Anda di halaman 1dari 19

4 Kanker Serviks

2.4.1 Definisi

Kanker Serviks yaitu keganasan pada leher rahim yang merupakan keganasan pada bagian
terendah rahim yang menonjol ke liang sanggama / vagina (Depkes RI, 2006). Kanker serviks
merupakan pertumbuhan dari Human Papilloma Virus (Kline, 2007). Kanker serviks adalah penyakit
akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang
tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya. (FKUI, 1990; FKKP, 1997). Kanker serviks
adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah leher rahim, yaitu daerah pada organ reproduksi wanita
yang merupakan pintu masuk kearah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan liang senggama
wanita (vagina) (Wijaya, 2010).

2.4.2 Etiologi
Menurut Wijaya (2010), ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan peluang seorang wanita
untuk terkena kanker serviks. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Infeksi Virus Human Papilloma (HPV)


Faktor resiko dari infeksi HPV adalah factor yang terpenting dalam timbulnya
penyakit kanker serviks ini. Human Papilloma Virus adalah sekelompok lebih dari 100 virus
yang berhubungan yang dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit, ditularkan melalui
kontak kulit seperti vaginal, anal, atau oral seks. Virus ini berasal dari familia
Papovaridaedan genus Papilloma virus. Hubungan seks yang tidak aman terutama pada usia
muda atau melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, memungkinkan terjadinya
infeksi HPV. Organ reproduksi wanita pada usia remaja (12-20 tahun) sedang aktif
berkembang. Bila terjadi rangsangan oleh penis/sperma dapat memicu perubahan sifat sel
menjadi tidak normal, apalagi bila terjadi luka saat berhubungan seksual dan kemudian
terjadi infeksi virus HPV.

2. Pasangan Seksual yang Berganti-Ganti


Dari berbagai penelitian yang dilakukan timbulnya penyakit kanker serviks berkaitan
erat dengan perilaku seksual seperti mitra seks yang berganti-ganti. Resiko kanker serviks
lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks.
3. Usia Pertama Melakukan Hubungan Seks

Wanita yang melakukan hubungan seks pertama sekali pada umur dibawah 17 tahun
hampir selalu 3x ; lebih mungkin terkena kanker serviks di usia tuanya. Semakin muda seorang
wanita melakukan hubungan seks maka semakin besar resiko terkena kanker serviks. Hal ini
disebabkan karena alat reproduksi wanita pada usia ini belum matang dan sangat sensitif.

4. Merokok

Tembakau atau rokok mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dikunyah atau
dihisap sebagai rokok atau sigaret. Penelitian menunjukkan lendir serviks pada wanita perokok
mengandung nikotin dan zat-zat lainnya terdapat di dalam rokok. Produk sampingan rokok seringkali
ditemukan pada mukosa serviks dari wanita perokok.

5. Jumlah Anak

Wanita yang sering melahirkan mempunyai resiko 3-5 x lebih besar terkena kanker leher
rahim. Terjadinya trauma pada bagian leher rahim yang tipis dapat merupakan penyebab timbulnya
suatu peradangan dan selanjutnya berubah menjadi kanker. Menurut berapa pakar, jumlah kelahiran
yang lebih dari 3 akan meningkatkan resiko wanita terkena kanker serviks.

6. Kontrasepsi

Pil KB yang dipakai dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan resiko terkena kanker
serviks.Dari beberapa penelitian menemukan bahwa resiko kanker serviks meningkat berkaitan
dengan semakin lama wanita tersebut menggunakan pil KB, dan cenderung akan menurun pada saat
pil tersebut dihentikan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pemakaian pil KB akan
menyebabkan wanita lebih sensitif terhadap HPV sehingga makin meningkatkan resiko terkena
kanker serviks.

7. Riwayat Keluarga

Sama seperti jenis kanker lainnya, maka pada kanker leher rahim juga akan meningkatkan
resiko lebih besar terkena pada wanita yang mempunyai keluarga (ibu atau kakak perempuan)
terkena kanker leher rahim.
8. Kekebalan Tubuh
Seseorang yang melakukan diet ketat, diet rendah sayuran dan buah-buahan, rendahnya
konsumsi vitamin A,C, dan E setiap hari dapat menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh, sehingga
oang tersebut gampang terinfeksi oleh berbagai kuman, termasuk HPV. Penurunan kekebalan tubuh
dapat juga mempercepat pertumbuhan sel kanker dari noninvasive menjadi invasif.

2.4.3 Patofisiologi
Serviks mempunyai dua jenis sel epitel yang melapisi nektoserviks dan endoserviks, yaitu sel epitel
kolumner dan sel epitel squamosa yang disatukan oleh Sambungan Squamosa Kolumner (SSK).Proses
metaplasia adalah proses pergantian epitel kolumner dan squamosa. Epitel kolumner akan digantikan
oleh squamosa baru sehingga SSK akan berubah menjadi Sambunga SquamosaSquamosa (SSS)/
squamosa berlapis.

Pada awalnya metaplasia berlangsung fisiologis Namun dengan adanya mutagen dari agen yang
ditularkan melalui hubungan seksual seperti sperma, virus herpes simplek tipe II, maka yang semula
fisiologis berubah menjadi displasia. Displasia merupakan karakteristik konstitusional sel seperti potensi
untuk menjadi ganas.

Hampir semua ca. serviks didahului dengan derajat pertumbuhan prakanker yaitu displasia dan
karsinoma insitu. Proses perubahan yang terjadi dimulai di daerah SquamosaColumner Junction (SCJ)
atau SSK dari selaput lendir portio. Pada awal perkembangannya, ca. serviks tidak memberikan tanda-
tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan speculum, tampak sebagai portio yang erosive (metaplasia
squamosa) yang fisiologik atau patologik.

Tumor dapat tumbuh sebagai berikut :

1. Eksofitik, mulai dari SCJ kearah lumen vagina sebagai masa proliferasi yang mengalami
infeksi sekunder dan nekrosis.
2. Endofitik, mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk
mengadakan infiltrasi menjadi ulkus.
3. Ulseratif, mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dan melibatkan
awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Displasia pada serviks disebut Neoplasia Servikal Intraepitelial (CIN). CIN ada tiga tingkatan
yaitu :

1. CIN I : Displasia ringan, terjadi di epitel basal lapisan ketiga, perubahan sitoplasmik
terjadi di atas sel epitel kedua dan ketiga.
2. CIN II : Displasia sedang, perubahan ditemukan pada epitel yang lebih rendah dan
pertengahan, perubahan sitoplasmik terjadi di atas sel epitel ketiga.
3. CIN III : Displasia berat, terjadi perubahan nucleus, termasuk pada semua lapis sel
epitel, diferensiasi sel minimal dan karsinoma insitu.

2.4.4 Manifestasi Klinis


Menurut Sukaca (2009), gejala penderita kanker serviks diklasifikasikan menjadi dua yaitu gejala
pra kanker serviks dan gejala kanker serviks.

Gejala pra kanker serviks ditandai dengan gejala :

1. Keluar cairan encer dari vagina (keputihan).


2. Pendarahan setelah sanggama yang kemudian dapat berlanjut menjadi pendarahan yang
abnormal.
3. Pada fase invasive dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat
bercampur dengan darah.
4. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi pendarahan kronis.
5. Timbul nyeri panggul(pelvis) atau diperut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila sel
- sel tidak normal ini berkembang menjadi kanker serviks, maka muncul gejala-gejala
sebagai berikut :
a) Pendarahan pada vagina yang tidak normal.
Ditandai dengan pendarahan diantara periode menstruasi yang regular, periode menstruasi yang
lebih lama dan lebih banyak dari biasanya, pendarahan setelah hubungan seksual.

b) Rasa sakit saat berhubungan seksual.


c) Bila kanker telah berkembang makin lanjut maka dapat timbul gejala-gejala seperti
penurunan berat badan, nyeri panggul, kelelehan, berkurangnya nafsu makan, keluar
tinja dari vagina, dll.
50
51
2.3.5 Klasifikasi
Menurut FIGO (Federation Internationale de Gynecologic et Obstetrigue), 1988 :

Tingkat Kriteria :

1. Karsinoma Pra Invasive

Stadium 0 : Karsinoma in situ atau karsinoma intra epitel.

2. Karsinoma Invasif

a) Stadium I : Proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri tidak dinilai).

 Stadium I a
Karsinoma serviks preklinis hanya dapat didiagnostik secara mikroskopis, lesi
tidak lebih dari 3 mm atau secara mikroskopik kedalamannya > 3-5 mm dari
epitel basal dan memanjang tidak lebih dari 7 mm.

 Stadium I b
Lesi invasive > 5, dibagi atas lesi < 4 Cm dan > 4 Cm.

b) Stadium II : Proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3 bagian
atas vagina dan atau ke parametrium tetapi tidak sampai dinding panggul.

 Stadium II a
Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari infiltrat tumor.

 Stadium II b
Penyebaran ke parametrium, uni atau bilateral tetapi belum sampai dinding
panggul.

c) Stadium III : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium sampai
dinding panggul.

52
 Stadium III a
Penyebaran sampai 1/3 distal vagina namun tidak sampai ke dinding panggul.

 Stadium III b
Penyebaran sampai dinding panggul, tidak ditemukan daerah bebas infiltrasi
antara tumor dengan dinding panggul atau proses pada tingkat I atau II tetapi
sudah ada gangguan faal ginjal / hidronefrosis.

d) Stadium IV : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau vesika urinaria (dibuktikan secara histologi) atau telah
bermetastasis keluar panggul atau ketempat yang jauh.
 Stadium IV a : Telah bermetastasis ke organ sekitar.

 Stadium IV b : Telah bermetastasis jauh.

2.4.6 Penatalaksanaan
1. Pembedahan

Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh
kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop
electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih
bisa memiliki anak. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada
stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).

2. Terapi Penyinaran (Radioterapi)


Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial
dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan
radiasi.

3. Kemoterapi

Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau
intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan
53
menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan menggunakan kemoterapi tergantung jenis
kanker dan fase saat diagnosis. Kemoterapi disebut sebagai pengobatan adjuvant ketika
kemoterapi digunakan untuk mencegah kanker kambuh. Kemoterapi sebagai pengobatan paliatif
ketika kanker sudah menyebar luas dan dalam fase akhir, sehingga dapat memberikan kualitas
hidup yang baik. (Galle, 2000). Kemoterapi bekerja saat sel aktif membelah, namun kerugian
dari kemoterapi adalah tidak dapat membedakan sel kanker dan sel sehat yang aktif membelah
seperti folikel rambut, sel disaluran pencernaan dan sel batang sumsum tulang. Pengaruh yang
terjadi dari kerja kemoterapi pada sel yang sehat dan aktif membelah menyebabkan efek
samping yang umum terlihat adalah kerontokan rambut, kerusakan mukosa gastrointestinal dan
mielosupresi. Sel normal dapat pulih kembali dari trauma yang disebabkan oleh kemoterapi, jadi
efek samping ini biasanya terjadi dalam waktu singkat.

Macam-Macam Kemoterapi :

a) Obat golongan Alky lating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik Anthrasiklin
obat golongan ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-
sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi.
b) Kerja langsung pada molekul basa inti sel, yang berakibat menghambat sintesis
DNA.

c) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja pada


gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.

d) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat sintesis


protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker
tersebut.

2.3.7 Komplikasi

1. Komplikasi yang Terjadi karena Radiasi


Waktu fase akut terapi radiasi pelvik, jaringan-jaringan sekitarnya juga terlibat seperti
intestines, kandung kemih, perineum dan kulit. Efek samping gastrointestinal secara akut
termasuk diare, kejang abdominal, rasa tidak enak pada rektal dan perdarahan pada GI. Diare
54
biasanya dikontrol oleh loperamide atau atropin sulfate. Sistouretritis bisa terjadi dan
menyebabkan disuria, nokturia dan frekuensi. Antispasmodik bisa mengurangi gejala ini.
Pemeriksaan urin harus dilakukan untuk mencegah infeksi saluran kemih. Bila infeksi saluran
kemih didiagnosa, terapi harus dilakukan segera. Kebersihan kulit harus dijaga dan kulit harus
diberi salep dengan pelembap bila terjadi eritema dan desquamasi. Squele jangka panjang (1 – 4
tahun setelah terapi) seperti : stenosis pada rektal dan vaginal, obstruksi usus kecil,

malabsorpsi dan sistitis kronis.

2. Komplikasi Akibat Tindakan Bedah


Komplikasi yang paling sering akibat bedah histerektomi secara radikal adalah disfungsi
urin akibat denervasi partial otot detrusor. Komplikasi yang lain seperti vagina dipendekkan,
fistula ureterovaginal, pendarahan, infeksi, obstruksi usus, strikturdan fibrosis intestinal atau
kolon rektosigmoid, serta fistula kandung kemih dan rektovaginal.

2.3.8 Asuhan Keperawatan

i. Pengkajian

1. Data Subjektif

Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan cara anamnesa,
pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang.

a) Data pasien
Identitas pasien, usia, status perkawinan, pekerjaan jumlah anak, agama, alamat jenis
kelamin dan pendidikan terakhir.

b) Keluhan utama
Pasien biasanya datang dengan keluhan intra servikal dan disertai keputihan.

c) Riwayat penyakit sekarang


Biasanya klien pada stadium awal tidak merasakan keluhan yang mengganggu, baru
pada stadium akhir yaitu stadium 3 dan 4 timbul keluhan seperti : perdarahan,
keputihan dan rasa nyeri intra servikal.

55
d) Riwayat penyakit sebelumnya
Data yang perlu dikaji adalah : Riwayat abortus, infeksi pasca abortus, infeksi masa
nifas, riwayat operasi kandungan, serta adanya tumor. Riwayat keluarga yang
menderita kanker.

2. Data Objektif

a) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembengkakan kelenjar limfe


supraklavikuler dan pembesaran hepar. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan lapisan-
lapisan besar selaput lendir mudah lepas dan mudah berdarah waktu disuap spatel.

Adanya warna kemerahan di sekitar ostium eksternum servikalis uteri :

 Inspeksi : Perdarahan, keputihan.

 Palpasi : Nyeri abdomen, nyeri punggung bawah.

b) Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Pap Smear

Dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yg tidak memberikan
keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada secret yg diambil dari posio serviks.
Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah
melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah 3x hasil pemeriksaan pap smear
setiap 3 tahun sekali sampai usia 65 tahun.

 Pemeriksaan DNA HPV


Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan pap’s smear untuk
wanita diatas 30 tahun. Deteksi DNA HPV yang positif yang ditemukan kemudian
dianggap sebagai HPV yg persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia
yg lebih tua, maka akan terjadi peningkatan resiko kanker serviks.

 Biopsy

56
Biopsy dilakukan jika pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas
atau kanker. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak
memerlukan anastesi & teknik cone biopsy yang menggunakan anastesi. Biopsy
dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil
dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsy akan

57
memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasive atau hanya tumor saja.

 Kolposkopi (Pemeriksaan Serviks dengan Lensa Pembesar)


Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yg terkena proses metaplasia.
Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear karena
kolposkopi memerlukan ketrampilan & kemampuan kolpokospi dalam
mengetes darah yang abnormal.

 Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan iodium. Pada serviks yang
normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena
adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker
akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen.

 Radiologi
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih
& rectum yg meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, &
sigmoidoskopi. Magnetic resonance imaging (MRI) atau CT scan abdomen /
pelvis digunakan untuk menilai penyebaran local tumor &/atau terkenanya
nodus limpa regional.

 Pelvic Limphangiografi
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvic
atau peroartik limfa.

ii. Diagnosa Keperawatan


1. Pre Operasi

a) Nyeri akut b/d agens cidera biologis

b) Risiko kekurangan volume cairan

c) Defisiansi pengetahuan b/d kurang pajanan informasi

2. Post Operasi

a) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d


ketidakmampuan mencerna makanan

58
b) Risiko Infeksi

c) Ansietas b.d perubahan status kesehatan

iii. Perencanaan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan (NOC) (NIC)
1 Nyeri akut b/d  Pain Control  Pain Management
agens cidera Kriteria Hasil :  Lakukan pengkajian nyeri
biologis Mampu mengontrol nyeri. secara komprehensif
Melaporkanbahwa nyeri termasuk lokasi,
berkurang dengan karakteristik, durasi,
menggunakan frekuensi, kualitas, dan
manajemen nyeri. faktor presipitasi.
Mampu mengenali nyeri  Observasi reaksi non
(skala, intensitas, verbal dari
frekuensi dan tanda ketidaknyamanan.
nyeri).  Gunakan teknik
Menyatakan rasa nyaman komunikasi terapeutik
setelah nyeri berkurang. untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
 Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi, dan inter
personal).

 Kaji tipe dan sumber nyeri


untuk menentukan

59
intervensi.

 Ajarkan tentang teknik non


farmakologi.

 Berikan analgetik untuk


mengurangi nyeri.

 Evaluasi keefektifan kontrol


nyeri.

 Tingkatkan istirahat.

 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dam tindakan nyeri tidak
berhasil.

 Analgesic Administration
 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
 Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis dan
frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Pilih analgesic yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesic ketika
pemberian lebih dari satu.
 Tentukan pilihan
analgesic tergantung tipe
dan beratnya nyeri.

60
 Tentukan analgesic
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal.
 Pilih rute pemberian secara
IV, Im untuk pengobatan
nyeri secara teratur.
 Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali.
 Berikan analgesic tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat.
 Evaluasi efektivitas
analgesic, tanda dan gejala.

