Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN HIPOKSIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas


Koordinator Mata Kuliah : Sari Sudarmiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep. Mat

Disusun oleh :
Kelompok 4

Milda Reina H (22020112130094)


Luthfi Nur Ashari (22020112130099)
Izumi Ony Kusuma (22020112130100)
Rinda Ayu Dwi A (22020112130105)
Marsha Yoke N (22020112130106)
Ning Suwarsih (22020112130108)
Atik Dina Nasekhah (22020112130110)
Nur Khasanah (22020112130112)
Beny Bakhtiar (22020112140017)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
A. Definisi
Nonatus atau bayi baru lahir (BBL) merupakan hasil reproduksi yang berhasil
dilahirkan oleh seorang ibu hamil, sebagai suatu makhluk yang “unik” oleh karena
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan kehidupan ekstrauterin. Di dalam
rahim kebutuhan nutrisi dan oksigen dipenuhi sepenuhnya oleh ibu melalui mekanisme
utero-plasental. Begitu lahir seorang bayi harus mampu melakukan adaptasi agar bisa
bertahan hidup. Kemampuan adaptasi ini sangat tergantung pada maturitas organ,
kondisi janin (berat lahir, masa gestasi) dan faktor lingkungan (sebagian adalah faktor
ibu). Proses adaptasi yang tidak berjalan semestinya dapat mengakibatkan keadaan
gawat darurat neonatus yang dapat menjadi pangkal bencana, karena dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan (Kosim, 2006).
Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan
oksigen yang cukup (James et al, 2008). Hipoksia perinatal adalah kondisi
terganggunya pertukaran gas selama periode intrapartum yang apabila berkelanjutan
mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, dan fetal asidosis (Efendi & Minerva,
2013).

B. Etiologi
Hipoksia dapat terjadi pada periode antepartum dan intrapartum sebagai akibat
dari pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak adekuatnya suplai oksigen
dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin. Etiologi hipoksia
perinatal antara lain meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri (Efendi
& Minerva, 2013).
Faktor maternal antara lain infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi
kronik, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta juga
berperan dalam hal ini, yang tersering adanya insufisiensi plasenta, oligohidramnion,
polihidramnion, ruptur uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali
pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin yaitu prematuritas, bayi kecil masa kehamilan,
kelainan bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin
transfusion (Efendi & Minerva, 2013).
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hipoksia menurut (Behrman,1999)
sebagai berikut:
1. Apgar skor yang rendah. Apgar skor ≤ 3 pada menit ke-10 termasuk faktor
depresi akibat anestesi, trauma, infeksi, dan gangguan kardiopulmonal
2. Gangguan pH (menurun). Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH ≤ 7
3. Denyut jantung < 60 kali/menit
4. Memerlukan ventilasi tekanan positif pada menit 1 atau belum menangis lebih
dari 5 menit
5. Kejang pada usia 12 sampai 24 jam pertama
6. Pucat
7. Sianosis
8. Apneu
9. Tidak memberikan respon terhadap rangsangan
10. Mengalami depresi
11. Gagal nafas secara spontan

D. Pathofisiologis
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan pada dewasa. Hal
ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha
mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari paru-paru,
gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot, dan kulit, menuju ke otak, jantung,
dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress maka peristaltik usus meningkat,
spinchter ani terbuka, mekonium akan keluar bercampur dengan air ketuban, skuama,
lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-paru, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan
atau kekuningan. Kombinasi antara fetal hypoxia yang kronis dengan cedera hipoksik
iskemik akut setelah lahir mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan
umur kehamilannya. Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun,
meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak,
meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut
dengan hipoksia yang berat, dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah
jantung yang menurun, dan menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya
fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia timbul produksi
metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat
tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka asam laktat akan
dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi. Hipoksia
akan mengganggu metabolisme oksidatifserebral sehingga asam laktat meningkat dan
pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan
produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan
penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis,
hilangnya autoregulasi serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan
iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan glukosa
menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat.
Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun,
dan adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari
oksidasi fosforisasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka ion
pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+,
glutamat, dan aspartate ekstraseluler (Utomo, 2006).

