Anda di halaman 1dari 29

Materi

INTI 1 Tehnik konseling

DESKRIPSI SINGKAT

Odha yang akan mengikuti terapi ARV memiliki perilaku dan kebiasaan yang berbeda dan Terapi
ARV memungkinkan mereka hidup dalam kehidupan yang lebih berkualitas dan produktif
disebabkan kepatuhan yang tepat membuat Odha tidak akan masuk kedalam fase AIDS lebih
cepat. Banyak orang berpikir bahwa membuat perubahan hanya masalah membuat keputusan,
tapi jika hal ini semudah itu mengapa rumah sakit penuh orang yang mempunyai gaya hidup
yang tidak sehat yang telah membuat mereka sakit, Kenyataannya adalah, membuat perubahan
yang terarah dan bertujuan merupakan hal yang sukar.
Sikap petugas dalam menghadapi Odha ketika mereka akan memulai terapi ARV sangat
mempengaruhi pola berfikir dan penerimaan akan penyakitnya dan pentingnya ARV untuk
hidup yang lebih berkualitas.
Dalam proses nya Odha harus melalui 4 tahapan ketika akan memulai terapi ARV sehingga
Odha dengan mandiri akan paham dan bertanggung jawab dalam proses terapi yang harus
dijalani seumur hidup.
URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1
Sikap Petugas dalam konseling adhrence

a. Tata Nilai
Kita semua dipengaruhi oleh sikap, tata nilai dan keyakinan yang
berkembang di masyarakat dan budaya tempat kita hidup.
Masyarakat dan budaya memberikan kontribusi pada
perkembangan sikap, tata nilai dan keyakinan pribadi. Bingkai
sikap, tata nilai dan kepercayaan merupakan pedoman perilaku
kita dari hari ke hari, mempengaruhi interpretasi, pengungkapan
dan respon kita terhadap setiap peristiwa, secara spesifik terikat
budaya setempat dan bervariasi pada setiap wilayah, negara,
dan kelompok.
Petugas membutuhkan pengembangan kesadaran diri akan
sikap, tata nilai, dan kepercayaan yang dianut. Petugas perlu
mempertimbangkan dan menilai kembali sikap, tatanilai dan
keyakinannya yang mungkin berdampak padahidupnya dan
secara khusus terkait dalam melaksanakan pekerjaan sebagai
petugas. Petugas membutuhkan pemahaman dalam merespon
perbedaan opini ketika berhadapan dengan pasien yang
mempunyai perbedaan opini dengan dirinya. Petugas mungkin
saja akan bekerja dengan mereka yang berbeda latar belakang
suku, budaya dan kepercayaan. Petugas membutuhkan
pengenalan dan penerimaan akan setiap perbedaan sikap, tata
nilai dan keyakinan yang berbeda dari pasien.
Kesulitan dan konflik yang terkait dengan sikap, tata nilai dan
keyakinan antara pasien dan petugas perlu didiskusikan atau
dikonsultasikan kepada supervisor atau petugas yang lebih
berpengalaman atau teman seprofesi petugas lainnya.
6
Page
Respon emosi dan perilaku seseorang terhadap suatu situasi
dipengaruhi oleh persepsinya terhadap situasi tersebut. Pikiran
kita terkondisi dari keadaan sosial dan perilaku kita. Pikiran dan
keyakinan kita dibangun dalam suatu kurun waktu dan
dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, budaya, agama, pola
asuh dan kawan sebaya.

Pada proses ini akan diterapkan konsep dan cara pandang yang
dapat disesuaikan dalam situasi konseling sehingga
memunculkan respon yang sesuai. Petugas dapat menerapkan
pada diri sendiri atau petugas mencoba melihat cara pandang
dua orang yang memiliki cara pandang berbeda. Satu obat yang
sama, dapat dimaknai berbeda. Satu orang memandang obat
sebagai bentuk program pencegahan AIDS yang efektif dan Satu
orang lagi memandang obat sebagai racun yang menggerogoti
tubuh, Akibatnya terjadi perbedaan, satu orang memandang
positif dan orang lain memandang negatif. Meskipun obat yang
dilihat ke dua orang itu adalah obat yang sama, namun pikiran
individu yang melihatnya berbeda.

Teori ini merupakan cara pikir cognitive behavioural therapy


(CBT). Kita dapat mengubah respon emosi dan perilaku kita
terhadap suatu situasi, orang maupun kejadian dengan cara
mengubah atau menantang pikiran kita. Pada dasarnya bukan
mengubah sistem tatanilai inti tetapi lebih memodifikasi
intensitas respon.

Maka sikap petugas dalam mengahadapi kondisi emosi dan fisik


pasien akan sangat membantu dalam menyelesaikan masalah
ataupun keraguan dalam menjalani proses pengobatan ARV
seumur hidup .
7
Page
b. Mikro Konseling
Keterampilan mikro konseling adalah komponen komunikasi
efektif yang penting dalam rangka mengembangkan relasi saling
mendukung antara pasien-petugas. Setiap petugas perlu
memiliki dan mengembangkan keterampilan mikro dalam
konseling.
Keterampilan dasar konseling terdiri dari:
a) Mendengar aktif
b) Megajukan pertanyaan
c) Menciptakan suasana hening dan nyaman
d) Perilaku non verbal
Mendengar Aktif
Faktor penting yang menjadi dasar dari keterampilan mendengar
aktif adalah Empati.
Empati adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
petugas yang memungkinkan dirinya untuk memahami pasien.
Sikap empati dikembangkan dalam rangka membina hubungan
baik dengan pasien, memfasilitasi rasa aman dan rasa percaya
kepada petugas serta lingkungannya. Empati disampaikan dengan
menggunakan keterampilan mendengarkan.
Mendengar Aktif terdiri dari
Bagaimana petugas melakukan kontak mata dengan
pasien untuk menunjukkan sikap menghargai kepada
pasien, termasuk pertimbangan budaya.
8
Page
Bagaimana petugas memberikan perhatian dengan
anggukan kepala.
 Bagaimana petugas menanggapi proses dengan satu-dua
kata yang menunjukkan penerimaan lanjutan. Misalnya
dengan, ‘Hmm... Baik... Oke’
Bagaimana petugas fokus dengan pasien selama proses
konseling. Petugas tidak perlu melakukan kegiatan lain
seperti menerima telepon, memainkan ballpoint atau
merapikan rambut terus menerus.
Bagaimana petugas mengatur proses konseling tanpa
melakukan interupsi.
Bagaimana petugas tidak mengambil alih pembicaraan
dan menceritakan tentang dirinya sendiri.
Bagaimana petugas menerapkan teknik bertanya,
parafrasing, refleksi perasaan, klarifikasi ataupun
merangkum dengan tepat tanpa menyudutkan pasien.

Mengajukan Pertanyaan
Keterampilan mengajukan pertanyaan adalah bagian penting
dalam konseling. Hal ini dapat membantu petugas mengerti
situasi pasien dan menilai kondisi klinis terkait. Ketika bertanya,
lakukan hal-hal berikut:
1.Tanyakan hanya satu pertanyaan pada satu waktu
9
Page
2. Pandanglah wajah pasien
3. Ajukan pertanyaan secara singkat dan jelas
4.Gunakan pertanyaan yang bertujuan
5.Gunakan pertanyaan yang dapat membantu pasien
berbicara tentang perasaan dan perilakunya

Menciptakan suasana hening dan nyaman

Alasan pentingnya menciptakan suasana hening dan nyaman


yaitu:
Memberi waktu pada pasien untuk berpikir tentang apa yang
akan dikatakan
Memberi kesempatan kepada pasien untuk dapat merasakan
perasaannya sendiri. Memberi waktu pada pasien untuk
mengatasi kebimbangan atas pilihan
Memberi kebebasan pada pasien untuk memilih melanjutkan
atau menghentikan proses konseling

Perilaku non-verbal
Sebagian besar komunikasi dilakukan secara non verbal. Petugas
perlu sadar akan apa yang dikomunikasikannya kepada pasien
melalui perilaku non verbal. Ingat, cara mengatakan lebih
bermakna dari pada apa yang dikatakan.
10
Page
PERILAKU NON VERBAL

BAHASA TUBUH PARALINGUISTIK


 Postur tubuh  Hembusan nafas
 Gerakan tubuh  Bersungut-sungut
 Ekspresi wajah  Perubahan tinggi
 Orientasi tubuh nada
 Kedekatan tubuh/jarak  Perubahan keras
 Kontak mata suara
 Menjadi cermin (mirroring)  Kelancaran suara
 Menghilangkan  Senyum terpaksa
jarak/pembatas
11
Page
OARS
merupakan ketrampilan yang dapat digunakan oleh petugas
untuk membantu pasien berpindah untuk melalui
tahapan/proses perubahan.
Open-ended questions
Affirmation
Reflective listening
Summarising

Beberapa contoh teknik dalam konseling

Refleksi Pikiran : “Menurut pendapat anda, apakah minum ARV


pilihan terbaik bagi Odha?'
Refleksi Perasaan : “Anda ragu akan kegunaan dari minum ARV”.
Paraphasing : “Anda akan minum arv saat ini karena anda tahu
ARV penting untuk anda“

c. Pemecahan Masalah
Petugas membantu pasien mengenali masalah
yaitu dengan:
1) Membantu pasien mengenali sumber-sumber
yang mereka miliki untuk mengatasi masalahnya.
2) Memfasilitasi mereka sebuah metode sistematis
untuk menghadapi atau mengurangi dampak
masalahnya sekarang.
12
Page
3) Meningkatkan kemampuan mereka dalam
mengendalikan masalah.
4) Memberikan mereka cara mengatasi masalah
dengan metode pemecahan masalah.

langkah-langkah pemecahan masalah:


1) Gambaran masalah. Petugas membantu
menggambarkan masalah dan tujuan pasien.
Menentukan gambaran masalah paling prioritas dan
berpikir fokus pada isu yang dihadapi.
2) Pilihan untuk curah pendapat. Curah pendapat
merupakan cara pasien mengemukakan sebanyak
mungkin pilihan pemecahan masalah. Pasien kemudian
memikirkan sejumlah ide dan potensi pilihan yang
dapat dilakukan. Tidak ada pilihan yang diabaikan pada
tahap ini. Semua pilihan digali dari pasien dan pasien
diminta mempertimbangkan keuntungan dan
kerugiannya.
3) Evaluasi kritis terhadap pilihan-pilihan melalui “self
talk”: Evaluasi kritis terhadap pilihan dapat dilanjutkan
petugas dengan memfasilitasi pasien untuk fokus pada
masalah utama/prioritas terlebih dahulu untuk
13

diselesaikan. Pilihan terbaik yang diputuskan pasien


Page
harus melalui proses pertimbangan untung dan rugi dari
setiap pilihan terlebih dahulu.
Self Talk merujuk pada percakapan internal dengan diri
sendiri, yang berpengaruh pada bagaimana kita merasa
dan berperilaku.
Sebagai contoh, suatu pagi anda terjebak dalam
kemacetan saat terburu-buru pergi bekerja. Self-talk
anda pesimistik dan anda mungkin berpikir, “Seluruh
hari saya berantakan. Jika saya tidak pergi kerja tepat
waktu, saya tidak akan pernah mendengar informasi
yang lengkap. Akhirnya, bos saya akan berpikir bahwa
saya bukan pekerja yang baik dan pasti akan
mengabaikan saya untuk promosi yang telah saya
tunggu sepanjang tahun. Kemudian anda akan memulai
hari anda dalam suasana hati yang buruk dan merasa
tidak termotivasi, bahwa tidak ada gunanya bekerja
keras karena tidak akan dipromosi.
Di sisi lain, anda dapat mempunyai self-talk yang lebih
positif dan berpikir, "Saya hanya terlambat tidak lebih
dari 20 menit. Saya kira saya dapat makan siang dengan
cepat dan tidak usah membeli keluar. Jika saya dapat
menyelesaikan laporan saya sebelum akhir hari dan
dapat meyakinkan bahwa tidak ada kesalahan, saya
14

mungkin tetap mempunyai kesempatan untuk promosi


Page

tersebut." Self talk adalah evaluasi mental/penilaian


terhadap perilaku dan kinerja kita. Dengan kata lain
adalah suatu percakapan yang terjadi dalam pikiran kita
setelah kita melakukan sesuatu.
4) Setelah pasien memutuskan pilihan terbaik yang paling
sanggup ia jalani, maka petugas mengajak pasien
membuat rencana strategi pelaksanaan (5W = What,
When, Who, Where, Why; 1H = How) sampai pasien
percaya diri untuk bertindak. Bila masih cukup waktu,
ajak pasien untuk menyelesaikan masalah prioritas ke
dua, ke tiga dan seterusnya. Bila tidak cukup waktu
maka agendakan pertemuan kedua. Jadwalkan dengan
pasien kapan akan bertemu lagi dan minta pasien
menentukan masalah penting yang mana yang akan
diselesaikan. Prinsip client-centered harus dipakai
sepanjang proses.
5) Menentukan pilihan pasien. Pasien diminta mengulang
kembali informasi yang telah diberikan pada langkah
sebelumnya dan menentukan pilihan. Pengambil
keputusan adalah pasien, bukan petugas.
6) Membuat rencana tindak lanjut. Rencana tindak lanjut
secara rinci akan memudahkan langkah menghadapi
masalah. Walaupun solusi yang telah disepakati sangat
15

baik, solusi itu tidak akan bermanfaat jika tidak


Page

dilaksanakan. Kebanyakan orang gagal dalam


melaksanakan sebuah solusi karena kurangnya
perencanaan. Petugas harus memastikan pasien
terbantu mengembangkan rencana tindak lanjut yang
dapat dilaksanakan.
7) Fasilitasi pengembangan keterampilan dan strategi.
Petugas perlu memastikan pasien mempunyai
ketrampilan yang dibutuhkan, misal menggunakan
keterampilan komunikasi. Petugas dapat melakukan
role play (bermain peran) bersama pasien memerankan
apa yang harus dilakukannya pada pasangan. Langkah
demi langkah pasien dilatih keterampilannya, sehingga
pasien percaya diri melakukan sesungguhnya. Misal
petugas bertindak sebagai pasangan pasien, pasien
bertindak atas dirinya sendiri, menerapkan
pengungkapan diri dan mengantisipasi respon
pasangan.
16
Page
Pokok Bahasan 2.
Tahapan Konseling adherence

Adherence adalah kemampuan pasien secara mandiri dalam


melakukan pengobatan sesuai petunjuk medik. Artinya dosis,
waktu dan cara pemberian tepat. Pengobatan yang harus
dilakukan untuk jangka panjang adalah hal yang biasa pada
setiap penyakit kronis, termasuk HIV AIDS. Pengobatan
terpenting adalah pemberian ARV, profilaksi atau pengobatan
untuk infeksi oportunistik. Pengobatan yang bermacam-macam
menghasilkan suatu rejimen kompleks yang harus diikuti oleh
pasien. Misalnya, pengobatan ARV diberikan dalam bentuk
kombinasi dua atau lebih jenis ARV. Bagi pasien, ketidak patuhan
berobat mengakibatkan kegagalan pengobatan yang
menyebabkan resistensi dan terjadi kegagalan imunologik
sehingga keadaan klinis memburuk. Bila terjadi resistensi
terhadap pengobatan maka pengobatan menjadi tidak efektif
atau berhenti bekerja sehingga diperlukan upaya baru untuk
melawan infeksi dengan obat lain atau obat yang sama dengan
dosis berbeda atau kombinasi, sementara persediaan jenis obat
terbatas. Disamping itu mereka yang resisten akan sulit untuk
diobati. Dari sudut pandang ekonomi kesehatan, ketidak patuhan
berobat meningkatkan biaya berobat dengan mahalnya harga
obat pengganti dan lamanya perawatan di rumah sakit.
Peningkatan kepatuhan berobat akan memberi dampak besar
bagi kesehatan masyarakat. Laporan WHO mengatakan akan
mudah dan murah melakukan intervensi kepatuhan berobat
secara konsisten dan hasilnya sangat efektif. Dalam terapi
antiretroviral, kepatuhan berobat merupakan kunci sukses suatu
pengobatan.

WHO merekomendasikan kepatuhan berobat dipromosikan


sebagai penyederhanaan rejimen, sesedikit mungkin jumlah
17

obat, diberikan tidak lebih dari dua kali sehari. Konseling lanjutan
Page
dan strategi konseling merupakan alat untuk dapat
meningkatkan kepatuhan pada rejimen pengobatan.

Faktor keberhasilan bagi kepatuhan berobat meliputi: tindak


lanjut, karakteristik hubungan antara petugas kesehatan dan
pasien, pendidikan dalam manajemen diri sendiri, program
manajemen farmasi, perawat, apoteker/asisten apoteker dan
petugas kesehatan profesional non medik lainnya membuat
protokol intervensi, konseling, intervensi perilaku, dan tindak
lanjut.
a. Karakteristik hubungan antara petugas kesehatan dan
pasien
1) Bina hubungan secara umum
2) Kualitas informasi yang disampaikan
3) Keterampilan bahasa dan komunikasi
4) Cara mendengarkan
5) Waktu konsultasi
6) Setting klinik
7) Cara bertukar informasi, misalnya tanya jawab
8) Sikap pasien dan petugas kesehatan, petugas
kesehatan sering membuat pasien merasa rendah diri
sehingga pasien merasa dikendalikan
b. Edukasi Pasien
Ketika dokter menulis resep, penting diingat bahwa pasien harus
memahami:
1) Jenis pengobatan
2) Manfaat obat
3) Lamanya pengobatan
4) Efek samping yang mungkin terjadi–banyak pasien berhenti
minum obat karena menderita efek samping yang
sebelumnya tidak diantisipasi
5) Bagaimana cara minum obat yang benar
6) Konsultasi rutin
18

Medikasi yang benar– mereka mengambil medikasi yang


Page

cocok untuk penyakitnya. Ketika mereka mencampur


obatnya dalam satu wadah atau kemasan untuk pagi, dan
malam misalnya, mereka harus paham betul nama obat,
warna dan bentuk, dosis, agar tak terjadi kebingungan.

Cara yang benar–bahwa obat betul masuk tubuh sesuai


anjuran, yakni dengan cara ditelan, atau dikunyah,
dihisap, dioles di kulit, disuntikkan dan sebagainya.
Beberapa medikasi harus masuk pada saat lambung
kosong, artinya 30 menit sebelum

makan atau 1 jam sesudah makan. Ada obat yang


harus dimakan bersama makanan, artinya bersamaan
dengan makan atau makanan kecil.
Jumlah yang benar – dosis yang ditelan harus tepat,
jangan melebihi aturan, atau kurang dari aturannya.
Ada pendapat salah mengatakan makin banyak
diminum cepat sembuh, atau untuk menghemat obat
maka dimakan sedikit kurang dari ketentuan dosis.
Waktu yang tepat– mereka harus minum obat pada
jam yang ditentukan, misalnya setiap empat jam.
Lebih baik jika dituliskan waktu minum obat agar
tidak membingungkan misalnya pukul 08.00, 12.00,
16.00 atau 20.00

c. Strategi Perilaku
Beberapa saran untuk membantu mengatur pengobatan adalah
sebagai berikut :
1) Membuat jadual pengobatan. Gunakan kalender atau buku
harian untuk membantu penggunaan obat sesuai aturan
seperti kapan diminum dan bagaimana caranya. Misalnya
19

mulai minggu pertama tulis dosis lalu beri tanda pada


kalendar kalau hari itu obat sudah diminum.
Page
2) Bagi obat dalam jumlah harian atau mingguan. Dapat juga
dimasukkan dalam wadah kemudian diberi label. Petugas
kesehatan dapat membantu pada awalnya.
3) Minumlah obat pada jam yang sama setiap hari (sesuaikan
dengan petunjuk)
4) Minum obat dimasukkan dalam jadual rutin harian pasien
seperti sesudah makan atau akan pergi kerja atau pulang
kerja (sesuaikan dengan petunjuk)
5) Rencanakan kapan membeli obat lagi, sehingga persediaan
tak sampai kosong dan dosis terlewati.
6) Jika bepergian, jangan lupa bawa obat dan bawa cadangan
juga untuk menjaga bila hilang.
7) Minum obat dijadikan prioritas setiap hari.
8) Membangun keterampilan dan mendorongnya untuk minum
obat lebih teratur, menggunakan alat bantu manajemen diri
sendiri. Buat pasien merasa senang dan sebagai individu
tampil beda. Gunakan dukungan sosial, konseling, kunjungan
rumah dan mintalah bantuan anggota keluarga.

Alur pasien di layanan rumah sakit:

Alur pelayanan pasien dibagi menjadi 2 yaitu untuk


pasien baru dan pasien lama. Pemberian konseling pada
pasien lama dan baru mempunyai tujuan yang berbeda,
dimana pada pasien baru akan dilakukan hal sebagai
berikut:
1. Testing HIV
2. Pemeriksaan klinis untuk mencari infeksi
oportunistik, pemberian kotrimoksasol
profilaksis dan penentuan stadium
3. Konseling kepatuhan
4. Peresepan ARV
Pada pasien lama atau pasien yang telah mendapatkan ARV,
pada setiap kunjungan dilakukan:
20

1. Pengkajian cara pasien minum obat dan


memastikan obat yang diberikan
Page

diminum
2. Evaluasi efek samping
3. Pemeriksaan fisik oleh dokter untuk
memastikan tidak lagi dijumpai infeksi
oportunistik
4. Bantuan psikologis atau sosial lainnya jika
dibutuhkan dan rumah sakit mempunyai sarana
dan jaringan kerja
5. Evaluasi penyebab drop out pada pasien lama
yang drop out atau putus obat

Keterlibatan KDS sesama Odha pada konseling, dapat


dipertimbangkan pada pasien lama yang mengalami putus obat,
keterlibatan tersebut dapat berupa bantuan evaluasi aspek non
medis yang tidak dapat dijangkau oleh petugas kesehatan, misal
untuk mendapatkan informasi apakah pasien masih sering
menggunakan napza.

Melihat semua tantangan diatas, maka pemberian konseling


Adherence dilakukan dalam beberapa tahap agar pasien atau
keluarga pasien mengerti rencana pengobatan, mengambil
keputusan dengan sadar untuk memulai pengobatan dan dapat
membantu tenaga kesehatan untuk patuh minum obat untuk
seumur hidup

Posisi petugas kepatuhan dalam hal ini adalah berada pada tahap
akhir sebelum pasien mendapatkan resep dan obat ARV. Jika kita
melihat pada alur layanan diatas, pasien bisa diasumsikan telah
melewati banyak tahap yaitu
1. Evaluasi perilaku dan konseling oleh petugas
2. Pemberian informasi HIV, pencegahan dan konseling
oleh petugas
3. Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh
team medis
21
Page
4. Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita,
pengobatan dan pemberian kotrimoksasol untuk
profilaksis oleh dokter
5. Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat
6. Penjelasan singkat oleh dokter untuk semua hal yang
berkaitan dengan rencana pemberian ARV termasuk
didalamnya penentuan rejimen, evaluasi interaksi obat,
penjelasan efek samping dan cara minum obat

Konseling kepatuhan di lakukan sebagai tahap akhir sebelum


pasien mendapatkan resep dan obat ARV, dengan penekanan
untuk evaluasi non medis yang akan berdampak terhadap
kepatuhan. Pada posisi ini, petugas tetap melakukan evaluasi
singkat! dengan melakukan assesmen untuk kondisi kejiwaan,
personality dan Napza, evaluasi tersebut HANYA untuk
memastikan bahwa pasien secara mental tidak sedang dalam
kondisi depresi, cemas, Napza. Jika ditemukan maka petugas
harus merujuk kembali kepada team yang berkompetensi untuk
menanggulangi hal ini dan tidak diijinkan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut.

Jika pasien mempunyai keluarga dan diterima oleh keluarga,


pada tahap ini petugas harus mempersiapkan keluarga untuk
membantu minum obat. Jika pasien tidak mempunyai keluarga
atau ditolak, petugas harus mampu melihat jejaring yang
tersedia di tempat petugas bekerja dan menghubungkan pasien
dengan jejaring tersebut untuk membantu minum obat dalam
satu periode tertentu dan batasan yang bisa dilakukan oleh
jejaring. Sangat tidak mungkin sebuah jejaring mendampingi
pasien selamanya. Tahapan dan kegiatan yang dilakukan dalam
pemberian konseling kepatuhan adalah
22
Page
Tahap pertama
Pada pertemuan pertama petugas melakukan kegiatan sbb
1. Pengkajian di catatan medis untuk melihat apa saja tindakan
yang telah diberikan dan melihat rencana dokter untuk
memberikan ARV
2. Melakukan pengkajian singkat dan cepat untuk kondisi
mental, personaliti dan kemungkinan pasien masih
menggunakan Napza
3. Mengkaji pengertian dan persepsi pasien tentang penyakit
yang diderita dan informasi yang pernah diterima dari team
lain
4. Mengkaji persepsi keluarga tentang kondisi yang diderita
oleh pasien. Jika keluarga pasien terlihat keberatan untuk
merawat, dilakukan konseling untuk merubah persepsi pihak
keluarga dan persiapan untuk melihat jejaring mana yang
dapat diperkenalkan kepada pihak pasien dan keluarga jika
selama sesi keluarga masih keberatan untuk membantu
pasien.
5. Tidak mengulangi semua rangkaian proses agar pasien tidak
bosan
6. Meyakinkan pasien untuk aspek konfidensialitas tidak akan
keluar dari system pelayanan kesehatan.

Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, personality dilakukan


dengan cara: anamnesa sederhana, atau menggunakan STATUS
MINI MENTAL (Mini Mental State). Gangguan jiwa yang diderita
bisa disebabkan karena efek Napza (Narkotika, Alkohol,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), karena penyakit infeksi
oportunistik dan karena beban mental yang disebabkan oleh
status HIV yang disandang

Gangguan jiwa yang sering terjadi dan perlu dianalisa adalah:


1. Anxietas, tampilan gejalanya adalah Perasaan tegang dan
tak nyaman yang sulit diterangkan karena tak dapat
23

diidentifikas , mungkin berkembang jadi “Serangan Panik


Page
2. Depresi, tampilan gejalanya adalah murung, rendah diri,
merasa tidak mampu, merasa tidak berharga, menyalahkan
diri sendiri, pesimistik, pola tidur abnormal dan sering
terbangun, sulit konsentrasi, bangun tidur pagi rasanya
malas
3. Gangguan afektif adalah gangguan suasana perasaan pada
pasien seperti depresi berat, kecemasan, rasa senang
berlebihan
4. Dual diagnosis yaitu didapat
a. gangguan jiwa diikuti penyalahgunaan zat
b. Penyalahgunaan zat dengan gejala sisa patologis
c. diagnosis primer yang dual
d. keadaan beberapa etiolgi sekaligus
5. Schizofrenia, tampilan gejalannya waham, pikiran kacau,
persepsi terganggu, emosi tidak serasi, gangguan persepsi
6. Paranoid, tampilan gejalanya adalah Mudah curiga,
meragukan kesetiaan orang lain, merasakan ada ancaman
tersembunyi dari pihal lain, sangat sensitif
7. Anti sosial, tampilan gejalanya adalah Suka melanggar
norma-norma sosial, suka berbohong, impulsif, agresif,
nekad, tidak bertanggung jawab, tidak menyesal
8. Obsesif kompulsif, tampilan gejalanya adalah: Selalu
memikirkan hal-hal yang rumit, aturan-aturan,
memperlihatkan sifat perfeksionistik untuk menyelesaikan
sesuatu
9. Gangguan Kepribadian/ personaliti yang terbagi menjadi
personaliti histrionik (datar, atensi emosional), personaliti
narsisitik (fantasi dan ide besar bahwa diri merasa penting),
Ambang (identitas, emosi dan relasi tidak stabil).

Hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan gangguan


jiwa adalah bahwa:
1. Gangguan jiwa yang terjadi harus dibedakan dengan
24

memang disebabkan karena faktor psikologis atau


Page
gangguan jiwa yang disebabkan karena penggunaan obat
psikotropika atau keduanya
2. Gangguan jiwa harus dibedakan dengan tanda gejala
putus obat (withdrawl syndrom)

Tujuan dari pengenalan gangguan jiwa ini adalah untuk dapat


membuat strategi guna membantu pasien minum obat, salah
satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan
keluarga atau orang yang dekat dengan pasien. Jika tidak
memiliki keluarga, maka pasien harus dirujuk untuk penanganan
gangguan jiwa.

Secara umum sulit untuk membedakan gangguan jiwa yang


timbul karena obat Napza dengan faktor psikologi karena
tampilan gejalanya sama. Jika pasien didapat masih aktif
menggunakan Napza, maka petugas merujuk kepada unit
psikiatri atau dokter yang telah terlatih untuk penanganan
Napza.
Selain gangguan jiwa, hal yang dapat mengganggu kepatuhan
ialah pengaruh Napza. Napza bisa menyebabkan gangguan
dalam kepatuhan dengan cara
1. Penggunaan dari beberapa jenis Napza jangka
panjang akan menyebabkan kerusakah otak dan
gangguan jiwa
2. Efek kecanduan, pada kondisi withdrawal, pasien
akan lebih mencari Napza daripada ARV

Napza secara garis besar dibagi menjadi 3 golongan yaitu :


1. Golongan depresan : Heroin, Zat Adiktif/obat-obat
penenang
2. Golongan stimulan : Cocain, derivat Amphetamin
(shabu, ekstasy),NPS
3. Golongan halusinogen : Alkohol, ganja, LSD, Kecubung,
25

jamur
Page
Narkotika, yaitu:
1. Opiat ; madat, candu, morfin, heroin
2. Canabis ; Ganja, hashis
3. coca ; kokain

Alkohol yaitu :
Minuman yang berasal dari peragian dan mengandung
ethanol, dalam jumlah tertentu akan menyebabkan mabuk dan
bila diminum dalam waktu relatif lama akan menyebabkan
kerusakan hati dan pada beberapa kondisi mengakibatkan
gangguan kepribadian.
Obat psikotropika terbagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Golongan Amphetamin : Ektasy (XTC), Inex, shabu
2. Golongan Obat tidur: Pil BK, Mogadon, Dll
3. Golongan Obat penenang/benzodiazepine: Lexotan,
Valium, Alprazolam ,dll

Zat Adiktif yaitu :


1. Inhaler (thiner, lem dll)
2. Nikotin (rokok)
3. Kafein (kopi, teh )

Dampak psikotropika dan Halusinogen yang tersering adalah


gangguan perilaku sampai dengan gangguan kepribadian atau
gangguan jiwa organik
Dampak narkotika yang tersering adalah infeksi Hepatitis C, HIV
dikarenakan sebagian besar pengguna, biasa menyuntikan
heroin secara bergantian dan tentu saja gannguan perilaku.

