pada Proses
i
DAFTAR ISI
BAB I. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE PERTAMA ............................ 1
1.1 Apakah Sistem Orde Pertama Itu ? ................................................ 1
1.2 Proses Pemodelan Matematik Pada Sistem Fisis Dalam Bentuk
Sistem Orde Pertama .................................................................... 2
1.3 Respon Dinamik untuk proses murni kapasitif ............................... 7
1.4 Respon Dinamik untuk sistem Sistem Orde Pertama dengan Lag .. 8
1.5 Sistem Orde Pertama Dengan Variabel Time Constant dan Gain . 12
BAB II. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE DUA ................................... 15
2.1 Apakah Yang Dimaksud dengan Sistem Orde Dua ? ..................... 15
2.2 Respon Dinamik dari Sistem Orde Dua ........................................ 16
2.3 Sistem Orde Dua Sebagai Akibat Proses Multi Kapasitas.............. 22
2.4 Penurunan Proses Orde Dua ....................................................... 32
2.5 Sistem Orde Dua Timbul karena Kehadiran Kontroler.................. 33
2.6 Beberapa Contoh Proses Sistem Orde Dua .................................. 36
BAB III. KONTROL UMPAN BALIK .................................................................. 43
3.1 Konsep Dasar Kontrol Umpan Balik ............................................. 43
3.2 Beberapa Tipe Kontroler Umpan balik ......................................... 48
3.3 Device Pengukur (Sensor) ............................................................ 54
3.4 Jalur Transmisi............................................................................. 57
3.5 Final Control Elemen ................................................................... 58
BAB IV. Dinamika Proses Kontrol Umpan balik ............................................ 65
4.1 Diagram Blok dan Respon Closed loop ........................................ 65
4.2 Efek Kontrol Proporsional pada Respon Pengendalian Proses ..... 73
4.3 Efek Kontrol Integral.................................................................... 82
4.4 Efek Kontrol Derivatif .................................................................. 86
4.5 Efek Dari Kombinasi Aksi Kontrol ................................................. 87
Bab V. Analisa Kestabilan pada Sistem Umpan balik.................................... 89
5.1 Persyaratan Kestabilan ................................................................ 89
5.2 Persamaan Karakteristik .............................................................. 94
5.3 Kriteria Kestabilan Routh-Hurwitz ............................................... 96
5.4 Analisa Root Locus..................................................................... 100
BAB VI. Desain Kontroler Umpan balik ...................................................... 107
6.1 Permasalahan Dalam Desain Kontroler...................................... 107
6.2 Kriteria Performansi yang Sederhana ........................................ 108
6.3 Pemilihan Tipe Kontroler Umpan balik ...................................... 117
6.4 Tuning Kontroler ....................................................................... 122
Daftar Pustaka ............................................................................................ 131
iii
BAB I. KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM ORDE PERTAMA
a 1 dy b
y f (t )
a 0 dt a0
a1 b
yang didefinisikan oleh : p dan Kp
a0 a0
sehingga,
dy
p y K p f (t ) (1.2)
dt
y ( s) Kp
G ( s) (1.3)
f ( s) p s 1
Proses orde pertama dengan fungsi transfer yang diberikan oleh
persamaan (1.3) juga disebut sebagai first-order lag, linier lag, atau
exponential transfer lag.
1
2
dy b
f (t ) Kp ' f (t )
dt a 1
dengan fungsi transfer sebagai berikut :
'
y ( s) K p
G ( s) (1.4)
f ( s) s
Dalam kasus seperti ini proses dikatakan murni kapasitif atau murni
integrator.
Contoh kasus 1.1. Sistem Orde Pertama pada Kapasitas Penyimpan Massa
Perhatikan tangki yang ditunjukkan pada Gambar 1.1a. Volumetrik
(Volume/waktu) laju aliran yang masuk (flow in) adalah Fi dan laju aliran
yang keluar (outlet) adalah Fo. Pada aliran keluar terdapat resistansi pada
aliran, seperti pipa, valve. Asumsikan laju aliran Fo pada tekanan
hidrostatik yang relatif linier terhadap level air h, melalui resistansi R:
h
Fo
R
h h
A A
Fo
R
Fo
(a) (b)
Gambar 1.1. Sistem dengan kapasitas untuk penyimpan massa : (a) orde
pertama ; (b) murni kapasitif
4
Catatan :
1. Luas area tangki, A, merupakan ukuran kapasitas untuk menyimpan
massa. Sehingga semakin besar nilai A, maka akan semakin besar
kemampuan penyimpanan kapasitas tangki.
2. Karena nilai p = AR, dapat kita simpulkan bahwa :
(time constant) = (Kapasitas menyimpan) x (Resistansi laju) (1.9)
Contoh Kasus 1.2. Sistem Orde Satu pada Kapasitas Penyimpan Energi
Cairan pada tangki dipanaskan dengan uap dalam keadaan saturasi, yang
mengalir melalui koil (Gambar 1.2). Kesetimbangan energi pada sistem
adalah sebagai berikut :
dT
V cp Q U At (Tst T ) (1.10)
dt
5
T
Q
T st
dimana :
V = Volume cairan pada tangki
, c p = Massa jenis cairan dan kapasitas panas
U = Koefisien perpindahan panas total antara uap dan cairan
At = Total area perpindahan panas
Tst = Temperatur uap saturasi
Catatan :
1. Persamaan 1.13 menggambarkan secara jelas bahwa sistem diatas
merupakan sistem orde pertama.
2. Kapasitas sistem untuk menyimpan energi panas dan resistansi pada
laju aliran panas ditunjukkan oleh besarnya nilai U.
3. Kapasitas penyimpan energi panas dihitung oleh persamaan V c p .
Sedangkan resistansi laju aliran panas dari uap menuju cairan sesuai
dengan persamaan 1 . Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa
U At
time constant pada sistem ini sama dengan persamaan yang
diberikan pada sistem tangki (Contoh kasus 1) yaitu :
V cp
Time constant = p =
U At
p = (Kapasitas yang tersimpan) x (Resistansi Laju aliran )
h ( s) 1 / A
G ( s) (1.16)
Fi ( s) s
Kp‘
1.4 Respon Dinamik untuk sistem Sistem Orde Pertama dengan Lag
Fungsi transfer ini untuk sistem yang sesuai dengan persamaan 1.3,
yaitu
y ( s) Kp
G ( s)
f ( s) p s 1
Mari kita amati bagaimana repon yang terjadi dengan perubahan unit
step pada f(t). Seperti pada persamaan 1.5, sinyal uji step adalah :
1
f (s) , sehingga outputnya adalah sebagai berikut :
s
Kp Kp Kp
y ( s) (1.17)
s( p s 1) s p s 1
Invers persamaan 1.17 menjadi,
t / p
y(t ) K p (1 e ) (1.18)
Jika perubahan fungsi step pada f(t) sesuai dengan besarnya A, maka
respon 1.18 menjadi
t / p
y(t ) AK p (1 e ) (1.19)
Gambar 1.4 menunjukkan bagaimana y(t) berubah terhadap waktu. Plot
pada Gambar 1.4 adalah dalam bentuk koordinat :
9
y (t ) t
versus
AK p p
1.0
0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4
0.2
0
1 2 3 4 5
t
p
Gambar 1.4. Respon orde pertama dengan lag terhadap perubahan input step
Contoh Kasus 1.4. Efek beberapa parameter pada respon sistem orde satu
Perhatikan sistem tangki pada Contoh kasus 1.1. Pada sistem ini
dapat kita amati dua parameter yaitu :
a. Parameter luasan pada tangki, A
b. Parameter resistansi pada laju aliran cairan , R
Atau dari parameter yang lain, tetapi masih dalam sudut pandang yang
sama, yaitu:
a. Time constant proses, p
b. Gain statis, Kp
Misal terdapat dua tangki dengan luasan A1 dan A2, dimana A1 > A2,
dengan resistansi yang sama, R. Dari persamaan (1.9) kita dapatkan
bahwa p1 >
p2 (Tangki dengan luasan daerah yang lebih besar akan
memiliki time constant yang lebih besar juga) dengan gain statik yang
sama. Ketika kedua tangki diberikan perubahan unit step yang sama pada
laju aliran masuk, level cairan pada pada masing-masing tangki
meresponnya sesuai dengan persamaan 1.19 yang ditunjukkan pada
Gambar 1.5a. Dapat kita amati bahwa level tangki dengan luasan daerah
yang lebih kecil akan merespon lebih cepat pada awalnya, tetapi
selanjutnya , kedua level mencapai kondisi steady state yang sama.
Sekarang kita misalkan kedua tangki memiliki luasan area A1 dan A2
yang berbeda dan resistansi R1 dan R2 juga berbeda, sehingga memenuhi
persamaan :
A1 R 2
(1.21)
A2 R1
atau
p1 = A1 R1 = A2 R2 = p2
pada akhirnya level cairan akan naik lebih tinggi daripada level pada
tangki dengan resistansi R1. Hal ini sesuai dengan pengalaman fisis kita
dan juga menjelaskan fakta bahwa semakin besar gain statik dari suatu
proses, maka akan semakin besar pula nilai output steady state-nya
dengan perubahan input yang sama.
h h
K P2 = R 2
Tangki
Dengan A = A1 K P1 = R 1
Tangki 1 1
Dengan A = A2 p1 =
p2
t t
(a) (b)
Gambar 1.5. Efek (a) Time constant (b) Gain statik , pada respon sistem orde
pertama
1.5 Sistem Orde Pertama Dengan Variabel Time Constant dan Gain
Pada bagian sebelumnya, kita mengasumsikan bahwa koefisien pada
persamaan differensial orde pertama (persamaan 1.1) adalah konstan.
Hal ini membawa kepada suatu kesimpulan bahwa time constant p dan
steady state gain Kp proses juga constant. Tetapi hal ini menjadi tidak
tepat untuk jumlah komponen yang sangat banyak dalam proses industri.
Realitanya, pada plant, kita akan lebih banyak menjumpai proses dengan
time constant dan gain berupa variabel daripada yang berupa constant.
Mari kita lihat Contoh kasus berikut
Contoh kasus 1.5. Sistem tangki dengan variabel time constant dan gain
Untuk sistem tangki yang telah dibahas pada Contoh kasus 1.1, kita
asumsikan laju aliran effluent (yang keluar), Fo, level cairan tidak berupa
fungsi linier, akan tetapi diberikan oleh persamaan berikut (terjadi pada
aliran turbulent):
Fo h kons tan
13
Sistem dinamik orde dua atau yang lebih tinggi dapat terjadi pada
banyak situasi. Berikut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori :
a. Proses multi kapasitas , yaitu proses yang terdiri atas dua atau lebih
kapasitas (sistem orde satu) yang diseri, dimana materi dan energinya
berubah tiap waktu. Dalam bab sebelumnya kita telah membahas
sistem ini.
b. Penurunan sistem orde dua, Sistem semacam ini terdapat pada
komponen fluida atau padat mekanik yang dapat menimbulkan
inersia dan percepatan. Sistem seperti ini jarang terjadi pada proses
industri. Hal ini disebabkan sistem ini secara alami, tanpa adanya
interaksi dengan sistem yang lain sudah memiliki karakteristik asal
berupa orde kedua. Kita akan mendeskusikan lebih jelas lagi pada
bagian 2.4 dan tiga contoh yang lain akan diberikan pada bagian 2.6.
c. Sistem yang diproses melalui kontroler, Pada kasus ini, kontroler
yang telah di instal pada unit proses akan menambah karakteristik
dinamik keseluruhan sistem, sehingga kelakuan sistem menjadi orde
dua atau lebih. Hal ini akan dijabarkan lewat Contoh pada bagian 2.5.
Sebagian besar sistem orde dua atau yang lebih tinggi yang terjadi
pada plant disebabkan oleh proses multi kapasitas dan efek dari adanya
kontroler. Sangat jarang dijumpai didalam proses tunggal (bukan
multikapasitas) menghasilkan dinamika sistem orde dua atau orde yang
lebih tinggi.
Dua pole pada fungsi transfer orde dua didapatkan dari akar-akar
karakteristik polinomial pada bagian penyebut, yaitu
2 s 2 2 s 1 0
Akar-akarnya adalah ,
2 1 2 1
p1 dan p2 (2.5)
Dan bentuk respon y(t) akan tergantung pada lokasi dari dua pole,
p1 dan p2 , yang bisa dilihat pada grafik bidang kompleks (complex
plane). Dari sini kita akan mendapatkan tiga kondisi yaitu:
Kondisi A : Ketika 1 , akan terdapat dua pole berbeda dan
bernilai real
Kondisi B : Ketika 1 , akan terdapat dua pole yang sama (multi
pole ) dan juga bernilai real.
Kondisi C : Ketika 1 , akan terdapat dua pole konjugat
kompleks.
Mari masing-masing kita diskusikan lebih lanjut,
e e e e
sinh dan cosh
2 2
Respon Teredam
1
Kritis 1
1
Respon Over
Damped
2 2 1 1
t
(a)
Faktor 0.1
Damping
0.2
0.4
0.7
Y(t)
Kp 1
1.5
10
t
p
(b)
Gambar 2.1. Respon sistem orde dua terhadap perubahan input unit step
19
Proses untuk mendapatkan gain dari sistem orde dua sama dengan
sistem orde pertama, yaitu:
Respon ini juga terdapat pada Gambar 2.1a. Dapat kita amati bahwa
sistem orde dua dalam bentuk critical damping mencapai nilai akhir
(setpoint) lebih cepat daripada sistem overdamped.
Kondisi C : Respon under damped, yaitu ketika 1 .
Invers dari persamaan 2.4 pada kondisi ini adalah sebagai berikut,
e t / sin t
1
y (t ) K p 1 (2.9)
1 2
dimana :
1 2
(2.10)
dan
1 2
tan 1
Respon untuk berbagai faktor damping, dapat dilihat pada Gambar
2.1b. Dari Gambar 2.1b dapat kita simpulkan beberapa hal berikut :
20
Kp Kp / 2
G( s) 2 2
s 1 1 1 (2.14)
s j s j
Persamaan ini memiliki 2 pole imajiner (terletak pada axis
imaginer). Sistem semacam ini akan berosilasi secara kontinu dengan
amplitudo yang tetap dan dengan frekuensi natural sebagai berikut :
1
n (2.15)
dengan periode osilasi Tn sesuai dengan persamaan :
Tn 2 (2.16)
22
Proses multi kapasitas tidak hanya dilihat dari jumlah unit pemroses
yang lebih dari satu seperti pada contoh dua tangki diatas. Semua
komponen kapasitas yang mendukung unit proses yang sama juga bisa
dikategorikan sebagai sebuah proses multi kapasaitas. Sebagai contoh,
CSTR merupakan multi kapasitas karena terdapat dua kapasitas yaitu
kapasitas untuk menyimpan massa dan energi. Kolom distilasi juga
merupakan contoh dari proses multi kapasitas karena di dalamnya
terdapat tray yang mampu menyimpan kapasitas massa (cairan holdup)
serta kemampuan untuk menyimpan kapasitas energi panas yaitu pada
bagian reboiler dan kondensor.
24
y1 ( s) K p1 y 2 ( s) K p2
G1 ( s) G2 ( s )
f1 ( s ) p 1 s 1 y1 ( s) p 2 s 1
Fungsi transfer secara menyeluruh antara input eksternal
f1 (t ) dan y 2 (t ) adalah
y2 ( s) y2 ( s) y1 ( s) K p1 K p2
G0 ( s) G1 ( s) G2 ( s) (2.18)
f1 ( s) y1 ( s) f1 ( s) p1 s 1 p 2 s 1
atau
1.0
0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4
0.2
0
(2.19)
1 2 3 4 5
t
p
Dimana,
( ) 2 p 1 p 2
2 p 1 p 2
K p K p 1 K p 2
Persamaan 2.19 menunjukkan secara jelas bahwa respon sistem
secara menyeluruh adalah orde dua. Dari persamaan 2.18 diketahui
bahwa dua pole dari keseluruhan fungsi transfer adalah real dan berbeda
:
1 1
p1 p2
p1 p2
jika time constant p 1 dan p 2 adalah sama, maka terdapat dua pole
yang sama. Sehingga kapasitas non interaksi dapat dipastikan selalu
menghasilkan sistem orde dua dengan bentuk respon overdamped atau
critically damped. Respon dari dua kapasitas non interaksi terhadap
perubahan unit step adalah sesuai dengan persamaan 2.7 untuk kasus
overdamped dan sesuai dengan persamaan 2.8 untuk kasus critically
damped. Persamaan 2.7 juga eqivalen dengan persamaan berikut :
26
y (t ) K p 1
1
t / t /
p1 e p 1 p 2 e p 2
(2.20)
p 2 p1
dimana K p K p1 K p 2
Untuk kasus N kapasitas non interksi (Gambar 2.4b), fungsi transfer secara
keseluruhan adalah :
K p1 K p 2 K p N
G0 ( s) G1 ( s) G2 ( s) GN ( s) (2.21)
( p1 s 1 ) ( p 2 s 1 ) ( p N s 1 )
Contoh Kasus 2.1. Dua Kapasitas Non Interaksi Materi Secara Seri
Pada contoh kasus ini dapat dilihat pada Gambar 2.3a. Fungsi transfer
untuk dua tangki adalah :
27
h 1 ( s) K p1
G1 ( s) dan
F i ( s) p 1 s 1
h 2 ( s) Kp2
G2 ( s)
F 1 ( s) p 2 s 1
berdasarkan persamaan 1.1, kita dapatkan
K p1 R 1 Kp2 R 2 p1 A 1 R 1 p2 A 2 R 2
dan variabel h1 , h2 , F i , dan F1 adalah bentuk selisih antara dinamik
dan steady state. Diketahui sebelumnya bahwa :
h1
F1
R1
Sedangkan fungsi transfer secara keseluruhan adalah :
h 2 ( s) K p2
G0 ( s )
F i ( s) p 1 s 1 p 2 s 1
(2.22)
(delay) yang lama yang disebut juga transfer lag adalah karakteristik
dari sistem multi kapasitas.
b. Semakin bertambah jumlah kapasitas yang disusun seri, delay pada
awal respon (sluggishness) juga akan bertambah besar.
Karena sistem ini saling mempengaruhi, maka persamaan 2.24a dan 2.24b
harus diselesaikan secara simultan. Dari sinilah sistem kapasitas yang
saling berinteraksi dapat dikenali, yang ditunjukkan oleh efek mutual
(saling mempengaruhi) dari dua kapasitas.
Pada kondisi steady state, persamaan 2.24a dan 2.24b adalah
h1, s h2, s R 1 Fi , s (2.25a)
R R
1 2 h2, s 2 h1, s 0 (2.25b)
R1 R1
Selisih dari persamaan 2.25a dan 2.24a serta 2.25b dan 2.24b dapat ditulis
dalam bentuk variabel berikut ini :
29
dh1
A1 R 1 h1 h2 R 1 Fi (2.26a)
dt
dh2 R R
A2 R2 1 2 h2 2 h1 0 (2.26b)
dt R1 R1
R Solusi
A 1 R 1 s 1 h1 (s) h2 (s) R1 Fi (s) R 2 h1 ( s) A 2 R 2 s 1 2 h2 ( s) 0
R1 R 1
h 1 ( s)
p2 R 1 s R 1 R 2
Fi ( s)
p 1 p 2 s p 1 p 2 A 1R 2 s 1
2
(2.27a)
R2
h 2 ( s) Fi ( s)
p 1 p 2 s p 1 p 2 A 1R 2 s 1
2
(2.27b)
Catatan :
1. Dari persamaan 2.27b dapat diketahui bahwa kedua pole pada fungsi
transfer ini adalah :
p 1 p 2 A 1 R 2 p 2 A 1 R 2 4 p 1 p 2
2
p1
p1, 2 (2.28)
2 p 1 p 2
30
dengan
p1 p 2 A 1 R 2 4 p1 p 2 0
2
Contoh Kasus 2.3 : CSTR Sebagai Sistem dengan Interaksi dua kapasitas
CSTR (Chemical Stirred Tank Reactor) mempunyai karakteristik
kemampuan untuk menyimpan massa dan energi. Kedua kapasitas ini
akan berinteraksi jika ada perubahan laju aliran masuk dari pemanas.
Perubahan laju aliran ini akan mempengaruhi level cairan pada tangki,
yang membawa efek pada temperatur pada cairan . Sehingga respon
temperatur terhadap perubahan ini akan berupa sistem orde dua yaitu
overdamped. Ketika tidak ada perubahan aliran masuk dari pemanas,
maka respon temperatur adalah berupa sistem orde pertama.
Pada proses CSTR terjadi pada satu unit pemroses, berbeda dengan
dua tangki yang disusun seri karena terdapat dua unit pemroses. Akan
tetapi CSTR juga merupakan kategori multi kapasitas karena proses
didalamnya melibatkan dua kapasitas yaitu massa dan energi.
Kesetimbangan gaya
Massa sistem x Percepatan. (2.31)
pada sistem
d Kecepatan
Percepa tan
dt
33
d Perpindahan ruang
Kecepa tan
dt
Kesetimbangan gaya d2
Massa sistem x Perpindahan ruang (2.32)
pada sistem dt 2
Respon yang terjadi pada persamaan 2.32 merupakan sistem orde kedua.
Persamaan 2.31 dan 2.32 akan menjadi dasar bagi contoh yang diberikan
pada bagian 2.6.
Contoh kasus 2.4 : Proses Orde pertama yang mempunyai respon sistem
orde kedua dengan adanya sistem kontrol pada proses
Perhatikan tangki yang ditunjukkan pada Gambar 1.1a (Contoh kasus
1). Sistem ini merupakan sistem orde pertama yang sederhana dengan
fungsi transfer pada persamaan 2.8. Kita akan mengendalikan level cairan
pada setpoint yang diinginkan ketika terjadi perubahan unit step pada laju
aliran masuk, Fi. Kita akan menggunakan sistem kontrol umpan balik yang
ditunjukkan pada Gambar 2.6a. Pada sistem kontol ini mengukur level
cairan dan membandingkan dengan nilai pada saat steady state. Jika level
berada diatas nilai setpoint, maka laju aliran keluar, Fo, akan dinaikkan
dengan bukaan valve V yang lebih besar dan sebaliknya akan menutup
jika level berda dibawah setpoint. Mari kita lihat bagaimana kehadiran
kontroler ini akan merubah orde pada kelakuan dinamika tangki dari
sistem orde pertama menjadi sitem orde kedua.
Dinamika kesetimbangan massa pada tangki sebagai berikut,
dh
A Fi Fo (2.33)
dt
34
Fi
h Proporsional-
Integral controler
(a)
h (t )
1
1
1
(b)
Gambar 2.6. (a) Kontrol umpan balik ; (b) Kelakuan sistem orde dua pada level
cairan
Dalam kondisi steady state didapatkan :
0 Fi , s Fo, s (2.34)
dari persamaan 2.38 dapat kita tentukan fungsi transfer antara input
eksternal Fi dan output h (s) sebagai berikut
h ( s) K s
2 2 p
Fi ( s) s 2 s 1
A 1 1
Dimana 2 , 2 1 , K p . Persamaan ini dapat
Kc Kc
ditulis dalam bentuk
A 1 1 Kc 1
dan
Kc 2 A
h
Tangki
Tinggi Awal
p1 p2 Indikator
h h hm
Titik C
(a) (b)
Gambar 2.7 (a) Manometer; (b) Indikator Level Eksternal
37
dimana :
p1 , p2 = Tekanan pada puncak atas kaki 1 dan 2
A1 , A2 = Luas pada kaki 1 dan 2, biasanya A1 A2 A
= Massa jenis dari cairan pada manometer
g = percepatan gravitasi
gc = Konstanta konversi
m = Massa cairan pada manometer = A L
v = Kecepatan rata-rata Cairan dalam tabung
h = Deviasi level antara titik awal dan akhir
L = Panjang cairan pada tabung manometer
Dimana :
R = Jari-jari pipa dimana cairan mengalir
= Viskositas aliran cairan
L = Panjang pipa
P = Penurunan tekanan yang disebabkan friksi cairan sepanjang
panjang pipa.
Dari sini, kita terapkan persamaan Poiseuille pada aliran cairan dalam
manometer, yaitu :
Gaya pada p R 2 8 L dh
A 2 (2.41)
gesekan fluida gc R gc dt
Kita masukkan persamaan 2.41 dan 2.42 pada persamaan 2.39, kita
dapatkan
2 g A 8 L dh A L d 2 h
p A h 2
gc R gc dt gc dt 2
Akhirnya, setelah kedua sisi persamaan dibagi oleh 2 g A / gc , maka
persamaan diatas menjadi,
L d 2h 4 L dh g
2 h c p (2.43)
2 g dt g R dt
2
2 g
Kita tentukan
2 L / 2 g , 2 4L / g R 2 , dan K p g c / 2 g didapatkan :
d 2h dh
2 2
2 h K p p (2.44)
dt dt
39
1 A 2 A
A L d 2x
(2.47)
gc dt 2
Dimana :
A = Luas pada pipa kapiler
L = Panjang pipa kapiler
= Massa jenis cairan pada tabung kapiler
x = Perpindahan fluida pada tabung kapiler
= Perpindahan diafragma
Gaya 2 A pada akhir pipa kapiler diseimbangkan oleh dua gaya yaitu,
x (s) Kp
2 2
p1 ( s) s 2 s 1
c. Valve Pneumatik
Valve Pneumatik merupakan elemen pengendali akhir (final control
element) yang paling banyak digunakan. Sistem ini menghasilkan
dinamika sistem orde dua. Perhatikan sebuah valve pneumatik pada
Gambar 2.8. Posisi pada stem (atau eqivalen dengan plug pada posisi
bawah stem) akan menentukan besarnya laju aliran yang akan dialirkan.
Posisi dari stem akan ditentukan oleh kesetimbangan gaya yang terjadi
padanya. Gaya-gaya ini yaitu,
Diafragma
p
x Pegas
Stem
Plug
Kx = Gaya yang dihasilkan oleh pegas yang melekat pada stem dan
diafragma; K merupakan Konstanta Hooke pada pegas dan x adalah
besarnya perpindahan yang dihasilkan pegas, gaya ini akan mendorong
keatas.
dx
C = Gaya friksi yang arahnya keatas dan disebabkan oleh kontak
dt
stem dengan body valve; C adalah koefisien friksi antara stem dan body.
atau
M d 2 x C dx A
2 x p
gc dt K dt K
m
Proses
y
(a)
Mekanisme kontrol
d
ySP + c Final m
Kontroler Control Proses
Element y
-
ym Device
Pengukur
(b)
Gambar 3.1 (a) Proses dan (b) Hubungan loop Umpan balik
Mekanisme + FSP
Kontroler
Kontrol
-
Fm
DP Cell
F
Orifece Plate
(a)
1.0
0.8
y (t)
0.6
A Kp
0.4
0.2
0
1 2 3 4 5
t
p
(b)
PSP
Differensial Pm +
Pressure
(DP) Cell -
p Kontroler
Mekanisme Kontrol
Fi
Tangki Fo
(c)
h
DP Cell
hm
-
hSP +
Kontroler
Mekanisme
Kontrol
(d)
47
Mekanisme Kontrol
hm + hSP
DP Cell
-
Kontroler
(e)
Mekanisme Kontrol
TSP
+
-
Tm
Kontroler
Termocouple
(f)
Mekanisme Kontrol
Kontroler
F1 , c1
+ cSP
-
cm
Chromatograph
c
F2 , c2
(g)
Gambar 3.2 Contoh sistem umpan balik : (a) dan (b) Kontrol flow ; (c) Kontrol
tekanan; (d) dan (e) Kontrol cairan ; (f) Kontrol temperatur; (g) Kontrol
komposisi
48
FC
LT
FT
LC
(a) (b)
cs K c
cs
0 1 2 1
Waktu
Gambar 3.4 Respon kontroler PI terhadap perubahan unit step pada error
51
1
Gc ( s) K c 1 D s (3.7)
I s
Untuk tingkat
Hot-wire Anemometry
kepresisian yang
tinggi dengan beberapa
Float-Actuated Devices
indikator
Displacer Device dan konverter sinyal
Cairan Head Pressure
Cairan Cairan Device
Conductivity Baik untuk sistem
Measurement dengan dua fase
Dielectric Measurement Fase
Sonic Resonance
Membutuhkan waktu
Chromatographic
yang lama untuk
Analyzer
menganalisanya
Infrared Analyzer
Cocok untuk satu atau
Ultraviolet Analyzer
dua zat kimia
Visible-Radiation
Analyzer
Turbidimetry Analyzer
Tidak terlalu baik untuk
Paramagnetism Analyzer
kontrol
Nephelometry Analyzer Proses
Composition
Potentiometry
Conductimetry
Oscillometric Analyzer
pH Meters
Polarographic Analyzer
CouloMeters
Spectrometers (X-ray, Sangat mahal untuk
Electron, Ion proses dengan
Ion, Mosbauer,
dengan biaya rendah
Raman,etc)
Differential Thermal
Analyzer
54
Tekanan Tekanan
Tinggi Rendah
p p
(a) (b)
Gambar 3.5. Sensor flow : (a) Oriface plate; (b) Venturi tube
55
Temperatur
Temperatur Proses , T
Proses , T Temperatur Temperatur
Termocouple, Tm Termocouple, Tm
(a) (b)
Gambar 3.6 Thermocouple dengan: (a) Resistansi hanya pada film eksternal (b)
Resistansi pada film internal dan eksternal
Sensor Temperatur
Yang paling umum digunakan mensensor temperatur adalah
thermocouple, resistance bulb thermometer, dan thermistor. Keseluruhan
sensor ini menghasilkan sinyal listrik. Walaupun berbeda konstruksi satu
sama lain, sifat dinamiknya adalah didasarkan pada terjadinya perubahan
56
Thermocouple
Thermowell
Dinding
Thermowell
T
Tm
A
B
Gambar 3.8. Respon Thermocouple dengan resistansi film tunggal (kurva a) dan
resistansi dua film (kurva b)
Parameter dan bergantung pada karakteristik kontruksi dan material
yang digunakan sebagai device pengukur temperatur. Telah jelah bahwa
57
Analizer Komposisi
Contoh dari sensor ini adalah gas chromatograph dan beberapa tipe
spectroscopic analyzer. Sensor ini digunakan untuk mengukur komposisi
cairan atau gas yang terdiri atas satu atau dua komponen atau
keseluruhan komponen pada aliran proses.
Analyzer komposisi memiliki permasalahan pada responnya, yaitu
menghasilkan dead time atau delay yang sangat besar. Contoh untuk
kolom chromatographic, waktu yang dibutuhkan oleh sampel untuk
melakukan perjalanan dari aliran proses menuju kolom, ditambah waktu
yang dibutuhkan dalam perjalanan sepanjang kolom, ditambah waktu
yang dibutuhkan detektor untuk meresponnya pada akhir kolom,
tentunya akan memerlukan waktu yang sangat lama. Hasil delay yang
sangat lama ini menyebabkan kontrol menjadi tidak efektif.
Karakteristik dari analyzer komposisi adalah : (1) reliability
operasional yang rendah (sering dikalibrasi ulang atau lebih mudah terjadi
kerusakan dibandingkan sensor variabel termodinamik) dan (2) harganya
relatif mahal (3) respon yang lambat akan menimbulkan masalah pada
pengendalian.
s
Po ( s) e D
Pi ( s) p s 1
dengan d / p 0.25 .
Liquid
Liquid
(a) (b)
Gambar 3.9 Valve pneumatik : (a) Fail open ; (b) Fail closed
perubahan pada tekanan udara pada bagian atas diafragma dari 3 hingga
15 psig.
Dimana:
p = Penurunan tekanan yang melalui valve
K = Constantta, bergantung pada ukuran valve
= spsifik gravitasi pada cairan yang melalui valve (relative
terhadap air)
f (x) = Kurva karakteristik flow yang melalui valve.
Pada Bab 3 telah kita bahas dasar dari sistem kontrol umpan balik
serta komponen hardwarenya. Pada bab ini akan kita ketahui kelakuan
dari sebuah proses yang dikendalikan oleh sistem kontrol umpan balik
ketika terjadi perubahan setpoint y SP dan distrubance d .
Device Pengukur :
y m (s) Gm (s) y (s)
(4.2)
Mekanisme Kontrol:
(s) y SP (s) y m (s) Komparator
(4.3a)
(4.3b)
c (s) Gc (s) (s) Aksi Kontrol
Gd (s )
ySP (s ) (s ) c (s) m (s ) +
+ y (s )
+
Gc (s ) G f (s ) G p (s )
-
Kontroler Elemen Pengendali
Alkhir Proses
ym (s)
Gm (s)
Device Pengukur
G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gd ( s )
y ( s) 4 y SP ( s) d ( s)
1 G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gm ( s) 1 G p ( s) G f ( s) Gc ( s) Gm ( s)
(4.5)
67
Gd (s ) d (s )
(s)
+
ySP (s ) + y (s )
+ G (s ) Gload (s )
-
+ y (s )
ySP (s )
Gm (s ) GSP (s )
+
(a) (b)
Gambar 4.2. Penyederhanaan diagram blok
Contoh Kasus 4.1 : Respon Closed Loop pada Level Cairan dalam Tangki
Perhatikan sistem kontrol pada tangki yang ditunjukkan pada Gambar
4.3a.
Fi
hSP (s )
hm (s ) +
- c
h DPC Gc (s )
Fo
(a)
Fi (s )
1
G
d As
(s) K
+
p(s ) 1 c (s ) v Fo (s ) 1 h (s )
Gc K (1
-
) G Gp
+
- c Is f v s 1 As
Proses
hm (s ) K
p
G 2 2
m s 2 s 1
(b)
Gambar 4.3. (a) Pengendalian closed loop level cairan (b) Diagram blok
69
1
c ( s) K c 1 ( s)
1s (4.12)
70
Contoh Kasus 4.2 : Respon Closed Loop Temperatur pada Tangki Pemanas
Perhatikan sistem kontrol temperatur pemanas pada Gambar 4.4a.
Temperatur T adalah output kontroler, sedangkan input temperatur Ti
adalah load dan temperatur uapnya adalah sebagai manipulasi variabel.
Fungsi transfer untuk masing-masing komponen loop umpan balik
yaitu :
Proses. Jika T (s) , Ti , dan Tst adalah variabel dinamik, respon pada
prosesnya adalah,
71
Ti
T Thermocouple
T SetPoint
Kontroler
Steam
TST
(a)
Ti (s )
1
Kontroler Kontrol Valve sa
(s) K T (s)
+
TSP (s ) + v TST (s ) K +
K
-
c v s 1 sa
Proses
Thermocouple
K
m
(b)
Gambar 4.4 (a) Pengendalian close loop temperatur; (b) Diagram blok
1/ K
T ( s) Ti ( s) Tst ( s) (4.14)
sa sa
(4.16a)
c ( s) K c ( s) (4.16b)
Dan
1/
s a
Gload ( s)
K
1 K c K c K v
s a v s 1
Untuk mengenali konstruksi keseluruhan fungsi transfer untuk tiap loop
kontrol umpan balik, gunakan acuan berikut :
1. Bagian penyebut dari keseluruhan fungsi transfer yaitu bagian load
dan setpoint adalah sama, sesuai dengan :
1 Perkalian Fungsi Transfer Seluruh Loop
atau
1 G p Gm Gc G f
73
G p ( s) K c Gd ( s )
y ( s) y SP ( s) d ( s)
1 G p ( s) K c 1 G p ( s) K c (4.18)
74
p
p (4.20a)
1 K p Kc
K p Kc (4.20b)
K p
1 K p Kc
Dan
Kd (4.20c)
K d
1 K p Kc
75
y (t ) K p 1 e
t / p
(4.21)
y (t ) Dengan Kontrol
1
Offset
1 K p K c
Offset
y SP (t )
t t
(a) (b)
Gambar 4.5. Respon closed loop pada sistem orde satu dengan kontroler P,
terhadap perubahan unit step (a) pada setpoint (b) pada disturbance
Catatan :
a. Walaupun offset mempunyai kecenderungan mendekati nol bila
K c , kita tidak bisa menggunakan nilai K c yang terlalu besar
pada kontrol proporsional. Alasannya menjadi lebih jelas pada bab
berikutnya, yaitu pada pembahasan analisa kestabilan pada sistem
closed loop.
b. Jika Gm K m dan G f K f ., dapat ditunjukkan bahwa offset akan
menjadi :
Untuk perubahan unit step pada setpoint ,
K p Kc K f
Offset 1
1 K p Kc K f Km
Untuk perubahan unit step pada load,
Kd
Offset
1 K p Kc K f Km
c. Pada bagian selanjutnya kita hanya akan menganalisa respon pada
permasalahan servo dengan asumsi pembaca dapat menganalisa
sendiri pada permasalahan regulator seperti yang dicontohkan pada
sistem orde satu diatas.
d. Ketika kontroler proporsional digunakan untuk mengendalikan
proses yang mempunyai karakteristik 1 / s pada fungsi transfernya,
maka responnya tidak meninggalkan offset dengan adanya
perubahan setpoint, tetapi akan timbul offset pada perubahan
gangguan. Mari kita demonstrasikan sifat penting ini pada sistem
kontrol level cairan yang ditunjukkan pada Gambar 4.6a. Output Fo
adalah constant dan level dikendalikan dengan memanipulasi laju
aliran Fi . Sedang yang menjadi load-nya (disturbance) adalah Fd .
Dalam bentuk variabel dinamik, kesetimbangan materi pada tangki
adalah:
dh
A Fi Fd
dt
78
Fo= Konstan
(a)
Fd
Gd 1
hSP As
+ Fi h
+
G K G 1 Gp 1 +
- c c f As
G 1
m
(b)
Gambar 4.6.(a) Murni integrator (b) Diagram blok
1 1/ K c
h ( s) ( s)
hSP Fd ( s)
A A
s 1 s 1
Kc Kc
79
s 0
h t lim s h ( s)
1
Kc
Maka,
1 1
Offset 0 0
Kc Kc
Untuk sistem kontrol cairan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
4.6a, biasanya kita tidak benar-benar menjaga level cairan tepat dengan
nilai yang dikehendaki, tetapi pada jangkauan tertentu. Dengan demikian,
nilai offset 1 / K c masih dapat diterima untuk nilai K c yang besar. Dari
sini, kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu,
Level pada cairan dapat dikendalikan secara efektif dengan kontroler
proporsional
Kesimpulan yang sama berlaku juga pada sistem tekanan gas yang fungsi
transfernya terdapat unsur . 1 / s
80
Dimana
(4.23a)
1 Kp K c
(4.23b)
1 K p Kc
K p Kc
K p (4.23c)
1 K p Kc
Dari persamaan diatas, dapat kita ketahui bahwa respon closed loop
sistem orde dua dengan kontroler proporsional memiliki karakteristik
sebgai berikut :
Sistem tetap orde dua
Gain statik menurun
Baik periode natural maupun faktor damping juga menurun.
Nilai akhir y (t ) yang sesuai dengan teorema nilai akhir tidak bergantung
pada besarnya , sehingga
K p Kc
y t lim s y ( s) K p
s 0 1 K p Kc
Konsekuensinya, sekali lagi offset akan ada, yaitu:
Offset = (Setpoint Baru) - (Nilai Akhir Respon)
K p Kc 1
= 1
1 K p Kc 1 K p Kc
Jadi,
Offset 0 untuk K c
Catatan:
1. Berdasarkan pada nilai faktor damping untuk sistem orde dua yang
tidak dikendalikan, persamaan 4.23 juga akan memiliki 3
kemungkinan. Jika 1 , Respon menjadi overdamped pada sistem
kontrol closed loop akan sangat sluggish. Sehingga kita harus
menaikkan nilai K c dan buat 1 . Kemudian respon closed loop
akan bereaksi secara cepat tetapi berosilasi. Selain itu, dengan
menaikkan K c , offset akan semakin turun.
2. Naiknya kecepatan respon sistem dan turunnya offset dapat
mengakibatkan terjadinya overshoot yang tinggi (maksimum error)
dan osilasi yang lebih lama. Maka, dengan naiknya K c , menyebabkan
menurun :
a. Dari persamaan 1.11 dapat kita lihat overshoot meningkat
b. Persamaan 1.12 menunjukkan decay ratio juga meningkat
c. Dan persamaan 1.13 menunjukkan bahwa periode osilasi untuk
respon closed loop akan menurun dengan menurunnya .
Seluruh penjelasan diatas ditunjukkan pada Gambar 4.7.
82
y (t )
Kc3
Kc2
K c1
K c1 K c 2 K c 3
t
Gambar 4.7. Efek gain pada respon closed loop pada sistem orde dua dengan
kontroler Proporsional
K p
Kc 1
s 1
p Is
y ( s) y SP ( s)
K p
1 K 1
s 1 c s
p I
Atau
1
y ( s) y SP ( s) (4.25)
2 s 2 2 s 1
Dimana
I p
(4.26a)
K p Kc
1 I
(4.26b)
2 p K p Kc
y t lim s y ( s) lim 2 2
1
s 0 s 0 s 2 s 1
1
Sehingga
Offset 1 1 0
Hal ini menunjukkan karakteristik yang paling utama dari efek aksi
integral, yaitu :
Aksi kontrol Integral akan mengeliminasi adanya offset.
Hal ini juga berlaku untuk permasalahan regulator, yaitu akan mengubah
sistem orde satu menjadi sistem orde dua dan meniadakan offset.
Catatan :
1. Persamaan 4.26b menunjukkan bahwa bentuk respon closed loop
(overdamped, critically damped,underdamped) bergantung pada nilai
gain kontroler K c dan waktu reset I . Akibatnya tuning terhadap aksi
kontrol integral pada nilai K c dan I yang tepat masih menjadi
pertanyaan dan akan dibahas pada bab selanjutnya.
2. Dari persamaan 4.26b kita amati bahwa, dengan naiknya K c , faktor
damping akan menurun. Konsekuensi dari menurunnya adalah :
a. Respon akan berubah dari overdamped yang sluggish ke
underdamped yang berosilasi
b. Overshoot dan decay ratiojuga akan mengalami kenaikan [lihat
persamaan 1.11, 1.12, 1.13].
Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa kita dapat memperbaiki
kecepatan dari respon closed loop dengan konsekuensi adanya
deviasi yang besar dan osilasi yang lama. Gambar 4.8 menunjukkan
karakteristik dari aksi kontrol integral dengan adanya perubahan
setpoit .
85
y (t )
K c1
Kc2
Kc3 K c1 K c 2 K c 3
Gambar 4.8. Efek gain pada respon closed loop sistem orde pertama dengan
kontroler integral saja
y (t )
I 1
I 2
I 3
I I I
1 2 3
Gambar 4.9. Efek rise time pada respon closed loop sistem orde
pertama dengan aksi integral saja
86
Catatan :
1. Aksi kontrol integral yang diterapkan pada sistem orde dua dengan
asumsi Gm G f 1 dapat diturunkan sebagai berikut,
Kp
K c D s
s 2 s 1
2 2
y ( s) y SP ( s)
Kp
1 K c D s
2 s 2 2 s 1
Atau
87
K p K c D s
y ( s)
s 2 K p K c D s 1
2 2
y SP ( s)
y (t )
K c1
Kc2 Kc3
Kc1 Kc 2 K c 3
t
Gambar 4.10. Efek gain pada respon closed loop sistem orde pertama dengan
kontroler PID
BAB V. ANALISA KESTABILAN PADA SISTEM UMPAN BALIK
89
90
“Unbaunded” berarti sangat besar, pengertian ini hanya terjadi pada teori
dasar dan tidak terjadi pada kondisi praktis karena kesaluruhan kuantitas
fisik dibatasi.
Berdasarkan definisi diatas, sistem yang nampak pada Gambar 5.1a
dikatakan stabil, sedangkan pada Gambar 5.1b menunjukkan respon yang
tidak stabil.
Mari kita pertimbangkan dinamika sistem dengan input m dan output y
. Sifat dinamiknya dapat dibentuk oleh fungsi transfer G (s) sebagai
berikut,
y ( s ) G( s ) m ( s )
Dapat disimpulkan bahwa jika G (s) mempunyai pole pada bagian
pt
yang positif, maka terdapat term C1 e yang secar kontinu akan naik.
Dalam fungsi waktu, hal ini akan menghasilkan sistem yang tidak stabil.
Fungsi transfer G (s) memiliki korelasi dengan sistem open loop atau
sistem closed loop (misal GSP atau GLoad ) sehingga analisa kestabilan
dapat dibagi secara terpisah yaitu pada sistem open loop dan closed loop.
y
y
(a ) t (b) t
Contoh Kasus 5.1 : Menstabilkan proses yang tidak stabil dengan kontrol PI
Perhatikan sebuah proses yang memiliki respon berikut :
10 5
y ( s) m ( s) d ( s)
s 1 s 1
Dapat dilihat secara jelas bahwa sistem ini merupakan sistem yang
tidak stabil karena fungsi transfernya memiliki pole pada s=1 > 0. Gambar
5.2 (kurva ) menunjukkan respon sistem open loop terhadap
perubahan unit step dan adanya load d yang menyebabkan karakteristik
sistem menjadi tidak stabil. Sekarang kita akan menggunakan kontroler
proporsional pada sistem. Asumsikan gain pada device pengukur dan final
kontrol elemen adalah :
Gm G f 1
y
t ; Kurva β, Respon
Gambar 5.2 Kurva , Respon open loop yang tidak stabil
closed loop yang stabil dengan kontroler Proporsional
d (s )
5
Gd
s 1
y (s )
ySP (s ) (s)
+
+ m (s ) 10
G K G 1 Gp +
- c c f s 1
ym (s )
G 1
m
Gambar 5.3 Diagram Blok untuk sistem pada Contoh kasus 5.1
92
Sistem memiliki dua komplek pole dengan bagian real yang negatif :
p1 1 j dan p2 1 j
Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, maka sistem
dikatakan stabil. Jika diberikan perubahan input step, maka respon yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.4a.
93
y y
t t
(a) (b)
Gambar 5.4. (a) Respon open loop yang stabil ; (b) Respon yang tidak stabil
dengan kontrol PI
s 2s 2 I s I
s 3 2s 2 2 100 s
100
0.1
dan didapatkan
p1 7,185 ; p2 2,59 j (11,5) ; p3 2,59 j (11,5)
94
Contoh Kasus 5.3 : Analisa kestabilan pada dua loop umpan balik
Pada Contoh 5.1 diketahui sebagai berikut :
10
y ( s) Gm G f 1 Gc K c
s 1
Sehingga hubungan persamaan karakteristiknya menjadi :
10
1 G p G f Gc Gm 1 1 Kc 1 0
s 1
Akar-akarnya sebagai berikut :
p 1 10 K c
96
Row 1 a0 a2 a4 a6
2 a1 a3 a5 a7
3 A1 A2 A3 .
4 B1 B2 B3 .
5 C1 C2 C3 .
.
n 1 W1 W2 .
dimana :
a1 a 2 a0 a3 a1 a 4 a0 a5 a1 a6 a0 a7
A1 A2 A3
a1 a1 a1
A1 a3 a1 A2 A1 a5 a1 A3
B1 B2
A1 A1
B1 A2 A1 B2 B1 A3 A1 B3
C1 C2
B1 B1
dst.
Selidiki elemen – elemen pada kolom pertama array diatas :
a0 a1 A1 B1 C1 W1
(a) Jika elemen-elemen ini negatif, maka kita mempunyai sedikitnya
satu akar disebelah kanan axis imaginer dan sistem menjadi tidak
stabil.
(b) Jumlah perubahan tanda pada elemen kolom pertama sama dengan
jumlah akar disebelah kanan axis imaginer.
Sehingga sistem akan stabil jika semua elemen pada kolom pertama array
Routh adalah positif.
98
Contoh Kasus 5.5 : Kondisi Stabilitas Kritis pada Loop Umpan balik
Sekarang kita analisa kembali Contoh kasus 5.4 dengan I 0.1 .
Maka elemen ketiga pada kolom pertama Routh Array menjadi :
2 (2 K c ) 10 K c
2
Nilai Kc yang membuat elemen ketiga bernilai nol adalah :
K c 0.5
Nilai Kc ini membuat sistem kontrol umpan balik berada dalam
keadaan kestabilan kritis. Dengan mengacu pada kriteria kestabilan
Routh-Hurwitz, kita dapatkan bahwa :
1. Jika Kc < 0.5, seluruh elemen pada kolom pertama pada Routh array
bernilai positif dan sistem akan stabil (seluruh akar-akar persamaan
karakteristik berada disebelah kiri axis imaginer)
2. Jika Kc > 0.5, elemen ketiga pada kolom pertama pada Routh array
akan menjadi negatif. Sehingga terdapat dua perubahan tanda pada
elemen kolom pertama dan akibatnya terdapat dua akar persamaan
karakteristik disebelah kanan axis imaginer.
Telah jelas bahwa semakin besar nilai Kc, maka dua akar persamaan
karakteristik akan bergerak menuju axis imaginer dan ketika nilai Kc = 0.5,
kita dapatkan kedua akar persamaan ini berada di axis imaginer (murni
imaginer), yang dapat menimbulkan osilasi sinusoidal. Dua akar yang
murni imaginer dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
K
2s 2 c 0
I
0.5
2s 2 0
0.1
Didapatkan :
j (1.58)
Koefisien 2 dan K c / I merupakan elemen – elemen pada routh array
yang berada pada baris kedua.
100
Contoh Kasus 5.6 : Root Locus Pada Dua Kapasistas Seri dengan kontrol
Proporsional
Dua kapasistas yang tersusun seri dapat kita amati pada dua tangki
pengaduk, dua heater, dan sebagainya yang mempunyai fungsi transfer
sebagai berikut :
Kp
G p ( s)
( 1 s 1) ( 2 s 1)
dengan
Gm G f 1 dan Gc K c
1 ( 1 2 ) 2 (5.2)
Kc 1
K p 4 1 2
3. Ketika
1 ( 1 2 ) 2
Kc 1 (5.3)
K p 4 1 2
maka kita dapatkan dua akar persamaan kembar, yaitu :
1 2
p1 p 2
2 1 2
4. Untuk
(5.4)
1 ( 1 2 ) 2
Kc 1
K p 4 1 2
maka kita akan dapatkan dua akar – akar persamaan konjugate
kompleks yang berbeda :
102
( 1 2 ) j ( 1 2 ) 2 4 1 2 (1 K )
p1, 2
2 1 2 (5.5)
Im
1 1
( , 0) ( , 0)
1 2
C B Re
A
Contoh kasus 5.6 menjelaskan kepada kita bahwa root locus sistem
tidak hanya memberikan informasi tentang kestabilan sistem closed loop,
tetapi juga mengenai dinamika sistem dengan adanya variasi nilai Kc.