E. Prognosis
Menurut Utomo (2006) menyebutkan bahwa prognosis akan menjadi buruk apabila :
1. Hipoksia berkepanjangan
2. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan
multi organ
3. Adanya oliguria persisten (produksi urin <1 ml/kg BB per jam selama 36 jam
pertama)
4. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkar kepala
yang didapatkan pada waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan dibagi rerata
lingkar kepala pada bayi seusianya kali 100 % > 3,1 % merupakan cara untuk
memprediksi timbulnya mikrosefali sebelum usia 18 bulan
5. Adanya kelainan CT Scan yang berupa perdarahan yang berat. Periventrikuler
leukomalasi (PVL) atau nekrosis
6. Kelaianan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Sebaliknya
pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu
menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun pada neonatus yang
mengalami hipoksia berat dan asfksia berat.
F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah pengumpulan riwayat kesehatan. Gunakan
teknik inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Keberhasilan pemeriksaan mengharuskan
perawat untuk menguasai landmarks anatomi toraks posterior, lateral, dan anterior.
Gunakan landmarks ini untuk menemukan letak dan mengetahui struktur organ di
bawahnya, terutama lobus paru, jantung, dan pembuluh darah besar. Bandingkan sisi
yang satu dengan sisi lainnya. Bandingkan teman pada satu sisis toraks dengan sisi
toraks sebelahnya. Palpasi, perkusi, dan auskultasi dilakukan dari depan ke belakang
atau dari satu sisi toraks ke sisi lainnya sehingga dapat mengevaluasi temuan dengan
menggunakan sisi sebelahnya sebagai standar perbandingan (Asih, 2003).
Kondisi dan warna kulit klien diperhatikan selama pemeriksaan toraks (pucat,
biru, kemerahan). Kaji tingkat kesadaran klien dan orientasikan selama pemeriksaan
untuk menentukan kecukupan pertukaran gas (Asih, 2003).
1. Inspeksi
Perhatikan manifestasi distress pernafasan saat ini : posisi yang nyaman,
takipnea, mengap-mengap, sianosis, mulut terbuka, cuping hidung mengembang,
dispnea, warna kulit wajah dan bibir, dan penggunaan otot-otot asesoris
pernafasan. Perhatiakn rasio inspirasi ke ekspirasi, karena lamanya ekspirasi
normal dua kali dari lamanya inspirasi normal, maka rasio normal ekspirasi :
inspirasi adalah 2:1.
Inspeksi dimulai dengan pengamatan kepala dan area leher untuk
mengetahui setiap kelainan utama yang dapat mengganggu pernafasan.
Perhatikan adanya sputum atau tidak. Perhatikan pengembangan cuping hidung,
nafas bibir dimonyong-monyongkan, atau sianosis membrane mukosa. Catat
adanya penggunaan otot aksesori pernafasan, seperti fleksi otot
sternokleidomastoid. Amati penampilan umum klien, frekuensi serta pola
pernafasan, dan konfigurasi toraks.
2. Palpasi
Dada dipalpasi untuk mengevaluasi kulit dan dinding dada. Palpasi dada
dan medulla spinalis adalah teknik skrining umum untuk mengidentifikasi adanya
abnormalitas seperti inflamasi. Perlahan letakkan ibu jari tangan yang akan
mempalpasi pada satu sisi trakea dan jari-jari lainnya pada sisi sebelahnya.
Gerakkan trakea dengan lembut dari satu sisi ke sisi lainnya sepanjang trakea
sambil mempalpasi terhadap adanya masa krepitus, atau deviasi dari garis tengah.
Palpasi dinding dada menggunakan bagian tumit atau ulnar tangan.
Abnormalitas yang ditemukan saat inspeksi lebih lanjut diselidiki selama
pemeriksaan palpasi. Palpasi dibarengi dengan inspeksi terutama efektif dalam
mengkaji apakah gerakan, atau ekskursi toraks selama inspirasi dan ekspirasi,
amplitudonya simetris atau sama. Selama palpasi kaji adanya krepitus, defek atau
nyeri tekan dinding dada, tonus otot, edema, dan fremitus taktil, atau vibrasi
gerakan udara melalui dinding dada.
3. Perkusi
Pengetukan dinding dada antara iga menghasilkan berbagai bunyi yang
digambarkan sesuai dengan sifat akustiknya, resonan, hiperesonan, pekak, datar,
atau timpani. Perkusi juga dilakukan untuk mengkaji ekskursi diafagma.
4. Auskultasi
Dengan mendengarkan paru-paru ketika klien bernafas, pemeriksa mampu
mengkaji karakter bunyi nafas dan adanya bunyi nafas tambahan. Dengarkan
semua area paru-paru dan dengarkan pada keadaan tanpa pakaian. Status patensi
jalan nafas dan paru dapat dikaji dengan mengauskultasi nafas dan bunyi suara
yang ditransmisikan melalui dinding dada.

