Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN AKHIR

PERCOBAAN IV
PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI ANDROGRAFOLID DARI
HERBA SAMBILOTO

OLEH:
KELOMPOK 5
GOLONGAN 2
LUH GD. KARISMA WIDIANTARI (1808551019)
KADEK DINDA SURYADEWI (1808551020)
KADEK SUTRI ARIYANTHINI (1808551021)
IDA AYU PUTU SINTYA DEWI (1808551022)
NI MADE WINDA DWIYANI (1808551023)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
PERCOBAAN IV.A
PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI ANDROGRAFOLID
DARI HERBA SAMBILOTO
I. PENDAHULUAN
1.1 Dasar Teori dan Prinsip Analisis
1.1.1 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness.)
Sambiloto tergolong tanaman tahunan yang banyak tersebar di negara - negara Asia yaitu
Sri lanka, India, Indonesia, Pakistan dan Malaysia terutama banyak ditemukan di dataran rendah
hingga ketinggian kurang lebih 1600 dpl dengan habitatnya di tempat terbuka seperti ladang,
pinggir jalan, tebing, saluran atau sungai, semak belukar, di bawah tegakan pohon jati atau
bambu (Bin Nyeem. M.A., et al, 2017; Hanan, 1996).

Morfologi tanaman ini yaitu herba tegak dengan tinggi sekitar 0,5 - 1 meter, percabangan
monodial, batang yang masih muda bersiku empat sedangkan yang tua berkayu dengan pangkal
membulat berwarna hijau. Daun tunggal, bentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing,
bersilang berhadapan dengan warna daun bagian atas hijau tua sedangkan bagian bawah
berwarna lebih pucat (Sudarsono et al.,1996).

Di Indonesia, tanaman ini sering digunakan sebagai obat dan masuk dalam sistem
pengobatan Ayurvedic dan Unani. Efek farmakologi yang dimiliki tanaman ini sangat luas antara
lain hepatoprotektif, antimikroba, efek antijamur, antioksidan, antiinflamasi, antipiretik,
antikanker, dan antidiare. Disebutkan dalam sistem kedokteran Unani bahwa tanaman ini
bermanfaat dalam pengobatan hepatitis kronis (Bin Nyeem. M.A., et al, 2017).

Klasifikasi Tanaman Sambiloto (Jones & Luchsinger, 1987) :

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Bangsa : Scrophulariales

Suku : Acanthaceae

Marga : Andrographis
Jenis : Andrographis paniculata (Burm.F)

Kandungan utama dalam herba sambiloto yaitu lakton diterpen termasuk andrografolid,
deoksiandrografolid, neoandrografolid, andrografisid, deoksiandrografisid, dan andropanosid (1,
3, 6, 7, 8, 9). Senyawa diterpen termasuk andrografolid, isoandrografolid, 14-
deoksiandrografolid (DA), 14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid (DDA), 14-deoksi-11-
oksoandrografolid, neoandrografolid, di-deoksiandrografolid (andro-grafisid), 14-deoksiandro-
grafosid (andropanosid), androgapanin, deoksiandrografolid-19-D-glukosid, 14-deoksi-11,12-
dihidroandrografisid, 6’-asetil-neoandrografolid, bis-andrografolid A, B, C, D. Dari akar
sambiloto diisolasi satu senyawa flavones glukosida, andrografidin A dan 5 flavon glukosida,
andrografidin B, C, D, E, F bersama 5-hidroksi-7, 8, 2’, 3’-tetrametoksiflavon, dan 7,8-
dimetoksi-5-hidroflavon (Depkes RI, 2009).

Bagian daun dan cabang sambiloto mengandung beberapa senyawa kimia seperti
deoksiandrografolid, andrografolid, neoandrograflid, 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid,
dan homoandrografolid. Akarnya mengandung flavonoid berupa polimetoksiflavon, andrografin,
panikolin, dan apigenin 7,4-dimetil eter, alkena, keton, aldehid, kalium, kalsium, natrium, asam
kersik, andrografolid 1% kalmegin (Hariana, 2006).

Gambar 1.1.1.1 Struktur Senyawa Andrografolid (Susanti et al, 2017)

Andrografolid (C20H30O5) adalah senyawa diterpene yang terkandung paling banyak di


bagian daun dengan konsentrasi sekitar 2,39%, berasa sangit pahit, memiliki cincin lakton pada
strukturnya, berbentuk kristal rombik atau kepingan tidak berwarna (Kardono et al., 2003).
Menurut FHI, andrografolid 1% kalmegin (zat amorf), hablur kuning, rasa pahit sampai sangat
pahit (Depkes RI, 2009). Titik lebur andrografolid yaitu sekitar 230 – 239oC dengan bobot
molekul 350,46. Kelarutan andrografolid adalah sedikit larut dalam air; larut dalam aseton,
metanol, kloroform, dan eter.

1.1.2 Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi padat cair dengan pelarut yang sesuai dalam rentang
waktu tertentu. Istilah maseration berasal dari bahasa latin macere, yang artiya merendam jadi.
Jadi, maserasi dapat diartikan sebagai proses dimana obat yang sudah halus dapat
memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan melunakan susunan sel,
sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989).
Proses pengekstrakan simplisia secara maserasi dilakukan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan menggunakan pelarut ada temperature ruangan (kamar) (Depkes
RI, 2000). Kelarutan isi sel dalam cairan penyari diakibatkan karena adanya perbedaan
konsentrasi larutan dalam sel dan luar sel. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melalui
dinding sel, kemudian akan terjadi proses difusi yakni larutan dengan konsentrasi tinggi di dalam
sel akan terdesak keluar dari dalam sel lalu digantikan dengan konsentrasi cairan penyari yang
lebih rendah. Proses ekstraksi dilakukan dengan merendam simplisia dengan cairan penyari
dalam bejana yang ditutup rapat lalu dikocok berulang – ulang. Hal ini bertujuan agar semua
cairan penyari tersebar homogen dan masuk keseluruh permukaan simplisia (Depkes RI, 1986).
Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15o-20o C selama 3 hari sampai bahan-bahan yang
larut, dapat melarut (Ansel, 1989).
Ekstrak adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari direngekstraksi bahan
nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (nonpolar) atau setengah air , misalnya
etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku resmi kefarmasian
(Depkes RI,1995).

1.1.3 Sokhletasi
Sokhletasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang dibantu dengan alat sokhlet yakni
antara pelarut dan sampel diletakkan secara terpisah. Pelarut yang sering digunakan yaitu pelarut
yang mudah menguap atau mempunyai titik didih rendah. Prinsip kerja ekstraksi dilakukan terus
menerus dengan pelarut yang relative sedikit dan terus diperbaharui dengan jumlah yang sama.
Kemudian pelarut diuapkan hingga diperoleh ekstrak (Leba, 2017).
Peralatan sokhletasi yang digunakan yaitu kondensor, soklet, labu dasar bulat dan
pemanas. Kondensor digunakan sebagai pendingin agar proses pengembunan dapat berlangsung
lebih cepat. Soklet sendiri terdiri atas timbal sebagai wadah sample, pipa F untuk saluran uap
pelarut yang dipanaskan pada labu bulat ke kondensor, sifon berfungsi menghitung siklus
dimana satu siklus berarti larutan sifon penuh dan jatuh ke dalam labu dasar bulat. Labu dasar
pelarut sebagai wadah pelarut dan pemanasan digunakan untuk memanaskan pelarut (Leba,
2017).

Gambar 1.1.3.1 Alat Sokhletasi (Leba, 2017)

1.1.4 Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah teknik yang sering digunakan untuk pemurni suatu senyawa dengan
prinsip perbedaan kelarutan pada keadaan panas atau dingin dalam pelarut yang cocok. Tahap
awal rekristalisasi yaitu melarutkan senyawa dalam keadaan panas atau sampai suhu pendidihan
pada sedikit mungkin pelarut atau campuran pelarut hingga diperoleh larutan jernih. Tahap
selanjutnya yaitu mendinginkan larutan yang nantinya akan terbentuk kristal lalu dipisahkan
melalui penyaringan (Kristanti, et al., 2008).
Syarat pelarut rekritalisasi adalah dengan menggunakan pelarut yang tidak mengadakan
reasksi kimia dengan padatan yang akan direakristalisasi. Pada keadaan dingin kelarutan padatan
harus lebih rendah dan tinggi pada keadaan panas, pengotor anorganik tidak dapat larut dalam
pelarut walaupun dalam keadaan panas, pengotor organik harus larut pada keadaan dingin dalam
pelarut, titik didih pelarut lebih rendah dari titik didih padatan, dan pelarut tidak toksik serta
mudah terbakar. (Kristanti, et al., 2008)

1.1.5 Identifikasi Andrografolid


Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisiko kimia yakni lapisan yang
memisahkan terdiri atas bahan berbutir – butir atau fase diam yang ditempatkan pada penyangga
seperti plat gelas, logam, atau lapisan lain yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa
larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Kemudian plat atau lapisan yang cocok
diletakkan ke dalam bejana tertutup rapat yang terdapat larutan pengembang yang cocok (fase
gerak). Pemisahan akan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Setelah itu, senyawa
yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985).
Menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI), KLT digunakan sebagai metode untuk
identifikasi andrografolid dengan sistem fase diam yaitu silika gel 60 F254 serta kloroform P :
metanol (9:1) sebagai fase gerak. Senyawa andrografolid 0,1% dalam etanol P dengan nilai Rf
sebesar 0,55 yang dideteksi dengan menggunakan lampu UV 230 nm (Depkes RI, 2010).
Jarak yang ditempuh oleh solute
Rf =
Jarak yang ditempuh eluen

1.2 Tujuan Praktikum

Mahasiswa mampu menerapkan maserasi, sokletasi, rekristalisasi, dan identifikasi


andrografolid dengan Kromatografi Lapis Tipis

II. PROSEDUR KERJA

2.1 Alat dan Bahan

2.1.1 Alat :

- 1 set alat soklet - Cawan Porselin


- Alat – alat gelas - Kertas Saring
- Plat KLT - Chamber
- Lampu UV 254 nm dan 366 nm - Water bath
2.1.2 Bahan :
- Etanol 96% - Serbuk herba sambiloto
2.2 Prosedur Kerja
2.2.1 Pembuatan Ekstrak
1) Maserasi FHI :

Masukkan 1 bagian (10 gram) serbuk kering simplisia ke dalam maserator, tambahkan
10 bagian (100 mL) pelarut etanol 70%. Rendam selama 6 jam pertama sambil sekali-sekali
diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan maserat dengan cara pengendapan,
sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi. Ulangi proses penyarian sekurang-kurangnya 2x dengan jenis
dan jumlah pelarut yang sama.

Kumpulkan semua maserat, kemudian uapkan dengan penguap vakum atau penguap
tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak kental. Hitung rendemen yang diperoleh yaitu
persentase bobot (b/b) antara rendemen dengan bobot serbuk simplisia yang digunakan dengan
penimbangan. Rendemen harus mencapai angka sekurang-kurangnya sebagaimana ditetapkan
pada masing-masing monografi ekstrak.

2) Sokletasi

Hasil yang baik = kloroform (16,6% andrografolid) dan etanol (16,8% andrografolid)
ditambahkan sebanyak 2x sirkulasi, FHI etanol 70%.

Ditimbang 10 gram serbuk sampel, dibungkus dengan kertas saring kemudian dilakukan
sokletasi dengan 100 mL etanol 96%. Proses sokletasi dilakukan kurang lebih sampai rendaman
simplisia tidak berwarna (kurang lebih 4 x sirkulasi). Larutan yang diperoleh disaring dan
diuapkan di atas water bath menggunakan cawan porselin (yang sudah ditimbang sebelum
digunakan) sampai didapat ekstrak kental. Timbang ekstrak kental yang diperoleh.

2.2.2 Rekristalisasi
Ekstrak kental yang diperoleh dicuci secara berturut- turut menggunakan n-heksan, etil
asetat dan air panas hingga pelarut-pelarut tersebut menjadi bening. Ekstrak diuapkan kembali
sampai kental kemudian ditambahkan etanol 70% secukupnya. Ekstrak terpurifikasi kental
dilarutkan dengan metanol sedikit demi sedikit kemudian dipanaskan pada suhu 780C sampai
larut. Larutan disaring panas-panas dan filtrat didinginkan perlahan. Kristal yang terbentuk
dipisahkan dan dicuci dengan n-hexan dan etil asetat hingga bening (Nugroho et al., 2012).
Larutan disaring panas dan filtrat yang terbentuk direkristalisasi hingga diperoleh kristal
andrografolid murni. Kristal yang terbentuk disaring dengan kertas saring (yang sebelumnya
telah ditimbang bobotnya). Kertas saring didiamkan pada suhu kamar di udara terbuka sampai
kering. Timbang bobot kristal yang diperoleh.

2.2.3 Identifikasi Andrografolid


Lihat aturan pembuatan larutan uji andrografolid sesuai FHI. Totolkan 20 μL pada plat
KLT silika gel GF254 yang telah dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110 0C selama
30 menit. Kemudian plat KLT dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan fase gerak :

KLT Andrografolid

Fase gerak = Kloroform P - Metanol P (9:1) Rf andrografolid = 0,55

Larutan pembanding : andrografolid 0,1% dalam etanol P

Volume penotolan : 20µL larutan uji dan 2 µL larutan pembanding

Deteksi : UV 254 nm

Elusi sampai 1 cm dari tepi atas plat KLT. Plat diangin-anginkan selama 10 menit. Amati
di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Tandai spot/noda dan hitung
Rf masing-masing spot. Adanya spot dengan Rf 0,55 diduga sebagai andrografolid.

