Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

ETIKA DAN KEWENANGAN BIDAN DALAM KB DAN KESPRO SERTA


EVIDANCE BASED

‘Kegagalan Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)’

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi yang diampu oleh Dr. Ni Komang Yuni Rahyani, M.Kes

Oleh :
Mahasiswa Semester V / Sarjana Terapan Kebidanan

Putri Nur Asyifa


P07124218008

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PRODI SARJANA TERAPAN
JURUSAN KEBIDANAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini yang berujudul “Tanggungjawab Bidan
Terkait Kegagalan Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)” yang
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai Kesehatan Reproduksi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ni Komang Yuni Rahyani, M.Kes selaku dosen mata
kuliah Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang telah
membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih dan
semoga karya tulis ini bermanfaat untuk kami dan untuk pembaca.

Denpasar, November 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2

D. Manfaat ............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3

A. Definisi Bidan ..................................................................................................3


B. Peran Bidan.......................................................................................................3
C. Kode Etik Kebidanan........................................................................................3
D. Kewenangan Tenaga Kebidanan.......................................................................4
E. Hak dan Kewajiban Tenaga Kebidanan............................................................4
F. Dasar Pengaturan Kebidanan............................................................................5
G. Pelayanan Kebidanan........................................................................................5
H. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).........................................................5
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................9

A. Kasus.................................................................................................................9
B. Etika dan Kewenangan Bidan dengan Adanya Kasus Diatas.........................11
BAB IV PENUTUP..............................................................................................13
A. Kesimpulan.....................................................................................................13
B. Saran................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tenaga kebidanan adalah salah satu tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan
keahlian yang dimiliki. Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kebidanan harus
memiliki Surat Tanda Registrasi Bidan (STRB) dan Surat Izin Praktik Bidan (SIPB).
Surat Tanda Registrasi Bidan adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah
kepada bidan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan, sementara Surat Izin Praktik Bidan adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada bidan sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kebidanan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan, bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan (Kurniawan, 2019).
Ketentuan hak dan tanggung jawab profesi disusun oleh IBI menjadi sebuah
kode etik Bidan yang harus ditaati oleh seluruh Bidan di Indonesia tanpa terkecuali.
Kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi
yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas profesi dalam kehidupannya di
masyarakat. Kode etik profesi merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi
yang memberikan tuntunan bagi anggotanya untuk melaksanakan praktik dalam
bidang profesinya, baik yang berhubungan dengan klien/pasien, keluarga, masyarakat,
teman sejawat, profesi, dan dirinya sendiri (Khotimah, 2016).
Begitu juga dengan standar pelayanan dan standar praktik yang ditetapkan
oleh kompetensi Bidan dan Kepmenkes Tentang Standar Profesi. Bidan sebagai salah
satu tenaga kesehatan berdasarkan ketentuan tentang tenaga kesehatan yang ada saat
ini telah memperoleh perlindungan hukum secara represif maupun
preventif.  Sehingga perlu adanya Undang‐Undang Kebidanan dan penyesuaian
terhadap peraturan pelaksana pengelola yang mengatur tentang Bidan khususnya
tentang standar profesi/kompetensi dalam mejalankan kewenangan dalam
melaksanakan tugas profesinya (Sumiati, Fristikawati and Susiarno, 2018)
Pemasangan AKDR yang dilakukan oleh bidan tidak menutup kemungkinan
terjadinya kegagalan baik akibat kelalaian pihak bidan atau kesalahan dari pasien itu
sendiri, maka dari itu konseling sangat diperlukan sebelum dilakukannya pemasangan
AKDR.7 Lebih lagi bagi pasien dengan kaategori (4T) terlalu muda, terlalu sering,
terlalu dekat, dan terlalu tua kehamilan dan pasien yang memiliki penyakit kronis
pasien dengan kategori ini memiliki risiko tinggi kegagalan dalam pemasangan
AKDR bisa berakibat pada kehamilan, persalinan, nifas, mortalitas dan morbilitas.
Kehamilan yang tidak diinginkan pada akhirnya pasien tersebut untuk melakukan
ansave abortion (keguguran), hal ini dapat menjadikan tenaga kebidanan mengalami
tuntutan dari pihak pasien (Kurniawan, 2019)
Pada kasus kegagalan kontrasepsi khususnya Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) ini memang sudah banyak terjadi dimanapun dan kapanpun. berbagai
kemungkinan terhadap bahaya kegagalan  yang di alami dengan pasien merupakan
salah satu efek dari kb. Maka dengan itu penulis tertarik untuk mebahasas kasus
tersebut.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah, yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi.
2. Tujuan Khusus
Berikut tujuan khusus yaitu diantaranya :
a. Untuk mengetahui etika dalam pelayanan kebidanan
b. Untuk mengetahui kewenangan dalam pelayanan kebidanan
c. Untuk mengetahui etika dan kewenangan bidan dalam penanganan kasus
keluarga berencana

C. Manfaat
Apabila tujuan dari pembuatan makalah tentang penulisan ini tercapai, maka
manfaat dari makalah ini adalah dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang
etika dan kewenangan bidan dalam menangani asuhan keluarga berencana dan
kesehata reproduksi agar dapat mengurangi masalah masalah kesehatan reproduksi
yang terjadi.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Bidan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan, Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari
pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Esensi dari definisi bidan adalah :
1. Seorang perempuan.
2. Mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal kebidanan.
3. Mempunyai registrasi, lisensi, dan legislasi.
4. Memiliki tugas, tanggung jawab, dan kewenangan sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
5. Mengupayakan bantuan medis dan melaksanakan tindakan pertolongan
kegawatdaruratan yang dimana tidak ada tenaga medis lainnya.
6. Memiliki ruang lingkup tempat bekerja meliputi rumah, masyarakat, klinik (klinik
umum dan klinik bersalin), rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya.
B. Peran Bidan
Tenaga kebidanan dalam menjalankan perannya senantiasa memiliki alasan yang
mulia, yaitu berusaha menyelamatkan ibu dan bayi. batasan peran yang dapat dilakukan
oleh tenaga kebidanan, yang paling utama adalah tenaga kebidanan harus senantiasa
menjalankannya peran dan fungsinya sesuai dengan standar pelayanan kebidanan yang
sesuai dengan aturan Permenkas Nomor 28 Tahun 2017, standar pelayanan kebidanan
berfungsi untuk melindungi tenaga kebidanan dalam menjalankan tugasnya. Dalam
menjalankan profesinya, bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola, pendidik
dan peneliti (Permenkes, 2017).
C. Kode Etik Kebidanan
Kode etik adalah norma atau asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai langkah atau pijakan dasar, sebagai ukuran tingkah laku. Kode etik dapat pula
diartikan sebagai serangkaian ketentuan dan peraturan yang disepakati bersama guna
mengatur tatanan perilaku orang-orang yang tergabung dalam sebuah profesi tertentu.
Tujuan kode etik adalah untuk melindungi klien atau subjek, karenanya kode etik
merupakan pedoman yang bersifat memaksa anggotanya untuk dapat berperilaku sesuai
dengan tugas dan fungsi yang mereka miliki.
D. Kewenangan Tenaga Kebidanan
Pada praktiknya, tenaga kebidanan memiliki tiga kewenangan yang di atur dalam
Pasal 18 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan ibu;
2. Pelayanan kesehatan anak; dan
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Kewenagan tenaga kebidanan diatur dalam Pasal 49-51 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2019 tentang Bidan, Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam huruf (c), bidan
berwenang memberikan :
1. Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;
2. Pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan.
E. Hak dan Kewajiban Tenaga Kebidanan
Menurut Pasal 29 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017, menyatakan
bahwa dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan mempunyai hak yaitu :
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pelayanannya sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan atau keluarganya.
3. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
4. Menerima imbalan jasa profesi.
Kewajiban tenaga kebidanan menurut menurut Pasal 29 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 menyatakan bahwa dalam menjalankan praktik/kerja,
bidan berkewajiban untuk :
1. Menghormati hak pasien.
2. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan.
3. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat
waktu.
4. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
5. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
6. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis.
7. Mematuhi standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
8. Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk
pelaporan kelahiran dan kematian.
9. Pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran, dan Meningkatkan mutu
pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan
10. Ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan
bidang tugasnya.
F. Dasar Pengaturan Kebidanan
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Menjelaskan tentang kesehatan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
merupakan salah satu unsur keejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-
cita bangsa Indonesia maka dari itu dibuatlah undang-undang tersebut diatas untuk
menjamin kesehatan rakyat Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Menjelaskan bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
Menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya perempuan,
bayi, dan anak-anak yang dilaksanakan oleh bidan secara bertanggung jawab,
akuntabel, bermutu, aman, dan berkesinambunga, masih dihadapkan kepada kendala
profesionalitass, kompetensi dan kewenangan.
G. Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang
difokuskan pada pelayanan kesehatan wanita dalam siklus reproduksi, bayi baru lahir,
dan balita untuk mewujudkan kesehatan keluarga sehingga tersedia sumber daya manusia
yang berkualitas dimasa depan. Pelayanan kebidanan primer atau mandiri merupakan
asuhan kebidanan yang diberikan kepada pasien dan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab bidan.18 Asuhan kebidanan mandiri adalah pelayanan yang dilakukan oleh
seorang bidan tanpa intervensi dari pihak lain dalam menjalankan asuhan kebidanan
kewenangan bidan Sesuai Permenkes Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 28 tahun 2017 tentang Izin dan PenyelenggaranPraktik Bidan, kewenangan yang
dimiliki bidan meliputi Kewenangan norma (Kurniawan, 2019).
H. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
Gambar : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
Sumber : http://sani-sanpig.blogspot.com/2013/05/makalah-kontrasepsi-iud.html

1. Pengertian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim


Alat kontrasepsi yang dipasang dalam rahim dengan menjepit kedua saluran
yang menghasilkan indung telur sehingga tidak terjadi pembuahan, terdiri dari bahan
plastik polietilena, ada yang dililit oleh tembaga dan ada yang tidak. Pemasangan
dilakukan dalam 10 menit setelah plasenta lahir (pada persalinan normal). Pada
persalinan caesar, dipasang pada waktu operasi caesar (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
2. Jenis – Jenis Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
Jenis AKDR dibagi menjadi dua yakni AKDR hormonal dan non hormonal.
AKDR hormonal dibedakan menurut bentuk dan tambahanobat atau metal.
a. Menurut bentuknya AKDR dibagi menjadi bentuk terbuka (open device)
misalnya Lippes Loop, CU-T, Cu-7, Margulies, Spring Coil, Multiload, Nova-
T. Bentuk tertutup (closed device) misalnya Ota ring, Antigon, Grafen Berg
Ring.
b. Menurut tambahan obat atau metal dibagi menjadi medicated intrauterine
device (IUD), misalnya Cu-T-200, 220, 300, 380A; Cu-7, Nova-T, ML-Cu
250, 375, selain itu ada Copper-T, Copper-7, Multi Load, dan Lippes Load.
AKDR hormonal ada dua jenis yaitu Progestasert-T dan LNG-20
(Setyaningrum, 2016).
Jenis AKDR Cu T-380A adalah jenis AKDR yang beredar di Indonesia.
AKDR jenis ini memiliki bentuk yang kecil, kerangka dari plastik yang fleksibel,
berbentuk huruf T diselubungi oleh kawat halus yang terbuat dari tembaga (Cu)
(Setyaningrum, 2016)
3. Cara Pemasangan AKDR
Alat kontrasepsi dalam rahim yang dipasang pascalepas plasenta sampai
sejauh ini masih menggunakan AKDR biasa yang dipasang dengan dua cara yaitu
(Rusmini, dkk., 2017) :
a. Cara pertama adalah dijepit dengan menggunakan dua jari dan dimasukkan ke
dalam rongga uterus melalui serviks yang masih terbuka sehingga seluruh
tangan bisa masuk. AKDR diletakkan tinggi menyentuh fundus uteri.
b. Cara kedua dengan menggunakan klem cincin (ring forceps) dimana AKDR
dipegang pada pertemuan antara kedua lengan horizontal dengan lengan
vertikal dan diinsersikan jauh ke dalam fundus uteri.
4. Efektivitas
Efektivitas tinggi, 99,2 – 99,4% (0,6 – 0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1
tahun pertama). Telah dibuktikan tidak menambah risiko infeksi, perforasi dan
perdarahan. Kemampuan penolong meletakkan di fundus amat memperkecil risiko
ekspulsi (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
5. Indikasi Pemasangan AKDR
Indikasi pemasangan AKDR pasca plasenta menurut Rusmini, dkk. (2017) yaitu :
a. Wanita pasca persalinan pervaginam atau pasca persalinan sectio secarea
dengan usia reproduksi dan paritas berapapun
b. Pasca keguguran (non infeksi)
c. Masa menyusui (laktasi)
d. Riwayat hamil ektopik
e. Tidak memiliki riwayat keputihan purulen yang mengarah kepada IMS
(gonore, klaimidia dan servisitis purulen).
6. Kontraindikasi Pemasangan AKDR
Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca plasenta menurut Rusmini, dkk.
(2017) dan Kementerian Kesehatan RI (2014) yaitu :
a. Menderita anemia, penderita kanker atau infeksi traktus genetalis
b. Memiliki kavum uterus yang tidak normal
c. Menderita TBC pevic, kanker serviks dan menderita HIV/AIDS
d. Ketuban pecah sebelum waktunya
e. Infeksi intrapartum
f. Perdarahan post partum
7. Efek Samping Penggunaan AKDR
Efek samping dan komplikasi pemasangan AKDR pasca plasenta menurut
Kementerian Kesehatan RI (2014) yaitu :
a. Perubahan siklus haid (umumnya pada tiga bulan pertama dan akan berkurang
setelah tiga bulan)
b. Haid lebih lama dan banyak
c. Perdarahan (spotting)antar menstruasi
d. Saat haid lebih sakit
e. Merasakan sakit dan kejang selama tiga sampai lima hari setelah pemasangan
f. Perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan
penyebab anemia
g. Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
8. Faktor – faktor Pemasangan AKDR
Dalam pemasangan AKDR terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya antara lain yaitu :
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna AKDR
1) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman
dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Contohnya adalah mendapatkan informasi tentang KB,
pengertian KB, manfaat KB, dan dimana memperoleh pelayanan KB.
2) Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku sesorang
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, pendidikan suami-istri yang rendah akan
menyulitkan proses pengajaran dan pemberian informasi, sehingga
pengetahuan tentang metode kointrasepsi jangka panjang juga terbatas.
3) Dukungan Suami
Partisipasi secara langsung sebagai akseptor KB dan partisipasi secara
tidak langsung adalah mendukung isteri dalam berKB, motivator,
merencanakan jumlah anak dalam keluarga dan mengambil keputusan
bersama
4) Pengambilan Keputusan
Peran suami dalam keluarga sangat dominan dan memegang kekuasaan
dalam pengambilan keputusan apakah istri akan menggunakan kontrasepsi
atau tidak, karena suami dipandang sebagai pelindung, pencari nafkah dan
pembuat keputusan (Kurniawan,2019).
b. Faktor-faktor yang timbul akibat pemasangan AKDR
1) Spoting Keluarnya bercak-bercak darah diantara siklus menstruasi,
spoting akan muncul jika capek dan stress. Perempuan yang aktif sering
mengalami spotting jika menggunakan kontrasepsi AKDR.
2) Perubahan Siklus Menstruasi Setelah pemasangan AKDR siklus
menstruasi menjadi lebih pendek. Siklus menstruasi yang muncul lebih
cepat dari siklus normal rata-rata yaitu 28 hari dengan lama haid 3 – 7
hari, biasanya siklus haid berubah menjadi 21 hari.
3) Amenore Tidak didapat tanda haid selama 3 bulan atau lebih. Penanganan
efek samping amenore adalah memeriksa apakah sedang hamil, apabila
tidak, AKDR tidak dilepas, memberi konseling dan menyelidiki penyebab
amenorea apabila dikehendaki.
4) Dismenorhea Munculnya rasa sakit menstruasi tanpa penyebab organik.
Untuk penanganan dismenorhe adalah memastikan dan menegaskan
adanya penyakit radang panggul (PRP) dan penyebab lain dari
kekejangan.
5) Menorrhagea Perdarahan berat secara eksesif selama masa haid atau
menstruasi. Memastikan dan menegaskan adanya infeksi pelvik dan
kehamilan ektopik. Apabila tidak ada kelainan patologis, perdarahan
bekelanjutan serta perdarahan hebat, melakukan konseling dan
pemantauan.
6) Fluor Albus Penggunaan AKDR, memicu rekurensi vaginosis bacterial
yaitu keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan
bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan
Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal
vagina.
7) Pendarahan Post Seksual Pendarahan post seksual ini disebabkan karena
posisi benang AKDR yang menggesek mulut rahim atau dinding vagina
sehingga menimbulkan pendarahan, akan tetapi pendarahan yang muncul
ini jumlahnya hanya sedikit, pada beberapa kasus efek samping ini
menjadi pembenar bagi akseptor untuk melakukan drop out, terutama
disebabkan dorongan yang salah dari suami (Kurniawa, 2019).
c. Faktor-faktor penyebab kegagalan dalam pemasangan AKDR
Metode KB AKDR ini diakui efektivitasnya dalam pencegahan
kehamilan jangka panjang. Selain risiko kegagalan yang rendah, dan juga lebih
praktis karena sekali dipasang bisa bertahan sampai 5 tahun. Namun,
penggunaan metode KB ini masih enggan digunakan karena berbagai alasan
seperti takut dengan proses pemasangannya hingga risiko kehamilan yang
masih tetap ada. Sebenarnya faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa
pendarahan hingga kehamilan bukan karena AKDR, melainkan rutinitas
kontrol pasca pemasangan. Idealnya alat tersebut tidak bergerak pada posisi
tersebut. Namun, rahim berkontraksi setiap saat (Kurniawan, 2019).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus

Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada Tahun 2014
akseptor baru pengguna IUD sejumlah 982 akseptor. Pada Tahun 2014 kejadian
komplikasi sebanyak 3 akseptor atau (0,31%) dan kegagalan sebanyak 11 akseptor
atau (1,12%). Data pada Tahun 2015 akseptor baru sebanyak 789 akseptor diwilayah
puskesmas, serta kegagalan sejumlah 11 akseptor atau (1,39%), yang mengalami
komplikasi sejumlah 5 akseptor atau (0,63%). Komplikasi dari penggunaan IUD
terjadi di wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron, Jetis dan Gondokusuman, kegagalan
di Bidan Praktik Mandiri sebanyak 3 (27,27%) dan di Puskesmas sebanyak 8
(72,73%) akseptor. Angka kegagalan nasional alat kontrasepsi IUD adalah 0,8 per 100
akseptor, artinya 1 dari 100 akseptor mengalami kegagalan saat menggunakan IUD.
Angka kegagalan pengguna alat kontrasepsi IUD di DIY pada tahun 2015
seluruh pelayanan kesehatan sebanyak 80 akseptor, dan yang mengalami komplikasi
15 akseptor, Kota Yogyakarta kegagalan sebanyak 33 (41,25%) komplikasi 5
(33,33%), Kabupaten Bantul kegagalan 22 (27,5%) komplikasi 2 (13,33%),
Kabupaten Sleman kegagalan 10 (12,5%) komplikasi 4 (26,67%), Kabupaten
Kulonprogo kegagalan 6 (7,5%) komplikasi 2 (13,33%), Kabupaten Gunung Kidul
kegagalan 8 (11,25%) komplikasi 2 (13,33%). Kota Yogyakarta menduduki tingkat
pertama untuk kasus kegagalan dan komplikiasi pengguna IUD, dibandingkan dengan
Kabupaten lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (Amri, W, 2018).
B. Etika dan Kewenangan Bidan dengan Adanya Kasus Diatas
Kewenangan bidan dalam memberikan alat kontrasepsi diatur dalam Permenkes RI
No 1464 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pasal 13. Ketika
melaksanakan kewenangannya, bidan wajib menjalankan tugas wewenang sesuai dengan
standar profesi, mempunyai keterampilan (skill) dan kemampuan untuk tindakan yang
dilakukannya, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya,
bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dengan
mengupayakan keselamatan pasien.
Berkaitan dengan kompetensi yang dimaksud, bahwa dalam pemberian alat
kontrasepsi merupakan kompetensi bidan yang kedua sesuai dengan Kepmenkes No
369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, yaitu pada kompetensi ke-2
yaitu pra konsepsi, KB dan ginekologi yaitu: “Bidan memberikan asuhan yang bermutu
tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh
dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat,
perencanaan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua”
Upaya yang dilakukan bidan dalam mengurangi ekspulsi ataupun kegagalan pada
pemasangan IUD, adalah dengan cara mengikuti pelatihan terkini syarat sudah lulus
pendidikan D3, dan setiap tahunnya dinas kesehatan bekerja sama dengan BKKBN
dalam pelatihan, kemudian melakukan penapisan sebelum dipasang IUD dan sesuai
dengan SOP yang berlaku. Bidan dalam melaksanakan tugas dan menjaga mutu
profesinya harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dengan
mengikuti seminar, pelatihan dan pendidikan sesuai dengan profesinya, agar pelayanan
yang diberikan berkualitas serta sesuai dengan standar. Bentuk pelayanan yang diberikan
oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, masyarakat) sesuai dengan
kewenangannya meliputi pelayanan kesehatan ibu dan kesehatan anak (KIA), pelayanan
kespro pada wanita dan keluarga berencana (KB), semua tindakan tersebut harus
memiliki SOP.
Bidan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan kewenangannya,
menghargai hak pasien, memberikan pendidikan terhadap tindakan yang akan dilakukan,
meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Informasi mengenai
pelayanan/tindakan yang diberikan dan efek samping yang ditimbulkan perlu diberikan
secara jelas sehingga memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengambil
keputusan yang terbaik bagi dirinya. Salah satu faktor pentingnya informed consent
adalah karena klien memiliki hak penuh terhadap tubuhnya, menentukan baik buruknya
tindakan tersebut terhadap dirinya yang memiliki arti bersedia atau tidak terhadap
tindakan medis yang akan dilakukan. Sebelum dilakukan tindakan pemasangan IUD
maka harus dijelaskan beberapa informasi agar akseptor atau pasien. memahami akan
alat kontrasepsi jenis IUD.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tenaga kebidanan adalah salah satu tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan
keahlian yang dimiliki. Fungsi dan peran tenaga bidan diatur secara jelas oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, yang intinya bidan adalah
pemberi pelayanan bagi kesehatan ibu, kesehatan anak dan sebagai penyuluh dan
koselor namun dalam prakteknya bidan tidak selalu malakukan penyuluhan dan tidak
menjadi konselor yang baik, karenanya penulis menemukan kasus tentang kegagalan
dalam pemasangan AKDR.
Bidan dalam melaksanakan tugas dan menjaga mutu profesinya harus
senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengikuti seminar,
pelatihan dan pendidikan sesuai dengan profesinya, agar pelayanan yang diberikan
berkualitas serta sesuai dengan standar. Bidan dalam melaksanakan tugasnya harus
sesuai dengan kewenangannya, menghargai hak pasien, memberikan pendidikan
terhadap tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang
akan dilakukan. Informasi mengenai pelayanan/tindakan yang diberikan dan efek
samping yang ditimbulkan perlu diberikan secara jelas sehingga memberikan
kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya.
Salah satu faktor pentingnya informed consent adalah karena klien memiliki
hak penuh terhadap tubuhnya, menentukan baik buruknya tindakan tersebut terhadap
dirinya yang memiliki arti bersedia atau tidak terhadap tindakan medis yang akan
dilakukan. Sanksi bagi bidan dalam hal terjadi kegagalan dalam pemasangan AKDR
sudah secara eksplisit diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan yaitu: sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administratif, dan sanksi etik
dari organisasi bidannya,
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan
evaluasi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Khotimah, Mahmudah Khusnul (2016) Peran Ibi Dalam Pengawasan Terhadap


Pelaksanaan Kewenangan Bidan Praktik Mandiri Dan Perlindungan Hukum Bagi
Pasien. Masters thesis, UNIKA SOEGIJAPRANATA.
Kurniawan, B. 2019. Tanggung Jawab Hukum Tenaga Kebidanan Terhadap
Kegagalan Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (IUD). Universitas
Lampung.

Anda mungkin juga menyukai