G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk diagnosis hipoksia.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ
sistemik dan cedera otak. Menurut Utomo (2006) pemeriksaan penunjang antara lain :
1. Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium darah yang biasa dilakukan meliputi pemeriksaan
kadar hemoglobin (Hb), leukosit, eritrosit, dan laju endap darah. Spesimen darah
yang biasa digunakan diambil dari darah vena (Asmadi, 2008).
2. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum diperlukan jika diduga terdapat penyakit paru-paru.
Membrane mukosa saluran pernafasan berespons terhadap inflamasi dengan
meningkatkan keluaran sekresi yang sering mengandung mikroorganisme
penyebab penyakit (Asmadi, 2008).
3. Gula darah
4. Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmolaritas
5. Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
6. Serum kreatinin
7. Faal pembekuan darah
8. Faal hati
9. Analisa gas darah
Analisa gas darah aretri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi
darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri femoralis,
radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi heparin
untuk mencegah pembekuan darah (Asmadi, 2008).
10. Foto toraks
11. Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pendarahan
intracranial atau menyingkirkan adanya meningitis
12. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan prognosis
penderita
13. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sangat membantu pada
bayi yang premature. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya < 30
minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari dan diperiksa kembali pada
umur 36-40 minggu. Cara ini dapat mengidentifikasi pendarahan intraventikuler
dan necrosis basal ganglia dan thalamus
14. Computed tomography (CT) scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami
cedera hipoksia biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala pada usia 2-5
hari, dimana pada waktu tersebut timbul edema cerebri yang maksimal. Proses
pendarahan akut dan klasifikasi intracranial akan lebih baik divisualisasi dengan
pemeriksaan CT scan dibandingkan dengan pemeriksan MRI. Pada bayi
premature yang mengalami hipoksia, pemeriksaan dengan CT scan kepala kurang
memberikan hasil yang memaskan karena pada bayi premature struktur jaringan
otaknya masih imatur dan lebih banyak mengandung cairan.
15. Magneting Resonance Imaging (MRI) kepala. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi bayi prmeatur maupun aterm yang mengalami cedera hipoksia
yang mungkin tidak bisa divisualisasi dengan cara neuro imaging lainnya. Jika
pemeriksaan CT scan telah dilakukan dan tidak menghasilkan kesimpulan, maka
MRI dikerjakan antara umur 2-10 hari. Tetapi karena kesulitan teknik,
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemeriksaan dan sulitnya monitoring
bayi yang mengalami cedera hipoksia, maka penggunaannya dibatasi.
H. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang adekuat.
2. Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.
3. Gangguan perfusi jaringan b.d kebutuhan Oksigen yang tidak adekuat.
4. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d imaturitas paru dan neuromuskular, penurunan
energi, dan keletihan
5. Resiko tinggi trauma (jaringan otak) b.d hipoksemia atau hiperkapnia

