MAKALAH TASAWUF Wahdatul Wujud Ittihad D
MAKALAH TASAWUF Wahdatul Wujud Ittihad D
MADRASAH DINIYAH
PONDOK PESANTREN DURROTU AHLISSUNNAH
WALJAMAAH, SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1 [8]) Hamka , Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 45
Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak
wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat
dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana
dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi
berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau
jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada
Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”
3. Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut paham wahdatul wujud
a. Konsep manusia yang sehat
Manusia adalah hamba Tuhan karena Tuhan telah berilusinasi secara dzatiyah pada manusia
sehingga manusia adalah dzat Tuhan, karena kejadiannya yang demikian itu ia disebut insan
kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga
hanya beberapa aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang
memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan serta bersama
2 [9]) Jamil HM. Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: Gaung Persada,
2004, hlm 103
Tuhan, artinya ia telah diberi suatu kemampuan yang sama dengan Tuhan, sehingga seluruh
perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep diatas, jika dijalankan oleh manusia, maka dapat
dikatakan bahwa manusia itu telah sehat.
b. Konsep manusia yang sakit
Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud ini adalah manusia
yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar
Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya.
Kesadaran manusia bahwa ada wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya
bahkan mengingkari akal sehatnya.
ُّ ِيَا أَيُّهَا النَّاسُ أَ ْنتُ ُم ْالفُقَ َرا ُء إِلَى هَّللا ِ َوهَّللا ُ هُ َو ْال َغن
ي ْال َح ِمي ُد
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S Surat Fathir :15)3[10])
B. Ittihad
1. Pengertian Ittihad
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani
(fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seseorang
harus melalui beberapa tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan
peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu
3 [10])Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1997, hlm. 86
menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa).
Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan
Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia
tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu
sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan
untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap
dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihad itu adalah pemberian Tuhan kepada
seorang sufi. Sekarang jika memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu
adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi
dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa
sebagaimana dikemukakan di atas.4[11])
4 [11]) Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: Pelita,1969.
hlm. 87
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah
seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah.
Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud
terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam
tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-
apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf
yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang
oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang
kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang
sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang
telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari
mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui
diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu
Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran, ittihad
dipandang sebagai penyelewengan, namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini
dipandang sebagai kekufuran
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini.
Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai
tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada
tahun 1313 M didirikan diatasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol,
Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari
Bustham.5[12])
C. Hulul
1. Pengertian Hulul
6 [6]) M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan
ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang ganjil sebagaimana telah dikemukakan
menyebabkan seorang ulama fikih bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk
membantah dan memberantas paham tasawuf al-Hallaj.
َيس أَبَى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْال َكافِ ِرين
َ َِوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َماَل ئِ َك ِة ا ْس ُج ُدوا آِل َ َد َم فَ َس َج ُدوا إِاَّل إِ ْبل
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam,
maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 34)7[7])
BAB III
PENUTUP
7 [7]) Asmara AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 120
A. Kesimpulan
Wahdatul wujud digunakan oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara
makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah
Qadim dan berasal dari Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya adalah Muhy
Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani
(fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh Yang
Mengembangkan Paham Ittihad adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.
Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858
M.)
B. Saran
Sudah seharusnya seorang muslim mendekatkan diri kepada Alloh. Namun yang tidak kalah
penting dari itu hendaknya amalan amalan yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada
sang pencipta haruslah yang sesuai dengan al Qur’an dan hadits. Karena kunci dalam beribadah
hanyalah ikhlas dan ittiba’ Rosul.