lunak, daun dan bahan simplisia yang mengandung senyawa yang mudah menguap.
Metode pengeringan ini mampu melindungi aroma, warna asli bahan, serta beberapa senyawa
kimia yang termolabil. Sebagai contoh, daun jambu yang dikeringkan dengan cara ini
mengandung tanin lebih tinggi dibandingkan dengan dikeringkan dibawah sinar matahari
langsung. Proses pengeringan dengan metode alamiah ini biasanya menggunakan alas tikar,
anyaman bambu, kain kasa.

Gambar. Pengeringan di tempat teduh tidak terkena langsung sinar matahari

10
2) Pengering buatan
Proses pengeringan dengan menggunakan pengering buatan dinilai mampu menghasilkan
simplisia dengan mutu lebih baik dibandingkan dengan pengering alami. Keuntungan
menggunakan pengering buatan adalah
- Suhu pemanasan dapat diatur dan lebih konstan
- Proses pengeringan tidak dipengaruhi oleh cuaca
- Waktu pengeringan lebih cepat
- Pencemaran dari udara dapat dihindari
- Mampu mempertahankan aroma, warna dan senyawa dari bahan
Tipe pengering buatan diantaranya adalah :
a. Oven tipe rak
b. Pengering tipe berputar
c. Pengering oven vakum
d. Pengering tenaga surya

Gambar. Pengeringan dengan Solar Dryer Dome, sebuah inovasi metode pengeringan produk
hasil pertanian (https://www.impack-pratama.com/)

Gambar. Pengeringan dengan oven

Bahan simplisia yang membutuhkan reaksi enzimatik seperti biji kola, biji kakao, buah
vanili, dan teh hitam, sebelum dikeringkan terlebih dahulu didiamkan selama beberapa waktu

11
tertentu (durasi antara 2 hari hingga 7 hari). Proses ini dilakukan setelah proses pencucian dan
penirisan bahan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kadar air bahan tetap berada diatas 10%
sehingga enzim masih aktif melakukan reaksi enzimatik. Reaksi enzimatik ini bertujuan
meningkatkan mutu simplisia dalam hal aroma, rasa, warna, dan pada beberapa bahan dapat
meningkatkan efek farmakologi senyawa. Setelah proses fermentasi selesai, maka bahan simplisia
dikeringkan secara perlahan bisa dengan menggunakan pengering buatan maupun pengering
alamiah.
Bahan yang mengandung minyak atsiri tidak boleh dibiarkan terlalu lama dalam kondisi
basah. Bahan ini harus segera dikeringkan sehingga senyawa minyak atsiri tidak terusir dengan
adanya air. Proses pengeringan minyak atsiri tidak boleh menggunakan panas melebihi 40 OC.
pada pengeringan alamiah, sebaiknya lakukan metode pengeringan dengan diangin-anginkan.
Proses perajangan dilakukan setelah bahan dikeringkan dan alat yang digunakan untuk proses
tersebut haruslah alat yang tidak menggunakan energi panas.

Gambar (a) fermentasi biji kakao jembrana (https://www.matakota.id/)

5. Sortasi kering
Sortasi kering merupakan tahapan sortasi akhir terhadap simplisia sebelum dilakukan
pengemasan dan penyimpanan. Pada tahapan ini dilakukan pemisahan antara simplisia dengan
- Simplisia yang rusak selama proses pengeringan
- Simplisia yang belum benar – benar kering
- Bahan lain yang terbawa selama proses pencucian dan pengeringan
- Simplisia yang berbeda ukurannya
Pada proses sortasi kering juga dilakukan pengelompokkan simplisia berdasarkan ukuran
(grading) secara manual sehingga diperoleh ukuran simplisia yang seragam.