I. Penatalaksanaan
1. Upaya utama untuk pencegahan adalah dengan mengidentifikasi dan mencegah fetus
dan neonatus yang mempunyai resiko mengalami hipoksia dan asfiksia sejak dalam
kandungan hingga persalinan.
2. Segera lakukan resusitasi bayi setelah bayi lahir dan mengalami apnea dan atau
ensefalopati hipoksik iskemik.
a. Oksigenasi yang adekuat. Hipoksi akan menyebabkan pressure-passive
circulation san neuron injury yang disebabkan karena adanya gangguan
autoregulasi vaskuler serebral.
b. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2 dalam
kadar yang fisiologis.
c. Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam batas normal
sesuai dengan umur kehamilan dan beratnya. Jika terlalu rendah akan mengalami
iskemik, bila terlalu rendah akan mengalami perdarahan pada daerah germinal
matrix dan intraventrikuler pada bayi prematur.
d. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL, untuk
menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak. Hindarilah
hyperglycemia untuk mencegah hyperosmolality dan kemungkinan
meningkatnya kadar asam laktat dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan
edema cerebri dan mengganggu autoregulasi vaskuler sehingga timbul
pendarahan. Bila kadar glukosa rendah dapat menimbulkan neuronal injury dan
memperluas daerah yang mengalami infark.
e. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah timbulnya
edema cerebri dengan cara mencegah overload cairan. Retriksi cairan dengan
pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah bayi kemungkinan timbul SIADH
(Syndrome Inappropriate Anti Deuretic Hormon)
3. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat (delayed neural
death) dengan cara memberikan neuroprotektif. Mencegah kerusakan otak, banyak
penelitian yang masih berkembang dalam mengatasi kematian otak bayi dengan
hipoksia dan asfiksia :
a. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan
allopurinol superoxide dismutas, vitamin E, resusitasi dengan udara ruangan
b. Mencegah hipotermi, dengan berbagai cara antara lain selective head cooling dan
mild systemic hypothermi.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Riwayat Kesehatan
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran : normal, apatis, somnolen, stupor, koma
Nilai APGAR : normal = 7 - 10
asfiksia ringan-sedang =4-6
asfiksia berat =0-3
b. Kepala
c. Leher
d. Toraks
e. Refleks/neurologi
Gangguan neurologi neonates : kejang, koma, hipotonia
f. Punggung
g. Kulit
h. Tanda-tanda vital
Suhu tubuh : normal, hipertermia, hipotermia
RR : normal, takipnea, bradipnea
Nadi : normal, takikardi, bradikardi
i. Usia kehamilan
j. Berat Lahir, Panjang Lahir, Lingkar Kepala
k. Genitalia
l. Ekstremitas
4. Intervensi
a. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d imaturitas paru dan neuromuskular,
penurunan energi, dan keletihan
1) Tujuan :
Pasien memperlihatkan parameter oksigenasi yang adekuat :
a) Oksigenasi jaringan adekuat, gas darah arteri dan keseimbangan asam
basa dalam batas yang tepat untuk usia pasca konsepsi
b) Frekuensi dan pola respirasi dalam batas yang tepat untuk usia dan
berat badan

