Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

“Teknologi Rekombinasi DNA”

OLEH KELOMPOK 2

- Aliana Sinta Dewi (18031002)


- Agustina Konyep (18031182)
- Catherine Septianora Zulfa (18031098)
- Sorensen Febrian Putra (18031085)
- Suci Fajrani (18031172)

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rekombinasi DNA


DNA rekombinan adalah DNA yang mengalami perubahan karena penyisipan
suatu sekuens deuksinukleotida yang sebelumnya tidak terdapat dalam molekul DNA
yang sudah ada dengan cara enzimatik atau kimiawi ( Robert, dkk : 2009).
Rekayasa genetika adalah serangkaian teknik untuk memodifikasi dan
merekomendasi gen dari berbagai organisme yang berbeda yang juga disebut
teknologi DNA rekombinan ( Mae-wan Ho, 2008)
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah
yang lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu
di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai
kloning gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian
teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling
representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan
kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam
suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami
perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.
Rekayasa genetika dapat memberikan hasil yang sangat menguntungkan. Sebagai
contoh pasien yang menderita diabetes tidak mampu membentuk hormon insulin
untuk mengatur kadar gula dalam darah. Oleh karena itu, pasien membutuhkan
suntikan insulin sebagai tambbahan. Dengan teknik rekayasa genetika, para peneliti
berhasil memaksa mikroorganisme (bakteri) untuk membentuk insulin yang mirip
dengan insulin manusia (suryo, 2001).
B. Prinsip Rekombinansi DNA

Prinsip dasar dari teknik rekombinan DNA yakni adanya DNA yang berperan
sebagai pembawa atau vector ( missal : plasmid, fagmid, yeast artificial
chromosome/YAC ) dan fragmen DNA yang akan disisipkan. DNA target dan vektor 
dipotong dengan enzim retriksi endonuklease kemudian digabungkan kembali dengan
enzim ligase. DNA rekombinan kemudian dimasukkan dalam sel bakteri supaya dapat
menghasilkan protein target yang diinginkan.

Prinsip-prinsip dasar dalam teknologi DNA rekombinan cukup sederhana yang


meliputi tahapan sebagai berikut:
1. Mengisolasi DNA
Mengisolasi DNA untuk memilih dan memisahkan DNA maupun gen yang
dikehendaki. Pemisahan gen menggunakan enzim endonuklease restriksi. Segmen
DNA yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam suatu vector berupa plasmid.
Plasmid yaitu rantai DNA melingkar di luar kromosom bakteri.
2. Transplantasi Gen/DNA
Transplantasi dilakukan dengan cara menyambung gen yang telah diisolasi
kedalam DNA plasmid vektor. Setelah penyambungan ini maka vektor 
mengandung DNA asli dan DNA sisipan (asing)
3. Memasukkan DNA ke dalam sel hidup
Pemasukan DNA kedalam vector bakteri maupun virus dilakukan melalui
pemanasan dalam larutan NaCl atau melalui elektroporasi. Selanjutnya, bakteri
ini melakukan replikasi dengan cara membelahdiri. Melalui proses ini, diperoleh
plasmid-plasmid hasil transplantasi gen (DNA rekombinan).
C. Teknik Dasar Rekombinasi DNA
1. Isolasi DNA
Merupakan metode untuk mendapatkan asam deoksirinukleat dari
suatu sisi makhluk hidup. Prinsip isolasi DNA : adalah memecah dan
mengekrak sijaringan tersebut sehingga terbentuk ekstraksel yang terdiri dari
DNA, RNA, dan subtansi dasar lainnya. Prinsip isolasi DNA terdiri dari :
pelisisian, sentrifugasi, ekstraksi, purikasi, presitipasi.
2. Kloning Gen
Merupakan proses perbanyakan fragmen gen target dengan
mengintroduksi DNA rekombinan kedalam selinang. Teknologi cloning
adalah suatu cara reproduksi yang menggunakan tingkat tinngi dibidan
grekayasa genetika untuk menciptakan makhluk hidup tanpa perkawinan.
Jenis-jenis klonning : cloning embryonal, cloning DNA dewasa, dan cloning
terapeutik.
Komponen cloning gen terdiridari : sel inang yang berfungsi untuk
menyimpan gen atau fragmen DNA yang sudah dikloning. DNA vector
berfungsi sebagai wadah DNA sisipan. DNA sisipan berfungsi sebagai gen
yang akan diperbanyak. Enzim ligase berfungsi untuk menyambung DNA.
Enzim restrikasi berfungsi untuk memotong DNA.
Kelebihan dari cloning gen:

 Memperbaiki kerusakan gen dan organ tubuh


 Mengobati infertilitas.
 Memperpanjang usia.
 Mempercepat pemulihan cedera traumatis

Kekurangan dari cloning gen

 Dampak biologis tidak dapat diprediksi


 Membuka kesenjangan social dan ekonomi yang semakin lebar
 memicu proses penuaan yang lebih cepat.
 Bertentangan dengan etika agama.
D. Teknik-teknik dalam bioteknologi modern
1. PCR

Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction


(PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida
secara in vitro. Metoda PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan
jutaan kali dari jumlah semula, sekitar 106-107 kali. Setiap urutan basa nukleotida yang
diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n siklus PCR akan
diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah
menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan
meminimalkan amplifikasi urutan non-target.

Penggunaan PCR telah berkembang secara cepat seirama dengan


perkembangan biologi molekuler. PCR digunakan untuk identifikasi penyakit genetik,
infeksi oleh virus, diagnosis dini penyakit seperti AIDS, Genetic profiling in forensic,
legal and bio-diversity applications, biologi evolusi, Site-directed mutagenesis of
genes dan mRNA Quantitation di sel ataupun jaringan.
a. Teknik Dasar Amplifikasi PCR

Penemuan awal dari teknik PCR didasarkan pada tiga waterbaths yang
mempunyai temperatur yang berbeda. Thermal-cycler pertama kali dipublikasikan
pada tahun 1986, akan tetapi DNA polymerase awal yang digunakan masih belum
thermostable, dan harus ditambahkan disetiap siklusnya. Kelemahan lain temperature
37°C yang digunakan bias dan menyebabkan non-specific priming, sehingga
menghasilkan produk yang tidak dikehendaki. Taq DNA polymerase yang diisolasi
dari bakteri Thermus aquaticus (Taq) dikembangkan pada tahun 1988.  Ensim ini
tahan sampai temperature mendidih 100°C, dan aktifitas maksimal pada temperatur
92-95°C.

Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi,


annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. Sepasang primer oligonukleotida
yang spesifik digunakan untuk membuat hibrid dengan ujung-5’ menuju ujung-3’
untai DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus
PCR ada 30-35 siklus meliputi:

1) Denaturasi untai ganda DNA

Denaturasi untai ganda DNA merupakan langkah yang kritis


selama proses PCR. Temperatur yang tinggi pada awal proses
menyebabkan pemisahan untai ganda DNA. Temperatur pada tahap
denaturasi pada kisaran 92-95ºC, suhu 94ºC merupakan pilihan standar.

Temperatur denaturasi yang tinggi membutuhkan kandungan GC


yang tinggi dari DNA template, tetapi half-life dari Taq DNA Polymerase
menekan secara tajam pada temperatur sekitar 95ºC.

2) Primer Annealing

Primer Annealing, pengenalan (annealing) suatu primer terhadap


DNA target tergantung pada panjang untai, banyaknya kandungan GC, dan
konsentrasi primer itu sendiri. Optimalisasi temperatur annealing dimulai
dengan menghitung Melting Temperature (Tm) dari ikatan primer dan
DNA template. Cara termudah menghitung untuk mendapatkan melting-
temperatur yang tepat menggunakan rumus Tm = {(G+C)x4} +
{ (A+T)x2}. Rumus standar dapat dilihat di subbab primer pada komponen
PCR. Sedang temperatur annealing biasanya 5ºC ddibawah Tm primer
yang sebenarnya. Secara praktis, Tm ini dipengaruhi oleh komponen
buffer, konsentrasi primer dan DNA template.

3) DNA Polymerase extension

Pada tahap extension ini terjadi proses pemanjangan untai baru


DNA, dimulai dari posisi primer yang telah menempel di urutan basa
nukleotida DNA target akan bergerak dari ujung 5’ menuju ujung 3’ dari
untai tunggal DNA. Proses pemanjangan atau pembacaan informasi DNA
yang diinginkan sesuai dengan panjang urutan basa nukleotida yang
ditargetkan. Pada setiap satu kilobase (1000bp) yang akan diamplifikasi
memerlukan waktu 1 menit. Sedang bila kurand dari 500bp hanya 30 detik
dan pada kisaran 500 tapi kurang dari 1kb perlu waktu 45 detik, namun
apabila lebih dari 1kb akan memerlukan waktu 2 menit di setiap siklusnya
(lihat contoh pada tabel 2). Adapun temperatur ekstensi berkisar antara
70-72°C.

