Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI

IDENTIFIKASI GLIKOSIDA UMUM

GOLONGAN PRAKTIKUM : III

JUMAT, 28 APRIL 2017

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3C

MADE DION ABIMANYU (1608551036)


NI PUTU DIAH KUSUMA DEWI (1608551037)
KOMANG AYU MEIANTARI (1608551038)
NI KADEK SRIANI (1608551039)
ALFRED SILVESTER SERAN NAHAK (1608551040)
I GUSTI AGUNG GDE CAHYADININGRAT ADHI P. (1608551041)
I KOMANG NIKO SANJAYA (1608551042)

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan zaman membuat ilmu pengetahuan semakin berkembang, begitu pula dengan
ilmu kefarmasiaan. Ditemukan begitu banyak senyawa-senyawa aktif dari alam yang dapat
dimanfaatkan keberadaannya untuk sarana pengobatan berbagai macam penyakit. Salah satu
diantaranya adalah glikosida.
Glikosida banyak terdapat di alam. Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif yang
terdapat pada tanaman yang termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman
glikosida tidak lagi diubah menjadi senyawa lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akibat
pengaruh lingkungan luar. Glikosida dapat diartikan sebagai senyawa yang menghasilkan satu atau
lebih gula sebagai produk hidrolisis, atau secara sederhana glikosida adalah eter gula. Glikosida
terdiri dari gabungan dua bagian senyawa, yaitu gula dan bukan gula. Komponen gula dan bukan
gula tersebut dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen, nitrogen, sulfur, dan
karbon .bagian gula biasanya disebut glikon dan bagian bukan gula disebut aglikon.
Untuk mengetahui ada tidaknya glikosida pada tumbuhan tentu saja perlu dilakukan identifikasi
terhadap glikosida. Pada praktikum kali ini digunakan Digitalis purpurea folium dan Apium
graveolens untuk membuat larutan percobaan identifikasi glikosida, kemudian akan dilakukan uji
identifikasi terhadap glikosida dengan uji Libermann Burchard, uji Molish, uji Tollens, dan uji
identifikasi glikosida dengan menggunakan metode KLT.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum identifikasi minyak atsiri adalah sebagai berikut :
1. Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan identifikasi pada
glikosida secara kimia dan kromatografi lapis tipis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Glikosida dan Penggolongannya
Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian senyawa yaitu gula dan bukan
gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen, jembatan nitrogen,
jembatan sulfur, maupun jembatan karbon. Bagian gula umumnya disebut glikon dan bagian bukan
gula disebut aglikon. Pengelompokkan glikosida berdasarkan struktur aglikonnya adalah glikosida
steroid, glikosida antrakuinon, glikosida saponin, glikosida resin, glikosida tanin, glikosida
sianopora, glikosida isotiosianat, glikosida flavonol, glikosida sianhidrin dan glikosida alkohol
(Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.2 Digitalis purpurea


Digitalis purpurea merupakan salah satu tanaman yang mengandung glikosida steroid
memiliki efek sebagai obat jantung. Bagian aglikon dapat dipisahkan dari bagian gulanya dengan
cara hidrolisis menggunakan asam, basa, panas, enzim dan lingkungan yang lembab. Secara umum
daun digitalis adalah tanaman obat yang berpotensi keras dan berbahaya bagi manusia karena aksinya
langsung menuju ke jantung. Kegunaan dari digitalis adalah sebagai kardiotonikum. Mekanisme
kardiotonikum adalah meningkatkan tonus otot jantung yang mengakibatkan pengosongan jantung
lebih sempurna dan curah jantung meningkat. Tanaman ini mengandung berbagai glikosida jantung
diantaranya digitoksin, gitalin, digoksin dan digitonin (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.3 Apium graveolens


Tanaman yang memiliki nama lokal seledri ini memiliki herba dengan batang beruas dan hijau
pucat. Daun majemuk, daun muda melebar atau meluas dari dasar. Bagian yang dimanfaatkan sebagai
obat adalah seluruh bagian tanaman. Seluruh herba seledri mengandung glikosida apiin, isoquersetin
dan umbelliferon. Apiin atau Apigenin 7-O-apioglukosida merupakan kandungan senyawa kimia
penanda dalam herba seledri. Apiin merupakan glikon dari apigenin, keduanya merupakan senyawa
flavon glikosida. Apiin merupakan senyawa dalam herba seledri yang bertanggungjawab atas
penurunan tekanan darah baik pada tekanan darah sistolik maupun diastolik (Hidayat dan Napitupulu,
2015).
2.4 Pengertian Maserasi

Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan
penyari pada suhu biasa ataupun memakai pemanasan (Syamsuni, 2006). Biasanya ekstraksi dilakukan
dengan meserasi atau perendaman bahan dengan pelarut terpilih karena maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling mudah dengan rendemen ekstraki tinggi (Saifudin, 2014). Meserasi bertujuan
untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara
teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis oleh
cahaya atau perubahan warna). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif akan larut. Simplisia yang akan diekstraksi
ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari yang telah
ditetapkan, bejana ditutup rapat (Indraswari, 2008). Selama meserasi atau proses perendaman
dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi
yang lebih cepat dalam cairan. Sedangkan dalam keadaan diam selama meserasi menyebabkan
turunnya perpindahan zat aktif. Secara teoritis, pada suatu meserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin
banyak hasil yang diperoleh (Istiqomah, 2013).

Seringkali meserasi dikombinasi dengan digesti atau refluk selama satau atau dua jam dengan
suhu 40-60OC untuk meningkankan efisiensi penyarian (Saifudin, 2014). Digesti berarti “memisahkan
atau melarutkan”, yaitu cara penarikan yang suhunya sedikit lebih tinggi daripada maserasi (Syamsuni,
2006). Berdasarkan hal tersebut, digesti dapat diartikan sebagai meserasi yang dikombinasikan dengan
pemanasan. Cara ini tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas.

2.5 Sifat Fisika Kimia Pelarut


Dalam proses pembuatan larutan percobaan A digunakan beberapa jenis zat pelarut yang
memiliki sifat fisika kimia yaitu sebagai berikut.
1. Air (Aqua Destillata)
Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum memiliki pemerian cairan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa (Depkes RI, 1979). Air
memiliki titik didih 1000C (Chang, 2004)
2. Etanol
Ethyl alkohol atau etanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil atau gugus OH,
dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang sering dipakai untuk senyawa tersebut,
adalah alkohol. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut
dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya 78,3°c, membeku pada suhu –117,3 °C,
kerapatannya 0,789 pada suhu 20 °C, nilai kalor 7077 kal/gram, panas latent penguapan 204
kal/gram dan angka oktan 91–105 (Hambali dkk, 2008).
3. Kloroform (Chloroformum)
Kloroform adalah tirklormetana yang mengandung etanol 1,0% v/v dengan pemerian cairan
mudah menguap, tidak berwarna, bau khas, rasa manis dan membakar. Kloroform mudah
larut dalam etanol mutlak P, namun sukar larut dalam air. Memiliki jarak didih yaitu antara
suhu 600 dan 620 (Depkes RI, 1979).
4. Isoropanol (Isopropanolum)
Isopropanol memiliki pemerian cairan jernih, tidak berwarna, bau khas mirip etanol, rasa
membakar dan mudah terbakar. Isopropanol mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P. Memiliki jarak didih pada suhu antara 810 dan 830 (Depkes RI, 1979).