2) Intervensi Keperawatan/Rasional :
a) Posisi untuk pertukaran udara yang optimal. Posisikan telungkup bila
mungkin. Atau posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan
hidung menghadap ke atas dalam posisi “mengendus”
Rasional : posisi telungkup menghasilkan oksigenasi lebih baik, lebih
toleransi terhadap pemberian makan, dan poal tidur-istirahat lebih
terorganisasi. Posisi telentang mencegah penyempitan jalan napas.
b) Hindari Hiperekstensi leher.
Rasional : hiperekstensi dapat mengurangi diameter trakea
c) Observasi adanya tanda gawat napas, pernapasan cuping hidung,
retraksi, takipnea, apnea, grunting, sianosis, saturasi oksigen (SaO2)
rendah
d) Suction untuk mengeluarkan mukus yang terkumpul dari nasofaring,
trakea dan pipa endotrakea
e) Suction hanya bila perlu, berdasarkan pada pengkajian (mis.
Auskultasi dada, bukti penurunan oksigenasi, peningkatan
iritabilitas), jangan melakukan suction secara rutin, karena dapat
menyebabkan bronkospasme, bradikardia akibat rangsang saraf
vagus, hipoksia lebih parah, peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
mencetuskan bayi pada pendarahan tekanan intrakranial
f) Gunakan teknik suction dua orang karena asisten dapat memberikan
hiperoksigenasi sebelum dan sesudah pemasangan kateter
g) Lakukan perkusi, vibrasi dan drainase postural sesuai permintaan
untuk memfasilitasi drainase sekresi.
h) Laksanakan program yang ditetapkan untuk terapi suplemen oksigen
(pertahankan konsentrasi oksigen ruangan pada tingkat FiO 2 minimal
berdasarkan pada gas darah arteri dan SaO2)
i) Pertahankan suhu lingkungan bayi netral untuk menghemat
penggunaan O2
j) Pantau dengan ketat pengukuran gas darah arteri dan SaO2
k) Observasi dan kaji respon bayi terhadap ventilasi dan oksigenasi

3) Hasil yang diharapkan


a) Jalan napas tetap paten
b) Pernapasan memfasilitasi oksigenasi dan pembuangan CO2 yang
adekuat
c) Frekuensi dan pola respirasi dalam batas yang memadai untuk usia
dan berat badan
d) Gas darah arteri dan keseimbangan asam-basa berada dalam batas
normal untuk usia gestasi
e) Oksigenasi jaringan memadai

b. Resiko tinggi trauma (jaringan otak) yang berhubungan dengan hipoksemia


atau hiperkapnia
1) Tujuan :
Pasien mendapatkan asuhan untuk mencegah cedera dan
mempertahankan alirah darah sistemik dan orak adekuat, tidak
menunjukkan adanya pendarahan intraventrikular (kecuali sudah ada
pada kondisi sebelumnya)

2) Intervensi :
a) Cegah hipoksia. Pertahankan oksigenasi yang adekuat
Rasionalisasi : hipoksia akan meningkatkan aliran darah otak dan
tekanan intakranial (TIK)
b) Pantau terapi oksigen, ventilasi dan IV
c) Kurangi rangsang lingkungan terutama panas berlebih, pertahankan
lingkungan suhu netral.
Rasional : respon stres, terutama peningkatan tekanan darah dan
denyut jantung akan meningkatkan demand oksigen dan dapat
meningkatkan resiko peningkatan TIK
d) Hindari obat dan larutan hipertonis karena akan meningkatkan TIK
e) Tinggikan kepala tempat tidur atau kasur antara 15-20 derajat untuk
mengurangi TIK
f) Hindari memutar kepala ke samping tiba-tiba, yang akan mengurangi
aliran arteri karotis dan oksigenasi ke otak
g) Observasi dan tangani kejang, berikan antikonvulsan
h) Dukung keluarga, berikan panduan untuk penanganan keluarga pada
kerusakan neurologis ringan sampai berat

3) Hasil yang diharapkan :


Bayi tidak memperlihatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
atau pendarahan intraventrikel.
DAFTAR PUSTAKA
James, Joice., Baker, Colin & Swain, Helen. 2008. Prinsip-Prinsip Sains untuk keperawatan.
Jakarta: Erlangga.
Efendi, Sjarif Hidayat & Kadir, Minerva Riani. 2013. Dampak Jangka Panjang Hipoksia
Perinatal. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Kosim, M. Sholeh. 2006. Sari Pediatri. Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan Preterm.
Vol 7 (4): 225-231.
Richard E, Behrman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Utomo,T.Martono, et al. 2006. ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK PERINATAL
(Perinatal Hypoxic Ischemic Encephalopathy). Surabaya : Open Urika.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6, Vol. 1. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai