Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS MAKALAH
CLIMATE CHANGE AND PUBLIC HEALTH

Mata Kuliah:
Lingkungan dan Kesehatan Global

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Budi Haryanto, S.K.M., M.Kes., M.Sc Kelompok 5

Arina Nurul Ihsani 1906335602


Fathia Maulida 1906335823
Febby Zuriani Fitria 1906335836
Goalbertus 1906335880
Rizti Millva Putri 1906336321

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
OKTOBER, 2019
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 1
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 2
A. Latar Belakang .......................................................................... 2
B. Tujuan ........................................................................................ 3
BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................. 4
A. Mekanisme Terjadinya Gas-Gas Efek Rumah Kaca,
Pemanasan Global, dan Perubahan Iklim .............................. 4
B. Perubahan Lingkungan yang Diakibatkan Perubahan
Iklim..............................................................................................11
C. Mekanisme Perubahan Iklim yang Berdampak Pada
Masalah Gangguan Kesehatan dan Penyakit...........................15
D. Dampak Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Iklim
Terhadap Kesehatan.....................................................................16
E. Penyakit-Penyakit yang Sensitive Terhadap Perubahan
Iklim di Indonesia.......................................................................16
F. Posisi Mitigasi dan Adaptasi dalam Pengendalian
Dampak Perubahan Iklim.........................................................24
G. Peran Aktif Dalam Aksi Mitigasi Dan Aksi Adaptasi Dampak
Kesehatan Akibat Perubahan Iklim Di Indonesia........................24
H. Keterlibatan Dalam Berkontribusi Mengendalikan Dampak
Kesehatan Akibat Perubahan Iklim.............................................25
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan iklim dunia dalam bentuk pemanasan global dapat mengakibatkan
terjadinya anomali cuaca yang saat ini dapat dirasakan di Indonesia, seperti intensitas
hujan yang tidak menentu, bahkan pada saat musim kemarau. Pemansan global juga
berdampak pada kekurangan cadangan air tanah sehingga terjadi kekeringan,
bergesernya musim tanam dan kekeringan lahan pertanian hingga teradi gagal panen.
Perubahan iklim ini tentunya berdampak pada kesehatan manusia.
Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi akibat pemanasan global
tidak dapat dimengerti secara pasti, beberapa efek langsung terhadap pajanan
peningkatan dapat diukur, seperti peningkatan kejadian penyakit yang berhubungan
dengan kenaikan temperatur. Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan
peningkatan kejadian bencana alam, seperti badai, angin siklon putting beliung,
kekeringan dan kebakaran hutan, yang berdampak terhadap kesehatan fisik dan
mental masyarakat yang terserang.
Pola iklim yang terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap
kesehatan manusia. Efek pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat
menyebabkan peningkatan kejadian penyakit saluran cerna karena efeknya pada
sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria, demam berdarah dengue,
chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti
leptospirosis.
Terdapat sejumlah penyakit yang diprediksi prevalensinya meningkat sebagai
akibat perubahan iklim. Beberapa penyakit yang bukan wabah juga berhubungan
dengan perubahan iklim. Penggunaan teknologi dan pengindraan jarak jauh atau
Geographical Information System (GIS) telah mencatat pemetaan risiko beberapa
penyakit, misalnya cacing perut. Terdapat informasi variasi musim terhadap kejadian
infeksi cacing, membuktikan bahwa kelembapan tanah sangat penting dan sanat
dipengaruhi oleh perubahan iklim dan presipitasi air hujan.

B. Tujuan
1. Menjelaskan mekanisme terjadinya gas-gas rumah kaca, pemanasan global
dan perubahan iklim
2. Menjelaskan perubahan lingkungan apa saja yang diakibatkan perubahan iklim
3. Menjelaskan mekanisme perubahan iklim hingga berdampak kepada masalah
gangguan kesehatan dan penyakit
4. Menjelaskan dampak langsung maupun tidak langsung kesehatan akibat
perubahan iklim.
5. Menyebutkan penyakit-penyakit apa saja yang sangat sensitive terhadap
perubahan iklim di Indonesia
6. Menjelaskan mengenai posisi mitigasi dan adaptasi dalam pengendalian
dampak perubahan iklim
7. Menjelaskan siapa saja yang bisa berperan aktif dalam aksi mitigasi dan aksi
adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim di Indonesia
8. Menjelaskan keterlibatan apa saja yang bisa dilakukan dalam berkontribusi
mengendalikan dampak kesehatan akibat perubahan iklim
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mekanisme Terjadinya Gas-Gas Rumah Kaca, Pemanasan Global Dan


Perubahan Iklim
1. Gas-Gas Rumah Kaca
Matahari merupakan sumber energi utama dari setiap sumber energi yang
terdapat di bumi. Energi matahari sebagian terbesar dalam bentuk radiasi
gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Energi ini mengenai permukaan
bumi dan berubah dari cahaya menjadi panas. Permukaan bumi kemudian
menyerap sebagian panas sehingga menghangatkan bumi, dan sebagian
dipantulkannya kembali ke luar angkasa. Menumpuknya jumlah gas rumah
kaca seperti uap air, karbon dioksida, dan metana di atmosfer mengakibatkan
sebagian dari panas ini dalam bentuk radiasi infra merah tetap terperangkap di
atmosfer bumi, kemudian gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali
radiasi gelombang yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Akibatnya panas
tersebut akan tersimpan di permukaan bumi (Utina, 2015).
Meningkatnya suhu di dalam rumah kaca ini disebut efek rumah kaca
(green house effect). Efek rumah kaca ini bisa juga terjadi di dalam ruangan
rumah dengan jendela kaca lebar atau terkena sinar matahari atau di dalam
mobil dengan jendela tertutup apabila diparkir di tempat yang panas. Di alam
terbuka, di atas permukaan bumi efek rumah kaca juga bisa terjadi, dapat
diterangkan sebagai berikut. Energi matahari yang masuk ke bumi mengalami
(Achmad, 2011):25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer.
a. 25% diserap awan.
b. 45% diabsorpsi permukaan bumi.
c. 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.
Energi yang diabsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra
merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun, sebagian besar infra merah
yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas-gas lainnya
untuk dikembalikan ke permukaan bumi (Achmad, 2011).
Contoh lain yang dapat mengilustrasikan kejadian efek rumah kaca
adalah, ketika kita berada dalam mobil dengan kaca tertutup yang sedang
parkir di bawah terik matahari. Panas yang masuk melalui kaca mobil,
sebagian dipantulkan kembali ke luar melalui kaca tetapi sebagian lainnya
terperangkap di dalam ruang mobil. Akibatnya suhu di dalam ruang lebih
tinggi (panas) daripada di luarnya (Utina, 2015).

Sebenarnya gas rumah kaca itu diperlukan untuk memelihara suhu di


Bumi agar tetap hangat dan memungkinkan berbagai organisme untuk tetap
hidup, karena tanpa gas rumah kaca suhu di Bumi bisa menjadi -18ºC dan
mungkin hampir tak ada kehidupan, sedangkan dengan adanya gas rumah
kaca suhu rata-rata di Bumi menjadi 15ºC. Namun bila jumlah gas rumah kaca
ini terlalu banyak maka bisa berdampak negatif, suhu Bumi menjadi tinggi
sehingga akan menyebabkan pencairan gunung es yang ada di kutub utara dan
kutub selatan (Samiaji, 2011).
Tabel 2.1
Kontribusi Gas Rumah Kaca terhadap Pemanasan Global

Gas Rumah Kaca Kontribusi pada Sumber emisi


pemanasan global
CO2 61 % Pembakaran bahan bakar
fosil dan penebangan
hutan

CH4 15 % Aktivitas biologis dan


dekompotisi landfills

N2O 4%
Pupuk, pembakaran bahan
bakar fosil

CFC 12 % Aerosol propelan,


pendingin dan aktivitas
industri

O3 dan gas-gas 8% Reaksi-reaksi kimia dari


lainnya pembakaran
Sumber : Scott J. Callan and J. M. Thomas, 2011 dalam (Achmad, 2011).
Dari Tabel 2.1 menunjukkan bahwa gas CO2 merupakan penyumbang
terbesar bagi terjadinya efek rumah kaca. Sebetulnya udara kita hanya
mengandung sekitar 0,03 % gas CO2, namun banyak hal yang menyebabkan
kadar gas CO2 meningkat. Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber
energi untuk berbagai kegiatan, seperti transportasi, industri, dan kegiatan
dalam rumah tangga dengan meningkatnya populasi penduduk dunia akan
menghasilkan gas CO2 meningkat pula. Juga kebakaran hutan secara
alamiah dan pembakaran hutan yang dilakukan untuk pembukaan lahan
pertanian/perkebunan juga menghasilkan gas CO2 yang cukup banyak
karena semua perubahan senyawa organik akan menghasilkan gas CO2,
seperti reaksi berikut:
(CH2O)n + nO2 (g) nCO2 (g)+ H2O(g)
Di samping itu, pengolahan sampah dengan dibakar, yang banyak
dilakukan masyarakat akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan gas
CO2 di atmosfer. Sebetulnya, gas CO2 di atmosfer ini akan diserap oleh
tumbuhan berhijau daun melalui proses fotosintesis, namun jumlah CO 2 yang
tersedia dengan yang digunakan oleh tumbuhan dimuka bumi sudah tidak
seimbang lagi.
Klorofil, U.V
n CO2 (g)+ n H2O (l) (CH2O)n (ag)+ n O2(g)
Semakin banyak gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer,
semakin banyak pula radiasi infra merah yang diserap maka semakin
tinggi intensitas rumah kaca dan akibatnya suhu di permukaan bumi semakin
tinggi pula.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca sesuai dengan
kesepakatan Protokol Kyoto adalah sebagai berikut.
a. gas Metana (CH4).
b. gas Nitrooksida (N2O).
c. gas Perfluorocarbon (PFC).
d. gas Hidrofluorocarbon (HFC).
e. gas Sulfurheksafluorida (SF6).
Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek
rumah kaca dan disebut gas rumah kaca. Dalam tabel di bawah ini tampak
kontribusi gas-gas tersebut pada efek rumah kaca yang akhirnya akan
menimbulkan kontribusi terhadap terjadinya pemanasan global (global
warming).
2. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah suatu keadaan dimana suhu di permukaan bumi
menjadi lebih panas dibanding suhu normal. Pemanasan global terjadi karena
adanya efek rumah kaca. Efek rumah kaca disebabkan oleh bertambahnya
jumlah gas-gas rumah kaca di atmosfir yang menyebabkan energi panas
yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke
permukaan dan menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih
panas (Rizki, Bintoro, & Hilmanto, 2016).
Penyebab dari pemanasan global, antara lain :
1. Efek Rumah Kaca
Sebagian besar peningkatan temperature rata-rata global sejak pertengahan
abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.
Meningkatnya temperatur global menyebabkan perubahan-perubahan
seperti naiknya muka ait laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca
yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presitipasi. Meningkatnya
temperatur global akan menyebabkan perubahan-perubahan di bumi
seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas kejadian
cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi (Idayati,
2013).
2. Efek Balik
Efek-efek dari .agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh
berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah
pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas
rumah kaca seperti COz, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan
lebih banyak air yang menguap ke atmosfer, karena uap air sendiri
merupakan gas rumah kaca. Pemanasan akan terus berlanjut dan akan
menambah jumlah uap air di udara, umpan balik meningkatkan kandungan
air absulute di udara, kelernbaban relatif udara hampir konstan atau
bahkan agak menurun karena udara menjadi hangat, efek umpan balik
karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian. Awan dapat
memantulkan kembali radiasi infra merah balik ke permukaan sehingga
akan meningkatkan efek pemanasan (Idayati, 2013).
3. Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan
kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan dapat member
kontribusi dalam pemanasan saat,ini. Perbedaan antara mekanisme dengan
pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas
matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer (Idayati, 2013).
Dampak yang paling nyata dari pemanasan global sampai saat ini adalah
perubahan iklim. Pemanasan global telah meningkatkan terjadinya
kekeringan secara global, gelombang panas, dan frekuensi terjadinya badai
tropis. Kenaikan suhu global akan menyebabkan mencairnya es di kutub utara
dan selatan, sehingga mengakibatkan terjadinya pemuaian massa air laut, dan
kenaikan permukaan air laut. Pemanasan global juga akan menyebabkan
pergeseran musim sebagai akibat dari adanya perubahan pola curah hujan.
Perubahan iklim mengakibatkan intensitas hujan yang tinggi pada periode
yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Kedua peristiwa tersebut
akan menimbulkan dampak pada beberapa sektor. Pada akhirnya perubahan
iklim berakibat pada pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan dan
akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional (Syaifullah, 2015).
3. Perubahan Iklim
Dalam tatanan teoritis, perubahan iklim mengacu pada setiap
perubahan yang signifikan dalam pengukuran iklim seperti suhu curah
hujan atau angin yang berlangsung untuk jangka waktu yang panjang (satu
dekade atau lebih). Perubahan iklim dapat disebabkan oleh faktor alami
(seperti perubahan inten-sitas matahari atau terjadi perlambatan orbit bumi
dalam mengelilingi matahari), proses alami dalam sistem iklim (misalnya
perubahan dalam sirkulasi air laut), kegiatan manusia yang mengubah
komposisi atmosfer (misalnya melalui pembakaran bahan bakar fosil) dan
peru-bahan permukaan tanah (misalnya penggundulan hutan, reboisasi,
urbani-sasi, penggurunan dan lain-lain) (Ramdan, 2017).
Sementara itu dalam kerangka praktis perubahan iklim secara khusus
ditekankan pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara
langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah
komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang
diamati selama periode waktu tertentu (Ramdan, 2017).
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah
mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang
dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh
meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh
industri- industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan
efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang
bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi
kembali ke permukaan bumi (Armi Susandi, Indriani H, 2008).
Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya
perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan
iklim. Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-
rata temperatur hingga 0.74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005.
Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar
1.8-4.0oC di abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam
IPCC diproyeksikan berkisar antara 1.1-6.4oC (Armi Susandi, Indriani H,
2008). Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis
atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali
terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang
anomali- anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya
perubahan iklim. Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama
berkenaan dengan perubahan iklim, yaitu fluktuasi curah hujan yang
tinggi dan kenaikan muka laut yang menyebabkan tergenangnya air di
wilayah daratan dekat pantai.
Dampak lain yang diakibatkan oleh naiknya muka laut adalah erosi pantai,
berkurangnya salinitas air laut, menurunnya kualitas air permukaan, dan
meningkatnya resiko banjir (Armi Susandi, Indriani H, 2008).

B. Perubahan Lingkungan yang Diakibatkan Perubahan Iklim


Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada perubahan
lingkungan, antara lain (Mendelsohn, 2007):
1. Meningkatnya frekuensi bencana alam atau cuaca ekstrem, seperti tanah
longsor, banjir, kekeringan dan badai tropis)
a. Beberapa perubahan dalam iklim secara ekstrem telah diamati.
Peningkatan suhu telah menghasilkan peningkatan jumlah hari dalam
cuaca panas dan penurunan suhu menambah hari pada cuaca dingin
(musim tidak lagi sesuai dengan urutan terjadinya). Proyeksi untuk masa
mendatang menunjukkan bahwa jumlah hari dimana keadaan panas dan
sangat panas akan terus meningkat, selain itu intensitas dan frekuensi
kejadian curah hujan ekstrem sangat mungkin meningkat di banyak
daerah, dan akan menghasilkan lebih banyak bencana banjir dan longsor.
b. Kenaikan derajat panas pada suhu musim panas sangat mempengaruhi
kemungkinan terjadinya gelombang panas yang parah. Gelombang panas
hanya akan menjadi bencana karena ketidakmampuan masyarakat untuk
merespons kondisi meteorologi. Sehingga cara terbaik untuk menangani
meningkatnya risiko gelombang panas adalah untuk meningkatkan
kesiapsiagaan dan peringatan dini. Gelombang panas dapat diprediksi.
c. Topan tropis dan angin topan semuanya berkaitan dengan fenomena yang
sama yaitu cuaca. Berbeda dengan gelombang panas, angin topan atau
siklon adalah produk interaksi atmosfer yang jauh lebih kompleks dan
kaitannya dengan kenaikan suhu global jauh lebih halus. Perubahan
lingkungan menyebabkan daerah yang berisiko untuk terjadinya siklon
menyediakan lebih banyak energi untuk memicu badai sehingga membuat
badai tersebut menjadi lebih intens dari normalnya.
d. Keragaman iklim tidak terbatas pada perubahan cuaca sehari-hari.
Sebaliknya sistem iklim mengandung beberapa jenis variabilitas dalam
skala besar. Perubahan itu mempengaruhi mode variabilitas sehingga
berimpllikasi besar akan terjadinya peristiwa cuaca ekstrem.
2. Menurunkan produktivitas pertanian
Pada sektor pertanian, dampak dari perubahan iklim juga kerap dirasakan
oleh para petani. Berikut beberapa dampak dari perubahan iklim terhadap
sektor pertanian (Morton, 2007):
a. Meningkatkan kemungkinan gagal panen, gagal panen kemudian akan
berimplikasi terhadap tumbuhan dan perkembangan anak serta terjadi
peningkatan kematian karena gangguan malnutrisi.
b. Pemanasan global dan perubahan hidrologis cenderung mempengaruhi
semua proses di dalam tanah
c. Erisivitas curah hujan dan beberapa faktor kemungkinan akan
meningkatkan erodibilitas tanah di seluruh tanah
d. Menyebabkan kendala terkait prduktivitas tanah karena munculnya
kekeringan dan banjir parah, memicu timbulnya penyakit tanaman yang
akan mempengaruhi tanah. Berdampak pada sektor pertanian dan
perkebunan dimana hasil-hasil tanaman menjadi tidak sempurna dan
bahkan rusak yang kemudian akan berdampak pada produksi pangan
nabati masyarakat.
e. Sebagai contoh, struktur tanah yang rusak diakibatkan dari perubahan
iklim yang menyebabkan kekeringan atau banjir parah akan merusak
tanaman pangan seperti sayur-sayuran dan beras.
f. Perubahan iklim dapat menyebabkan peristiwa ekstrem, seperti badai
tropis yang berdampak pada pertanian akan mempengaruhi mata
pencaharian karena kerusakan pada lahan.
g. Perubahan iklim yang menyebabkan tingginya tingkat pemanasan bumi
atau udara cenderung memiliki dampak negatif pada hasil beras, jagung
dan gandum yang merupakan 3 jenis sereal utama di seluruh dunia.
h. Peningkatan suhu dapat meningkatkan kebutuhan air irigasi untuk
tanaman yang utama, terutama meningkatkan tekanan air. Namun pada
suhu panas, produksi dari air tanah pun akan ikut menurun. Tanah pun
menjadi tidak subur dan sifatnya dalam menahan air tidak lagi berfungsi.
i. Terdapat bukti peningkatan risiko hama dan penyakit tanaman karena
perubahan iklim, vektor serangga akan menyerang dan melakukan
penyebaran penyakit utama pada tanaman-tanaman.
3. Peningkatan Temperatur
Peningkatan temperatur dapat dikatakan sebagai pemanasan global.
Perubahan lingkungan yang terjadi karena pemanasan global sebagai akibat
akumulasi “gas rumah kaca” di atmosfir bumi. Efek rumah kaca yang
menyebabkan bumi menjadi lebih panas terjadi karena matahari yang
menembus atmosfir dan sampai kelapisan bumi akan dipantulkan kembali ke
atmosfir. Oleh karena akumulasi gas rumah kaca di lapisan atmosfir, maka
panas tersebut akan kembali lagi dipantulkan ke bumi, sehingga bumi menjadi
lebih panas. Gas rumah kaca dengan karbondioksida dipancarkan ketika bahan
bakar fosil seperti batubara dan bahan bakar minyak. Karena emisi ini, serta
perubahan dalam pertanian dan penggunaan lahan, konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer telah meningkat tajam. Atmosfer merespons peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca sudah mencapai suhu tinggi melebihi rata-rata.
Suhu global permukaan meningkat sekitar 0,6oC selama abad lalu dengan
wilayah daratan yang memanas lebih cepat daripada lautan (Athena &
Musadad, 2013).
Berdasarkan data yang tersedia dari The Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPPC) pada tahun 1990, meramalkan perubahan yang terjadi
akibat pemanasan global sebagai berikut (Lai, Lin, Yang, & Wu, 2012) :
a. Suhu permukaan bumi rata-rata dapat meningkat 3oC
b. Di belahan bumi utara bumi, kenaikan suhu dapat mencapai 8-10oC
dengan kenaikan terendah di daerah equator
c. Radiasi ultraviolet akan meningkat 20-50% pada tahun 2050
4. Mengancam biodiversitas (keanekaragaman hayati)
Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan hilangnya biodiversitas yang
ada di lingkungan. Akibat dari pemanasan global disertai dengan kekeringan
atau pergeseran musim menjadi kemarau dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya kebakaran hutan yang dapat mengancam
biodiversitas.
Perubahan lingkungan juga dapat meningkatkan penyakit dan kematian
ternak sehingga peternak harus terpaksa menjual ternak dengan harga rendah
yang tidak menguntungkan kemudian akan berdampak pada mata pencaharian
yang ketika terjadi secara berkelanjutan pada hewan ternak akan menjadi
degradasi lingkungan termasuk hilangnya biodiversitas.
5. Kenaikan muka laut
Proyeksi kenaikan muka laut menunjukkan wilayah Indonesia
menyebabkan mengalami kehilangan daratan-daratan. Di banjarmasin, sekitar
0,03% luas daratan diperkirakan akan hilang terhitung dari tahun 2010 hingga
nantinya mencapai tahun 2050 (Lakhdar et al., 2012).
Dataran yang hilang di wilayah banjarmasin ini diakibatkan karena sungai
Barito yang mengalir di antara Kota Kalimantan dan Kabupaten Barito Kuala
mendapatkan massa air kiriman dari laut Jawa. Permukaan sungai Barito
menjadi naik sebagai akibat dari kenaikan muka laut di laut Jawa karena
perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi, menyebabkan fluktuasi curah
hujan yang tinggi dan kemudian menyebabkan banjir. Banjir yang terjadi
disebabkan karena daratan Banjarmasin yang rendah sehingga permukaan air
sungai yang lebih tinggi menyebabkan meluapnya air ke daratan. Daratan
yang hilang terkena banjir karena kenaikan muka laut akan berdampak pada
beberapa sektor perekonomian di Banjarmasin. Dampak sosial dan ekonomi
yang terjadi sebagai akibat dari genangan air di Banjarmasin (Lakhdar et al.,
2012):
a. Terganggunya lalu lintas jalan raya
b. Munculnya genangan air di wilayah perkotaan
c. Berkurangnya lahan-lahan produktif di sektor pertanian
d. Bekunya aktifitas industri dan bisnis diakibatkan kerusakan atau
terganggunya infrastruktur.
Dampak lain yang diakibatkan oleh naiknya muka laut adalah erosi pantai,
berkurangnya salinitas air laut, menurunnya kualitas air permukaan dan
meningkatkan risiko banjir.

C. Mekanisme Perubahan Iklim Hingga Berdampak Pada Masalah Gangguan


Kesehatan dan Penyakit
Perubahan iklim mempengaruhi perubahan suhu serta curah hujan lokal
yang telah mengubah pola distribusi beberapa penyakit yang ditularkan melalui
air dan vektor penyakit. Dampak ekstrim terkait perubahan iklim ini termasuk
perubahan pada ekosistem, gangguan produksi pangan, kerusakan infrastruktur
dan pemukiman. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengganggu kesehatan
manusia (Dewi, 2012).
Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap petogenesis berbagai penyakit.
Salah satu pengaruh perubahan iklim adalah terhadap potensi peningkatan
kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti demam
berdarah. Perubahan suhu, kelembapan dan kecepatan angin dapat meningkatkan
jumlah populasi, memperpanjang umur dan memperluas penyebaran vektor
sehingga berdampak terhadap peningkatan kasus penyakit menular (Dewi, 2012).
Perubahan cuaca yang ekstrim seperti peningkatan curah hujan dapat
menimbulkan genangan-genangan air yang merupakan tempat perindukan yang
nyaman bagi nyamuk penyebar penyakit demam berdarah. Curah hujan yang
tinggi
merupakan salah satu prediktor utama penularan demam berdarah, hal ini bisa
terjadi karena curah hujan yang tinggi akan meningkatkan kelembapan relatif
sehingga memperpanjang umur nyamuk dewasa. Peningkatan curah hujan juga
dapat meningkatkan habitat dan populasi larva dan juga menciptakan habitat baru
bagi nyamuk dewasa (Dewi, 2012).

D. Dampak Langsung dan Tidak Langsung Perubahan Iklim Terhadap


Kesehatan
1. Efek langsung menurut WHO 1990, antara lain (Dewi, 2012):
a. Tekanan iklim dan adaptasi. Meskipun manusia memiliki kemampuan
beradaptasi yang sangat besar, namun tekanan perubahan iklim yang
berlangsung lama meningkatkan risiko gangguan fungsi jantung,
pernapasan, ginjal, hormonal, kekebalan bayi, anak-anak, usia lanjut dan
penderita cacat, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit tidak menular.
b. Faktor suhu. Aklimatisasi terhadap suhu lingkungan dapat terjadi dalam
beberapa hari. Tetapi peningkatan suhu yang terjadi mendadak dan cukup
besar dapat menyebabkan heat illness (penyakit akibat panas) dengan
akibat gangguan jantung ringan hingga kerusakan jaringan dan kematian.
c. Gangguan akibat panas. Pemanasan global meningkatkan gangguan akibat
panas seperti bengkak di tungkai bawah, pingsan (syncope), dehidrasi,
kekurangan garam, kejang otot, kelelahan, dan tidak suka makan. Keadaan
yang berat dapat menyebabkan heat stroke yang ditandai dengan panas
tubuh 41 derajat Celcius, kejang, kehilangan kesadaran dan kematian.
Gelombang panas merupakan masalah besar bagi kota-kota dengan
gedung pencakar langit. Peningkatan suhu juga seringkali diikuti dengan
peningkatan kelembaban udara, sehingga mengurangi kemampuan tubuh
mengeluarkan keringat.
d. Pengaruh radiasi ultraviolet terhadap manusia. Pengurangan lapisan ozon
menyebabkan radiasi sinar ultraviolet meningkat dengan akibat
meningkatnya kanker kulit, katarak, dan penurunan respon kekebalan.
e. Polusi udara. Polutan yang sebagian besar merupakan hasil buatan
manusia akan meningkatkan penyakit saluran napas, dan kanker.
2. Efek tidak langsung menurut WHO 1990, antara lain (Dewi, 2012):
a. Pangan dan gizi. Perubahan iklim merubah kebutuhan gizi manusia yang
mengalaminya, disamping pengaruhnya terhadap pertanian dan produksi
pangan
b. Kebutuhan gizi. Manusia membutuhkan zat gizi, mineral, vitamin dan air
untuk pertumbuhan, memperbaiki jaringan yang rusak dan
mempertahankan kesehatan. Kebutuhan energi lebih besar pada
lingkungan yang dingin dan kering, dibanding dengan lingkungan panas
dan lembab. Tampaknya kebutuhan energi tidak terlalu dipengaruhi oleh
perubahan iklim global.
c. Produksi pangan. Di masa yang akan datang, perubahan iklim akan
berpengaruh besar terhadap pertanian, peternakan dan produksi ikan.
Penyediaan pangan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global melalui
cara:
1) pergeseran tempat tumbuh tanaman tertentu sesuai dengan iklim;
2) perubahan produktivitas tanaman, hewan ternak dan perikanan;
3) penurunan jumlah air yang tersedia untuk irigasi
4) hilangnya tanah akibat kenaikan permukaan laut. Perubahan curah
hujan juga makin sulit diramalkan. Secara keseluruhan perubahan
iklim global meningkatkan bahaya kelaparan dan kematian (WHO,
1990).
E. Penyakit-Penyakit yang Sensitive Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia
Perubahan iklim memengaruhi kesehatan dalam tiga cara. (i) secara langsung,
seperti mortalitas dan morbiditas karena peristiwa panas ekstrim, banjir dan cuaca
ekstrim lainnya, (ii) dampak tidak langsung dari perubahan lingkungan dan
ekosistem, seperti pergeseran pola nyamuk yang membahayakan, atau peningkatan
penyakit yang ditularkan melalui air karena kondisi yang leih hangat dan peningkatan
curah hujan, dan (iii) dampak tidak langsung yang diperantarai oleh sistem sosial,
seperti kurang gizi dan penyakit mental akibat pertanian dan kerawanan pangan,
kerugian ekonomi akibat dampak “kelelahan panas” yang meluas pada tenaga kerja,
atau yang lain penyebab stress lingkungan dan kerusakan sistem pelayanan kesehatan
akibat peristiwa cuaca ekstrim. (Keman, 2007)
Manusia telah mengetahui bahwa kondisi iklim dapat mempengaruhi penyakit
epidemi. Agen infeksi sangat bervariasi dalam ukuran, jenis dan cara penularannya.
Terdapat virus, bakteri, protozoa dan parasit. Mikroba yang menyebabkan
“anthroponosis” telah beradaptasi melalui evolusi, dengan spesies manusia sebagai
inang. Sebaliknya, spesies non-manusia adalah reservoir alami bagi agen infeksi yang
menyebabkan zoonosis.(WHO, n.d.)

Gambar 2.2 Empat Tipe Siklus Transmisi Penyakit Infeksius


1. Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor dan Melalui Air
Penentu dalam penularan penyakit melalui vektor meliputi: (i)
kelangsungan hidup dan reproduksi vektor, (ii) laju menggigit vektor, dan (iii)
laju inkubasi patogen dalam organisme vektor. Vektor, patogen, dan inang
masing-masing mampu bertahan hidup dan bereproduksi dalam berbagai
kondisi iklim yang optimal. Suhu dan curah hujan merupakan yang paling
penting, kondisi lain yang juga berperan yaitu ketinggian permukaan laut,
angin, dan panjang durasi siang hari.(Smith et al., 2014)
Paparan manusia terhadap infeksi yang ditularkan melalui air terjadi
melalui kontak dengan air minum yang terkontaminasi, atau yang terdapat di
dalam makanan. Hal ini dapat terjadi karena hasil dari tindakan manusia,
seperti pembuangan limbah yang tidak benar, atau karena faktor cuaca. Curah
hujan mampu mempengaruhi proses penyebaran agen infeksi, sementara suhu
mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup mereka.(Smith et al.,
2014)
Menurut Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 menyatakan,
beberapa penyakit yang kejadiannya meningkat akibat perubahan iklim antara
lain penyakit yang disebarkan oleh nyamuk, yang dapat mengakibatkan
demam berdarah, malaria, chikungunya, dll. Penyakit akibat kurangnya
ketersediaan air bersih berakibat diare dan penyakit kulit. Kemudian
peningkatan suhu lingkungan dan polutan berakibat infeksi saluran
pernapasan akut, malnutrisi sampai gizi buruk, penyakit jantung, penyakit
pernapasan asma, alergi, serta penyakit paru kronik lain.(Kemenkes RI, 2019)
Gambar 2.3 Rerata kejadian diare mingguan menurut musim di Kota Denpasar, 2010-2014

WHO menyebutkan bahwa banjir dan kemarau berhubungan dengan


peningkatan risiko kejadian diare (walaupun pada umumnya bersifat
temporal); karena curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir dan
memungkinkan adanya kontaminasi dalam penyediaan air; sedangkan curah
hujan sangat rendah (kemarau), berakibat pada sulitnya penyediaan air bersih
yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan
higiene sanitasi (diare, cholera) akan meningkat (Patz et al., 2003) dalam

(Cahyorini et al., 2016)


Gambar 2.4 Rerata mingguan kasus diare dengan suhu (c) dan kelembaban udara (d) di Kota
Denpasar, 2010-2014
Dari hasil analisis data diketahui bahwa kejadian diare tidak hanya
dipengaruhi oleh curah hujan dan hari hujan, akan tetapi dipengaruhi juga
oleh kelembaban udara. Meningkat kelembaban di Kota Denpasar diikuti
dengan meningkatnya kejadian diare, demikian juga ketika kelembaban
menurun, kejadian menurun juga. Puncak-puncak kelembaban udara
dengan kejadian diare tidak tepat berhimpitan, melainkan bergeser satu
minggu. Hal ini karena adanya jeda waktu antara tingkat
kelembaban udara terhadap meningkatkan/menurunnya
kejadian diare. Peran kelembaban udara terhadap meneningkat/menurunnya
kejadian diare adalah melalui kehidupan
mikroorganisme penyebab diare dan vektor penularnya. (Cahyorini et al.,
2016) Di Indonesia penyakit menular oleh vektor yang perlu diwaspadai
adalah malaria dan demam berdarah. Peningkatan suhu lingkungan
menyebabkan nyamuk Anopheles sundaicus (menularkan malaria) dan Aedes
aegypti (menularkan demam berdarah) lebih mudah berkembang biak.
Disamping itu migrasi penduduk dari desa ke kota, antar-kota dan antar-pulau
juga memungkinkan malaria berpindah dari daerah endemis ke tempat yang
baru. Pengendalian vektor yang memadai dapat mencegah penularan
malaria dan demam berdarah. Masalahnya, banyak nyamuk kebal terhadap
insektisida dan pemerintah kekurangan biaya untuk memantapkan system
pengendalian vektor, karena biaya yang tersedia harus digunakan untuk
keperluan yang lebih mendesak, misalnya penanggulangan bencana alam,
kurang gizi dan penyakit
infeksi lainnya. (Cahyorini et al., 2016)
Penyakit yang tidak ditularkan melalui vektor juga mengalami
peningkatan, seperti penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air (non-
vector disease related to water). Ada tiga kelompok penyakit ini, yaitu
(Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa & Lanti
Retno Dewi Bagian Biologi, n.d.), (Anenberg Learner, 2017):
a. Water-based disease, yaitu air berperan sebagai habitat vektor penyakit;
b. Water-borne disease, yaitu air sebagai habitat dan pembawa bibit
penyakit; dan
c. Water-washed disease, yaitu penyakit yang dapat dihindari dengan
mencuci tangan dan penyiapan makanan yang besih.
d. Water-related insect vectors, yaitu penyakit yang tidak berkaitan
langsung dengan persediaan atau kualitas air.

Tabel 2.2 Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor dan Air


Water-based Water-borne Water-washed Water-
disease disease disease related
insect vector
Schistosomiasis, Diare yang Infeksi pada Nyamuk,
disebarkan oleh disebabkan oleh mata atau kulit berkembang
organisme yang Escerichia coli, yang disebabkan biak di atau
berkembang di air Vibrio karena dekat air dan
dan kemudian cholerae, minimnya air menyebarkan
menjadi parasit Salmonella dan bersih. penyakit,
manusia. Mereka virus; termasuk
disebarkan oleh air demam
yang terkontaminasi Penyakit virus berdarah
dan dengan masakan lainnya seperti dan malaria.
ikan yang kurang hepatitis A dan
matang. poliomyelitis; dan
Penyakit parasit
seperti giardiasis dan
disentri amuba.

Sebagai contoh lain, Peta proyeksi curah hujan seperti tampak pada
gambar 2.5, menunjukan pola sebaran yang merata di seluruh wilayah Jakarta.
Interval curah hujan yang terjadi berkisar antara 29,2 – 317,1 mm. Tarmana
menyebutkan bahwa secara umum curah hujan yang mempunyai kesesuaian
dengan kasus DBD berkisar antara 100 – 300 mm. Maka dengan informasi ini,
terdapat bulanbulan tertentu yang curah hujannya mempunyai kesesuaian
dengan kasus DBD. Curah hujan Bulan November – Mei berkisar 100 – 300
mm yang berarti mempunyai kesesuaian untuk perkembangan kasus DBD
(vektor nyamuk Aedes aegypti) dibanding bulanbulan lainnya. (Tarmana, n.d.)

Gambar 2.5 Peta Proyeksi Curah Hujan Rata-rata Bulanan (2014-2038)


Proyeksi peluang DBD untuk tiga klasifikasi yaitu klasifikasi resiko
rendah, menengah dan tinggi, berdasarkan input proyeksi temperatur dan
curah hujan mendapatkan hasil bahwa wilayah Jakarta masih berpeluang
tinggi untuk berada pada resiko tinggi DBD (kasus DBD > 55). Mengacu pada
laporan Kementerian Kesehatan tahun 2010 dalam buletin data surveilance
menyebutkan bahwa selama ini Jakarta selalu berada pada kategori Propinsi
dengan resiko DBD tinggi. (Tarmana, n.d.)
Gambar 2.6 Proyeksi peluang DBD rata-rata periode 2014-2038 (resiko rendah, sedang
dan tinggi) berdasarkan proyeksi CH rata-rata dan T rata-rata periode 2014-
2038)

Berdasarkan perbandingan nilai peluang pada tiga kategori maka peluang


resiko DBD tinggi nilainya lebih besar daripada dua kategori lainnya (resiko
DBD rendah dan sedang). Hal ini mengindikasikan bahwa ke depan Jakarta
masih tergolong kedalam wilayah dengan resiko DBD tinggi. Hasil proyeksi
peluang ini juga menunjukan bahwa untuk periode 2014-2038 kondisi
temperatur dan curah hujan masih memiliki keseuaian untuk siklus
hidup/perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes Aegypti. (Tarmana, n.d.)
F. Posisi Mitigasi dan Adaptasi dalam Pengendalian Dampak Perubahan Iklim
Mitigasi merupakan upaya untuk menekan penyebab perubahan iklim seperti
gas rumah kaca dan lainnya agar risiko terjadinya perubahan iklim dapat
diminimalisir atau dicegah. Tindakan mitigasi khususnya bertujuan menurunkan
konsentrasi gas rumah melalui pengurangan emisi gas rumah kaca dan penambahan
penyerap karbon, untuk mengurangi laju perubahan iklim dan frekuensi kejadian
ekstrem (Zhao et al., 2018).
Adaptasi merupakan kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari
perubahan iklim (variabilitas iklim dan variabilitas yang ekstrim) baik yang dilakukan
secara spontan maupun terencana dengan cara mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan, mengambil manfaat dan mengatasi perubahan dengan segala akibatnya.
Daya adaptasi suatu negara berbeda-beda tergantung dari sumber daya serta
infrastruktur yang dimiliki (Zhao et al., 2018).
Penekanan upaya mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim berbeda
meskipun memiliki tujuan yang sama. Upaya mitigasi terfokus pada upaya untuk
mendegradasi laju dari perubahan iklim dengan penekanan pada pengendalian
penyebab dari perubahan iklim, upaya ini lebih bersifat global dan merupakan upaya
jangka panjang (Zhao et al., 2018).
Upaya adaptasi lebih terfokus pada pengurangan dampak buruk dari
perubahan iklim dengan penekanan pada pengendalian dampak dari perubahan iklim
itu sendiri. Berbeda dengan mitigasi, upaya adaptasi ini lebih bersifat regional dan
merupakan upaya jangka pendek yang perlu dilakukan saat ini juga, agar dampak
buruk perubahan iklim dapat segera ditanggulangi. Kedua upaya ini perlu dilakukan
bersama-sama untuk mengurangi risiko-risiko negatif yang terjadi akibat perubahan
iklim (Zhao et al., 2018).
G. Peran Aktif Dalam Aksi Mitigasi Dan Aksi Adaptasi Dampak Kesehatan
Akibat Perubahan Iklim Di Indonesia
Aksi mitigasi dan aksi adaptasi dengan cakupan dan skala yang luas sudah
jelas di luar jangkauan apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘masalah-masalah
lingkungan’. Seluruh departemen dalam pemerintahan dan perencanaan nasional
perlu mempertimbangkan perubahan iklim di dalam semua program mereka –
berkenaan persoalan-persoalan besar seperti ketahanan pangan, pemeliharaan jalan
raya, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun, ini bukanlah tugas
pemerintah pusat belaka; tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan peran
aktif dari pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga non-pemerintah,
serta pihak swasta (UNDP, 2007).
Indonesia juga harus mampu mengandalkan bantuan internasional – bukan
saja untuk aksi mitigasi dan aksi adaptasi tetapi juga pada berbagai tindakan yang
akan dibutuhkan untuk membantu masyarakat termiskin menghadapi akibat dari
berbagai kondisi cuaca yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Pemanasan
global merupakan tanggung jawab global (UNDP, 2007).

H. Keterlibatan Dalam Berkontribusi Mengendalikan Dampak Kesehatan


Akibat Perubahan Iklim
Kegiatan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk
kesenangan dirinya, menggunakan energi yang berasal dari alam. Seringkali
penggunaan energi ini menimbulkan “sampah” yang dapat membahayakan
lingkungan sekitar manusia, bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup mansuia.
Dampak perubahan iklim pada kesehatan manusia menjangkau lintasan waktu
pada masa lalu, masa kini dan masa depan. Perubahan suhu dan curah hujan lokal
telah mengubah distribusi beberapa penyakit yang ditularkan melalui air dan vektor
penyakit. Dampak ekstrem terkait iklim termasuk perubahan ekosistem gangguan
produksi pangan dan pasokan air, kerusakan infrastruktur dan pemukiman, morbiditas
dan mortalitas dan konsekuensi bagi kesehatan mental dan kesejahteraan manusia.
Perubahan cuaca esktrem seperti hujan deras adalah salah satu ciri khas perubahan
iklim global/ limpasan dari peristiwa presipitasi seperti itu dapat mengakibatkan
transportasi mikroba dan kontaminasi air pantai yang berimplikasi pada kesehatan
masyarakat. Peristiwa iklim ini berdampak pada penutupan pantai karena konsentrasi
patogen yang tinggi dalam rekreasi perairan.(Dewi, 2012).
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk turut berkontribusi
dalam mengendalikan dampak kesehatan akibat perubahan iklim adalah sebagai
berikut (Raksanagara & Raksanagara, 2016) :
1. Efektivitas penggunaan kendaraan
Gas yang dihasilkan dari asap kendaraan bermotor adalah salah satu penyebab
pemanasan global, yakni karbon monoksida. Semakin banyak kendaraan yang
digunakaan, kepulan asap akan perlahan naik ke atmosfer dan menumpuk.
Akibatnya, pantulan panas dari matahari ke bumi akan kembali ke bumi dan
terjadilah pemanasan global. Oleh karenanya, hindari pemakaian kendaraan
pribadi jika memungkinan untuk menggunakan kendaraan umum. Program
sepeda sehat juga sedang menjadi tren sebagai gerakan ramah lingkungan,
bisa menjadi alternatif kendaraan.
2. Melakukan kegiatan penghijauan
Reboisasi tidak hanya berarti menanam kembali pohon di hutan yang gundul.
Hal tersebut dilakukan oleh industri yang melakukan program tebang-pilih-
tanam guna melestarikan entitas hutan. Namun, kegiatan penghijauan bisa kita
lakukan di rumah, dengan menanam lebih banyak tanaman hijau di
pekarangan dan lingkungan sekitar. Ingat bahwa tanaman menghasilkan
oksigen dengan menyerap karbon dioksida, yang merupakan salah satu
gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Semakin banyak karbon
dioksida diserap, maka presentasi gas rumah kaca berkurang dan suhu di
permukaan bumi dapat berangsur normal.
3. Menggunakan peralatan ramah lingkungan
Mengganti kantong plastik dengan tas kain sehingga bisa digunakan berulang
adalah salah satu program yang kini tengah menjadi tren ramah lingkungan.
Selain itu, menggunakan lap untuk mengurangi pemakaian tisu pun dapat
mengurangi penebangan pohon untuk produksi tisu. Memanfaatkan teknologi
dalam dunia kerja dan pendidikan, yakni dengan tidak banyak menggunakan
kertas untuk tugas dan dokumen-dokumen yang tetap bisa dibahas secara
digital. Jika terpaksa harus dicetak, bisa menggunakan sisi sebaliknya dari
kertas yang telah tidak digunakan atau menggunakan bahan kertas ramah
lingkungan.
4. Melakukan program pencegahan
Langkah-langkah yang efektif dalam pengurangan kerentanan yang efektif
untuk kesehatan adalah implementasi dan meningkatkan langkah-langkah
kesehatan masyarakat dasar seperti penyediaan air bersih dan sanitasi,
memberikan perawatan kesehatan yang aman termasuk vaksinasi dan
kesehatan anak dan meningkatkan kapasitas untuk kesiapsiagaan dan respon
terhadap bencana.
5. Makan lebih sedikit daging
Dalam laporan 2013, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
menemukan bahwa 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca yang
disebabkan manusia berasal dari sektor peternakan. Itu lebih banyak dari
emisi mobil, kapal, pesawat dan bentuk transportasi lainnya di seluruh dunia
jika digabungkan. Dari emisi tersebut, 41 persennya disebabkan oleh produksi
daging sapi; produksi susu membentuk 19 persen lagi. Menghindari daging
dan produk susu adalah satu-satunya cara paling sederhana untuk mengurangi
dampak lingkungan Anda terhadap planet ini, demikian saran sebuah
penelitian yang dirilis tahun ini dalam jurnal Science. Mendapatkan protein
Anda dari daging sapi sebagai pengganti tanaman menghasilkan sedikitnya
enam kali lebih banyak gas rumah kaca dan menggunakan 36 kali lebih
banyak lahan.
Studi ini juga mengungkapkan pentingnya cara makanan diproduksi.
Misalnya, daging sapi yang dibesarkan di lahan yang terdeforestasi
menghasilkan 12 kali lebih banyak gas rumah kaca daripada yang merumput
di padang rumput yang ada. Jadi jika Anda makan daging, usahakan
memperolehnya dari pertanian organik lokal.
6. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Terdapat berbagai upaya untuk mencegah penyebaran penyakit menular
sebagai akibat dari perubahan iklim. Upaya pencegahan yang paling utama
dan merupakan upaya pencegahan primer adalah berbagai kegiatan manusia
dan perilaku manusia yang harus dilakukan dimulai dari kelompok
masyarakat yang paling kecil yaitu dari keluarga melalui kegiatan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS). PHBS adalah seperangkat perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil dari pembelajaran, yang
membuat seseorang atau keluarga dapat membantu diri mereka sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam program kesehatan masyarakat.
PHBS dapat dilakukan berbagai tatanan, yaitu tatanan TempatKerja,
Pelayanan Kesehatan, Tempat Umum dan Tatanan Rumah Tangga. Upaya
PHBS jika tidak dilakukan oleh masingmasing keluarga dan anggota
keluarganya akan menjadi factor risiko untuk timbulnya penyakit, baik infeksi
atau penyakit tidak menular. Namun, jika upaya PHBS dilaksanakan dengan
baik, maka upaya ini akan menjadi upaya yang efektif untuk mencegah
penyakit menular seperti penyakit akibat dampak perubahan iklim. Dapat
dikatakan bahwa upaya PHBS dapat menjadi determinan penyakit dan juga
pencegahan penyakit.
BAB III
KESIMPULAN

Perubahan iklim akibat pemanasan global yang sedang terjadi saat ini dapat
disimpulkan memberikan dua dampak yang berbeda pada lingkungan yaitu
kekeringan dan peningkatan presipitasi air. Meningkatnya kejadian yang timbul
akibat efek rumah kaca, efek balik dan variasi matahri hampir dirasakan di seluruh
belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Jika dilihat secara geografis dimana posisi
Indonesia terletak di bagian equator bumi, maka dampak yang secara signifikan dapat
dirasakan yaitu meningkatnya presipitasi air, peningkatan air laut, dan peningkatan
curah hujan.

Cuaca ekstrim seperti banjir yang kerap kali terjadi menimbulkan genangan
air yang menjadi tempat pertumbuhan vektor perantara penyakit seperti nyamuk
Aedes aegypti atau Anopheles gambiae, sehingga pada musim hujan sering ditemukan
wabah demam berdarah (DBD) atau malaria. Selain mempengaruhi kelembaban dan
suhu, curah hujan yang tinggi akan menurunkan kualitas sanitasi yang akan
menambah masa inkubasi nyamuk sehingga memperpanjang wabah yang terjadi.

Mengetahui bahwa beberapa daerah di Indonesia masih sensitif terhadap


wabah yang diproyeksikan akan terus bertahan karena pengaruh perubahan iklim,
maka sudah selayaknya pemerintah melaksanakan aksi mitigasi yang efektif dan
efisien untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Di sisi
lain, masyarakat juga harus mampu melakukan tindakan adaptasi untuk melindungi
diri demi mengurangi angka kejadian yang ditimbulkan akibat perubahan iklim
dengan berkontribusi pada hal-hal sederhana seperti penggunaan transportasi publik
untuk menekan emisi karbon kendaraan, serta penggunaan bahan ramah lingkungan
sebagai upaya mencegah terjadinya kerusakan alam secara terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. (2011). Kimia lingkungan. Universitas Terbuka.


Anenberg Learner. (2017). Water-Related Disease.
Armi Susandi, Indriani Herlianti, Mamad Tamamadin, I. N. (2008). Dampak
perubahan iklim terhadap ketinggian muka laut di wilayah Banjarmasin. Jurnal
Ekonomi Lingkungan, 12(2). Retrieved from
http://blog.umy.ac.id/ghea/files/2011/12/Dampak-Perubahan-Iklim-Terhadap-
Ketinggian-Muka-Laut-Banjarmasin.pdf
Athena, & Musadad, D. A. (2013). Penelitian/Pengembangan Model/Sistem
Surveilans Dampak Kesehatan Perubahan Iklim. Buletin Penelitian Kesehatan,
42, 46–58.
Dan Cahyorini, A., Penelitian, P., Upaya, P., Masyarakat, K., Penelitian, B., Kesehatan,
D. P., & Kesehatan, K. (2016). Relationship Between Climate Variability
(Rainfall, Temperature, and Humidity) and Incidence of Diarrheal Diseases in
Denpasar City, Bali Province.
Dewi, Y. L. R. (2012). Perubahan Iklim Dan Potensi Gangguan Kesehatan Di
Indonesia. Seminar Nasional VII Pendidikan Biologi, 9(1), 440–446.
Idayati, R. (2013). Pengaruh Pemanasan Global (Global Warming) Terhadap
Lingkungan Dan Kesehatan. Jurnal Kedokteran Unsyiah, 7(1).
Keman, S. (2007). Perubahan Iklim Global, Kesehatan Manusia dan Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(2), 195–204.
Kesehatan, K., & Indonesia, R. (2019). Kemenkes Tanggulangi Penyakit Akibat
Perubahan Iklim.
Lai, A. T., Lin, I. C., Yang, Y. W., & Wu, M. F. (2012). Climate change and human
health. Journal of Internal Medicine of Taiwan, 23(5), 343–350.
https://doi.org/10.3390/ijerph110707347
Lakhdar, R., Baffoun, N., Hammami, N., Nagi, S., Baccar, K., Drissi, S., & Kaddour,
C. (2012). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di
Wilayah Banjarmasin. Tunisie Medicale, 90(3), 223–232.
Mendelsohn, R. (2007). The impacts of climate change on Africa. Human-Induced
Climate Change: An Interdisciplinary Assessment, 9780521866(1), 161–166.
https://doi.org/10.1017/CBO9780511619472.017
Morton, J. F. (2007). The impact of climate change on smallholder and subsistence
agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 104(50), 19680–19685.
https://doi.org/10.1073/pnas.0701855104
Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa, dan, & Lanti Retno
Dewi Bagian Biologi, Y. (n.d.). Perubahan Iklim dan Potensi Gangguan
Kesehatan di Indonesia.
Raksanagara, A., & Raksanagara, A. (2016). Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Sebagai Determinan Kesehatan Yang Penting Pada Tatanan Rumah Tangga Di
Kota Bandung. Jurnal Sistem Kesehatan, 1(1), 30–34.
https://doi.org/10.24198/jsk.v1i1.10340
Ramdan, I. M. (2017). Perubahan Iklim, Dampak Terhadap Kesehatan Masyarakat
dan Metode Pengukurannya.
Rizki, G. M., Bintoro, A., & Hilmanto, R. (2016). Perbandingan Emisi Karbon
Dengan Karbon Tersimpan Di Hutan Rakyat Desa Buana Sakti Kecamatan
Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari, 4(1), 89–96.
Samiaji, T. (2011). Gas CO2 di wilayah Indonesia. Berita Dirgantara, 12(2).
Smith, K. R., Woodward, A., Campbell-Lendrum, D., Chadee Trinidad, D. D.,
Honda, Y., Liu, Q., … Berry, H. (2014). 1 Human Health: Impacts, Adaptation,
and Co- Benefits Coordinating Lead Authors: Lead Authors: Contributing
Authors.
Syaifullah, M. D. (2015). Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan
Hubungannya dengan Pemanasan Global. Jurnal Segara, 11(2), 103–113.
Tarmana, D. (n.d.). Potensi Peluang Demam Berdarah Dengue (Dbd) Berdasarkan
Proyeksi Perubahan Iklim (Study Kasus : DKI Jakarta) Potency Of Probability
For Dengue Hermologic Fever (DHF) According To Climate Change Projection
(Case Study : DKI Jakarta ). The Indonesian Journal of Infectious Disease.
UNDP. (2007). Sisi lain perubahan iklim: Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk
melindungi rakyat iskinnya. Keen Media (Thailand) Co., Ltd.
Utina, R. (2015). Pemanasan global: dampak dan upaya meminimalisasinya. Artikel,
1(324).
WHO. (n.d.). Chapter 6 Climate Change And Infectious Diseases.
Zhao, C., Yan, Y., Wang, C., Tang, M., Wu, G., Ding, D., & Song, Y. (2018).
Adaptation and mitigation for combating climate change–from single to joint.
Ecosystem Health and Sustainability, 4(4), 85–94.

Anda mungkin juga menyukai