Anda di halaman 1dari 134

Pengendalian Umpan Balik

pada Proses

Penulis: Totok R. Biyanto , Ph.D.


Ukuran Buku: 16 x 23 cm
Halaman Buku: 133

i
DAFTAR ISI
BAB I. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE PERTAMA ............................ 1
1.1 Apakah Sistem Orde Pertama Itu ? ................................................ 1
1.2 Proses Pemodelan Matematik Pada Sistem Fisis Dalam Bentuk
Sistem Orde Pertama .................................................................... 2
1.3 Respon Dinamik untuk proses murni kapasitif ............................... 7
1.4 Respon Dinamik untuk sistem Sistem Orde Pertama dengan Lag .. 8
1.5 Sistem Orde Pertama Dengan Variabel Time Constant dan Gain . 12
BAB II. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE DUA ................................... 15
2.1 Apakah Yang Dimaksud dengan Sistem Orde Dua ? ..................... 15
2.2 Respon Dinamik dari Sistem Orde Dua ........................................ 16
2.3 Sistem Orde Dua Sebagai Akibat Proses Multi Kapasitas.............. 22
2.4 Penurunan Proses Orde Dua ....................................................... 32
2.5 Sistem Orde Dua Timbul karena Kehadiran Kontroler.................. 33
2.6 Beberapa Contoh Proses Sistem Orde Dua .................................. 36
BAB III. KONTROL UMPAN BALIK .................................................................. 43
3.1 Konsep Dasar Kontrol Umpan Balik ............................................. 43
3.2 Beberapa Tipe Kontroler Umpan balik ......................................... 48
3.3 Device Pengukur (Sensor) ............................................................ 54
3.4 Jalur Transmisi............................................................................. 57
3.5 Final Control Elemen ................................................................... 58
BAB IV. Dinamika Proses Kontrol Umpan balik ............................................ 65
4.1 Diagram Blok dan Respon Closed loop ........................................ 65
4.2 Efek Kontrol Proporsional pada Respon Pengendalian Proses ..... 73
4.3 Efek Kontrol Integral.................................................................... 82
4.4 Efek Kontrol Derivatif .................................................................. 86
4.5 Efek Dari Kombinasi Aksi Kontrol ................................................. 87
Bab V. Analisa Kestabilan pada Sistem Umpan balik.................................... 89
5.1 Persyaratan Kestabilan ................................................................ 89
5.2 Persamaan Karakteristik .............................................................. 94
5.3 Kriteria Kestabilan Routh-Hurwitz ............................................... 96
5.4 Analisa Root Locus..................................................................... 100
BAB VI. Desain Kontroler Umpan balik ...................................................... 107
6.1 Permasalahan Dalam Desain Kontroler...................................... 107
6.2 Kriteria Performansi yang Sederhana ........................................ 108
6.3 Pemilihan Tipe Kontroler Umpan balik ...................................... 117
6.4 Tuning Kontroler ....................................................................... 122
Daftar Pustaka ............................................................................................ 131
iii
BAB I. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE PERTAMA

1.1 Apakah Sistem Orde Pertama Itu ?


Sistem orde pertama merupakan sistem yang outputnya, (y(t))
dimodelkan oleh persamaan diferensial orde pertama. Dalam bentuk
sistem linier dapat ditulis sebagai berikut,
dy
a1  a 0 y  b f (t ) (1.1)
dt

Dimana f (t ) adalah variabel input (fungsi pemaksa). Jika a0 ≠ 0, maka


persamaan (1.1) dapat ditulis,

a 1 dy b
y f (t )
a 0 dt a0
a1 b
yang didefinisikan oleh :  p dan  Kp
a0 a0
sehingga,
dy
p  y  K p f (t ) (1.2)
dt

 p merupakan time constant dari proses dan Kp disebut sebagai gain


steady state atau disingkat gain dari proses. Jika y(t) dan f(t) dalam kondisi
steady state, maka kondisi awal dapat ditentukan, yaitu :
y(0) = 0 dan f(0) = 0
Dari persamaan (1.2) secara mudah dapat kita tentukan fungsi
transfer dari proses orde pertama, yaitu :

y ( s) Kp
G ( s)   (1.3)
f ( s)  p s  1
Proses orde pertama dengan fungsi transfer yang diberikan oleh
persamaan (1.3) juga disebut sebagai first-order lag, linier lag, atau
exponential transfer lag.

1
2

Bagaimana jika a0 = 0, maka persamaan (1.1) akan menjadi,

dy b
 f (t )  Kp ' f (t )
dt a 1
dengan fungsi transfer sebagai berikut :
'
y ( s) K p
G ( s)   (1.4)
f ( s) s
Dalam kasus seperti ini proses dikatakan murni kapasitif atau murni
integrator.

1.2 Proses Pemodelan Matematik Pada Sistem Fisis Dalam Bentuk


Sistem Orde Pertama
Dalam benak kita mungkin timbul pertanyaan bagaimana
sebenarnya suatu sistem fisis definisikan sebagai proses orde pertama.
Secara garis besar kita dapat mendefinisikan suatu sistem fisis ke dalam
bentuk sistem orde pertama jika mengandung karakteristik sebagai
berikut:
1. Sistem mempunyai kemampuan dalam menyimpan (kapasitif) materi,
energi atau momentum.
2. Sistem dapat berfungsi sebagai hambatan (resistansi) yang berupa
massa, energi, atau momentum untuk mengisi kapasitas yang ada.
Respon dinamik dari suatu tangki yang memiliki kemampuan dalam
menyimpan cairan atau gas dapat dimodelkan sebagai orde pertama.
Resistansi dalam hal ini dapat berupa pompa, valve dan pipa yang
terdapat pada bagian aliran masuk atau keluaran tangki. Hal yang sama
berlaku juga untuk respon temperatur pada sistem padat, cairan dan gas
yang bisa menyimpan energi panas (Kapasitas panas, cp) juga dapat
dimodelkan sebagai orde pertama.
Dengan kata lain, proses yang memiliki kapasitas dalam menyimpan
massa atau energi dan dapat berfungsi sebagai buffer (penahan) antara
aliran laju masuk dan laju keluar maka dapat dikategorikan dan
dimodelkan sebagai orde pertama. Mari kita lihat beberapa tipikal proses
yang memuat kapasitas dan dimodelkan dengan sistem orde pertama.
3

Contoh kasus 1.1. Sistem Orde Pertama pada Kapasitas Penyimpan Massa
Perhatikan tangki yang ditunjukkan pada Gambar 1.1a. Volumetrik
(Volume/waktu) laju aliran yang masuk (flow in) adalah Fi dan laju aliran
yang keluar (outlet) adalah Fo. Pada aliran keluar terdapat resistansi pada
aliran, seperti pipa, valve. Asumsikan laju aliran Fo pada tekanan
hidrostatik yang relatif linier terhadap level air h, melalui resistansi R:
h
Fo 
R

Level yang mempengaru hi besarnya laju aliran keluar (1.5)


Fo 
Resistansi pada laju aliran

Pada setiap perubahan waktu, tangki mempunyai kapasitas untuk


menyimpan massa. Total keseimbangan massa diberikan oleh persamaan
berikut :
dh h
A  Fi  Fo  Fi 
dt R
atau
dh
AR  h  R Fi (1.6)
dt
Fi Fi

h h
A A

Fo
R

Fo

(a) (b)
Gambar 1.1. Sistem dengan kapasitas untuk penyimpan massa : (a) orde
pertama ; (b) murni kapasitif
4

Dimana A adalah luasan bidang tangki. Saat kondisi steady state :


hs  R Fi , s (1.6a)
Dari persamaan 1.6 dan 1.6a, dapat diturunkan persamaan berikut,
dh 
AR  h   R Fi (1.7)
dt

Dimana h  h  hs dan Fi  Fi  Fi, s


p = AR = Time constant proses
Kp = R = Gain steady state proses

Fungsi transfernya adalah :


h ( s) Kp
G( s)   (1.8)
Fi ( s)  p s  1

Catatan :
1. Luas area tangki, A, merupakan ukuran kapasitas untuk menyimpan
massa. Sehingga semakin besar nilai A, maka akan semakin besar
kemampuan penyimpanan kapasitas tangki.
2. Karena nilai  p = AR, dapat kita simpulkan bahwa :
(time constant) = (Kapasitas menyimpan) x (Resistansi laju) (1.9)

Contoh Kasus 1.2. Sistem Orde Satu pada Kapasitas Penyimpan Energi
Cairan pada tangki dipanaskan dengan uap dalam keadaan saturasi, yang
mengalir melalui koil (Gambar 1.2). Kesetimbangan energi pada sistem
adalah sebagai berikut :
dT
V  cp  Q  U At (Tst  T ) (1.10)
dt
5

T
Q

T st

Gambar 1.2 Sistem dengan kapasitas untuk menyimpan energi

dimana :
V = Volume cairan pada tangki
 , c p = Massa jenis cairan dan kapasitas panas
U = Koefisien perpindahan panas total antara uap dan cairan
At = Total area perpindahan panas
Tst = Temperatur uap saturasi

Saat kondisi steady state maka :


0  U At (Tst , s  Ts ) (1.11)

Selisih persamaan 1.10 dan 1.11 sebagai berikut :


dT 
V  cp  Q  U At (Tst  T ) (1.12)
dt
Dimana,

T   T  Ts dan Tst  Tst  Tst, s .


Transformasi laplace dari 1.12 menghasilkan persamaan fungsi transfer
sebagai berikut:
T ( s) 1 Kp (1.13)
G(s)   
Tst ( s ) V  c p  p s 1
s 1
U At
Dimana :
V  cp
p = Time constant proses =
U At
6

Kp = Gain steady state = 1

Catatan :
1. Persamaan 1.13 menggambarkan secara jelas bahwa sistem diatas
merupakan sistem orde pertama.
2. Kapasitas sistem untuk menyimpan energi panas dan resistansi pada
laju aliran panas ditunjukkan oleh besarnya nilai U.
3. Kapasitas penyimpan energi panas dihitung oleh persamaan V  c p .
Sedangkan resistansi laju aliran panas dari uap menuju cairan sesuai
dengan persamaan 1 . Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa
U At
time constant pada sistem ini sama dengan persamaan yang
diberikan pada sistem tangki (Contoh kasus 1) yaitu :
V  cp
Time constant =  p =
U At
 p = (Kapasitas yang tersimpan) x (Resistansi Laju aliran )

Contoh Kasus 1.3. Sistem Kapasitif Murni


Perhatikan plant tangki yang telah kita diskusikan pada Contoh kasus
1.1. Kita akan menggunakan plant ini lagi tetapi dengan perbedaan
sebagai berikut :
Laju aliran keluar Fo ditentukan oleh laju aliran pompa yang tetap, dan
bukan dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik level cairan h (Gambar 1.1b).
Pada kasus ini, kesetimbangan massa total pada tangki sebagai berikut :
dh
A  Fi  Fo (1.14)
dt
Pada konsdisi steady state,
0  Fi , s  Fo (1.15)
Selisih persamaan 1.15 dan 1.14 menghasilkan persamaan berikut:
dh 
A  Fi
dt
melalui transformasi laplace, didapatkan :
7

h ( s) 1 / A
G ( s)   (1.16)
Fi ( s) s

1.3 Respon Dinamik untuk proses murni kapasitif


Fungsi transfer untuk proses ini ditunjukkan pada persamaan
'
y ( s) K p
G ( s)  
f ( s) s
Kita akan menyelidiki bagaimana output y(t) berubah terhadap
waktu. Ketika f(t) berupa fungsi step, yaitu :
f(t) = 1 untuk t > 0
Dari tabel Transformasi Laplace, dapat kita ketahui bahwa, dalam domain
s fungsi step diatas dapat ditulis,
1
f (s) 
s
Sehingga persamaan 1.4 menjadi ,
'
Kp
y ( s) 
s2
dan setelah diinvers laplace-kan menjadi y(t) = K’p. t
Dari sini dapat kita lihat bahwa output naik secara linier sesuai fungsi
waktu (Gambar 1.1). sehingga dapat dinyatakan :
y(t )   pada t  
Y(t)

Kp‘

Gambar 1.3 Respon pada proses murni kapasitif

Respon ini merupakan karakteristik dari proses yang murni kapasitif,


meminjam nama murni integrator karena dapat bertindak seolah-olah
8

terdapat integrator antara input dan outputnya. Proses yang murni


kapasitif dapat menimbulkan dampak yang serius dalam pengendalian,
karena sistem ini tidak dapat menyeimbangkan sendiri setiap terjadi
perubahan beban atau setpoint. Pada Contoh kasus 1.3, kita dapat
mengatur secara manual kecepatan pompa. Akan tetapi jika ada
perubahan yang kecil saja pada laju aliran masuk, maka tangki akan over
kapasitas atau sebaliknya tangki menjadi kering (kosong). Sistem yang
bekerja demikian dikenal sebagai Non-self-Regulation.
Proses dengan aksi integral kerap kali terjadi pada proses industri
seperti tangki dengan cairan , vessel dengan gas, sistem inventory untuk
bahan mentah atau produk dsb.

1.4 Respon Dinamik untuk sistem Sistem Orde Pertama dengan Lag
Fungsi transfer ini untuk sistem yang sesuai dengan persamaan 1.3,
yaitu

y ( s) Kp
G ( s)  
f ( s)  p s  1
Mari kita amati bagaimana repon yang terjadi dengan perubahan unit
step pada f(t). Seperti pada persamaan 1.5, sinyal uji step adalah :
1
f (s)  , sehingga outputnya adalah sebagai berikut :
s
Kp Kp Kp
y ( s)    (1.17)
s( p s  1) s  p s 1
Invers persamaan 1.17 menjadi,
t / p
y(t )  K p (1  e ) (1.18)
Jika perubahan fungsi step pada f(t) sesuai dengan besarnya A, maka
respon 1.18 menjadi
 t / p
y(t )  AK p (1  e ) (1.19)
Gambar 1.4 menunjukkan bagaimana y(t) berubah terhadap waktu. Plot
pada Gambar 1.4 adalah dalam bentuk koordinat :
9

y (t ) t
versus
AK p p

1.0

0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4

0.2

0
1 2 3 4 5
t
p
Gambar 1.4. Respon orde pertama dengan lag terhadap perubahan input step

Beberapa hal yang menjadi karakteristik pada sistem orde pertama


adalah sebagai berikut,
1. Proses Lag orde pertama besifat self-regulating. Berbeda dengan
proses yang benar-benar murni kapasitif, proses self-regulating dapat
mencapai steady state yang baru. Dapat dilihat pada Contoh kasus
1.1, ketika laju aliran input naik dengan unit step, secara otomatis
level cairan akan naik. Seiring dengan naiknya level cairan , tekanan
hidrostatik akan naik pula, yang berdampak pada naiknya laju aliran
keluar F0. Aksi ini berlangsung hingga keadaan baru tercapai ( new
steady state ).
2. Kemiringan respon pada t = 0 adalah sama dengan 1
d [ y (t ) / AK p ]  t / p
 (e ) t 0  1
d (t /  p )
t 0

Ini menunjukkan bahwa jika kita bisa mendapatkan laju awal


perubahan output y(t) yang signifikan, maka respon akan mencapai
nilai akhir (setpoint) dalam satu time constant (dapat dilihat garis
putus-putus pada Gambar 1.4). Dapat disimpulkan:
10

Semakin kecil nilai time constant  p , maka akan semakin curam


respon awal sistem. Eqivalen dengan, Time constant  p suatu proses
merupakan suatu constantta yang menunjukkan waktu yang
diperlukan proses untuk merespon perubahan terhadap input.
3. Nilai respon y(t) akan mencapai 63.2 % dari nilai akhirnya ketika waktu
yang dibutuhkan adalah sama dengan satu time constant, p.
Selengkapnya yaitu :
2 3 4
p
Waktu yang dibutuhkan
p p p
y(t) dalam persen dari nilai
63.2 86.5 95 98
akhir (Set Point)
Dari tabel diatas, dapat kita lihat setelah 4 time constant, respon akan
mencapai nilai akhir (ultimate value).
4. Nilai akhir suatu respon (nilai pada steady state baru) adalah sama
dengan besarnya Kp pada setiap perubahan unit step inputnya, atau
A.Kp untuk ukuran langkah A. Ini dapat dilihat dari persamaan 1.19,
dimana y(t )  AKp saat t   . Karakteristik ini menjelaskan
nama steady state atau static gain diberikan untuk parameter Kp
untuk setiap perubahan step ∆(input), perubahan pada output steady
state sebagai berikut,

(Output) Kp (Input) (1.20)

Persamaan 1.20 menginformasikan kepada kita berapa seharusnya


besarnya perubahan yang diperlukan pada nilai input untuk mendapatkan
nilai output proses dengan gain Kp. Sehingga, untuk mendapatkan efek
yang sama pada output, kita membutuhkan perubahan yang kecil pada
input jika Kp sangat besar (Sistem yang sangat sensistif) atau Perubahan
yang besar pada input jika Kp kecil.
11

Contoh Kasus 1.4. Efek beberapa parameter pada respon sistem orde satu
Perhatikan sistem tangki pada Contoh kasus 1.1. Pada sistem ini
dapat kita amati dua parameter yaitu :
a. Parameter luasan pada tangki, A
b. Parameter resistansi pada laju aliran cairan , R
Atau dari parameter yang lain, tetapi masih dalam sudut pandang yang
sama, yaitu:
a. Time constant proses,  p
b. Gain statis, Kp
Misal terdapat dua tangki dengan luasan A1 dan A2, dimana A1 > A2,
dengan resistansi yang sama, R. Dari persamaan (1.9) kita dapatkan
bahwa  p1 >
 p2 (Tangki dengan luasan daerah yang lebih besar akan
memiliki time constant yang lebih besar juga) dengan gain statik yang
sama. Ketika kedua tangki diberikan perubahan unit step yang sama pada
laju aliran masuk, level cairan pada pada masing-masing tangki
meresponnya sesuai dengan persamaan 1.19 yang ditunjukkan pada
Gambar 1.5a. Dapat kita amati bahwa level tangki dengan luasan daerah
yang lebih kecil akan merespon lebih cepat pada awalnya, tetapi
selanjutnya , kedua level mencapai kondisi steady state yang sama.
Sekarang kita misalkan kedua tangki memiliki luasan area A1 dan A2
yang berbeda dan resistansi R1 dan R2 juga berbeda, sehingga memenuhi
persamaan :
A1 R 2
 (1.21)
A2 R1
atau
 p1 = A1 R1 = A2 R2 =  p2

Bila A1 > A2 , sesuai persamaan 1.21, R2 > R1, yang menunjukkan


bahwa Kp2 > Kp1. Gambar 1.5b merupakan respon kedua tangki terhadap
perubahan unit step. Karena kedua tangki memiliki time constant yang
sama, maka akan memiliki kecepatan awal respon yang sama. Akan
tetapi, setelah beberapa saat, tangki dengan resistansi yang lebih besar
yaitu R2 akan mengalirkan cairan yang lebih sedikit dari tangki. Sehingga
12

pada akhirnya level cairan akan naik lebih tinggi daripada level pada
tangki dengan resistansi R1. Hal ini sesuai dengan pengalaman fisis kita
dan juga menjelaskan fakta bahwa semakin besar gain statik dari suatu
proses, maka akan semakin besar pula nilai output steady state-nya
dengan perubahan input yang sama.

h h

K P2 = R 2
Tangki
Dengan A = A1 K P1 = R 1
Tangki 1 1
Dengan A = A2  p1 =
 p2
t t

(a) (b)
Gambar 1.5. Efek (a) Time constant (b) Gain statik , pada respon sistem orde
pertama

1.5 Sistem Orde Pertama Dengan Variabel Time Constant dan Gain
Pada bagian sebelumnya, kita mengasumsikan bahwa koefisien pada
persamaan differensial orde pertama (persamaan 1.1) adalah konstan.
Hal ini membawa kepada suatu kesimpulan bahwa time constant  p dan
steady state gain Kp proses juga constant. Tetapi hal ini menjadi tidak
tepat untuk jumlah komponen yang sangat banyak dalam proses industri.
Realitanya, pada plant, kita akan lebih banyak menjumpai proses dengan
time constant dan gain berupa variabel daripada yang berupa constant.
Mari kita lihat Contoh kasus berikut

Contoh kasus 1.5. Sistem tangki dengan variabel time constant dan gain
Untuk sistem tangki yang telah dibahas pada Contoh kasus 1.1, kita
asumsikan laju aliran effluent (yang keluar), Fo, level cairan tidak berupa
fungsi linier, akan tetapi diberikan oleh persamaan berikut (terjadi pada
aliran turbulent):
Fo   h   kons tan
13

kemudian kesetimbangan materi dalam bentuk persamaan non linier


sebagai berikut :
dh
A   h  Fi
dt
Persamaan ini harus dilinierkan terlebih dahulu dalam lingkup steady
state menjadi :
dh   dh
A  h   Fi atau  p  h  K p Fi
dt 2 hs dt
dengan
hs hs
 p  2A dan Kp 2
 
Dari persamaan ini, dapat kita lihat bahwa baik time constant  p
dan steady state gain Kp bergantung dari nilai steady state level cairan ,
hs. Karena kita bisa memvariasikan nilai hs dengan mengatur nilai steady
state pada laju aliran input, Fi,s, maka dapat disimpulkan bahwa sistem
memiliki variabel time constant dan static gain.

Contoh kasus 1.6. Pemanas Dengan Time Constant Sebagai Variabel


Mari kita tinjau kembali sistem pemanas yang didiskusikan pada
Contoh kasus 1.2. Time constant dan gain statik pada sistem pemanas ini
adalah sebagai berikut :
V  cp
p  dan Kp = 1
U At
koefisien perpindahan panas total, U, tidak akan tetap sama setelah
beroperasi beberapa waktu lamanya. Korosi, goresan, atau timbunan
beberapa padat pada permukaan internal atau eksternal koil pemanas
(fouling) akan meyebabkan penurunan secara bertahap pada koefisien
transfer panasnya. Contoh ini merupakan karakteristik yang akan terjadi
bahkan pada sistem orde pertama yang sederhana. Pertanyaan yang
akan timbul selanjutnya adalah bagaimana mengatasi sistem orde
pertama dengan variabel time constant dan gain statik dengan tujuan
14

untuk mendapatkan respon dinamik seperti sistem yang terjadi diatas.


Tedapat dua solusi :
1. Kita dapat menggunakan solusi analitik yang tersedia pada
persamaan differensial dengan koefisien yang berbentuk variabel.
Solusi ini sedikit rumit dan sangat sedikit keuntungan yang kita
dapatkan jika bertujuan untuk pengendalian proses.
2. Kita dapat mengasumsikan proses tersebut mempunyai time constant
dan gain statik yang tetap. Selang beberapa waktu, kita akan
mengubah nilai  p dan Kp sehingga didapatkan persamaan sistem
orde pertama yang baru. Prosedur adaptif seperti ini akan berhasil
jika time constant dan gain statik terjadi pada proses yang lambat.
BAB II. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE DUA

Sistem dengan karakteristik dinamik orde pertama tidak hanya satu-


satunya yang terjadi pada proses industri. Adanya pengaruh dari input,
menyebabkan terjadinya perubahan pada output yang secara drastis
berbeda dengan respon pada sistem orde pertama sebelumnya, yaitu
respon dengan karakteristik dinamik orde yang lebih tinggi. Pada bab ini
kita akan menganalisa (1) Asal mula dinamika sistem orde dua terjadi dan
(2) Bagaimana dengan karakteristiknya.

2.1 Apakah Yang Dimaksud dengan Sistem Orde Dua ?


Sistem orde dua merupakan sistem yang outputnya diturunkan
berdasarkan persamaan diferensial orde dua. Untuk lebih jelasnya,
persamaan berikut mengawali diskusi kita tentang sistem linier orde
kedua,
d2y dy
a2 2
 a1  a 0 y  b f (t ) (2.1)
dt dt
jika a ≠ 0 ,
maka persamaan 2.1 menjadi,
d2y dy
2 2
 2  y  K p f (t ) (2.2)
dt dt
dimana  2  a2 / a0 , 2    a1 / a0 dan K p  b / a0 . Persamaan 2.2
adalah bentuk standar dari sistem orde dua, dimana :
 = Periode natural dari osilasi sistem atau time constant
 = Faktor damping
K p = Steady state, statik, atau gain dari sistem
Jika persamaan 2.2 ditulis dalam bentuk deviasi variabel seperti yang
dilakukan pada penurunan sistem orde pertama dari persamaan 1.6
hingga 1.8, dengan kondisi awalnya nol, maka transformasi laplacenya
akan menghasilkan fungsi transfer sistem orde dua seperti berikut ini,
y ( s) Kp
G( s)   2 2 (2.3)
f ( s)  s  2 s  1
15
16

Sistem dinamik orde dua atau yang lebih tinggi dapat terjadi pada
banyak situasi. Berikut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori :
a. Proses multi kapasitas , yaitu proses yang terdiri atas dua atau lebih
kapasitas (sistem orde satu) yang diseri, dimana materi dan energinya
berubah tiap waktu. Dalam bab sebelumnya kita telah membahas
sistem ini.
b. Penurunan sistem orde dua, Sistem semacam ini terdapat pada
komponen fluida atau padat mekanik yang dapat menimbulkan
inersia dan percepatan. Sistem seperti ini jarang terjadi pada proses
industri. Hal ini disebabkan sistem ini secara alami, tanpa adanya
interaksi dengan sistem yang lain sudah memiliki karakteristik asal
berupa orde kedua. Kita akan mendeskusikan lebih jelas lagi pada
bagian 2.4 dan tiga contoh yang lain akan diberikan pada bagian 2.6.
c. Sistem yang diproses melalui kontroler, Pada kasus ini, kontroler
yang telah di instal pada unit proses akan menambah karakteristik
dinamik keseluruhan sistem, sehingga kelakuan sistem menjadi orde
dua atau lebih. Hal ini akan dijabarkan lewat Contoh pada bagian 2.5.
Sebagian besar sistem orde dua atau yang lebih tinggi yang terjadi
pada plant disebabkan oleh proses multi kapasitas dan efek dari adanya
kontroler. Sangat jarang dijumpai didalam proses tunggal (bukan
multikapasitas) menghasilkan dinamika sistem orde dua atau orde yang
lebih tinggi.

2.2 Respon Dinamik dari Sistem Orde Dua


Sebelum kita mulai menguraikan penurunan secara fisik sistem orde
dua, mari kita analisa respon dinamik dari sistem orde dua terhadap
adanya input unit step. Analisa ini akan mengenalkan kepada kita
karakteristik dasar dari sistem orde dua:
Untuk perubahan unit step pada input f (t ) , maka persamaan 2.3 akan
menjadi sebagai berikut :
Kp
y ( s)  (2.4)
s ( 2 s 2  2 s  1)
17

Dua pole pada fungsi transfer orde dua didapatkan dari akar-akar
karakteristik polinomial pada bagian penyebut, yaitu
 2 s 2  2 s  1  0

Akar-akarnya adalah ,
  2 1   2 1
p1    dan p2    (2.5)
   

Sehingga persamaan 2.4 dapat ditulis,


K p / 2
y ( s)  (2.6)
s ( s  p1 ) ( s  p 2 )

Dan bentuk respon y(t) akan tergantung pada lokasi dari dua pole,
p1 dan p2 , yang bisa dilihat pada grafik bidang kompleks (complex
plane). Dari sini kita akan mendapatkan tiga kondisi yaitu:
Kondisi A : Ketika   1 , akan terdapat dua pole berbeda dan
bernilai real
Kondisi B : Ketika   1 , akan terdapat dua pole yang sama (multi
pole ) dan juga bernilai real.
Kondisi C : Ketika   1 , akan terdapat dua pole konjugat
kompleks.
Mari masing-masing kita diskusikan lebih lanjut,

Kondisi A : ketika   1 , maka respon yang dihasilkan adalah


Overdamped,.
Pada kasus ini, invers laplace persamaan 2.6 diselesaikan dengan
mengekspansi fungsi transfer menjadi beberapa fraksi dan dihasilkan
penyelesaian sebagai berikut,
   
y (t )  K p 1  e  t /  cosh  2  1 t  sinh  2  1  (2.7)
    2 1 
 
dimana cosh  dan sinh  adalah fungsi trigonometri hiperbolik
yang didefinisikan oleh,
18

e   e  e   e 
sinh   dan cosh  
2 2

Respon persamaan (2.7) dapat dilihat pada Gambar 2.1a untuk


berbagai nilai  dengan   1 . Respon seperti ini disebut respon
overdamped dan sedikit mirip dengan respon pada sistem orde pertama
terhadap adanya input unit step. Namun jika kita perhatikan lebih lanjut,
terlihat bahwa pada sistem orde dua terdapat adanya jeda waktu (delay)
yang terjadi pada awal respon dan bentuk responnya lebih sluggish, yaitu
menyerupai huruf S dan akan semakin sluggish dengan bertambahnya
nilai  ( baca : sistem akan bertambah overdamped).
Y(t)
Kp

Respon Teredam

1
Kritis   1  

1
Respon Over
Damped
2  2  1  1
t

(a)
Faktor   0.1
Damping
0.2

0.4

0.7
Y(t)
Kp 1

1.5

10

t
p

(b)
Gambar 2.1. Respon sistem orde dua terhadap perubahan input unit step
19

Proses untuk mendapatkan gain dari sistem orde dua sama dengan
sistem orde pertama, yaitu:

 output steady state 


Kp 
 input steady state 

Respon overdamped pada proses multi kapasitas yang dihasilkan oleh


kombinasi sistem orde satu yang dirangkai secara seri akan kita lihat pada
bagian 2.3 nanti.

Kondisi B : Respon critical damped, yaitu ketika   1 .


Pada kasus ini, invers persamaan 2.4 adalah sebagai berikut,
  t 
y (t )  K p 1  1   e  t /   (2.8)
   

Respon ini juga terdapat pada Gambar 2.1a. Dapat kita amati bahwa
sistem orde dua dalam bentuk critical damping mencapai nilai akhir
(setpoint) lebih cepat daripada sistem overdamped.
Kondisi C : Respon under damped, yaitu ketika   1 .
Invers dari persamaan 2.4 pada kondisi ini adalah sebagai berikut,
 
e  t /  sin  t    
1
y (t )  K p 1  (2.9)
 1 2 
dimana :
1 2
 (2.10)

dan
 1 2 
  tan  1  
  
Respon untuk berbagai faktor damping,  dapat dilihat pada Gambar
2.1b. Dari Gambar 2.1b dapat kita simpulkan beberapa hal berikut :
20

Dapat dipastikan bahwa hampir keseluruhan respon underdamped pada


plant disebabkan oleh interaksi antara kontroler dan unit proses yang
dikontrol, sehingga nantinya respon inilah yang akan sering kita jumpai.

Gambar 2.2. Karakteristik respon underdamped

Karakteristik Respon Underdamped


Mari kita teliti lebih lanjut respon underdamped yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2 sebagai acuan dalam mendefinisikan beberapa istilah berikut,
yaitu :
1. Overshoot :yaitu rasio A / B, dimana B merupakan nilai yang kita
inginkan (setpoint) dan A adalah nilai maksimum respon yang
melewati batas setpoint. Besarnya overshoot merupakan fungsi dari
 dan hal ini dapat dilihat lewat persamaan berikut:
   
Overshoot  exp   (2.11)
 1 2 
 
Gambar 2.1 menunjukkan plot antara overshoot dengan  yang
diberikan oleh persamaan 2.11. Dari sini diketahui bahwa overshoot
akan naik dengan menurunnya nilai  . Ketika  mendekati 1, maka
overshoot akan mendekati nol (respon critical damped).
21

2. Penurunan Rasio : Yaitu rasio C / A (rasio antara puncak pertama


dan puncak kedua). Decay ratio juga berhubungan dengan faktor
damping  melalui persamaan :
  2  
Penurunan Rasio  exp    (Overshoot) 2 (2.12)
 1 2 
 
persamaan 2.12 juga diplot pada Gambar 2.1
3. Periode Osilasi: Dari persamaan 2.10, dapat kita lihat bahwa frekuensi
radian (rad/waktu) yang berosilasi pada respon underdamped adalah
sebagai berikut,
1 2
  Frekuensi Radian 

Untuk menentukan periode osilasi T (waktu antara dua puncak),
menggunakan hubungan   2  f dan f  1 / T
Dimana, f  frekuensi osilasi . Sehingga,
2
T (2.13)
1 2
4. Periode natural osilasi: Ketika sistem orde dua mempunyai   0 ,
maka sistem dikatakan bebas dari damping. Fungsi transfernya adalah
:

Kp Kp / 2
G( s)  2 2 
 s 1  1 1 (2.14)
s  j  s  j 
   
Persamaan ini memiliki 2 pole imajiner (terletak pada axis
imaginer). Sistem semacam ini akan berosilasi secara kontinu dengan
amplitudo yang tetap dan dengan frekuensi natural sebagai berikut :
1
n  (2.15)

dengan periode osilasi Tn sesuai dengan persamaan :
Tn  2   (2.16)
22

5. Waktu Respon: Respon sistem underdamped benar-benar akan


mencapai nilai setpoint-nya setelah berosilasi hingga t   . Namun
untuk tujuan praktis, telah disepakati bahwa respon akan mencapai
nilai setpoint ketika telah mencapai ± 5 % dari nilai perubahan
setpoint (selisih setpoint akhir dengan setpoint awal) dan tidak
mengalami deviasi diluar rentang ini. Waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai kondisi ini disebut sebagai waktu respon atau biasa disebut
settling time.
6. Rise Time: Istilah ini ditujukan untuk menggambarkan kecepatan
respon sistem underdamped. Didefinisikan sebagai waktu yang
dibutuhkan respon untuk mencapai nilai setpoint-nya yang pertama
kalinya ketika terjadi perubahan setpoint atau disturbance (Gambar
2.2). Dari Gambar 2.1b dapat diketahui bahwa semakin kecil nilai  ,
maka semakin pendek risetime-nya (Respon akan semakin cepat),
tetapi secara bersamaan akan semakin besar overshoot yang akan
ditimbulkan.
Catatan: Sasaran kita dalam mendesain kontroler adalah didasarkan pada
pengaturan yang tepat dalam hubungan nilai  dan  , sehingga didapat
overshoot yang kecil, rise time yang pendek, decay ratioyang kecil, dan
waktu respon yang cepat. Akan tetapi hal ini tidak mungkin untuk
dimplementasikan pada kondisi nilai  dan  yang sama-sama
diprioritaskan, kita harus memilih jalan kompromi diantara keduanya.
Pemahaman yang benar dan pengalaman yang cukup tentang kelakuan
sistem underdamped akan menjamin disain kontroler menjadi efektif.

2.3 Sistem Orde Dua Sebagai Akibat Proses Multi Kapasitas


Ketika materi atau energi mengalir melalui kapasitas tunggal, yang
kita dapatkan adalah sistem orde pertama. Bagaimana jika materi atau
energi ini mengalir melalui dua kapasitas yang tersusun secara seri ?
didasarkan pada kelakuan sistem yang tersusun demikian, kelakuan
sistem ini sesuai dengan karakteristik dinamika sistem orde dua. Dua
sistem multi kapasitas ditunjukkan pada Gambar 2.3, masing-masing
dengan dua kapasitas massa (dua tangki).
23

Mari kita tinjau lebih jauh mengenai sistem ini untuk


mengidentifikasi perbedaan secara kualitatif diantara keduanya. Pada
sistem 1 (Gambar 2.3a), tangki 1 mengisi tangki 2 melalui bagian atas
tangki 2. Dengan sistem demikian, level tangki 2 akan dipengaruhi oleh
laju aliran keluar dari tangki 1, F1, yang besarnya ditentukan oleh level
pada tangki 1 karena adanya efek tekanan hidrostatik. Apakah akan
terjadi sebaliknya, ternyata tidak demikian halnya. Level pada tangki 2
tidak bisa mempengaruhi laju aliran masuk atau level pada tangki 1.
Sehingga dapat kita simpulkan dinamika proses pada tangki 2 akan
dipengaruhi oleh tangki 1 dan tidak terjadi sebaliknya. Sistem seperti ini
disebut sebagai kapasitas non interaksi atau sistem orde satu yang
tersusun seri non interaksi. Lain halnya pada sistem yang ditunjukkan oleh
Gambar 2.3b. Pada sistem ini, laju aliran yang masuk tangki 2 dipengaruhi
oleh perbedaaan level antara level pada tangki 1 dan 2 sehingga kedua
tangki ini akan saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem demikian
disebut sebagai kapasitas yang saling berinteraksi atau sistem orde satu
yang tersusun seri berinteraksi.

Proses multi kapasitas tidak hanya dilihat dari jumlah unit pemroses
yang lebih dari satu seperti pada contoh dua tangki diatas. Semua
komponen kapasitas yang mendukung unit proses yang sama juga bisa
dikategorikan sebagai sebuah proses multi kapasaitas. Sebagai contoh,
CSTR merupakan multi kapasitas karena terdapat dua kapasitas yaitu
kapasitas untuk menyimpan massa dan energi. Kolom distilasi juga
merupakan contoh dari proses multi kapasitas karena di dalamnya
terdapat tray yang mampu menyimpan kapasitas massa (cairan holdup)
serta kemampuan untuk menyimpan kapasitas energi panas yaitu pada
bagian reboiler dan kondensor.
24

Gambar 2.3. Sistem dua tangki

Sekarang kita tinjau penurunan model matematika pada sistem


multi kapasitas sehingga membentuk persamaan sistem orde dua.

Kapasitas Non Interaksi


Ketika sebuah sistem tersusun dari dua kapasitas non interaksi, maka
persamaan differensialnya adalah sebagai berikut :
dy1
 p1  y1  K p 1 f1 (t ) Kapasitas Pertama (2.17a)
dt
dy
 p 2 2  y2  K p 2 y1 (t ) Kapasitas Kedua (2.17b)
dt
Dengan kata lain, melalui output sistem pertama akan memberikan efek
pada sistem yang kedua, tetapi tidak sebaliknya (Gambar 2.4a). Solusi
dimulai dari persamaan 2.17a dan selanjutnya persamaan 2.17b. Urutan
solusi ini merupakan karakteristik dari kapasitas non interaksi yang
25

tersusun seri. Secara berurutan, fungsi transfernya adalah sebagai


berikut:

y1 ( s) K p1 y 2 ( s) K p2
G1 ( s)   G2 ( s )  
f1 ( s )  p 1 s  1 y1 ( s)  p 2 s  1
Fungsi transfer secara menyeluruh antara input eksternal
f1 (t ) dan y 2 (t ) adalah
y2 ( s) y2 ( s) y1 ( s) K p1 K p2
G0 ( s)    G1 ( s) G2 ( s)  (2.18)
f1 ( s) y1 ( s) f1 ( s)  p1 s  1  p 2 s  1

atau
1.0

0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4

0.2

0
(2.19)
1 2 3 4 5


t
p

Dimana,
(  ) 2   p 1  p 2
2      p 1   p 2
K p  K p 1 K p 2
Persamaan 2.19 menunjukkan secara jelas bahwa respon sistem
secara menyeluruh adalah orde dua. Dari persamaan 2.18 diketahui
bahwa dua pole dari keseluruhan fungsi transfer adalah real dan berbeda
:
1 1
p1   p2
 p1  p2
jika time constant  p 1 dan  p 2 adalah sama, maka terdapat dua pole
yang sama. Sehingga kapasitas non interaksi dapat dipastikan selalu
menghasilkan sistem orde dua dengan bentuk respon overdamped atau
critically damped. Respon dari dua kapasitas non interaksi terhadap
perubahan unit step adalah sesuai dengan persamaan 2.7 untuk kasus
overdamped dan sesuai dengan persamaan 2.8 untuk kasus critically
damped. Persamaan 2.7 juga eqivalen dengan persamaan berikut :
26


y (t )  K p 1 
1
  t /  t /
 p1 e p 1   p 2 e p 2 

 (2.20)
  p 2   p1 
dimana K p  K p1 K p 2
Untuk kasus N kapasitas non interksi (Gambar 2.4b), fungsi transfer secara
keseluruhan adalah :
K p1 K p 2  K p N
G0 ( s)  G1 ( s) G2 ( s) GN ( s)  (2.21)
(  p1 s  1 ) (  p 2 s  1 )  (  p N s  1 )

Gambar 2.4. Fungsi transfer secara keseluruhan

Gambar 2.5. Kapasitas seri yang tidak berinteraksi

Contoh Kasus 2.1. Dua Kapasitas Non Interaksi Materi Secara Seri
Pada contoh kasus ini dapat dilihat pada Gambar 2.3a. Fungsi transfer
untuk dua tangki adalah :
27

h  1 ( s) K p1
G1 ( s)   dan
F  i ( s)  p 1 s  1
h  2 ( s) Kp2
G2 ( s)  
F  1 ( s)  p 2 s  1
berdasarkan persamaan 1.1, kita dapatkan
K p1  R 1 Kp2  R 2  p1  A 1 R 1  p2  A 2 R 2

dan variabel h1 , h2 , F i , dan F1 adalah bentuk selisih antara dinamik
dan steady state. Diketahui sebelumnya bahwa :
h1
F1 
R1
Sedangkan fungsi transfer secara keseluruhan adalah :
h  2 ( s) K p2
G0 ( s )  
F  i ( s)  p 1 s  1 p 2 s  1
(2.22)

Persamaan 2.22 menunjukkan hubungan antara input ekternal, Fi (t ) ,


dan output akhir, h2 (t ) , merupakan sistem orde dua dengan respon
overdamped. Dengan menggunakan persamaan 2.20 untuk respon dua
kapasitas non interaksi dengan  p 1   p 2 , kita dapatkan

h2 (t )  K p 1 

1
 
  t /  t /
 p 1 e p1   p 2 e p 2 
 p2 p1 
Gambar 2.5 menunjukkkan bentuk respon secara kualitatif, yang memiliki
bentuk yang sama dengan sistem overdamped. Dari gambar ini kita dapat
menyimpulkan bahwa :
a. Respon sistem multi kapasitas yang overdamped dengan perubahan
input unit step akan membentuk huruf – S (pada awalnya lambat
tetapi kemudian akan bertambah cepat). Hal ini kontras dengan
respon sistem orde pertama yang mempunyai laju awal yang cepat.
Bertambahnya bentuk sluggish (sluggishness) atau waktu tunda
28

(delay) yang lama yang disebut juga transfer lag adalah karakteristik
dari sistem multi kapasitas.
b. Semakin bertambah jumlah kapasitas yang disusun seri, delay pada
awal respon (sluggishness) juga akan bertambah besar.

Kapasitas yang saling berinteraksi


Pada kasus ini, kita akan mengambil contoh sistem dua kapasitas pada
Gambar 2.3b. Kesetimbangan massanya adalah :
dh1
A1  Fi  F1 ta ngki 1 (2.23a)
dt
dh2
A2  F1  F2 tangki 2 (2.23b)
dt

Asumsikan resistansi pada laju aliran adalah linier, sebagai berikut:


h h h
F1  1 2 dan F2  2
R1 R2

Persamaan 2.23a dan 2.23b menjadi,


dh
A 1 R 1 1  h1  h2  R 1 Fi (2.24a)
dt
dh2  R  R
A2 R2  1  2  h2  2 h1  0 (2.24b)
dt  R1  R1

Karena sistem ini saling mempengaruhi, maka persamaan 2.24a dan 2.24b
harus diselesaikan secara simultan. Dari sinilah sistem kapasitas yang
saling berinteraksi dapat dikenali, yang ditunjukkan oleh efek mutual
(saling mempengaruhi) dari dua kapasitas.
Pada kondisi steady state, persamaan 2.24a dan 2.24b adalah
h1, s  h2, s  R 1 Fi , s (2.25a)

 R  R
1  2  h2, s  2 h1, s  0 (2.25b)
 R1  R1

Selisih dari persamaan 2.25a dan 2.24a serta 2.25b dan 2.24b dapat ditulis
dalam bentuk variabel berikut ini :
29

dh1
A1 R 1  h1  h2  R 1 Fi (2.26a)
dt
dh2  R  R
A2 R2  1  2  h2  2 h1  0 (2.26b)
dt  R1  R1

dimana h1  h1  h1,s , h2  h2  h2,s dan Fi  Fi  Fi,s .


Transformasi laplace persamaan 2.26a dan 2.26b adalah sebagai berikut

  R  Solusi
 A 1 R 1 s  1 h1 (s)  h2 (s)  R1 Fi  (s)  R 2 h1 ( s)   A 2 R 2 s 1  2  h2 ( s)  0
R1   R 1 

secara terpisah dari persamaan aljabar ini adalah ,

h 1 ( s) 
 p2 R 1  s  R 1  R 2 
Fi ( s)
 p 1  p 2 s   p 1   p 2  A 1R 2  s  1
2
(2.27a)

R2
h 2 ( s)  Fi  ( s)
 p 1  p 2 s   p 1   p 2  A 1R 2  s  1
2
(2.27b)

Dimana  p1  A1 R 1 dan  p 2  A 2 R 2 merupakan time


constant dari kedua tangki. Dari persamaan 2.27a dan 2.27b
menunjukkan bahwa respon keduanya merupakan dinamika sistem orde
dua. Bandingkan persamaan 2.27b yang merupakan dua tangki yang
saling berinteraksi dengan persamaan 2.22 yang tidak saling berinteraksi.
Kedua persamaan ini hanya berbeda koefisien s pada penyebut, yaitu
dengan adanya penambahan constantta A1 R1. Constantta ini disebut
sebagai faktor interaksi dan menunjukkan derajat interaksi antara dua
tangki. Semakin besar nilai A1 R1, maka akan semakin besar interaksi
antara kedua tangki.

Catatan :
1. Dari persamaan 2.27b dapat diketahui bahwa kedua pole pada fungsi
transfer ini adalah :
  p 1   p 2  A 1 R 2      p 2  A 1 R 2   4 p 1 p 2
2
p1
p1, 2  (2.28)
2 p 1 p 2
30

dengan
 p1   p 2  A 1 R 2   4 p1 p 2  0
2

sehingga, pole p1 dan p2 adalah real dan berbeda. Konsekuensinya,


respon dari kapasitas yang saling berinteraksi akan selalu
overdamped.
2. Karena bentuk responnya adalah overdamped dengan pole
p1 dan p2 pada persamaan 2.28, maka persamaan 2.27b dapat
ditulis sebagai berikut,
h  2 ( s) R 2 /  p1  p 2  1  2  R 2 /  p1  p 2 (2.29)
G1 ( s)   
F  i ( s) s  p1  s  p 2  p 1 s  1  1 s  1  2 s  1
Dimana  1   1 / p1 dan  2   1 / p2 . Persamaan 2.29
menunjukkan bahwa interaksi dua kapasitas dapat dilihat
sebagai kapasitas non interaksi tetapi dengan memodifikasi time
constant yang lebih efektif. Jadi jika dua buah tangki yang saling
berinteraksi dipandang sebagai dua tangki yang tidak saling
berinteraksi, maka time constant  1 dan  2 harus disesuaikan dan
tentunya harus berbeda nilai keduanya.
3. Asumsikan dua tangki memiliki time constant yang sama
 p1   p 2   . Maka, persamaan 2.28 menjadi,
 1 p 2  2  A 1 R 2   A 21 R 2 2  4  A 1 R
  1
 2 p1  2  A 1 R 2   A 21 R 2 2  4  A 1 R
Dari sini dapat kita ketahui bahwa efek dari interaksi adalah
untuk mengubah rasio dari efektifitas time constant untuk kedua
tangki (misal, satu tangki responnya lebih cepat dan yang lain lebih
lambat). Karena Respon keseluruhan dari h2 (t) dipengaruhi oleh
kedua tangki, maka makin lambat responnya dan interaksinya makin
sluggish. Sehingga respon kapasitas yang saling berinteraksi lebih
sluggish daripada kapasitas noninteraksi.
31

Contoh kasus 2.2 : Dinamika pada Interaksi dua tangki


Perhatikan interaksi dua tangki pada Gambar 2.3b. A1 = A2 dan R1 = R2 /
2. Sehingga time constantnya adalah  p 1   p 2 / 2   . Persamaan
2.27b menjadi
R2 R2
h2 ( s)  Fi  ( s)  F  ( s) (2.30)
2 s  5 s  1
2 2
0.44 s 1 4.56 s 1 i
Dengan perubahan unit step pada Fi (t ) [ untuk Fi ( s)  1 / s , Setelah
proses invers, persamaan 2.30, menjadi

h2 (t )  R2 1  1.11e  t / 4.56  0.11e  t / 0.44 
atau

F2 (t )  R2 1  1.11e  t / 4.56  0.11e  t / 0.44 
Jika kedua tangki noninteraksi, maka fungsi transfer pada sistem sesuai
dengan persamaan 2.22, yaitu ;
h2 ( s) R2 R2
 
F2 ( s)  p1 s 1 p 2 s 1   s 1  2 s 1
Setelah di invers menjadi,

h2 (t )  R2 1  e  t /   2 e  t / 2 
atau
F2 (t )  1  e  t /   2 e  t / 2
Mari kita bandingkan Respon dari kedua sistem :
a. Kedua sistem adalah overdamped, yang merupakan karakteristiknya
seperti yang telah didiskusikan sebelumnya pada bagian 2.2 (respon
berbentuk huruf S dan tidak berosilasi)
b. Untuk sistem dua tangki non interaksi dengan time constant
 dan 2 jika ditinjau dari sistem dua tangki interaksi maka time
constantnya menjadi 0.44 dan 4.56 ( yang satu diturunkan dan
yang lain dinaikkan). Decay ratiotime constant 1 ke 2 yaitu
0.44 / 4.56  0.1
c. Sebagai hasil dari perubahan time constant yang lebih efektif, respon
dari tangki yang saling berinteraksi akan lebih sluggish, atau makin
32

damped daripada tangki yang tidak berinteraksi. Gambar 2.5


menggambarkan hasil ini.

Contoh Kasus 2.3 : CSTR Sebagai Sistem dengan Interaksi dua kapasitas
CSTR (Chemical Stirred Tank Reactor) mempunyai karakteristik
kemampuan untuk menyimpan massa dan energi. Kedua kapasitas ini
akan berinteraksi jika ada perubahan laju aliran masuk dari pemanas.
Perubahan laju aliran ini akan mempengaruhi level cairan pada tangki,
yang membawa efek pada temperatur pada cairan . Sehingga respon
temperatur terhadap perubahan ini akan berupa sistem orde dua yaitu
overdamped. Ketika tidak ada perubahan aliran masuk dari pemanas,
maka respon temperatur adalah berupa sistem orde pertama.
Pada proses CSTR terjadi pada satu unit pemroses, berbeda dengan
dua tangki yang disusun seri karena terdapat dua unit pemroses. Akan
tetapi CSTR juga merupakan kategori multi kapasitas karena proses
didalamnya melibatkan dua kapasitas yaitu massa dan energi.

2.4 Penurunan Proses Orde Dua


Pada proses ini merupakan proses yang murni mempunyai respon
underdamped dan tidak terbentuk dari sistem orde pertama yang
tersusun secara seri (interaksi atau non interaksi) seperti sistem yang
disebutkan pada bagian sebelumnya. Proses ini jarang terjadi pada proses
industri karena terjadi pada pergerakan massa cairan atau perpindahan
secara mekanis yang melibatkan : (1) momen inersia, (2) resistansi, (3)
kapaistas untuk menyimpan energi mekanik. Resistansi dan kapasitansi
merupakan karakteristik dari sistem orde pertama, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sistem orde kedua dikarakteristikkan dengan adanya
momen inersia. Pada bagian 2.6 akan dijelaskan melalui beberapa contoh.
Hukum Newton yang diterapkan pada sistem adalah sebagai berikut:

 Kesetimbangan gaya 
   Massa sistem x Percepatan. (2.31)
 pada sistem 
d Kecepatan
Percepa tan 
dt
33

d Perpindahan ruang 
Kecepa tan 
dt
 Kesetimbangan gaya  d2
   Massa sistem x Perpindahan ruang  (2.32)
 pada sistem  dt 2

Respon yang terjadi pada persamaan 2.32 merupakan sistem orde kedua.
Persamaan 2.31 dan 2.32 akan menjadi dasar bagi contoh yang diberikan
pada bagian 2.6.

2.5 Sistem Orde Dua Timbul karena Kehadiran Kontroler


Kehadiran sistem kontrol pada proses industri akan merubah orde
pada proses. Mari kita lihat contoh kasus sebagai berikut :

Contoh kasus 2.4 : Proses Orde pertama yang mempunyai respon sistem
orde kedua dengan adanya sistem kontrol pada proses
Perhatikan tangki yang ditunjukkan pada Gambar 1.1a (Contoh kasus
1). Sistem ini merupakan sistem orde pertama yang sederhana dengan
fungsi transfer pada persamaan 2.8. Kita akan mengendalikan level cairan
pada setpoint yang diinginkan ketika terjadi perubahan unit step pada laju
aliran masuk, Fi. Kita akan menggunakan sistem kontrol umpan balik yang
ditunjukkan pada Gambar 2.6a. Pada sistem kontol ini mengukur level
cairan dan membandingkan dengan nilai pada saat steady state. Jika level
berada diatas nilai setpoint, maka laju aliran keluar, Fo, akan dinaikkan
dengan bukaan valve V yang lebih besar dan sebaliknya akan menutup
jika level berda dibawah setpoint. Mari kita lihat bagaimana kehadiran
kontroler ini akan merubah orde pada kelakuan dinamika tangki dari
sistem orde pertama menjadi sitem orde kedua.
Dinamika kesetimbangan massa pada tangki sebagai berikut,
dh
A  Fi  Fo (2.33)
dt
34

Fi
h Proporsional-
Integral controler

(a)
h (t )

 1
 1
 1

(b)
Gambar 2.6. (a) Kontrol umpan balik ; (b) Kelakuan sistem orde dua pada level
cairan
Dalam kondisi steady state didapatkan :
0  Fi , s  Fo, s (2.34)

Selisih persamaan 11.34 dan 11.33 adalah


dh
A  Fi  Fo (2.35)
dt

Selisih variabel ini didefinisikan oleh


h  h  hs , Fi  Fi  Fi ,st , dan Fo  Fo  Fo,st . Ketika level cairan
tidak sesuai dengan nilai yang diinginkan, maka h  0 . Sensor akan
mengukur level h dan dibandingkan dengan nilai yang dikehendaki hs .
Informasi Deviasi (error) h  ini diolah oleh kontroler untuk menaikkan
atau menurunkan laju aliran berdasarkan persamaan berikut :
t
Kc
Fo  Fo, s  K c h  
1  h ( t) dt
0
(2.36)
35

Dimana nilai K c dan 1 adalah parameter yang constant dan bernilai


positif. Berdasarkan persamaan 2.36 diperoleh :
dh
t
K
A
dt
 K c h  c
1  h (t ) dt  F 
0
i (2.37)

Transformasi laplace dari persamaan 2.37 adalah


Kc 1
Ash  ( s)  K c h  ( s)  h  ( s)  Fi ( s)
1 s
atau
 A 1 2   s
 s   1 s  1 h  ( s)  1 Fi ( s) (2.38)
 Kc  Kc

dari persamaan 2.38 dapat kita tentukan fungsi transfer antara input
eksternal Fi  dan output h  (s) sebagai berikut
h ( s) K s
 2 2 p
Fi ( s)  s  2 s  1

A 1 1
Dimana  2  , 2    1 , K p  . Persamaan ini dapat
Kc Kc
ditulis dalam bentuk
A 1 1 Kc 1
 dan 
Kc 2 A

Berdasarkan pada nilai parameter kontrol K c dan  1 , maka kita akan


menjumpai tiga kondisi sebagai berikut :
1. Kc  1 / A  2 . Maka   1 dan respon h  (s) terhadap input step pada
Fi  (s) merupakan sistem underdamped.
2. Kc  1 / A  2 . Maka   1 dan Respon merupakan sistem critically
damped.
36

3. Kondisi terakhir adalah Kc  1 / A  2 . Maka   1 dan merupakan


sistem overdamped. Pada Gambar 2.6b dapat kita lihat respon dinamik
pada level cairan terhadap perubahan unit step pada laju aliran masuk,
dengan menggunakan kontrol dan tanpa kontrol.
Contoh 2.4 mendeskripsikan secara jelas bagaimana kelakuan yang
sederhana dari sistem orde satu pada tangki dapat berubah menjadi
sistem orde dua ketika kontroler proporsional-integral diterapkan pada
proses. Selain itu, juga mengindikasikan bahwa parameter kontrol
K c dan  1 dapat menentukan efek pada dinamika sistem, dengan
kemungkinan tejadinya respon underdamped hingga overdamped.

2.6 Beberapa Contoh Proses Sistem Orde Dua


Sistem yang memang dari asalnya memiliki dinamika orde kedua
dapat menimbulkan osilasi (underdamped), tetapi hal ini jarang terjadi
pada proses industri. Pada bagian ini kita akan membahas tiga contoh
sederhana yang bisa terdapat pada plant yang dapat menimbulkan
dinamika sistem orde dua. Berikut ketiga contoh tersebut :
a. Manometer dan Indikator Level
Perhatikan manometer tabung-U yang ditunjukkan pada Gambar
2.7(a) berikut ini. Ketika tekanan pada kedua sisi atas kaki tabung adalah
sama, maka kedua level cairan akan menunjukkan posisi yang sejajar. Kita
asumsikan bahwa dengan tiba-tiba terjadi perbedaan tekanan
 p  p1  p2 pada kedua kaki manometer, dari sini kita akan
mengetahui respon dinamik level pada kedua kaki manometer tersebut.
p2 p1
Kaki 1 Kaki 2

h
Tangki

Tinggi Awal
 p1  p2  Indikator
h h hm
Titik C

(a) (b)
Gambar 2.7 (a) Manometer; (b) Indikator Level Eksternal
37

Sekarang mari kita aplikasikan hukum newton yang diberikan oleh


persamaan 2.31 pada bidang C manometer. Diketahui bahwa,
 Gaya yang menekan   Gaya yang menekan 
    
 p1 pada kaki 1   p2 pada kaki 2 
 Gaya yang disebabkan 
   Gaya pada 
  beda level liquid    
 pada kedua kaki   Gesekan Fluida 
 
 M assa liquid 
   x Percepatan 
 pada tabung 
atau
 Gaya pada  m dv
A2 2h   
g
p1 A1  p2 A2     (2.39)
gc  Gesekan Fluida  g c dt

dimana :
p1 , p2 = Tekanan pada puncak atas kaki 1 dan 2
A1 , A2 = Luas pada kaki 1 dan 2, biasanya A1  A2  A
 = Massa jenis dari cairan pada manometer
g = percepatan gravitasi
gc = Konstanta konversi
m = Massa cairan pada manometer =  A L
v = Kecepatan rata-rata Cairan dalam tabung
h = Deviasi level antara titik awal dan akhir
L = Panjang cairan pada tabung manometer

Persamaan Poiseuille untuk aliran laminer dalam pipa dapat digunakan


untuk menunjukkan hubungkan gaya friksi pada fluida dengan kecepatan
aliran, yaitu
dh  R 4  p
Laju Volumetric  A  (2.40)
dt 8 L
38

Dimana :
R = Jari-jari pipa dimana cairan mengalir
 = Viskositas aliran cairan
L = Panjang pipa
P = Penurunan tekanan yang disebabkan friksi cairan sepanjang
panjang pipa.
Dari sini, kita terapkan persamaan Poiseuille pada aliran cairan dalam
manometer, yaitu :

 Gaya pada  p  R 2 8 L dh
   A 2 (2.41)
 gesekan fluida  gc R gc dt

dimana  p  p1  p2 , sedangkan kecepatan dan percepatan fluida


adalah sesuai persamaan berikut,
dh dv d 2 h
v dan  (2.42)
dt dt dt 2

Kita masukkan persamaan 2.41 dan 2.42 pada persamaan 2.39, kita
dapatkan
2 g A 8 L dh  A L d 2 h
p A  h 2 
gc R gc dt gc dt 2
Akhirnya, setelah kedua sisi persamaan dibagi oleh 2 g A / gc , maka
persamaan diatas menjadi,
 L  d 2h 4 L dh g
  2   h  c p (2.43)
 2 g  dt  g R dt
2
2 g

Kita tentukan
 2  L / 2 g , 2  4L /  g R 2 , dan K p  g c / 2  g didapatkan :

d 2h dh
2 2
 2  h  K p p (2.44)
dt dt
39

Setelah itu kita tentukan fungsi transfer antara h dan  p yaitu


h ( s) Kp
 2 2 (2.45)
p ( s)  s  2 s  1
Baik persamaan 2.44 maupun 2.45 menunjukkan karaktersistik sistem
orde dua yang diturunkan oleh manometer.
Untuk pengukuran level cairan seringkali kita menggunakan
externally mounted displacement-type transmitter, yang ditunjjukkan
oleh Gambar 2.7b. Pada sistem ini memiliki banyak kesamaan dengan
manometer. Perbedaannya yaitu luas kedua kaki tabung tidak sama dan
perbedaaan tekanan  p (eksternal) disebabkan karena perubahan level
pada tangki utama. Sehingga respon level pada sistem ini, hm merupakan
dinamika sistem orde dua, yaitu
hm ( s) K pm
 2 2 (2.46)
h ( s)  m s  2 m m s  1

b. Tranduser Perbedaan Tekanan Kapasitansi Variabel


Tranduser Perbedaan Tekanan Kapasitansi Variabel merupakan
device yang populer sebagai sensor dan pengirim informasi perbedaaan
tekanan. Sinyal tekanan ditrasmisikan melalui diafragma yang terisolasi
dan mendorong cairan pada sistem kapiler dengan elemen sensor
perbedaan tekanan hingga mencapai batas dari kapiler. Pada proses ini,
tekanan ditransmisikan melalui diafragma kedua yang juga terisolasi
hingga mendorong cairan (minyak silikon) menuju sensor diafragma.
Referensi tekanan akan menyeimbangkan sensor diafragma dengan sisi
lain diafragma ini. Posisi dari sensor diafragma dideteksi oleh lempengan
kapasitor pada kedua sisi diafragma. Perubahan tekanan p1 pada unit
pemroses (misal perubahan pada tekanan tabung, atau perubahan level
cairan pada tangki,dsb) akan membuat tekanan p 2 menekan hingga
batas akhir dari tabung kapiler.
Kesetimbangan gaya pada sekitar kapiler adalah sebgai berikut,
40

 Gaya yang   Gaya yang 


   
 menekan p1 yang   menekan p 2 yang 
 terjadi pada akhir    terjadi pada akhir   massa x  percepa tan 
atau
   
 pipa kapiler 1   pipa kapiler 2 
   

1 A  2 A
 A L   d 2x
(2.47)
gc dt 2
Dimana :
A = Luas pada pipa kapiler
L = Panjang pipa kapiler
 = Massa jenis cairan pada tabung kapiler
x = Perpindahan fluida pada tabung kapiler
= Perpindahan diafragma
Gaya  2 A pada akhir pipa kapiler diseimbangkan oleh dua gaya yaitu,

 Re sis tan si yang   Gaya gesek viscous 


   
 2 A   dibangkitkan diafragma    yang dihasilkan 
 Seperti pada pegas   Fluida  (2.48)
   
dx
K xC
dt
Dimana :
K = Constantta Hooke pada difragma
C = Koefisien damping viskositas cairan dimuka diafragma
Subtitusi persamaan 2.47 ke persamaan 2.48 didapatkan persamaan
berikut,
 A L   d 2 x C dx A
  2   x  1 (2.49)
 K gc  dt K dt K
Persamaan 2.49 secara jelas menyatakan bahwa respon device (misal
perpindahan diafragma, x) merupakan dinamika sistem orde dua
terhadap proses perubahan tekanan p1 . Jika kita tentukan
  A L  / K g c , 2  C / K , dan K p  A / K
2
didapatkan
fungsi transfer sebagai berikut :
41

x (s) Kp
 2 2
p1 ( s)  s  2 s  1

c. Valve Pneumatik
Valve Pneumatik merupakan elemen pengendali akhir (final control
element) yang paling banyak digunakan. Sistem ini menghasilkan
dinamika sistem orde dua. Perhatikan sebuah valve pneumatik pada
Gambar 2.8. Posisi pada stem (atau eqivalen dengan plug pada posisi
bawah stem) akan menentukan besarnya laju aliran yang akan dialirkan.
Posisi dari stem akan ditentukan oleh kesetimbangan gaya yang terjadi
padanya. Gaya-gaya ini yaitu,

Diafragma
p

x Pegas

Stem

Plug

Gambar 2.8 Valve pneumatik

pA = Gaya yang dihasilkan oleh udara terkompresi pada posisi atas


diafragma; tekanan p merupakan sinyal yang akan membukan atau
menutup valve dan A merupakan luasan daerah dari diafragma; Gaya ini
akan mendorong ke bawah
42

Kx = Gaya yang dihasilkan oleh pegas yang melekat pada stem dan
diafragma; K merupakan Konstanta Hooke pada pegas dan x adalah
besarnya perpindahan yang dihasilkan pegas, gaya ini akan mendorong
keatas.
dx
C = Gaya friksi yang arahnya keatas dan disebabkan oleh kontak
dt
stem dengan body valve; C adalah koefisien friksi antara stem dan body.

Kita terapkan sekali lagi hukum Newton dan didapatkan persamaan


berikut,
dx  M  d 2 x
 A  Kx  C  
dt  gc  dt 2

atau
M  d 2 x C dx A
  2  x p
 gc  dt K dt K

Dimana :   M / K gc , 2  C / K , dan K p  A / K . Sehingga


2

persamaan diatas menjadi,


d 2x dx
2 2
 2  x  K p p
dt dt

Persamaan yang terakhir ini menunjukkan perubahan posisi stem, x


merupakan dinamika sistem orde dua. Fungsi tranfernya adalah
x (s ) A/K
 (2.50)
p (s) M / Kg s2  C s  1
c
K

Biasanya M  K gc dan sebagai konsekuensinya dinamika valve


pneumatik dapat didekati oleh sistem orde pertama.
x (s ) A/K
 (2.51)
p (s ) C
s 1
K
BAB III. KONTROL UMPAN BALIK

Pada bab – bab sebelumnya telah dijelaskan penggunaan sistem


kontrol umpan balik. Pada bab ini kita akan mendiskusikan lebih
mendalam tentang elemen hardware yang digunakan pada sistem umpan
balik dan tipe kontroler yang ada.

3.1 Konsep Dasar Kontrol Umpan Balik


Perhatikan proses secara umum yang ditunjukkan pada Gambar 3.1a
dibawah ini. Proses ini memiliki output y , potensial disturbance d , dan
variabel manipulasi m .
d

m
Proses
y

(a)
Mekanisme kontrol
d
ySP +  c Final m
Kontroler Control Proses
Element y
-
ym Device
Pengukur
(b)

Gambar 3.1 (a) Proses dan (b) Hubungan loop Umpan balik

Disturbance d (disebut juga load atau procces load) dapat berubah


dalam kondisi yang tidak dapat diprediksikan dan tujuan dari kontrol
adalah untuk menjaga nilai output y pada nilai yang diinginkan. Aksi
Kontrol umpan balik melalui beberapa langkah berikut ini:
a. Mengukur nilai output (flow, tekanan, level cairan , temperatur,
komposisi) dengan menggunakan device yang sesuai (sensor dan
transmiter), y m adalah nilai yang ditampilkan oleh sensor pengukur
atau displai.
43
44

b. Membandingkan nilai y m dengan nilai yang diinginkan (setpoint) y SP


. Dari sini akan timbul deviasi (error) yaitu   y SP  y m .
c. Nilai deviasi  ini akan disupply ke kontroler. Selanjutnya kontroler
akan membuat perubahan pada sinyal manipulasi variabel m
sedemikian hingga nilai  akan direduksi. Biasanya kontroler tidak
mempengaruhi manipulasi variabel secara langsung tetapi dengan
melalui device yang lain (biasanya kontrol valve), yang disebut sebagai
final control element.
Gambar 3.1b merupakan representasi dengan blok diagram pada
ketiga langkah diatas.
Sistem pada Gambar 3.1a disebut sebagai proses open loop, berbeda
dengan sistem kontrol umpan balikpada Gambar 3.1b yang merupakan
proses closed loop. Ketika terjadi perubahan d atau m , respon proses
yang pertama disebut respon open loop. Sedangkan proses yang kedua
disebut respon closed loop.

Contoh kasus 3.1 : Sistem Kontrol Umpan balik


Berikut beberapa representasi tipe dari sistem kontrol umpan
balik yang banyak terjadi pada proses industri.
a. Kontrol Flow: Dua sistem umpan balik ditunjukkan pada Gambar 3.2
a dan b, fungsinya yaitu mengendalikan laju aliran (flow) F sesuai
setpoint FSP .
b. Kontrol Tekanan: Sistem umpan balik pada Gambar 3.2c
mengendalikan tekanan gas pada tangki sesuai setpoint p SP .
c. Kontrol Level Cairan: Gambar 3.2 d dan e menunjukkan dua sistem
umpan balik yang digunakan untuk mengendalikan cairan pada
bagian bawah dan bagian tangki akumulasi kondensor kolom distilasi.
d. Kontrol Temperatur: Sistem pada Gambar 3.2f mengendalikan
temperatur pada aliran panas keluar sesuai setpoint TSP .
e. Kontrol Komposisi: Komposisi merupakan variabel yang dikendalikan
pada sistem blending yang ditunjukkan pada Gambar 3.2g sesuai
setpoint c SP .
45

Catatan: Untuk menyederhanakan representasi dari mekanisme kontrol


yang diGambar secara ditail pada sistem kontrol yang ditunjukkan
Gambar 3.2, kita akan mengganti dengan singkatan nama variabel yang
dikendalikan, yang ditulis ditengah lingkaran sesuai karakteristik berikut :

FC untuk kontrol laju aliran (Flow Control)


PC untuk kontrol tekanan (Pressure Control)
LC untuk kontrol tinggi permukaan cairan (Level Control)
TC untuk kontrol temperatur (Temperature Control)
CC untuk kontrol komposisi (Composition Control)

Gambar 3.3 a dan b adalah eqivalen dengan Gambar 3.2 b dan d.


Dari contoh-contoh diatas dapat kita simpulkan beberapa hardware yang
digunakan pada loop kontrol umpan balik sebagai berikut :
1. Proses: adalah peralatan yang digunakan pada operasi fisis atau kimia
(misal tangki, heat exchanger, reactor, separator).
2. Instrumen pengukur atau sensor: Contoh thermocouple (untuk
temperatur), bellow atau diafragma (untuk tekanan atau cairan),
oriface plate (untuk flow), gas chromatograph atau beberapa variasi
dari tipe analyzer spectroscopic (untuk komposisi) dan sebagainya.
3. Jalur transmisi: Digunakan untuk membawa sinyal dari sensor ke
kontroler dan mengendalikan sinyal dari kontroler menuju final
kontrol elemen. Jalur ini dapat berupa pneumatik (udara atau gas
terkompresi) atau berupa sinyal elektrik.
4. Kontroler: Yaitu unit yang memutuskan berapa perubahan yang
terjadi pada sinyal manipulasi variabel.
5. Final control elemen: Biasanya berupa kontrol valve atau pompa.
Device ini yang akan menerima sinyal dari kontroler dan
dimplementasikan sesuai dengan nilai manipulasi variabel.
46

Mekanisme  + FSP
Kontroler
Kontrol
-
Fm

DP Cell

F
Orifece Plate

(a)

1.0

0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4

0.2

0
1 2 3 4 5
t
p
(b)
PSP

Differensial Pm +

Pressure
(DP) Cell -

p Kontroler

Mekanisme Kontrol
Fi
Tangki Fo

(c)

h
DP Cell
hm
-
hSP +

Kontroler

Mekanisme
Kontrol

(d)
47

Mekanisme Kontrol
hm + hSP
DP Cell
-

Kontroler

(e)

Mekanisme Kontrol

TSP 
+
-
Tm
Kontroler

Termocouple

(f)

Mekanisme Kontrol

Kontroler 

F1 , c1

+ cSP

-
cm

Chromatograph

c
F2 , c2

(g)

Gambar 3.2 Contoh sistem umpan balik : (a) dan (b) Kontrol flow ; (c) Kontrol
tekanan; (d) dan (e) Kontrol cairan ; (f) Kontrol temperatur; (g) Kontrol
komposisi
48
FC
LT

FT
LC

(a) (b)

Gambar 3.3 Representasi Loop Umpan balik yang disederhanakan

3.2 Beberapa Tipe Kontroler Umpan balik


Antara device pengukur dan final kontrol elemen terdapat kontroler
(Gambar 3.1b). Fungsinya adalah untuk menerima sinyal output terukur,
y m (t ) yang dibandingkan dengan setpoint, y SP untuk menghasilkan
sinyal aktuasi, c(t ) sedemikian hingga output yang keluar sesuai dengan
nilai yang dikehendaki y SP . Input pada kontroler adalah berupa sinyal
error ,  (t )  y SP  y m (t ) dan outputnya adalah c(t ) . Perbedaan
diantara beberapa macam tipe kontroler umpan balik kontinu adalah
bergantung pada hubungan antara nilai  (t ) dan c(t ) .
Sinyal output kontroler umpan balik bergantung pada konstruksinya
dan bisa berupa sinyal pneumatik (udara terkompresi) untuk kontroler
pneumatik atau sinyal elektrik untuk kontroler elektronik.
Terdapat tiga tipe dasar pada kontroler umpan balik yaitu: (1)
proporsional, (2) proporsional-integral, (3) proporsional-integral-
derivatif. Konstruksi secara detail akan berbeda untuk tiap manufaktur,
tetapi pada dasarnya fungsinya adalah sama. Mari kita diskusikan lebih
lanjut.

Kontroler Proporsional (Kontroler P)


Output yang diaktuasi adalah proporsional terhadap error, yang
ditunjukkan oleh persamaan berikut :
c(t )  K c  (t )  cs (3.1)
49

dimana K c = Gain proporsional kontroler dan c s = sinyal bias kontroler


(akan diaktuasi jika   0 ).
Kontroler proporsional dikarakteristikkan oleh nilai gain
proporsional K c atau eqivalen dengan proporsional band PB , dimana
PB  100 / K c . Proporsional band adalah jangkauan dari error yang akan
diubah menjadi sinyal aktuasi hingga nilai maksimumnya. Biasanya,
1  PB  500
Semakin besar gain K c , atau eqivalen dengan semakin kecil nilai
prporsional band, maka akan semakin sensitif sinyal aktuasi yang
dihasilkan kontroler terhadap deviasi  . Deviasi sinyal aktuasi c (t )
sesuai dengan persamaan berikut :
c(t )  c(t )  cs
Selain itu,
c(t )  K c  (t ) (3.2)
Fungsi transfer untuk kontroler proporsional adalah,
Gc (s)  K c (3.3)

Kontroler Proporsional-Integral (PI)


Pada umumnya dikenal sebagai kontroler proporsional-plus-reset. Sinyal
aktuasi ini sesuai dengan persamaan sebagai berikut,
t
Kc
c(t )  K c  (t ) 
1   (t ) dt  c
0
s (3.4)

dimana  I adalah constantta waktu integral atau waktu reset dalam


satuan detik atau menit. Waktu reset merupakan parameter yang dapat
diubah-ubah dan kadang dalam bentuk menit per repeat. Biasanya
nilainya bervariasi pada range berikut ini,
0.1   1  50 min
Beberapa manufaktur tidak mengkalibrasi kontrolernya dalam term  I
tetapi dalam term perulangan, 1 /  I (repeat per menit), yang disebut juga
laju reset.
50

Sekarang kita akan membahas asal dari term “reset”. Pada


Gambar 3.4 ditunjukkan respon dari output kontroler yang dihasilkan oleh
persamaan 3.4. Nilai awal dari output kontroler adalah K c  (kontribusi
dari term integral adalah nol). Setelah periode  I menit, kontribusi dari
mode integral adalah
1
Kc Kc
1   (t ) dt
0

1
  1  K c

sehingga aksi kontrol integral telah mengulang (repeated) respon aksi


proporsional. Perulangan ini berlangsung setiap  I menit.
Waktu Reset adalah waktu yang dibutuhkan oleh kontroler untuk
mengulang perubahan awal dari aksi kontrol proporsional setelah
terjadinya perubahan output.
Aksi kontrol integral akan menyebabkan output kontroler c(t ) akan terus
berubah selama terjadi perubahan error. Sehingga kontroler ini akan
mengeliminasi setiap perubahan error yang kecil.
Dari persamaan 3.4 dapat ditunjukkan fungsi transfernya adalah sebagai
berikut,
 1 
Gc ( s)  K c 1   (3.5)
 I s
c (t )
cs  2 K c

cs  K c

cs

0 1 2 1
Waktu

Gambar 3.4 Respon kontroler PI terhadap perubahan unit step pada error
51

Bagian integral dari kontroler PI menyebabkan outputnya secara


kontinu akan terus berubah selama error tidak nol. Seringkali error tidak
dapat dieliminasi secara cepat, sehingga mempunyai waktu untuk
menghasilkan nilai integral yang semakin besar yang akan menaikkan aksi
kontrol hingga mencapai titik saturasi (valve terbuka atau tertutup
penuh). Kondisi ini disebut sebagai integral windup dan terjadi selama
perubahan operasi yang dilakukan secara manual seperti: shut down,
pergantian dan sebagainya. Ketika proses dikembalikan pada operasi
normal, aksi kontrol akan tetap pada kondisi saturasi dengan overshoot
yang besar. Kontroler PI membutuhkan perhatian yang cukup untuk
mengatasi terjadinya integral windup ini.

Proporsional-Integral-Derivatif (atau Kontroler PID)


Dalam realita industri praktis, kontroler ini dikenal sebagai kontroler
proporsional-plus reset-plus-rate. Output dari kontroler ini sesuai dengan
persamaan berikut,
d
t
Kc
c(t )  K c  (t ) 
1   (t ) dt  K
0
c D
dt
 cs (3.6)

dimana  D adalah constantta waktu derivatif dalam satuan detik atau


menit.
Dengan kehadiran bagian derivatif, d / dt  , kontroler PID akan
mengantisipasi terjadinya error kedepan dan menerapkan aksi kontrol
yang proporsional terhadap perubahan laju error. Dari sifatnya ini, aksi
kontrol derivatif disebut sebagai kontrol antisipasi.
Berikut karakteristik dari kontroler derivatif :
1. Untuk respon dengan error yang constant tetapi tidak nol
menyebabkan tidak terjadinya aksi kontrol karena d / dt  0 .
2. Jika terjadi nois, walaupun sangat kecil (mendekati nol) akan
menyebabkan perhitungan derivatif yang sangat besar dan
menghasilkan aksi kontrol yang besar, walaupun tidak dibutuhkan.
Fungsi transfer kontroler PID adalah sebagai berikut :
52

 1 
Gc ( s)  K c 1  D s  (3.7)
 I s 

Tabel 3.1 Beberapa tipe device pengukur pada kontrol proses


Proses
Variabel Device Pengukur Keterangan
Diukur
Banyak digunakan di
Thermocouple
industri
Temperatur yang relatif
Resistance Thermometer
rendah
Field System
Temperatur Thermometer
Bimetal Thermometer
Digunakan pada
Radiation Pyrometer
temperatur tinggi
Oscilating Quartz Crystal
Dengan float atau
Manometer
displacers
Bourdon Tube Elemen
Bellow Elemen Berdasarkan elastisitas
Diaphragm Elemen Pergeseran material
Pressure
Strain Gages
Untuk mengubah sinyal
Piezoresistivity Elemen tekanan

Piezoelectric Elemen menjadi sinyal listrik


Mengukur karena beda
Oriface Plates pengecilan penampang
aliran
Venturi Flow Nozzle
Flow
Dahl Flow Tube
Kennison Flow Nozzle
Turbin Flow Meter
UltraSound
53

Untuk tingkat
Hot-wire Anemometry
kepresisian yang
tinggi dengan beberapa
Float-Actuated Devices
indikator
Displacer Device dan konverter sinyal
Cairan Head Pressure
Cairan Cairan Device
Conductivity Baik untuk sistem
Measurement dengan dua fase
Dielectric Measurement Fase
Sonic Resonance
Membutuhkan waktu
Chromatographic
yang lama untuk
Analyzer
menganalisanya
Infrared Analyzer
Cocok untuk satu atau
Ultraviolet Analyzer
dua zat kimia
Visible-Radiation
Analyzer
Turbidimetry Analyzer
Tidak terlalu baik untuk
Paramagnetism Analyzer
kontrol
Nephelometry Analyzer Proses
Composition
Potentiometry
Conductimetry
Oscillometric Analyzer
pH Meters
Polarographic Analyzer
CouloMeters
Spectrometers (X-ray, Sangat mahal untuk
Electron, Ion proses dengan
Ion, Mosbauer,
dengan biaya rendah
Raman,etc)
Differential Thermal
Analyzer
54

3.3 Device Pengukur (Sensor)


Keberhasilan operasi sistem kontrol umpan balik bergantung juga
dari pengukuran yang tepat pada output dan tidak terjadinya gangguan
pada sinyal transmisi yang menuju kontroler.
Terdapat banyak jumlah sensor yang dijual di pasaran. Sensor-sensor
ini berbeda satu sama lain dalam hal prinsip dasar perhitungannya dan
karakteristik konstruksinya. Tabel 3.1 merupakan daftar beberapa device
sensor yang banyak digunakan pada berbagai aplikasi dalam proses
kontrol.
Mari kita tinjau lebih lanjut beberapa tipe sensor yang banyak
digunakan untuk mengukur output proses.
 Sensor Flow
Sensor Flow telah banyak dimplementasikan di indutri praktis.
Sensor ini bekerja berdasarkan perbedaan tekanan antara input dan
output sensor. Dengan menggunakan persamaan bernoulli, kita dapat
menghitung laju alirannya. Device ini dapat digunakan baik pada gas
maupun cairan . Oriface plate (Gambar3.5a), Venturi tube (Gambar3.5b),
dan Dall Flow tube merupakan beberapa contoh sensor yang bekerja
berdasarkan prinsip bernoulli. Dari ketiga jenis sensor ini, oriface plate
adalah yang paling banyak digunakan karena sederhana dan paling
murah. Dua jenis berikutnya lebih mahal tetapi lebih akurat.
Sensor flow mempunyai dinamika yang cepat dan dimodelkan
berdasarkan persamaan berikut :
flow    p (3.8)
Dimana  adalah constantta yang ditentukan oleh konstruksi sensor
flow, dan  p adalah perbedaan tekanan yang terjadi antara input dan
output sensor.
Orifeceplate

Tekanan Tekanan
Tinggi Rendah

p p

(a) (b)
Gambar 3.5. Sensor flow : (a) Oriface plate; (b) Venturi tube
55

 Sensor Tekanan atau Aktuasi-Tekanan


Sensor ini digunakan untuk mengukur tekanan proses atau
perbedaan tekanan yang digunakan untuk menentukan cairan cairan
atau laju aliran (oriface plate, venturi tube). Variabel Capacitance
Differential Pressure Tranduser adalah yang paling dikenal. Gambar 2.8
menunjukkan secara sksematis device ini. Perbedaan tekanan
menyebabkan perpindahan kecil pada sensor diafragma. Posisi dari
sensor diafragma dideteksi oleh lempeng kapasitor pada kedua sisi
diafragma. Perbedaan kapasitansi antara sensor diafragma dan lempeng
kapasitor dikonversikan menjadi tegangan dc. Kesetimbangan gaya
disekitar sensor diafragma menurunkan persamaan orde dua sebagai
berikut :
d 2z dz
2 2
 2   z  Kp  p (3.9)
dt dt
Dimana :
z = Perpindahan pada sensor diafragma
p = Perbedaan aktuasi tekanan
 ,  , K p = Tiga parameter pada sistem orde dua, ditentukan oleh
konstruksi dari device.
Dinding
Dinding ThermoWell
ThermoWell

Temperatur
Temperatur Proses , T
Proses , T Temperatur Temperatur
Termocouple, Tm Termocouple, Tm

Resistansi Resistansi Resistansi


eksternal Film, h eksternal Film, h eksternal Film, ho

(a) (b)
Gambar 3.6 Thermocouple dengan: (a) Resistansi hanya pada film eksternal (b)
Resistansi pada film internal dan eksternal

 Sensor Temperatur
Yang paling umum digunakan mensensor temperatur adalah
thermocouple, resistance bulb thermometer, dan thermistor. Keseluruhan
sensor ini menghasilkan sinyal listrik. Walaupun berbeda konstruksi satu
sama lain, sifat dinamiknya adalah didasarkan pada terjadinya perubahan
56

temperatur seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.6a dan b. Elemen


sensing temperatur akan selalu berada didalam thermowell (Gambar3.7).
Pada kasus pertama (Gambar 3.6a)

Thermocouple

Thermowell

Dinding
Thermowell

Gambar 3.7 Susunan Tipikal Thermocouple


kita asumsikan bahwa resistansi terbesar terhadap transfer panas adalah
terletak pada casing thermowell. Pada kondisi ini hanya terdapat
kapasitas dengan resistansi tunggal. Dari bab 2 telah kita ketahui bahwa,
sistem seperti ini merupakan sistem orde pertama yang dimodelkan
sebagai berikut :
dT
 p m  Tm  T (3.10)
dt
Pada kasus kedua (Gambar 3.6b), terdapat resistansi perpindahan lapisan
panas didalam dan diluar casing thermowell. Hal ini eqivalen dengan dua
kapasitas yang tersusun seri dan seperti kita ketahui pada Bab 2,
thermocouple akan membentuk kelakuan orde dua (overdamped) yaitu :
d 2Tm dT
2 2
 2   m  Tm  T (3.11)
dt dt

T
Tm

A
B

Gambar 3.8. Respon Thermocouple dengan resistansi film tunggal (kurva a) dan
resistansi dua film (kurva b)
Parameter  dan  bergantung pada karakteristik kontruksi dan material
yang digunakan sebagai device pengukur temperatur. Telah jelah bahwa
57

respon thermocouple yang dimodelkan oleh persamaan 3.11 adalah lebih


lambat responnya daripada thermocouple yang dimodelkan pada
persamaan 3.10 (dapat dilihat pada Gambar 3.8).

 Analizer Komposisi
Contoh dari sensor ini adalah gas chromatograph dan beberapa tipe
spectroscopic analyzer. Sensor ini digunakan untuk mengukur komposisi
cairan atau gas yang terdiri atas satu atau dua komponen atau
keseluruhan komponen pada aliran proses.
Analyzer komposisi memiliki permasalahan pada responnya, yaitu
menghasilkan dead time atau delay yang sangat besar. Contoh untuk
kolom chromatographic, waktu yang dibutuhkan oleh sampel untuk
melakukan perjalanan dari aliran proses menuju kolom, ditambah waktu
yang dibutuhkan dalam perjalanan sepanjang kolom, ditambah waktu
yang dibutuhkan detektor untuk meresponnya pada akhir kolom,
tentunya akan memerlukan waktu yang sangat lama. Hasil delay yang
sangat lama ini menyebabkan kontrol menjadi tidak efektif.
Karakteristik dari analyzer komposisi adalah : (1) reliability
operasional yang rendah (sering dikalibrasi ulang atau lebih mudah terjadi
kerusakan dibandingkan sensor variabel termodinamik) dan (2) harganya
relatif mahal (3) respon yang lambat akan menimbulkan masalah pada
pengendalian.

3.4 Jalur Transmisi


Jalur ini digunakan untuk membawa sinyal pengukur menuju
kontroler dan dari sinyal kontrol menuju final kontrol elemen. Ada dua
tipe jalur transmisi yaitu : pneumatic (udara terkompresi, cairan ) dan
sinyal listrik.
Jika proses tidak berubah sangat cepat atau jalur transmisi tidak
panjang, maka kelakuan dinamika pada jalur transmisi pneumatik dapat
diabaikan. Ketika terjadi sebaliknya, maka dinamika pada jalur transmisi
harus diperhitungkan. Berikut fungsi transfer antara tekanan pada outlet
(Po) dan tekanan pada inlet (Pi),
58

 s
Po ( s) e D

Pi ( s)  p s  1
dengan  d /  p  0.25 .

3.5 Final Control Elemen


Ini merupakan komponen hardware pada loop kontrol yang
diimplementasikan pada aksi kontrol. Komponen ini akan menerima
output dari kontroler (sinyal aktuasi) dan berubah sesuai dengan nilai
yang dihasilkan oleh variabel yang dimanipulasi.
Udara
Udara

Liquid
Liquid

(a) (b)
Gambar 3.9 Valve pneumatik : (a) Fail open ; (b) Fail closed

Final kontrol elemen yang paling umum digunakan adalah valve


pneumatik (Gambar 2.9). Ini merupakan valve yang dioperasikan oleh
udara dengan mengendalikan flow yang menuju oriface dengan
memposisikan plug secara tepat. Pergerakan plug ini dibatasi oleh bagian
bawah dari stem (seated) dan oleh difragma pada bagian atas. Ketika
tekanan udara (output kontroler) diatas diafragma naik, stem bergerak
turun sehingga menghalangi aliran fluida menuju oriface. Valve semacam
ini disebut valve “air-to-close” (Gambar 3.9a). Jika tidak ada supply udara
diatas diafragma, maka valve akan “fail open” karena pegas akan
mendorong stem dan plug kearah atas. Terdapat juga valve pneumatik
yang bekerja dengan arah yang berlawanan, yang disebut “air-to-open”
atau “fail closed” (Gambar 3.9b). Sebagian besar valve yang ada di industri
bergerak dari terbuka penuh hingga tertutup penuh dengan adanya
59

perubahan pada tekanan udara pada bagian atas diafragma dari 3 hingga
15 psig.

Square Root Linier Equal Percentage

Hiperbolik Quick Opening

Gambar 3.10 Tipe plug pada valve pneumatik

Pada Gambar 2.9 telah kita turunkan persamaan model matematika


yang mendeskripsikan kelakuan dinamik dari kontrol valve pneumatik.
Dari penurunan model menunjukkan bahwa kontrole valve merupakan
sistem orde dua. Akan tetapi untuk kebanyakan valve yang berukuran
kecil atau sedang respon yang dihasilkan sangat cepat sehigga dinamika
yang dihasilkan diabaikan. Dalam situasi seperti ini, hanya constantta gain
yang tetap akan digunakan, yang berhubungan dengan output dari
kontroler (sinyal tekanan udara) terhadap laju cairan yang melalui valve.
Untuk cairan nonflash, flow yang melalui valve sesuai dengan
persamaan berikut,
p
F  K f ( x)

60

Dimana:
 p = Penurunan tekanan yang melalui valve
K = Constantta, bergantung pada ukuran valve
 = spsifik gravitasi pada cairan yang melalui valve (relative
terhadap air)
f (x) = Kurva karakteristik flow yang melalui valve.

Kurva karakteristik flow pada valve, f (x) , bergantung pada bentuk


geometri pada permukaan plug. Gambar 3.10 menunjukkan beberapa
tipe plug yang umum digunakan, sedangkan Gambar 3.11 menunjukkan
karakteristik kapasitas flow pada berbagai macam valve.
Final kontrol elemen yang lain adalah relay yang digunakan untuk
start dan stop beberapa peralatan, motor atau kipas yang dikendalikan,
aktuator elektrohidrolik dengan beban berat dsb.

Gambar 3.11. Karakteristik kapasitas flow untuk berbagai valve


BAB IV. DINAMIKA PROSES KONTROL UMPAN BALIK

Pada Bab 3 telah kita bahas dasar dari sistem kontrol umpan balik
serta komponen hardwarenya. Pada bab ini akan kita ketahui kelakuan
dari sebuah proses yang dikendalikan oleh sistem kontrol umpan balik
ketika terjadi perubahan setpoint y SP dan distrubance d .

4.1 Diagram Blok dan Respon Closed loop


Perhatikan sistem closed loop secara umum pada Gambar 3.1b. Pada
masing-masing empat komponennya (proses, device pengukur,
mekanisme kontrol dan final kontrol elemen) dapat kita turunkan fungsi
transfer antara output dan input-nya. Dengan asumsi dinamika pada jalur
transmisi diabaikan, berikut fungsi transfer masing-masing
komponennya:
Proses :
y (s)  G p (s) m (s)  Gd (s) d (s) (4.1)

Device Pengukur :
y m (s)  Gm (s) y (s)
(4.2)
Mekanisme Kontrol:
 (s)  y SP (s)  y m (s) Komparator
(4.3a)

(4.3b)
c (s)  Gc (s)  (s) Aksi Kontrol

Final Kontrol Elemen:


m ( s)  G f ( s) c ( s) (4.4)

Dimana G p , Gd , Gm , Gc , dan G f adalah merupakan fungsi transfer


antara output dan input
Gambar 4.1 menunjukkan diagram blok secara umum pada sistem
closed loop dan merupakan representasi dari persamaan 4.1, 4.2, 4.3a,
4.3b dan 4.4.
65
66

Blok antara komparator dan output kontroler (yaitu


Gc , G f , dan G p ) merupakan jalur forward, sedangkan blok G m adalah
jalur umpan balik antara output kontroler dan komparator. Pada Gambar
4.2a menunjukkan bentuk sederhana tetapi masih eqivalen dengan
diagram blok sebelumnya.
d (s )

Gd (s )

ySP (s )  (s ) c (s) m (s ) +
+ y (s )
+
Gc (s ) G f (s ) G p (s )
-
Kontroler Elemen Pengendali
Alkhir Proses

ym (s)
Gm (s)

Device Pengukur

Gambar 4.1. Diagram blok sistem closed loop secara umum

Persamaan 4.2 dan 4.3 dapat disusun dalam persamaan berikut :


m (s)  G f (s) c (s)  G f (s) Gc (s)  (s)

Menggunakan persamaan 4.3b


 G f (s) Gc (s) y SP (s)  y m (s)

Menggunakan persamaan 4.3a


 G f (s) Gc (s)  y SP (s)  Gm (s) y (s)

Menggunakan persamaan 4.2


Subtitusikan persamaan 4.2 diatas ke persamaan 4.1 :
y (s)  G p (s) G f (s) Gc (s) y SP (s)  Gm (s) y (s)   Gd (s) d (s)

Dan setelah disusun ulang, didapatkan persamaan berikut :

G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gd ( s )
y ( s)  4 y SP ( s)  d ( s)
1  G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gm ( s) 1  G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gm ( s)
(4.5)
67

Persamaan 4.5 merupakan persamaan sistem closed loop proses. Pada


persamaan ini terdiri atas dua bagian. Pada bagian pertama menunjukkan
efek dari output terhadap perubahan setpoint, sedangkan bagian kedua
menunjukkan efek dari output terhadap perubahan load (disturbance).
Secara terpisah dapat ditulis sebagai berikut :
G p G f Gc G
  GSP (4.6)
1  G p G f Gc G m 1  G Gm
Merupakan fungsi transfer closed loop terhadap perubahan setpoint
dan
Gd Gd
  Gload (4.7)
1  G p G f Gc G m 1  G Gm
d (s )

Gd (s ) d (s )
 (s)
+
ySP (s ) + y (s )
+ G (s ) Gload (s )
-

+ y (s )
ySP (s )
Gm (s ) GSP (s )
+

(a) (b)
Gambar 4.2. Penyederhanaan diagram blok

Merupakan fungsi transfer terhadap perubahan load. Gambar 4.2b


menunjukkan diagram blok yang eqivalen dengan Gambar 4.2a tetapi
lebih sederhana.

Kasus Permasalahan Servo : Kita asumsikan tidak terjadi perubahan


disturbance ( d ( s)  0 ) ketika terjadi perubahan setpoint. Fungsi
kontroler adalah untuk menjaga y tetap pada y SP . Dengan demikian,

y (s)  GSP (s) y SP (s) (4.8)

Permasalahan Regulator : Setpoint dalam keadaan constant [ y SP  0 ]


ketika terjadi perubahan disturbance. Sehingga,
68

y(s)  Gload (s) d (s) (4.9)

Pada kondisi ini, peran kontroler adalah untuk mengeliminasi perubahan


load yang terjadi dan menjaga y tetap pada setpoint .
Dari persamaan 4.6 dan 4.7 dapat dilihat bahwa fungsi transfer closed
loop secara keseluruhan yaitu GSP dan Gload tidak hanya bergantung pada
dinamika proses, tetapi juga pada dinamika sensor, kontroler dan final
kontrol elemen.

Contoh Kasus 4.1 : Respon Closed Loop pada Level Cairan dalam Tangki
Perhatikan sistem kontrol pada tangki yang ditunjukkan pada Gambar
4.3a.
Fi

hSP (s )
hm (s ) +
- c
h DPC Gc (s )

Fo

DPC : Differensil Pressure Cell

(a)
Fi (s )

1
G 
d As

 (s) K
+

p(s ) 1 c (s ) v Fo (s ) 1 h (s )
Gc  K (1  
-
) G Gp 
+
- c Is f  v s 1 As

Proses

hm (s ) K 
p
G  2 2
m  s  2 s  1

(b)
Gambar 4.3. (a) Pengendalian closed loop level cairan (b) Diagram blok
69

Level h merupakan output kontroler, sedangkan Fi adalah load


(disturbance) dan Fo adalah variabel yang dimanipulasi. Fungsi transfer
untuk masing-masing komponen loop umpan balik adalah sebagai
berikut:

Proses. Kesetimbangan materi pada tangki sebagai berikut,


dh
A  Fi  Fo
dt
Telah kita ketahui bahwa
1 1
h ( s)  Fi ( s)  Fo ( s) (4.10)
As As
Device Pengukur. Device ini digunakan untuk mengukur tekanan
berdasarkan Level h pada cairan . Kita dapat menggunakan device
variabel capacitance differential pressure (Subbab 3.3). Dinamika
responnya sesuai dengan persamaan 3.9. Jika  p   h , dimana 
merupakan constantta, maka
d 2z dz
2 2
 2   z  K p  p  K p h
dt dt
Dengan z  hm (nilai yang ditunjukkan oleh device pengukur). Sehingga
fungsi transfer sensornya adalah sebagai berikut :
K p
hm ( s)  2 2 h ( s) (4.11)
 s  2  s  1

Kontroler. Jika hSP .adalah setpoint, maka


 (s)  hSP (s)  hm (s)
Dan untuk kontroler PI [persamaan 3.5] adalah

 1 
c ( s)  K c 1    ( s)
  1s  (4.12)
70

Kontrol valve. Kita asumsikan kontrol valve yang digunakan mempunyai


respon sistem orde satu, yaitu
Kv (4.13)
Fo ( s)  c ( s)
vs  1
Gambar 4.3b menunjukkan diagram blok untuk sistem kontrol closed loop
yang menampilakan fungsi transfer untuk masing-masing loop. Respon
closed loop untuk level cairan sesuai dengan persamaan 4.5, dimana
fungsi transfer untuk G p , Gd , Gm , Gc , dan G f ditunjukkan pada
Gambar 4.5. Permasalahan servo muncul ketika laju aliran masuk Fi
tetap pada kondisi constant dan kita akan merubah nilai setpoint-nya.
Pada kasus ini kontroler menjaga agar Level h sesuai dengan perubahan
nilai hSP Sebaliknya, untuk kasus regulator, tidak dilakukan perubahan
pada setpoint hSP . Sehingga fungsi kontroler adalah untuk mengeliminasi
load yang terjadi agar nilai h tetap pada setpoint hSP

Contoh Kasus 4.2 : Respon Closed Loop Temperatur pada Tangki Pemanas
Perhatikan sistem kontrol temperatur pemanas pada Gambar 4.4a.
Temperatur T adalah output kontroler, sedangkan input temperatur Ti
adalah load dan temperatur uapnya adalah sebagai manipulasi variabel.
Fungsi transfer untuk masing-masing komponen loop umpan balik
yaitu :
Proses. Jika T (s) , Ti , dan Tst adalah variabel dinamik, respon pada
prosesnya adalah,
71

Ti

T Thermocouple

T SetPoint
Kontroler

Steam
TST

(a)
Ti (s )

1

Kontroler Kontrol Valve sa
 (s) K T (s)

+
TSP (s ) + v TST (s ) K +
K
-
c  v s 1 sa

Proses

Thermocouple

K
m

(b)
Gambar 4.4 (a) Pengendalian close loop temperatur; (b) Diagram blok
1/ K
T ( s)  Ti ( s)  Tst ( s) (4.14)
sa sa

Parameter  ,  , dan K telah didefinisikan pada Contoh kasus 5.1.dan


9.1.
Sensor Temperatur (thermocouple). Asumsikan bahwa respon dari
temperatur adalah sangat cepat, sehingga dinamika yang terjadi dapat
diabaikan. Maka,
Tm (s)  K mTm (s) (4.15)

Kontroler. Jika TSP adalah setpoint, maka:


 (s)  TSP (s)  Tm (s)
72

(4.16a)

Dan untuk kontroler proporsional output aktuasi adalah sebagai berikut :

c ( s)  K c  ( s) (4.16b)

Kontrol Valve. Asumsikan dinamika sistem orde pertama sebagai berikut:


Kv
Tst ( s)  c ( s) (4.17)
vs  1
Gambar 4.4b menunjukkan diagram blok untuk sistem closed loop dengan
fungsi transfer untuk tiap komponen loop. Respon closed loop-nya adalah
sebagai berikut :
T (s)  GSP (s)TSP (s)  Gload (s)Ti (s)
Sedangkan fungsi transfer untuk GSP dan Gload didefinisikan sebagai
berikut :
 K 
 K c 
Kv

s  a vs  1
GSP ( s) 
 K   
1   K c K c  K v 
s  a  v s  1

Dan
 1/ 
 
 s  a
Gload ( s) 
 K   
1   K c K c  K v 
s  a  v s  1
Untuk mengenali konstruksi keseluruhan fungsi transfer untuk tiap loop
kontrol umpan balik, gunakan acuan berikut :
1. Bagian penyebut dari keseluruhan fungsi transfer yaitu bagian load
dan setpoint adalah sama, sesuai dengan :
1  Perkalian Fungsi Transfer Seluruh Loop
atau
1  G p Gm Gc G f
73

2. Bagian pembilang untuk keseluruhan fungsi transfer closed loop


adalah hasil perkalian seluruh fungsi transfer pada jalur forward yaitu
antara setpoint atau load dengan output kontroler. Jadi :
a. Fungsi transfer pada jalur forward antara setpoint y SP dan output
y adalah Gc , G f dan G p .Sehingga pembilangnya adalah
Gc G f G p
b. Fungsi transfer pada jalur forward antara load d dan outputnya
adalah G d .Sehingga pembilangnya hanya G d .
Acuan ini berlaku jika persamaan pada seluruh fungsi
transfernya yaitu GSP dan Gload (sesuai dengan persamaan 4.6 dan
4.7). Acuan ini juga bisa digunakan untuk memformulasikan pada
kasus fungsi transfer closed loop dengan input apapun dan outputnya

4.2 Efek Kontrol Proporsional pada Respon Pengendalian Proses


Mari kita amati bagaimana perubahan respon pada sistem yang
tidak dikendalikan (open loop) dengan sistem yang dikendalikan dengan
kontroler umpan balik yaitu proporsional, intergral atau dengan derivatif.
Pada bagian ini kita akan membahas hanya pada kontroler proportional
dan efek yang ditimbulkan pada proses sistem orde satu dan dua.
Respon closed loop sebuah proses sesuai dengan persamaan 4.5.
Untuk menyederhanakan analisa kita asumsikan,
Gm ( s )  1 dan G f ( s)  1
Serta untuk kontroler proporsional,
Gc (s)  K c
Maka persamaan 4.5 menjadi,

G p ( s) K c Gd ( s )
y ( s)  y SP ( s)  d ( s)
1  G p ( s) K c 1  G p ( s) K c (4.18)
74

Sistem Orde Satu


Untuk sistem orde satu
dy
 p  y  K p m  K d d dengan y(0)  m(0)  d (0)  0
dt
Yang dapat ditulis dalam bentuk,
Kp Kd
y ( s)  m ( s)  d ( s)
 ps  1  ps  1
Untuk sistem open loop didefinisikan sebagai berikut :
Time constant :  p
Gain Statik : K p pada sistem dan K d pada load
Jika
Kp Kd
G p ( s)  dan Gd ( s)  d ( s)
 ps  1  ps  1
Yang sesuai dengan persamaan 4.18. Untuk respon closed loop-nya
adalah sebagai
berikut :
K p Kc Kd
y ( s)  y SP ( s)  d ( s)
 p s  1  K p Kc  p s  1  K p Kc

Persamaan ini dapat disusun kembali sebagai berikut :


K p K d
y ( s)  y SP ( s)  d ( s) (4.19)
 p s  1  p s  1
Dimana,

p
 p  (4.20a)
1  K p Kc
K p Kc (4.20b)
K p 
1  K p Kc
Dan
Kd (4.20c)
K d 
1  K p Kc
75

Parameter K p dan K d disebut sebagai gain statik closed loop.


Dari persamaan 4.19 dapat kita simpulkan respon untuk sistem orde satu
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Sistem tetap tidak berubah, yaitu masih tetap sistem orde satu
dengan perubahan setpoint dan load.
b. Time constant akan tereduksi  p   p  , yang berarti respon closed
loop akan bertambah cepat, daripada respon open loop terhadap
perubahan setpoint dan load.
c. Gain statik akan menurun.
Untuk melihat lebih jauh efek dari kontroler proporsional,maka
dilakukan perubahan unit step pada setpoint (permasalahan servo) dan
load (permasalahan regulator). Untuk permasalahan servo, y SP ( s)  1 / s
dan d ( s)  0 .Maka persamaan 4.19 menjadi,
K p 1
y ( s) 
 p s  1 s
Setelah diinvers menjadi,


y (t )  K p 1  e
 t /  p
 (4.21)

Gambar 4.5 menunjukkan respon sistem closed loop terhadap perubahan


unit step pada setpoint. Dapat kita lihat bahwa :

Respon akhir, setelah t   , tidak pernah mencapai setpoint yang baru.


Kondisi ini disebut sebagai Offset , yang sama dengan :
Offset = (Setpoint Baru) - (Nilai Akhir Respon)
K p Kc 1
= 1  K p  1  
1  K p Kc 1  K p Kc
Offset dikarakteristikkan oleh efek dari kontrol proporsional. Offset akan
semakin berkurang bila K c semakin besar dan secara teoritis :
offset  0 ketika Kc 
76

Untuk permasalahan regulator, y SP  0 . Perhatikan perubahan unit step


pada load [ d ( s)  1 / s ] pada persamaan 4.19 berikut ,
K d 1
y ( s) 

 ps  1 s
Dan setelah diinvers menjadi,
y (t )  K d 1  e   t /  p

y
y Tanpa Kontrol
y SP (t ) 1
1

y (t ) Dengan Kontrol
1
Offset 
1 K p K c
Offset
y SP (t )
t t

(a) (b)
Gambar 4.5. Respon closed loop pada sistem orde satu dengan kontroler P,
terhadap perubahan unit step (a) pada setpoint (b) pada disturbance

Gambar 4.5b menunjukkan respon pada load dengan perubahan


unit step. Kita amati sekali lagi bahwa kontroler proporsional tidak dapat
menjaga respon pada setpoint yang diinginkan karena adanya offset yaitu
:

Offset = (Setpoint Baru) - (Nilai Akhir Respon)


= 0  K d  Kd
1  K p Kc
Keuntungan dari kontrol proporsional terhadap perubahan load
dapat dilihat pada Gambar 4.5b. Walaupun tidak dapat manjaga respon
proses pada setpoint yang dikehendaki karena terjadinya offset,
bagaimanapun juga respon masih tetap lebih dekat dengan setpoint jika
dibandingkan tanpa menggunakan kontrol sama sekali. Ketika kita
menaikkan nilai K c maka offset makin berkurang, secara teorotis :
offset  0 ketika Kc 
77

Catatan :
a. Walaupun offset mempunyai kecenderungan mendekati nol bila
K c   , kita tidak bisa menggunakan nilai K c yang terlalu besar
pada kontrol proporsional. Alasannya menjadi lebih jelas pada bab
berikutnya, yaitu pada pembahasan analisa kestabilan pada sistem
closed loop.
b. Jika Gm  K m dan G f  K f ., dapat ditunjukkan bahwa offset akan
menjadi :
Untuk perubahan unit step pada setpoint ,
K p Kc K f
Offset  1 
1  K p Kc K f Km
Untuk perubahan unit step pada load,
Kd
Offset  
1  K p Kc K f Km
c. Pada bagian selanjutnya kita hanya akan menganalisa respon pada
permasalahan servo dengan asumsi pembaca dapat menganalisa
sendiri pada permasalahan regulator seperti yang dicontohkan pada
sistem orde satu diatas.
d. Ketika kontroler proporsional digunakan untuk mengendalikan
proses yang mempunyai karakteristik 1 / s pada fungsi transfernya,
maka responnya tidak meninggalkan offset dengan adanya
perubahan setpoint, tetapi akan timbul offset pada perubahan
gangguan. Mari kita demonstrasikan sifat penting ini pada sistem
kontrol level cairan yang ditunjukkan pada Gambar 4.6a. Output Fo
adalah constant dan level dikendalikan dengan memanipulasi laju
aliran Fi . Sedang yang menjadi load-nya (disturbance) adalah Fd .
Dalam bentuk variabel dinamik, kesetimbangan materi pada tangki
adalah:
dh
A  Fi  Fd
dt
78

Dalam bentuk domain laplace,


1 1 1
h ( s)  Fi ( s)  Fd ( s) Dengan G p ( s) 
As As As
Kontroler yang digunakan adalah kontroler proporsional dan untuk
penyederhanaan, Gm  G f  1 .
Blok diagram untuk sistem closed loopnya ditunjukkan pada Gambar
4.6b, yaitu :
Fi Fd

Fo= Konstan

(a)
Fd

Gd  1
hSP As
+ Fi  h
+

G K G 1 Gp  1 +
- c c f As

G 1
m
(b)
Gambar 4.6.(a) Murni integrator (b) Diagram blok

1 1/ K c
h ( s)   ( s) 
hSP Fd ( s)
A A
s 1 s 1
Kc Kc
79

Untuk perubahan unit step pada setpoint dengan


 ( s)  1 / s dan Fd ( s)  0 , maka :
hSP
1
h ( s) 
A
s 1
Kc
Dari teorema nilai akhir diperoleh,

h  t    lim s h (s)  1
s 0

Sehingga,
  h t    1  1  0
Offset  hSP
Untuk perubahan unit step pada load,
1/ K c 1
h ( s) 
A s
s 1
Kc
Dan

s 0
 
h  t     lim s h ( s) 
1
Kc
Maka,
1 1
Offset  0    0
Kc Kc
Untuk sistem kontrol cairan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
4.6a, biasanya kita tidak benar-benar menjaga level cairan tepat dengan
nilai yang dikehendaki, tetapi pada jangkauan tertentu. Dengan demikian,
nilai offset 1 / K c masih dapat diterima untuk nilai K c yang besar. Dari
sini, kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu,
Level pada cairan dapat dikendalikan secara efektif dengan kontroler
proporsional
Kesimpulan yang sama berlaku juga pada sistem tekanan gas yang fungsi
transfernya terdapat unsur . 1 / s
80

Sistem Orde Dua (permasalahan Servo)


Fungsi transfer untuk proses sistem orde dua adalah
y ( s) Kp
G p ( s) 
m ( s)  s  2   s  1
2 2

Tempatkan persamaan ini pada persamaan 4.18 dan untuk permasalan


servo d ( s)  0 , kita dapatkan,
K p (4.22)
y ( s)  y SP ( s)
( ) s  2    s  1
2 2

Dimana
 (4.23a)
 
1  Kp K c
  (4.23b)
1  K p Kc
K p Kc
K p  (4.23c)
1  K p Kc
Dari persamaan diatas, dapat kita ketahui bahwa respon closed loop
sistem orde dua dengan kontroler proporsional memiliki karakteristik
sebgai berikut :
Sistem tetap orde dua
Gain statik menurun
Baik periode natural maupun faktor damping juga menurun.

Hal ini mengindikasikan bahwa pada proses overdamped, dengan


kontroler proporsional dan dengan K c yang tepat, maka responnya akan
menjadi underdamped (berosilasi).
Perhatikan unit step pada setpoint [ y SP ( s)  1 / s ]. Maka
K p 1
y ( s) 
( ) s  2    s  1 s
2 2

Berdasarkan nilai   , invers fungsi transfer diatas adalah sesuai dengan :


Persamaan 1.7 untuk kasus overdamped    1 , atau
Persamaan 1.8 untuk kasus critically damped    1 , atau
Persamaan 1.9untuk kasus under damped    1
81

Nilai akhir y (t ) yang sesuai dengan teorema nilai akhir tidak bergantung
pada besarnya   , sehingga
K p Kc
y t     lim s y ( s)  K p 
s 0 1  K p Kc
Konsekuensinya, sekali lagi offset akan ada, yaitu:
Offset = (Setpoint Baru) - (Nilai Akhir Respon)
K p Kc 1
= 1 
1  K p Kc 1  K p Kc
Jadi,
Offset  0 untuk K c  

Catatan:
1. Berdasarkan pada nilai faktor damping untuk sistem orde dua yang
tidak dikendalikan, persamaan 4.23 juga akan memiliki 3
kemungkinan. Jika    1 , Respon menjadi overdamped pada sistem
kontrol closed loop akan sangat sluggish. Sehingga kita harus
menaikkan nilai K c dan buat    1 . Kemudian respon closed loop
akan bereaksi secara cepat tetapi berosilasi. Selain itu, dengan
menaikkan K c , offset akan semakin turun.
2. Naiknya kecepatan respon sistem dan turunnya offset dapat
mengakibatkan terjadinya overshoot yang tinggi (maksimum error)
dan osilasi yang lebih lama. Maka, dengan naiknya K c , menyebabkan
  menurun :
a. Dari persamaan 1.11 dapat kita lihat overshoot meningkat
b. Persamaan 1.12 menunjukkan decay ratio juga meningkat
c. Dan persamaan 1.13 menunjukkan bahwa periode osilasi untuk
respon closed loop akan menurun dengan menurunnya   .
Seluruh penjelasan diatas ditunjukkan pada Gambar 4.7.
82

y (t )

Kc3
Kc2

K c1
K c1  K c 2  K c 3

t
Gambar 4.7. Efek gain pada respon closed loop pada sistem orde dua dengan
kontroler Proporsional

4.3 Efek Kontrol Integral


Pada bagian ini kita akan mengulang kembali analisa yang sama pada
bagian sebelumnya dengan mengganti kontroler proporsional dengan
integral. Untuk permasalahan servo [ d ( s)  0 ], persamaan 4.15
menjadi,
G p G f Gc
y ( s)  y SP ( s) Gm  G f  1 (4.24)
1  G p G f Gc G m
Untuk penyederhanaan, maka,
Gm  G f  1
Untuk persamaan orde satu dapat kita tulis kembali, yaitu :
Kp
Gp 
 ps  1
Dan untuk aksi kontroler integral diberikan oleh persamaan berikut :
1
Gc  K c
Is
Subtitusikan G p , Gm , Gc , G f ke persamaan 4.24, menjadi :
83

 K p  
  Kc 1 
 s  1   
 p   Is 
y ( s)  y SP ( s)
 K p  
1   K 1 
 s  1  c  s
 p  I 
Atau
1
y ( s)  y SP ( s) (4.25)
 2 s 2  2  s  1
Dimana
 I p
 (4.26a)
K p Kc

1 I
 (4.26b)
2  p K p Kc

Persamaan 4.25 menunjukkan pentingnya efek dari aksi kontrol Integral,


yaitu Dapat manaikkan orde dinamika untuk respon closed loop. Sehingga
untuk proses orde pertama yang tidak dikendalikan (open loop), respon
closed loop-nya akan menjadi sistem orde dua dan konsekuensinya akan
menunjukkan karaktersitik dinamika yang berbeda secara drastis. Selain
itu, seperti kita lihat pada bagian 1.3 dan 2.1 yaitu dengan menaikkan
orde sistem, maka responnya akan bertambah sluggish. Maka,Aksi
kontrol Integral yang independen bertujuan untuk membuat respon
sistem closed loop bertambah sluggish.
Mari kita amati kelakuan dinamik dari sistem closed loop ketika
terjadi perubahan setpoint dengan unit step. Dari persamaan 4.25, kita
dapatkan :
1 1
y ( s)  2 2
 s  2  s  1 s
Bentuk respon y (t ) ergantung pada nilai  (overdamped, critically
damped, atau underdamped), akan tetapi nilai akhir respon adalah sesuai
dengan teorema nilai akhir, yaitu :
84

 
y t     lim s y ( s)  lim  2 2
1
s 0 s 0  s  2   s  1
 1
 
Sehingga
Offset  1  1  0
Hal ini menunjukkan karakteristik yang paling utama dari efek aksi
integral, yaitu :
Aksi kontrol Integral akan mengeliminasi adanya offset.
Hal ini juga berlaku untuk permasalahan regulator, yaitu akan mengubah
sistem orde satu menjadi sistem orde dua dan meniadakan offset.

Catatan :
1. Persamaan 4.26b menunjukkan bahwa bentuk respon closed loop
(overdamped, critically damped,underdamped) bergantung pada nilai
gain kontroler K c dan waktu reset  I . Akibatnya tuning terhadap aksi
kontrol integral pada nilai K c dan  I yang tepat masih menjadi
pertanyaan dan akan dibahas pada bab selanjutnya.
2. Dari persamaan 4.26b kita amati bahwa, dengan naiknya K c , faktor
damping  akan menurun. Konsekuensi dari menurunnya  adalah :
a. Respon akan berubah dari overdamped yang sluggish ke
underdamped yang berosilasi
b. Overshoot dan decay ratiojuga akan mengalami kenaikan [lihat
persamaan 1.11, 1.12, 1.13].
Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa kita dapat memperbaiki
kecepatan dari respon closed loop dengan konsekuensi adanya
deviasi yang besar dan osilasi yang lama. Gambar 4.8 menunjukkan
karakteristik dari aksi kontrol integral dengan adanya perubahan
setpoit .
85

y (t )
K c1

Kc2

Kc3 K c1  K c 2  K c 3

Gambar 4.8. Efek gain pada respon closed loop sistem orde pertama dengan
kontroler integral saja

3. Dari persamaan 4.2b dapat kita kembangkan bahwa dengan


menurunnya  I , maka  juga akan menurun. Sehingga, konsekuensi
dengan menurunnya  I pada respon closed loop akan terjadi seperti
point 2 diatas (akan menaikkan kecepatan dengan overshoot yang
tinggi dan osilasi yang panjang). Gambar 4.9 menjelaskan hal ini
secara jelas.
4. Kesimpulan pada point 1 dan 2 diatas dapat dijelaskan kembali yaitu:
Menaikkan aksi kontrol Integral (manaikkan K c dan menurunkan  I )
membuat respon closed loop akan lebih sensitif.
Pada Bab 5 akan kita ketahui hal demikian akan menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan pada respon closed loop.

y (t )
I 1

I 2

I 3
I I I
1 2 3

Gambar 4.9. Efek rise time pada respon closed loop sistem orde
pertama dengan aksi integral saja
86

4.4 Efek Kontrol Derivatif


Untuk Aksi kontrol derifatif yang independen, persamaannya adalah
sebagai berikut :
Gc  K c  D s
Kita asumsikan lagi untuk penyederhanaan, yaitu Gm  G f  1 Respon
closed loop untuk sistem orde pertama dengan aksi kontrol derivatif
adalah
Kp
K c D s
 ps  1
y (s)  y SP ( s)
Kp
1 K c D s
 ps  1
Atau
K p K c D s
y ( s)  (4.27)
 p  K p K c D  s  1
y SP ( s)

Persamaan 4.27 dapat kita analisa sebagai berikut :


1. Kontroler derivatif tidak mengubah orde dari sistem, pada contoh
diatas tetap pada orde satu.
2. Dari persamaan 2.7 telah jelas bahwa time constant yang efektif pada
 
respon closed loop adalah  p  K p K c D , lebih besar daripada  p .
Ini berarti respon dari proses kontrol akan menjadi lebih lambat
daripada respon pada proses sistem orde satu yang tidak
dikendalikan. Maka, dengan bertambahnya nilai K c ,menyebabkan
time constant akan naik dan respon akan bertambah lambat.

Catatan :
1. Aksi kontrol integral yang diterapkan pada sistem orde dua dengan
asumsi Gm  G f  1 dapat diturunkan sebagai berikut,
Kp
K c D s
 s  2  s  1
2 2
y ( s)  y SP ( s)
Kp
1 K c D s
 2 s 2  2  s  1
Atau
87

K p K c D s
y ( s) 
 s  2    K p K c D s  1
2 2
y SP ( s)

Dari persamaan terakhir dapat kita teliti bahwa :


a. Periode natural pada respon closed loop akan tetap
b. Faktor damping yang baru dapat dicari dari persamaan berikut :
2    2    K p K c D
    , maka respon closed loop menjadi lebih damped dan
damping akan semakin naik dengan bertambahnya nilai K c atau  D
.Karakteristik sistem akan bertambah robust jika dikontrol.
2. Penurunan pada kecepatan respon dan naiknya damping
menjelaskan bahwa Aksi kontrol derivatif menghasilkan sistem yang
lebih robust pada proses kontrol.

4.5 Efek Dari Kombinasi Aksi Kontrol


Kontrol proporsional dapat berdiri sendiri, akan tetapi tidak
demikian dengan aksi kontrol Integral maupun derivatif. Sehingga perlu
dikombinasikan dengan proporsional dan dihasilkan mode kontrol
proporsional-integral (PI) serta proporsional-integral-derivatif (PID).

Efek dari Kontroler PI


Kombinasi kontrol proporsional dan integral akan mempunyai efek
pada respon closed loop, yaitu :
1. Orde respon akan meningkat (efek mode integral)
2. Offset akan tereliminir (efek mode integral)
3. Dengan naiknya K c , respon akan semakin cepat [efek dari mode
proporsional dan integral] dan akan berosilasi dengan perubahan set
point [overshoot dan decay ratio naik (efek dari mode proporsional
dan integral )]. Nilai K c yang besar menyebabkan respon menjadi
lebih sensitif dan kemungkinan akan menjadi tidak stabil (lihat Bab 5).
4. Dengan K c yang constant,  I akan menurun, respon akan menjadi
lebih cepat tetapi berosilasi [efek dari mode integral].
88

Efek dari Kontrol PID


Kombinasi dari ketiga mode kontrol akan memiliki respon yang
hampir sama dengan kombinasi kontrol PI. Kita telah melihat bahwa
kehadiran aksi kontrol integral akan membuat lambat respon proses.
Untuk meningkatkan kecepatan, kita dapat memperbesar nilai gain K c
akan tetapi K c yang terlalu besar akan membuat sistem lebih berosilasi
dan berakibat terjadinya ketidakstabilan. Disinilah peran derivatif yang
akan membuat sistem menjadi lebih stabil, sehingga kita dapat
menambah kecepatan respon dengan memperbesar gain K c yang tepat
serta tetap menjaga besarnya overshoot dan rasio penurunan.
Gambar 4.10 menyimpulkan efek dari PID kontroler pada respon
proses yang dikontrol. Perhatikan bahwa walaupun naiknya K c
menyebabkan respon menjadi lebih cepat, overshoot yang terjadi hampir
sama dan settling time menjadi lebih pendek. Kedua hal ini adalah efek
adanya aksi kontrol derivatif.

y (t )

K c1
Kc2 Kc3

Kc1  Kc 2  K c 3

t
Gambar 4.10. Efek gain pada respon closed loop sistem orde pertama dengan
kontroler PID
BAB V. ANALISA KESTABILAN PADA SISTEM UMPAN BALIK

Pada Bab 4 kita telah menganalisa karakteristik dinamika respon


pada sistem closed loop, serta penggunaan fungsi transfer closed loop
yang bertujuan untuk menentukan dinamika sistemnya. Perlu diketahui
lagi bahwa kehadiran device pengukur, kontroler dan final kontrol elemen
akan merubah karakteristik dinamik suatu proses open loop. Pada sistem
orde pertama yang tidak berosilasi, kemungkinan akan berosilasi dengan
adanya kontrol PI dan pada sistem orde kedua yang sudah berosilasi,
kemungkinan akan menjadi tidak stabil jika tidak tepat dalam
menentukan K c dan  I .
Ketika mendisain sistem kontrol umpan balik (pemilihan komponen
dan tuning pada kontroler), kita akan dihadapkan pada penentuan
karakteristik sistem yang stabil. Pada bab ini kita akan membahas secara
ditail dalam mendisain loop kontrol umpan balik, yang dimulai dengan
persyaratan suatu ketabilan dan menganalisanya.

5.1 Persyaratan Kestabilan


Pada bab sebelumnya kita dikenalkan dengan respon suatu
kestabilan. Suatu sistem dikatakan tidak stabil jika setelah diberikan
disturbance, maka yang terjadi adalah outputnya tidak kembali pada
kondisi semula.
Bagaimana kita menentukan suatu sistem stabil atau tidak stabil ?.
Terdapat banyak cara, tergantung pada definisi penurunan matematika
dan alat praktis yang dugunakan untuk aplikasi yang realistik. Pada buku
ini kita menggunkan definisi yang seringkali disebut sebagai bounded
input dan bounded output, yaitu :
Dinamika sistem dikatakan stabil jika pada setiap bounded input
akan menghasilkan bounded output, dengan kata lain kembali ke nilai
awal.
“Bounded” adalah input yang selalu berada diantara batas atas dan
bawah (misal sinusoidal dan step , tetapi bukan ramp).

89
90

“Unbaunded” berarti sangat besar, pengertian ini hanya terjadi pada teori
dasar dan tidak terjadi pada kondisi praktis karena kesaluruhan kuantitas
fisik dibatasi.
Berdasarkan definisi diatas, sistem yang nampak pada Gambar 5.1a
dikatakan stabil, sedangkan pada Gambar 5.1b menunjukkan respon yang
tidak stabil.
Mari kita pertimbangkan dinamika sistem dengan input m dan output y
. Sifat dinamiknya dapat dibentuk oleh fungsi transfer G (s) sebagai
berikut,
y ( s )  G( s ) m ( s )
Dapat disimpulkan bahwa jika G (s) mempunyai pole pada bagian
pt
yang positif, maka terdapat term C1 e yang secar kontinu akan naik.
Dalam fungsi waktu, hal ini akan menghasilkan sistem yang tidak stabil.
Fungsi transfer G (s) memiliki korelasi dengan sistem open loop atau
sistem closed loop (misal GSP atau GLoad ) sehingga analisa kestabilan
dapat dibagi secara terpisah yaitu pada sistem open loop dan closed loop.
y
y

(a ) t (b) t

Gambar 5.1 Respon (a) Stabil dan (b) Tidak Stabil


Kriteia untuk mengecek stabilitas pada sistem adalah dengan melihat
lokasi poles, yaitu :
Jika fungsi transfer suatu dinamika sistem meiliki satu pole yang
positif pada bagian realnya, maka sistem dikatakan stabil. Oleh karena itu,
keseluruhan pole pada fungsi transfer harus berada pada bagian sebelah
kiri dari bidang komplek agar sistem stabil.
91

Contoh Kasus 5.1 : Menstabilkan proses yang tidak stabil dengan kontrol PI
Perhatikan sebuah proses yang memiliki respon berikut :
10 5
y ( s)  m ( s)  d ( s)
s 1 s 1
Dapat dilihat secara jelas bahwa sistem ini merupakan sistem yang
tidak stabil karena fungsi transfernya memiliki pole pada s=1 > 0. Gambar
5.2 (kurva  ) menunjukkan respon sistem open loop terhadap
perubahan unit step dan adanya load d yang menyebabkan karakteristik
sistem menjadi tidak stabil. Sekarang kita akan menggunakan kontroler
proporsional pada sistem. Asumsikan gain pada device pengukur dan final
kontrol elemen adalah :
Gm  G f  1
y

t ; Kurva β, Respon
Gambar 5.2 Kurva , Respon open loop yang tidak stabil
closed loop yang stabil dengan kontroler Proporsional

d (s )

5
Gd 
s 1
y (s )
ySP (s )  (s)
+

+ m (s ) 10
G K G 1 Gp  +
- c c f s 1

ym (s )
G 1
m

Gambar 5.3 Diagram Blok untuk sistem pada Contoh kasus 5.1
92

Gambar 5.3 menunjukkan diagram blok sistem closed loop. Respon


closed loop pada sistem sesuai dengan persamaan 4.5 dan pada sistem
ini akan menjadi :
10 K c 5
y ( s)  y SP ( s)  d ( s)
s  1  10 K c  s  1  10 K c 
Dari persamaan terakhir dapat kita simpulkan bahwa fungsi transfer
closed loopnya dapat diklasifikasikan :
10 K c 5
GSP ( s)  dan Gload ( s) 
s  1  10 K c  s  1  10 K c 
1
Akan memiliki pole yang negatif jika K c  . Sehingga, sistem semula
10
dapat distabilkan hanya dengan kontrol proporsional. Gambar 5.2 (kurva
 ) menunjukkan respon dinamik pada sistem yang telah dikendalikan
terhadap perubahan unit step pada load, dengan K c  1 . Bandingkan
dengan kelakuan sistem open loopnya dan efek stabil yang ditimbulkan
adanya kontroler.

Contoh Kasus 5.2 : Tidak Stabilnya Proses dangan Kehadiran Kontroler PI


Perhatikan proses orde dua dengan sistem sebagai berikut :
1
G p ( s) 
s  2s  2
2

Sistem memiliki dua komplek pole dengan bagian real yang negatif :
p1   1  j dan p2   1  j
Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, maka sistem
dikatakan stabil. Jika diberikan perubahan input step, maka respon yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.4a.
93

y y

t t

(a) (b)
Gambar 5.4. (a) Respon open loop yang stabil ; (b) Respon yang tidak stabil
dengan kontrol PI

Bagaimana jika kita kendalikan dengan kontroler PI ?. Jika device


pengukur dan final kontrol elemen mempunyai fungsi transfer sebagai
berikut :
Gm  G f  1
maka respon closed loop terhadap perubahan setpoint yaitu :
G p Gc
y ( s)  y SP ( s)  GSP y SP ( s)
1  G p Gc
Untuk mengetahui stabilitas respon closed loop, kita akan menentukan
dimana lokasi pada G SP , yaitu :
1  s 1
Kc I
G p Gc s  2s  2
2
I s K c  I s  1 /  I
y ( s)   
1  G p Gc I s 1 K
s  2s 2  2  K c  s  c
1
1 2 Kc 3

s  2s  2 I s I

Misal : K c  100 dan  I  0.1


Maka pole G SP dapat ditentukan oleh akar polinomial,

s 3  2s 2  2  100 s 
100
0.1
dan didapatkan
p1   7,185 ; p2  2,59  j (11,5) ; p3  2,59  j (11,5)
94

Seperti terlihat bahwa p 2 dan p 3 mempunyai bagian real yang positif,


berdasarkan kriteria maka sistem akan tidak stabil. Gambar 5.4b
menunjukkan respon sistem terhadap perubahan unit step pada set
point. Bandingkan respon respon open loop dengan efek kontroler PI
terhadap stabilisasi yang dihasilkan. Dengan nilai K c dan  I yang
berbeda, respon akan menjadi stabil, yaitu dengan mengurangi gain
menjadi K c  10 dan menaikkan  I  0.5 , maka dapat kita ketahui
bahwa G SP mempunyai bagian real yang negatif (sistem closed loop
menjadi stabil).

5.2 Persamaan Karakteristik


Contoh kasus 5.1 dan 5.2 telah mendramatisi efek loop kontrol
umpan balik tehadap karakteristik kestabilan proses. Pada bagian ini kita
akan menganalisa secara sistematis.
Perhatikan sistem kontrol umpan balik yang ditunjukkan oleh
Gambar 4.1. Respon closed loop pada sistem ini sesuai dengan persamaan
4.5,
G p G f Gc Gd
y ( s)  y SP ( s)  d ( s)
1  G p G f Gc Gm 1  G p G f Gc Gm
atau eqivalen dengan :
y (s)  G p y SP (s)  Gload d (s)
Karakteristik stabil pada respon closed loop akan ditentukan oleh pole
fungsi transfer GSP dan GLoad . Pole ini sama pada kedua penyebut
fungsi transfer dan solusi persamaannya yaitu :
1  G pG f GcGm  0 (5.1)
Persamaan 5.1 disebut persamaan karakteristik untuk sistem umpan balik
secara umum yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Misal p1 , p2 , pn adalah akar ke-n dari persamaan karakteristik 5.1.
1  G p G f Gc Gm  s  p1 s  p1 s  pn 
Selanjutnya dapat kita tentukan kriteria tingkat kestabilan untuk
sistem umpan balik secara umum, yaitu :
95

Sistem kontrol umpan balik akan stabil jika keseluruhan akar-akar


dari persamaan karakteristik memiliki bagian real yang negatif (berada
disebelah kiri dari axis imaginer).
Jika terdapat akar-akar persaman karakteristik yang berada pada bagian
kanan axis imaginer (bagian real-nya nol atau positif), maka sistem umpan
balik akan menjadi tidak stabil.
Kriteria kestabilan yang disebutkan diatas akan menghasilkan respon yang
stabil jika perubahan input hanya terjadi pada setpoint atau load saja . Hal
ini disebabkan akar-akar peramaan krakteristik merupakan penyebut
yang terdapat pada kedua fungsi transfer, GSP dan GLoad , yang
menentukan stabilitas closed loopnya.
Hasil perkalian G p G f Gc Gm  GOL
Disebut fungsi transfer open loop jika tidak terdapat umpan balik,
sehingga :
y m (s)  GOL (s) y SP (s)
selanjutnya persamaan karakteristiknya dapat ditulis sebagai berikut :
1  GOL  0
yang artinya hanya tergantung pada fungsi transfer elemen yang terdapat
dalam loop-nya (tidak tergantung pada G d yang berada diluar loop).
Akar –akar persamaan karakteristik yang juga sebagai pole dari fungsi
transfer closed loop, GSP dan GLoad sehingga disebut sebagai pole closed
loop.

Contoh Kasus 5.3 : Analisa kestabilan pada dua loop umpan balik
Pada Contoh 5.1 diketahui sebagai berikut :
10
y ( s)  Gm  G f  1 Gc  K c
s 1
Sehingga hubungan persamaan karakteristiknya menjadi :
10
1  G p G f Gc Gm  1  1 Kc 1  0
s 1
Akar-akarnya sebagai berikut :
p  1  10 K c
96

Sistem akan stabil jika p  0 ( K c  1 / 10) .


Untuk sistem pada Contoh kasus 5.2, kita dapatkan :
1
G p ( s)  2
s  2s  2
 1 
Gm  G f  1 Gc  K c 1  
 I s
Maka hubungan persamaan karakteristiknya menjadi :
1  1 
1  G p G f Gc G m  1  1 K c 1   1  0
s  2s  2
2
  I s 
dengan akar-akar  7,185 ; 2,59  j (11,5) ; 2,59  j(11,5) . Sistem closed
loop adalah tidak stabil karena dua akar-akar persamaan krakteristiknya
memiliki bagian real positif.

5.3 Kriteria Kestabilan Routh-Hurwitz


Penentuan kriteria kestabilan pada sistem closed loop sebenarnya
bisa dilakukan tanpa diketahui nilai akar karakteristik polinomial yang
sebenarnya. Kita hanya membutuhkan bahwa akar – akar tersebut
apakah berada disebelah kanan axis imaginer. Prosedur Routh-Hurwitz
akan menge-test apakah terdapat akar-akar disbelah kanan axis sehingga
dapat secara cepat diketahui dan diambil kesimpulan mengenai tingkat
kestabilannya.
Kita ekspansikan persamaan karakteristik dengan bentuk polinomial
sebagai berikut :
1  G p G f Gc Gm  a0 s n  a1 s n1    an1 s  an  0
Kondisikan a 0 pada nilai positif, jika nilainya negatif, maka kalikan kedua
sisi pada persamaan diatas dengan -1.

Test Pertama. Jika terdapat koefisien a0 , a1 , a2   an1 , an yang


negatif, maka terdapat sedikitnya satu akar persamaan karakteristik yang
mempunyai bagian real yang positif dan sistem menjadi tidak stabil. Maka
tidak diperlukan analisa lebih lanjut.
97

Test Kedua. Jika semua koefisien a0 , a1 , a2   an1 , an adalah


positif, maka dari test pertama kita belum dapat membuat kesimpulaan
tentang lokasi akar-akarnya. Dari array berikut (disebut Routh array) :

Row 1 a0 a2 a4 a6 
2 a1 a3 a5 a7 
3 A1 A2 A3 . 
4 B1 B2 B3 . 
5 C1 C2 C3 . 
. 
n  1 W1 W2 . 
dimana :
a1 a 2  a0 a3 a1 a 4  a0 a5 a1 a6  a0 a7
A1  A2  A3 
a1 a1 a1
A1 a3  a1 A2 A1 a5  a1 A3
B1  B2  
A1 A1
B1 A2  A1 B2 B1 A3  A1 B3
C1  C2  
B1 B1
dst.
Selidiki elemen – elemen pada kolom pertama array diatas :
a0 a1 A1 B1 C1 W1
(a) Jika elemen-elemen ini negatif, maka kita mempunyai sedikitnya
satu akar disebelah kanan axis imaginer dan sistem menjadi tidak
stabil.
(b) Jumlah perubahan tanda pada elemen kolom pertama sama dengan
jumlah akar disebelah kanan axis imaginer.
Sehingga sistem akan stabil jika semua elemen pada kolom pertama array
Routh adalah positif.
98

Contoh Kasus 5.4 : Analisa Kestabilan Dengan Kriteria Routh-Hurwitz


Perhatikan sistem kontrol feed umpan balik pada Contoh 5.2. Persamaan
karakteristiknya adalah :
Kc
s 3  2s 2  2  K c  s  0
I
Array Routh dapat ditulis sebagai berikut :
Baris 1 1 2  Kc
Kc
2 2
I
2 (2  K c )  K c /  I
3 0
2
Kc
4
I
Elemen pada kolom pertama adalah :
 2 (2  K c )  K c /  I K c 
1 , 2 ,
 I 
,
 2
Akan selalu bernilai positif kecuali pada baris ketiga, yang dapat bernilai
positif atau negative, bergantung pada nilai K c dan  I .
a. Jika K c  100 dan  I  0.1 , elemen ketiga menjadi -398 < 0, yang
berarti sistem tidak stabil. Kita mempunyai perubahan dua tanda
pada elemen dalam kolom pertama. Dengan demikian kita
mempunyai dua akar positif pada bagian realnya (lihat Contoh kasus
5.2).
b. Jika K c  10 dan  I  0.5 , elemen ketiganya akan sama dengan 2
> 0, dan sistem masih dalam keadaan stabil karena keseluruhan
elemen pada kolom pertama bernilai positif.
c. Secara umum, sistem akan stabil jika K c dan  I memnuhi kondisi
berikut
Kc
2 (2  K c ) 
I
99

Contoh Kasus 5.5 : Kondisi Stabilitas Kritis pada Loop Umpan balik
Sekarang kita analisa kembali Contoh kasus 5.4 dengan  I  0.1 .
Maka elemen ketiga pada kolom pertama Routh Array menjadi :
2 (2  K c )  10 K c
2
Nilai Kc yang membuat elemen ketiga bernilai nol adalah :
K c  0.5
Nilai Kc ini membuat sistem kontrol umpan balik berada dalam
keadaan kestabilan kritis. Dengan mengacu pada kriteria kestabilan
Routh-Hurwitz, kita dapatkan bahwa :
1. Jika Kc < 0.5, seluruh elemen pada kolom pertama pada Routh array
bernilai positif dan sistem akan stabil (seluruh akar-akar persamaan
karakteristik berada disebelah kiri axis imaginer)
2. Jika Kc > 0.5, elemen ketiga pada kolom pertama pada Routh array
akan menjadi negatif. Sehingga terdapat dua perubahan tanda pada
elemen kolom pertama dan akibatnya terdapat dua akar persamaan
karakteristik disebelah kanan axis imaginer.

Telah jelas bahwa semakin besar nilai Kc, maka dua akar persamaan
karakteristik akan bergerak menuju axis imaginer dan ketika nilai Kc = 0.5,
kita dapatkan kedua akar persamaan ini berada di axis imaginer (murni
imaginer), yang dapat menimbulkan osilasi sinusoidal. Dua akar yang
murni imaginer dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
K
2s 2  c  0
I
0.5
2s 2  0
0.1
Didapatkan :
 j (1.58)
Koefisien 2 dan K c /  I merupakan elemen – elemen pada routh array
yang berada pada baris kedua.
100

5.4 Analisa Root Locus


Dari contoh–contoh sebelumnya telah kita demonstrasikan secara
gamblang bahwa karakteristik kestabilan pada sistem closed loop
bergantung pada harga Kc. Hal ini dapat dibuktikan melalui Contoh kasus
5.1, didapatkan bahwa respon sistem closed loop akan menjadi stabil
ketika Kc > 1 / 10. Selain itu pada Contoh kasus 5.4, sistem menjadi stabil
ketika :
K
2 2  K c   c
I
dimana dengan  I  0.1 , maka 0 < Kc < 0.5
Pada sub bab ini kita akan membahas penggunaan plot root locus.
Plot ini menggambarkan posisi akar-akar persamaan karakteristik dalam
bidang kompleks dengan adanya variasi nilai Kc dari nilai nol hingga tak
terhingga. Plot ini berguna untuk menentukan karakteristik kestabilan
sistem closed loop dengan adanya perubahan nilai gain Kc. Mari kita
analisa penggunaan root locus pada contoh kasus berikut ini :

Contoh Kasus 5.6 : Root Locus Pada Dua Kapasistas Seri dengan kontrol
Proporsional
Dua kapasistas yang tersusun seri dapat kita amati pada dua tangki
pengaduk, dua heater, dan sebagainya yang mempunyai fungsi transfer
sebagai berikut :
Kp
G p ( s) 
( 1 s  1) ( 2 s  1)
dengan
Gm  G f  1 dan Gc  K c

Persamaan karakteristiknya adalah sebagai berikut :


Kp
1 Kc  0
( 1 s  1) ( 2 s  1)
atau
( 1 s  1) ( 2 s  1)  K  0 dimana K  K p K c
101

Sekarang kita analisa nilai K sebagai representasi nilai Kc sebagai berikut :


1. Ketika K = 0 ( Kc = 0), maka pole persamaan karakteristiknya adalah :
1 1
p1  dan p2 
1 2
2. Jika nilai K kita naikkan menjadi lebih besar dari 0, maka persamaan
karakteristiknya adalah :
 ( 1   2 )  ( 1   2 ) 2  4 1  2 (1  K )
p1, 2 
2 1  2
akar –akar yang dihasilakan oleh persamaan diatas adalah bernilai
real dan negatif selama
( 1   2 ) 2  4 1  2 (1  K )  0
atau,
( 1   2 ) 2
K 1
4 1  2
Oleh karena itu, selama Kc memnuhi pertidaksamaan berikut :

1  ( 1   2 ) 2  (5.2)
Kc    1
K p  4 1  2 
3. Ketika

1  ( 1   2 ) 2 
Kc    1 (5.3)
K p  4 1  2 
maka kita dapatkan dua akar persamaan kembar, yaitu :
1   2
p1  p 2  
2 1  2
4. Untuk
(5.4)
1  ( 1   2 ) 2 
Kc    1
K p  4 1  2 
maka kita akan dapatkan dua akar – akar persamaan konjugate
kompleks yang berbeda :
102

 ( 1   2 )  j ( 1   2 ) 2  4 1  2 (1  K )
p1, 2 
2 1  2 (5.5)

Untuk bagian realnya =   1   2 dan tidak tergantung pada nilai K.


2 1  2
Ketika bagian Imaginer mencapai tak hingga saat K   .
Dengan informasi diatas, kita dapat mengkonstruksi root locus
sistem sebagai berikut :
1. Nilai awal akar-akar persamaan pada root locus dicapai saat Kc =
0 dan diberikan oleh titik A (1 /  1 , 0) dan B (1 /  2 , 0) (lihat
Gambar 5.5)
2. Selama nilai Kc sesuai dengan pertidaksamaan (5.2), maka
didapatkan dua akar real dan negatif yang berbeda. Root
locusnya di-plot pada axis real di titik A dan B dan akan bergerak
saling mendekati satu sama lain hingga bertemu dititik C (Gambar
5.5). Pada titik C ini, nilai Kc sesuai dengan persamaan (5.3), yang
memiliki dua akar yang sama.
3. Dengan naiknya nilai Kc sehingga memenuhi pertidaksamaan
(5.4), maka didapatkan dua akar persamaan konjugate kompleks
yang berbeda. Karena nilai akar pada bagian realnya constant
(lihat persamaan 5.5), maka dua percabangan root locusnya
saling tegak lurus dengan bagian axis realnya dan mencapai tak
hingga saat Kc → ∞.
Plot root locus secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.5. Pada
plot dapat kita simpulkan bahwa sistem dalam keadaan stabil untuk setiap
nilai Kc karena keseluruhan akar-akar persamaan karakteristiknya berada
disebelah kiri axis imaginer. Selain itu, saat nilai Kc sesuai dengan
persamaan (5.2), respon sistem terhadap input step tidak berosilasi
karena bagian imaginernya bernilai nol. Respon sistem akan berosilasi
saat nilai Kc memnuhi pertidaksamaan (5.4).
103

Im

1 1
( , 0) ( , 0)
1 2

C B Re
A

Gambar 5.5 Root Locus Sistem pada Contoh 5.6

Contoh kasus 5.6 menjelaskan kepada kita bahwa root locus sistem
tidak hanya memberikan informasi tentang kestabilan sistem closed loop,
tetapi juga mengenai dinamika sistem dengan adanya variasi nilai Kc.
Sehingga analisa root locus dapat menjadi basis metodologi desain
kontrol loop umpan balik.

Contoh kasus 5.7 : Root Locus Pada Reaktor dengan Kontrol Proporsional
Sekali lagi, mari kita mantapkan pemahaman kita tentang root locus
dengan melihat kasus pada reaktor seperti terlihat pada Gambar 5.6.
Tujuan kontrol ini adalah untuk menjaga konsentrasi produk C sesuai
dengan setpoint. Kita akan menggunakan kontroler proporsional untuk
mengukur konsentrasi C, dengan memanipulasi flow rate reaktan A.
R A

Laju Aliran = F - m Laju Aliran = m

A+R B
B+R C
C+R D
D+R E

Laju Aliran = F
Consentrasi Dalam C = y

Gambar 5.6 Sistem reaktor pada Contoh kasus 5.7


104

Fungsi transfer pada proses didalam reaktor ini adalah sbb :


y ( s) 2.98 ( s  2.25)
G p ( s)   Kc  0 (5.6)
m ( s) ( s  1.45) ( s  2.85) 2 ( s  4.35)

Kita asumsikan bahwa gain pada sensor dan valve sebagai aktuator
flowrate A sama dengan 1, yaitu :
Gm  G f  1
Persamaan karakteristik sistem closed loop-nya yaitu :
2.98 ( s  2.25)
1 Kc  0
( s  1.45) ( s  2.85) 2 ( s  4.35)
Ketika Kc = 0, maka dengan mudah akar-akar persamaan (5.6) dapat kita
tentukan sbb:
p1  1.45 p2  p3   2.85 p4   4.35
Dengan bantuan komputer, kita dapat menentukan akar-akar persamaan
karakteristik yang lain untuk setiap perubahan nilai Kc. Hasilnya dapat kita
lihat pada tabel 5.1 dan plot root locusnya pada Gambar 5.7.

Tabel 5.1.Persamaan Karakteristik Akar-akar sistem pada Contoh kasus 5.7


Kc p1 p2 p3 p4
0 -1.45 - 2.85 - 2.85 - 4.35
1 - 1.71 - 2.30 + j (0.9) - 2.30 - j - 4.74
(0.9)
5 -1.98 - 1.71 + j - 1.71 - j - 5.87
(1.83) (1.83)
20 - 2.15 - 1.09 + j - 1.09 - j - 7.20
(3.12) (3.12)
50 - 2.20 - 0.48 + j - 0.48 - j - 8.61
(4.35) (4.35)
100 - 2.24 0.35 + j (5.40) 0.35 - j - 9.75
(5.40)

Mari kita analisa percabangan root locus pada Gambar 5.7 dan
selanjutnya kita ambil beberapa kesimpulan respon dinamik pada sistem
closed loop reaktor ini, dengan variasi nilai Kc dari nol sampai tak hingga.
105

1. Sistem akan tetap stabil untuk nilai gain hingga mencapai 50, karena
pada kisaran gain ini seluruh akar-akar persamaan berada disebelah
kiri axis imaginer. Untuk nilai gain antara 50 hingga 100, plot root
locusnya memotong axis imaginer dan bergerak ke sebelah kanan axis
imaginer. Dengan demikian terdapat nilai gain kritis yang berada
diantara 50 dan 100 hingga akhirnya reaktor menjadi tidak stabil.
2. Untuk tiap nilai Kc > 0 hingga mencapai gain kritisnya, terdapat dua
akar – akar konjugate kompleks dengan bagian realnya bernilai
negatif. Pada range gain ini, sistem akan berosilasi, tetapi akan
kembali kekeadaan semula (setpoint).
3. Untuk Nilai Kc yang makin besar daripada nilai kritisnya (dimana
sistem akan menjadi tidak stabil), akar-akar persamaan
karakteristiknya adalah berupa konjugate kompleks, dengan bagian
realnya positif. Jika kita menggunakan gain ini, maka sistem akan
menjadi berosilasi dengan amplitudo yang makin membesar (respon
sistem tidak kembali ke posisi semula).
106
BAB VI. DESAIN KONTROLER UMPAN BALIK

Pada bahasan kali ini kita akan memfokuskan pada dua pertanyaan
berikut, yaitu : Bagaimana kita memilih tipe kontroler umpan balik (P, PI,
atau PID) ? dan Bagaimana kita menala parameter kontroler yang sudah
kita tentukan ( K c , I , D ) untuk mendapatkan respon yang optimum
pada proses yang kita kendalikan ?

6.1 Permasalahan Dalam Desain Kontroler


Perhatikan diagram blok sistem closed loop yang ditunjukkan
pada Gambar 4.1. Ketika terjadi perubahan setpoint atau load, maka
respon prosesnya akan menyimpang dan kontroler berperan untuk
membawa output kembali ke setpoint semula. Gambar 6.1 menunjukkan
respon sebuah proses yang telah dikendalikan oleh beberapa tipe
kontroler terhadap perubahan unit step pada load-nya. Ternyata, seperti
kita lihat, dengan kontroler yang berbeda mempunyai efek yang berbeda
pula pada respon prosesnya. Dari sinilah timbul pertanyaan pertama :

Pertanyaan 1 : Tipe Kontroler yang mana, yang akan kita gunakan untuk
mengendalikan proses ?
Seandainya diasumsikan kita menggunakan tipe kontroler PI, kita masih
dihadapkan pada permasalahan dalam penentuan gain K c dan waktu
reset  I . Gambar 4.8 dan 4.9 telah mendemontrasikan secara jelas
bahwa dua paremeter ini mempunyai efek yang signifikan dalam
pengendalian proses. Pertanyaan berikutnya adalah :
Pertanyaan 2: Bagaimana kita bisa menentukan nilai parameterkontroler
umpan balik yang terbaik ?
Penentuan parameter kontroler ini dikenal sebagai tuning kontroler.
Untuk menjawab dua persamaan desain ini, kita memerlukan pengukuran
secara kuantitatif dengan tujuan untuk membandingkan alternatif
kontroler yang terbaik sekaligus nilai parameternya. Pertanyaan ini
menimbulkan pertanyaan desain yang ketiga, yaitu :

107
108

Pertanyaan 3 : Kriteria performansi yang manakah, yang akan kita gunakan


untuk memilih dan menentukan parameter kontroler ?
Berikut kriteria performansi yang dapat kita gunakan :
Pilih desain kontroler dan parameternya sehingga output proses yang
dihasilkan mempunyai karakteristik sebagai berikut :
 Maksimum deviasi / error sekecil mungkin
 Mencapai settling time secepat mungkin
 Intergral error yang dihasilkan hingga variabel proses mencapai
setpoint seminimum mungkin
Pada pembahasan selanjutnya, kita dapat mengetahui bahwa perbedaan
kriteria yang kita gunakan berimbas pada perbedaan desain yang akan
kita gunakan. Mari kita pelajari ketiga pertanyaan diatas secara lebih
detail sebagai acuan kita dalam dalam mendesain kontroler.

Respon
y(t) Open loop

PID PI

Gambar 6.1. Respon sistem terhadap perubahan unit step pada load tanpa
adanya kontrol dan kontroler umpan balik yang lainnya

6.2 Kriteria Performansi yang Sederhana


Dari ketiga pertanyaan diatas, kita akan memulai dengan membahas
pertanyaan terakhir, yaitu tentang criteria performansi yang akan
digunakan sebagai acuan dalam penentuan tipe kontroler umpan balik (P,
PI, atau PID). Untuk mengawalinya, perhatikan Gambar 6.2 yang
menunjukkan respon dua sistem closed loop. Respon A mencapai setpoint
(level yang diinginkan) untuk pertama kalinya (rise time) lebih cepat
daripada respon B. Jika kriteria performansi yang kita gunakan untuk
mendesain kontroler adalah sebagai berikut :
Respon proses harus mempunyai rise time yang tercepat
109

Maka, kita akan memilih kontroler yang menghasilkan respon A. Akan


tetapi jika kriteria kita adalah :
Maksimum overshoot harus sekecil mungkin atau Mempunyai setting
time yang paling cepat. Maka kita akan memilih kontroler yang akan
menghasilkan respon B. Setiap kita mendisain kontroler, maka kita akan
dihadapkan pada dilema kriteria itu sendiri.
Secara umum, pada setiap aplikasi proses kontrol, kita mengenal kriteria
berikut :
 Kriteria Performansi Steady state
 Kriteria Performansi respon dinamik

y(t) A

Level Operasi yang


diInginkan

Gambar 6.2 Alternatif respon closed loop

Kriteria performansi steady state adalah kriteria yang menetapkan


error yang terjadi pada kondisi steady state adalah nol. Kita tidak dapat
memenuhi kriteria ini jika kita menggunakan kontroler proporsional, hal
ini disebabkan kontroler proporsional tidak pernah dapat mencapai error
steady state sama dengan nol, sedangkan pada kontroler PI dan PID bisa.
Dengan demikian, hanya kontroler PI dan PID yang dapat memenuhi
kriteria ini.
Kriteria performansi respon dinamik pada sistem closed loop secara
garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Kriteria yang menggunakan hanya beberapa titik pada pada respon.
Kriteria ini cukup sederhana, namun hanya sebatas perkiraan.
110

2. Kriteria menggunakan respon closed loop dari t = 0 hingga t = tak


hingga. Kriteria ini lebih presisi, namun membutuhkan proses
komputasi yang besar.

Pada subbab ini, kita akan bahas kriteria pada point pertama diatas,
sedangkan kriteria pada point kedua akan dijelaskan pada subbab 6.3.
Kriteria pada point pertama diatas merupakan kriteria yang sederhana
dan sering digunakan, yaitu :
 Overshoot
 Rise Time (Waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai
setpoint untuk yang pertama kalinya)
 Settling time (Waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk
mencapai nilai  5% terhadap setpoint)
 Frekuensi osilasi pada kondisi transient

Setiap karakteristik diatas dapat digunakan oleh disainer sebagai


kriteria dasar untuk memilih kontroler dan nilai parameternya. Dengan
demikian, kita dapat mendisain kontroler untuk mendapatkan minimum
overshoot, atau minimum settling time dsb. Namun perlu diketahui,
penentuan kriteria satu karakteristik saja tidaklah cukup untuk memenuhi
kualitas respon dinamik yang kita inginkan. Biasanya, kita membutuhkan
lebih dari satu kriteria (meminimumkan overshoot, meminimumkan
settling time, dan seterusnya). Akan tetapi, kriteria disain yang
menggunakan banyak kriteria akan menyebabkan terjadinya konflik antar
respon karakteristiknya. Sebagai contoh, pada Gambar 4.10 menunjukkan
bahwa pada kontroler PID, dengan menurunkan overshootnya (dengan
memperkecil nilai K c ) akan menyebabkan naiknya nilai settling time.
Konflik ini akan selalu muncul ketika kita menggunakan kriteria desain
yang sederhana diatas. Desainer kontrol harus menyeimbangkan
karakteristik diatas sehingga mengurangi konflik yang terjadi.

Dari keseluruhan kriteria performansi diatas, kriteria decay ratio


merupakan kriteria yang populer digunakan oleh insinyur praktis.
Pengalaman menunjukkan bahwa kriteria decay ratio merupakan kriteria
111

jalan tengah, sebagai alternatif kriteria rise time dan settling time. Kriteria
ini disebut sebagai kriteria seperempat decay ratio, yaitu :
C 1

A 4

Contoh Kasus 6.1 : Tuning Kontroler Dengan Kriteria Seperempat Decay Ratio
Kita mengambil contoh kasus kontrol servo pada proses sistem orde
pertama dengan menggunakan kontroler PI. Ketika sistem diubah ke
sistem closed loop, maka persamaan fungsi transfernya dapat ditulis
sebagai berikut :
I s 1
y ( s)  y SP ( s)
 s  2  s 1
2 2

Dimana
 I p
 , dan
K p Kc
1 I
 (1  K p K c )
2  p K p Kc

Seperti kita lihat, persamaan fungsi transfernya berubah menjadi


sistem orde kedua ketika kontoler PI diintegrasikan ke sistem open loop-
nya, dengan Gm  G f  1 .
Untuk mendapatkan nilai K c dan  I yang ”terbaik”, kita akan
menggunakan kriteria sederhana, yaitu seperempat decay ratio. Dari
persamaan 1.2 dapat kita ketahui bahwa :
  2  
Decay Ratio  exp  
 12 
 
Pada contoh kasus diatas, didapatkan :
112

 1 I 
 2 (1  K p K c ) 
 2  p K p Kc  1
exp  4
 1 1 I 
(1  K p K c )
 4  p K p Kc 
 
Setelah penyederhanaan aljabar, maka persamaan terakhir menjadi:

I 1
 2 (1  K p K c )  ln   (6.1)
4 p K p K c   I (1  K p K c ) 2
4

Persamaan (6.1) mempunyai nilai K c dan  I yang tidak diketahui. Oleh


karena itu kita akan memilih setiap alternatif parameter ini yang
memenuhi hubungan pada persamaan 6.1, yaitu :
Kc  1 K c  10 K c  30 K c  50 K c  100
 I  0.153  I  0.464  I  0.348  I  0.258  I  0.153

Dan seterusnya. Sekarang timbul pertanyaan, pasangan manakah


yang akan kita pilih sebagai nilai parameter kontroler. Biasanya kita akan
memperioritaskan nilai gain proporsional, K c terlebih dahulu sehingga
kontroler mempunyai cukup ”tenaga” untuk mendorong respon kembali
ke setpoint semula dan selanjutnya kita tentukan nilai  I yang sesuai
sehingga kriteria rasio seperempat decay ratio terpenuhi.

Kriteria Performansi Waktu-Integral


Ketika respon sebuah sistem closed loop, dari t  0 hingga kondisi steady
state telah tercapai, maka kondisi ini dapat kita jadikan sebagai formula
pada kriteria performansi dinamik, seperti telah disinggung pada subbab
6.2. Tidak seperti kriteria sederhana, yang hanya menggunakan acuan
respon karakteristik pada keadaan lokal tertentu (misal : decay ratio,
settling time, dan seterusnya), kriteria yang akan kita gunakan pada
subbab 6.3 ini adalah kriteria yang berdasarkan respon pada keseluruhan
proses. Pada umumnya kita menggunakan kriteria berikut :
113

1. Integral of the square error (ISE), yaitu :



ISE    2 (t ) dt (6.2a)
0

2. Integral of the Absolute value of the error (IAE), yaitu :



IAE    (t ) dt (6.2b)
0

3. Integral of the time-weighted absolute error (ITAE), yaitu :



ITAE   t  (t ) dt (6.2c)
0

Catatan :
 (t )  y SP  y(t ) adalah deviasi (error) respon dari setpoint-nya.
Dengan menggunakan persamaan–persamaan 6.2a hingga 6.2c, kita akan
menentukan kriteria sebagai berikut :
Pilih tipe kontroler dan nilai parameternya yang responnya menghasilkan
nilai ISE, IAE, dan ITAE yang paling minimum.

Penggunakan salah satu diantara ketiga persamaan diatas (6.2a, 6.2b dan
6.2c ), adalah bergantung pada karakteristik sistem yang kita kendalikan
dan beberapa persyaratan respon pada prosesnya. Berikut ini sebagai
tuntunan dalam penggunaan ISE, IAE, atau ITAE:

 Jika kita menitikberatkan pada besarnya error, maka ISE lebih baik
daripada IAE karena error-nya dikuadratkan dan akan semakin
membesar setelah melalui proses integral.
 Jika kita menitikberatkan pada error yang kecil, IAE lebih baik
daripada ISE karena ketika kita mengkuadratkan nilai error yang kecil
(lebih kecil dari satu dan lebih besar dari nol), maka akan semakin
mengecil.
 Jika kita menitikberatkan pada terjadinya error sepanjang waktu ,
maka kriteria ITAE akan menala kontroler lebih baik karena dengan t
yang makin membesar akan menguatkan efek error yang kecil pun.
114

Gambar 6.3 menunjukkan bentuk respon closed loop yang


didasarkan pada ketiga kriteria diatas. Ketika kita menerapakan kriteria
ISE, IAE dan ITAE untuk menala parameter kontroler, maka harus
diperhatikan hal –hal berikut ini :
1. Dengan kriteria yang berbeda maka akan dihasilkan disain kontroler
yang berbeda
2. Untuk kriteria waktu integral yang sama, perbedaan pada perubahan
input akan membuat disain juga berbeda.

Output ITAE
IAE

ISE

Waktu
Gambar 6.3. Respon closed loop dengan menggunakan kriteria waktu integral

Sekarang kita analisa dua contoh kasus berikut :

Contoh kasus 6.2 : Tuning Kontroler dengan Menggunakan Kriteria Waktu


Integral
Perhatikan sistem umpan balik yang ditunjukkan pada Gambar 6.4.
Respon closed loopnya adalah :
Is 1 ( I / 20 K c ) s
y ( s)  y SP ( s)  d ( s)
I  1  I  1 
s 2   I 1   s  1 s 2   I 1   s  1
20 K c  20 K c  20 K c  20 K c 
Atau
Is 1 ( / 20 K c ) s
y ( s)  ySP ( s)  2 2I d ( s)
 s  2  s 1
2 2
 s  2  s 1
(6.3)
115

Dimana,
I
 (6.4a)
20 K c
1 I
 (1  20 K c ) (6.4b)
2 20 K c
Untuk memilih nilai K c dan  I yang terbaik, kita dapat
menggunakan salah satu dari ketiga kriteria ISE, IAE, atau ITAE.
Selanjutnya, kita dapat mempertimbangkan lagi perubahan pada load
atau setpointnya. Pada contoh kasus ini kita gunakan kriteria ISE pada
perubahan unit step setpoint-nya. Pada persamaan 6.3 kita dapatkan
persamaan berikut :
 s 1 1
y ( s)  2 2 I
 s  2  s 1 s
d (s )

1
Gd 
s 1

 y (s )
1 
+

G  K 1 
ySP (s ) + 20 +
c  s  G 1 Gp 
-
c
 I 
f s 1

G 1
m

Gambar 6.4 Sistem closed loop pada Contoh kasus 6.2

Dengan meng-invers laplacekan persamaan terakhir, didapat :

e  t /   12 
 I sin  1   2   sin  1   2  tan 1 
t t
y (t )  1 
12        (6.5)
  
116

Kemudian kriteria ISE yang telah kita tentukan kita optimasi sebagai
berikut :
 2

Minimum ISE    y SP  y (t ) dt dengan memilih nilai  dan  ,


0

dimana y (t ) sesuai dengan persamaan (6.5). Nilai optimal pada  dan 


dapat diselesaikan oleh persamaan berikut :
 ( ISE )  ( ISE )
 0
 
Misal  dan 
 
adalah nilai saat tercapai kondisi optimal. Dengan
menggunakan persamaan (6.4a) dan (6.4b), kita dapat menemukan
kondisi optimal pada parameter kontroler, K c dan  I .
Jika kita menggunakan kriteria ITAE, maka penyelesaiannya adalah
sebagai berikut :

Minimum ITAE   t y SP  y (t ) dt dengan memilih nilai  dan  ,
0

dimana y (t ) sesuai dengan persamaan (6.5).


Solusi  dan  sesuai dengan persamaan berikut :
 

 ( ITAE )  ( ITAE )
 0
 
Sama dengan sebelumnya, dengan menggunakan persamaan (6.4a)
dan (6.4b), kita dapat menemukan kondisi optimal pada parameter
kontroler, K c dan  I
Jika perubahan unit step kita berikan pada load-nya, maka bentuk fungsi
transfernya adalah :
( / 20 K c ) s 1
y ( s)  2 I2
 s  2  s 1 s
Setelah di invers-laplacekan didapatkan persamaan berikut :

( I / 20 K c ) e  t /  t
y (t )  sin  1   2  (6.6)
 12  
117

Penentukan nilai optimal dari K c dan  I sama seperti prosedure


sebelumnya. Karena respon yang dihasilkan oleh y (t ) berbeda terhadap
unit input step [bandingkan persamaan (6.6) dan (6.5)], maka kondisi
optimal K c dan  I juga akan berbeda walaupun kita menggunakan
kriteria yang sama (ISE atau ITAE).

Catatan : Kontroler proporsional tidak bisa membuat offset menjadi nol,


sedangkan kriteria ISE, IAE, atau ITAE dihitung hingga tidak terdapat
offset. Oleh karena itu penggunaan kriteria ini tidak bisa
diimplementasikan pada kontroler proporsional. Apabila kita tetap
menggunakan kriteria ISE, IAE dan ITAE pada kontroler proporsional,
maka kita menggunakan eqivalen nilai offset yang bisa ditoleransi. Jadi,
batas atas dari integral adalah pada posisi offset ini.

6.3 Pemilihan Tipe Kontroler Umpan balik


Diantara ketiga tipe kontroler umpan balik (P, PI, atau PID), manakah
yang kita gunakan dalam kontroler proses ?. Pertanyaan ini dapat dijawab
melalui tahap-tahap berikut :
a. Tentukan kriteria performansi yang akan kita gunakan (ISE, IAE, ITAE).
b. Hitung nilai kriteria performansi dengan menggunakan kontroler P,
atau PI, atau PID dengan seting yang terbaik pada parameter K c ,
 I dan  D .
c. Pilih kontroler yang memberikan nilai yang terbaik sesuai dengan
kriteria performansi yang telah kita tetapkan.
Prosedur ini walaupun cukup teliti secara matematis, namun memiliki
beberapa keterbatasan, yaitu :
 Membutuhkan komputasi yang besar
 Kesulitan menemukan model (fungsi transfer) pada proses, sensor,
dan final kontrol elemen yang kemungkinan besar tidak diketahui
secara pasti.
Untungnya kita bisa memilih tipe kontroler umpan balik yang paling
tepat dengan menggunakan pertimbangan kualitatif secara umum
dengan analisa pada Bab 4. Kita telah menganalisa efek dari mode kontrol
118

proporsional, integral, dan derivatif pada respon sistem. Berikut


rangkuman karakteristik pada masing-masing mode kontrol P, PI dan PID:
1. Kontrol Proporsional
a. Memepercepat respon proses
b. Menghasilkan Offset (error steady state tidak nol) pada
keseluruhan proses terkecuali pada proses yang mengandung
unsur 1 / s (integrator) pada fungsi transfernya, seperti level
cairan pada tangki atau tekanan gas didalam vessel (lebih
jelasnya dapat dilihat pada Sub bab 4.2).
2. Kontrol Integral
a. Mengelminasi setiap offset
b. Eliminasi offset biasanya juga mampu memperkecil overshoot
c. Menghasilkan respon yang sluggish
d. Jika kita naikkan gain K c untuk menghasilkan respon yang cepat,
sistem akan berosilasi dan dapat berakibat ketidakstabilan.
3. Kontrol Derivatif
a. Merupakan mode kontrol yang mengantisipasi error dimasa
depan dan segera mengambil aksi koreksi
b. Membawa efek yang stabil pada respon closed loop proses.

Gambar 6.1 merepresentasikan secara sederhana seluruh karakteristik


mode kontrol diatas.
Setelah kita analisa karakteristiknya, telah jelas bahwa ketiga mode
kontroler PID masih tetap unggul. Hal ini disebabkan kontroler PID
menawarkan fleksibilitas yang terbaik untuk mencapai kondisi setpoint
dengan memanipulasi ketiga parameternya. Walaupun kita dihadapkan
juga pada kesulitan dalam proses tuningnya, karena kita harus melakukan
tuning pada ketiga parameternya. Berikut pertimbangan kita dalam
penggunaan mode kontrol P, PI dan PID :
1. Jika mungkin, gunakan kontroler proporsional. Kontroler
proporsional dapat kita gunakan jika
a. sistem dapat menerima keberadaan offset
b. proses itu sendiri mengandung aksi integral (term 1 / s pada
fungsi transfer) sehingga kontroler proporsional sudah dapat
119

menghilangkan adanya offset. Dengan demikian, pada kontrol


tekanan gas atau kontrol level cairan , kita dapat menggunakan
kontrol proporsional.
2. Jika kontroler Proporsional tidak dapat ditoleransi, maka gunakan
kontroler PI. Kontroler PI digunakan jika kontrler proporsional saja
tidak mampu mengeliminasi adannya error steady state (offset).
Kontroler PI jarang digunakan pada sistem kontrol tekanan atau level
cairan, tetapi seringkali (hampir keseluruhan) digunakan pada kontrol
flow. Respon variabel flow adalah cukup cepat. Sebagai
konsekuensinya, kecepatan sistem closed loop masih tetap terjaga
walaupun terjadi penurunan akibat adanya mode kontrol integral.
3. Gunakan Kontroler PID untuk meningkatkan kecepatan respon sistem
closed loop dan menjaga robustness. Kontroler PI mampu
mengelminasi offset, tetapi mengurangi kecepatan respon closed
loopnya. Pada proses multi kapasitas yang responnya sangat sluggish,
kehadiran kontroler PI akan membuat sistem bertambah sluggish.
Dalam kasus ini, penambahan aksi kontrol derivatif yang mempunyai
efek penstabil mengijinkan kita menggunakan gain K c yang lebih
besar sehingga responnya jauh lebih cepat tanpa menimbulkan efek
osilasi. Aksi derivatif direkomendasikan digunakan pada kontrol
temperatur dan komposisi yang mempunyai karakteristik respon
yang sluggish.

Contoh Kasus 6.3. Pemilihan Tipe Kontroler Pada Beberapa Proses


Mari kita diskusikan beberapa proses yang dikendalikan oleh sistem
kontrol umpan balik berikut ini :
1. Kontrol level cairan : Kita perhatikan lagi dua sistem kontrol level
cairan , yaitu pada bagian bawah kolom distilasi dan pada drum
akumulator kondenser (Gambar 3.2d dan 3.2e). Tujuan pengendalian
ini adalah untuk menjaga masing-masing level cairan disekitar
setpoint-nya. Sehingga kontroler proporsional sudah cukup untuk
digunakan pada sistem ini.
120

2. Kontrol tekanan gas : Sasaran pengendalian ini adalah untuk menjaga


tekanan p didalam tangki (Gambar 3.2c), ketika terjadi perubahan
tekanan yang memasuki tangki, p1 atau perubahan tekanan proses
yang mengalir kebawah p 3 . Biasanya kita menginginkan menjaga
tekanan p pada range disekitar setpoint, sehingga pemakaian
kontroler tekanan sudah mencukupi.

PC

Air
Dingin

P PC P

Vapour

Liquid
(b)

(a)
Gambar 6.5. Loop Kontrol Tekanan (a) mempunyai efek langsung, respon yang
cepat (b) mempunyai efek yang tidak langsung, respon yang lambat

1) Kontrol tekanan uap: Kontrol tekanan uap mempunyai dua


kemungkinan, bisa bekerja secara cepat atau bisa juga secara lambat.
Perhatikan dua konfigurasi sistem yang ditunjukkan pada
Gambar 6.5. Loop didalam Gambar 6.5a mengukur dan memanipulasi
flow uap, yang mempengaruhi secara langsung dan secara cepat
tekanan uap didalam proses. Untuk sistem ini kita gunakan kontroler
PI. Kontroler ini akan mengeliminasi terjadinya offset yang tidak
diinginkan dan tetap menjaga kecepatan respon (walaupun
terkadang flow uap makin menurun yang disebabkan oleh mode
kontrol integral). Sistem pada Gambar 6.5b situasinya berbeda.
Tekanan uap dikendalikan secara tidak langsung oleh flow air
pendingin, yang mempengaruhi jumlah uap yang dikondensasikan.
Sistem ini digunakan untuk mengendalikan tekanan pada kolom
distilasi. Dinamika proses transfer panas yang lambat terjadi
121

pada loop ini sehingga respon sistemnya juga berjalan pelan.


Kontroler PI akan membuat responnya bertambah lambat, namun
jika kita menaikkan nilai gain K c untuk mempercepat proses, maka
respon yang dihasilkan akan berosilasi. Oleh karena itu, kontroler PID
merupakan kontroler yang tepat digunakan untuk menaikkan
kecepatan dan robustness.
2) Kontrol Flow: Perhatikan dua sistem kontrol flow yang ditunjukkan
pada Gambar 3.2a dan 3.2b. Kedua respon sistem ini sama-sama
cepat. Oleh karena itu, kita gunakan kontroler PI untuk
meminimalisasi offset dan menjaga kecepatan respon.
3) Kontrol Temperatur : Perhatikan sistem kontrol temperatur yang
ditunjukkan pada Gambar 6.6. Sasaran pengendalian pada sistem
ini adalah untuk menjaga temperatur campuran reaksi sesuai dengan
setpoint. Karena reaksinya adalah endothermis, maka dimanipulasi
dengan mengatur flow steam pada jaket yang melingkupi reaktor.
Diantara variabel yang dimanipulasi dan pengukuran temperatur
terdapat dua proses yang lambat, yaitu :
a. transfer panas antara campuran reaksi dan sensor temperatur
(lihat bagian 3.3), dan
b. transfer panas dari steam menuju campuran reaksi. Dengan
demikian respon secara keseluruhan akan bertambah sluggish
dan penggunaan kontroler PI akan membuat respon lebih
sluggish. Oleh karena itu, kontroler PID merupakan kontroler
yang tepat pada sistem ini, karena kita dapat menaikkan gain
untuk mempercepat responnya tanpa mempengaruhi kestabilan
sistem.
4) Kontrol komposisi: Pada kasus ini, kita dihadapkan pada situasi yang
sama pada kontrol temperatur (yaitu respon sangat lambat yang
disebabkan oleh lambatnya respon sensor komposisi). Dengan
demikian kontroler PID merupakan kontrol yang sesuai.
122

Kontroler

Reaktan Steam

TT
Tm

T
Tst

Produk

Kondensat

Gambar 6.6. Kontrol temperatur didalam jaket CSTR

6.4 Tuning Kontroler


Setelah kita memilih tipe kontroler umpan balik, kita masih
mempunyai kendala dalam menentukan nilai yang akan kita gunakan
sebagai parameter. Hal ini disebut sebagai tuning kontroler. Terdapat 3
pendekatan untuk mentuning kontroler, yaitu :
1) Dengan menggunakan kriteria yang sederhana, seperti seperempat
decay ratio (lihat Contoh kasus 6.1), minimum settling time,
menimum error tertinggi dst. Pendekatan ini cukup sederhana dan
mudah untuk diimplementasikan pada proses yang sebenarnya.
Biasanya metode ini membutuhkan solusi yang beragam (lihat Contoh
kasus 6.1). Spesifikasi tambahan pada performansi closed loop
selanjutnya dibutuhkan untuk menghindari keragaman kriteria dan
memilih satu nilai sebagai parameternya.
2) Menggunakan kriteria performansi waktu integral seperti ISE, IAE,
atau ITAE (lihat Contoh kasus 6.2). Kriteria ini memakan waktu dalam
prosesnya dan kesulitan dalam mendapatkan model matematika
(fungsi transfer) proses. Dengan metode eksperimental pada proses
yang sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama.
3) Dengan menggunakan aturan semiempiris yang telah dibuktikan pada
kondisi praktis.
123

Pada bagian ini kita akan mendiskusikan metode tuning empiris yang
sangat populer, disebut sebagai metode kurva reaksi proses, yang
dikembangkan oleh Cohen-Coon.

d (s )

c ( s)  A / s
ySP (s ) Gd

+  (s)

+
+ y (s )
G G Gp
-
c f

ym (s )
G
m

Gambar 6.7. Kontrol loop yang terbuka

Perhatikan sistem kontrol pada Gambar 6.7. Sistem ini semula


merupakan sistem closed loop, kemudian kita putus jalur dari kontroler
yang menuju final kontrol elemen, sehingga menjadi sistem open loop.
Selanjutnya kita berikan input unit step dengan amplitudo A pada
variabel c yang akan mengaktuasi final kontrol elemen. Pada valve, c
merupakan posisi stem. Kita simpan nilai outputnya tiap waktu. Kurva
y m (t ) disebut sebagai kurva reaksi proses. Fungsi transfer antara
y m (t ) dan c adalah (lihat Gambar 6.7) :
y m ( s)
GPRC ( s)   G f ( s ) G p ( s ) Gm ( s ) (6.7)
c ( s)
Persamaan (6.7) menunjukkan bahwa kurva reaksi proses tidak hanya
dipengaruhi oleh dinamika proses utama tetapi juga oleh dinamika
pengukuran sensor dan final kontrol elemen.
Cohen dan Coon telah meneliti bahwa respon sebagian besar unit
pemroses terhadap perubahan input mempunyai bentuk S (lihat Gambar
6.8a), yang cukup bisa diperkirakan dengan respon sistem orde pertama
dengan dead time (lihat kurva putus-putus pada Gambar 6.8b) :
124

y m (s) K e  t d s
GPRC ( s)   (6.8)
c ( s)  s 1
Yang mempunyai tiga parameter : gain statik K , dead time t d , dan time
constant  . Dari perkiraan respon pada Gambar 6.8, mudah untuk
mengestimasi ketiga nilai parameter ini. Jadi,

Output ( pada kondisi steady ) B


K 
Input ( pada kondisi steady ) A

  B / S , dim ana S merupakan slope respon sigmoid pada titik inf leksi
t d  Lama Waktu hingga sistem merespon
Cohen dan Coon menggunakan perkiraan model pada persamaan
(6.8) dan mengestimasi parameter K, t d , dan  seperti yang ditunjukkan
diatas.
m m
Respon yang
sebenarnnya
B B

Respon
Pendekatan
S Slope = S

td t td t
(a) (b)

Gambar 6.8. (a) Kurva reaksi proses (b) Perkiraan sistem orde pertama plus
dead time

Kemudian mereka menurunkan persamaan yang terbaik buat


seting kontroler dengan menggunakan perubahan load dan berbagai
kriteria performansi, seperti :
 Seperempat decay ratio
 Minimum Offset
 Minimum Integral Square Error (ISE)
125

Rangkuman analisa diatas dapat ditulis sebagai berikut :


1) Untuk Kontroler Proporsional, gunakan :
1   t 
Kc  1  d  (6.9)
K td  3 
2) Untuk Kontroler Proporsional – Integral, gunakan :
1   t 
Kc   0.9  d  (6.10a)
K td  12 
30  3 t d / 
 I  td (6.10b)
9  20 t d / 
3) Untuk Kontroler Proporsional – Integral – Derivatif , gunakan :
1   4 td 
Kc    
K t d  3 4
(6.11a)

32  6 t d / 
 I  td (6.11b)
13  8 t d / 
4
 D  td (6.11c)
11  2 d / 
Catatan :
1) Setting kontroler yang diberikan oleh persamaan (6.9), (6.10), dan
(6.11) didasarkan pada asumsi bahwa sistem orde pertama plus
deadtime mempunyai pendekatan yang baik pada respon open
loop proses yang sebenarnya, yaitu berbentuk sigmoid. Akan tetapi,
masih dimungkinkan menggunakan setting Cohen-Coon walaupun
perkiraan model yang kita tentukan masih jauh dari model. Hal ini
disebabkan setting Cohen – Coon dipandang sebagai tebakan
awal yang dibutuhkan sebagai koreksi secara on-line.
2) Kenapa kebanyakan proses open loop mempunyai respon dengan
bentuk sigmoid seperti pada Gambar 6.8a ?. Pertanyaan ini dapat
dijawab dengan menggunakan analisa dari bab 10 hingga 12. Seperti
telah kita ketahui bahwa hampir keseluruhan proses yang terjadi
pada plant adalah berupa sistem orde pertama yang
sederhana atau proses multi kapasitas yang secara umum
126

menghasilkan bentuk respon overdamped seperti kita lihat pada


Gambar 1.1a dan 1.6. Karakteristik osilasi underdamped ditimbulkan
terutama oleh adanya kontroler umpan balik. Oleh karena itu, ketika
kita membuka loop (Gambar 6.7) dan memutuskan kontroler,
responnya mempunyai bentuk sistem overdamped.
3) Dari persamaan (6.9), (6.10a) dan (6.11a), yang memberikan nilai gain
proporsional K c pada ketiga kontrolernya, dapat kita simpulkan :
a) Gain kontroler PI adalah lebih kecil daripada kontroler P. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa mode kontrol integral membuat
sistem lebih sensitif (dapat menyebabkan ketidakstabilan)
sehingga nilai gain-nya harus lebih konservatif.
b) Efek kestabilan pada mode kontrol derivatif memberikan
kebebasan kepada kita untuk menggunakan gain proporsional
yang lebih besar pada kontroler PID (lebih tinggi daripada gain
proporsional pada kontroler P atau PI)

Contoh Kasus 6.4 : Tuning Kontroler Umpan balik pada Kurva Reaksi Proses
Pada Contoh berikut ini kita akan menganalisa bagaimana dinamika
beberapa tipikal proses yang mempengaruhi hasil tuning , yang
direkomendasikan oleh Cohen-Coon.
1) Proses dengan delay yang sangat kecil (dead time): Ketika t d sangat
kecil (hampir nol), maka kurva reaksi prosesnya (Gambar 6.8)
merupakan sistem orde pertama. Setting Cohen-Coon menggunakan
nilai yang besar pada gain proporsional K c [lihat persamaan (6.9),
(6.10a), dan (6.11a)]. Pada aplikasi praktis, kita akan menggunakan
gain yang sebesar mungkin untuk menghindari timbulnya offset jika
kontrolernya berupa proporsional. Jika kontroler yang digunakan
adalah PI, nilai gain-nya ditentukan sesuai dengan karakteristik
respon yang diinginkan.
2) Proses multi kapasitas: Perhatikan dua sistem orde pertama yang
disusun secara seri :
Kp
Gp 
 1 s  1  2 s  1
127

Jika alat pengukur dan kontrol valve (final kontrol elemen) mempunyai
dinamika orde pertama sebagai berikut :
Km Kf
Gm  Gf 
 m s  1
dan
 f s  1
Dengan demikian fungsi transfer antara variabel kontrol aktuasi c dan
pengukuran output ym yang direkam sesuai dengan [lihat
persamaan (6.7)] :
K f K p Km
GPRC  G f G p Gm 
 f s  1  I s  1  2 s  1  m s  1
(6.12)

Persamaan (6.12) menunjukkan bahwa kurva reaksi proses


mempunyai karakteristik dinamik seperti pada respon sistem yang
tersusun atas empat sistem orde pertama secara seri (mempunyai bentuk
kurva sigmoid). Gambar 6.9 menunjukkan bahwa kurva reaksi proses
untuk nilai berikut :
Kp 1 Km  1 K f 1
I  5 2  2 f 0
 m  10

S = Kemiringan pada titik infleksi = 0.05


B = Respon terakhir = 1
 = Efektif waktu constant = B / S = 1 / 0.05 = 20
td = Dead time = 2.5
K = Gain = B / A = 1/1 = 1
Dengan menggunakan data-data diatas, maka kita dapat
menggambar kurva reaksi proses dengan pendekatan sistem orde
pertama dengan dead time :
e  2.5 s
G PRC 
20 s  1
128

Respon yang dihasilkan dapat ditunjukkan pada Gambar 6.9. Dapat kita
lihat bahwa perkiraan respon tercapai hingga respon mencapai 40 % dari
nilai akhir.
Dengan menggunakan seting Cohen-Coon, kita dapatkan :
 Untuk Kontroler Proporsional :
K c  8.3
 Untuk Kontroler Proporsional-Integral :
K c  7.3 dan  I  6.6
 Untuk Kontroler Proporsional-Integral-Derivatif :
K c  10.9  I  5.85  D  0.89

1.0
Respon

0.75

Respon
0.5 Pendekatan

0.25

0
td 25 50 t

Gambar 6.9. Kurva reaksi proses multi kapasitas yang sebenarnya dan perkiraannya
pada Contoh 6.4

y (t) y (t)

2 1

1 0

1 1 1
 Penurunan rasio  Penurunan rasio 
4 3 3

0 -1
25 50 t 0 25 50 t
(a) (b)

Gambar 6.10. Respon closed loop proses multikapasitas pada Contoh kasus 6.4
untuk (a) Setpoint dan (b) Perubahan unit step pada load
129

Gambar 6.10 menunjukkan respon closed loop dengan perubahan


setpoint (Gambar 6.10a) dan perubahan load (Gambar 6.10b). Dapat kita
simpulkan bahwa setting Cohen-Coon menghasilkan karakteristik
underdamped dengan decay ratio yang cukup baik.

Contoh kasus 6.5 : Tuning Kontroler Pada Proses yang tidak diketahui modelnya
Metodologi tuning kontroler dengan menggunakan kurva reaksi
proses tidak dapat dilakukan jika dinamika pada proses utama, sensor
pengukur dan final kontrol elemen tidak diketahui secara pasti (kita tidak
dapat mengetahui secara pasti orde dinamika atau nilai parameternya).
Dengan keadaan demikian, kita tidak dapat memodelkan kurva reaksi
proses untuk setiap device pada sistem (proses, sensor, dan final kontrol
elemen). Alternatifnya adalah dengan memodelkan keseluruhan sistem
berdasarkan data eksperimen.
Sebagai contoh, sistem kontrol reaktor yang ditunjukkan pada
gambar 6.6 merupakan sistem yang kompleks dan kemungkinan kita tidak
dapat memodelkan secara presisi masing-masing proses yang terjadi pada
reaktor berikut :
 Reaksi kinetik
 Reaksi panas
 Karakteristik mixing didalam tangki
 Kapasitas panas pada reaksi mixing
 Koefisien transfer panas menyeluruh antara steam dan reaksi mixing
 Efektifitas dinamika thermocouple
 Gain dan time constant pada thermocouple
 Karakteristik valve steam
Namun untuk mendesain kontroler pada reaktor ini, kita tidak
memerlukan pemodelan secara ditail seperti pada masing-masing proses
diatas. Kita cukup mengetahui model proses secara menyeluruh melalui
data eksperimen yang kita dapatkan dari plant.
130
131

DAFTAR PUSTAKA
1) Carlos A. Smith, Armando B.Corririo, “Principle and Practice of Process
Control”, John Wiley&Sons.Inc, New York, 1997
2) Coughanowr, Donald R. “Process Systems Analysis and Control”,
2ndedition. McGraw Hill. USA, 1991.
3) Douglas M. Considine, “Process Control, Instrument Engineer
Handbook”, McGraw-Hill, New York, USA, 1974.
4) Goodwin C. Graham, “Control System Design”, Prentice Hall, saddle
River, New Jersey 1998.
5) Marlin, Thomas E. Process Contro : Designing Processes and Control
Systems for Dynamic Performance, New York: McGraw-Hill, 1995.
6) Ogata.Katsuhiko, “Modern Control Engineering”, Prentice Hall Inc,
N.J, USA, 1997.
7) Ogata. Katsuhiko, “system dynamics”, Prentice Hall, saddle River,
New Jersey 1998.
8) Seborg Dale E., Thomas F. Edgar, Duncan A. Mellichamp, “Process
Dynamic Control”, John Wiley & Sons, Inc, Ney York, 1989
9) Stephanopoulos, George.” Chemical process control”. Prentice Hall
PTR, 2003.
132
Totok R. Biyanto, Ph.D (TRB) adalah
seorang pengajar di bidang Instrumentasi,
Process Control dan Optimization, Jurusan
Teknik Fisika (Engineering Physics),
Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya, Indonesia. Dia melakukan
pendidikan dan penelitian Instrumentasi,
Process Control dan Optimization pada
industri oil and gas, petrochemical, semen,
powerplant, dan general industires, green building, energy
effisiency and conservation, heat integration, dan plant design.

133
134

Anda mungkin juga menyukai