2.6 Sifat Fisika Kimia Larutan Pereaksi

Dalam praktikum untuk pemeriksaan glikosida dengan kromatografi lapis tipis digunakan fase
gerak yaitu benzena dan etanol 95%. Benzena termasuk ke dalam kelompok senyawa karbosiklik,
yaitu senyawa karbon yang mempunyai rantai kabon tertutup. Diantara senyawa karbosikilik, benzene
adalah salah satu senyawa yang mempunyai struktur dan sifat yang khas sehingga sering disebit
senyawa aromatik. Benzena memiliki struktur yang lebih simetris dibandingkan dengan senyawa
alifatik serupa, dengan susunan yang lebih rapat sebagai kristal. Hal ini menjelaskan mengapa titik
leleh benzena (6 oC) lebih tinggi dibandingkan heksana (-95 oC). Untuk turunan benzena, sifat
fisikanya tergantung dari jenis subtituennya. Benzena memiliki sifat fisika yakni bersifat non polar,
tidak larut dalam air, tapi larut dalam pelarut organik, zat car yang mudah menguap, titik didih 60 o, C,
titik leleh 6 oC, kerapatan 0,88 g/cm3, dan tidak berwarna. Sedangkan berdasarkan sifat kimianya,
benzena bersifat toksik (racun), tepatnya hemotoksin yaitu suatu zat yang merusak sumsum tulang
belakang dan menghambat pembentukan sel darah, bersifat karsinogenik (memicu timbulnya kanker)
pada binatang, kurang reaktif (Chang, 2004), relative inert, dan mudah terbakar, sukar melakukan
reaksi adisi, dan dapat melakukan reaksi substitusi.
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Larutan Percobaan


Penyiapan larutan percobaan untuk identifikasi Glikosida dilakukan dalam beberapa tahapan.
Sebagai bahan dasar digunakan serbuk simplisia Apium graveolens Folium. Tahapan pertama adalah
penyarian serbuk simplisia Apium graveolens Folium dengan 30 ml campuran etanol (95%) dan air
dengan perbandingan 7:3. Bedasarkan perhitungan didapat jumlah pelarut sebagai berikut.

7
Jumlah etanol (95%) yang digunakan = ×30 ml=21 ml
10

3
Jumlah air yang digunakan = ×30 ml=7 ml
10

Glikosida merupakan senyawa yang dapat larut dalam air dan etanol encer (Gunawan dan
Mulyani, 2004), sehingga dapat digunakan pelarut polar untuk menyari kandungan bahannya. Metode
yang digunakan adalah metode maserasi digesti. Metode maserasi digesti adalah metode maserasi yang
dilakukan di atas suhu kamar, biasanya berkisar dari 40 oC hingga 50oC (Sri Atun, 2014). Serbuk
simplisia kemudian dimasukkan ke dalam pelarut dan dipanaskan di atas penangas air dengan suhu
45oC. Hasil penyarian memperlihatkan larutan berwarna hijau tua keruh dengan serbuk-serbuk yang
masih terlihat, untuk itu larutan kemudian disaring untuk mendapatkan larutan tanpa serbuk. Hasil
penyaringan filtrat berwarna hijau tua.

Untuk mendapatkan hasil sari yang maksimal, dilakukan penyarian kembali menggunakan 25
ml air dan 25 ml Pb(CH3COO)2 . Timbal (II) asetat digunakan untuk mengendapkan klorofil sehingga
didapat larutan yang mengandung glikosida tanpa fragmen lainnya. Hasil penambahan air dan timbal
(II) asetat menghasilkan campuran yang berwarna hijau muda dengan butiran berwarna lebih hijau di
permukaan. Untuk menghilangkan butiran tersebut dilakukan penyaringan dan menghasilkan filtrat
yang berwarna hijau muda bening.

Hasil filtrat kemudian ditambahkan 20 ml campuran yang terdiri dari kloroform P: isopropanol P
dengan perbandingan 3:2. Penyarian dilakukan untuk memisahkan bagian polar dan non-polar dari
campuran tersebut. Penyarian dilakukan sekali pada corong pemisah dengan 3 kali penggojokkan
(setiap penggojokan lebih kurang 10 kali ayunan) dan diselingi dengan pembebasan udara dari dalam
corong pisah. Bedasarkan perhitungan, didapat jumlah bahan sebagai berikut.