Sehingga analisa root locus dapat menjadi basis metodologi desain
kontrol loop umpan balik.
Contoh kasus 5.7 : Root Locus Pada Reaktor dengan Kontrol Proporsional
Sekali lagi, mari kita mantapkan pemahaman kita tentang root locus
dengan melihat kasus pada reaktor seperti terlihat pada Gambar 5.6.
Tujuan kontrol ini adalah untuk menjaga konsentrasi produk C sesuai
dengan setpoint. Kita akan menggunakan kontroler proporsional untuk
mengukur konsentrasi C, dengan memanipulasi flow rate reaktan A.
R A
A+R B
B+R C
C+R D
D+R E
Laju Aliran = F
Consentrasi Dalam C = y
Kita asumsikan bahwa gain pada sensor dan valve sebagai aktuator
flowrate A sama dengan 1, yaitu :
Gm G f 1
Persamaan karakteristik sistem closed loop-nya yaitu :
2.98 ( s 2.25)
1 Kc 0
( s 1.45) ( s 2.85) 2 ( s 4.35)
Ketika Kc = 0, maka dengan mudah akar-akar persamaan (5.6) dapat kita
tentukan sbb:
p1 1.45 p2 p3 2.85 p4 4.35
Dengan bantuan komputer, kita dapat menentukan akar-akar persamaan
karakteristik yang lain untuk setiap perubahan nilai Kc. Hasilnya dapat kita
lihat pada tabel 5.1 dan plot root locusnya pada Gambar 5.7.
Mari kita analisa percabangan root locus pada Gambar 5.7 dan
selanjutnya kita ambil beberapa kesimpulan respon dinamik pada sistem
closed loop reaktor ini, dengan variasi nilai Kc dari nol sampai tak hingga.
105
1. Sistem akan tetap stabil untuk nilai gain hingga mencapai 50, karena
pada kisaran gain ini seluruh akar-akar persamaan berada disebelah
kiri axis imaginer. Untuk nilai gain antara 50 hingga 100, plot root
locusnya memotong axis imaginer dan bergerak ke sebelah kanan axis
imaginer. Dengan demikian terdapat nilai gain kritis yang berada
diantara 50 dan 100 hingga akhirnya reaktor menjadi tidak stabil.
2. Untuk tiap nilai Kc > 0 hingga mencapai gain kritisnya, terdapat dua
akar – akar konjugate kompleks dengan bagian realnya bernilai
negatif. Pada range gain ini, sistem akan berosilasi, tetapi akan
kembali kekeadaan semula (setpoint).
3. Untuk Nilai Kc yang makin besar daripada nilai kritisnya (dimana
sistem akan menjadi tidak stabil), akar-akar persamaan
karakteristiknya adalah berupa konjugate kompleks, dengan bagian
realnya positif. Jika kita menggunakan gain ini, maka sistem akan
menjadi berosilasi dengan amplitudo yang makin membesar (respon
sistem tidak kembali ke posisi semula).
106
BAB VI. DESAIN KONTROLER UMPAN BALIK
Pada bahasan kali ini kita akan memfokuskan pada dua pertanyaan
berikut, yaitu : Bagaimana kita memilih tipe kontroler umpan balik (P, PI,
atau PID) ? dan Bagaimana kita menala parameter kontroler yang sudah
kita tentukan ( K c , I , D ) untuk mendapatkan respon yang optimum
pada proses yang kita kendalikan ?
Pertanyaan 1 : Tipe Kontroler yang mana, yang akan kita gunakan untuk
mengendalikan proses ?
Seandainya diasumsikan kita menggunakan tipe kontroler PI, kita masih
dihadapkan pada permasalahan dalam penentuan gain K c dan waktu
reset I . Gambar 4.8 dan 4.9 telah mendemontrasikan secara jelas
bahwa dua paremeter ini mempunyai efek yang signifikan dalam
pengendalian proses. Pertanyaan berikutnya adalah :
Pertanyaan 2: Bagaimana kita bisa menentukan nilai parameterkontroler
umpan balik yang terbaik ?
Penentuan parameter kontroler ini dikenal sebagai tuning kontroler.
Untuk menjawab dua persamaan desain ini, kita memerlukan pengukuran
secara kuantitatif dengan tujuan untuk membandingkan alternatif
kontroler yang terbaik sekaligus nilai parameternya. Pertanyaan ini
menimbulkan pertanyaan desain yang ketiga, yaitu :
107
108
Respon
y(t) Open loop
PID PI
Gambar 6.1. Respon sistem terhadap perubahan unit step pada load tanpa
adanya kontrol dan kontroler umpan balik yang lainnya
y(t) A
Pada subbab ini, kita akan bahas kriteria pada point pertama diatas,
sedangkan kriteria pada point kedua akan dijelaskan pada subbab 6.3.
Kriteria pada point pertama diatas merupakan kriteria yang sederhana
dan sering digunakan, yaitu :
Overshoot
Rise Time (Waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai
setpoint untuk yang pertama kalinya)
Settling time (Waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk
mencapai nilai 5% terhadap setpoint)
Frekuensi osilasi pada kondisi transient
jalan tengah, sebagai alternatif kriteria rise time dan settling time. Kriteria
ini disebut sebagai kriteria seperempat decay ratio, yaitu :
C 1
A 4
Contoh Kasus 6.1 : Tuning Kontroler Dengan Kriteria Seperempat Decay Ratio
Kita mengambil contoh kasus kontrol servo pada proses sistem orde
pertama dengan menggunakan kontroler PI. Ketika sistem diubah ke
sistem closed loop, maka persamaan fungsi transfernya dapat ditulis
sebagai berikut :
I s 1
y ( s) y SP ( s)
s 2 s 1
2 2
Dimana
I p
, dan
K p Kc
1 I
(1 K p K c )
2 p K p Kc
1 I
2 (1 K p K c )
2 p K p Kc 1
exp 4
1 1 I
(1 K p K c )
4 p K p Kc
Setelah penyederhanaan aljabar, maka persamaan terakhir menjadi:
I 1
2 (1 K p K c ) ln (6.1)
4 p K p K c I (1 K p K c ) 2
4
Catatan :
(t ) y SP y(t ) adalah deviasi (error) respon dari setpoint-nya.
Dengan menggunakan persamaan–persamaan 6.2a hingga 6.2c, kita akan
menentukan kriteria sebagai berikut :
Pilih tipe kontroler dan nilai parameternya yang responnya menghasilkan
nilai ISE, IAE, dan ITAE yang paling minimum.
Penggunakan salah satu diantara ketiga persamaan diatas (6.2a, 6.2b dan
6.2c ), adalah bergantung pada karakteristik sistem yang kita kendalikan
dan beberapa persyaratan respon pada prosesnya. Berikut ini sebagai
tuntunan dalam penggunaan ISE, IAE, atau ITAE:
Jika kita menitikberatkan pada besarnya error, maka ISE lebih baik
daripada IAE karena error-nya dikuadratkan dan akan semakin
membesar setelah melalui proses integral.
Jika kita menitikberatkan pada error yang kecil, IAE lebih baik
daripada ISE karena ketika kita mengkuadratkan nilai error yang kecil
(lebih kecil dari satu dan lebih besar dari nol), maka akan semakin
mengecil.
Jika kita menitikberatkan pada terjadinya error sepanjang waktu ,
maka kriteria ITAE akan menala kontroler lebih baik karena dengan t
yang makin membesar akan menguatkan efek error yang kecil pun.
114
Output ITAE
IAE
ISE
Waktu
Gambar 6.3. Respon closed loop dengan menggunakan kriteria waktu integral
Dimana,
I
(6.4a)
20 K c
1 I
(1 20 K c ) (6.4b)
2 20 K c
Untuk memilih nilai K c dan I yang terbaik, kita dapat
menggunakan salah satu dari ketiga kriteria ISE, IAE, atau ITAE.
Selanjutnya, kita dapat mempertimbangkan lagi perubahan pada load
atau setpointnya. Pada contoh kasus ini kita gunakan kriteria ISE pada
perubahan unit step setpoint-nya. Pada persamaan 6.3 kita dapatkan
persamaan berikut :
s 1 1
y ( s) 2 2 I
s 2 s 1 s
d (s )
1
Gd
s 1
y (s )
1
+
G K 1
ySP (s ) + 20 +
c s G 1 Gp
-
c
I
f s 1
G 1
m
e t / 12
I sin 1 2 sin 1 2 tan 1
t t
y (t ) 1
12 (6.5)
116
Kemudian kriteria ISE yang telah kita tentukan kita optimasi sebagai
berikut :
2
( ITAE ) ( ITAE )
0
Sama dengan sebelumnya, dengan menggunakan persamaan (6.4a)
dan (6.4b), kita dapat menemukan kondisi optimal pada parameter
kontroler, K c dan I
Jika perubahan unit step kita berikan pada load-nya, maka bentuk fungsi
transfernya adalah :
( / 20 K c ) s 1
y ( s) 2 I2
s 2 s 1 s
Setelah di invers-laplacekan didapatkan persamaan berikut :
( I / 20 K c ) e t / t
y (t ) sin 1 2 (6.6)
12
117
PC
Air
Dingin
P PC P
Vapour
Liquid
(b)
(a)
Gambar 6.5. Loop Kontrol Tekanan (a) mempunyai efek langsung, respon yang
cepat (b) mempunyai efek yang tidak langsung, respon yang lambat
Kontroler
Reaktan Steam
TT
Tm
T
Tst
Produk
Kondensat
Pada bagian ini kita akan mendiskusikan metode tuning empiris yang
sangat populer, disebut sebagai metode kurva reaksi proses, yang
dikembangkan oleh Cohen-Coon.
d (s )
c ( s) A / s
ySP (s ) Gd
+ (s)
+
+ y (s )
G G Gp
-
c f
ym (s )
G
m
y m (s) K e t d s
GPRC ( s) (6.8)
c ( s) s 1
Yang mempunyai tiga parameter : gain statik K , dead time t d , dan time
constant . Dari perkiraan respon pada Gambar 6.8, mudah untuk
mengestimasi ketiga nilai parameter ini. Jadi,
B / S , dim ana S merupakan slope respon sigmoid pada titik inf leksi
t d Lama Waktu hingga sistem merespon
Cohen dan Coon menggunakan perkiraan model pada persamaan
(6.8) dan mengestimasi parameter K, t d , dan seperti yang ditunjukkan
diatas.
m m
Respon yang
sebenarnnya
B B
Respon
Pendekatan
S Slope = S
td t td t
(a) (b)
Gambar 6.8. (a) Kurva reaksi proses (b) Perkiraan sistem orde pertama plus
dead time
Contoh Kasus 6.4 : Tuning Kontroler Umpan balik pada Kurva Reaksi Proses
Pada Contoh berikut ini kita akan menganalisa bagaimana dinamika
beberapa tipikal proses yang mempengaruhi hasil tuning , yang
direkomendasikan oleh Cohen-Coon.
1) Proses dengan delay yang sangat kecil (dead time): Ketika t d sangat
kecil (hampir nol), maka kurva reaksi prosesnya (Gambar 6.8)
merupakan sistem orde pertama. Setting Cohen-Coon menggunakan
nilai yang besar pada gain proporsional K c [lihat persamaan (6.9),
(6.10a), dan (6.11a)]. Pada aplikasi praktis, kita akan menggunakan
gain yang sebesar mungkin untuk menghindari timbulnya offset jika
kontrolernya berupa proporsional. Jika kontroler yang digunakan
adalah PI, nilai gain-nya ditentukan sesuai dengan karakteristik
respon yang diinginkan.
2) Proses multi kapasitas: Perhatikan dua sistem orde pertama yang
disusun secara seri :
Kp
Gp
1 s 1 2 s 1
127
Jika alat pengukur dan kontrol valve (final kontrol elemen) mempunyai
dinamika orde pertama sebagai berikut :
Km Kf
Gm Gf
m s 1
dan
f s 1
Dengan demikian fungsi transfer antara variabel kontrol aktuasi c dan
pengukuran output ym yang direkam sesuai dengan [lihat
persamaan (6.7)] :
K f K p Km
GPRC G f G p Gm
f s 1 I s 1 2 s 1 m s 1
(6.12)
Respon yang dihasilkan dapat ditunjukkan pada Gambar 6.9. Dapat kita
lihat bahwa perkiraan respon tercapai hingga respon mencapai 40 % dari
nilai akhir.
Dengan menggunakan seting Cohen-Coon, kita dapatkan :
Untuk Kontroler Proporsional :
K c 8.3
Untuk Kontroler Proporsional-Integral :
K c 7.3 dan I 6.6
Untuk Kontroler Proporsional-Integral-Derivatif :
K c 10.9 I 5.85 D 0.89
1.0
Respon
0.75
Respon
0.5 Pendekatan
0.25
0
td 25 50 t
Gambar 6.9. Kurva reaksi proses multi kapasitas yang sebenarnya dan perkiraannya
pada Contoh 6.4
y (t) y (t)
2 1
1 0
1 1 1
Penurunan rasio Penurunan rasio
4 3 3
0 -1
25 50 t 0 25 50 t
(a) (b)
Gambar 6.10. Respon closed loop proses multikapasitas pada Contoh kasus 6.4
untuk (a) Setpoint dan (b) Perubahan unit step pada load
129
Contoh kasus 6.5 : Tuning Kontroler Pada Proses yang tidak diketahui modelnya
Metodologi tuning kontroler dengan menggunakan kurva reaksi
proses tidak dapat dilakukan jika dinamika pada proses utama, sensor
pengukur dan final kontrol elemen tidak diketahui secara pasti (kita tidak
dapat mengetahui secara pasti orde dinamika atau nilai parameternya).
Dengan keadaan demikian, kita tidak dapat memodelkan kurva reaksi
proses untuk setiap device pada sistem (proses, sensor, dan final kontrol
elemen). Alternatifnya adalah dengan memodelkan keseluruhan sistem
berdasarkan data eksperimen.
Sebagai contoh, sistem kontrol reaktor yang ditunjukkan pada
gambar 6.6 merupakan sistem yang kompleks dan kemungkinan kita tidak
dapat memodelkan secara presisi masing-masing proses yang terjadi pada
reaktor berikut :
Reaksi kinetik
Reaksi panas
Karakteristik mixing didalam tangki
Kapasitas panas pada reaksi mixing
Koefisien transfer panas menyeluruh antara steam dan reaksi mixing
Efektifitas dinamika thermocouple
Gain dan time constant pada thermocouple
Karakteristik valve steam
Namun untuk mendesain kontroler pada reaktor ini, kita tidak
memerlukan pemodelan secara ditail seperti pada masing-masing proses
diatas. Kita cukup mengetahui model proses secara menyeluruh melalui
data eksperimen yang kita dapatkan dari plant.
130
131
DAFTAR PUSTAKA
1) Carlos A. Smith, Armando B.Corririo, “Principle and Practice of Process
Control”, John Wiley&Sons.Inc, New York, 1997
2) Coughanowr, Donald R. “Process Systems Analysis and Control”,
2ndedition. McGraw Hill. USA, 1991.
3) Douglas M. Considine, “Process Control, Instrument Engineer
Handbook”, McGraw-Hill, New York, USA, 1974.
4) Goodwin C. Graham, “Control System Design”, Prentice Hall, saddle
River, New Jersey 1998.
5) Marlin, Thomas E. Process Contro : Designing Processes and Control
Systems for Dynamic Performance, New York: McGraw-Hill, 1995.
6) Ogata.Katsuhiko, “Modern Control Engineering”, Prentice Hall Inc,
N.J, USA, 1997.
7) Ogata. Katsuhiko, “system dynamics”, Prentice Hall, saddle River,
New Jersey 1998.
8) Seborg Dale E., Thomas F. Edgar, Duncan A. Mellichamp, “Process
Dynamic Control”, John Wiley & Sons, Inc, Ney York, 1989
9) Stephanopoulos, George.” Chemical process control”. Prentice Hall
PTR, 2003.
132
Totok R. Biyanto, Ph.D (TRB) adalah
seorang pengajar di bidang Instrumentasi,
Process Control dan Optimization, Jurusan
Teknik Fisika (Engineering Physics),
Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya, Indonesia. Dia melakukan
pendidikan dan penelitian Instrumentasi,
Process Control dan Optimization pada
industri oil and gas, petrochemical, semen,
powerplant, dan general industires, green building, energy
effisiency and conservation, heat integration, dan plant design.
133
134