Beberapa cara pemakaian Napza yang lazim dilakukan pengguna


napza :
1. disuntik ; Heroin, shabu, penenang
2. dihisap : ganja/canabis, shabu, heroin
3. dihirup : Halusinogen (LSD), cocain
26

4. ditelan : obat tidur, obat penenang, LSD, ektasy


5. ditempelkan : stimulantia, analgetik kuat
Page

6. dimakan : jamur, bunga kecubung, pinang


Beberapa hal yang harus selalu diingat adanya interaksi dan efek
samping tumpang tindih antara ARV dan napza, seperti :
1. EVP meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri
2. NVP berisiko terjadinya hepatotoksisitas pada ODHA
dengan ko-infeksi HCV/HBV
3. Kenaikan konsentrasi zidovudine 40% bila diberi
bersama-sama dengan methadone
4. Penurunan didanosine 60% dengan penggunaan
bersama methadone
5. Penggunaan methadone dengan rifampisin menurunkan
kadar methadone 50%
6. NVP, EVP dapat mengakibatkan putus zat opiat yang
hebat pada beberapa kasus karena penurunan efek
methadone

Jika dalam kajian awal didapat data bahwa pasien masih dalam
kondisi psikotik, depresi, cemas, gangguan maladaptif maupun
gangguan kepribadian lainnya termasuk penggunaan napza aktif
maka pasien direncanakan untuk dirujuk kepada team yang
berkompetensi yang tersedia di tempat petugas bekerja.
Jika dalam kajian awal pasien tidak didapat gangguan jiwa dan
dievaluasi dapat melanjutkan ke tahap kedua maka pada akhir
sesi, petugas membuat jadwal untuk kunjungan berikut dan
memberikan gambaran apa yang akan dilakukan pada tahap
kedua.
27
Page
Tahap kedua
Pada pertemuan kedua, petugas melakukan kegiatan
1. Pengkajian lebih dalam tentang persepsi pasien
mengenai HIV, penularan dan cara pencegahan untuk
tidak menularkan kepada orang lain.
2. Menjelaskan rencana pemberian ARV yang telah
ditetapkan oleh dokter dan rencana pemeriksaan
laboratorium sehubungan dengan terapi ARV
3. Menjelaskan semua aspek yang berhubungan dengan
ARV termasuk didalamnya rejimen yang akan diberikan,
dosis, cara minum obat, interaksi dengan makanan,
logistic pasien jika hendak bepergian, efek samping yang
mungkin timbul dan tindakan yang harus diambil oleh
pasien/keluaga pasien jika timbul efek samping.
4. Analisa aspek sosial lain yang dapat menghambat
kepatuhan dalam minum obat dan solusinya jika
memungkinkan
5. Memberikan informasi tentang IMS, TB paru, hepatitis B
dan C dan infeksi oportunistik lainnya.

Tahap ke tiga
Pada pertemuan ketiga, petugas meminta pasien dan keluarga
pasien untuk mengulang apa yang sudah didapat pada
pertemuan pertama dan kedua. Jika sudah benar, maka tahap
berikutnya adalah memberikan kesempatan untuk bertanya
tentang sehubungan dengan penyakit dan rencana pengobatan.
Informasi dasar mengenai risiko penularan HIV dapat diajarkan
pada
28
Page
pertemuan ini untuk mengurangi ketakutan dari keluarga pasien
untuk tertular HIV.
Petugas pada pertemuan ketiga ini, jika pada pertemuan
pertama dan kedua berhasil menggali informasi, mendapatkan
kepercayaan, pasien mau terbuka, akan bisa menentukan apakah
pasien akan direkomendasikan untuk mendapatkan ARV atau
tidak.

Tahap ke 4
Pada pertemuan terakhir, petugas kembali menjelaskan ulang
secara konfrehensif seluruh rencana pemberian ARV, efek
samping, cara minum obat dan evaluasi terakhir (jika memang ini
dianggap pertemuan terakhir) untuk semua aspek non medis
yang dapat menghambat kepatuhan dan yang dapat di atasi oleh
petugas dan sistem layanan yang ada di tempat petugas bekerja
baik layanan kesehatan maupun pelayanan sosial.

Petugas harus mengambil keputusan, apakah pasien memenuhi


syarat non medis untuk ARV. Jika memenuhi syarat, maka
petugas melaporkan secara verbal dan tertulis kepada dokter
agar ARV dapat diresepkan dan di berikan kepada pasien.