III. SKEMA KERJA

3.1 Pembuatan Ekstrak

3.1.1 Maserasi

Dimasukkan 10 gram serbuk simplisia kering ke maserator

Ditambahkan 100 ml etanol 70%

Diamkan selama 6 jam pertama, sesekali diaduk


Didiamkan selama 18 jam

Ulangi maserasi minimal 2x dengan jumlah dan jenis pelarut


yang sama

Maserat dikumpulkan kemudian diuapkan dengan penguap


vakum untuk diperoleh ekstrak kental

Dihitung rendemen yang didapatkan yaitu persentase bobot


(b/b) antara rendemen dengan bobot serbuk simplisia dengan
penimbangan. Rendemen harus mencapai angka sebagaimana
ditetapkan masing-masing monografi ekstrak

3.1.2 Sokhletasi

Ditimbang 10 gram serbuk sampel, dibungkus dengan kertas


saring, kemudian disokhletasi dengan 100 ml etanol 96%

Disokhletasi kurang lebih sebanyak 4 kali sampai rendaman


simplisia tidak berwarna

Larutan disaring dan diuapkan pada water bath dengan


menggunakan cawan porselen sampai didapat ekstrak kental

Timbang ekstrak kental


3.2 Rekristalisasi

Dicuci ekstrak kental secara berturut-turut menggunakan n-heksan, etil asetat dan air
panas hingga pelarut-pelarut tersebut menjadi bening

Ekstrak diuapkan kembali sampai kental dilarutkan dengan metanol sedikit demi sedikit
kemudian dipanaskan pada suhu 78oC sampai larut.

Larutan disaring panas-panas dan filtrat didinginkan perlahan. Kristal yang terbentuk
dipisahkan dan dicuci dengan n-hexan dan etil asetat hingga bening

Larutan disaring panas dan filtrat yang terbentuk direkristalisasi hingga diperoleh kristal
andrografolid murni. Kristal ini disaring dengan kertas saring yang sebelumnya telah
ditimbang bobotnya.

Kertas saring didiamkan pada suhu kamar di udara terbuka sampai kering, kemudian
bobot kristal yang diperoleh ditimbang.

3.3 Identifikasi Andrografolid

Totolkan 20 µL pada KLT silica gel GF254 yang telah dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada
suhu 110oC selama 30 menit

Kemudian plat KLT dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan fase gerak

Elusi sampai 1 cm dari tepi atas plat KLT. Plat diangin-anginkan selama 10 menit.

Amati dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Tandai spot/noda dan
hitung Rf masing-masing spot. Adanya spot dengan Rf 0,55 diduga sebagai andrografolid
IV. DATA HASIL PENGAMATAN

4.1 Pembuatan ekstrak dengan metode maserasi

Gambar 1.1 Penimbangan serbuk Gambar 1.2 Serbuk sambiloto dimasukkan


sambiloto 10 gram ke dalam toples

Gambar 1.3 Pengukuran 100 mL Gambar 1.4 Serbuk sambiloto dalam


etanol 70% toples ditambahkan 100 mL etanol 70%

Gambar 1.5 Tutup rapat toples dan bungkus Gambar 1.6 Setelah direndam kurang lebih 1
dengan aluminium foil dan plastik wrap hari, rendaman disaring, dan residu kembali
ditambahkan 100 mL etanol 70%
Gambar 1.7 tutup rapat residu yang Gambar 1.8 Hasil remaserasi kembali
dimaserasi, dan diamkan kembali selama 1 disaring. Filtrat hasil remaserasi diukur 100
hari. Remaserasi dilakukan 3 kali mL dan diletakkan pada cawan porselen

Gambar 1.9 100 ml filtrat remaserasi


dipanaskan pada hotplate hingga suhu 78o C Gambar 1.10 Filtrat yang telah dipanaskan
untuk selanjutnya diuapkan di oven

4.2 Pembuatan Ekstrak dengan Metode Sokletasi

Gambar 2.1 pemasangan alat soklet yang Gambar 2.2 Terjadi proses sokletasi sampel
telah diisi sampel sambiloto sambiloto
Gambar 2.3 Hasil sokletasi yang sudah Gambar 2.4 Hasil sokletasi diukur. Jumlah
mencapai satu sirkulasi yang diperoleh 8 mL cairan

4.3 Rekristalisasi Ekstrak Hasil Maserasi dan Sokletasi

Gambar 3.1 Cawan porselen I yang berisi Gambar 3.2 Cawan porselen II yang berisi
ekstrak kental tanpa dikenai pemanasan ekstrak kental dengan dikenai pemanasan

Gambar 3.3 Kristal yang terbentuk pada


cawan porselen II namun diduga bukan
kristal andrografolid karena warna kristal
bening
4.4 Identifikasi Andrografolid dengan Kromatografi Lapis Tipis

Gambar 4.1 Proses penjenuhan chamber Gambar 4.2 Dimasukan kertas saring ke
dengan metanol dalam chamber sebagai indikator kejenuhan
chamber

Gambar 4.3 Penotolan plat KLT dengan Gambar 4.4 Plat KLT dimasukkan ke
sampel hasil maserasi 1, maserasi 2, hasil chamber dan dilakukan pengelusian
sokletasi dan larutan pembanding

Gambar 4.5 Hasil pengamatan totolan Gambar 4.6 Hasil pengamatan totolan
dibawah sinar UV 254 dibawah sinar UV 366
V. PERHITUNGAN HASIL

5.1 Perhitungan Hasil Metode Maserasi


a) Bobot cawan porselen sebelum ditambahkan ekstrak adalah 75,480 gram

b) Bobot cawan porselen setelah ditambahkan ekstrak dan diuapkan adalah 76,431 gram

c) Maka bobot ekstrak kental adalah 76,431 gram – 75,480 gram adalah 0,951 gram

5.2 Perhitungan Hasil Metode Sokletasi


a) Bobot cawan sebelum ditambahkan ekstrak adalah 71,083 gram.

b) Bobot cawan porselen setelah ditambhakan ekstrak dan diupkan sebesar 72,369 gram.

c) Maka bobot ekstrak kental adalah 72,369 gram – 71,083 gram adalah 0,386 gram.

5.3 Perhitungan Hasil Identifikasi Kromatografi Lapis Tipis


1. Eluen( 10 ml )
- Kloroform:Metanol = 9 : 1

a. Kloroform= ml

= ml

b. Metanol = ml

= ml

2. Perhitungan Rf untuk hasil UV254


a. Maserasi 1 (Spot no. 1 dan no. 5)
 Spot no. 1
Jarak tempuh solute = 4,8 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,6

 Spot no. 5
Jarak tempuh solute = 6,8 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,85

b. Hasil Sokletasi (Spot no. 2 dan no. 6)


 Spot no. 2
Jarak tempuh solute = 4,1 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,5125

 Spot no. 6
Jarak tempuh solute = 6,65 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,83125

c. Maserasi 2 (Spot no. 3 dan no. 7)


 Spot no. 3
Jarak tempuh solute = 4,15 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,51875

 Spot no. 7
Jarak tempuh solute = 6,7 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,8375

d. Standar Andrografolid (Spot no. 4)


Jarak tempuh solute = 4,9 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,6125

3. Perhitungan Rf untuk hasil UV366


a. Maserasi 1 (Spot no. 1)
Jarak tempuh solute = 3 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,375
b. Hasil Sokletasi (Spot no. 2)
Jarak tempuh solute = 2,85 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,35625

c. Maserasi 2 (Spot no. 3)


Jarak tempuh solute = 2,9 cm
Jarak tempuh solvent = 8 cm
Rf = = 0,3625

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Pembuatan Ekstrak dengan Metode Maserasi


Dilakukan maserasi dengan menimbang serbuk sambiloto sebanyak 10 gram dan
merendam serbuk dengan 100 ml etanol 70% dalam toples tertutup rapat dan dilapisi lakban
hitam agar dapat menahan cahaya yang masuk yang dikhawatirkan dapat merusak analit. Pada
praktikum kali ini sampel yang direndam didiamkan selama 19 jam kemudian dilakukan
remaserasi pertama dengan menyaring sampel yang telah direndam sebelumnya. Filtrat
dikumpulkan dalam toples baru yang telah dilapisi lakban dan ditutup rapat, sedangkan residu
ditambahkan kembali dengan etanol 70% sebanyak 100 mL, kemudian disimpan kembali selama
25 jam untuk kemudian dilakukan remaserasi kedua. Setelah dilakukan remaserasi kedua, residu
sampel ditambahkan kembali etanol 70% sebanyak 100 mL dan disimpan selama 24 jam,
kemudian dilakukan remaserasi ketiga. Remaserasi ini dilakukan sebanyak tiga kali sampai filtrat
berwarna agak bening.

Filtrat hasil remaserasi ketiga kemuadian diukur sebanyak 100 mL dan diletakkan di
cawan porselen yang sebelumnya sudah ditimbang untuk selanjutnya panaskan pada hotplate
sampai suhu kurang lebih 78-80oC. Setelah dipanaskan, ekstrak pada cawan porselen ditutup
dengan aluminium foil dan diletakkan pada oven untuk diuapkan sampai ekstrak menjadi kering,
kurang lebih selama tiga hari. Ekstrak yang telah kering dikeluarkan dari oven dan dipindahkan
ke kulkas agar ekstrak tidak bereaksi dengan lingkungan. Setelah tiga hari ekstrak dikeluarkan
dari kulkas, kemudian ekstrak ditimbang dan hitung hasil rendemen dengan mengurangi bobot
akhir dan bobot cawan porselen sebelum diberi filtrat. Praktikan mendapatkan bobot ekstrak
sebesar 0,951 gram dengan warna ekstrak yang hijau pekat.

6.2 Pembuatan Ekstrak dengan Metode Sokletasi


Pemisahan senyawa dengan metode sokletasi dimaksudkan untuk senyawa yang tahan
akan pemanasan. Metode sokletasi diawali dengan menimbang 10 gram serbuk simplisia.
Kemudian bungkus dengan menggunakan kertas saring dan diikat dengan tali kasur agar serbuk
tidak berhamburan. Alat-alat soklet dipasang dan dilakukan proses sokletasi dengan suhu 550℃
pada hotplate. Pastikan ukur suhu air pada waterbath dengan menggunakan termometer tiap
beberapa saat.
Setelah alat disiapkan, masukkan sampel yang telah dibungkus tadi ke dalam selongsong
yang ada di dalam alat soklet. Diukur 100ml etanol lalu dimasukkan ke labu alas bundar lalu
mulai proses sokletasi. Pada praktikum ini, soklet dilakukan pada pukul 14.45 WITA dan
berakhir pada 16.00 WITA. Setelah proses sokletasi selesai, hasil sokletasi dimasukkan ke cawan
porselen lalu pelarut diuapkan di dalam oven selama 3 hari. Setelah itu pindahkan ke dalam
kulkas. Dari praktikum ini, bobot ekstrak kental yang diperoleh adalah 0,386 gram.
Hasil yang didapatkan hanya setengah kali sirkulasi hal ini dikarenakan terdapat celah
untuk pelarut menguap keluar. Oleh karena itu, proses sirkulasi tidak berjalan dengan baik dan
memerlukan waktu yang lama untuk bisa mencapai 1 sirkulasi. Sokletasi diberhentikan ketika
pelarut hampir habis. Hal ini dilakukan agar labu alas bundar tidak meledak karena panas tinggi.

6.3 Rekristalisasi Ekstrak Hasil Maserasi dan Sokletasi


Rekristalisasi dilakukan dengan menggunakan ekstrak kental hasil maserasi dua
kelompok yang diberi label maserasi 1 dan maserasi 2, serta hasil sokletasi. Ekstrak kental
selanjutnya dicuci dengan n-heksan sedikit demi sedikit sampai sedikit bening, hasil pencucian
dimasukkan ke dalam botol vial , pencucian dengan n-heksan berfungsi untuk menarik lemak
dan klorofil yang bersifat nonpolar. Setelah ekstrak dicuci dengan n-heksan kemudian ekstrak
dicuci dengan etil asetat beberapa kali sampai sedikit bening untuk menarik pengotor yang
bersifat lebih polar dari klorofil. Kemudian sisa ekstrak kental maserasi dan sokletasi yang masih
terdapat pada cawan porselen ditambahkan air hangat sedikit demi sedikit sampai semua terlarut
kemudian dari kedua larutan ekstrak pada cawan porselen, salah satunya dipanaskan pada
hotplate dengan suhu pemanasan 205 oC dan sisanya disaring langsung tanpa dipanaskan.
Ekstrak yang langsung disaring tanpa pemanasan ditambahkan metanol dingin beberapa
tetes, kemudian diletakkan pada baskom yang berisi air es dan diaduk perlahan dengan batang
pengaduk sembari menunggu terbentuknya kristal. Sedangkan pada ekstrak yang telah
dipanasakan, disaring terlebih dahulu untuk kemudian ditambahkan metanol dingin dan
diletakkan pada baskom yang berisi es sembari diaduk sampai kristal terbentuk. Metanol dingin
yang ditambahkan befungsi untuk melarutkan analit, karena berdasarkan kelarutannya,
andrografolid mudah larut dalam metanol (Warditiani, dkk., 2014). Saat praktikum berlangsung
selama tiga jam, kristal belum terbentuk, sehingga untuk membantu pembentukan kristal lebih
cepat, ektrak dipindahkan ke kulkas dan dibungkus dengan aluminium foil yang telah dilubangi
pada bagian permukaan atasnya. Setelah didiamkan dikulkas selama sehari, praktikan melakukan
pengamatan, pada ekstrak yang tanpa dikenai pemanasan tidak terbentuk kristal, sedangkan pada
sampel yang mengalami pemanasan terbentuk kristal bening. Namun kristal yang terbentuk
diduga bukan kristal andrografolid melainkan kristal pengotor. Diketahui bahwa kristal
andrografolid berwarna putih susu (Warditiani, dkk., 2014). Praktikan menduga bahwa
kegagalan untuk mendapatkan kristal andrografolid akibat proses penurunan suhu yang kurang
cepat atau mendadak.

6.4 Identifikasi Andrografolid Pada Ekstrak Hasil Maserasi dan Sokletasi


Pengujian senyawa andrografolid dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis
Tipis diawali dengan memotong plat KLT dengan ukuran 5x10 cm. Plat dipotong dengan
menggunakan cutter dan dibatu dengan penggaris besi. Beri tanda awal batas dan batas elusi dan
tempat menotolkan sampel dengan menggunakan pensil. Pada kertas HVS, dibuat gambar
seukuran plat KLT dan beri tanda titik mana saja yang akan diberi totolan disertai keterangan.
Gunting kertas kalkir seukuran plat sebanyak 2, beri batas batas awal elusi dan batas akhir elusi.
Siapkan chamber untuk mencuci plat KLT, kemudian masukkan 20 ml metanol ke
dalam chamber. Tempelkan tisu di dinding chamber agar pengotor menempel pada tisu dan
masukkan plat KLT dengan bagian silika menghadap ke dinding chamber. Tunggu hingga plat
KLT terbasahi seluruhnya, lalu ambil dengan menggunakan bantuan pinset. Setelah dicuci, plat
KLT diaktivasi dengan cara memasukkan ke dalam oven dengan suhu 110℃ selama 10 menit.
Taruh plat KLT di atas kertas HVS yang sudah digambar sesuai ukuran plat sebelumnya.
Setelah plat KLT siap digunakan, totolkan sampel pada plat KLT. Dibuat 4 titik
penotolan sampel, diberi tanda A, B, C, D. Masing masing sampel adalah ekstrak maserasi 1 (A),
sokletasi (B), maserasi 2 (C) dan sampel standar andrografolid atau sampel pembanding (D).
Sampel ditotolkan sebanyak 8µl untuk sampel standar dan 4µl untuk 3 sampel lainnya.
Selama penotolan, dibuat fase gerak dengan perbandingan metanol dan kloroform yaitu
1: 9 (Depkes, 2009) sebanyak 10 ml. Diambil sebanyak 1 ml metanol dan 9 ml kloroform lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur. Labu digojog hingga kedua larutan homogen. Chamber dicuci
dengan metanol lalu masukkan kertas saring seukuran dinding chamber. Chamber kemudian
dijenuhkan dengan fase gerak selama 30 menit.
Setelah 30 menit, masukkan plat KLT yang telah ditotolkan sampel dan ditunggu elusi
hingga batas pengembangan. Setelah eluen mencapai batas pengembangan atas, ambil plat
dengan menggunakan pinset. Amati plat di bawah sinar UV254 dan UV366.

Dibawah sinar UV366 tampak noda/totolan berpendar namun tidak terlihat adanya
totolan pada sampel andrografolid standar. Hal ini bias disebabkan karena kurangnya kualitas
pada sampel sehingga volume totolan perlu ditambah (Gandjar dan Rohman, 2015). Sedangkan
di bawah sinar UV254, terjadi pemadaman pada noda sehingga totolan tampak gelap, namun, plat
KLT berpendar dengan warna hijau.

Berdasarkan pustaka, nilai Rf 0,55 dapat diduga sebagai andrografolid. Namun,


berdasarkan uji praktikum yang telah dilakukan, Rf yang didapatkan dengan sampel yang
berbeda – beda mendapatkan hasil sedikit berbeda. Dilihat dengan UV254 pada sampel A
(maserasi 1) memperoleh nilai Rf 0,6 dengan jarak tempuh 4,8 cm, sampel B (sokletasi)
mendapatkan nilai Rf 0,5125 ~ 0,51 dengan jarak tempuh 4,1 cm, sampel C (maserasi 2)
diperoleh nilai Rf 0,51875 ~ 0,52 dengan jarak tempuh 4,15 cm serta larutan standar diperoleh
nilai Rf 0,6125 ~ 0,61 dengan jarak tempuh 4,9 cm.

Pada pengamatan melalui UV366 diperoleh nilai Rf yang lebih besar daripada
pengamatan UV254. Sampel A (maserasi 1) dengan nilai Rf 0,85 dengan jarak tempuh 6,8 cm,
sampel B (sokletasi) memiliki Rf 0,83125 ~ 0,83 dengan jarak tempuh 6,5 cm, sampel C
(maserasi 2) diperoleh nilai Rf 0,8375 ~ 0,84 dengan jarak tempuh 6,7 cm, sedangkan larutan uji
standar tidak terlihat mungkin karena penotolannya kurang tebal.
Adanya penyimpangan Rf tersebut mungkin diakibatkan karena adanya kesalahan pada
proses dalam pencucian atau penjemuran chamber dan sebagainya. Karena terdapat banyak hal
yang mempengaruhi Rf seperti kualitas dan keseragaman ukuran partikel adsorben, kejenuhan
chamber, dan kualitas dan kemurnian fase gerak.

VII. KESIMPULAN

Dalam praktikum ini, metode pemisahan senyawa andrografolid yang digunakan adalah
maserasi dan sokletasi. Metode maserasi menggunakan 10 mg serbuk herba sambiloto
dilanjutkan dengan remaserasi sebanyak 3 kali menghasilkan bobot ekstrak sebesar 0,951 gram
dengan warna ekstrak yang hijau pekat. Metode sokletasi dilakukan dengan mengekstraksi 10
mg serbuk herba sambiloto menghasilkan 0,386 gram ekstrak kental.

Rekristalisasi dilakukan dengan menggunakan ekstrak kental hasil maserasi dua


kelompok serta ekstrak hasil sokletasi. Hasil akhir rekristalisasi, tidak ditemukan kristal pada
ekstrak yang tanpa dilakukan pemanasan. Sedangkan pada sampel yang mengalami pemanasan
terbentuk kristal bening. Namun kristal yang terbentuk diduga bukan kristal andrografolid
melainkan kristal pengotor karena kristal andrografolid berwarna putih susu. Hal ini diduga
karena proses penurunan suhu pada saat kristalisasi kurang cepat.

Metode yang digunakan untuk mendeteksi senyawa andrografolid adalah metode KLT.
Setelah dilakukan proses KLT hasil yang diperoleh, senyawa andrografolid berpendar di bawah
UV366, namun sampel strandar tidak terlihat diduga karena kurangnya totolan. Sedangkan di
bawah UV254 terlihat plat berpendar dengan warna hijau. Dari hasil KLT, sampel yang paling
mendekati pustaka adalah sampel sokletasi dan sampel maserasi 2 yang dilihat di bawah UV 254.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hanan. 1996. Beberapa Catatan Tentang Sambiloto. Warta. Tumbuhan Obat Indonesia. 1
(3): 19.

Ansel, H.C.. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Arief Hariana. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Bin Nyeem, M.A, et al, Indigenabous King of Bitter (Andrographis paniculata): A review,
Journal of Medicinal Plants Studies, 2017; 5(2): 318 – 324.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1987. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Cetakan I. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta: Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Farmakope Herbal Indonesia. Suplemen I.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gandjar, I. G., Abdul Rohman. 2015. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jones, S.B. dan A.E. Luchsinger. 1987. Plants Systematic, Second Edition. Singapore:McGraw-
Hill.477.

Kardono, L. B. S., et al. 2003. Selected Indonesian Medicinal Plants : Monopraphs and
Descriptions Volume 1. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kristiani, Alfinda Novi., dkk. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press.

Leba, M. A.U.. 2017. Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi. Yogyakarta: Deepublish.

Stahl, E.. 1985. Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB Press.
Sudarsono, et al. 1996. Tumbuhan Obat. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM.

Susanti, N. M. P., et al, Potensi Toksisitas Andrografolid dari Sambiloto (Andrographis


paniculata (Burm.F.) Nees) pada Kulit dan Mata Secara In Silico, Jurnal Farmasi
Udayana, 2017; 6(1): 47 – 49.

Anda mungkin juga menyukai