b. Komponen PCR
1) Template DNA
Ukuran target amplifikasi biasanya kurang dari 1000 pasangan
basa (bp) atau 1KB, Hasil amplifikasi yang efisien antara 100-400bp.
Walaupun kemungkinan hasil amplifikasi lebih dari 1 kB tetapi
prosesnya kurang efisien, karena produk yang panjang rentan terhadap
inhibitor yang mempengaruhi kerja ensim DNA polymerase dan waktu
yang diperlukan lebih lama. Hal ini dapat menyebabkan hasil
amplifikasi yang tidak diinginkan.
2) Primers
Primer disusun dari sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32bp
dan primer ini harus mampu mengenali urutan yang akan
diamplifikasi. Untuk standar amplifikasi sepasang primer akan
mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada
tiap primernya. Kandungan GC harus antara 45-60%. Annealing
temperatur antara primer yang digunakan harus berkisar antara 1°C.
Ujung 3’ dari setiap primer harus G atau C, akan tetapi hindari susunan
nukleotida G/C berturut-turut tiga pada ujung ini, misal CCG, GCG,
GGC, GGG, CCC, GCC. Pada penentuan atau penyusunan sepasang
primer, penting diperhatikan urutan primer tidak saling komplementer
sehingga membentuk dimer-primers, berikatan satu sama lain, atau
membentuk hairpins. Hal lainnya hindari menyusun primer pada
daerah DNA repetitif.
3) DNA polymerase
Enzim ini bersifat thermostabil dan diisolasi dari Thermus
aquaticus. Aktivitas polimerisasi DNAnya dari ujung-5’ ke ujung-3’
dan aktivitas enzimatik ini mempunyai waktu paruh sekitar 40 menit
pada 95ºC. Biasanya untuk setiap 100μl volume reaksi ditambahkan
2.0-2.5 unit.
4) PCR buffer dan konsentrasi Mg2+
Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50mM KCl, 10mM
Tris-Cl (pH8.3) dan 1.5mM MgCl2. Buffer standard ini akan bekerja
dengan baik untuk DNA template dan primer dengan kondisi tertentu,
tetapi mungkin tidak optimum dengan kombinasi yang lain. Produk
PCR buffer ini terkadang dijual dalam bentuk tanpa atau dengan
MgCl2.
Konsentrasi ion magnesium dalam PCR buffer merupakan
faktor yang sangat kritikal, karena kemungkinan dapat mempengaruhi
proses annealing primer, temperatur dissosiasi untai DNA template,
dan produk PCR. Hal ini disebabkan konsentrasi optimal ion Mg2+ itu
sangat rendah. Hal ini penting untuk preparasi DNA template yang
tidak mengandung konsentrasi chelating agent yang tinggi, seperti
EDTA atau phosphat. Ion Mg2+ yang bebas bila terlalu rendah atau
tidak ada, maka biasanya tidak menghasilkan produk akhir PCR,
sedang bila terlalu banyak ion Mg2+yang bebas akan menghasilkan
produk PCR yang tidak diinginkan.
5) Nucleotides (dNTPs)
Konsentrasi yang biasanya digunakan untuk setiap dNTP
adalah 200 μM. Pada konsentrasi ini penting untuk mengatur
konsentrasi ke-empat dNTP pada titik estimasi Km untuk setiap dNTP.
50mM, harus selalu diatur pH7.0. Konsentrasi yang tinggi akan
menimbulkan ketidakseimbangan dengan enzim polymerase. Sedang
pada konsentrasi rendah akan memberikan ketepatan dan spesifitas
yang tinggi tanpa mereduksi hasil akhir. Total konsentrasi dNTP dan
ion saling terkait dan tidak akan merubah secara bebas.
6) PCR Thermal Cycler
PCR thermal cycler pertama kali dikembangkan oleh
perusahaan PerkinElmer sebagai pemegang paten asli. Pada saat ini
telah diproduksi berbagai macam tipe alat PCR thermal cycler ini dari
berbagai perusahaan yang bergerak dalam bioteknologi. Walaupun
nama masing-masing alat itu berbeda tetapi prinsip kerjanya sama.
2. Elektroforesis

Elektroforesis merupakan suatu metode pemisahan molekul yang


menggunakan medan listrik (elektro) sebagai penggerak molekul dari matriks
penyangga berpori (foresis). Metode ini sangat umum digunakan untuk memisahkan
molekul yang bermuatan atau dibuat bermuatan (Fatchiyah, 2011). Teknik ini dapat
digunakan untuk memanfaatkan muatan listrik yang ada pada molekul misalnya DNA
yang bersifat negatif. Molekul yang dapat dipisahkan antara lain DNA, RNA, atau
protein. Jika suatu molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium,
misalnya gel agarosa, kemudian dialiri aurs listrik dari satu kutub ke kutub yang
berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke
kutub positif (Yuwono, T., 2005).

Elektroforesis DNA umumnya menggunakan metode elektroforesis gel


agarosa (Karp, 2008). Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis
fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi. Fragmen molekul
DNA yang telah dipotong-potong dapat ditentukan ukurannya dengan cara membuat
gel agarosa, yaitu bahan semi-padat berupa polisakarida yang diekstraksi dari rumput
laut. Gel agarosa dibuat dengan melarutkannya dalam suatu buffer. Agar dapat larut
dengan baik, pelarutannya dibantu dengan pemanasan hingga gel agarosa dalam
keadaan cair sehingga mudah dituang ke atas lempeng, dan sebelum mendingin dibuat
sumuran dengan menggunakan perspex menyerupai sisir yang ditancapkan pada salah
satu ujung gel yang masih cair. Sehingga ketika gel memadat, terbentuklah sumuran-
sumuran kecil. Kedalam sumuran inilah nantinya molekul DNA dimasukkan
(Yuwono, T., 2005).

Agarosa merupakan polisakarida yang terdiri dari unit agarobiosa. Konsentrasi


agarosa yang biasa digunakan antara 1-3%. Ukuran pori gel bergantung pada
konsentrasi agarose, semakin tinggi konsentrasi agarosa maka semakin kecil ukuran
pori. Sebaliknya, semakin rendah konsentrasi agarosa maka semakin besar ukuran
pori. Agarosa juga mengandung sulfat, semakin rendah konsentrasi sulfat maka
semakin murni agarosa. Keuntungan menggunakan agarosa adalah agarosa leleh pada
suhu yang rendah (62-65°) (Wilson & Walker, 2010).

(A) (B) (C)

(D) (E)

(F)

(G)
Gambar. Tahapan Elektroforesis. A) Pemasangan sisir pada cetakan gel
agarosa B) Menuangkan larutan agarosa yang cair setelah pemanasan C) setelah
permukaan gel padat, sisir diangkat D) setelah ditambahkan dengan larutan TBE,
masukkan DNA sampel pada setiap sumuran E) menghidupkan mesin elektroforesis
dengan waktu, set voltase dan arah migrasi yang telah ditetapkan F) hasil dari
elektroforesis G) hasil elektroforesis setelah diamati dengan UV illuminator (Sumber:
Hartwell, et. al., 2011)

Poliakrilamid terbentuk dari polimerisasi monomer akrilamid dengan adanya


N,N’-metilen-bisakrilamid. Monomer akrilamid terpolimerisasi pada kepala ke ekor
membentuk rantai. Konsentrasi gel akrilamid yang rendah memiliki ukuran pori yang
besar sedangkan konsentrasi gel akrilamid yang tinngu memiliki ukuran pori yang
kecil. Konsentrasi gel akrilamid yang rendah juga digunakan untuk pemisahan DNA
(Wilson & Walker, 2010). Hasil dari elektroforesis dapat diamati dengan sinar
ultraviolet, yang nantinya akan tampak seperti pita-pita pada gel. Pita-pita tersebut
adalah molekul DNA yang bergerak sepanjang gel setelah dielektroforesis.

Teknik elektroforesis DNA sudah berkembang sehingga analisis molekul


DNA tidak hanya dapat dilakukan dengan prinsip elektroforesis liniear. Bebeapa
teknik yang sudah dikembangkan misalnya teknik pulse field gel electrophoresis
(PFGE), orthogonal field alternation gel electrophoresis (OFAGE), transverse
alternating field eletrophoresis (TAFE), dan lain-lain (Yuwono, T., 2005)

3. Hibridisasi

Dalam biologi molekular, hibridisasi adalah pembentukan ikatan dupleks


stabil antara dua rangkaian nukleotida yang saling komplementer melalu perpasangan
basa N. Hibridisasi dapat menunjukkan suatu keseragaman sekuens. Pasangan DNA–
DNA, DNA–RNA, atau RNA–RNA dapat terbentuk melalui proses ini.

Hibridisasi DNA–DNA (Hibridisasi Southern) terbentuk dalam Southern


blotting sedangkan hibridisasi DNA–RNA (Hibridisasi Northern) terbentuk dalam
Northern blotting.

a. Hibridisasi Southern
Hibridisasi Southern adalah proses perpasangan antara DNA yang menjadi
sasaran dan DNA pelacak. Hibridisasi southern biasa digunakan untuk melacak
adanya DNA yang sesuai dengan pelacak, misalnya untuk mengetahui integrasi
transgen di dalam organisme transgenik.

Berdasarkan prinsipnya, hibridisasi southern dapat dibagi ke dalam 4


tahap, yaitu : (1) fiksasi DNA di membran (nitroselulosa atau nilon); (2) pelabelan
pelacak; (3) prehibridisasi dan hibridisasi; dan (4) deteksi hasil hibridisasi. Fiksasi
DNA di membran dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu (1) penetesan
DNA (dot blot) langsung di membran; (2) fiksasi DNA bakteri replika (plasmid
rekombinan) di membran; (3) fiksasi DNA fage rekombinan dari satu replika plak
di membran; dan (4) transfer DNA dari gel agarose (yang sebelumnya telah
dimigrasikan dengan elektroforesis) ke membran. Membran yang dipergunakan
untuk memfiksasi DNA biasanya menggunakan membran nilon karena lebih kuat
daripada membran nitroselulosa. Dot blot dan hibridisasi terhadap DNA replika
hanya dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DNA tetapi tidak dapat
mengetahui ukurannya. Sebaliknya, hibridisasi southern terhadap DNA yang
difiksasi ke membran dengan cara transfer melalui metode southern (southern
blotting) dapat diketahui ukuran DNA targetnya (Suharsono dan Widyastuti,
2006).

Pelacak dapat diperbanyak melalui beberapa metode sebagai berikut :


perbanyakan plasmid yang dilanjutkan dengan isolasi fragment DNA yang
diinginkan melalui elusi atau dengan PCR dengan menggunakan primer yang
spesifik. Berbagai bahan dan cara telah dikembangkan untuk melabel pelacak.
Pada dasarnya bahan untuk melabel DNA pelacak dapat dibagi ke dalam dua
kelompok, yaitu (1) bahan radioaktif (radioisotop) seperti 32P, 33P, 3H; dan (2)
bahan non radioaktif seperti digoxigenin, biotin, ECL, dan alkalin fosfatase
(AlkPhos). Radioisotop sangat sensitif untuk digunakan dalam hibridisasi
southern, tetapi membutuhkan fasilitas yang canggih dan keamanan yang harus
dijaga dengan ketat. Oleh karena itu, pemilihan bahan non ‐radioisotop
menjadi sangat menarik karena dampak lingkungannya lebih ringan dibandingkan
dengan menggunakan bahan radioisotop walaupun sensitifitasnya lebih rendah
dibandingkan dengan bahan radioisotop (Suharsono dan Widyastuti, 2006).
Hibridisasi southern dibentuk dalam Southern Blotting. Southern Blotting
atau Blot Southern merupakan proses perpindahan fragmen DNA yang terpisah
secara elektroforesis dari gel ke membran. Metode ini diambil dari nama
penemunya yaitu Edward M. Southern. Prinsipnya adalah kapilaritas, dimana
bufer yang merupakan fase gerak diasumsikan akan membawa fragmen DNA
dari gel ke membran. Karena muatan DNA negatif sedangkan muatan membran
positif maka fragmen DNA akan menempel (blot) pada membran. Membran yang
digunakan pada proses blot southern adalah membran nitroselulosa.

b. Hibridisasi Nothern

Northern Blot atau RNA Blot dikenalkan pertama kali pada tahun 1977,
dua tahun setelah teknik Southern Blot. Sebenarnya secara umum teknik ini mirip
dengan Suothern Blot (lihat postingan Mengenal Southern Blot). Yang
membedakan adalah sampel yang digunakan, yaitu RNA. Dan yang perlu diingat
adalah pada umumnya RNA lebih mudah terdegradasi, sehingga sebisa mungkin
tangan kita tidak bersentuhan langsung dengan sampel RNA. Maka dari itulah,
saat bekerja Northern Blot diharuskan memakai kaos tangan, bahkan masker.
Teknik ini digunakan untuk melihat ekspresi (transkripsi) suatu mRNA (gen) pada
organ atau jaringan tertentu, seperti daun, bunga, biji, batang, dan lain sebagainya.

Hibridisasi northern merupakan modifikasi dari hibridisasi southern.


Namun, target dari hibridisasi northern adalah RNA yang telah dipisahkan dengan
elektroforesis gel agrosa menggunakan pelacak DNA berlabel. Teknik blotUtara
dikembangkan pada tahun 1977 oleh James Alwine, David Kemp, dan
GeorgeStark di Stanford University blotting Utara mengambil nama dari
kesamaannya dengan. Teknik blotting pertama, Southern blot, nama untuk biologi
Edwin Southern perbedaan utama adalah bahwa RNA, bukan DNA, dianalisis di
blot utara.

4. Sekuensing
Sekuensing adalah teknik untuk menentukan urutan basa nukleotida dari
urutan suatu DNA seperti adenin, timin, guanosin, dan sitosin. Teknologi
sekuensing DNA mengalami perkembangan sejak dua dekade lalu hingga saat ini.
Pada awal 1970-an seseorang membutuhkan waktu sekitar satu tahun hanya untuk
menyelesaikan 100 urutan basa DNA. Sebuah perjuangan panjang untuk
mensekuensing urutan DNA pada saat itu.
Selanjutnya pada tahun 1976 ditemukan teknik sekuensing DNA yang
dikembangkan oleh Allan Maxam dan Walter Gilbert di Amerika Serikat. Dengan
metode yang ditemukan Maxam-Gilbert ini memungkinkan seseorang dapat
mensekuensing ribuan urutan pasangan basa DNA dalam waktu setahun.
Beberapa tahun kemudian teknik sequencing DNA yang baru kembali
diperkenalkan oleh Sanger. Penghargaan terhadap usaha keras keduanya
dianugerahi dengan hadiah nobel. Penemuan teknik sekuensing DNA yang lebih
cepat pada pertengahan 1970-an menjadi landasan terjadinya ledakan jumlah
sekuens DNA yang berhasil diungkapkan pada 1980-an dan 1990-an (Shendure &
Ji, 2008).
Sekuensing DNA memungkinkan para ilmuwan untuk menentukan urutan
genom. Proyek genom manusia adalah contoh terbesar dari sekuensing DNA.
Ketika genom manusia disekuensing kembali pada tahun 2001, banyak
kontradiksi yang bermunculan tapi saat ini kita bisa melihat dampaknya terhadap
penelitian medis dan farmasi. Para ilmuwan sekarang dapat mengidentifikasi gen
yang bertanggung jawab untuk menyebabkan penyakit genetik seperti penyakit
Alzheimer, distrofi myotonic dan banyak penyakit lainnya yang disebabkan oleh
ketidakmampuan gen untuk berfungsi dengan baik. Banyak jenis penyakit yang
diperoleh seperti kanker juga dapat dideteksi dengan mengamati gen tertentu.
Adapun Manfaat dalam sequencing DNA adalah sebagai berikut menurut
Tautz et al., (2003) antara lain:
a) Bidang Forensik
Sekuensing DNA telah diterapkan dalam ilmu forensik untuk
mengidentifikasi individu tertentu karena setiap individu memiliki
urutan yang unik pada DNA nya. Hal ini terutama digunakan untuk
mengidentifikasi pelaku criminal dengan mencari beberapa bukti yang
tertinggal pada TKP berupa sampel rambut, kuku, kulit atau darah.
Sekuensing DNA juga digunakan untuk menentukan orang tua dari
seorang anak. Demikian pula, juga mengidentifikasi spesies langka dan
dilindungi. Melalui sequencing DNA juga dapat diketahui identitas
dari korban bencana maupun kecelakaan.
b) Bidang Kedokteran
Dalam penelitian medis, sekuensing DNA dapat digunakan
untuk mendeteksi gen yang terkait dengan beberapa faktor keturunan
atau penyakit yang diperoleh. Para ilmuwan menggunakan teknik yang
berbeda dari rekayasa genetika seperti terapi gen untuk
mengidentifikasi gen yang cacat dan menggantinya dengan yang sehat.
c) Bidang Pertanian
Sekuensing DNA telah memainkan peran penting di bidang
pertanian. Pemetaan dan sekuensing seluruh genom mikroorganisme
telah memungkinkan agriculturist memanfaatkan mereka dalam
pengendalian hama/ penyakit tanaman secara hayati. Pada contoh lain,
gen spesifik dari beberapa tanaman pangan digunakan untuk
meningkatkan hasil produktivitas dan nilai nutrisi tanaman pangan.
Demikian pula, telah berguna dalam produksi ternak dengan
peningkatan kualitas daging dan susu.
d) Bidang Taksonomi
Salah satu kegiatan dibidang taksonomi adalah
mengklasifikasikan makhluk hidup kedalam kelompok-kelompok
tertentu sehingga dari pengelompokkan tersebut memudahkan kita
untuk mempelajari keanekaragaman makhluk hidup di alam.
Pengelompokan makhluk hidup dapat digunakan berbagai pendekatan.
Dunia ilmu pengetahuan saat ini mengenal tiga aliran dalam
mengklasifikasikan mahkluk hidup yaitu aliran fenetik, kladistik, dan
phyologenetik evolusioner.
5. Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal merupakan senyawa yang homogen, sangat spesifik dan


dapat diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga sangat menguntungkan jika
digunakan sebagai alat diagnostik. Beberapa jenis kit antibodi monoklonal telah
tersedia di pasaran untuk mendeteksi bakteri patogen dan virus, serta untuk uji
kehamilan.

Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa


menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke
dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B.
Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada
permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya
satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada permukaan
bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu multiplikasi sel B dan
penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem respons imun yang
akan menetralkan dan mengeliminasinya.

Struktur antibodi

Antibodi monoclonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis sel
yaitu sel limfosit B yang memproduksi antibody dengan sel kanker (sel mieloma)
yang dapat hidup dan membelah terus-menerus. Hasil fusi antara sel limfosit B
dengan sel kanker secara in vitro ini disebut dengan hibridoma. Apabila sel hibridoma
dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetic mempunyai sifat yang identic akan
memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang diproduksi dengan sel aslinya
yaitu sel limfosit B. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah proses pemilihan sel
klon yang identic yang dapat mensekresi antibodi yang spesifik. Karena antibodi
yang diproduksi berasal sel hibridoma tunggal (mono-klon). maka antibodi yang
diproduksi disebut dengan antibodi monoklonal.

Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh


salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single
parent.Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal
suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi
target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat
diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat
diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna
untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium.

a. Pembuatan antibodi monokional

Cara pembuatan antibodi monoklonal untuk mendapatkan antibodi


yang homogen dapat dilihat pada Gambar 5.1 yang pada prinsipnya terdiri
dari beberapa tahap yaitu:

1) Imunisasi mencit

Antigen berupa protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri


atau virus, disuntikkan secara subkutan pada beberapa tempat atau seca
intra peritoneal. Setelah 23 minggu disusul suntikan antigen secara
intravene sekali atau beberapa kali suntikan. Mencit dengan kebal terbaik
dipilih; 12 hari setelah suntikan terakhir, antibody yang terbentuk pada
mencit diperiksa dan diukur titer antibodinya, mencit dimatikan dan
limpanya diambil secara aseptis, kemudian dibuat suspense sel limpa
untuk memisahkan sel B yang mengandung antibodi. Cara ini dianggap
cukup baik dan banyak dipakai, walaupun kadangkala dipengaruhi oleh
sifat abtigen atau respon imun binatang yang berbeda-beda.

2) Fusi sel limpa kebal dan sel myeloma

Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limpa yang membuat


antibody akan cepat mati, sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan secara
terus menerus, sehingga sel hybrid dapat memproduksi antibodi secara
terus menerus dalam jumlah yang tidak terbatas secara invitro.

Fusi sel diawali dengan fusi membrane plasma sehingga


menghasilkan sel besar dengan dua atau lebih inti sel, yang berasal dari
kedua induk sel yang berbeda jenis yang disebut heterokarion. Pada waktu
tumbuh dan membelah diri terbentuk dari satu inti yang mengandung
kromosom kedua induk yang disebut sel hybrid. Frekuensi fusi
dipengaruhi beberapa factor antara lain jenis medium; perbandingan
jumlah sel limpa dengan sel myeloma; jenis sel myeloma yang digunakan;
dan bahan bahan yang mendorong timbulnya fusi(fusogen). Penambahan
polietilen glikol dan dimetilsulfoksida dapat menaikkan efisiensi fusi sel.

3) Eliminasi sel induk yang tidak berfusi

Frekuensi terjadinya hybrid sel limpa-sel myeloma biasanya


rendah, karena itu penting untuk mematikan sel yang tidak fusi yang
jumlahnya banyak agar sel hybrid mempunyai kesempatan untuk tumbuh,
dengan cara membiakkan sel hybrid dalam media selektif yang
mengandung hypoxantine, aminopterin dan thymidine (HAT)

Aminopterin menghambat jalur biosintesis purin dan pirimidin


sehingga memaksa sel menggunakan salvage pathway. Seperti kita ketahui
bahwa sel mieloma mempunyai kelainan untuk mensintesis nukleotida
yaitu sel mieloma yang tidak mempunyai enzim timidin kinase atau
hypoxanthine phosphoribosyl transferase, sehingga sel mieloma yang tidak
berfusi, karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine
phosphonibosyltransferase akan mati, sedangkan sel hibrid karena
mendapatkan enzim tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat
menggunakan salvage pathway, molekulnya sehingga tetap hidup dan
berkembang.

4) lsolasi dan pemilihan klon hibridoma.

Sel hibrid dikembangbiakkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel


hibrid akan membentuk koloni homogen yang disebut hibridoma. Tiap
koloni kemudian dipelihara terpisah satu sama lain. Hibridom yang
tumbuh diharapkan mensekresi antibodi ke dalam medium, sehingga
antibodi yang terbentuk bisa diisolasi.

Umumnya penentuan antibodi yang diinginkan, dilakukan dengan


cara enzyme linked immunosorbent (ELISA) atau radioimmunoassay
(RIA). Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah
dilakukan untuk memperoleh hibridoma yang dapat menghasilkan
antibodi; dan yang ke dua adalah memilih sel hibridoma penghasil antibodi
monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi monoklonal yang tinggi
dan stabil.

b. Antibodi monoklonal generasi baru.

Antibodi monoklonal telah banyak dimanfaatkan dalam bidang


kesehatan, baik untuk diagnostik maupun untuk pengobatan, terutama
untuk mengatasi penyakit kanker tertentu. Beberapa antibodi monoklonal
yang digunakan untuk pengobatan berasal dari sel mencit atau tikus,
sehingga sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima
terapi antibodi monoklonal tersebut. Hal ini disebabkan karena protein
mencit dikenal sebagai antigen asing oleh tubuh pasien, sehingga
menimbulkan reaksi respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi, dan
penghancuran atau destruksi dari antibodi monoklonal itu sendiri.

Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, beberapa peneliti telah


mengembangkan pembuatan antibodi monoklonal generasi baru, yaitu
suatu monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari
protein yang berasal dari manusia, sehingga mengurangi efek penolakan
oleh sistem imun pasien. Beberapa jenis antibodi monoklonal generasi
baru yang telah dikembangkan antara lain adalah :

1) Chimaric monoclonal antibodies

Antibodi monoklonal ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika


untuk menciptakan suatu mencit atau tikus yang dapat memproduksi sel
hibrid mencit-manusia. Bagian variabel dari molekul antibodi, termasuk
antigen binding site, berasal dari mencit, sedangkan bagian lainnya, yaitu
bagian yang konstan berasal dari manusia.salah satu contoh antibodi
monoklonal yang struktur molekulnya terdiri dari 66% manusia adalah
Rituximab.

2) Humanized monoclonal antibodies

Antibodi ini dibuat sedemikian rupa sehingga bagian protein yang


berasal mencit hanya terbatas pada antien binding site saja, sedangkan
bagian yang lainnya yaitu bagian variabel dan bagian konstan berasal dari
manusia. Antibodi monoklonal yang struktur molekulnya terdiri dari 90%
manusia tersebut adalah Alemtuzumob.

3) Fully human monoclonal antibodies

Antibodi ini adalah antibodi yang paling ideal untuk menghindari


terjadinya respon imun karena protein antibodi yang disuntikkan ke dalam
tubuh seluruhnya merupakan protein yang berasal dari manusia. Salah satu
pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi
monoklonal yang seluruhnya mengandung protein manusia tersebut adalah
dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenik
yang membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu
memproduksi antibodi yang diinginkan. Pendekatan lainnya adalah
merekayasa suatu binatang transgenik yang dapat mensekresikan antibodi
manusia dalam air susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Maksum, R. 2010. Imunologi dan Virologi Edisi Revisi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan
Sawant SV, Singh PK, Gupta SK, Madnala R and Tuli R. 1999. Conserved nucleotide
sequences in highly expressed genes in plants. Journal of Genetics. Vol. 78 (2). 123-
13.

Campbell, Reece dan Mitchel. 2002. Biologi Terjemahan edisi kelima jilid 1. Jakarta.
Erlangga

Yuwono T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta. Erlangga

Nejad AM, Narimani Z, Hosseinkhan N. 2013. Next Generation Sequencing and Sequence
Assembly. New York: Springer

Poirel L, Naas T, Nordmann P. 2006. Pyrosequencing as a Rapid Tool for Identification of


GES-Type Extended-Spectrum Lactamases. J Clin Microbiol 44(8):3008-11.

Anda mungkin juga menyukai