Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TASAWUF

Wahdatul Wujud, Ittihad dan Hulul

Nama : Ahmad Zuhdi Alwan


Kelas :4
Kitab : Fathul Majid

MADRASAH DINIYAH
PONDOK PESANTREN DURROTU AHLISSUNNAH
WALJAMAAH, SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam hingga
Nabi Muhammad shallaahu alaihi wasallam. Islam pula adalah satu-satunya agama yang diridloi
oleh Allah. Oleh kerena Islam adalah agama yang dirudhloi oleh alloh, sudah tentu islam adalah
agama yang mencakup segala aspek kehidupan ini.
Sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak ummat, maka Islam
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak manusia. Salah satu yang termasuk adalah
akhlak tasawuf.
Dalam akhlak tasawuf dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk mencapai ma’rifat.
Diantaranya adalah hulul, ittihad, wahdatul wujud, dll.
Maka, dalam makalah ini penulis membahas hulul, ittihad, wahdatul wujud agar pembaca
mengetahui konsep dari beberapa konsep akhlak tasawuf. Lebih luasnya lagi, penulis berharap
amal dan perbuatan yang kita kerjakan sesuai dengan ajaran Rasul.
Mudah-mudahan dengan penbahasan sekilas ini dapat menambah wawasan penulis khususnya
dan pembaca umumnya.

B.     Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Wahdatul Wujud?
2. Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud?
3. Bagaimana Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul Wujud?
4. Apa Dasar Hukum Wahdatul Wujud?
5. Apa Pengertian Ittihad?
6. Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad?
7. Apa Pengertian Hulul?
8. Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul?
9. Apa Dasar Hukum Hulul?
C.    Tujuan Makalah
1. Mengetahui Pengertian Wahdatul Wujud.
2. Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud.
3. Mengetahui Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul Wujud
4. Mengetahui Dasar Hukum Wahdatul Wujud.
5. Mengetahui Pengertian Ittihad.
6. Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad
7. Mengetahui Pengertian Hulul.
8. Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul.
9. Mengetahui Dasar Hukum Hulul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Wahdatul Wujud
1.         Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri,
tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud
memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-
macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya
tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh
para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin,
antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu
paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun
Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat
al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq
(Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut
khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq.1[8])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud


a.         Muhy Al-Din Ibnu Arabi
Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu Arabi belajar di Seville,
kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi.
Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia
menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau
yang terkenal adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah”
(pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku
terkenal lainnya berjudul “Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat).

1 [8]) Hamka , Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 45
Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak
wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat
dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana
dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi
berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau
jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada
Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”

b.      Syekh Siti Jenar


Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang.
Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam
dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di masyarakat terdapat
banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya
sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian
yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan
esensi Islam itu sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya
meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar
mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek
sufi beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang
ditentukan oleh Walisongo.2[9])

3.      Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut paham wahdatul wujud
a.         Konsep manusia yang sehat
Manusia adalah hamba Tuhan karena Tuhan telah berilusinasi secara dzatiyah pada manusia
sehingga manusia adalah dzat Tuhan, karena kejadiannya yang demikian itu ia disebut insan
kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga
hanya beberapa aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang
memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan serta bersama

2 [9]) Jamil HM. Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: Gaung Persada,
2004, hlm 103
Tuhan, artinya ia telah diberi suatu kemampuan yang sama dengan Tuhan, sehingga seluruh
perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep diatas, jika dijalankan oleh manusia, maka dapat
dikatakan bahwa manusia itu telah sehat.
b.      Konsep manusia yang sakit
Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud ini adalah manusia
yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar
Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya.
Kesadaran manusia bahwa ada wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya
bahkan mengingkari akal sehatnya.

4.      Dasar hukum Wahdatul wujud


Ajaran wahdatul wujud memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya
sebagai berikut:

ِ َ‫ض َوأَ ْسبَ َغ َعلَ ْي ُك ْم نِ َع َمهُ ظَا ِه َرةً َوب‬


ً‫اطنَة‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي األر‬
ِ ‫اوا‬ َ ‫أَلَ ْم ت ََروْ ا أَ َّن هَّللا َ َس َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال َّس َم‬
‫ير‬
ٍ ِ‫ب ُمن‬ ٍ ‫اس َم ْن ي َُجا ِد ُل ِفي هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َوال هُدًى َوال ِكتَا‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan
apa yang di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan
batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan” (Q.S Luqman: 20)

ُّ ِ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَ ْنتُ ُم ْالفُقَ َرا ُء إِلَى هَّللا ِ َوهَّللا ُ هُ َو ْال َغن‬
‫ي ْال َح ِمي ُد‬
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S Surat Fathir :15)3[10])
B.     Ittihad
1.         Pengertian Ittihad
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani
(fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seseorang
harus melalui beberapa tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan
peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu

3 [10])Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1997, hlm. 86
menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa).
Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan
Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia
tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu
sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan
untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap
dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihad itu adalah pemberian Tuhan kepada
seorang sufi. Sekarang jika memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu
adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi
dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa
sebagaimana dikemukakan di atas.4[11])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad


Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.
Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian
Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah.
Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut
Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur'an
dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu
tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi, sehingga tidak diragikan
bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luarbiasa.

4 [11]) Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: Pelita,1969.
hlm. 87
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah
seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah.
Menurutnya hal ini dapat  ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud
terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam
tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-
apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf
yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang
oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang
kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang
sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang
telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari
mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui
diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu
Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran, ittihad
dipandang sebagai penyelewengan, namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini
dipandang sebagai kekufuran
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini.
Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai
tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada
tahun 1313 M didirikan diatasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol,
Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari
Bustham.5[12])

C.    Hulul
1.      Pengertian Hulul

5[12]) Ibid., hlm. 90


Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari kata halla-yahlu-hululan yang
berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa
berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-
Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip  Harun Nasution,
adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
a.       Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain
(tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
b.      Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain)
sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah
disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka
mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan
hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan
hidup kebatinan.6[6])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul


Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul
adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H.
(858 M.) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak  di Persia. Dia tinggal sampai
dewasa di Wasith dekat dengan Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada
seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk
kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga
menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas
bahwa ia memiliki dasar pengetahua tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.

6 [6]) M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf,  Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan
ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang ganjil sebagaimana telah dikemukakan
menyebabkan seorang ulama fikih bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk
membantah dan memberantas paham tasawuf al-Hallaj.

3.      Dasar hukum hulul


Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai
berikut:

َ‫يس أَبَى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْال َكافِ ِرين‬
َ ِ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َماَل ئِ َك ِة ا ْس ُج ُدوا آِل َ َد َم فَ َس َج ُدوا إِاَّل إِ ْبل‬

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam,
maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 34)7[7])

BAB III
PENUTUP

7 [7]) Asmara AS, Pengantar Studi Tasawuf,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 120
A.    Kesimpulan
Wahdatul wujud digunakan oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara
makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah
Qadim dan berasal dari Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya adalah Muhy
Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani
(fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh Yang
Mengembangkan Paham Ittihad adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.
Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858
M.)

B.     Saran
Sudah seharusnya seorang muslim mendekatkan diri kepada Alloh. Namun yang tidak kalah
penting dari itu hendaknya amalan amalan yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada
sang pencipta haruslah yang sesuai dengan al Qur’an dan hadits. Karena kunci dalam beribadah
hanyalah ikhlas dan ittiba’ Rosul.

Anda mungkin juga menyukai