Anda di halaman 1dari 20

TERAPI PERILAKU

TERAPI PERILAKU

Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing : Ns. Tri Nur Hidayati, S.Kep., M. Med.Ed

Disusun Oleh:
Kelompok 5
1. Darma Rizqoni (G2A219067)
2. Agung Kurniawan (G2A219068)
3. Endah Pramesti U. (G2A219069)
4. Rizki Nurcahyati (G2A219070)
5. Rasti Sastri (G2A219071)
6. Rizka Rossalia P. (G2A219072)
7. Moch. Nursofyan (G2A219073)
8. Irma Siti M (G2A219074)
9. Irvan Dwi S. (G2A219075)
10. Dian Wahyuningsih (G2A219076)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN LINTAS JALUR

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa kaena atas
segala rahmat-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Terapi Perilaku”
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu kami sangat berharap kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, 7 Juli 2020 

Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Terapi Perilaku
Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah
pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning
theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti;
depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang
didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Pada tahun 1920, Watson
dkk melakukan percobaan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan
kondisi (deconditioning) pada rasa takut yang merupakan cikal bakal
terapi perilaku formal. Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan
percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell untuk
mengkondisikan anjing bahwa bel sama dengan makanan, yang kemudian
dikenal juga dengan istilah “stimulus” dan “respon”.
Terapis behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi
antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati
merupakan suatu kepedulian utama dari para terapis sebagai kriteria
pengukuran keberhasilan terapi. Manusia menurut pandangan ini bukan
hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil
belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses terapi merupakan suatu
penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu
mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat
beberapa teori dasar mengenai metode terapi perilaku, yaitu
1. Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan
(conditioned) atau dipelajari (learned).
2. Terapi untuk perilaku maladaptif adalah dengan penghilangan
kebiasaan (deconditioning) atau ditinggalkan (unlearning).
3. Untuk menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku
(operant and clasical conditioning).
BAB II
KONSEP TEORI

A. KONSEP DASAR TERAPI PERILAKU


Selama masa perkembangannya sampai saat ini, terdapat tiga
perubahan besar dalam
penerapan terapi perilaku, yaitu :
1. Terapi perilaku yang fokus pada memodifikasi perilaku-perilaku
tampak (over behavior), yakni yang didasarkan pada prinsip dan
prosedur clasical dan operant conditioning. Terdapat dua pendekatan
yang terkenal yakni :
a. applied behavior analysis (Skinner) Pada pendekatan ini asumsi
yang digunakan adalah perilaku merupakan fungsi dari
konsekuensi (behavior is a function of its consequences). Prosedur
yang digunakan berupa pemberian reinforcement, punishment,
extinction dan stimulus control.
b. Neobehavioristic mediational stimulus response (Mowrer &
Miller). Merupakan aplikasi dari konsep clasical conditioning.
Pada pendekatan ini mulai disadari bahwa proses mental
mempunyai pengaruh terhadap hokum belajar yang kemudian
membentuk suatu perilaku. Model pendekatan Stimulus Respon
menggunakan proses mediasional. Teknik-teknik yang digunakan
berupa systematic desensitization dan flooding.
2. Gerakan ke dua ialah Social-Cognitive theory yang diprakarsai oleh
Bandura (1986).
Ada 3 faktor yang terpisah namun saling membentuk sistem
interaksi satu sama lainnya, yang berupa lingkungan (external stimulus
event)s, penguatan (external reinforcement), dan proses kognitif
(cognitive mediational processes). SocialCognitive Theory
beranggapan bahwa ketiga elemen tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain. Oleh karena itu, dalam prosedur treatment yang menjadi
fokus adalah individu itu sendiri sebagai agent of change. Aplikasi dari
teori ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).
3. Gerakan ketiga dalam perkembangan terapi perilaku didasari oleh
argumentasi Hayes (2004).
Yang mulai menggunakan konsep penerimaan (acceptance) yg
merupakan proses aktif dari self-affirmation, menerima bukan berarti
menyerah melainkan keberanian untuk mengalami/merasakan pikiran
perasaan negatif. Terdapat dua bentuk terapi perilaku yang
menggunakan konsep acceptance, yakni :
a. Dialectical Behaviora Therapy (DBT) Terdapat dua konsep penting
dalam penerapan DBT, yakni Acceptance and change dan
Mindfullness. Untuk mencapai kondisi mindfullness dibutuhkan
beberapa kemampuan yang harus dikuasai, yakni :
1) Mengamati serta memperhatikan emosi yang dirasakan tanpa
mencoba untuk menghentikan walaupun terasa sangat
menyakitkan.
2) Mencoba untuk menjelaskan dan menjabarkan pikiran serta
perasaan yang sedang dirasakan.
3) Jangan langsung menghakimi atas pikiran dan perasaan yang
sedang dialami, tapi coba untuk mengidentifikasi dan
memahami apa yang menjadi penyebab hal tersebut.
4) Stay in the present.
5) Fokus pada satu hal (one mindfully).
b. Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
Sedangkan dalam Acceptance and Commitment Therapy
mengkombinasikan prinsip-prinsip behaviorisme Skinner dengan
faktor bahasa dan kognitif serta bagaimana ketiga faktor tersebut
berpengaruh dalam psikopatologi. Terdapat empat konsep utama
yakni:
1) Experiential avoidance. Mengacu pada proses mencoba untuk
menghindari pengalaman pribadi negatif atau menyedihkan
2) Acceptance. ACT dirancang untuk membantu klien belajar
bahwa menghindari pengalaman adalah bukan solusi.
3) Cognitive Defusion. Konsep ini mengacu memisahkan pikiran
dari orang lain yang dan apa yang kita pikirkan.
4) Commitment. ACT berfokus pada tindakan

B. TEKNIK TERAPI PERILAKU


1. Operant Conditioning
Tingkah laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang
beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat,
merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-
hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain).
Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka
probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa
mendatang tinggi.
Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan,
pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan inti
dari pengkondisian operan. Terdapat dua jenis reinforcement, yaitu:
a) Positive Reinforcement
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan
ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang
diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk
mengubah tingkah laku. Biasanya suatu peristiwa yang bila hadir
mengikuti suatu perilaku tertentu dapat menyebabkan perilaku
tersebut akan diulangi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan
reinforcement positif, yaitu:
1) Memilih perilaku yang akan ditingkatkan
Perilaku yang akan dikukuhkan harus diidentifikasi secara
spesifik. Hal ini akan membantu untuk memastikan reliabilitas
dari deteksi contoh dari perilaku dan perubahan frekuensinya.
Serta meningkatkan perilaku kemungkinan program
reinforcement ini dilakukan secara konsisten
2) Memilih reinforcer
Berbeda individu, kemungkinan reinforcer yang digunakan
juga berbeda. Ada juga reinforcer yang merupakan reinforcer
bagi semua orang.
Terdapat lima macam reinforcer yaitu :
 Consumable reinforcer – makanan, minuman
 Activity reinforcer –hobi, olahraga, belanja
 Manipulative reinforcer – bersepeda, menggunakan internet
 Possesional reinforcer – gelas kesayangan, baju favorit
 Social reinforcer – pujian, pelukan, senyum
b) Negative Reinforcement
Penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat
karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan
(tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara
lain: menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng,
kening berkerut, muka kecewa dll)
2. Desensitization
Istilah desensitisasi merupakan usaha untuk memperkenalkan
secara bertahap stimulus atau situasi-situasi yang menimbulkan
ketakutan. Merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang hendak dihapuskan.
Systematic desensitization didesain untuk membantu klien yang
mengalami phobia. Klien dan terapis pertama-tama membuat daftar
tingkatan atau hirarki ketakutan dari yang paling lemah sampai yang
paling kuat. Kemudian klien disuruh relax, dan selanjutnya prosedur
terapis dimulai (mulai dari imaginal menuju kepada aktual
desensitisasi). Teknik ini juga melibatkan relaksasi. Klien dilatih untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman
pembangkit kecemasan yang dibayangkan. Situasi dihadirkan dalam
suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat
mengancam. 
3. Flooding
Adalah suatu bentuk dari terapi pemaparan dimana subjek
dihadapkan pada stimulus pembangkit kecemasan tingkat tinggi baik
melalui imajinasi ataupun situasi actual. Mengapa? Kepercayaannya
adalah bahwa kecemasan merupakan representasi dari respon
terkondisi dari stimulus fobia dan akan punah bila individu tinggal di
dalam situaasi fobik tersebut untuk waktu yang cukup lama dan tidak
terjadi konsekuensi yang merugikan. Dalam suatu riset, 9 dari 10 orang
dengan fobia social memperoleh sedikitya peningkatan dalam taraf
sedang melalui teknik flooding dimana mereka secara langsung
dihadapkan pada situasi pembangkit ketakutan.
Flooding didasarkan pada dasar pemikiran bahwa melarikan diri
dari pengalaman yang mencetuskan anxienty (gangguan cemas)  dan
mendorong anxienty melalui pembelajaran. Dengan demikian, terapis
dapat mengakhiri ansietas dan mencegah perilaku menghindar yang
dipelajari dengan tidak memungkinkan pasien lari dari situasi tersebut.
Keberhasilan prosedur ini bergantung pada pertahanan pasien didalam
situasi yang menimbulkan takut sampai mereka menjadi tenang dan
merasakan sensasi penguasaan. Menarik diri secara dini dari situasi
atau secara dini mengakhiri situasi yang dibayangkan adalah sebanding
dengan pelarian diri, yang kemungkinan mendorong ansietas yang
dipelajari serta perilaku menghindar dan menghasilkan efek
berlawanan yang diinginkan.
Flooding adalah bentuk pengobatan yang efektif untuk fobia antara
lain psikopatologis (gangguan jiwa). Bekerja pada prinsip-prinsip
pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian Pavlov klasik-di mana
pasien mengubah perilaku mereka untuk menghindari rangsangan
negatif. Teknik terapi :
a. Mencari stimulus yang memicu gejala gejala
b. Menaksir/analisa kaitan kaitan bagaimana gejala gejala
menyebabkan perubahan tingkah laku klien dari keadaan normal
sebelumnya.
c. Meminta klien membayangkan sejelas jelasnya dan
menjabarkannya tanpa disertai celaan atau judgement oleh terapis.
d. Bergerak mendekati pada ketakutakan yang paling ditakuti yang
dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa
yang paling ingin dihindarinya, dan
e. Ulangi lagi prosedur di atas sampai kecemasan tidak lagi muncul
dalam diri klien.
4. Implosive Therapy
Klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang
mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting
terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan
menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya
menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika
seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi
penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan
tidak muncul, maka kecemasan terekdusi atau terhapus. Klien
diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi yang mengancam.
Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam setting terapi
dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan
tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya
menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi
implosive berlangsung. Ia melukiskan seorang klien yang mengalami
kecenderungan-kecenderungan obsesif pada kebersihan. Klien
mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki
ketakutan yang berlebihan terhadap kuman.
5. Participant Modeling (Percontohan)
Modeling dengan partisipasi terbimbing (terapis membimbing
klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan partisipasi (terapis
medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-
desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase
awal partisipasi klien dalam treatmen).
Participan modeling, dapat diadaptasikan untuk rentang yang luas
dari cemas atau takut pada: binatang, sosial, dan yang tidak spesifik,
misalnya takut pada ketinggian. Di sini individu mengamati seorang
model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang
model.
6. Teknik Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara
luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik,
melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu
stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan
terhambat kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman
dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual.
Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau
penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling
kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan
secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang
kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa
maksud prosedur-prosedur teknik aversif ialah menyajikan cara-cara
menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga
terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang
adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu
kesalahpahaman yang populer adalah bahwa teknik-teknik yang
berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi
para terapis tingkah laku.
7. Teknik Relaksasi dan Desentisisasi Sistematis
Salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah
laku. Desensitisasi  sistematis digunakan untuk menghapus tingkah
laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan
tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang
hendak dihapuskan itu, Desensitisasi  diarahkan kepada mengajar klien
untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan
kecemasan.
Wolpe telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang
secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara
sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang
mengancam. Desensitisasi  sistematis adalah teknik yang cocok
digunakan untuk menangani fobia-fobia, kecemasan dan ketakutan.
Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi
penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan
terhadap ujian, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan
frigiditas seksual.
Desensitisasi  sistematis merupakan teknik konseling behavioral
yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan
yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Esensi
teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara
negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku
yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon
yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi
Desensitisasi  sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang
digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara
negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon
yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. 
8. Self Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping
response’ dari klien yang memungkinkan seseorang mengontrol dalam
situasi-situasi problematiknya. Misalnya, digunakan untuk alkoholik,
‘self-abusive child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan
keterampilan studi, atau untuk pribadi ‘overweight’ yang ingin
mengontrol tingkah laku makan.
Beberapa tujuan yang biasanya ingin dicapai dalam melakukan
modifikasi perilaku yang menggunakan teknik self-Control antara lain:
a. Mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan dengan cara
mencegah atau menjauhi situasi tersebut
b. Mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi.
c. Mampu menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku
agar dapat mencapai sesuatu yang lebih berharga atau lebih
diterima oleh masyarakat
d. Mampu mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan
melalui pertimbangan secara objektif.
e. Mampu menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan
penafsiran suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi
positif secara subjektif
f. Mampu mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan
berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
9. Eye Movement Desensitisasi and  Reprocessing (EMDR)
Gerakan mata dan pengolahan desensitisasi (EMDR) adalah bentuk
paparan konseling yang melibatkan imaginal, restrukturisasi kognitif,
gerakan mata berirama dan merancang hal lain untuk mengobati klien
yang mengalami stres traumatic, populasi termasuk anak-anak korban
pelecehan seksual, veteran perang, korban kejahatan, korban
perkosaan, korban kecelakaan,individu yang berhubungan dengan
kecemasan, panik, depresi, kesedihan,kecanduan, dan fobia. EMDR
terdiri dari 8 fase penting yaitu:
a. Membantu konseli mengatur kembali kognisi dan pemrosesan
ulang informasi.
b. Fase persiapan berupa membangun aliansi terapi
c. Fase penilaian meliputi identifikasi memori traumatis yang
menhasilkan kecemasan, identifikasi emosi dan sensasi fisik yang
berkaitan dengan traumatis.
d. Fase desentisasi yang menvisualisasi image traumatis,
menyampaikan kepercayaan maladaptive, dan sensasi fisik.
e. Fase instalasi yang terdiri dari penigkatan kekuatan dan kognisi
positif konseli yang diidentifikasi sebagai pergantian kognisi
negative.
f. Memvisualisasikan kejadian traumatis melalui kognisi positif
g. Penutupan yang memadai pada setiap akhir sesi,
h. Re-evaluasi atau fase penanganan terakhir.
10. Terapi Kognitif-Behavioral (TKB)
Digunakan dalam rangka membantu menangani berbagai masalah
yang dihadapi individu: seperti : depresi, kecemasan dan gangguan
panik, atau dalam menghadapi peristiwa hidup lainnya, seperti:
kematian, perceraian, kecacatan, pengangguran, masalah yang
berhubungan dengan anak-anak dan stres.
Dalam (TKB), konselor dan klien bekerjasama untuk
mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang
menyebabkan timbulnya gangguan fisik-emosional. Fokus dalam
terapi ini adalah berusaha mengubah pikiran atau pembicaraan diri
(self talk).
Proses (TKB) membantu klien dalam mengidentifikasi dan
memperbaiki kesalahan spesifik dari apa yang dia pikirkan dan
menyebabkan timbulnya perasaan negatif dan menyakitkan. Setiap
bentuk pemikiran yang menyimpang klien ini dapat mempengaruhi
tingkat emosi dan perilakunya.
Dalam memperlakukan orang yang mengalami kesulitan
psikologis, titik yang paling efektif untuk dilakukan intervensi adalah
pada tingkat pikiran yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Jika proses
berpikirnya dapat berhasil dirubah, (misalnya asumsi, keyakinan, nilai-
nilai), maka dengan sendirinya perubahan dalam emosi dan perilaku
akan mengikutinya.
Berbagai teknik dan strategi behavioral therapy dapat digunakan
untuk meningkatkan hasil perawatan (misalnya, teknik mengelola
kemarahan, meditasi, latihan relaksasi, dan assertive training, dan
sebagainya). Tidak seperti proses konseling tradisional umumya,
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) lebih memfokuskan pada hasil dan
tujuan, termasuk didalamnya adalah hasil jangka pendek (segera) dari
proses konseling yang sedang berjalan, yaitu tercapainya pengalaman
positif klien yang relatif cepat dengan adanya kemajuan perasaan yang
lebih lega dan daya tahan.
Berdasarkan hasil studi beberapa dekade belakangan ini, telah
membuktikan bahwa (TKB) merupakan sebuah model sederhana yang
sukses dan ampuh sebagai salah bentuk treatment psikologis. Saat ini
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) telah banyak diterapkan oleh para
profesional di seluruh Amerika Serikat dan secara internasional.
“Jenis konseling ini adalah yang paling efektif dalam berurusan
dengan individu-individu yang cerdas, rasional dan berkeinginan untuk
memiliki gairah dan kenikmatan dalam hidup mereka” demikian
menurut Beth Horwin, LPC, berdasarkan pengalamannya sebagai
seorang therapist.
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan proses terapi yang
mengambil banyak bentuk, sedikitnya terdapat 60 variasi. Secara
ringkas, Beth Horwin mengemukakan proses konseling kognitif-
behavioral ini, sebagai berikut:
a. Membantu klien dalam mengenali, menganalisis dan mengelola
keyakinannya.
b. Membiarkan klien bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk
memvalidasimya.
c. Menempatkan dan menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang
siapa dirinya dan apa tujuan hidup dia di dunia ini
d. Menjaga fokus pada upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara
menyeluruh”, bukan pada upaya penurunan emosi yang negatif
e. Membelajarkan dan mendidik yakni memberikan kesempatan
kepada klien untuk memeriksa/memguji kembali apa yang telah
diucapkannya dengan kenyataan dirinya.
f. Mengidentifikasi dan berbagai keterampilan praktis (misalnya,
tentang penetapan tujuan dan pemecahan masalah).
g. Melanjutkan untuk melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka
panjang, setelah proses konseling selesai.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah
pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning
theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti;
depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang
didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Selama masa
perkembangannya sampai saat ini, terdapat tiga perubahan besar dalam
penerapan terapi perilaku, yaitu :
1. Terapi perilaku yang fokus pada memodifikasi perilaku-perilaku
tampak (over behavior), yakni yang didasarkan pada prinsip dan
prosedur clasical dan operant conditioning.
2. Gerakan ke dua ialah Social-Cognitive theory yang diprakarsai oleh
Bandura (1986).
3. Gerakan ketiga dalam perkembangan terapi perilaku didasari oleh
argumentasi Hayes (2004).
Jenis terapi perilaku yang banyak digunakan, yaitu relaksasi dan
desensitisasi sistematis, flooding, Implosive Therapy, Participant
Modeling (Percontohan), Teknik Aversi, Self Control, Eye Movement
Desensitisasi and  Reprocessing (EMDR), Terapi Kognitif-Behavioral
(TKB)
DAFTAR PUSTAKA

https://alindiputri14.blogspot.com/2016/04/terapi-perilaku-behavior-therapy.html
Lampiran

HASIL PENELITIAN JURNAL

Dari penelitian menjelaskan bahwa dari 33 orang responden dalam


penelitian ini, usia produktif pada responden adalah 31 tahun dengan umur
termuda 20tahun dan tertua 45 tahun yang paling banyak berjenis kelamin laki-
laki 25 (75,8%) yang berpendidikan SMP 20 (60,6%), bekerja 20 (60,6%),
tidak kawin 24 (72,7%).
Berdasarkan hasil uji statistik tidak ada hubungan umur dengan kognitif,
afektif dan perilaku dan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kognitif
(p<0,05). Ada hubungan antara pekerjaan dengan semua kemampuan responden
dalam melakukan interaksi sosial (kognitif, afektif, perilaku) responden (p<0,05).
Ada hubungan pendidikan SD-SMA dengan kemampuan kognitif responden
dalam melakukan interaksi sosial. Ada hubungan antara status perkawinan dengan
kognitif dan afektif responden.
Berdasarkan tabel 1 menjelaskan bahwa dari 33 responden rata-rata
kemampuan dalam melakukan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku)
setelah dilakukan terapi perilaku kognitif lebih tinggi dibandingkan sebelum
dilakukan terapi perilaku kognitif.
Variabel Mean P Value
Kognitif
Sebelum 13,79 0,000
Sesudah 19,88
Afektif
Sebelum 14,58
0,000
Sesudah 17,33
Perilaku
Sebelum 9,64 0,000
Sesudah 11,06

Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2 bahwa hasil uji statistik
dengan nilai p <0,05. Rata-rata kemampuan kognitif, afektif dan perilaku
responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif lebih besar dibandingkan
sebelum dilakukan terapi perilaku kognitif.
Hasil uji statistik ada peningkatan kemampuan interaksi sosial dengan
kemampuan afektif responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif.
Meningkatnya respon afektif pada responden setelah dilakukan terapi perilaku
kognitif karena klien merasa tidak cemas selalu optimis dan dapat menghargai
individu, orang lain dan lingkungan sehingga responden dapat mengubah perasaan
yang negatif menjadi positif yang akhirnya akan memunculkan perilaku yang
positif juga setelah diajarkan mengubah perasaan negatif untuk menjadi positif
pada sesi 3 dalam penerapan terapi perilaku kognitif. Respon emosi merefleksikan
respon perilaku dan fisiologis sebagai hasil analisis kognitif dalam mengahadapi
suatu situasi yang penuh stres (Stuart & Laraia, 2005).

Anda mungkin juga menyukai