3
Jumlah kloroform P yang digunakan = ×20 ml=12 ml
5

2
Jumlah air yang digunakan = ×20 ml=8 ml
5

Kloroform adalah suatu pelarut yang merupakan cairan jernih, mudah mengalir, mempunyai
sifat khas, bau eter, mendidih pada suhu kurang lebih 61°C dan dipengaruhi oleh cahaya. Kloroform
sukar larut dalam air (Baraja, 2008). Sehingga kloroform efektif digunakan untuk menyari bagian yang
tidak polar dari suatu larutan. Isopropanol atau 2-propanol adalah pelarut yang dapat campur dengan
air, sehingga dapar melarutkan bagian yang polar dari suatu larutan. Hasil penyarian pada corong pisah
menghasilkan larutan dengan dua fase yang memisah dan terlihat jelas. Bedasarkan pengukuran, dari
hasil penyarian didapat 11.5 ml larutan fase bawah (fase kloroform) dan 71 ml larutan fase atas (fase
isopropanol). Fase atas berwarna lebih hijau dibandingkan fase bawah yang lebih bening. Fase bawah
kemudian dipisahkan dan hanya menyisakan fase atas.

Sari yang diperoleh selanjutnya ditambahi Na2SO4 anhidrat untuk mengikat air yang masih
terkandung pada larutan. Hasil penambahan Na2SO4 anhidrat memberikan warna putih kekuningan.
Larutan kemudian diuapkan di atas penangas air dengan suhu lebih kurang 120 oC. Proses penguapan
dilakukan untuk menguapkan pelarut dan menghasilkan larutan yang mengandung glikosida tanpa
senyawa lainnya. Hasil penguapan menghasilkan larutan berwarna bening yang kemudian digunakan
sebagai larutan percobaan A.

5.2 Pemeriksaan Glikosida secara Kromatografi Lapis Tipis


Metode kromatografi lapis tipis dipilih untuk digunakan karena paling cocok untuk
analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk
perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis, dan
memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit. Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh
komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya
sederhana. Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang
memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa
larutan ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah plat atau lapisan diletakkan didalam
bejana atau chamber tertutup rapat yang berisi larutan pengembangan yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak
berwarna harus ditampakkan (Egon dan Stahl, 1985).
Pada praktikum identifikasi glikosida dengan metode KLT ini digunakan fase diam
berupa silica gel GF254 dan fase gerak berupa Benzene P : Etanol 95% (70:30) digunakan
benzene P sebagai fase gerak dikarenakan benzene mampu membawa glikosida naik ke plat
pengembangan karena benzene larut dalam glikosida. Dengan jarak rambat sepanjang 8 cm,
namun pada kelompok 3C digunakan jarak pengembangan sepanjang 7,5 cm dikarenakan fase
gerak ketika merambat hanya sampai pada jarak tersebut dan mempersingkat waktu harus
dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan untuk disemprot. Sebelum KLT dilakukan, diukur
terlebih dahulu panjang plat yaitu 2 x 10 cm kemudian chamber dibersihkan dengan methanol
10 ml dan plat silica juga dibersihkan dengan menambahan tissue di bagian luarnya agar noda
pada chamber melekat pada tissue dan bukan pada silika. Plat silika diaktivasi untuk
menghilangkan gugus OH nya karena pada plat terdapat adanya SiOH pada plat silika.
Kemudian larutan percobaan A ditotolkan sebanyak 4 mikroliter pada masing-masing plat
dimana plat pertama dan kedua totolan pertama dengan larutan percobaan Digitalis purpurea
Folium dan totolan kedua dengan larutan percobaan Apium graveolens Folium. Setelah
dimasukkan kedalam chamber yang telah berisi larutan fare gerak plat KLT dikeluarkan dan
diamati dan tidak diperoleh spot ketika belum disemprot dengan pereaksinya.
Pada plat pertama setelah disemprot dengan pereaksi asam sulfat LP dan dipanaskan
pada suhu 1100C selama 10 menit ditemukan 3 spot pada plat, dimana 2 spot terdapat pada
sampel pertama dan 1 spot pada sampel kedua. Untuk sampel pertama spot pertama dan kedua
berada pada jarak 3 cm sehingga dapat diperoleh nilai dari :
3
Rf1 dan Rf2 yaitu, =0,4 dan nilai
7,5
HRf1 dan HRf2 yaitu, 0,4 x 100 = 40
Pada sampel kedua plat pertama spot yang ditemukan pada jarak 3,1 cm sehingga dapat
diperoleh nilai dari :
3,1
Rf1.2 = =0,413 dan nilai
7,5
H Rf1.2 = 0,413 x 100 = 41,3
Pada plat kedua yang disemprotkan dengan perekasi asam perklorat, kedua sampel tidak
menunjukkan adanya fluoresensi yang ditandai dengan tidak terpancarnya kembali cahaya
ketika diamati pada cahaya tampak atau sinar biasa.
Dalam pustaka nilai HRf dari sampel Digitalis purpurea Folium, komponen Digitoksin
memiliki nilai HRf 57-60 dengan fluoresensi berwarna kuning kecoklatan, komponen Gitoksin
memiliki nilai HRf 53-55 dengan fluoresensi berwarna biru muda, komponen Glikosida
purpurea A memiliki nilai HRf 25-30 dengan fluoresensi berwarna kuning kecoklatan,
komponen Glikosida purpurea B memiliki nilai HRf 20-25 dengan fluoresensi berwarna biru
muda (Egon dan Stahl, 1985). Kromatogram yang apabila disemprot dengan asam perklorat
dan dipanaskan pada suhu 1100C selama 10 menit, diamati dengan sinar biasa dan bercak tidak
berfluoresensi (Depkes RI, 1977). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada plat pertama yang
diperoleh HRf senilai 40 dan glikosida yang diperoleh adalah glikosida purpurea A dikarenakan
pada pustaka dikatakan memiliki warna spot kuning kecoklatan. Dan pada plat kedua yang
disemprot asam perklorat tidak terjadi fluoresensi dan menunjukkan adanya glikosida
BAB VI
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan maka dari praktikum identifikasi glikosida dapat disimpulkan adalah
sebagai berikut.
1. Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas dua komponen yaitu komponen gula dan komponen
non gula, dalam praktikum sebelum diuji dengan menggunakan penggunakan KLT, larutan
percobaan dibuat dengan menggunakan metode maserasi menggunakan serbuk simplisia
Digitalis purpurea Folium yang mengandung glikosida steroid dan Apium graveolens Folium
yang mengandung glikosida apii. Hasil KLT menunjukkan terbentuknya bercak serta tidak
adanya fluoresensi setelah dipanaskan menunjukkan adanya glikosida.
DAFTAR PUSTAKA
Baraja, M.. 2008. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Ficus Elastica Nois Ex Blume Terhadap Artemia Salina
Leach dan Profil Kromatografi Lapis Tipis. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Chang, R..2004. Kimia Dasar Jilid 1. Edisi III. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Farmakognosi. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 65-102.

Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan Hendroko. 2007. Teknologi


Bioenergi. Agromedia Jakarta.

Hidayat, S. Dan R. M. Napitupulu. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: Penebar Swadaya Group

Indraswari, A.. 2008. Optimasi Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.)
Menggunakan Metode Maserasi Ddengan Parameter Kadar Total Senyawa Fenolik dan
Flavonoid. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Metode Sokletasi Terhadap Kadar
Piperin. Skripsi. Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah.

Sri, A.. 2014. Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam. Jurnal
Konservasi Cagar Budaya Borobudur Vol.8 No.2 , Desember 2014 (53:61)

Stahl, E.. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : ITB

Syafidin, A.. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder.Yogyakarta; CV. Budi Utama. Hal. 281.

Syamsuni. M.A.. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC. Hal.249.

Anda mungkin juga menyukai