2 Resiko  Fluid Balance  Fluid Management


kekurangan  Hydration  Timbang popok / pembalut
volume cairan  Nutritional Status : food jika diperlukan.
and fluid intake  Pertahankan catatan intake
dan output yang akurat.
Kriteria Hasil :
 Monitor status hidrasi
 Mempertahankan urine
(kelembaban membrane
output sesuai dengan
mukosa, nadi adekuat,
usia dan BB, BJ urine
tekanan darah ortostatik)
normal, HT normal.
jika diperlukan.
 Tekanan darah, nadi,
 Monitor vital sign.
suhu tubuh dalam batas
 Monitor masukan
normal.
makanan / cairan dan
 Tidak ada tanda-tanda
hitung intake kalori harian.
dehidrasi, elastisitas
 Kolaborasikan pemberian
turgor baik, membrane
cairan IV.
mukosa lembab, tidak
 Monitor status nutrisi.
ada rasa haus yang
berlebihan.  Berikan cairan IV.

61
 Dorong masukan oral.
 Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output.
 Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan.
 Tawarkan snack (jus buah,
buah segar).
 Kolaborasi dengan dokter.
 Atur kemungkinan
transfuse.
 Persiapan untuk transfuse.

 Hypovolemia
Management

 Monitor status cairan


termasuk intake dan
output cairan.

 Pelihara IV line.

 Monitor tingkat Hb dan


hematocrit.

 Monitor tanda vital.

 Monitor respon pasien


terhadap penambahan
cairan.

 Monitor berat badan.

 Dorong pasien untuk


menambah intake oral.

 Pemberian cairan IV
monitor adanya tanda dan

62
gejala kelebihan volume
cairan.

 Monitor adanya tanda gagal


ginjal.

3 Resiko infeksi  Imunne Status  Infection Control


 Knowledge : infection  Bersihkan di lingkungan
control setelah dipakai pasien lain.
 Risk Control  Pertahankan teknik isolasi.
Kriteria Hasil :  Batasi pengunjung bila
 Klien bebas dari tanda perlu.
dan gejala infeksi.  Instruksikan pada
 Mendeskripsikan proses pengunjung untuk mencuci
penularan penyakit, tangan saat berkunjung
faktor yang dan setelah berkunjung
mempengaruhi meninggalkan pasien.
penularan serta  Gunakan sabun
pelaksanaannya. antimikroba untuk cuci
 Menunjukkan tangan.
kemampuan untuk  Cuci tangan setiap sebelum
mencegah timbulnya dan sesudah tindakan
infeksi. keperawatan.
 Jumlah leukosit dalam  Gunakan baju, sarung
batas normal. tangan sebagai alat
 Menunjukkan perilaku pelindung.
hidup sehat.  Pertahankan lingkungan
aseptic selama pemasangan
alat.
 Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petinjuk
umum.

63
 Gunakan kateter
intermiten untuk
Menurunkan infeksi
kandung kencing.
 Tingkatkan intake nutrisi.

 Berikan terapi antibiotic


bila perlu.
 Monitor tanda dan gejala
infeksi sitemik dan local.
 Monitor perhitungan
granulosit, WBC.
 Monitor kerentanan
terhadap infeksi.
 Batasi pengunjung.

 Inspeksi kulit dan


membrane mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase.
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi.
 Laporkan kecurigaan
infeksi.
 Laporkan kultur positif.

4 Ansietas b.d  Anxiety Self-Control  Anxiety Reduction


perubahan status  Anxiety Level  Lakukan pendekatan yang
kesehatan  Coping menenangkan.
Kriteria Hasil :  Nyatakan dengan jelas
 Klien mampu harapan terhadap perilaku
mengidentifikasi dan pasien.
mengungkapkan gejala  Jelaskan semua prosedur

64
cemas. dan apa yang dirasakan
 Mengidentifikasi, selama prosedur.
mengungkapkan dan  Pahami perspektif pasien
menujukkan teknik untuk terhadap situasi stress.
mengontrol cemas.  Temani pasien untuk
 Vital sign dalam batas memberikan keamanan dan
normal. mengurangi takut.
 Postur tubuh, ekspresi  Dorong keluarga untuk
wajah, bahasa tubuh, dan menemani pasien.
tingkat aktivitas  Lakukan back / neck rub.
menunjukkan  Dengarkan dengan penuh
berkurangnya perhatian.
kecemasan.  Identifikasi tingkat
kecemasan.
 Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan kecemasan.
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, dan persepsi.
 Instruksikan pasien
melakukan teknik
relaksasi.
 Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan.

65

Anda mungkin juga menyukai