Gambar sortasi kering biji kopi (https://coffeeland.co.id/)

12
6. Pengemasan dan Penyimpanan
Penyimpanan simplisia merupakan tahapan terakhir dari serangkaian tahapan penanganan
Pascapanen bahan tanaman obat untuk menghasilkan simplisia yang bermutu. Simplisia mudah
sekali menyerap air dari udara (bersifat higroskopis) sehingga rentan terjadinya reaksi enzimatis,
fisiknya mudah dipengaruhi oleh oksigen, kelembaban, suhu dan cahaya. Oleh karena itu sebelum
disimpan, simplisia harus dikemas menggunakan bahan tertentu disesuaikan dengan jenis
simplisianya.
Kemasan yang baik adalah kemasan yang mampu
- Memperpanjang usia dari simplisia
- Mencegah meningkatnya kadar air
- Mencegah hilangnya senyawa mudah menguap
- Mencegah rusaknya senyawa akibat hidrolisis
- Mencegah reaksi oksidasi akibat oksigen di udara
- serta mencegah pertumbuhan bakteri, kamir dan kapang pada bahan.
Oleh karena itu bahan simplisia harus dikemas dengan wadah kering, tertutup rapat, dan
terlindung dari sinar matahari. Sinar matahari kita ketahui mengandung sinar ultraviolet yang dapat
menyebabkan terjadinya reaksi dengan senyawa di dalam bahan seperti isomerasi dan polimerasi.
Disamping itu Oksigen di udara juga dikenal sebagai oksidator kuat sehingga dapat menyebabkan
senyawa teroksidasi. Ruangan yang terlalu kering juga dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi
pada bahan atau dikenal dengan istilah “shrinkage”. Udara yang terlalu lembab juga dapat
menyebabkan kandungan air didalam simplisia meningkat sehingga memicu reaksi enzimatis,
tumbuhnya bakteri, jamur, kamir dan kapang.
Syarat wadah pengemas yang digunakan untuk simplisia diantaranya adalah
1. Inert atau tidak bereaksi dengan bahan simplisia
2. Tidak menghasilkan cemaran toksin terhadap bahan
3. Mampu mencegah simplisia dari paparan sinar matahari langsung
4. Kedap air dan udara sehingga mampu melindungi bahan dari pengaruh oksigen, uap air,
mikroba, kotoran dan serangga
5. Mudah digunakan dan harga relatif murah

13
Gambar Pengemasan simplisia daun menggunakan kantong plastik kedap udara

Jenis wadah yang digunakan sangat bergantung pada jenis simplisianya. Wadah yang lazim
digunakan pada penyimpanan simplisia diantaranya adalah karung goni, plastik, Peti kayu/tripleks,
drum atau kaleng besi yang sudah berikan lapisan pelindung. Adapun untuk simplisia berupa
cairan, maka wadah yang digunakan adalah botol kaca atau guci porselen. Proses pengemasan
harus seefisien mungkin dan memudahkan simplisia untuk disimpan di gudang serta aman pada
saat pengangkutan.

Gambar Pengemasan simplisia akar, umbi dan bunga menggunakan tong plastik kedap udara

Selain pengemasan yang baik, penyimpanan simplisia yang sudah dikemas juga perlu
menjadi perhatian penting dari mulai lokasi/gudang penyimpanan, ruang penyimpanan, serta
sistem penyimpanan. Bahan harus disimpan pada kondisi suhu tertentu tergantung dari jenis
bahannya. MMI dan farmakope memberikan batasan uraian suhu sebagai berikut :
- Suhu kamar yaitu antara 15 – 30 OC
- Suhu sejuk yaitu antara 5 – 15 OC
- Suhu dingin yaitu antara 0 – 5 OC

14
Gudang tempat penyimpanan bahan simplisia harus dipisahkan dari gudang produk jadi.
Adapun simplisia yang beraroma maka penyimpanannya harus dipisahkan dari simplisia lain yang
tidak beraroma, supaya tidak terjadi kontaminasi silang antar simplisia. Konstruksi gudang
haruslah permanen, memiliki ventilasi udara yang baik, bebas dari kebocoran, memiliki
penerangan yang cukup, mampu mencegah masuknya sinar matahari secara langsung, serta dapat
mencegah hewan pengerat dan serangga masuk.

Gambar Gudang penyimpanan simplisia

Sistem penyimpanan bahan harus diatur sedemikian rupa sehingga bahan yang tersimpan
dapat terjaga mutunya. Setiap simplisia disusun berdasarkan urutan yang akan dikeluarkan first in
first out (FIFO), sehingga tidak ada simplisia yang tersimpan terlalu lama. Setiap simplisia harus
diberikan label etiket dan memiliki kartu stok masing – masing yang berisi informasi
- Nama spesies
- Bagian simplisia
- Kode produksi simplisia
- Tanggal panen
- Tanggal simpan
- Asal bahan
- Berat simplisia
- Catatan tanggal masuk dan keluar bahan

Bahan simplisia juga harus dicek secara rutin melalui mekanisme pengendalian mutu yang
bertujuan untuk memonitor kualitas dari simplisia selama proses penyimpanan sebelum digunakan
pada proses industri.

7. Kaidah Pascapanen Setiap Bagian Simplisia


a. Simplisia Daun
Daun setelah dipanen terlebih dahulu dilayukan dengan cara pengukusan (steam) pada suhu
O
90 C selama durasi waktu tertentu. Proses pelayuan ini sebenarnya akan bermasalah bagi daun

15
yang mengandung minyak atsiri karena akan menghilangkan kadar minyak atsirinya. Oleh karena
itu, mekanisme ini biasanya digunakan untuk bahan daun yang bukan sumber minyak atsiri. Daun
saat dikeringkan jangan langsung terkena sinar matahari, namun harus ditempat teduh untuk
melindungi klorofil di dalamnya. Daun apabila terkena langsung sinar matahari akan cepat
mengering dan berwarna kecoklatan. Daun jika dikeringkan dengan menggunakan pengering
buatan, maka suhu pengeringan diatur dibawah 40 OC. Sebuah percobaan membuktikan bahwa
daun yang dikeringkan dengan metode alamiah maupun buatan menghasilkan warna yang sama
yaitu hijau, namun ternyata saat diserbukkan sangat terlihat perbedaannya dimana daun dengan
pengeringan buatan akan menghasilkan warna yang lebih baik.
Daun muda biasanya memiliki jaringan yang lunak dan rawan rusak. Daun muda juga
memiliki kandungan air tinggi sehingga memungkinkan reaksi enzimatis berlangsung cepat.
Sehingga apabila proses pengeringan berjalan perlahan maka daun akan lebih cepat rusak. Adapun
daun tua memiliki jaringan lebih kuat dan lebih kaku. Oleh karena itu terlebih dahulu terhadap
daun tua dilakukan proses pelayuan yang dilanjutkan dengan proses pengeringan secara perlahan
sehingga diperoleh warna yang menarik. Tahap pengecilan ukuran simplisia daun biasanya
dilakukan setelah proses pengeringan. Simplisia daun biasanya dikemas didalam plastik atau tong
plastik (B2P4, 2012).

b. Simplisia Akar
Akar merupakan bagian paling ujung bawah suatu tanaman. Tumbuh didalam tanah dan
memiliki banyak kandungan kimia penting. Akar berdasarkan kekerasannya dibagi menjadi dua
yaitu
- Akar lunak yang mengandung air lebih dari 60% akar kolesom (Talinum paniculatum) dan
akar purwoceng (Pimpinella pruatjan)
- Akar keras yang lebih banyak mengandung serat seperti akar pasak bumi (Eurycoma
longifolia) dan akar trengguli (Cassia fistula)
Berdasarkan sifatnya tersebut, maka pengolahan kedua jenis akar tersebut berbeda. Akar
yang banyak mengandung air, penanganannya harus sesegera mungkin. Akar dicuci dengan
menggunakan air bertekanan serta disikat dengan sikat halus hingga ke sela – sela akar. Pastikan
saat menyikat, kulit akar tidak terkelupas dan pengotor yang menempel dipastikan hilang dari

16
permukaan. Bentuk akar yang tidak beraturan sering kali menyulitkan saat proses pencucian. Oleh
karena itu, untuk memudahkan penghilangan kotoran, akar terlebih dahulu direndam.
Setelah pencucian, akar langsung ditiriskan hingga air pada bahan habis. Setelah itu diiris
tipis menggunakan pisau berbahan stainless steel. Akar purwoceng dan kolesom biasanya diiris
secara memanjang atau melintang dengan ketebalan antara 4 – 5 mm.
Proses pengeringan akar dilakukan dengan cara alamiah maupun buatan. Apabila dipilih cara
alamiah, maka akar dihamparkan diatas alas dan dijemur langsung dibawah sinar matahari. Hati –
hati apabila cuaca tidak menentu, maka pengeringan dengan sinar matahari berpotensi menjadikan
bahan akar rusak. Pengeringan buatan terhadap akar lebih banyak dipilih karena proses
pengeringan selain konstan juga tidak dipengaruhi oleh cuaca. Beberapa jenis akar seperti akar
pasak bumi setelah proses pengeringan, dilakukan pengecilan ukuran kembali menjadi bentuk
serutan ataupun bentuk yang lebih kecil.

c. Simplisia rimpang
Rimpang merupakan umbi batang yang tumbuh didalam tanah. Proses pengolahan rimpang
hampir mirip dengan akar dikarenakan keduanya memiliki kemiripan diantaranya tumbuh didalam
tanah dan keras. Bentuk rimpang umumnya tidak beraturan sehingga menyulitkan pada proses
pencucian. Untuk menghilangkan tanah yang melekat, rimpang terlebih dahulu direndam dengan
air. Setelah itu rimpang disikat hingga semua pengotor terlepas dari rimpang. Proses pencucian
dilakukan dengan air bertekanan. Rimpang yang telah dicuci selanjutnya ditiriskan ditempat teduh
dengan aliran udara yang baik hingga tidak ada lagi air menetes. Sebelum dikeringkan rimpang
terlebih dahulu dirajang dengan diiris tipis. Untuk menghindari reaksi enzimatis, irisan rimpang
direndam dalam air panas suhu 90 OC selama beberapa waktu tertentu (kurang lebih 1 menit) atau
dikenal dengan istilah blancing. Rimpang selanjutnya dikeringkan dengan metode alamiah dengan
cara dijemur dibawah sinar matahari langsung, atau dengan pengering buatan pada suhu awal 40
O
C kemudian dinaikan hingga 50 OC. pengemasan dilakukan dengan menggunakan wadah kedap
udara. Contohnya adalah rimpang temulawak (Curcuma xantorrhiza), rimpang jahe (Zingiber
officinale), rimpang kunyit (Curcuma domestica).

d. Simplisia Bunga
Bunga mengandung air sekitar 70 %, bersifat lunak dan mudah rusak. Pada bunga proses
pengeringan yang tidak sesuai akan mudah mengubah warna bunga menjadi coklat (karena reaksi
enzimatis) serta menghilangkan aroma bunga karena minyak atsirinya hilang. Oleh karena itu,
bunga harus segera ditangani sesaat setelah proses panen. Pengeringan untuk bunga sebaiknya
dilakukan dengan cara dilayukan terlebih dahulu kemudian dikeringkan dengan diangin-anginkan
tanpa terkena sinar matahari langsung. Bunga sebaiknya tidak dicuci dan juga dirajang melainkan
langsung dikeringkan. Contoh simplisia bunga
- simplisia bunga cengkeh, harus sesegera mungkin dikeringkan sesaat setelah dipetik dan
dipisahkan dari tangkainya yang bertujuan untuk menghindari warna yang kurang baik

17
- pucuk timi terlebih dahulu dicuci dan sesegera mungkin ditiriskan ditempat teduh, bahan
selanjutnya digunting dan dikeringkan diruangan terbuka dengan metode diangin-anginkan.
Adapun jika menggunakan pengering buatan, maka dapat menggunakan oven dengan suhu
pengeringan tidak lebih dari 40 OC.

e. Simplisia Buah
Buah merupakan bagian dari tanaman yang memiliki kandungan air paling tinggi yakni
antara 70 – 80%. Selain air, beberapa buah lunak juga mengandung senyawa metabolit primer
seperti protein, lemak dan karbohidrat serta metabolit sekunder (alkaloid, polifenolat, dan
terpenoid). Buah harus segera diolah untuk mempertahankan kualitasnya. Proses Pascapanen buah
berbeda – beda untuk setiap jenisnya. Setelah proses pencucian, buah selanjutnya ditiriskan
kemudian dikeringkan dengan metode diangin-anginkan hingga kering sempurna. Sebelum
dikeringkan, daging buah diiris tipis dengan ketebalan 3 – 5 mm. Pengeringan buah dilakukan
dengan cara dijemur dibawah sinar matahari langsung, ataupun dengan pengering buatan pada
suhu 40 – 50 OC. Berikut ini adalah beberapa contoh simplisia buah
1) Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), apabila dikehendaki dalam bentuk serbuk, maka
daging buah dipisahkan dari biji dan cangkang yang mengandung senyawa toksik, setelah itu
disangrai terlebih dahulu kemudian digiling hingga berbentuk serbuk.
2) Buah cabe jawa (Piper retrofractum) dipanen saat berwarna merah. Sebelum proses
pengeringan, cabe jawab yang telah dicuci terlebih dahulu direndam dalam air panas selama
beberapa menit, kemudian ditiriskan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara
alamiah dibawah sinar matahari langsung dengan disebar merata (tidak ditumpuk) dengan
ketinggian melebihi 5 cm dan harus sering dibolak balik. Buah cabe jawa juga dapat
dikeringkan dengan pengering buatan pada suhu + 40 OC.
3) Buah kemukus (Piper cubeba) biasanya saat matang, warnanya beragam dari hijau tua hingga
kuning kemerahan, oleh karena itu buah kemukus sebaiknya diperam dahulu dalam ruang
tertutup selama 1 – 3 hari supaya buah matang keseluruhan dan warna merata. Buah kemukus
sebelum digunakan harus dilepaskan dari tangkainya, caranya adalah dengan merendamnya
dalam air panas selama beberapa menit
4) Buah kapolaga (Amomum compactum) dapat langsung dikeringkan baik dengan metode
alamiah maupun buatan. Apabila digunakan metode alamiah, sebelum dikeringkan sebaiknya
buah direndam dahulu supaya waktu pengeringan bisa lebih cepat. Berdasarkan penelitian,
perendaman dalam air panas selama 5 – 10 menit kemudian ditiriskan dan dijemur mampu
mengeringkan bahan dalam waktu + 7 hari. Perendaman juga dapat dilakukan dengan alkohol
dimana waktu pengeringan lebih cepat yaitu + 6 hari, namun jika dilihat dari aspek kehalalan,
maka perendaman sebaiknya menggunakan air. Apabila dikeringkan tanpa proses
perendaman, maka bahan akan kering dalam waktu yang lebih lama. Saat pengeringan,
sebaiknya wadah ditutup kain hitam dimana kain hitam dapat menyerap panas menjadi lebih
baik.

18
5) Buah pare (Momordica charantia), buah dicuci dengan air mengalir. Hindari menggosok buah
dengan sikat karena akan merusak permukaan buah. Setelah dicuci buah ditiriskan kemudian
dirajang dengan bentuk melintang buah dengan ketebalan antara 5 – 6 mm. setelah itu buah
dikeringkan

f. Simplisia Biji
Biji diketahui terdiri dari beragam jenis. Semakin tua usia panen biji, maka kandungan airnya
semakin rendah dan teksturnya semakin keras. Biji yang tinggi kadar air akan memiliki tekstur
lunak. Penanganan biji harus sebaik mungkin sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan
seperti biji belah, pecah atau bahkan hancur. Simplisia biji dapat langsung dikeringkan tanpa
terlebih dahulu melalui proses pencucian. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara
dijemur langsung dibawah sinar matahari ataupun bisa dengan menggunakan pengering buatan.
Biji biasanya langsung dikeringkan tanpa melalui tahapan pencucian.
Pengeringan untuk rimpang atau bahan lain yang mengandung minyak atsiri, apabila
pengeringan menggunakan oven, maka suhu tidak boleh melebihi 50 oC.
Untuk rimpang yang mengandung senyawa kurkuminoid atau senyawa lain yang mudah
rusak karena cahaya  proses pengeringan tidak menggunakan sinar matahari / sumber cahaya
lain  bahan harus ditutup dengan kain hitam saat proses pengeringan.

g. Simplisia Herba
Penggunaan bahan herba artinya adalah menggunakan seluruh bagian tanaman untuk
dijadikan bahan simplisia dari mulai, akar, batang, daun, bunga, dan buah. Pada proses pencucian,
herba harus dicuci secermat mungkin, terkhusus pada bagian akar. Akar dari herba terlebih dahulu
direndam untuk memudahkan tanah dan kerikil terlepas dari akar. Setelah itu herba dicuci secara
menyeluruh. Sebelum dikeringkan, tanaman selanjutnya ditirikan hingga air tidak lagi menetes
baru kemudian dikeringkan. Contohnya adalah herba meniran (Phyllanthus niruri), pegagan
(Centella asiatica), kiurat (Plantago major), babadotan (Ageratum conizoides), ceplukan (Physalis
minima L.).
Beberapa herba diketahui membutuhkan proses enzimatis sebelum diolah menjadi simplisia,
contohnya adalah Herba sambiloto (Andrographis paniculata Ness.). Herba sambiloto setelah
disortasi basah selanjutnya dicuci menggunakan air mengalir. Pencucian dilakukan secara
bertingkat hingga air cucian berwarna jernih (tidak lagi membawa kotoran). Setelah itu bahan
ditiriskan hingga air tidak lagi menetes. Herba sambiloto harus difermentasi supaya kadar
andrografolitnya tinggi, oleh karena itu bahan dibiarkan hingga layu selama 48 – 72 jam. Bahan
selanjutnya dirajang kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu tidak lebih dari 50 OC hingga
diperoleh kadar air yang memenuhi standar. Simplisia kering yang diperoleh selanjutnya dikemas
dengan wadah kedap tertutup rapat.

Pustaka
B2P2TOOT. (2011). Pedoman Umum Panen dan Pascapanen Tanaman Obat. Jakarta:
Kemenkes RI.
19
B2P4. (2012). Teknologi Pascapanen Tanaman Obat (Hernani & T. Marwati, Eds.). Jakarta:
Kementan RI.
BPTRO. (2019). Sirkuler : Seraiwangi. Jakarta: Kementan RI.
Fabunmi, T. B., & Arotupin, D. J. (2015). Antioxidant Properties of Fermented Kolanut husk
and Testa of Three Species of Kolanut : Cola acuminata , Cola nitida and Cola verticillata.
8(2), 1–13. https://doi.org/10.9734/BBJ/2015/18443
Maulana, I. T., Sakti, E. R. E., Alroza, H., & Lisnawati. (2015). Comparison of Antioxidant
Activity and Catechin Content Between Yeast Fermented Cocoa Bean and Non Fermented
Cocoa Bean. In Sugiarto, Akrom, D. Prasasti, E. Darmawan, L. Handayani, & Nurkhasanah
(Eds.), Proceeding Of The International Conference On Herbal Medicine Industrialization
As Complementary In Natural Disaster (pp. 48–56). Yogyakarta: Faculty of Phamacy UAD.
Menkes RI. (2009). Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama (pp. 4,169-171, 178–182). pp.
4,169-171, 178–182. Jakarta: Kemenkes RI.
Pérez, A., Gunata, Z., Lepoutre, J., & Odoux, E. (2011). New insight on the genesis and fate of
odor-active compounds in vanilla beans ( Vanilla planifolia G . Jackson ) during traditional
curing. FRIN, 44(9), 2930–2937. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.06.048
Widarta, I. W. R., Permana, I. D. G. M., & Wiadnyani, A. A. I. S. (2018). Kajian Waktu dan
Suhu Pelayuan Daun Alpukat dalam Upaya Pemanfaatannya sebagai Teh Herbal. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan, 7(2), 55–61.
Yulianto, M. E., Arifan, F., Ariwibowo, D., Hartati, I., & Mustikaningtyas, D. (2007).
Pengembangan Proses Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase Untuk Produksi Teh Hijau
Berkatekin Tinggi. J. Kim. Sains Dan Apl., X(1).

20

Anda mungkin juga menyukai