Jika tidak memenuhi syarat, petugas perlu melaporkan secara


verbal dan tertulis dengan informasi detail apa yang
menyebabkan pasien tidak memenuhi syarat disertai dengan
rekomondasi apa yang seharusnya dilakukan oleh tim dan
petugas termasuk bagian dari tim tersebut.
Pada kasus anak, terutama pada anak dibawah 12 tahun,
petugas melakukan kajian terhadap orang tua atau pengampu.
Aspek yang di kaji dan tahapan adalah sama seperti orang
dewasa yang akan mendapatkan ARV.
29
Page
Jika dalam kajian, petugas mendapatkan bukti bahwa orang tua
atau pengampu tidak dapat bertanggung jawab untuk adherence
pada anak maka hal ini harus dibawa kepada tim medis untuk
dirundingkan bersama dalam upaya mencari solusi yang tepat.
Meminta keluarga terdekat/pengampu/pendamping yang lain
dapat merupakan salah satu solusi.
Pada kasus ibu hamil yang akan mendapatkan ARV untuk tujuan
pengobatan, petugas juga memberikan dan melengkapi
informasi yang mungkin telah diberikan mengenai
• ASI dan PASI.
• Proses persalinan.
• Imunisasi pada anak.
• Pemberian ARV untuk profilaksis pada bayi.
• Pemberian kotrimoksasol.
• Rencana tindak lanjut sampai anak mencapai usia 18
bulan untuk dilakukan testing HIV.

Pada pasien yang rajin dan rutin mengambil dan minum obat,
harus diingatkan secara teratur oleh semua petugas kesehatan
untuk tetap patuh minum obat. Menyediakan waktu untuk
berkomunikasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan.

Pada pasien yang mengalami putus obat (drop out), konseling


kepatuhan harus dilakukan secara lebih teliti sebelum
diputuskan untuk memberikan ARV kembali. Pada kasus putus
obat, evaluasi dilakukan dengan metoda 5 A yaitu
1. Asses (mengkaji)
2. Advice (menyarankan)
3. Agree ( menyetujui)
4. Assist ( membantu)
5. Arrange (menata)
30
Page
Pada kasus putus obat, terutama jika pasien berasal dari
kelompok berisiko seperti penasun, jika pada daerah tersebut
ada kelompok sebaya, dan jika petugas mempertimbangkan
perlunya keterlibatan kelompok sebaya, untuk menggali
informasi lebih jauh sebelum dilakukan evaluasi dan diberikan
ARV kembali, petugas dapat meminta kelompok sebaya untuk
mengevaluasi pasien drop out. Hasil evaluasi, analisis dan
rekomendasi diberikan secara tertulis kepada petugas di
puskesmas/rumah sakit untuk menjadi bahan pertimbangan.

Evaluasi pada kasus putus obat, lebih ditekankan untuk melihat


1. Motivasi diri pasien
2. Masalah psikologi dan sosial
3. Menilai kemungkinan pasien kambuh dalam
penggunaan napza

Jika dalam evaluasi, petugas mendapatkan bukti bahwa pasien


belum dapat minum obat secara teratur dan terus menerus,
maka penundaan pemberian ARV untuk kedua kalinya dapat
dipertimbangkan dan direkomendasikan.
Jika ARV ditunda untuk diberikan, maka kotrimoksasol
diberikan kembali untuk tujuan profilaksis.
Pengobatan ARV yang diberikan mengacu kepada Pedoman
Terapi ARV Nasional Kementerian Kesehatan RI yang berlaku.

Informed Consent dalam konseling adherence Semua


pasien sebelum menjalani terapi ARV harus memberikan
persetujuan tertulisnya.
Aspek penting didalam persetujuan tertulis/penolakan
adalah sebagai berikut:
1. Pasien telah diberi penjelasan cukup tentang
keuntungan, risiko dan dampak sebagai akibat dari
pilihan dan persetujuan pasien.
31
Page
2. Pasien mempunyai kemampuan menerima
pengertian dan mampu menyatakan
persetujuan/menolak (secara intelektual dan
psikiatris).
3. Pasien tidak dalam paksaan untuk memberikan
persetujuan meski petugas memahami bahwa
mereka memang sangat memerlukan ART
4. Pasien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi
dirinya karena keterbatasan dalam memahami informasi
maka petugas harus bersikap jujur dan obyektif dalam
menyampaikan informasi sehingga pasien memahami
dengan benar dan dapat menyatakan persetujuannya.
32
Page
RANGKUMAN

Konseling adherence adalah hal penting yang harus dipahami


oleh petugas dalam mempersiapkan dan mendampingi Odha
menjalan terapi ARV. Dalam proses ini diharapkan petugas
kesehatan mampu melakukan 4 tahapan persiapan ARV dengan
tidak melupakan komunikasi terapeutik, tata nilai, sikap dan
mampu menggali masalah yang muncul dalam diri Odha yang
dapat menghambat kepatuhan nya dan membantu mereka
untuk selalu memiliki koping positif dalam setiap hambatan
yang muncul selama terapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manual for primary care providers: effectively caring


for active substance User
2. Delivering HIV care and Treatment for people who
use drugs
3. International Harm Reduction development
Program, Open society Institute
4. Sperry, L.dkk. 2nd.ed. Health Promotion and Health
Counseling. Effective Counseling and Buku Pedoman
TB-
HIV, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat
JendralPengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
5. Psychotherapeutic Strategies.Boston: Pearson
Education, Inc.28-29.
6. Buku Pedoman Nasional Terapi AntiRetroviral ,
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan
7. Buku Pedoman surveilens HIV/AIDS , Kementrian
33
34

Kesehatan RI, Direktorat JendralPengendalian


Page

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai