Anda di halaman 1dari 200

BIOMATERIAL-BOTANI

Implementasi Untuk Material Pertahanan

Implementasi Untuk Material Pertahanan


BIOMATERIAL-BOTANIl
Sovian Aritonang
Riyadi Juhana
PENGANTAR PENULIS

Rekayasa biomaterial untuk teknologi pertahanam merupakan salah


satu pilar utama dalam mendukung kemajuan dibidang teknologi
pertahanan Indonesia. Karena dukungan sumber daya alam yang
dimiliki Indonesia sangat berlimpah terutama sumber daya alam hayati
yaitu hutan yang terdiri botani (tumbuhan dan pohon) yang
keanekaragamannya sangat kaya. Ini dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan kemandirian kebutuhan material pada industri
pertahanan. Karena sampai saat ini kebutuhan material untuk industri
pertahanan masih didatangkan dari luar, terutama material untuk
memproduksi propelan, amunisi dan bahan peledak, yang bahan
dasarnya berupa bahan nabati yaitu selulosa dan resin yang berasal
dari tumbuhan atau pepohonan.

Buku Biomaterial-Botani, Implementasi Untuk Material


Pertahanan sebagai rujukan dan referensi mahasiswa yang akan
mendalami dan meneliti teknologi pertahanan khusus biomaterial untuk
industri pertahanan, untuk mengetahui berbagai material yang
dibutuhkan untuk memproduksi alat dan peralatan di bidang
pertahanan. Saat ini jumlah universitas atau perguruan tinggi yang
memiliki Fakultas Teknologi Pertahanan hanya satu perguruan tinggi
yaitu Universitas Pertahanan. Namun, kami melihat belum ada satu
buku yang mengupas dengan lengkap mengenai Biomaterial Untuk
Material Pertahanan yang mendukung industri pertahanan.

Walaupun disusun sebagai buku teks mahasiswa, buku ini juga


bermanfaat bagi para praktisi di industri yang ingin memahami tentang
perkembangan dan peluang untuk masuk sebagai pelaku industri
pertahanan.

i
ii

Tidak ada ilmu yang sempurna dan kesempurna hanya milik Nya.
Dalam buku ini, kami memahami bahwa akan banyak kekurangan
disana-sini untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
semua. Terima kasih.

Sentul-Bogor, Desember 2019

Sovian Aritonang
Riyadi Juhana
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................... iii
BAB 1 PENGANTAR MATRIAL BOTANI ........................................... 1
1.1 Hutan Indonesia .......................................................... 1
1.2 Potensi Keanekaragaman Botani Indonesia ................... 4
1.3 Pohon dan Tumbuhan Untuk Material Pertahanan..... 1313
1.3.1 Golongan Pohon dan Tumbuhan
Berpati/Berselulosa ...........................................13
1.3.2 Golongan Pohon dan Tumbuhan
Beresin dan Bergetah ......................................22
1.3.3 Golongan Pohon dan Tumbuhan
Mengandung Serat ..........................................25
Referensi ..........................................................................38
BAB 2 GOLONGAN MATERIAL BOTANI BERSELULOSA ...................41
2.1 Jenis Botani Mengandung Selulosa...............................41
2.1.1 Kapas ..............................................................41
2.1.2 Kapuk ..............................................................48
2.1.3 Kelapa Sawit ....................................................52
2.2 Proses Pembuatan Selulosa .........................................63
2.2.1 Selulosa Asetat .................................................64
2.2.2 Serat Selulosa Asetat dan Triasetat ....................72
2.2.3 Selulosa α .......................................................74
2.3 Proses Pembuatan Nitrocellulose .................................79
Referensi ......................................................................... 85

iii
iv

BAB 3 GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG RESIN ........................87


3.1 Jenis Botani Mengandung Resin ...................................87
3.1.1 Pohon Damar....................................................87
3.1.2 Pohon Pinus .....................................................98
3.2 Pemanfaatan Resin ................................................... 106
3.3 Proses Pembuatan Gliserin ........................................ 112
3.3.1 Proses Saponifikasi.......................................... 113
3.3.2 Proses Transesterifikasi ................................... 115
3.3.3 Proses Fat Splitting ......................................... 117
3.3.4 Seleksi Proses ................................................. 121
Referensi ........................................................................ 123
BAB 4 GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG SERAT ...................... 127
4.1 Jenis Botani Mengandung Serat ................................. 127
4.1.1 Pohon Rami (Boehmeira Nivea) ....................... 129
4.1.2 Struktur Molekul Rami ..................................... 133
4.1.3 Tanaman Rotan .............................................. 135
4.1.4 Tanaman Bambu............................................. 154
4.2 Proses Pengolahan Serat ........................................... 166
4.2.1 Pengolahan Serat Rami ................................... 167
4.2.2 Pembuatan Serat Bambu ................................. 170
4.2.3 Tanaman Rotan .............................................. 175
4.3 Pemanfaatan Serat................................................... 175
Referensi ........................................................................ 176
BAB 5 IMPLEMENTASI MATERIAL BOTANI PADA
TEKNOLOGI PERTAHANAN ............................................... 179
5.1 Implementasi Material Botani Mengandung Selulosa... 179
v

5.2 Implementasi Material Botani Mengandung Resin ..... 181


5.3 Implementasi Material Botani Mengandung Serat...... 184
Referensi ....................................................................... 186
INDEKS ...................................................................................... 187
TENTANG PENULIS ..........................................................................
BAB 1
PENGANTAR MATERIAL BOTANI

1.1 Hutan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang


mengalokasikan 63% atau seluas 120,6 juta hektar daratannya,
merupakan Kawasan Hutan, dan sekurangnya sekitar 37% merupakan
Areal Penggunaan Lain (APL). Di samping itu, sekitar 5,3 juta hektar
dari perairan wilayah Indonesia telah ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi Perairan yang pengelolaannya dimandatkan kepada
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan ditunjuk/ditetapkan


berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan
Indonesia. Sampai dengan Desember 2017, luas total kawasan hutan
dan kawasan konservasi perairan sekitar 125,9 juta hektar (lihat
Gambar 1.1).

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa, berdasarkan fungsinya Kawasan


Hutan Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) fungsi berbeda, yaitu:
Hutan Produksi (HP), seluas 68,8 juta hektar, Hutan Lindung (HL)
seluas 29,7 juta hektar, dan Hutan Konservasi (HK) seluas 22,1 juta
hektar. Kawasan hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP),
Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang Dapat
Dikonversi (HPK).

1
2

HP HPK KSA/KPA laut


HPT KSA/KPA Darat HL

KSA = Kawasan Suaka Alam


KPA = Kawasan Pelestarian Alam
HL = Hutan Lindung
HP = Hutan Produksi Tetap
HPT = Hutan Produksi Terbatas
HPK = Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

Gambar 1.1 Persentase Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi


Perairan Indonesia (KLHK 2017a, Data sampai Desember 2017)

Kawasan hutan konservasi diklasifikasikan menjadi Kawasan Suaka


Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA terdiri dari Cagar
Alam (CA)11, dan Suaka Margasatwa (SM). KPA terdiri dari Taman
Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), dan Taman Hutan Raya
(Tahura). Areal KSA/KPA dapat berupa daratan maupun perairan.

Semua tipe KSA/KPA yang sebagian besar wilayahnya berupa daratan


diklasifikasikan sebagai KSA/KPA daratan yang luasnya sekitar 22,1 juta
hektar. Sedangkan, semua tipe KSA/KPA yang sebagian besar
wilayahnya berupa lautan/perairan diklasifikasikan sebagai KSA/KPA
perairan yang luasnya sekitar 5,3 juta hektar.
3

Demikian juga dengan “Areal Penggunaan Lain” (APL), dimana


wilayahnya dapat berupa lahan “berhutan” atau lahan “tidak berhutan”.
Luas hutan Indonesia biasanya mengacu pada “areal berhutan” atau
“luas tutupan hutan”, yang wilayahnya meliputi Kawasan Hutan dan
APL. Penutupan lahan pada Kawasan Hutan dan APL dapat
diklasifikasikan sebagai hutan, hutan tanaman, perkebunan, pertanian,
semak, pemukiman, dan lain-lain. Terdapat 23 kelas penutupan lahan
di Indonesiadan sampai saat ini, kelas penutupan lahan ini telah
digunakan untuk penilaian dan monitoring sumber daya hutan.

Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan yang dilaksanakan pada


Tahun 2017 dengan menggunakan hasil penafsiran citra Landsat Data
Continuity Mission (LDCM)/Landsat 8 OLI liputan Tahun 2017, kondisi
penutupan lahan berupa hutan yang berada di hutan konservasi
sebesar 78,5%; di hutan lindung sebesar 80,6%; dan di hutan produksi
terbatas sebesar 79,4%. Dimana hutan terdiri dari hutan primer, hutan
sekunder dan hutan tanaman. Pada hutan produksi tetap dan hutan
produksi yang dapat dikonversi, kondisi penutupan lahan yang masih
berupa hutan masing-masing sekitar 58,3% dan 49,1%. Tipe
penutupan lahan hutan lainnya adalah hutan tanaman, yaitu lahan yang
ditanami pohon oleh manusia dan tumbuh sesuai dengan definisi hutan,
baik berupa Hutan Tanaman Industri (HTI) atau reforestasi dan
kegiatan penghijauan kembali di dalam dan di luar kawasan hutan. Tipe
penutupan lahan lainnya adalah perkebunan, pertanian, semak,
permukiman dan lain-lain, yang diklasifikasikan sebagai areal bukan
hutan (non hutan). Tabel 1.1 menyajikan data penutupan lahan
Indonesia di dalam dan di luar kawasan hutan.
4

Tabel 1.1 Luas Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2017


(KLHK 2017a, Data sampai Desember 2017)

Kawasan Hutan (juta ha)


Penutupan
Hutan Tetap APL Jumlah
Hutan HPK Total
HK HL HPT HP
Hutan Primer 12,5 15,2 9,7 4,7 6,3 85,8 8,1 93,9
Hutan Sekunder 4,7 8,4 11,3 9,7 2,5 44,7 1,5 46,1
Hutan tanaman 0,1 0,3 0,3 2,7 0,0 3,4 1,3 4,7
Non hutan 4,8 5,8 5,5 12,2 6,5 34,7 59,4 94,0

1.2 Potensi Keanekaragaman Botani Indonesia

Keanekaragaman tumbuhan (botani) Indonesia sangat beragam dan


melimpah. Karena berdasar penelitian Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 1993
tercatat 4000 jenis pohon dan ribuan jenis tanaman yang belum
tercatat. Dengan 4000 jenis pohon yang tercatat dan ribuan pohon
yang tidak tercatat, dengan potensi penyebaran dibeberapa pulau
seluruh Indonesia.

Berdasarkan data penyebaran dari 4000 jenis kayu, potensi penyebaran


beberapa jenis kayu utama yang dinyatakan dalam mater kubik (m 3)
tiap hektar (ha) tersebar dibeberapa daerah meliputi.

1. Sumatera

Jenis kayu yang terdapat di Sumatera Keruing, meranti merah atau


Famili Dipterocarpaceae dengan dominasi genus Shorea, Hopea,
Anissoptere, Vatica dan Dipterocarpus dengan massa kayu berkisar 40
5

sampai dengan 100 m3 tiap hektar (ha) yang diameter pohonnya 35 cm


keatas.

Jenis pohon bakau yang terdapat disepanjang pantai timur, terutama


daerah Riau, mempunyai massa kayu berkisar 60 m3 tiap hektarnya
(volume kayu tebal), sedang jenis ulin tersebat secara acak di daerah
Palembang dan Jambi dengan massa kayu 30 sampai 60 m3 tiap
hektarnya.

Gambar 1.2 Pohon Keruing (KLKH, 2017)

Gambar 1.3 Pohon Meranti (KLKH, 2017)


6

2. Kalimantan

Jenis kayu yang terdapat di Kalimantan hampir sama seperti di


Sumatera yaitu Famili Dipterocarpaceae dengan susunan genus
indentik, dengan massa kayu sekitar 45 sampai 160 m 3 dalam satu
hektar. Untuk daerah tengah dan barat Kalimantan massa kayunya
lebih rendah yaitu sekitar 30 sampai 100 m3 tiap hektarnya.Jenis pohon
lainnya yaitu Ramin sebarannya di Kalimantan bagian barat dan tengah
tumbuh di hutan rawa gambut bercampur dengan jenis-jenis kayu
genus Dyera, Palaquium serta Famili Dipterocarpaceae yang
mempunyai massa bervariasi dari 60 sampai 100 m3 tiap hektarnya.

Untuk jenis ulin sebarannya di bagian selatan dan timur Kalimantan


yang mempunyai massa sekitar 30 sampai 60 m3 tiap hektarnya,
sedang jenis agatis hidup pada tanah yang mengandung pasir kuarsa
mempunyai massa 10 sampai 150 m3 per hektar.
Jenis kayu bakau di Kalimantan terdapat di sekitra pantai timur dan
barat dengan massa kayu berkisar 70 m3 per hektar (diamter 10 cm ke
atas).

Gambar 1.4 Pohon Ramin (KLKH, 2017)


7

Gambar 1.5 Pohon Ulin (KLKH, 2017)

3. Sulawesi

Jenis pohon Famili Dipterocarpaceae banyak terdapat di Sulawesi


dengan genus Hopea (Merawan) dan Vatica (Resak/Jenis Meranti)
mempunyai massa antara 30 sampai 45 m3 per hektar. Genus ini
tersebar secara acak di Sulawesi bagian tengah dan utara.

Selain genus Hopea dan Vatica. Jenis kayu lainnya adalah Merbau yang
banyak di temui di bagian tengah Sulawesi dengan massa kayu 40
sampai 75 m3 tiap hektarnya.

Selain Merbau, kayu Eboni terdapat pula di Sulawesi terutama di daerah


Teluk Tomini dan Sulawesi bagian tengah, yang hidupnya bercampur
dengan jenis genus Santiria (Kambajau Burung), Madhuca (Mahua),
serta Hopea. Juga jenis agatis juga terdapat si Sulawesi bagian utara,
tengah, serta tenggara yang mempunyai massa kayu kira-kira 100 m3
tiap hektarnya.
8

Gambar 1.6 Pohon Eboni/Kayu Hitam (KLKH, 2017)

Gambar 1.7 Daun Merawan (KLKH, 2017)

4. Maluku

Famili Dipterocarpaceae yaitu jenis Shorea Selanica serta genus Vatica


banyak terdapat di pulau Seram, Buru, Obi, Sula, serta Halmahera yang
mempunyai massa kayu sekitar 120 m3 tiap hektarnya. Jenis lainnya
yaitu kayu genus Canarium (Pohon Kenari) dan Eucalyptus (Kayu Putih)
terdapat di Pulau Halmahera serta Seram.
9

Gambar 1.8 Pohon Kenari (KLKH, 2017)

Gambar 1.9 Pohon Eucalytus/Kayu Putih (KLKH, 2017)

5. Papua

Famili Dipterocarpaceae banyak terdapat di daerah ini yaitu genus


Vatica yang bercampur dengan genus Pometia, Intsia serta Eugenia
mempunyai massa kayu masing-masing 60 m3 tiap hektarnya.
10

Juga terdapat jenis agatis secara berkelompok dengan massa kayu 60


m3 tiap hektarnya. Selain itu jenis bakau terdapat di beberapa tempat
sepanjang pantai barat dengan dengan massa kayu sekitar 60 m3 tiap
hektarnya.

Gambar 1.10 Pohon Pometia/Matoa (KLKH, 2017)

Gambar 1.11 Pohon Intsia/Merbau (KLKH, 2017)


11

6. Nusa Tenggara

Jenis Duabanga Moluccana terdapat di pulau Sumbawa potensinya


sangat tinggi dengan massa kayu 118 m3 per hektarnya.

Gambar 1.12 Pohon Duabanga Moluccana/Benuang/Raba


(KLKH, 2017)

7. Jawa dan Bali

Untuk Jawa dan Bali umumnya ditumbuhi hutan produksi yang


merupakan hutan buatan yang potensinya relatif tinggi, diantaranya
hutan jati seluas ±760.000 hektar, selain jati, tusan dan agatis
12

potensinya ±140.000 hektar serta hutan rimba dengan jenis rasamala


dan lainnya luasnya sekitar 85.000 hektar.

Gambar 1.13 Pohon Jati (KLKH, 2017)

Gambar 1.14 Pohon Agatis/Damar (KLKH, 2017)

Gambar 1.15 Pohon Rasamala (KLKH, 2017)


13

Dari 4000 jenis pohon, kurang lebih beberapa dapat dimanfaatkan


sebagai bahan material untuk teknologi pertahanan.

1.3 Pohon dan Tumbuhan Untuk Material Pertahanan

Dengan 4000 jenis pohon yang telah teridentifikasi dan ribuan lagi
yang belum terinventarisir, maka potensi pohon dan tumbuhan yang
dapat dijadikan material untuk pertahanan sangatlah besar. Karena
semua pohon atau tumbuhan mempunyai kandungan pati atau selulosa
pada batang pohonnya, serta beberapa pohon mengandung getah,
yang getahnya dapat dimanfaat sebagai resin dan minyak, dan ada juga
sebagian pohon mengandung fiber alami.

Untuk material pertahanan karakteristik pohon atau tumbuhan yang


dapat digunakan sebagai bahan material untuk material pertahanan
karakteristikny dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:
1. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengandung pati atau
selulosa.
2. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengandung resin atau
getah.
3. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengadung serat atau fiber.

1.3.1 Golongan Pohon atau Tumbuhan Berpati/Berselulosa

Golongan pohon yang berpati atau berselulosa yang dapat


dimanfaatkan sebagai material dibidang pertahanan yang kandungan
pati atau selulosanya.
14

Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan
ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan terutama pada
tangkai batang, dahan dan semua bahagian berkayu dari jaringan
tumbuhan.

Gambar 1.16 Struktur Selulosa untuk Kayu (KLKH, 2017)

Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi


selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin,
hemiselulosa, dan xilan. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun
dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang
dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan (Fitriani,
2003).

Selulosa pertama kali dijelaskan oleh Anselme Payen pada 1838 sebagai
serat padat yang tahan dan tersisa setelah pemurnian jaringan
tanaman dengan asam dan amonia. Payen mengamati bahwa bahan
yang telah dimurnikan mengandung satu jenis senyawa kimia yang
15

seragam, yaitu karbohidrat. Hal ini berdasarkan residu glukosa yang


mirip dengan pati (Brown dan Saxena, 2007). Selulosa adalah polimer
glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan ß-1,4
glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin
dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia
maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka
utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 2003).

Selulosa mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi berkisar


antara 50.000 hingga 2,5 juta bergantung pada sumbernya. Ukuran
panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerasi
(DP) (Fengel dan Wegener, 1984).

Ester selulosa banyak digunakan sebagai serat dan plastik, sedangkan


eter selulosa sebagai pengikat dan bahan tambahan untuk mortir
khusus atau kimia khusus untuk bangunan dan konstruksi juga
stabilisator viskositas pada cat, makanan, produk farmasetik, dan lain-
lain. Selulosa juga merupakan bahan dasar dalam pembuatan kertas.
Seratnya mempunyai kekuatan dan durabilitas yang tinggi. Jika
dibasahi dengan air, menunjukkan pengembangan ketika jenuh, dan
juga higroskopis. Bahkan dalam keadaan basah, serat selulosa alami
tidak kehilangan kekuatannya. Turunan selulosa telah digunakan
secara luas dalam sediaan farmasi seperti etil selulosa, metil selulosa,
karboksimetil selulosa, dan dalam bentuk lainnya yang digunakan
dalam sediaan oral, topikal, dan injeksi (Zugenmaier, 2008).
16

1. Jenis-Jenis Selulosa

Menurut Nuringtyas (2010), terdapat tiga jenis selulosa berdasarkan


derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida
(NaOH), yaitu sebagai berikut:

a. Selulosa α (Alpha Cellulose)

Selulosa α adalah jenis selulosa berantai panjang, tidak larut dalam


larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat
polimerisasi 600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau
penentu tingkat kemurnian selulosa. Selulosa α merupakan kualitas
selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat
untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan
atau bahan peledak, sedangkan selulosa kualitas dibawahnya
digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri
sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik
mutu bahannya.

Gambar 1.17 Struktur Kimia Selulosa α (Nuringtyas, 2010)


17

b. Selulosa β (Betha Cellulose)

Selulosa ß adalah jenis selulosa berantai pendek, larut dalam larutan


NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90, dapat
mengendap bila dinetralkan.

Gambar 1.19 Struktur Kimia Selulosa β (Nuringtyas, 2010)

c. Selulosa  (Gamma Cellulose)

Selulosa γ adalah Selulosa yang sama dengan selulosa ß, tetapi derajat


polimerisasinya kurang dari 15.

2. Struktur Selulosa

Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya


membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular
terbentuk antara:

a. Gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa


yang terdapat pada unit glukosa terdekat.
18

Gambar 1.20 Ikatan Hidrogen Intra dan Antar Rantai SelulosaStruktur


(Klemm, 1998)

b. Gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa


tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus
hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b.

Gambar 1.21 Model Fibril Struktur Supramolekul Selulosa


(Klemm, 1998)
19

Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang
terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan
membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian
struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk
daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya
maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah
packing density maka selulosa akan berbentuk amorf.

Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan


yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu
kesatuan membentuk mikrofibril, bagian kristalin akan bergabung
dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung
membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat.

3. Sifat-Sifat Selulosa

Menurut Fengel dan Wegener (1984), sifat selulosa terdiri dari sifat
fisika dan sifat kimia. Selulosa rantai panjang mempunyai sifat fisik
yang lebih kuat, lebih tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan
oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis.

Berikut beberapa sifat lain dari selulosa, yaitu:


a. Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia maupun
secara mekanis sehingga berat molekulnya menurun.
b. Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut
dalam larutan alkali.
20

c. Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis, keras dan


rapuh. Bila selulosa cukup banyak mengandung air maka akan
bersifat lunak. Jadi fungsi air disini adalah sebagai pelunak.
d. Selulosa dalam kristal mempunyai kekuatan lebih baik jika
dibandingkan dengan bentuk amorfnya.

Sedangkan menurut Harsini dan Susilowati (2010), sifat-sifat serat


selulosa adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekuatan tarik yang tinggi.


b. Mampu membentuk jaringan.
c. Tidak mudah larut dalam air, alkali dan pelarut organik.
d. Relatif tidak berwarna.
e. Memiliki kemampuan mengikat yang lebih kuat.

4. Sumber Selulosa

Selulosa dalam serat tanaman bervariasi menurut sumbernya dan


biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin,
protein, lignin dan substansi-substansi mineral.

Adapun beberapa jenis pohon, tumbuhan, dan bahan pangan nabati


yang mengandung selulosa dengan jumlah senyawa kimia yang
terdapat dalam beberapa bahan yang mengandung selulosa dapat
dilihat Tabel 1.2 di bawah ini (Zugenmaier, 2008).
21

Tabel 1.2 Pohon, Tumbuhan dan Bahan Pangan Mengandung Selulosa

Komposisi (%)
Sumber
Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstrak
Hardwood 43-47 25-35 16-24 2-8
Softwood 40-44 25-29 25-31 1-5
Tebu 40 30 20 10
Coir/Sabut 32-43 10-20 43-49 4
Tongkol Jagung 45 35 15 5
Tangkai jagung 35 25 35 5
Serat Bonggol Sawit* 47,43 - - -
Serat Tandan Sawit* 41,39 - - -
Kapas/Randu 95 2 1 0,4
Flax (dibasahi) 71 21 2 6
Flax (tidak dibasahi) 63 12 3 13
Hamp 70 22 6 2
Henequen 78 4-8 13 4
Istle 73 4-8 17 2
Jute 71 14 13 2
Kenaf 36 21 18 2
Rami 76 17 1 6
Sisal 73 14 11 2
Sunn 80 10 6 3
Jerami Gandum 30 50 15 5

Sumber lain selulosa adalah hasil biosintesis selulosa oleh


mikroorganismeseperti bakteri, alga, dan jamur. Alga dan jamur
menghasilkan selulosa melalui sintesis in vitro secara enzimatik dari
selobiosil fluorida, dan kemosintesis dari glukosa dengan pembukaan
cincin polimerisasi turunan benzil dan pivaloyl. Dari ketiga
mikroorganisme tersebut, hanya spesies Acetobacter xylinum yang
diketahui dapat menghasilkan selulosa dalam jumlah besar. Sumber
selulosa lain adalah dari hewan, yang disebut tunicin atau selulosa
hewan karena diperoleh dari organisme bahari tertentu dari kelas
Tunicata (Gea, 2010).
22

1.3.2 Golongan Pohon atau Tumbuhan Beresin dan Bergetah

Beberapa pohon yang tumbuh di hutan Indonesia mengandung resin


dan getah yang dapat dimanfaatkan untuk material pertahanan.

1. Resin

Resin merupakan senyawa organik atau campuran berbagai senyawa


polimer alam yang disebut terpentin, berbentuk padat atau semi padat.
Resin mudah larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air
(Boer dan Ella, 2000). Resin alam merupakan resin yang tereksudasi
secara alamiah dan keluar secara alami maupun buatan. Resin yang
tereksudasi secara alamiah mengandung campuran antara gum dan
minyak atsiri. Resin alam memiliki bentuk berupa padatan, berwarna
mengkilap dan bening kusam, rapuh, meleleh bila kena panas dan
mudah terbakar (Sedtler et al. 1975).

Kirk dan Othmer (1941) dalam Larasati (2007), mengklasifikasikan resin


alam sebagai berikut:
a. Damar, yaitu golongan resin yang memilki bilangan asam rendah
dan dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contohnya
adalah damar mata kucing.
b. Golongan resin yang termasuk dalam resin semi fosil, jenis ini juga
dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contoh golongan
resin ini adalah damar resak, damar biru, dan damar hitam.
23

c. Kopal, yaitu golongan resin yang memiliki bilangan asam lebih


tinggi dibandingkan damar, resin ini dihasilkan dari jenis pohon
damar (Agathis sp) yang tergolong dalam Famili Araucariacea.
d. Jenis-jenis resin yang lain seperti gondorukem, shellac, dan balsam.

Gambar 1.22 Pohon Gondorukem (KLHK, 2017)

2. Getah Pinus

Getah pinus diperoleh dari hasil penyadapan Pohon Pinus (Pinus


Merkusii Jungh. et deVries) yang tumbuh tersebar di kawasan hutan di
Indonesia pada ketinggian 900 - 1.800 meter dari permukaan laut (dpl).
Untuk mempoleh getah pinus akan dilakukan penyadapan getah pinus
sesuai dengan SOP Penyadapan Getah Pinus dari Kementerian
Kehutanan RI, dengan umur tanam termasuk dalam Kelompok Umur
24

VI yaitu berusia rata-rata diatas 30 tahun dengan lingkar pohon ± 126


cm. Pohon Pinus tergolong jenis yang cepat tumbuh dan tidak
membutuhkan persyaratan yang khusus untuk tumbuh.

Penyadapan getah pinus menggunakan metode pengeboran batang


pohon yang berdasarkan ditentukan umur dan ukuran lingkaran pohon
serta ketinggian lokasi tanaman dari permukaan laut, selain itu juga
ditentukan bahwa untuk satu pohon pinus maksimum diperbolehkan
melakukan 3 titik pengeboran batang untuk mendapatkan getahnya.
Lama waktu penyadapan ± 15 hari baru dipanen getahnya, selanjutnya
getah disaring untuk menghilangkan kotorannya.

Pinus Merkusii Jungh. et deVries merupakan satu-satunya jenis pinus


yang tumbuh di Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.22
Pinus merkusii Jungh Et Devries termasuk suku Pinacea. Pohon Pinus
pada umumya batangnya berkayu, bulat, keras, bercabang horizontal,
kulit retak-retak seperti saluran dan berwarna cokelat, daunnya
majemuk dan bentuk jarum, memiliki buah dengan perisai ujung
berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang, (Steenis and Van,
2003) tinggi kisaran 20-40 m dan diameter 30-60 cm. Pinus merkusii
dapat tumbuh di tanah kurang subur, tanah berpasir, dan tanah
berbatu, dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700 m
diatas permukaan laut. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon
besar berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 cm. Pinus termasuk
dalam jenis pohon serba guna yang terus-menerus dikembangkan dan
diperluas masa penanamanya masa mendatang untuk penghasil kayu
25

produksi, getah dan konservasi lahan, kayunya dapat dimanfaatkan


menjadi bahan konstruksi, korek api, pulp, kertas serat panjang.

Gambar 1.23 Pohon Pinus (KPH Bali, 2005)

1.3.3 Golongan Pohon dan Tumbuhan Mengadung Serat

Serat dikenal orang sejak ribuan tahun sebelum Masehi seperti pada
tahun 2.640 SM negara Cina sudah menghasilkan Serat sutera dan
tahun 1.540 SM telah berdiri industri kapas di India, Serat flax pertama
digunakan di Swiss pada tahun 10.000 SM dan Serat wol mulai
digunakan orang di Mesopotamia pada tahun 3000 SM. Selama ribuan
tahun Serat flax, wol, sutera dan kapas melayani kebutuhan manusia
paling banyak. Pada awal abad ke 20 mulai diperkenalkan Serat buatan
hingga sekarang bermacam-macam jenis Serat buatan diproduksi.
26

Menurut kamus bahasa indonesia, serat adalah suatu material yang


perbandingan panjang dan lebarnya sangat besar dan molekul
penyusunnya terorientasi terutama ke arah panjang. Serat kapas
misalnya memiliki perbandingan panjang:lebar dari mulai 500 : 1
sampai dengan 1000 : 1. Sedangkan serat tekstil adalah serat-serat
yang digunakan untuk aplikasi tekstil.

Serat adalah suatu benda yang berbanding panjang diameternya


sangat besar sekali. Serat merupakan bahan baku yang digunakan
dalam pembuatan benang dan kain. Sebagai bahan baku dalam
pembuatan benang dan pembuatan kain, Serat memegang peranan
penting, sebab :
- Sifat-sifat SERAT akan mempengaruhi sifat-sifat benang atau kain
yang dihasilkan.
- Sifat-sifat SERAT akan mempengaruhi cara pengolahan benang atau
kain baik pengolahan secara mekanik maupun pengolahan secara
kimia.

Produksi Serat alam dari tahun ke tahun boleh dikatakan tetap, tetapi
persentase terhadap seluruh produksi Serat tekstil makin lama makin
menurun mengingat kenaikan produksi Serat-Serat buatan yang makin
tinggi. Hal ini disebabkan karena :
- Tersedianya Serat alam sangat terbatas pada lahan yang ada dan
iklim.
- Pada umumnya sifat-sifat Serat buatan lebih baik daripada serat
alam.
27

- Produksi serat buatan dapat diatur baik jumlah, sifat, bentuk dan
ukurannya.

Serat pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu :


1. Serat alam, serat alam terbagi dalam 3 kategori besar, serat yang
berasal dari tumbuhan, serat yang berasal dari hewan dan materi
dan anorganik. Kapas, rami, kapuk adalah beberapa sontoh serat
alam yang berasal dari tumbuhan, sedangkan wol dan sutera serat
yang berasal dari hewan, sementara serat asbes adalah contoh
serat yang berasal dari material anorganik.
2. Serat buatan, serat buatan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu yang
bahan bakunya berasal dari alam tetapi kemudian mengalami
proses polimerisasi lanjutan seperti; viskosa, asetat,
kuproamonium, dsb. Ada juga yang bahan bakunya berasal dari
hasil sintesis polimerisasi misalnya; polyester, nilon, poliuretan,
polivinil, dsb. Sedangkan yang ketiga yaitu yang berbahan dasar
anorganik misalnya serat logam, gelas, dsb.

Pada dasarnya semua material serat merupakan polimer. Supaya dapat


dibuat menjadi serat, polimer harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Polimer harus linear dan mempunyai berat molekul lebih dari 10.000,
tetapi pada saat yang bersamaan juga tidak boleh terlalu besar sebab
nantinya akan sulit untuk dilelehkan atau dilarutkan. Molekul harus
simetris dan mempunyai gugus-gugus samping yang besar yang dapat
mencegah terjadinya susunan yang rapat. Polimer harus memberikan
kemungkinan untuk mendapatkan derajat orientasi yang tinggi,
sehingga sewaktu terjadi proses penarikan pada serat akan menambah
28

kekuatan. Polimer harus mempunyai gugus polar yang letaknya teratur


untuk mendapatkan kohesi antar molekul yang kuat dan titik leleh yang
tinggi. Khusus untuk keperluan tekstil sandang, serat harus mudah
diberi zat warna. Apabila diberi zat warna maka sifat fisika seratnya
tidak boleh mengalami perubahan yang mencolok dan warna bahan
jadinya harus tahan terhadap pencucian, keringat dan cahaya.

Serat menurut arah panjangnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu


serat-serat pendek atau biasa disebut stapel dan filamen. Filamen
adalah serat yang sangat panjang dan langsung dijadikan benang,
sehingga istilah filamen itu sering mengacu pada pengertian jenis
benang. Berbeda halnya dengan filamen, serat stapel harus terlebih
dahulu melalui proses pemintalan sebelum dijadikan benang. Manfaat
pengembangan dan penerapan material komposit berbasis bahan serat
alam adalah:
a. Untuk pengembangan potensi pemanfaatan serat alam yang
tersedia berlimpah di Indonesia sebagai hasil aktivitas pertanian
melalui karakterisasi material dan teknologi pemprosesan produk
komposit ramah lingkungan yang bernilai ekonomis.
b. Dapat memenuhi kebutuhan industri yang berkembang di
masyarakat. Melihat ketersedisan di alam yang cukup besar dan
biaya bahan baku yang lebih murah, produk yang dihasilkan dapat
lebih ringan dan membutuhkan konsumsi energi yang rendah,
sehingga dapat menentukan biaya produksi selain upaya
meningkatkan upaya produk lokal.
29

Peningkatan kemampuan rancang bangun dan manufacture material


komposit berbasis bahan serat alam untuk menunjang pembangunan
industri dan kemandirian bangsa.

1. Jenis-Jenis Serat Alami

Beberapa serat-serat alami yang biasa digunakan terdiri atas serat


alam menurut Jumaeri (1977) yaitu serat yang langsung diperoleh di
alam. Pada umumnya serat alam mempunyai sifat yang hampir sama
yaitu kuat, padat, mudah kusut, dan tahan penyetrikaan. Adapun serat
alam digolongkan lagi menjadi:

a. Serat Tumbuh-tumbuhan (selulosa)

Serat tumbuh-tumbuhan memiliki dasar kimia selulosa yang berdasrkan


pada asal tumbuhannya dapat berasal dari bijih, daun, batang, dan,
buah.

- Bijih

Serat yang berasal dari biji terdiri atas serat kapas dan kapok. Namun
dalam pembuatan busana lebih banyak digunakan serat kapas (cotton).
Serat kapok digunakan sebagai bahan pengisi. Menurut perkiraan,
kapas telah dikenal orang sejak 5.000 tahun sebelum Masehi. Sukar
untuk dipastikan negeri mana yang pertama-tama menggunakan
kapas, tetapi para ahli mengatakan bahwa India adalah Negara tertua
yang pertama menggunakan kapas. Sifat serat kapas adalah memiliki
30

kekuatan yang cukup tinggi dan dapat dipertinggi dengan proses


perendaman dalam larutan soda kostik. Hal ini juga akan menambah
kilau dan daya serap serat pada waktu pencelupan atau proses kimia
lainnya. Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh kadar selulosa
dalam serat, panjang rantai molekul dan orientasinya. Kekuatan serat
kapas dalam keadaan basah lebih tinggi dibandingkan dalam keadaan
kering. Oleh karena kapas sebagian besar tersusun dari selulosa serat
kapas pada umumnya tahan terhadap penyimpanan, pengolahan, dan
pemakaian sehari-hari, kapas bersifat higroskopis atau menyerap air.
Kapas memiliki ketahanan terhadap panas yang tinggi, dan tahan sabun
alkali.

Asam akan merusak kapas dan membentuk hidroselulosa. Lebih jauh


asam kuat akan melarut kapas. Alkali sedikit berpengaruh pada kapas,
kecuali larutan alkali pekat akan menyebabkan penggelembungan pada
serat, seperti pada proses Merserisasi, yang menyebabkan serat
menjadi lebih mengkilap dan kekuatannya juga lebih tinggi. Kapas
mudah diserang oleh jamur dan bakteri terutama pada keadaan
lembab, dan pada suhu hangat, kapas memiliki beberapa sifat
istimewa, misalnya mudah dicuci, dan dalam pemakaianny nyaman
saat dipakai, menyerap panas tubuh sehingga kapas lebih unggul dari
serat-serat lain.

Salah satu kain yang berasal dari serat kapas, yaitu kain katun. Kain
katun memiliki kelebihan dibanding dari bahan sintetis, katun lembut di
tubuh, karena memiliki sirkulasi udara yang baik, menyerap panas
tubuh sehingga terasa tetap sejuk, dan kering, karena mampu
31

menyerap keringat, berdasarkan sifat tersebut kain katun ideal untuk


dijadikan busana anak. Kelebihan katun yang lain adalah katun memiliki
sifat hypoallergenic dan resisten terhadap tungau debu, sehingga cocok
bagi penderita asma, atau yang berkulit sensitif. Katun mudah kusut,
maka dari itu para pakar tekstil bereksperimen mencampur katun
dengan bahan lain, yang disebut dengan nama cotton blend, katun
dicampur dengan poliester, linen. Biasanya katun dicampur dengan 65
% Serat sintesis, dan 35 % kapas. Kekurangan kain campuran ini yaitu
serat kapas cepat menjadi rusak, sementara serat sintetisnya tidak.
Ketahanan yang berbeda ini terbentuknya gumpalan benang bulat-
bulat kecil yang muncul dipermukaan kain.

Gambar 1.24 Bijih Randu (satuharapan.com, 2018)

- Serat Kapas

Serat Kapas adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis
Gossypium atau biasa disebut pohon atau tanaman kapas yang berasal
32

dari daerah tropika atau subtropika. Serat kapas dapat dipintall atau
ditenun. Serat kapas biasa disebut dengan bahan tekstil katun. Tekstil
yang terbuat dari kapas (katun) dapat menyerap keringat dan juga
bersifat menghangatkan diri juga menyejukkan di kala panas.

Menurut sejarah serat kapas sudah ada sejak 5000 SM dan berasal dari
biji-bijian seperti yang saya sebut diatas. Beberapa sifat-sifat serat
kapas adalah dapat menghisap air, tahan panas untuk setrika bersuhu
tinggi, mudah kusut, dan sebagainya.

Gambar 1.25 Serat Kapass (satuharapan.com, 2018)

- Serat Jute

Serat Jute berasal dari kulit batang pohon yang digunakan untuk
membuat karung. Jute sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, Jute
mempunya kekuatan dan kilau sedang. Serat ini adalah serat
33

terpenting nomor dua dalam perindustrian tekstil karena sangat


diperlukan dalam kehidupan manusia. Serat jute selain dibuat untuk tali
tambang dan karung goni, diperlukan juga untuk karpet, korden,
bahan pembuat kertas, bahkan untuk membuat jaring-jaring topi pada
masa Perang Dunia II.

Gambar 1.26 Serat Jute (satuharapan.com, 2018)

- Serat Flax

Serat Flax berasal dari batang linum usitatissimun. Serat Flax ini biasa
disebut dengan nama linen. tanaman flax adalah tanaman pertama
dalam kehidupan manusia, dan udah ditanam sejak 6000 tahun yang
lalu di Timur Tengah. Kegunaan serat flax dalam bahan pakaian untuk
benang jahit dan jala. Kekuatan benang flax dua kali lipatnya dibanding
serat kapas, dengan tekstur lebih kaku. Pemisahan serat flax dilakukan
dengan cara pembusukan (retting).
34

Gambar 1.28 Serat Flex (satuharapan.com, 2018)

- Serat Rami

Serat Rami berasal dari tanaman rami (Boehmeria nivea), tanaman ini
berumur panjang, mempunyai batang yang tinggi dibanding tanaman
serat lainnya, juga kecil dan lurus. Serat rami biasa dipintal menjadi
benang atau ditenun untuk menjadi kain di daerah Jepang, sedangkan
di Indonesia biasa digunakan untuk bahan jala, kanvas, juga untuk tali
temali. Rami juga baik digunakan untuk bahan kerajinan dengan
tenunan ATBM dan dikombinasi dengan sulaman. Rami mempunya
sifat-sifat umum seperti kapas, yaitu lebih berkilap, kuat, lebih
menyerap air, dan lebih tahan terhadap bakteri-bakteri.

Gambar 1.29 Serat Rami (satuharapan.com, 2018)


35

b. Serat Protein

Serat proteina dapat berbentuk staple atau filamen. Serat protein


berbentuk stapel berasal dari rambut hewan berupa domba, alpaca,
unta, cashmer, mohair, kelinci, dan vicuna. Yang paling sering
digunakan adalah wol dari bulu domba.

- Serat wol

Serat Wol berasal dari bulu-bulu binatang atau bulu biri-biri. Serat wol
dikelompokkan menjadi 3 yaitu, wol halus, wol sedang, dan wol kasar.
Ketiganya mempunyai kepentingan tersendiri, seperti wol kasar biasa
dibutuhkan untuk membuat bahan tekstil yang lebih berat. Wol biasa
dibuat untuk kebutuhan bahan pakaian, baju hangat, selimut, kerajinan
tenun, rajut, dan lain sebagainya. Sifat dari wol adalah kuat elastik,
lembut, keriting sehingga dapat di buat benang halus. Wol berasal dari
Asia Tengah yang menyebar ke Eropa Barat dan Cina Timur, wol juga
mempunyai sejarah yang panjang.

Baju wol jika dipakai terasa hangat dan dapat digunakan untuk baju
anak. dikatakan suatu bahan konduktor yang jelek, wol bersifat
hidroskopis. Tetapi Serat tersebut juga melepaskan uap air secara
perlahan-lahan, sewaktu wol melepaskan uap uap air akan
menimbulkan panas pada bahan tekstil . Wol tahan kusut dan bersifat
dapat menahan lipatan, misalnya karena penyetrikaan. Wol dan serat-
serat yang sejenis merupakan serat-serat alam yang dapat (felting)
menggumpal, apabila dikerjakan dalam larutan sabun bersuhu panas.
36

Gambar 1.30 Serat Wol (satuharapan.com, 2018)

- Serat sutera

Serat sutera berasal dari serangga yang disebut Lepidoptera, terbentuk


dari kepompong ulat sutera. Serat sutera berbentuk filamen yang
dihasilkan larva ulat sutera saat membentuk kepompong seperti yang
sudah saya sebutkan diatas. Sutera mempunyai beberapa sifat,
diantaranya adalah daya serapnya tinggi, kekuatannya tinggi,
pegangan yang lembut, dan kenampakannya yang mewah dan indah,
juga tidak mudah kusut. Sutra banyak dipakai di India, Jepang, Korea,
bahkan Indonesia. Sutera juga banyak dipakai untuk membuat
pakaian-pakaian tradisional, karena keindahan yang ada pada sutera
memberikan efek formal juga mempunyai estetika yang lebih terhadap
si pemakainya.

Serat sutera berbentuk filamen, dihasilkan oleh larva ulat sutera waktu
membentuk kepompong. Sutra dapat digunakan untuk busana pesta
anak, yang sering digunakan adalah sutra campuran dengan serat
sintetis.
37

Sutra dihasilkan dari kepompong ulat sutra. Ulat sutra menghasilkan


kepompong yang dapat dipintal menjadi serat sutra. Ada ratusan jenis
ulat sutra, namun sutra yang terbaik dihasilkan oleh kepompong dari
ulat sutra pohon murbei yang memiliki nama ilmiah Bombyx mori.

Induk sutra dapat menelurkan hingga 500 butir telur ulat sutra
seukuran kepala jarum pentul. Setelah sekitar 20 hari, telur tersebut
menetas menjadi larva ulat yang sangat kecil. Larva ulat ini akan
memakan daun murbei dengan agresif. Sekitar 18 hari kemudian,
ukuran badan larva ulat tersebut telah membesar hingga 70 kali ukuran
tubuh semula serta empat kali mengganti cangkangnya. Kemudian
larva ulat tersebut akan terus membesar hingga beratnya mencapai
10.000 kali berat semula. Pada saat itu ulat sutra akan berwarna
kekuningan dan lebih padat. Itulah tanda ulat sutra akan mulai
membungkus dirinya dengan kepompong.

Kemudian kepompong direbus agar larva ulat di dalamnya mati. Karena


jika dibiarkan, ulat akan matang lalu menggigiti kepompongnya
sehingga tidak bisa digunakan lagi. Setelah ulat mati, serat di
kepompong dapat diuraikan menjadi serat sutra yang sangat halus.

Satu buah kepompong sutra dapat menghasilkan untaian serat


sepanjang 300 meter hingga 900 meter dengan diameter 10
mikrometer (1/1000 milimeter). Di seluruh dunia dalam satu tahun
dapat menghasilkan total serat sutra sepanjang 112,7 milyar kilometer
atau sekitar 300 kali perjalanan pergi-pulang ke matahari dari bumi.
38

Kemudian serat sutra yang halus tersebut dipintal. Serat sutra dipintal
dengan proses yang menyerupai proses pada saat ulat sutra memintal
kepompongnya. Proses itulah yang dibuat menjadi alat pemintalan
serat sutra untuk dibuat menjadi kain sutra yang indah. Bahan kain dari
sutra inilah yang kemudian dibuat menjadi berbagai produk pakaian
maupun produk lainnya. Beberapa batik kelas terbaik di Indonesia juga
menggunakan bahan dari sutra.

Gambar 1.31 Serat Sutra (satuharapan.com, 2018)

Referensi
1. Annisa, 2005, Struktur Anatomi Kayu Jati Plus Perhutani dari
Beberapa Seedln yang Tumbuh di KPH Ciamis Pada Kelas Umur I,
Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Bogor.
2. Brown, R.M.Jr dan Saxena, I.M. 2007. Cellulose: Molecular and
Structure Biology. Dordrecht: Springer.
3. Chen, Q., Zhao, T., Wang, M., and Wang, J., 2013. Studies of the
fibre structure and dyeing properties of Calotropis gigantea, kapok
and cotton fibres. Color. Technol., 129 : 448-453.
4. Data hasil uji penyusunan standar mutu serat kapas (2016).
39

5. Dilli Babu, G., Sivaji Babu, K., and Nanda Kishore, P., 2014. Tensile
and Wear Behavior of Calotropis Gigantea Fruit Fiber Reinforced
Polyester Composites. Procedia Engineering, 97 : 531-535.
6. Du, Q., and Chen, Y., 2014. R & D Status and Countermeasures of
Natural Functional Kapok. Color. Technol.
7. Fengel G, dan Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure,
Reactions. Berlin: Walter de Gruyter.
8. Fitriani, E. 2003. Skripsi: Aktivitas Enzim Karboksilmetil Selulase
Bacillus pumilus Galur 55 pada Berbagai suhu Inkubasi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
9. Gea, S. 2010. Innovative Bio-nanocomposites Base on Bacterial
Cellulose. London: Queen MaryUniversity.
10. Harsini, T dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Dari
Limbah Perkebunan Kakao Sebagai Bahan Baku Pulp Dengan
Proses Organosolv. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.2 No. 2.
11. Heyne, K., 1988.Tanaman Berguna Indonesia.
12. Holtzapple, M.T. 2003. Hemicelluloses. In Encyclopedia of Food
Sciences and Nutrition. Academic Press.
13. KLHK, 2018. Stutus Hutan dan Kehutanan Indonbesia 2018, KLHK
Press
14. KLHK, 2017. Statistik Lingkunagan Hidup dan Kehutanan 2017,
KLHK Press.
15. Martawijaya, Abdurahim, 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutananan, Departemen
Kehutanan Republik Indonesia
40

16. Nasser, R.A., Al-mefarrej, H.A., Khan, P.R., et al.. 2013.


Technological properties of Calotropis procera (AIT) wool and its
relation to utilizations. Am Eurasian J Agric Environ Sci.,12: 5–16.
17. SNI 0444 : 2009, Cara uji kadar selulosa alfa, beta dan gamma.
18. Nuringtyas, Tri Rini. 2010. Karbohidrat. Yogyakarta: Gajah
MadaUniversity Press.
19. SNI 7881 : 2013, Tekstil – Serat kapas – Cara uji pengukuran sifat
fisika menggunakan high volume instrument (HVI).
20. SNI 08 - 0033 : 2006, Benang Ring Tunggal kapas.
21. Zheng, Y., Zhu, Y.F., Wang, A., Huimin, H., 2013. Potential of
Calotropis gigantea fiber as an absorbent for removal of oil from
water : Industrial Crops and Products. Chemical Engineering
Journal,
22. Zugenmaier, P. 2008. Crystalline Cellulose and Derivatives. Jerman:
Springer-Verlag.
BAB 2
GOLONGAN MATERIAL BOTANI BERSELULOSA

2.1 Jenis Botani Mengandung Selulosa

Potensi jenis botani/tumbuhan yang mengandung selulosa dari 4000


pohon/tumbuhan di Indonesia sangatlah besar. Beberapa diantaranya
kandungan selulosanya sangat besar seperti Kapas, Kapuk/Randu,
Kelapa Sawit, Kelapa, Nenas, Pisang, Rami serat pohon berbatang
keras dan lain sebagainya.

Untuk pengolongan tumbuhan yang mengandung selulosa tinggi yaitu


tumbuhan yang mengandung selulosa lebih dari 40%, beberapa
diantaranya banyak terdapat di Indonesia yaitu:

2.1.1 Kapas

Serat kapas merupakan salah satu jenis bahan tekstil yang sudah
dikenal sejak ± 5.000 tahun sebelum masehi. Merupakan salah satu
bahan tekstil yang berasal dari serat alam, yaitu serat biji tanaman
Gossypium yang tumbuh di daerah lembab dan banyak disinari
matahari. Tanaman Gossypium termasuk keluarga Malvaceae.
Pertumbuhan tanaman kapas sangat bergantung pada tempat
tumbuhnya.Tanaman ini tumbuh di daerah yang beriklim subtropis
seperti Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Amerika Utara.

41
42

Komposisi serat kapas tergantung pada jenis tanaman dan derajat


kesadahannya. Sekitar 90% komposisi serat kapas terdiri dari selulosa,
sedangkan sisanya adalah protein, pektin, malam, lemak, pigmen alam,
mineral, dan air. Serat kapas memegang peranan penting dalam bidang
tekstil. Dengan berkembangnya serat sintetik tidak menyebabkan serat
kapas mulai ditinggalkan, namun dengan adanya perkembangan serat
buatan, meningkatkan penggunaan serat campuran yang memiliki sifat
saling melengkapi kedua sifat tersebut. Hal ini disebabkan karena serat
kapas masih memiliki beberapa keunggulan yang tidak dapat ditiru oleh
serat buatan. Keunggualan serat kapas diantaranya mempunyai daya
serap yang baik terhadap air, sehingga nyaman apabila dipakai. Serat
kapas juga mempunyai beberapa kekurangan seperti mudah kusut dan
mengkeret dalam pencucian.

1. Morfologi Serat Kapas

Bentuk morfologi penampang melintang serat kapas sangat bervariasi


dari bentuk pipih sampai bentuk bulat, tetapi pada umumnya berbentuk
seperti ginjal yang terdiri dari bagian kutikula, dinding primer, dinding
sekunder, dan lumen. Sedangkan bentuk penampang membujur serat
kapas adalah pipih seperti bentuk pita yang terpilin atau terpuntir
membentuk puntiran dengan interval tertentu. Kearah memanjang,
serat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian besar, bagian badan, dan
bagian ujung.

Bentuk penampang melintang dan bentuk penampang membujur serat


kapas disajikan pada gambar berikut ini :
43

Gambar 2.1 Struktur Micro dan Nanofiber Selulosa Kapas


(Balai Besar Tekstil, 2017)

2. Komposisi Serat Kapas

Serat kapas mentah mengandung selulosa. Selain selulosa, pada kapas


mentah mengandung pektin, lemak/malam, pigmen alam, mineral dan
air. Komposisi serat kapas berbeda-beda tergantung dari berbagai hal,
antara lain jenis tanaman kapasnya, kondisi tanah, cuaca, kualitas air
untuk irigasi, dan zat kimia yang digunakan untuk pupuk dan
pestisidanya. Komposisi serat kapas dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut:
44

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Serat Kapas


(Soeprijono, Serat-Serat Tekstil, ITT Bandung 1974)

No. Komposisi %Terhadap Berat Kering


1 Selulosa 94
2 Protein 1,3
3 Pektat 1,2
4 Lilin 0,6
5 Abu 1,2
6 Pigmen dan zat-zat lain 1,7

3. Struktur Kimia Serat Kapas

Serat kapas tersusun atas selulosa yang komposisi murninya telah lama
diketahui sebagai zat yang terdiri dari unit-unit anhidro-beta-glukosa
dengan rumus empiris (C6H10O5)n dengan n adalah derajat
polimerisasi yang tergantung dari besarnya molekul. Selulosa dengan
rumus empiris (C6H10O5)n merupakan suatu rantai polimer linier yang
tersusun dari kondensat molekul-molekul glukosa yang dihubungkan
oleh jembatan oksigen pada posisi atom karbon nomor satu dan empat.
Stuktur rantai-rantai molekul selulosa disusun dan diikat satu dengan
yang lainnya melalui ikatan Van der Waals. Struktur kimia dari selulosa
dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Selulosa Kapas (Soeprijono, Serat-Serat


Tekstil, ITT Bandung 1974)
45

Setiap satuan glukosa mengandung tiga gugus hidroksil (-OH). Gugus


hidroksil pada atom karbon nomor lima merupakan alkohol primer
(-CH2OH), sedangkan pada posisi 2 dan 3 merupakan alkohol sekunder
(HCOH). Kedua jenis alkohol tersebut mempunyai tingkat kereaktifan
yang berbeda. Gugus hidroksil alkohol primer lebih reaktif daripada
gugus hidroksil alkohol sekunder. Gugus hidroksil merupakan gugus
fungsional yang sangat menentukan sifat kimia serat kapas, sehingga
serat selulosa dinotasikan sebagai sel-OH dalam penulisan mekanisme
reaksi.

4. Susunan Fisika Serat Kapas

Komposisi fisika serat kapas terdiri dari bagian amorf dan kristalin,
dimana bagian amorf mempunyai daya serap yang lebih besar dari
pada bagian kristalin, tetapi kekuatannya lebih kecil. Pada bagian
kristalin memiliki susunan molekul yang teratur dan sejajar satu sama
lain. Sedangkan pada bagian amorf, susunan molekulnya tersusun
secara tidak pararel dan tidak teratur. Bagian kristalin dan amorf pada
serat kapas disajikan pada Gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.3 Bagian Kristalin dan Amorf Serat Kapas


(Balai Besar Tekstil, 2017)
46

5. Sifat-sifat Serat Kapas

Sifat-sifat dari serat kapas terdiri dari sifat fisika dan sifat kimia yang
selengkapnya sifat-sifat tersebut adalah:

a. Sifat-sifat Fisika

Berdasarkan hasil penelitian Soeprijono (1974), Sifat-sifat fisika yang


terkandung dalam serta kapas meliputi:
- Warna
Warna kapas tidak betul-betul putih biasanya sedikit krem. Adanya
warna ini disebabkan oleh pigmen alam yang terkandung di dalam
serat kapas. Pigmen yang menimbulkan warna pada kapas belum
diketahui dengan pasti. Warna kapas akan semakin tua setelah
penyimpanan selama 2 sampai 5 tahun. Karena pengaruh cuaca
yang lama, debu, dan kotoran akan menyebabkan warna keabu-
abuan.
- Kekuatan
Kekuatan serat terutama dipengaruhi oleh kadar selulosa dalam
serat, panjang rantai dan orientasinya. Dalam suasana basah, serat
kapas akan memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding dalam
keadaan kering. Hal ini disebabkan karena pada keadaan basah
bentuk serat akan mengelembung sehingga puntiran hilang.
Dengan demikian gaya tarik yang diderita akan tersebar sepanjang
serat.
47

- Mulur
Mulur saat putus serat kapas termasuk tinggi diantara serat-serat
selulosa yang lainnya yaitu berkisar 4-13 % bergantung pada jenis
serat kapasnya dan rata-rata mulur sebesar 7%.
- Moisture Regain
Serat kapas mempunyai affinitas yang besar terhadap air. Serat
kapas yang kering bersifat kasar, rapuh dan kekuatannya rendah.
Moisture regain serat kapas bervariasi sesuai dengan perubahan
kelembaban relatif, pada kondisi standar kandungan air serat kapas
berkisar antara 7-8,5%.
- Keliatan (Toughness)
Keliatan adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan suatu
benda untuk menerima kerja. Serat kapas memiliki keliatan yang
relatif tinggi jika dibandingkan dengan serat-serat selulosa yang
diregenerasi.
- Indeks Bias
Indeks bias serat kapas sejajar dengan sumbu serat adalah 1,58.
Sedangkan indeks bias melintang sumbu serat adalah 1,53.
- Berat Jenis
Berat jenis serat kapas adalah 1,5 sampai 1,56

b. Sifat-sifat Kimia

Berdasarkan hasil penelitian Soeprijono (1974), Sifat-sifat kimia yang


terkandung dalam serta kapas meliputi:
48

- Pengaruh asam
Serat kapas tahan terhadap asam lemah, sedangkan asam kuat
akan mengurangi kekuatan serat kapas karena dapat memutuskan
rantai molekul selulosa (hidroselulosa).
- Pengaruh alkali
Alkali kuat pada suhu didih air dan pengaruh adanya oksigen dalam
udara akan menyebabkan terbentuknya oksiselulosa. Alkali pada
kondisi tertentu akan mengelembungkan serat kapas.
- Pengaruh oksidator
Oksidator dapat menyebabkan terjadinya oksiselulosa yang
mengakibatkan penurunan kekuatan serat. Derajat kerusakan serat
bergantung pada konsentrasi, pH dan suhu pengerjaan.
- Pengaruh mikroorganisma
Dalam keadaan lembab dan hangat, serat kapas mudah terserang
jamur dan bakteri. Tetapi pada kondisi kering, serat kapas
mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap jamur dan
mikroorganisma.

2.1.2 Kapuk

Kapuk atai Ceiba Pentandra, dikenal juga Eriodendron anfractuosum


dan Eriodendron Orientale Kapuk dapat tumbuh baik di daerah tropis
karena iklim dan tanahnya sesuai untuk penanaman kapuk. Kapuk
dapat berkembang biak dengan biji atau batang. Bila dikehendaki
penanaman dalam jumlah yang besar, kapuk ditanam dari bijinya.
Untuk mendapatkan hasil yang bermutu tinggi, kapuk ditanam dengan
memotong batangnya.
49

Panjang serat kapuk berkisar 0,75–3 cm, rata-rata 1,75 cm dan


berdiameter 30-36 mikron. Bentuk penampang melintangnya, bulat
atau lonjong dengan lumen yang lebar dan dinding yang sangat tipis.
Pada lumen nampak terdapat gelembung-gelembung udara. Bentuk
penampang membujur seperti silinder meruncing ke arah ujung dan
mempunyai pilinan seperti serat kapas.

1. Morfologi Kapuk/Randu

Kapuk randu memiliki ketinggian mencapai 8-30 m dan memiliki batang


pohon utama yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m, pada
batangnya juga terdapat duri-duri tempel besar yang berbentuk
kerucut. Tumbuhan ini tahan terhadap kekurangan air sehingga dapat
tumbuh di kawasan pinggir pantai serta lahan-lahan dengan ketinggian
100-800 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan tahunan 1.000-
2.500 mm dan suhu dari 20- 27°C (Setiadi dalam Widhianti, 2011).
Selain itu kapuk randu dapat tumbuh di atas berbagai macam tanah,
dari tanah berpasir sampai tanah liat berdrainase baik, tanah aluvial,
sedikit asam sampai netral. Pohon randu dapat juga hidup pada daerah
kering dan suhu di bawah nol dalam jangka pendek serta peka terhadap
kebakaran (Pratiwi, 2014).

Secara morfologi bentuk bentuk kristalin dan amorf kapuk berbentuk


penampang membujur seperti silinder meruncing ke arah ujung dan
mempunyai pilinan seperti serat kapas. Penampang melintang, bulat
atau lonjong dengan berbentuk lumen yang lebar dan dinding yang
sangat tipis.
50

Gambar 2.4 Bagian Kristalin dan Amorf Serat Kapuk


(Balai Besar Tekstil, 2017)

2. Komposisi Serat Kapuk

Komposisi kandung serat kapuk berupa unsur-unsur pati dan selulosa


dengan susunan lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Serat Kapuk (Balai Besar Tekstil, 2016)

No. Komposisi/Susunan % Terhadap Berat Kering


1 Selulosa ±64
2 Lignin ±13
3 Pentosan (Hemiselulosa) ±23

Disamping ketiga komponen utama di atas kapuk juga mengandung


cutine, sebangsa lilin yang bergabung dengan selulosa yang bersifat
tidak higroskopis.

3. Sifat-Sifat Kapuk

Berdasarkan hasil penelitian Balai Besar Tekstil (1974), Sifat-sifat fisika


yang terkandung dalam serta kapas meliputi:
51

a. Serat kapuk berwarna coklat kekuning-kuningan dan mengkilap.


b. Serat kapuk sangat lembut, licin, getas, dan tidak elastis karena
dindingnya sangat tipis. Sifat tersebut menyebabkan serat kapuk
tidak mudah dipintal.
c. Berat jenis zat serat sangat kecil (b.d 0,04) yang menyebabkan
serat kapuk mudah mengembang.
d. Sifat melenting yang baik, transparan, tidak higroskopis, menyerap
suara, mudah sekali terbakar, anti septik, dan bersifat menghambat
panas yang tidak baik.

4. Kegunaan Serat Kapuk

Kegunaan serat kapuk masih terbatas, belum ada terobosan yang baru
beda dengan serat kapas. Adapun kegunaan dari serat kapuk adalah
sebagai berikut:
a. Serat kapuk digunakan sebagai pengisi pelampung penyelamat
karena mempunyai sifat mengembang yang baik.
b. Serat kapuk sangat baik dipakai sebagai kaur dan bantal karena
mempunyai sifat melentingnya yang tinggi.
c. Serat kapuk sangat baik digunakan untuk isolasi suara dan isolasi
panas.
d. Serat kapuk tidak digunakan sebagai bahan pakaian karena
sifatnya yang getas dan tidak elastis yang menyebabkan serat
kapuk tidak dapat dipintal.
52

2.1.3 Kelapa Sawit

Potensi kelapa sawit untuk selulosa dapat dimanfaatkan dari hasil


proses pembuatan crude palm oil (CPO) yaitu limbah padat yang
berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS). TKSS memiliki potensi
besar menjadi sumber biomassa selulosa dengan kelimpahan cukup
tinggi dan sifatnya yang terbarukan. TKKS merupakan hasil samping
dari pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya masih
terbatas sebagai pupuk, dan media bagi pertumbuhan jamur serta
tanaman. Limbah kelapa sawit jumlahnya sangat melimpah, setiap
pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan TKKS
(Tandan Kosong Kelapa Sawit) sebanyak 23% TKKS atau sebanyak 230
kg TKKS (Sunawan dan Juhana, 2013).

Data bahwasanya sebuah pabrik dengan kapasitas pengolahan 12,7


juta ton/jam, waktu operasi selama 1 jam, maka akan dihasilkan
sebanyak 2,3 juta ton TKKS. Total limbah TKKS seluruh Indonesia, 2004
diperkirakan mencapai 18,2 juta ton. Disimpulkan memproduksi
bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena
tingkat keuntungan mencapai 75 % (Sunawan dan Juhana, 2013).

Untuk potensi TKKS yang dapat diambil selulosanya diseluruh Indonesia


dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
53

Tabel 2.3 Potensi TKKS Hasil Produksi Kelapa Sawit di Indonesia


(Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, 2006)

Produksi Produksi
Luas Area
No Provinsi Kelapa Sawit TKKS
(Ha)
(ton) (ton)
1 NAD 261.101 112.000 26.000
2 Sumatera Utara 964.257 414.000 95.000
3 Sumatera Barat 324.332 139.000 32.000
4 Riau 1.340.036 559.000 129.000
5 Kepulauan Riau 2.067 888 205
6 Jambi 466.709 200.000 46.000
7 Sumatera Selatan 532.365 228.000 53.000
8 Bangka Belitung 100.681 430.000 99.000
9 Bengkulu 83.583 35.000 8.050
10 Lampung 163.589 71.000 16.000
11 Kalimantan Barat 466.900 201.000 46.000
12 Kalimantan 269.043 116.000 27.000
Tengah
13 Kalimantan 150.211 64.500 15.000
Selatan
14 Kalimantan Timur 222.132 95.000 22.000
15 Sulawesi Tengah 44.215 18.000 4.100
16 Sulawesi selatan 13.925 60.000 14.000
17 Sulawesi Barat 84.248 36.000 8.300
18 Papua 41.640 18.000 4.200
Nasional 5.518.219 2.300.000 529.000

Data dari (Ditjen Perkebunan, 2006) tersebut menginformasikan bahwa


perkebunan kelapa sawit saat ini menempati wilayah sangat luas, yaitu
berkembang di 18 propinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua (yang mencakup Jair, Kabupaten
Boven Digoel). Lima propinsi terluas berturut-turut adalah Riau (1,3
juta Ha), Sumatera Utara (964,3 ribu Ha), Sumatera Selatan (532,4 ribu
Ha), Kalimantan Barat (466,9 ribu Ha) dan Jambi (466,7 ribu Ha).
54

Kelima propinsi tersebut memiliki 3,770 juta Ha atau 67,4% dari 5,597
juta Ha di seluruh Indonesia.

1. Jenis dan Potensi Limbah Kelapa Sawit

Jenis limbah kelapa sawit pada generasi pertama adalah berupa limbah
padat, terdiri dari tandan kosong, pelepah, cangkang dan lain-lain.
Sedangkan limbah cair terjadi pada in house keeping pada
pengolahan CPO (Crude Palm Oil).

Limbah yang terjadi pada generasi pertama baik itu limbah padat atau
cair setelah diproses menjadi suatu produk yang akan menyisakan
limbah generasi berikutnya dan limbah generasi kedua ini juga dapat
dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah. Tabel 2.4
terlihat potensi limbah yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai
nilai ekonomi yang tidak sedikit.

Diantara potensi limbah yang diketahui untuk Kebun sawit yaitu dapat
dimanfaatkan sebagai sebagai sumber selulosa yang dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan nitrocellulose yang manfaatnya
sebagai bahan dasar propelan. Pemanfaatan limbah baik padat
maupun cair secara umum dapat dilakukan melalui proses pengolahan
yang dapat dibedakan dalam tiga proses yakni ; proses kimia, proses
fisika serta proses biologi.
55

Tabel 2.4 Jenis, Potensi dan Pemanfaatan limbah Kelapa Sawit


(PT. Korindo – Jair, 2013)

Potensi per ton


Jenis Limbah Manfaat
TBS (%)
Tandan kosong 23,0 Pupuk kompos,
Wet Decanter Solid 4,0 Pupuk, kompos
Cangkang 6,5 Sumber Energi
Serabut (fiber) 13,0 Sumber Energi
Limbah cair 50,0 Pupuk
Air kondensat Air umpan broiler

Berdasarkan penelitian literatur diketahui persentase Tankos/TKKS


terhadap TBS sekitar 20% dan setiap ton Tankos mengandung unsur
hara N, P, K, dan Mg berturut-turut setara dengan 3 Kg Urea; 0,6
Kg CIRP; 12 Kg MOP; dan 2 Kg Kieserit (Sunarwan dan Juhana, 2013).

Dalam upaya pemanfaatan limbah kelapa sawit secara optimal untuk


setiap kasus, perlu dikaji beberapa aspek teknis, ekonomis, sosial dan
lingkungan yang meliputi perihal berikut:
a. Jumlah, waktu pengadaan dan lokasi keberadaan limbah maupun
fluktuasinya sepanjang tahun atau musim.
b. Pemanfaatan di lapangan, jumlah biomasa, kebutuhan tenaga kerja,
peralatan, kondisi jalan, bahaya, resiko kerusakan atau pelapukan.
Transportasi, volume limbah, jarak sampai ditujuan, kondisi jalan.
c. Struktur fisik dan komposisi kimia maupun kandungan energi (nilai
kalor bakar) bahan limbah.
d. Berbagai alternatif pemanfaatan limbah, teknologi yang tersedia,
biaya dan nilai produk yang dihasilkan.
56

e. Tingkat pencemaran lingkungan dan teknologi penanganan untuk


kelestarian lingkungan hidup.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka


pemanfaatan limbah dapat dilakukan secara optimal.

2. Karakteristik Limbah Kelapa Sawit

Dalam proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa


Sawit selalu menghasilkan produk dan limbah. Adapun produk yang
dihasilkan yaitu Minyak Sawit Mentah/Crude Palm Oil (CPO) dan
Minyak inti Sawit (Kernel Inti sawit), sedangkan limbah yang dihasilkan
adalah sebagai berikut:

a. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Limbah ini dapat dihasilkan dari tandan brondolan yaitu tandan buah
segar yang terlalu matang yang buahnya terlepas dari tandannya saat
masih berada di perkebunan/di kebun, keadaan tandannya kering serta
di pabrik pengolahan kelapa sawit adalah hasil proses Sterilising dan
Thresing dengan keadaan tandan basah. Berdasarkan penelitian Ditjen
Perkebunan (2006) kandungan tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
mengandung Selulosa 41,3%-46,5% (C6H10O5)n, Hemi Selulosa
25,3%-32,5% dan mengandung lignin 27,6%-32,5%.
57

Gambar 2.5 Tandan Kosong Kelapa Sawit


(Sunarwan dan Juhana, 2013)

b. Cangkang (Shell)

Cangkang merupakan limbah yang dihasilkan dari pemrosesan kernel


inti sawit dengan bentuk seperti tempurung kelapa yang mempunyai
kalor 3500 kkal/kg-4100 kkal/kg.

Gambar 2.6 Cangkang (Shell) (Sunarwan dan Juhana, 2013)


58

c. Serabut (Fiber)

Serat merupakan limbah sisa perasan buah sawit merupakan serabut


berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar
4% dan serat kasar 36% (lignin 26%) serta mempunyai kalor 2637
kkal/kg-3998 kkal/kg.

Gambar 2.7 Penimbunan Serabut/Fiber


(Sunarwan dan Juhana, 2013)

Dari hasil uji laboratorium nilai kalor sampel untuk sampel Serabut,
Cangkang dan Tandan Kosong Kelapa Sawit yang diambil dari PT.
Korindo Group-Jair, Boven Digoel dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 2.5 Hasil uji laboratorium Kimia Fisik ITB menilai kalor sampel
limbah sawit (Sunarwan dan Juhana, 2013)

Nilai Kalor Nilai Kalor


No. Sampel
(Kalori/gr) (Joule/gr)
1 Serabut Kelapa Sawit 4.875,7857 20.315,4489
2 Tandan Kosong Kelapa Sawit 4.492,7436 18.719,4656
3 Cangkang Kelapa Sawit 5.656,7127 23.569,2595
59

Sedangkan dari hasil uji laboratorium terhadap contoh limbah padat


dari PT. Korindo-Group , Jair, Kabupaten Boven Digoel , 2013 dapat
dilihat pada Tabel 4.5 berikut:

Tabel 2.6 Hasil Uji Kandungan Selulosa Laboratorium


Teknik Kimia ITB sampel Pabrik Kelapa Sawit PT. Korindo
(Sunarwan dan Juhana, 2013)

Kandungan atas dasar % berat kering


No Limbah Sawit
Selullosa Glukosa Lemak
1 TKKS 41,392 0,022 -
2 Bonggol TKKS 47,430 0,024 -
3 Buah Berondolan 12,357 0,463 40,834

3. Pemanfaatan Limbah Sawit

Berdasarkan karakateristik dari masing-masing limbah yang dihasilkan


oleh proses pembuatan minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil)
maka untuk masing-masing limbah sesuai karakteristik tiap jenis
lembah Pabrik Kelapa Sawit dapat dimanfaatkan menjadi.

a. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) ini sesuai karakteristik dan
kandungan kimianya dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol.
Pengolahan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menjadi bioetanol
menggunakan perpaduan 2 (dua) metoda yaitu metoda Aryafatta dan
metoda Prihandana.
60

Pada prinsipnya, metoda ini sama dengan pengolahan singkong


menjadi bioetanol yaitu melalui tahapan hidrolisis, fermentasi dan
destilasi., akan tetapi karena bahan berselulosa lebih komplek maka
diperlukan tambahan perlakuan berupa prêtreatment untuk
menghilangkan lignin.

Lignin perlu dihilangkan karena dapat mengganggu/menghambat


proses hidrolisis selulosa. Penghilangan lignin dapat dilakukan dengan
cara perendaman dalam larutan NaOH 5% disertai dengan pemanasan

pada suhu 120oC.

Sebelum perlakuan pre treatment TKKS terlebih dulu dipotong–potong


kemudian dikeringkan lalu digiling menggunakan mesin penggiling
(Willey mill). Setelah pre treatment ampas yang tersisa dihidrolisis
dengan enzim selulase 13 menjadi gula – gula sederhana (glukosa).
(Sebenarnya proses hidrolisis ini dapat juga dilakukan dengan cara
penambahan asam kuat seperti H2SO4 pekat atau HCl pekat dan

berlangsung lebih cepat).

Tetapi karena sifat asam kuat yang tidak spesifik terhadap substrat
maka asam tidak hanya menghidrolisis selulosa tetapi juga
menguraikan hemiselulosa menjadi senyawa furfural yang dapat
menghambat proses hidrolisis. Sehingga rendemen glukosa yang
dihasilkan sedikit.
61

Berdasar Hasil Uji kandungan hara terhadap limpah padat pabrik kelapa
sawit dari PT. Korindo – Jair, Boven Digoel dihasilkan pati, sellulosa dan
glukosa dengan kandungan cukup besar yaitu Sellulosa 12.357 sampai
47,43% dan Glukosa 0.022 sampai 0,463%, sementara diketahui
bahwa cairan glukosa yang terbentuk dengan kisaran 0.022 sampai
0.463% berat kemudian difermentasi menggunakan khamir
Saccharomyces cereviseae yang mampu mengubah glukosa menjadi
alkohol (alkohol). Saccharomyces cereviseae ini bersifat fakultatif
anaerob sehingga masih membutuhkan oksigen dalam jumlah sedikit.

Kondisi optimum fermentasi adalah pada suhu 30oC, pH 4,0 – 4,5 dan
kadar gula (10 – 18) %. Selama fermentasi dilakukan pengadukan
(aerasi) dan akan terjadi kenaikan suhu sehingga perlu dilakukan
pendinginan. Pada awal fermentasi perlu ditambahkan nutrien dan
kofaktor yang berperan penting bagi kehidupan khamir seperti karbon,
oksigen, nitrogen, hidrogen, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium
agar pertumbuhan khamir bisa optimal.

Proses fermentasi berlangsung selama 30 – 72 jam dan akan terhenti


setelah kadar etanol sebesar 12%. Hal ini karena etanol 12% dapat
membunuh khamir itu sendiri sehingga menghambat fermentasi. Etanol
yang dihasilkan kemudian didestilasi untuk meningkatkan kadarnya.
Etanol yang telah didestilasi mempunyai kadar (91 – 92) %.
Peningkatan kemurnian etanol dapat dicapai dengan cara dehidrasi
sehingga mencapai kemurnian 99,7%.
62

b. Cangkang dan Serabut

Berdasar uji laboratorium (Tabel 4.4) terhadap serabut kelapa sawit


(4.875.7857 kal/gram), TKKS (4.492,7446 kal/gram) dan Cangkang
(5.656.7127 kal/gram) maka Cangkang kernel inti sawit bisa dijadikan
sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Litrik Tenaga Uap (PLTU)
dalam bentuk arang atau dibuat dahulu menjadi bio-briket dengan
proses densitifikasi (pemadatan) yang prosesnya dapat dilihat dibawah
ini.

Limbah
biomassa
A

Pengeringan Penambahan
perekat

Pengarangan/
Sortasi Pengadukan
karbonisasi

Penyeragaman
ukuran Pengempaan

A Biobriket

Gambar 2.8 Prosedur pembuatan bio-briket (PTPN, 2009)


63

Pengempa briket manual Pengempa briket mekanis

Berbagai bentuk dan jenis briket


biomassa

Gambar 2.9 Bio-briket (PTPN, 2009)

2.2 Proses Pembuatan Selulosa

Selulosa adalah polisakarida yang terdiri dari rantai linier dari beberapa
ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan β(1→4) unit D-glukosa.
Selulosa adalah karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan
menempati hampir 60% komponen penyusun struktur kayu. Selulosa
merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama hemiselulosa,
pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat
dinding sel tanaman. Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai
sisa tanaman atau dalam bentuk sisa pertanian seperti jerami padi, kulit
jagung, gandum,kulit tebu dan lain-lain tumbuhan.

Selulosa hampir sama dengan amilosa yaitu sama-sama polimer


berantai lurus hanya saja berbeda pada jenis ikatan glukosidanya.
64

Selulosa bila dihidrolisis oleh enzim selobiase yang cara kerjanya


serupa denga beta- amilase akan menghasilkan dua molekul glukosa
dari ujung rantai sehingga dihasilkan selobiosa beta-1,4 - G-G.

Dalam pembuatan selulosa ada beberapa metode proses yang dapat


digunakan sesuai dengan keluaran jenis selulosa yang diinginkan.
Selulosa yang banyak digunakan dalam industri maupun kebutuhan
lainnya yaitu:
1. Selulosa Asetat.
2. Selulosa Triasetat.
3. Selulosa alfa (α).

2.2.1 Selulosa Asetat

Selulosa asetat merupakan salah satu senyawa turunan selulosa


(cellulose derivate) dalam bentuk eter yang penting dan banyak
digunakan untuk industri, antara lain untuk pembuatan membran,
serat, plastik serta pelapis. Gugus OH pada molekul selulosa dapat
digantikan oleh gugus fungsi lain selama esterifikasi. Adanya tiga gugus
OH pada molekul selulosa memungkinkan untuk menghasilkan selulosa
asetat dalam bentuk monoasetat, diasetat, serta triasetat. Selulosa
yang diesterifikasi menjadi selulose triasetat memiliki rumus emperik
C5H7O2(CH3CO)3 (Bydson, 1995).

Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat


subtitusi (DS) dan derajat polimerisasinya. Derajat substitusi suatu
selulosa asetat akan berpengaruh terhadap penggunaanya terutama
65

kemampuannya larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan


Wegener, 1984). Derajat polimerisasi selulosa asetat berpengaruh pada
sifat-sifat mekanik dan kinerja produk yang dihasilkan. Derajat
polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi bahan
baku yang digunakan serta kondisi yang dialami selama prose
pembuatan selulosa asetat (Bydson, 1995). Kekentalan selulosa asetat
akan turun selama esterifikasi bahkan setelah pembentukan seluloss
triasetat. Penurunan kekentalan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain nisbah anhidrida asetat, konsentrasi katalis dan suhu (Malm
et al., 1961). Kadar asetil selulosa asetat berpengaruh terhadap
kelarutannya dalam pelarut organik. Variasi jenis selulosa asetat
sehubungan dengan kadar astil, derajat substitusi dan pelarut yang
sesuai serta aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Variasi Jenis Selulose Asetat (Fengel dan Wegener, 1984)

Kadar Asetil Derajat


No. Pelarut Aplikasi
(%) Substitusi
1 13,0 – 18,6 0,6 -0,9 Air -
2 22,2 – 32,2 1,2 – 1,8 2-metoksi etanol Plastik, pernis
3 36,5 – 42,2 2,2 – 2,7 Aseton Serat, Film
4 43,0 -44,8 2,8 – 2,3 Kloroform Serat, Lembaran

Selulosa asetat mempunyai gugus-gugus fungsi yang khas yang tidak


dimiliki oleh selulosa. Hasil analisis dengan spektrometri infra merah
menunjukkan gugus-gugus fungsi yang khas yang terdapat pada
selulosa asetat tapi tidak terdapat pada selulosa gugus fungsi, tapi tidak
terdapat pada selulosa yaitu gugus fungsi karbonil (C=O) dan gugus
fungsi C-O (Silverstein el al., 1991).
66

1. Proses Pembuatan Selulosa Asetat

Produksi selulosa asetat secara komersial umumnya dilakukan dengan


mereaksikan selulosa dengan anhidrida asetat, dengan menggunakan
katalis asam sulfat atau asam perklorat serta asam asetat sebagai
pelarut. Asam sulfat adalah katalis yang paling banyak digunakan pada
produksi selulosa asetat (Kuo et al., 1997).

Kualitas selulosa yang dipakai untuk bahan baku dalam pembuatan


selulosa asetat sangat berpengaruh terhadap mutu keluaran produk
yaitu selulosa asetat. Untuk bahan baku sebaiknya selulosa yang
dipakai mempunyai tingkat kemurnian tinggi dalam hal ini sebaiknya
menggunakan selulosa α. Pulp kayu dan kapas kualitas tinggi biasanya
dipakai untuk bahan baku pembuatan selulosa asetat mempunya
kandungan selulosa α ≥ 95%, pentosan ≤ 2,1%, viskositas intrisik
550 – 750 dm3/kg, kelarutan dalam eter < 0,08%, serta kandungan zat
besi lebih kecil dari 10 mg/kg (Achmadi, 1990).

Menurut Ott et al. (1954) dan Nevel dan Zeronian (1985), pembuatan
selulosa asetat terdiri atas 4 (empat) tahap yaitu:
1) Praperlakuan (pretreatmet).
2) Asetilasi (acetylation).
3) Hidrolisis (Hydrolysis).
4) Pemurnian (purification).

Lebih jelasnya mengenai proses pembuatan selulosa asetat diberikan


pada Gambar 2.10 berikut:
67

Gambar 2.10. Skema Pembuatan Selulosa Asetat


(Kirk Othmer, 1998)

1) Praperlakuan/Penyediaan selulosa untuk asetilasi

Pulp kayu disuplai dalam sebuah roll dengan beban 300 kg. Lembaran
pulp harus terdispersi tanpa merusak serat individual untuk
menghasilkan luas permukaan yang cukup untuk asetilasi sempurna.
Beberapa pembuatan menggunakan disk refiner, ada juga yang
menggunakan metoda basah. Dalam satu contoh, untuk meningkatkan
pencapaian proses, maka pulp-pulp halus (fluffed) diaduk dengan
campuran asam asetat-air selama 1 jam pada temperatur 25-40oC.
Tahap aktivasi termasuk dalam proses katalis rendah dengan
menggunakan campuran asam asetat-asam sulfat dengan konsentrasi
asam sulfat 1-2% dari berat pulp. Tahap aktivasi berlangsung selama
68

1-2 jam dimana derajat polimerisasi dari selulosa berkurang.


Pengontrolan waktu aktivasi dan temperatur dapat menghasilkan
derajat polimerisasi yang diinginkan. Pulp kemudian diumpankan ke
reaktor asetilasi setelah tahap pengolahan awal dan aktivasi.

2) Asetilasi

Esterifikasi selulosa dengan asetat anhidrida membebaskan panas 1.03


kJ/g selulosa dan reaksi asetat anhidrida dengan air dari tahap
pretreatment menghasilkan panas 3.3 kJ/g air. Oleh karena itu, heat
sink dibutuhkan untuk dua reaksi eksotermik yang terdapat pada proses
asetilasi. Pada asetilasi katalis tinggi, panas terbentuk dengan sangat
cepat dan sebuah bejana berjaket tidak menyediakan kapasitas
pendinginan yang tidak mencukupi. Maka, campuran asetilasi sedikit
didinginkan di bejana terpisah yang dinamakan dengan crystallizer
sehingga beberapa asam asetat membeku. Hal ini sangat penting
dalam tahap awal asetilasi, dimana bila terdapat sedikit kenaikan
temperatur akan mengurangi derajat polimerisasi.

Ketika asetilasi telah siap, maka campuran ditambahkan air untuk


menghilangkan anhidrida yang berlebihan dan membuat konsentrasi air
sebesar 5-10% untuk hidrolisis. Konsentrasi selulosa asetat yang
didapat sekitar 10-25%.

Semua proses asetilasi komersial bersifat heterogen. Proses homogen


dengan bahan baku serpihan pulp (flaked pulp) akan membuat kualitas
69

produk asetat lebih baik meskipun kerugiannya terletak pada biaya


pemulihan pelarut.

3) Hidrolisis

Jumlah gugus asetil yang terdapat pada setiap unit anhidroglukosa


pada kekomplitan reaksi asetilasi yaitu kurang dari 3.0 dan harus
dikurangi hingga 2.4 untuk membuat selulosa asetat sekunder yang
dapat larut dalam aseton. Jumlah gugus asetil dikurangi dan gugus
sulfat yang bergabung dikurangi dengan hidrolisis asam dengan
pengaruh pengontrolan waktu, temperatur dan keasaman. Gugus sulfat
yang lebih mudah terhidrolisis daripada gugus asetil meningkatkan
keasaman reaksi. Temperatur hidrolisis berkisar 50-100oC dan waktu
reaksi bervariasi dari 1 hingga 24 jam. Hidrolisis juga dapat dilakukan
pada kondisi lain. Sebagai contoh, ketika dilakukan pada temperatur
yang lebih tinggi, akan terjadi degradasi terhadap polimer dan yield
produk yang berkurang.

4) Pemurnian

Pengendapan, pencucian, dan pengeringan merupakan tahap terakhir


dalam pembuatan polimer. Pengendapan dimulai dengan
menghidrolisis larutan selulosa asetat dengan asam asetat encer (10-
15%) hingga mencapai titik pengendapan. Asam asetat yang encer
ditambahkan secepat mungkin dan segera diaduk. Untuk memperoleh
bubuk endapan, larutan yang diaduk kemudian diencerkan sampai
endapan terbentuk. Proses lain melibatkan ekstrusi dari larutan
70

terhidrolisis ke dalam larutan asam; proses ini kemudian membentuk


untaian halus yang bila dipotong akan membentuk pelet.

Endapan selulosa asetat kemudian disaring dari asam asetat encer (25-
36%). Asam asetat dan garam yang tersisa dari netralisasi asam sulfat
kemudian dihilangkan dengan pencucian.

Polimer basah kemudian dikeringkan hingga mencapai kelembaban 1-


5%. Asam asetat encer yang kemudian didapatkan dari tahap
pencucian dan pengendapan tidak dapat digunakan untuk proses
lainnya. Faktor pemulihan dan daur ulang merupakan keperluan
ekonomi.

Polimer asetat dan triasetat merupakan padatan amorf putih dalam


bentuk glanular, serpihan, bubuk dan serat. Polimer ini digunakan
sebagai bahan baku dalam pembuatan serat, film, dan plastik. Densitas
polimer bervariasi dari 100 kg/m3 untuk bentuk serat hingga 500 kg/m3
untuk bentuk granula.

Sekitar 4.0-4.5 kg asam asetat per kg selulosa asetat digunakan dalam


proses larutan; 0.5 kg digunakan untuk produk dan sisanya 3.5-4.0 kg
dipulihkan sebagai larutan dengan kandungan asam asetat 25-35%.
Larutan ini juga mengandung garam terlarut dari netralisasi asam sulfat
yang larut dan selulosa berat molekul rendah dan hemiselulosa asetat.
Asam asetat dipulihkan dari aliran asam lemah dengan ekstraksi pelarut
dengan solven seperti etil asetat atau metil etil keton. Hasil ekstrak
kemudian diumpankan ke kolom distilasi dan fasa rafinat yang
71

mengandung garam anorganik diambil. Ekstraksi pelarut di distilasi dan


meninggalkan sisa asam asetat glasial.

2. Kegunaan Utama Selulosa Asetat

Beberapa keguanaan utama dari selulosa asetat adalah:


1) Bidang Pakaian: tombol, kacamata hitam, pelapis, blus, gaun,
pernikahan dan pakaian pesta, perabot rumah, gorden, kain pelapis
dan penutup slip.
2) Penggunaan bidang industri : rokok dan filter lainnya, tinta untuk
pena dengan ujung serat.
3) Produk dengan daya serap tinggi : popok dan produk bedah.
4) Mainan Produk Lego

Gambar 2.11 Ujung Pen dengan Bahan Selulosa Asetat


(www.art-social.com)

Gambar 2.12 Filter Rokok


(www.tokorokok.com)
72

2.2.2 Serat Selulosa Asetat dan Triasetat

Proses pembuatan serat selulosa asetat dan triasetat terdiri 4 (empat)


proses yaitu:

1. Proses Ekstrusi

Larutan polimer diubah ke bentuk fiber dengan ekstrusi. Proses ekstrusi


kering atau dry spinning merupakan proses utama dalam asetat dan
triasetat. Pada operasi ini, larutan polimer dalam pelarut volatil dipaksa
melalui sejumlah orifis paralel ke kabinet yang berisi udara hangat;
serat dibentuk dengan penguapan pelarut. Dalam ekstrusi basah,
larutan polimer dipaksa melalui spinneret ke sebuah cairan yang
mengkoagulasikan filamen dan menghilangkan pelarut. Dalam ekstrusi
leleh, lelehan polimer dipaksa melalui multihole die ke udara yang akan
mendinginkan untaian benang menjadi filamen.

Proses ekstrusi kering terdiri atas empat operasi : pelarutan polimer


dalam pelarut volatil; penyaringan larutan untuk menghilangkan
material tidak larut; ekstrusi larutan untuk membentuk serat; dan
pelumasan, pembentukan rajutan benang (yarn formation), dan
pengepakan.

2. Pelarutan Polimer

Konsentrasi optimum untuk spinning larutan asetat bergantung pada


keseimbangan antara konsentrasi padatan tertinggi dengan produk
73

larutan yang memiliki viskositas besar. Meskipun konsentrasi padatan


yang tinggi membentuk serat dengan sifat yang baik tetapi akan
mengurangi jumlah pelarut yang akan dipulihkan. Solven dengan
komposisi aseton 95% dan air 5% serta kandungan padatan polimer
20-30% bergantung pada berat molekul polimer. Viskositas larutan
pada temperatur ruangan sekitar 100-300 Pa.s

Selulosa triasetat kurang larut dalam aseton dan solven lain yang
umumnya digunakan untuk proses ekstrusi kering yaitu hidrokarbon
terklorinasi, metil asetat, asam asetat, dan dimetil sulfoksida.

Polimer asetat dan triasetat diumpankan ke pencampur beban berat


bersamaan dengan solven dan sebuah alat filter seperti serat kayu-
pulp. Konsentrasi, temperatur, dan kehomogenan pencampuran
merupakan faktor yang perlu dikontrol. Untuk serat yang pudar, sekitar
1-2% pigmen titanium dioksida ditambahkan dalam proses
pencampuran atau injeksi setelah proses filtrasi.
3. Penyaringan Larutan

Larutan polimer, yang bebas dari selulosa tak terasetilasi, mengandung


partikel kontaminan kaku dan pengotor harus melewati spinneret
dengan diameter lubang 30-80 um. Partikel yang tidak diinginkan
seperti hemiselulosa asetat yang terdapat pada pengotor selulosa
cenderung ditipiskan daripada dihilangkan.
74

4. Ekstrusi

Filtrat yang berupa larutan polimer terpanaskan kemudian diumpankan


ke spinneret untuk ekstrusi pada volume konstan. Spinneret merupakan
bahan dari stainless steel dan mengandung tiga belas hingga ratusan
lubang untuk membentuk serat sesuai ukuran dan bentuk yang
diinginkan.

Sebelum masuk ke spinneret, larutan ekstusi yang dinamakan dope


dipanaskan untuk mengurangi viskositas dan menyediakan panas untuk
menyorotkan solven dari filamen yang terekstrusi. Larutan polimer yang
panas menyatu seketika filamen dari spinneret masuk ke kolom dengan
udara kering. Pemanasan dengan udara kering akan membuat solven
menguap. Sekitar 80% dari solven dapat dihilangkan dalam pemanasan
ini. Aliran udara dapat bersifat searah (cocurrent) dan berlawanan arah
(counter current) terhadap pergerakan serat.

Solven yang digunakan untuk membentuk dope diuapkan ketika proses


ekstrusi berlangsung dan harus dipulihkan. Hal ini biasanya
menggunakan metoda adsorbsi dengan karbon aktif atau kondensasi.
Untuk pemurnian akhir, solven kemudian didestilasi.

2.2.3 Selulosa alfa (α)

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (mumi).


Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan
baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan
75

selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada


industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon). Selulosa dapat
disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat
(NC), asam sulfat (SC) dan asam fosfat (FC). Dari ketiga unsur tersebut,
NC memiliki nilai ekonomis yang strategis daripada asam sulfat/SC dan
fosfat/FC karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku
propelan/bahan peledak pada industri pembuatan munisi/mesin dan
atau bahan peledak.

Dalam proses pembuatan Selulosa alfa (α) bahan bakunya dapat


berupa tumbuhan yang berserat dan mengandung pati, adapun
beberapa bahan baku yang umumnya adalah Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS), Pelapah Sawit, Sabut Kelapa, Pisang, Kapas, dan Kapuk,
dengan bahan baku tersebut maka dapat dibuat selulosa α dengan
peralatan, bahan dan proses skala laboratorium berikut.

1. Peralatan dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada proses ini meliputi gelas beker,


erlenmeyer, corong pemisah, pipet tetes, gelas ukur, oven, refluks,
derigen, ember, kain penyaring, kertas saring, indikator universal, botol
gelap, alumunium foil, neraca analitik, pengaduk, pembakar bunsen,
magnetic stirer,desikator, kertas saring whatman nomer 2, lemari
asam, statif, buret, FT-IR (Fourer Transform Infra Red) dan DSC
(Differential Scanning Calorimetry).
76

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelepah


kelapa sawit, larutan NaOH, larutan H2SO4, H2O2, NaOCl, Na2SO3,
NaNO2, larutan kalium dikromat, indikator ferroin, larutan ferro
ammonium sulfat, dan aquades.

2. Prosedur Pembuatan

Beberapa tahapan dan prosedur dalam proses pembuatan selulosa α


adalah berikut ini.

a. Preparasi Sampel

Sampel berasal dari Kebun milik Politeknik Teknologi Kimia Industri


medan. Langkah pertama, mencuci sampel dengan air bersih dan
menjemurnya di bawah sinar matahari selama satu hari. Selanjutnya,
membelah pelepah kelapa sawit yang setengah kering menjadi empat
dan menjemurnya kembali di bawah sinar matahari selama satu hari
agar kadar airnya berkurang. Kemudian memotong tandan sawit
menjadi berukuran sekitar 2 cm tahap terakhir adalah memblender
sampel hingga diperoleh serbuk halus.

b. Isolasi α-Selulosa dari Pelepah Kelapa Sawit

75 gram serat TKS dilarutkan ke dalam satu liter HNO 3 3,5 % dan
ditambahkan 10 mg NaNO2. Campuran sampel dipanaskan diatas hot
plate pada suhu 90oC selama dua jam. Selanjutnya, campuran disaring
dan dicuci sampai didapatkan ampas dengan filtrat netral. Ampas
77

direfluk dengan campuran NaOH 2 % dan Na2SO3 2 % perbandingan


(1:1) yang berjumlah 750 ml pada suhu 50oC selama dua jam.
Kemudian campuran disaring dan dicuci hingga didapat ampas dengan
filtrat netral. Tahap berikutnya proses pemutihan yang dilakukan
dengan melarutkan ampas sampel ke dalam 250 ml NaOCl 1,75 % pada
temperatur mendidih selama 30 menit. Kemudian campuran disaring
dan dicuci sampai 27 filtrat dari ampas sampel netral . Pemurnian α-
selulosa dilakukan dengan cara sampel dilarutkan ke dalam 500 ml
NaOH 17,5 % pada suhu 80oC selama 30 menit. Selanjutnya campuran
disaring dan dicuci sampai filtrat ampas netral. Tahap akhir, sampel
dilarutkan ke dalam larutan H2O2 10 % selama satu jam. Sampel yang
didapatkan disaring dan dicuci sampai filtrat ampas netral. Kemudian
ampas (pulp) yang didapat dioven pada suhu 60oC hingga diperoleh
bobot konstan. Pulp kemudian disimpan dalam desikator (Patraini,
2014). Pada penelitian ini, α-selulosa dibuat dari pelepah kelapa sawit
melalui proses delignifikasi dengan memvariasi konsentrasi NaOH 2 %,
4 %, dan 6%.

c. Penentuan Kadar α-Selulosa Menggunakan Metode Uji


SNI 0444:2009

Penentuan kadar α-selulosa dilakukan dengan cara sampel ditimbang


sebanyak 1,5 gr. Selanjunya sampel dimasukkan ke gelas piala dan
ditambahkan 75 ml larutan NaOH 17,5 %, sebelumnya NaOH
disesuaikan pada suhu 25oC sambil mencatat waktu pada saat larutan
NaOH ditambahkan. Setelah itu, sampel diaduk menggunakan stirer
perlahan sampai terdispersi sempurna. Hati-hati dalam proses
78

pengadukan untuk menghindari terjadinya gelembung udara dalam


suspensi pulp selama proses pengadukan.
Pengaduk dicuci menggunakan 25 ml larutan NaOH 17,5% diatas gelas
piala yang mengandung sampel sehingga volume mencapai 100 ml.
Selanjutnya suspensi pulp diaduk menggunakan batang pengaduk dan
dimasak dalam air dengan suhu 50oC sampai waktu 30 menit dari awal
perhitungan waktu. Campuran yang 28 diperoleh didiamkan pada suhu
ruang, kemudian ditambah dengan aquades 100 ml. Campuran diaduk
menggunakan batang pengaduk dan dimasak pada suhu 50oC selama
30 menit sehingga total waktu pada proses ini 60 menit. Suspensi yang
didapatkan, selanjutnya diaduk dan disaring sehingga didapatkan
filtrat.

10 ml sampai 20 ml filtrat pertama dibuang, kemudian sisa filtrat


diisihkan untuk analisis kadar α-selulosanya. Selanjutnya filtrat dipipet
sebanyak 10 ml dan ditambah 7 ml larutan kalium dikromat 0,5 N ke
dalam labu 250 ml. Sampel ditambah secara hati-hati 50 ml asam sulfat
pekat dengan menggoyang labu dalam lemari asam. Campuran
dibiarkan tetap panas selama 15 menit dan dipanaskan pada suhu
125oC sampai 135oC lalu ditambahkan 50 ml aquades dan didinginkan
pada suhu ruangan.

Langkah selanjutnya sampel ditambah 2 tetes sampai 4 tetes indikator


ferroin, kemudian dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 0,1 N
sampai berwarna ungu. Terakhir blanko dibuat dengan perlakuan sama
seperti persiapan sampel namun tidak dimasukkan sampel. Kemudian
fitrat tanpa sampel ini diberi perlakuan sama seperti penambahan
79

kalium kromat dan lainnya, kemudian dititrasi menggunakan larutan


ferro ammonium sulfat 0,1 N. Hasil analisis dibandingkan antara sampel
NaOH 2%, NaOH 4%, NaOH 6%, NaOH 8%, sehingga dapat ditentukan
keadaan yang paling optimum menggunakan rumus berikut:

6,85 (𝑉1−𝑉2)𝑥 𝑁 𝑥 20
X = 100 -
𝐴𝑥𝑊

Dimana:
X = Selulosa alfa (%);
V1 = Volume titrasi blanko (ml);
V2 = Volume titrasi filtrat pulp (ml);
N = Normalitas larutan ferro ammonium sulfat;
A = Volume filtrat pulp yang dianalisa (ml);
W = Berat kering oven contoh uji pulp (g).

2.3 Proses Pembuatan Nitrocellulose

Sekarang ini tanaman kapas dan kapuk masih terbatas dalam


penggunaannya. Penggunaan kapas diantaranya adalah digunakan
sebagai peralatan kecantikan, sedangkan kapuk digunakan sebagai alas
tidur, dan digunakan dalam industri tekstil. Di sisi lain penggunaannya
juga terus berkurang karena adanya bahan yang lebih baik kualitasnya
karena adanya penggunaan bahan seperti dacorn. Oleh karena hal
tersebut perlu dipikirkan penggunaan untuk meningkatkan nilai guna
dari kapas dan kapuk tersebut sehingga bisa meningkatkan
kesejahteraan dari petani kapas dan kapuk.
80

Salah satu yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai guna dan
nilai ekonomis dari bahan selulosa kapas dan kapuk adalah
pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan nitroselulosa dengan
menggunakan reaksi nitrasi. Reaksi ini adalah reaksi pembuatan
nitroselulosa dengan menggunakan campuran asam nitrat dan asam
sulfat dengan bantuan air dengan atau tanpa pengadukan. Komposisi
reaktan diatur agar dihasilkan nitroselulose dengan kadar N = 12,2%.
Nitroselulosa yang dihasilkan distabilkan dengan memanaskan dalam
asam panas diikuti dengan larutan natrium karbonat encer panas
(Hantaya, 2010).

Nitroselulosa mempunyai rumus molekul (C6H7O2(OH)3)n. Dari rumus


molekul ini tampak bahwa unsur-unsur bahan bakar (fuel) yaitu C dan
H bergabung dengan unsur oksidator (oxidizer), yaitu O membentuk
satu senyawa yang mampu terbakar apabila dikenai energi aktivasi
walaupun tanpa kehadiran oksigen dari udara (udara mengandung 21
%v oksigen dan 79 %v nitrogen). Nitroselulose (<12,6 % N) biasanya
dipertahankan basah dan mengandung ± 30 % air agar tidak mudah
meledak. Nitroselulosa dengan kadar N lebih tinggi dikenal sebagai
guncotton dan mudah meledak meski sedikit basah. Jika kering semua
jenis nitroselulosa sangat peka terhadap ledakan dan cukup berbahaya.
Nitroselulosa kering diperlukan untuk jenis bahan peledak tertentu, dan
ini dibuat dengan pengeringan pelan-pelan dari nitroselulosa basah
dalam aliran air hangat (Selwitz, 1988).

Pemanfaatan dari nitroselulosa sendiri saat ini sangat luas. Diantaranya


pemanfaatan nitroselulosa dapat digunakan sebagai bahan bakar yang
81

bisa digunakan dalam skala rumah tangga maupun dalam skala


industri. Nitroselulosa juga dapat digunakan untuk bahan bakar
pengganti minyak gas dan juga LPG dalam memasak dengan
melarutkan dalam methanol sehingga dihasilkan metanol gel
nitroselulosa. Penggunaan lainnya pada era modern ini adalah
pengembangan penggunaan nitroselulosa sebagai bahan peledak,
maupun sebagai bahan baku penggerak roket. Oleh karena
pemanfaatannya yang sangat luas dan dapat meningkatkan nilai
kegunaan dan nilai keekonomisan dari bahan selulosa kapas dan kapuk,
maka penelitian pembuatan nitroselulosa dari bahan kapas dan kapuk
dengan reaksi nitrasi sederhana menggunakan HNO3 dalam media
H2SO4 ini perlu dilakukan. Di samping hal tersebut, pada saat ini
pembuatan nitroselulosa hanya memanfaatkan selulosa yang terdapat
di dalam kapas, sehingga penelitian ini mencoba mengangkat bahan
baku baru untuk pembuatan nitroselulosa yaitu dengan menggunakan
kapuk yang banyak terdapat di Indonesia.

Dalam proses pembuatan nitrocellulose beberapa tahapan yang


dilakukan yaitu:

1. Preparasi Bahan

Selulosa diperoleh dari kapas dan kapuk. Larutan HNO3 65% dan
larutan H2SO4 98% digunakan sebagai pereaksi dalam reaksi nitrasi
selulosa menjadi nitroselulosa. Larutan NaHCO3 dan aquadest
digunakan sebagai zat pencuci hasil reaksi.
82

2. Deskripsi Penggunaan Peralatan

Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah reaktor yang


terbuat dari kaca, sebagai tempat berlangsungnya reaksi nitrasi.
Reaktor dilengkapi dengan termometer, digunakan untuk mengukur
suhu reaksi nitrasi, dan diletakkan dalam ice bath untuk
mengkondisikan reaksi berlangsung pada suhu rendah.

3. Prosedur Pembuatan

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitun tahap pembuatan


nitroselulosa dan tahap analisis kualitas produk nitroselulosa yang
meliputi uji kelarutan untuk mengetahui perhitungan besarnya %
nitroselulosa produk dan uji Fourier Transform Infra Red FTIR untuk
mengetahui gugus nitro yang telah terbentuk.

Pada tahapan pembuatan nitroselulosa dapat dijelaskan sebagai


berikut:

a. Langkah Pertama
Menimbang kapas dan kapuk sesuai dengan variabel massa yang
ditentukan yaitu sebesar 5 gram. Selanjutnya disiapkan bahan
HNO3 65 %, bahan H2SO4 98 %, dan NaHCO3 yang cukup encer (10
%). Sebanyak 30 ml HNO3 dan 60 ml H2SO4 dimasukkan dalam
reaktor supaya terjadi reaksi nitrasi, kemudian ditunggu suhunya
hingga mencapai 5oC, yang dikondisikan dengan ice bath. Ketika
suhu reaksi yang diinginkan sudah tercapai maka dimasukkan
83

variabel kapas atau kapuk ke dalam reaktor dengan selama 30


menit.
b. Langkah Kedua
Apabila waktu reaksi telah tercapai, maka langkah selanjutnya
adalah mencuci kapas dan kapuk dengan menggunakan aquadest
dan dilanjutkan dicuci dengan NaHCO3 untuk stabilisasi dan
menyamakan distribusi gugus nitro (-NO2) dalam nitroselulosa yang
sudah terbentuk (Rahmad, 2010). Setelah dilakukan pencucian
dengan NaHCO3 selanjutnya nitroselulosa yang terbentuk dicuci
kembali dengan menggunakan aquadest dan ditiriskan. Selanjutnya
dilakukan untuk variabel-variabel yang lain.
c. Langkah Terakhir
Terakhir dalam penelitian ini adalah melakukan uji terhadap
nitroselulosa melalui untuk mengetahui kualitas nitroselulosa yang
dihasilkan melalui perhitungan %rasio nitroselulosa produk dan uji
Fourier Transform Infra Red (FTIR).

4. Kondisi Operasi dan Variabel

Dalam melakukan proses pembuatan nitrocellulose harus


memperhatikan kondisi operasi dan variabel yang digunakan dalam
proses ini. Adapun kondisi operasi dan variabel yang wajib dikontrol
yaitu:
- Tekanan atmosferik.
- Sistem operasi : Batch.
- Volume H2SO4 : 60 ml.
- Volume HNO3 : 30, 45, dan 60 ml.
84

- Waktu reaksi : 30, 45, dan 60 menit.


- Suhu reaksi : 5oC, 15oC, dan 25oC.
- Bahan Baku : Kapas dan Kapuk.

5. Hasil Proses

Pada penelitian ini kualitas nitroselulosa yang dihasilkan didasarkan


kepada ratio % nitroselulosa yang dihasilkan, dan kandungan gugus
nitro yang terdapat dalam nitroselulosa. Pada Gambar 2.1 merupakan
hasil analisa FTIR dari bahan selulosa kapas dan bahan selulosa kapuk.

Gambar 2.13 Kurva FTIR Kapas (Suhu 5OC, Waktu 30 menit, H2SO4
60 ml, HNO3 30 ml) (Erlangga, 2012)
85

Referensi

1. Achmadi. 1990. Kimia Kayu. Bahan Pengajaran Universitas Ilmu


Hayati. Institut Pertanian Bogor. 120 hlm. Anonim, 2005.
Pemanfaatan Ampas Tebu
2. Bydson, J.A. 1995. Plastic Material. 6th ed., Butterworth-
Heinemann, London
3. Erlangga Bayu P., Tafdhila, Ilham, Mahfud, Prihatini, Pantjawarni
Rr., 2012. Pembuatan Nitroselulosa dari Kapas (Gossypium Sp.)
dan Kapuk (Ceiba Pentandra) Melalui Reaksi Nitrasi, Jurnal Teknik
ITS Vol. 1, No. 1, ISSN: 2301-9271.
4. Fengel, D. and Wegener, G. (1984) Wood, Chemistry,
Ultrastructure, Reactions. Waster & Grugter, New York.
5. Hartaya, Kendra, 2010. Pembuatan Nitroselulosa dari Bahan
Selulosa Sebagai Komponen Utama Propelan Double Base. Pusat
Teknologi Dirgantara Terapan LAPAN Bogor.
6. Kirk Othmer, 1998, ”Encyclopedia of Chemical Technolog “, 4 nd
.ed. Vol.7. Interscience Willey.
7. Kuo MH, et al. (1997) Multiple phosphorylated forms of the
Saccharomyces cerevisiae Mcm1 protein include an isoform induced
in response to high salt concentrations. Mol Cell Biol 17(2):819-32.
8. Malm et al., 1961, “Cellulose and Cellulose Derivatives”, Part 2 of
High Polymer, Interscience Publishers.
9. Nevell, T. D. and Zeronian, S.H. 1985. Oxidant of Cellulose in
Cellulose Chemistry and Its Aplications, Ellis Hardwood Limited
Chicherter-West Sussex. Hlm. 243-265
86

10. Pratiwi RH., 2014, Potensi Kapuk Randu (Ceiba Pentandra Gaertn.)
dalam Penyediaan Obat Herbal , E-Journal WIDYA Keshatan Dan
Lingkungan Volume: 1
11. Rahmad, Alfein, 2010. Potensi Reject Pulp sebagai Bahan Baku
Pembuatan Propelan. Jurnal Universitas Riau, Pekan Baru.
12. Selwitz, Charles, 1988. Cellulose Nitrate in Conservation. The Getty
Conservation Institute.
13. Setiadi. Wi2011. Bertanam Kapuk Randu. Penebar Swadaya.
Anggota IKAPI. Jakarta.
14. Silverstein, R.M., Bassler, G.C. and Morrill, T.C. (1991)
Spectrometric Identification of Organic Compounds. John Wiley,
New York.
15. Soeprijono, 1974. Serat-Serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil
Bandung.
16. Sunarwan, Bambang, Juhana, Riyadi, 2013. Pemanfaatan Limbah
Sawit Untuk Bahan Bakar Energi Baru Terbarukan (EBT) Studi
Kasus: Limbah Sawit Produksi Sawit Daerah Kabupaten Boven
Digoel Provinsi Papua. Jurnal Tekno-Insentif Volume 7, Nomor 2
BAB 3
GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG RESIN

3.1 Jenis Botani Mengandung Resin

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan


yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan.
Selain itu juga hutan dapat diartikan sebagai sumber daya alam yang
banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Manusia melakukan
interaksi dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hutan
memiliki berbagai aspek manfaat bagi kehidupan manusia baik manfaat
langsung yang dirasakan maupun yang tidak langsung.

Beberapa pohon atau tanaman yang ada di dalam hutan mengandung


ressin yang dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan industri.
Pohon atau tanaman yang mengandung resin tersebut adalah:
1. Pohon Damar.
2. Pohon Pinus.

3.1.1 Pohon Damar

Resin merupakan senyawa organik atau campuran berbagai senyawa


polimer alam yang disebut terpen, berbentuk padat atau semi padat.
Resin mudah larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air
(Boer dan Ella 2001). Resin alam merupakan resin yang tereksudasi

87
88

secara alamiah dan keluar secara alami maupun buatan. Resin yang
tereksudasi secara alamiah mengandung campuran antara gum dan
minyak atsiri. Resin alam memiliki bentuk berupa padatan, berwarna
mengilap dan bening kusam, rapuh, meleleh bila kena panas dan
mudah terbakar (Sedtler et al. 1975 dalam Namiroh 1998).

Kirk dan Othmer (1941) dalam Larasati (2007), mengklasifikasikan


resin alam sebagai berikut:
1. Damar, yaitu golongan resin yang memilki bilangan asam rendah
dandapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contohnya
adalah damar mata kucing.
2. Golongan resin yang termasuk dalam resin semi fosil, jenis ini juga
dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contoh golongan
resin ini adalah damar resak, damar biru, dan damar hitam.
3. Kopal, yaitu golongan resin yang memiliki bilangan asam lebih
tinggi dibandingkan damar, resin ini dihasilkan dari jenis pohon
damar (Agathis sp) yang tergolong dalam famili Araucariacea.
4. Jenis-jenis resin yang lain seperti gondorukem, shellac, dan balsam.

Damar merupakan hasil eksudasi dari famili Dipterocarpaceae dan


Burseraceae, contoh jenis famili Burseraceae adalah Canarium
luzonicum. Pohon damar tumbuh baik di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. Menurut Jafarsidik (1987) dalam Mulyono (2009)
dan Sari (2002), resin damar diklasifikasikan menjadi resin bermutu
sedang dan bermutu baik. Resin damar bermutu sedang dihasilkan oleh
H. mengarawan, H. sangal, S. kunstleri, S. laevifolia, S. platycarpa, dan
89

S. faguetiana. Sedangkan resin damar bermutu baik dihasilkan oleh


S.lamellata, S. virescens, S. retinodes, H. celebica dan S. Javanica.
Berdasarkan dari warnanya resin damar dapat dibedakan menjadi
damar rasak, damar putih, damar merah, damar hitam, dan damar
mata kucing. Damar mata kucing merupakan resin damar yang
dihasilkan dari jenis Shorea javanica dengan mutu terbaik dan tertinggi.
Damar ini berwarna mengilap dan tampak seperti kaca.

1. Damar Mata Kucing (Shorea Javanica)

Pohon Shorea Javanica tingginya dapat mencapai 40-50 meter,


diameter mencapai 150 cm, dan berbanir. Permukaan kulit pada batang
berwarna kelabu tua sampai sawo matang, beralur dangkal, sedikit
mengelupas, kulit hidup berwarna kuning. Daunnya agak tebal,
berbentuk bulat telur memanjang, panjang 8-15 cm, lebar 4-7 cm,
ujung berbentuk meruncing, pangkal sedikit tumpul ( Boer dan Ella
2001, Al-rasyid 1991 dalam Larasati (2007).

Boer dan Ella (2001) melaporkan bahwa jenis pohon Shorea javanica
dikenal dengan berbagai nama daerah, yaitu damar mata kucing
(Sumatera Selatan) dan damar sibolga (Sumatra Utara). Secara umum
juga disebut damar kaca. Di Indonesia sendiri jenis Shorea javanica
tersedia cukup melimpah. Menurut Hadjib dan Abdurrachman (2005),
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil resin damar
yang cukup besar, memiliki hutan damar seluas 17.500 ha. Dari luasan
tersebut, 7500 ha diantaranya merupakan hutan rakyat yang dikelola
dengan berbagai sistem budidaya dan usaha tani. Menurut
90

Djajapertjunda dan Partadireja (1973) dalam Larasati (2007), damar


dari jenis Shorea javanica banyak dihasilkan di Provinsi Sumatra Barat,
Sumatra Utara, dan Riau.

Gambar 3.1 Struktur Buah dan Bunga Damar Mata Kucing


(TaniPedia.co.id)

2. Penyadapan Damar

Menurut Lukman (2001), dengan teknik penyadapan yang selama ini


diterapkan di Krui, produksi damar mata kucing per pohon sangat
bervariasi, yakni bekisar antara 0,5-4,5 kg/bulan. Boer dan Ella (2001),
melaporkan bahwa produktivitas pohon Shorea javanica yang
berdiameter 60-80 cm dapat mencapai 4-5 kg/bulan. Produktivitas
tergantung lokasi pohon yang disadap, periode sadap, faktor genetik
pohon, dan faktor teknologi pohon. Produktivitas getah masih dapat
ditingkatkan dengan perlakuan fisika dan kimia. Perlakuan fisika telah
dicoba pada shorea javanica, yaitu dengan melubangi batang tanaman
dan menutupnya dengan plastik sehingga produktivitas dapat
91

meningkat sebanyak 66,4%-114%. Sedangkan perlakuan kimia dapat


dilakukan dengan menggunakan cairan stimulans yang berfungsi untuk
memperlancar aliran getah dari saluran damar. Cairan stimulans yang
dapat digunakan adalah 10% CEPA (chloro-ethyl phosporic acid) dan
asam sulfat berkonsentrasi 10%. Masing-masing cairan tersebut dapat
meningkatkan produktivitas sebesar 110% dan 219%.

Pohon damar mulai disadap pada umur 20 tahun atau apabila diameter
batang telah mencapai 25-30 cm. Penyadapan damar dilakukan dengan
cara melukai bagian batang pohon dalam bentuk takik. Adapun bentuk
takik sadap pada umumnya berbentuk segitiga sama sisi dengan
ukuran bervariasi dari 7,5-12 cm dengan kedalaman 2-4 cm (Trison
2001, Boer dan Ella 2001). Resin yang tereksudasi dibiarkan mengalir
dan terkumpul di dalam lubang sadap hingga mengering dan mengeras.
Setelah resin damar mengering kemudian damar dikumpulkan. Periode
pengumpulan biasanya dalam waktu seminggu hingga satu bulan
setelah penyadapan (Lukman 2001).

Gambar 3.2 Teknik Penyadapan Damar (TaniPedia.co.id)


92

Menurut Trison (2001), setelah kegiatan pemanenan berakhir, maka


dilakukan proses pengolahan sederhana di tingkat pengumpul. Sampai
saat ini pengolahan dilakukan dengan pembersihan bongkahan-
bongkahan, kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat.
Setelah itu dilakukan penyortiran berdasarkan warna dan ukuran
bongkahan.

Gambar 3.3 Getah Damar Mata Kucing (PenglolaanHasilBumi.com)

3. Kegunaan Damar Mata Kucing

Damar mata kucing banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk


menyalakan obor, bahan membuat batik, bagian sambungan kapal,
sebagai bahan baku untuk perekat, cat, lilin, dan bahan pengisi kertas.
Menurut Djajapertjunda dan Partadireja (1973) dalam Larasati (2007),
damar mata kucing banyak digunakan sebagai bahan mentah dalam
industri-industri campuran karet, lak, vernis, plastik, macam-macam
kulit, korek api, bahan isolator, obat-obatan dan industri bahan
peledak. Beberapa penelitian terapan menunjukkan bahwa resin
93

damar berpotensi digunakan sebagai antirayap dan anti jamur (Sari


2002 dan Setyawati, 2001), bahan pengeruh dan pemberat (Mulyono
2009), minyak atsiri (Wiyono 1998 dan 2000), anti virus herpes
(Poehland et al. 1987 dalam Mulyono 2009), dan Pernis (Sumadiwangsa
et al. 2004).

Damar mata kucing di luar negeri telah banyak digunakan sebagai


bahan baku untuk pembuatan piringan hitam, campuran karet, water
proofing, pelapis permen untuk memberikan penampakan yang
mengkilap dan keras. Selain itu, dapat digunakan juga sebagai sebagai
campuran kuku kutek, dan saat ini sudah mendapat pengakuan food
and drugatministration di Amerika selatan (LATIN 2004 dalam Sakinah
2006).

4. Klasifikasi Damar Mata Kucing

Boer dan Ella (2001), menyatakan bahwa penentuan mutu damar di


Indonesia, masih dilakukan dengan sangat sederhana, yaitu
berdasarkan warna, kebersihan, dan ukuran bongkahannya. Mutu A, B,
dan C merupakan damar kualitas ekspor, ukuran bongkahan mutu A
dapat mencapai 10-15 cm, mutu B ukuran bongkahannya sekitar 1-2
cm, dan mutu C lebih kecil dari 1 cm. Mutu D dan E adalah kualitas
sedang dengan kotoran relatif lebih banyak.

Penentuan damar mata kucing di pasaran domestik yaitu dari tingkat


petani, penghadang, pedagang pengumpul desa, pedagang besar krui,
sampai ke industri maupun eksportir masih dilakukan secara visual.
94

Trison (2001), melaporkan bahwa pengklasifikasian damar mata kucing


di Krui Lampung berdasarkan ukuran bongkahan, kebersihan, dan
warna. Pengklasifikasian mutu damar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mutu A, yaitu merupakan resin damar berwarna kuning bening
dengan ukuran bongkahan besar ( 3 cm x 3 cm atau lebih).
b. Mutu B, yaitu resin damar berwarna kuning bening dengan ukuran
bongkahan agak lebih kecil (2 cm x 2 cm, atau lebih).
c. Mutu AB, merupakan resin damar berwarna kuning kehitaman
dengan ukuran bongkahan kecil ( 1 cm x 1 cm, atau lebih).
d. Mutu AC, merupakan resin damar yang berwarna kehitam-hitaman
dan berupa butiran-butiran kecil.
e. Mutu debu/Abu, yaitu mutu damar mata kucing yang berwujud
debu.

Pembagian mutu damar menurut SNI 01-2900-1999 disajikan pada


Tabel 3.1.

Tabel 3.1 spesifikasi syarat mutu damar mata kucing (SNI, 1999)

Jenis Uji Satuan Persyaratan


Titik lunak o
C 95-100
Bilangan asam (b/b) Mg/gr 19-36
Kadar abu (b/b) % 0,50-4,0
Bahan tak larut dalam toluena:
Golongan A, (b/b) % Maks 0,40
Golongan B, (b/b) % Maks 0,40
Golongan C, (b/b) % Maks 0,45
Golongan D, (b/b) % Maks 1,50
Golongan E, (b/b) % Maks 4,50
Golongan bubuk, (b/b) % Maks 7,50
Golongan A/D, (b/b) % Maks 0,75
Golongan A/E, (b/b) % Maks 1,80
95

5. Sifat-Sifat Damar Mata Kucing

Damar mata kucing memiliki bentuk bongkahan yang tidak beraturan,


bersifat rapuh, mudah melekat pada tangan, dan berwarna kuning
bening. Selain itu damar mata kucing juga bersifat sebagai isolator dan
tidak tahan panas serta mudah terbakar tetapi tidak bersifat volatil bila
tidak terdekomposisi. Warnanya mudah berubah terutama jika
disimpan dalam waktu yang lama. Mudah larut dan larut sempurna
dalam pelarut benzena, kloroform dan tetrahydronaptalena (Namiroh
1998, Setianingsih 1992). Bobot jenisnya kurang lebih 1,05 g/ml, kadar
air maksimum 1,4 %, susut bobot maksimum selama pengeringan
(105°C, 18 jam) 6%, kadar Pb maksimum 2 ppm (Boer & Ella 2000,
Weatherwax 2006 dalam Mulyono 2009). Titik leleh mencapai 120°C
(Sedtler et al.1925 dalam Setianingsih 1992). Sifat fisik damar mata
kucing disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Sifat-Sifat Damar Mata Kucing (Namiroh, 1988)

Kadar air
Perlakukan Titik lunak (oC)
(5)
Tanpa perlakukan 0,70 95-100
Dengan pemurnian fisik - 88,0
Dengan pemurnian
Kombinasi pelarut:
Benzene-Metanol 0,64-0,83 69,33-73,67
Benzene-etanol 0,38-0,70 65,00-68,00
Toluena-etanol 0,51-0,85 63,00-76,67
Pelarut+arang aktif - 87,25-97,50
Pemurnian dengan
- 93,00-104,125
pemanasan
96

Menurut Sedtler (1925) dalam Setianingsih (1992), senyawa yang


terdapat dalam resin damar dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu
ester resin serta produk dekomposisinya, asam resin dan resen. Ester
resin berasal dari alkohol resin yang terdiri dari resinol dan resinotanol.
Resen merupakan senyawa yang mengandung oksigen, bukan
merupakan alkohol, aldehida, ester, asam, maupun keton. Selain itu
resen juga tidak dapat bereaksi dengan basa. Sedangkan asam resin
merupakan senyawa yang kompleks dan mengandung satu atau lebih
gugus hidroksil. Umumnya asam resin memiliki bobot molekul tinggi.
Secara umum kandungan damar dapat terlihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Komposisi Kimia Damar Mata Kucing (Namiroh, 1998)

Bahan Jumlah (%)


Asam damarolat 23,0
Senyawa α-damarresen 40,0
Senyawa β-damarresen 22,5
Abu 3,5
Air 2,5
Minyak atsiri 0,5
Kotoran 8,0

Komposisi utama damar adalah resin yang mengandung fraksi yang


bersifat asam dan netral. Fraksi yang bersifat netral dikelompokkan
menjadi fraksi yang larut dalam etanol (disebut alfa-resin) dan fraksi
yang tidak dapat larut dalam etanol (disebut beta-resin). Beta-resin
merupakan fraksi yang memiliki bobot molekul rendah, sedangkan alfa-
resin umumnya merupakan senyawa terpen yang merupakan senyawa-
senyawa tetrasiklik. Fraksi yang bersifat asam antara lain asam
97

damarolat, asam ursonat, asam damarenolat dan asam damarenoat


serta metil ester dari asam-asam ini. (Doelen et al. 1998 dan Tan 1990
dalam Mulyono et al. 2004)

Hasil analisis gas kromatografi spektrum masa terhadap damar mata


kucing yang dilakukan oleh Mulyono (2009), berhasil mendeteksi
sejumlah 67 senyawa yang terdiri atas empat golongan, yaitu 30
senyawa karbon tetrasiklik, 3 senyawa pentasiklik, 11 senyawa C15 dan
23 Senyawa golongan lain. Komponen terbanyak dalam damar mata
kucing dan merupakan golongan karbon tetrasiklik adalah brasikasterol,
yaitu sebanyak 20,23%.

Yamaguchi (1971) dalam Setianingsih (1992), melaporkan bahwa di


dalam resin damar terdapat berbagai molekul yang termasuk ke dalam
golongan alkohol, asam, keton, dan ester. Menurut Manitto (1981)
dalam Setianingsih (1992), molekul di dalam resin damar termasuk
dalam golongan triterpen dan triterpen-o yang merupakan hasil reaksi
siklisasi dari polisoprene. Lenny (2006), melaporkan bahwa triterpen
merupakan senyawa yang memiliki atom C30 dan bersifat tidak
menguap. Perbandingan sifat kimia damar mata kucing berbagai mutu
yang belum dimurnikan dan damar mata kucing berbagai mutu yang
telah dimurnikan dapat dilihat pada Tabel 3.4.
98

Tabel 3.4 Sifat Kimia Damar Mata Kucing yang belum dimurnikan dan
damar yang telah dimurnikan (Wiyono dan Silitonga, 2001).

Dimurnikan dengan
Belum
Sifat Mutu Pelarut
Murni
Benzene Toluena
A 22,58 19,66 20,99
B 23,20 19,61 22,09
C 25,08 22,79 24,34
Bilangan asam
D 26,60 23,11 24,62
E 28,15 23,89 25,67
Abu 29,20 - -
A 31,30 21,62 21,96
B 30,55 22,10 22,37
Bilangan C 34,68 27,75 28,62
penyabunan D 37,18 29,11 30,16
E 39,65 32,61 34,48
Abu 58,02 - -
A 0,69 0,44 0,47
B 0,71 0,48 0,49
C 0,74 0,49 0,54
Kadar abu
D 8,03 0,52 1,07
E 11,22 0,57 1,22
Abu 0,79 - -
A 0,42 0,28 0,28
B 0,42 0,29 0,30
Ketidaklarutan C 0,44 0,30 0,31
dalam toluena D 1,84 0,31 0,32
E 3,90 0,31 0,34
Abu 6,248 - -

3.1.2 Pohon Pinus

Pinus pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok,


Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. FR Junghuhn
pada tahun 1841, dengan karakteristik dan ciri berikut.
99

1. Karakteristik dan Ciri Pohon Pinus

Spesies ini tergolong spesies cepat tumbuh dan tidak membutuhkan


persyaratan tempat tumbuh secara khusus, merupakan satu satunya
spesies pinus yang menyebar alami ke Selatan khatulistiwa sampai
melewati 2°LS. Tanda-tanda khusus dari pohon pinus adalah tidak
berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua,
tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam (Siregar 2005). Ciri lain
dari pohon pinus ialah pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan
pinus dewasa dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter 60–80 cm,
sedangkan tegakan tua dapat mencapai tinggi 45 m dan diameter 140
cm (Hidayat dan Hansen 2001).

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada


bulan Juli-November (Siregar 2005). Pohon pinus berumah satu dengan
bunga berkelamin tunggal, bunga jantan dan betina berada dalam satu
tunas, buah pinus berbentuk kerucut, silindris dengan panjang 5–10 cm
dan lebar 2–4 cm, lebar setelah terbuka lebih dari 10 cm, dan benih
pinus memiliki sayap yang dihasilkan dari dasar setiap sisik buah. Setiap
sisik menghasilkan 2 benih dengan panjang sayap 22–30 mm dan lebar
5–8 mm, dalam satu strobilus buah umumnya terdapat 35–40 benih
per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg (Hidayat
dan Hansen 2001).

Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat
III serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna
teras yang sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon
100

berumur tua, terasnya berwarna kuning kemerahan, sedangkan


gubalnya berwarna putih krem. Pinus merupakan pohon yang tidak
berpori namun mempunyai saluran dammar aksial yang menyerupai
pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan radial dan
tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan
struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola
dekoratif. Riap tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-
pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti
lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan 2002).

Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25
cm (Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah.
Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai
kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga
sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme. Serasah pinus akan
terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar 2005).

Selain Karakteristik dan ciri pohon pinus, pohon pinus dimanfaatkan


oleh manusia untuk kebutuhan industri melalui getahnya. Getah pinus
adalah zat cair pekat dari pohon pinus (Pinus sp) yang diperoleh dengan
cara penyadapan,

2. Getah Pinus

Getah pinus merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang
dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Indonesia berada di
urutan terbesar kedua setelah Cina dalam perdagangan getah pinus
101

internasional. Produksi getah dari Cina sebesar 430.000 ton (60% dari
total produksi di dunia) sedangkan Indonesia menghasilkan 69.000 ton
(10% total produksi didunia). Getah pinus merupakan salah satu
komoditi yang memiliki jumlah permintaan tinggi baik di pasar lokal
maupun internasional, dimana 80% produksinya dialokasikan untuk
kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika.

Pada tahun 2010, produksi gondorukem Perhutani Indonesia sebesar


55.000 ton dan terpentin sebesar 11.700 ton. Sedangkan permintaan
gondorukem di dunia naik sampai 1 juta ton per tahun. Oleh karena
itu, produksi gondorukem Indonesia untuk tahun 2011 ditargetkan
sebesar 65.000 ton dan terpentin 15.000 ton. Permintaan getah pinus
di Indonesia maupun di dunia semakin meningkat, sehingga perlu
dilakukan upaya meningkatkan produktivitas getah pinus di Indonesia.

3. Karakteristik Getah Pinus

Getah yang dihasilkan pohon Pinus merkusii digolongkan sebagai


oleoresin yang merupakan cairan asam resin dalam terpentin yang
menetes keluar jika saluran resin pada kayu/kulit pohon jenis jarum
tersayat/pecah. Penamaan oleoresin ini dipakai untuk membedakan
getah pinus dari getah alamiah (natural resin) yang muncul di kulit atau
dalam rongga jaringan kayu sebagai genus dari famili
Dipterocarpaceae, Leguminoceae, dan Caesalpiniaceae.

Getah yang berasal dari pohon Pinus berwarna kuning pekat dan
lengket, yang terdiri dari campuran bahan kimia yang kompleks. Unsur-
102

unsur terpenting yang menyusun getah pinus adalah asam terpen dan
asam abietic. Campuran bahan itu larut dalam alcohol, bensin, ether,
dan sejumlah pelarut organik lainnya, tetapi tidak larut dalam air. Hasil
penyulingan getah Pinus merkusii rata-rata menghasilkan 64%
gondorukem, 22,5% terpentin, dan 12,5% kotoran.

4. Kualitas Getah Pinus

Syarat kualitas getah pinus dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5 Kualitas Getah Pinus (Perhutani, 2012)

No. Karakteristik Satuan Mutu I Mutu II


1 Warna - Putih Putih sampai
keruh
kecoklatan
2 Kadar Air % ≤7 7<ka≤9
3 Kadar Kotoran % ≤7 7<kk≤9
4 Kadar Air+ Kadar Kotoran % ≤14 14<ka+kk≤18

Kualitas getah ditentukan kadar kotoran dan warnanya. Untuk


menghasilkan produk gondorukem berkualitas baik,maka diperlukan
bahan baku getah yang baik pula. Sehingga akan sangat membantu
apabila getah bisa dipisahkan sesuai kualitasnya. Apabila hal ini tidak
dapat dilakukan, maka diperlukan peralatan yang baik dan canggih
untuk mendapatkan getah berkualitas baik.
103

Gambar 3.4 Getah Pinus(tokopedia.com)

5. Alur Pengolahan Getah Pinus Jadi Gondorukem

Di Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Perum Perhutani


menggunakan bahan baku industri berupa getah pinus (Pinus
merkusii). Pengolahan getah Pinus diproses melalui beberapa tahapan.
Proses pengolahan getah menjadi gondorukem pada umumnya
meliputi 2 tahapan, yaitu pemurnian getah pinus dari kotoran dan
pemisahan terpentin dari gondorukem melalui distilasi/penguapan.
Proses pemurnian getah pinus terdiri atas:
1) Penerimaan dan Pengujian Bahan Baku (Getah Pinus).
2) Pengenceran Getah Pinus.
3) Pencucian dan Penyaringan.
4) Pemanasan/Pemasakan.
5) Pengujian dan Pengemasan.
104

6. Produk Hasil Pengolahan Getah Pinus

Produk hasil pengolahan getah pinus pada umum dijadikan


gondorukem dan terpentin. Adapun untuk lebih jelas mengenai
godorukem dan terpentin adalah sebagai berikut.

a. Gondorukem

Gondorukem (resina colophonium) adalah olahan dari getah hasil


sadapan pada batang tusam (Pinus sp). Gondorukem merupakan hasil
pembersihan terhadap residu proses destilasi (penyulingan) uap
terhadap getah tusam. Hasil destilasi larutan getah sendiri menjadi
terpentin. Gondorukem sebagai hasil dari olahan getah pinus dapat
dimanfaatkan antara lain:
• Industri batik: bahan penyampur lilin batik sehingga diperoleh
malam. Kebutuhan kira-kira 2,500 ton/tahun.
• Industri kertas: bahan pengisi dalam pembuatan kertas. Kebutuhan
kirakira 0.5 % dari produksi kertas atau 2,000 ton/tahun.
• Industri sabun: sebagai campuran kira-kira 5-10% dari berat
sabun.
• Pembuatan vernis, tinta, bahan isolasi listrik, lem, industri kulit dan
lainlain.
• Di luar negeri, gondorukem dan derivatnya digunakan untuk
membuat resin sintetis, plastik, lem, aspal, bahan plistur, lak
sintetis, industri sepatu, galangan kapal, dan sebagainya.
(http://trubusan.blogspot.com).
105

Gambar 3.5 Gondorukem (cv citra bangsa)

b. Terpentin

Minyak Terpentin (turpentine oil) adalah produk hasil distilasi


(penyulingan)/pengolahan getah pohon pinus/tusam (Pinus merkusii)
dari hutan produksi yang dikelola PT Perhutani. Kandungan utama pada
minyak terpentin adalah Alpha Pinene> 80%. Minyak Terpentin hasil
olahan dari getah pinus haruslah memenuhi beberapa persyaratan
untuk dapat masuk dalam klasifikasi mutu yang standar, yaitu Mutu
Utama (Mutu A) dan Mutu Standar (Mutu B).

Minyak Terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk


mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis untuk
mengkilapkan permukaan kayu dan bisa untuk bahan baku kimia
lainnya. Aroma terpentin harum seperti minyak kayu putih, karena
keharumannya itu terpentin bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai
106

atau pembunuh kuman yang biasa kita beli, tapi ada lagi kegunaan lain
dari terpentin sebagai bahan baku pembuat parfum, bahan campuran
minyak pijat. Salah satu bahan tambahan pembuatan permen karet
sehingga menjadi kenyal dan lentur.

Gambar 3.6 Terpentin (bukalapak.com)

3.2 Pemanfaatan Resin

Kekayaan flora rimba Indonesia sangatlah beraneka ragam, serta ada


beragam type hasil rimba non kayu satu diantaranya yaitu damar.
Faedah damar atau yang umum jg dimaksud resin, yaitu juga sebagai
bahan baku industri. Kualitas resin damar yang low digunakan pabrik
cat berkualitas rendah diIndonesia sedang mutu yang baik diekspor
terlebih ke Singapura. Dari Singapura, sesudah diolah lalu diekspor juga
sebagai insens atau bahan basic industri cat, tinta, serta vernis di
107

negara-negara maju. Beberapa sebagaian diekspor ke Indonesia untuk


industri batik serta bikin insens berkualitas rendah. Saat ini, Kalimantan
serta terlebih Sumatera Selatan adalah penghasil paling utama resin
damar yakni 80% dari keseluruhan produksi.

Damar yaitu resin yang didapat dr sebagian type pohon dr marga


Dipterocarpaceae salah satunya meranti (Shorea spp). Resin itu
dipanen dgn menyadap batang pohon yang masih tetap hidup. Di
Maluku ada 4 type damar yakni damar mata kucing, damar pilau, damar
batu serta damar daging dengan potensi rata2 sepanjang 5 th. paling
akhir sekitar pada 20. 000 kg - 715. 000 kg (Anonim 2007).
Penyebarannya diwilayah Seram Sisi Barat. Damar dihasilkan dr
tumbuhan yang sakit atau alami rusaknya pada kayu gubalnya
(Appanah serta Trumbull, 1998).

Resin damar digolongkan jadi resin cair serta resin padat. Resin cair
memiliki kandungan resin serta minyak esensial (oleresin) berwujud
cair serta mempunyai aroma yang khas. Resin padat yaitu resin berupa
padat lantaran beberapa kecil minyak esensialnya sudah menguap.
Resin padat gampang pecah atau patah (Appanah serta Trumbull,
1998). Resin damar memiliki kandungan asam gurjunik (C22H34O4) serta
beberapa naptha yang gampang menguap serta mengkristal.Karakter
fisik yang unik dr minyak damar yaitu pada suhu 30 oC beralih jadi
gelatin.

Kebiasaan orang-orang, resin damar jadikan bahan bakar lampu,


penambal perahu serta kerajinan tangan. Resin ini dipakai juga sebagai
108

kombinasi resin aromatik, berbentuk styrax benzoin yang digunakan


juga sebagai bahan baku kemenyan serta disinfektan fumigan. Diluar
Maluku dalam taraf industri, resin damar digunakan sebagai bahan
baku semir, kertas karbon, pita mesin tulis, plastik, vernis serta
bantalan objek mikroskopik. Damar bisa pula dipakai juga sebagai
bahan pelapis dinding, perekat kayu lapis serta asbes.

Resin damar bisa dipakai juga sebagai obat tradisional untuk diare serta
disentri, salep untuk penyakit kulit serta pengobatan masalah
pendengaran, rusaknya gigi, sakit mata, bisul serta luka (Appanah serta
Trumbull, 1998). Dengan cara tehnis, bisa dipakai juga sebagai bahan
cat, celupan batik, lilin, tinta bikin, linoleum serta kosmetik. Triterpenes
yang di isolasi dr damar sudah dipakai juga sebagai media antivirus pd
budidaya in vitro untuk penyakit Herpes simplex virus jenis I serta II
(Poehland et al, 1996).

Ada Orang-orang yang blm tahu pemakaian resin damar juga sebagai
bahan baku industri, terkecuali cuma dengan cara kebiasaan dipakai
untuk penerangan satu hari hari. Resin damar di jual masih juga dalam
bentuk bahan mentah serta blm di proses selanjutnya. Tehnik
memanen serta mengolahnya masih tetap dengan cara konvensional,
hingga harga jualnya tak untungkan terkecuali belum ada pasar untuk
menampungnya. biasanya sebagaian jual resin untuk bahan cat sablon,
tapi masih sangat belum umum sekali.

Sosialisasi pada yang memiliki tempat damar perihal resin serta tehnik
memanen, seleksi serta gradingnya sangatlah butuh dikerjakan. Kursus
109

serta magang ke Sumatera Selatan juga sebagai lokasi yang sukses dlm
membuahkan resin damar bisa berikan motivasi beberapa petani untuk
mengelola damarnya tambah baik serta berkualitas. Juga sebagai salah
hasil rimba bukanlah kayu, jadi sumber daya rimba itu mesti
dilestarikan lewat penanaman kembali pohon damar terkecuali cara
memanen yang perlu menghindar kematian pohon yang berkaitan.

Disamping manfaatnya resin juga ada klasifikasi atau pengolongan.


Adapun menurut golongannya resin dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Damar sesungguhnya (resin), adalah zat padat yang amorf atau
setengah padat, tidak larut dalam air, tetapi larut di dalam alkohol
atau pelarut organik lainnya dan membentuk sabun dengan alkali.
Biasanya di samping zat-zat damar terdapat juga minyak
menguap, hasil peruraian ester-ester damar,zat warna,zat pahit
dan sebagainya.

Gambar 3.7 Resin Damar (Perhutani, 2017)


110

2. Damar gom (gummi resina), yaitu campuran alami dari gom,minyak


dan resin sering di sebut juga damar lendir. Contohnya asafoetida,
Myrrha.

Gambar 3.8 Damar Gom (Perhutani, 2017)

3. Oleoresin, yaitu campuran alami yang homogen dari resin di dalam


minyak menguap. Contohnya: terpentin, Kanada balsam, cubeba
dan sebagainya.

Gambar 3.9 Oleoresin (Jacson’s Art Supplies)


111

4. Balsamum adalah campuran dari resin dengan asam sinnamat atau


benzoat atau kedua-duanya, atau ester-ester dengan minyak
menguap. Contoh : benzoin,perubalsem, dan styrax. Istilah balsam
atau balsamum telah di gunakan secara salah tehadap beberapa
oleoresin seperti kanada balsem dan balsamum copaive

Gambar 3.10 Balsamum (Jacson’s Art Supplies)

Disamping penggolongan sifat-sifat resin merupakan hal yang utama


untuk mengukur kualitasnya. Sifat-sifat resin pada dasarnya dibagi 2
(dua) yaitu:
1. Sifat Fisika
- Keras
- Transparan.
- Plastis.
- Lembek/leleh
112

2. Sifat Kimia
Secara kimiawi resin adalah campuran yang kompleks dari asam-
asam resinat, alkoholiresinat, resinotannol, ester-ester dan
resene-resene. Bebas dari zat lemak dan mengandung sedikit
oksigen.

Disamping sifat, kegunaan resin berperan sebagai pengikat atau


binder, yaitu bahan yang berfungsi untuk mengikat pigmen pada
permukaan bidang. Resin ini bisa dikatakan berupa lem yang
melekatkan campuran pewarna ke media yang akan di cat.

3.3 Proses Pembuatan Gliserin

Gliserol atau glyserin merupakan cairan kental putih bening yang


memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu:
1. Kosmetik Digunakan sebagai body agent, emollient, humectants,
lubricant, solvent. Biasanya dipakai untuk skin cream and lotion,
shampoo, and hair conditioners, sabun, dan detergen.
2. Dental Cream digunakan sebagai humectants.
3. Peledak digunakan untuk membuat nitrogliserin sebagai bahan
dasar peledak.
4. Industri makanan dan minuman digunakan sebagai solvent,
emulsifier, conditioner, freeze, preventer, and coating serta dalam
industri minuman anggur.
5. Industri logam digunakan untuk pickling, quenching, stripping,
electroplating, galvanizing, dan solfering.
113

6. Industri kertas digunakan sebagai humectant, plastilicizer, dan


softening agent.
7. Industri farmasi digunakan untuk antibiotic dan kapsul.
8. Fotografi digunakan sebagai plaztisizing.

Berikut ini adalah persentase pemakaian gliserol untuk keperluan


industri, yaitu:
1. Alkyd resin : 36%
2. Kosmetik dan farmasi : 30%
3. Industri tembakau : 16%
4. Bahan makanan dan minuman : 10%
5. Bahan peledak : 2%
6. Penggunaan lain : 6%
(Bailey’s, 1951).

Proses pembuatan gliserol pada dasarnya adalah hasil samping dari


proses pengolahan lemak dan minyak, baik nabati maupun hewani.
Terdapat beberapa metode dalam proses pembuatan gliserol, yaitu:
1. Proses Saponifikasi
2. Proses Transesterifikasi
3. Proses Fat Splitting

3.3.1 Proses Saponifikasi

Proses saponifikasi merupakan salah satu proses pembuatan gliserol


dari lemak dan minyak yang direaksikan dengan soda kaustik (NaOH)
114

menghasilkan sabun dan lye soap yang mengandung 8-12% gliserin.


Berikut ini adalah reaksi yang terjadi pada proses saponifikasi:

RCOOH2 CH2OH
I I
RCOOCH + 3NaOH 3RCOONa + CHOH
I I
RCOOCH2 CH2OH

Fat or Oil Caustic Soda Soap Glycerine

Lemak dan minyak dapat disabunkan melalui proses fullboiling. Proses


saponifikasi dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Campuran
lemak dan minyak diumpankan ke dalam ketel bersama soda kaustik
dengan konsentrasi tertentu, dan beserta penambahan garam.
Campuran dipanaskan dengan energi tinggi, menggunakan closed
steam coils, hingga proses saponifikasi selesai. Jumlah soda kaustik
yang ditambahkan sengaja dibuat kurang dari kebutuhan stoikiometri,
untuk memastikan pengurangan sabun alkali yang mengandung
gliserin agar memiliki alkalinitas minimum. Soda kaustik dalam sabun
alkali dinetralkan selama treatment selanjutnya. Garam yang digunakan
dalam alkali diperlukan untuk menjaga sabun pada daerah butir dan
memudahkan pemisahan sabun dan alkali. Tahap terakhir adalah
pengambilan setelah pengendapan dan dipindahkan ke bagian
pengolahan gliserin. Sementara itu, sabun mengalami pendidihan lebih
lanjut dan multiple washing secara counter current untuk
menyelesaikan proses saponifikasi dan disertai proses pengmbilan
gliserin. Pendidihan sabun secara kontinyu yang secara luas
115

dipraktekkan adalah menggunakan multiple washing coloumn atau


sentrifugal. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan recovery gliserin
(Bailey’s, 1951).

Gambar 3.11 Blok Diagram Proses Saponifikasi

3.3.2 Proses Transesterifikasi

Transesterifikasi merupakan proses pembuatan gliserol dari lemak dan


minyak direaksikan dengan metanol berlebih. Berikut ini adalah reaksi
transesterifikasi:

RCOOH2 CH2OH
I NaOCH3 I
RCOOCH + 3CH3OH 3RCOOCH3+ CHOH
I Katalis I
RCOOCH2 CH2OH

Fat or Oil Methanol Methyl Ester Glycerine


116

Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara batch pada tekanan


atmosfer dan pada suhu 60-70°C dengan metanol berlebih dan dengan
katalis basa. Kondisi reaksi ringan, namun, memerlukan penghilangan
asam lemak bebas dari minyak dengan penyulingan atau pre-
esterifikasi sebelum transesterifikasi. Pretreatment ini tidak diperlukan
jika reaksi dilakukan di bawah tekanan tinggi (9000 kPa) dan suhu
tinggi (240°C). Dengan kondisi tersebut, esterifikasi simultan dan
transesterifikasi berlangsung. Campuran pada akhir reaksi diendapkan.
Pada bagian bawah yaitu lapisan gliserin diambil sedangkan lapisan
metil ester pada bagian atas dicuci untuk menghilangkan gliserin yang
tertahan kemudian diproses lebih lanjut. Kelebihan metanol direcover
dalam kondensor, dikirim ke kolom rektifikasi untuk pemurnian, dan
daur ulang. Transesterifikasi kontinyu cocok untuk kebutuhan kapasitas
besar. Dengan berdasarkan pada kualitas bahan baku, unit dapat
dirancang untuk beroperasi pada tekanan tinggi dan suhu tinggi atau
pada tekanan atmosfer dan sedikit kenaikan suhu.

Gambar 3.12 menunjukkan diagram alir proses Henkel yang


dioperasikan pada tekanan 9000 kpa dan 240° C menggunakan
unrefined oil sebagai bahan baku. Unrefined oil, metanol berlebih, dan
katalis dipanaskan sampai 240° C sebelum dimasukkan ke reaktor.
Sebagian besar kelebihan metanol meninggalkan reaktor secara
mendadak dan diumpankan untuk kolom pemurnian bubble tray.
Recovery metanol direcycle dalam sistem. Campuran dari reaktor
memasuki separator dimana gliserin 90% excess direcover. Metil ester
selanjutnya diumpankan ke distilasi kolom untuk pemurnian (Bailey’s,
1951).
117

Gambar 3.12 Blok Diagram Proses Transesterifikasi

3.3.3 Proses Fat Splitting

Fat splitting merupakan hidrolisis trigliserida dari lemak dan minyak


dengan kenaikan temperatur dan tekanan menghasilkan asam lemak
dan gliserol. Berikut adalah reaksi hidrolisis triliserida:

RCOOCH2 CH2OH
I RCOOH I
R’COOCH + 3H2O R’COOH + CHOH
I R’’COOH I
R’’COOCH2 CH2OH

Triglyceride Water Fatty Acid Glycerine

Fat splitting adalah sebuah reaksi homogen yang terjadi secara


bertahap. Asam lemak berpindah dari trigliserida satu per satu dari tri
ke di ke mono. Selama tahap awal, reaksi berlangsung perlahan-lahan,
118

terbatas dengan kelarutan air dalam minyak yang rendah. Pada tahap
kedua, reaksi berlangsung lebih cepat karena kelarutan air yang lebih
besar dalam asam lemak. Tahap akhir ditandai dengan laju reaksi
berkurang sebagai asam lemak bebas dan gliserin mencapai kondisi
kesetimbangan. Fat splitting merupakan reaksi reversible. Pada titik
kesetimbangan, tingkat hidrolisis dan re-esterifikasi adalah sama.
Gliserin harus diambil secara kontinyu agar reaksi sempurna (Bailey’s,
1951).

Gambar 3.13 Blok Diagram Proses Fat Splitting

Proses fat splitting terbagi menjadi 3 (tiga) metode:

1. Proses Twitchell

Proses ini adalah proses pertama yang ditemukan untuk pemisahan


minyak. Proses ini tetap digunakan pada skala kecil, karena biaya dan
119

instalasi serta pengoperasiannya mudah dan murah. Tetapi karena


konsumsi energinya besar dan kualitas produknya buruk, maka proses
ini tidak lagi digunakan secara komersial. Proses ini menggunakan
reagen Twitchell dan asam sulfat untuk kastalisasi fat splitting.

Reagen tersebut merupakan campuran tersulfonasi dari oleat atau


asam lemak lainnya dengan sejumlah napthalene. Proses Twitchell
berlangsung dalam suatu tangki kayu berlapis timbal atau logam tahan
assam, dimana minyak, air (sekitar separuh dari jumlah minyak), 1-2%
asam sulfat, dan 0,75-1,25% reagen Twitchell dididihkan pada tekanan
atmosfeer selama 36-48 jam dengan bantuan open steam. Pada tahap
akhir air ditambahkan dan larutan didihkan untuk mencuci asam yang
tertinggal. Waktu reaksi yang cukup panjang, konsumsi steam yang
besar, dan terjadinya pemudaran warna asam lemak merupakan
kelemahan dari proses ini. Sehingga saat ini sangat dibatasi
penggunaanya.

2. Proses Batch Autoclave

Metode ini merupakan metode komersial tertua untuk pemisahan


minyak berkualitas tinggi untuk menghasilkan asam lemak berwarna
terang. Metode ini lebih cepat dibandingkan degan Twitchell, yaitu
sekitar 6-10 jam hingga reaksi sempurna. Untuk pemisahan ester
gliseridanya biasanya digunakan proses distilasi. Seperti halnya proses
Twitchell, proses ini juga menggunakan katalis yaitu umumnya ZnO
(paling aktif), MgO atau CaO, sebesar 2-4% dan sejumlah kecil debu
zinc untuk memperbaiki warna asam lemak. Autoclave yang digunakan
120

berupa silinder, dengan diameter 1220-1829 mm dan tinggi 6-12 m,


terbuat dari bahan anti korosi dan sepenuhnya terisolasi, ada juga yang
menggunakan pengaduk mekanis.

Dalam operasinya, autoclave diisi minyak, air (sekitar separuh dari


jumlah minyak), dan katalis, lalu autoclave ditutup. Steam diinjeksikan
untuk menghilangkan udara terlarut dan untuk menaikkan tekanan
hingga 1135 kPa, injeksi steam dilakukan secara kontinyu pada bagian
bawah untuk mendapatkan pengadukan dan tekanan operasi yang
diinginkan. Konversi yang didapatkan dapat mencapai lebih dari 95%,
setelah reaksi selama 6-10 jam. Isi dari autoclave dipindahkan dalam
pengendap, dimana terbentuk 2 lapisan lapisan atas asam lemak dan
lapisan bawah gliserol). Asam lemak dikeluarkan dan gliserol yang
tertinggal ditambahkan dengan asam mineral untuk memisahkan sabun
yang terbentuk, dan selanjutnya dibilas untuk menghilangkan sisa
asam mineral.

3. Proses Continuous

Proses pemisahan minyak dengan tekanan tinggi secara kontinyu dan


counter current, lebih dikenal dengan proses Colgate-Emery. Yaitu
metode yang paling efisien dari pemisahan minyak. Tekanan dan suhu
tinggi dignakan untuk waktu reaksi yang relatif lebih singkat. Aliran
minyak dan air secara berlawanan arah menghasilkan pemisahan
berderajat tinggi tanpa menggunakan katalis. Katalis dapat pula
digunakan untuk mempercepat reaksi. Menara pemisahan tergantung
dari kapasitasnya. Biasanya menara tersebut berdiameter 508-1220
121

mm dan tinggi 18-25 m, terbuat dari bahan anti korosi seperti stainless
steel 316 atau paduan inconel yang didesain khusus untuk kondisi
operasi ±5000 kPa. Minyak dimasukkan melalui saluran yang berada
pada bagian bawah menara dengan menggunakan pompa bertekanan
tinggi. Air masuk melalui puncak kolom dengan rasio 40-50% berat
minyak. Suhu pemisahan yang tinggi (250-260°C) akan dapat
memastikan pelarutan air ke dalam minyak, sehingga tidak lagi
diperlukan pengontakan kedua fase tersebut secara mekanik.

Volume kosong dalam menara digunakan untuk terjadinya reaksi. Feed


minyak masuk melalui dasar kolom menuuju ke atas, sementara air
masuk pada bagian atass kolom dan mengalir melewati fase minyak
menuju ke bawah. Derajat pemisahan pada proses ini mencapai 99%.
Proses ini lebih efisien bila dibandingkan dengan proses lain karena
waktu reaksi yang relatif singkat yaitu hanya sekitar 2-3 jam. Dalam
reaksi ini terjadi pemudaran warna asam lemak. Karena pertukaran
panas internal yang cukup efisien proses ini cukup ekonomis dalam
penggunaan steam (Bailey’s, 1951).

3.3.4 Seleksi Proses

Untuk menentukan proses yang akan dipilih dalam pembuatan gliserol


dapat dilakukan dengan membandingkan kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing proses seperti pada Tabel 3.6 berikut.
122

Tabel 3.6 Perbandingan Proses Pembuatan Gliserol

Tipe Proses Kelebihan Kekurangan


- Kandungan gliserol
- Produk gliserol
10-25%
merupakan produk
- Kemurnian produk
sampingan industri
akhir mencapai 90%
sabun
- Bahan baku murah
- Membutuhkan tahap
dan mudah didapat
pemurnian dan bahan
Saponifikasi
pembantu yang banyak
- Membutuhkan biaya
yang tinggi untuk
konstruksi alat karena
kandungan garam yang
tinggi.
- Kandungan gliserol - Menggunakan katalis
25-30% - Bahan baku mahal
- Kemurnian produk - Memerlukan proses pre-
akhir 90% esterifikasi untuk
- Reaksi pada tekanan menghilangkan asam
Transesterifikasi
atmosfer dan suhu lemak bebas dari lemak
60-70°C atau minyak
- Tahap pemurnian mahal
(dengan metode ion
exchange)
- Kandungan gliserol - Kondisi operasi pada
10-18% tekanan dan suhu tinggi
- Kemurnian produk (55 bar dan 260°C)
akhir gliserol
mencapai 99%
- Hasil produk atas
berupa asam lemak
Fat Splitting
yang memiliki nilai
Ekonomis
- Proses tidak terlalu
rumit
- Biaya untuk
konstruksi material
tidak terlalu tinggi
123

Tabel 3.7 Perbandingan Proses Pembuatan Gliserol

Jenis Proses Kelebihan Kekurangan


- Biaya murah - Konsumsi steam energi
- Instalasi dan operasi cukup besar
mudah - Kualitas produk rendah
Twitchell - Konversi ±95% - Menggunakan katalis
- Waktu reaksi relatif
lama (36-48 jam)
Batch - Konversi ±95% - Waktu reaksi cukup lama
Autoclave (6-10 jam)
- Menggunakan katalis
- Konversi mencapai - Kondisi operasi pada
±99% tekanan dan suhu tinggi
- Waktu reaksi relatif (5000 kPa dan 260°C)
Continuous
singkat (2-3 jam) - Konsumsi steam tinggi
- Bisa berlansung
tanpa adanya katalis.

Referensi

1. Al Rasyid, H,. dkk. 1991. Vademecum Dipterocarpaceae. Badan


penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dephut.
2. Appanah, S. dan Turnbull, J.M. (Ed.), (1998), A Review of
Dipterocarps, Taxonomy, Ecology and Silviculture, Centre for
International Forestry Research, Bogor.
3. Artiyanto, D.N. 2006. Analisis Biaya Pengolahan Gondorukem dan
Terpentin di PGTSindangwangi KPH Bandung Utara. Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten.Departemen Hasil Hutan.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
4. Bailey, A. E. 1951. Industrial Oil and Fat. New York: Interscolastic
Publishing Inc.
124

5. Boer E, Ella AB. 2001. Plant Resources of South-East Asia 18: Plant
producing ekudates. Bogor: Prosea Foundation.
6. Corryanti. 2014. Membangun Tegakan “Pinus Bocor Getah”.
Puslitbang Perum Perhutani.
7. Djajapertjunda, S. dan S. Partadireja. (1973). Beberapa Catatan
Tentang Damar di Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan.
Jakarta.
8. Doelen, V.D., Berg, V.D., Boon, J.J., Shibayama, N., Rie, D.L.,
Genuit, W.J.L., 1998. Analysis of Fresh Triterpenoid Resins and
Aged Triterpenoid Varnishes by HPLC-APCI-MS. Journal of
Chromatograph.
9. Hadjib N, Abdurrachman. 2005. Sifat fisis mekanis kayu damar
mata kucing bekas sadapan dan kemungkinan pemanfaatannya
untuk kayu konstruksi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (2005)3:
177-185.
10. Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih: Pinus
merkusii Jungh. et de Vries. Bandung: Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan.
11. Jafarsidik, J, 2007. Jenis-jenis pohon penghasil resin Damar.
Bogor: Dephut
12. Kirk R.E. and Othmer, D.F., 1966. Encyclopedia of Chemical
Technology, vol.1, 2nd edition, A Willey Interscience Publication,
John Wiley and Sons Co., New York.
13. Larasati, F. 2007. Pemurnian Beberapa Mutu Damar Mata Kucing
(Shorea javanica) dengan Sistem Pemanasan. [skripsi]. Bogor:
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
125

14. Lukman, AH. 2001. Cara Penyadapan yang Dapat Meningkatkan


Produksi Damar Mata Kucing. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
BTR Palembang. Palembang
15. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavanoida, Fenilpropanida dan Alkaloida,
Karya Ilmiah Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas
Sumatera Utara.
16. Mulyono, N. 2009. Ekstrak Damar untuk Bahan Pengeruh dan
Fosforilasi Damar untuk Bahan Pemberat. [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, IPB.
17. Mulyono N, Apriantono A. 2004. Sifat fisik, kimia, dan fungsional
damar. Jurnal teknologi dan industri pangan XV (2004)3: 245-252.
18. Namiroh, N. 1998. Pemurnian Damar (Shorea javanica) dengan
Kombinsi Pelarut Organik. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
19. Pandit IK, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu
sebagai Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
20. Perhutani. 2012. Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT)
Sindangwangi. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.
Bandung Jawa Barat.
21. Sari, RK. 2002. Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif dari
Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. Et V). [Thesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, IPB.
22. Setianingsih, N., 1992. Pemurnian Damar Shorea javanica dengan
Menggunakan Pelarut Organik dan Bahan Pemucat. Skripsi Fakultas
Teknologi Pertanian IPB.
126

23. Setiawati T, Purwantiningsih, Husaeni, EA. 2001. Penapisan


senyawa anti rayap dari getah S. javanica dan Shorea Leprosula.
Buletin Kimia (2001) 1: 101-105. Standar Nasional Indonesia.
24. Sinaga, Y.A., 2012. Perhutani News. Perum Perhutani.
25. Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Medan: Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
26. Standar Nasional Indonesia, 1999. SNI 01-2900-1999. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.
27. Sumadiwangsa, S. 2004. Pemanfaatan Resin untuk Meningkatkan
Pendapatan Masyarakat Sekitar Hutan. Prosiding Lokakarya
Penelitian Hasil Hutan. Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan.
28. Tan, C.T., 1990. Beverage Emulsions, Food Emulsion 2nd ed 445-
478.
29. Trison, S. 2001. Kajian Kelayakan Usaha Sistem Pengelolaan
Repong Damar Mata Kucing (S. javanicaK et V) di Krui Lampung.
[skripsi] Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Ianstitut Pertanian Bogor.
30. Tümen I, Reunanen, M. , 2010. Record of Natural Products. Rec.
Nat. Prod. 4:4 224 – 229.
31. Wiyono, B. 1998. Mempelajari pemisahan minyak atsiri dari damar
mata kucing dan sifat fisiko-kimia residunya. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 15 (1998) 6: 363-370.
32. Wiyono B, Silitonga T. 2001. Pengaruh jenis dan mutu damar
terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia damar yang dimurnikan.
BuletinPenelitian Hasil Hutan19 (2001) 2: 103-115.
BAB 4
GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG SERAT

4.1 Jenis Botani Mengandung Serat

Tumbuhan untuk pertanian/perkebunan, pohon-pohon di hutan, serta


beberapa tanaman lainnya memiliki banyak manfaat untuk
kesejahteraan manusia. Bahan yang berasal dari tumbuhan/tanaman
banyak mengandung serat yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
industri khusus unntuk menggantikan bahan-bahan sintesis karena
serat alami dari tumbuhan merupakan serat yang ramah lingkungan
(go green).

Serat alami telah menunjukkan keunggulan dalam beberapa tahun


terakhir. Keunggulan dari serat alami dibandingkan dengan serat
sintetis adalah harganya murah, densitas rendah, mudah lepas, bahan
terbarukan dan terbiodegradasi dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Akibatnya, ada peningkatan upaya untuk mengeksplorasi serat alam
baru dan penggunaan serat tanaman oleh sektor industri yang berbeda,
seperti komposit untuk aplikasi otomotif dan untuk menggantikan serat
sintetis (Suryanto et al., 2014).

Beberapa alternatif serat alam dari tanaman yang sudah dieksplorasi


antara lain serat jerami, jerami padi, serat rerumputan seperti rumput
switch, rumput India, rumput napier, dan rumput mendong. Beberapa

127
128

serat tersebut telah diterapkan sebagai penguat komposit polimer


(Suryanto et al., 2015).

Serat-serat alam dapat dikelompokan berdasarkan pada sumbernya


yaitu berasal dari tanaman, binatang atau mineral. Serat tanaman
terdiri atas selulosa, sementara serat hewan (rambut, sutera, dan wol)
terdiri atas protein-protein. Serat tanaman meliputi serat kulit pohon
(atau stem atau sklerenkima halus), daun atau serat-serat keras, benih,
buah, kayu, sereal gandum, dan serat-serat rumput lain. Banyak
diantara serat-serat alam ini, telah dikembangkan sebagai penguat
dalam bahan komposit. Bahan-bahan komposit serat alam telah
meningkat penggunaan karena harganya relatif murah, mampu untuk
didaur ulang dan dapat bersaing dengan baik berdasarkan kekuatan
per berat dari material.

Serat yang berasal dari tumbuhan, pada umumnya dikelompokkan


menjadi 2 kelompok, yaitu serat non-kayu dan serat kayu. Untuk serat
non-kayu dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
1. Kelompok kulit pohon, terdiri dari kenaf (Hibiscus cannabicus), flax
(Linum usitatissimum), jute (Corchorus), rami (Boehmeira nivea),
dan hemp (Cannabis sativa).
2. Kelompok jerami, terdiri jagung, gandum, serta padi.
3. Kolompok Daun, terdiri sisal (Agave sisalana), daun nanas (Ananas
comosus), eceng gondok (Eichhornia crassipes), pandan, serta
serat henequen (Agave fourcroydes).
129

4. Serat rumput/grass, terdiri serat bambu, rumput, rotan, switch


grass (Panicum virgatum), dan rumput gajah (Erianthus
elephantinus).

Karakteristik serat alam sangatlah bervariasi. Beberapa karakteristik


serat alam diantaranya seperti kandungan selulosa dalam serat, derajat
polimerisasi selulosa dan sudut mikrofibril serat akan mempengaruhi
kekuatan tarik dan modulus (Mohanty et al., 2005).

Dengan karakteristik tersebut beerapa diantaranya dapat digunakan


sebagai material dibidang teknologi pertahanan. Beberapa tumbuhan
atau tanaman yang dapat digunakan untuk material dibidang teknologi
pertahanan yaitu:
1. Pohon Rami (Boehmeira nivea).
2. Rotan (Calameae) .
3. Pohon Bambu (Bambuseae).

4.1.1 Pohon Rami (Boehmeira Nivea)

Tanaman rami adalah tanaman tahunan berumpun yang menghasilkan


serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini
secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L). Di Jawa
Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau
dikenal dengan romin. Di Sumatera Barat disebut kelu dan di Sulawesi
dikenal gambe. Dalam perdagangan internasional tanaman ini dikenal
dengan sebutan ramie (Musaddad, 2007).
130

Gambar 4.1 Tanaman Rami ( Musaddad, 2007)

Tanaman rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) merupakan salah satu


tanaman penghasil serat alam yang dapat menjadi sumber bahan baku
produk tekstil seperti halnya kapas karena memiliki kemiripan dengan
kapas, bedanya kapas merupakan serat pendek sedangkan rami adalah
serat panjang. Dibanding dengan kapas, serat rami lebih kuat, mudah
menyerap keringat dan tidak mudah kena bakteri atau jamur. Selain
diambil serat dari kulit batangnya, semua bagian tanaman rami dapat
dimanfaatkan. Akar tanaman (rhizome) dapat digunakan sebagai bahan
tanaman (bibit) untuk pengembangan rami, daunnya dapat sebagai
pakan ternak, sedangkan kulit batang dan kayunya dapat digunakan
untuk bahan baku pulp maupun kompos (Musaddad, 2007).

Rami tidak sekadar tanaman penghasil serat, tetapi memiliki manfaat


lain. Bahkan, rami bisa digolongkan sebagai komoditas zero waste.
Artinya, limbah hasil olahan yang berupa serat dapat diolah menjadi
131

berbagai produk alternatif. Tidak hanya limbah olahan, seluruh bagian


tanaman rami yang tidak diolah bisa dijadikan produk dengan nilai
ekonomi tinggi. Pemanfaatan bagian lain dari tanaman rami selain
sebagai penghasil serat karena memiliki kandungan seperti dipaparkan
dalam Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Bagian Tanaman Rami dan Kandungannya


(Musaddad, M.A., 2007).

Bagian Tanaman Kandungan


Daun Berat kering (19,56%), protein
kering (26,38%), serat kasar
(16,24%), lemak kering (3,04%),
kalori (4659,13 kalori/gram), N
(2,94%), C organik (27,61%), C/N
ratio (9), bahan organik (47,76%),
P (0,3%), K (2,2%), Mg (0,45%),
S (0,19%), Cu (7,95 ppm), Zn
(10,68 ppm), Mo (1,43 ppm)
Pucuk Daun Protein (9,46%), lemak (0,96%),
tanin (1,68%), vitamin C (1904,6
ppm), total asam (1,25 %), total
gula (0,15%)
Batang dan Akar N (0,84%), C organik (37,88%),
C/N ratio (45), bahan organik
(65,53%), P (80%), K (1,06%), Mg
(0,51%), S (20 ppm), Zn (4,77
ppm)

Rami (Boehmeria nivea, L. Gaud.) merupakan tanaman yang memiliki


potensi tinggi. Serat rami dapat diolah menjadi kain fashion berkualitas
tinggi, karena memiliki karakter mirip dengan serat kapas. Selain itu,
serat rami merupakan bahan untuk pembuatan selulosa berkualitas
tinggi (selulose α). Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan
132

ternak yang bergizi tinggi, kayunya baik untuk bahan bakar (Purwati,
2012).

Prospek pengembangan pasar untuk serat rami sangat baik karena


harga jual yang relatif tinggi. Indonesia memiliki potensi yang cukup
besar untuk mengembangkan rami karena memiliki lahan yang relatif
luas dan iklim yang cocok untuk tanaman rami. Rami sangat cocok
dikembangkan di Indonesia bagian barat yang beriklim basah karena
tanaman ini memerlukan curah hujan sepanjang tahun. Pemasaran
serat rami cukup luas di dalam maupun di luar negeri, mulai dari serat
mentah (China grass), serat panjang hasil di gumming ( ramie raw ),
serat pendek ( ramie stafle fibre ) maupun serat panjang ( ramie top ).
Saat ini pangsa pasar konsumen serat rami dunia sekitar 350.000 ton
dan diperkirakan kebutuhan serat rami dunia terus menaik hingga
400.000 – 500.000 ton/tahun (Anonim, 2007).

Serat dari batang tanaman rami sebenarnya memiliki beberapa


keunggulan, antara lain kualitas tekstil yang dihasilkan cukup baik
karena memiliki kehalusan serat (dyener) seperti halnya kapas. Serat
rami juga memiliki tingkat elastisitas yang baik dan lebih sejuk bila
dipakai. Serat rami juga dapat dijadikan sebagai campuran bahan kain
lainnya, seperti katun, rayon, linen, dan polyester. Dibandingkan
dengan kapas, serat rami lebih kuat sehingga banyak dimanfaatkan
untuk bahan pakaian atau perlengkapan militer. Bahkan, sudah ada
penelitian yang menyebutkan bahwa serat rami anti peluru (Musaddad,
2007).
133

4.1.2 Struktur Molekul Rami

Rami merupakan serat tumbuh-tumbuhan jenis Boehmeria Nivea.


Selulosa mempunyai rumus (C6H10 O5)n, dimana “n” merupakan
derajat polimerisasinya dan sebagian besar serat rami (68,6 % - 76,2
%) terdiri dari selulosa. Analisa Frenderberg, Haworth dan Braun dalam
buku Tekstil Fiber menunjukkkan bahwa selulosa dibentuk oleh cindin
glukosa, sehingga dapat disebutkan bahwa struktur serat selulosa
merupakan kesatuan dari anhydro glukosa yang dihubungkan satu
dengan yang lainnya oleh jembatan oksigen pada kedudukan 1 – 4
(Evgust, 2011), seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 2.2 Struktur Molekul Serat Selulosa

1. Susunan Kimia dan Fisik Rami

Analisa kimia memperlihatkan bahwa selulosa merupakan komponen


utama dari serat rami. Komposisi kimia serat rami dapat dilihat pada
Tabel 4.2 berikut :
134

Tabel 4.2 Sifat Fisik dan Kimia Serat Rami (Purwati, D.R., 2012)

Karakter Nilai
Selulosa (%berat) 69,6 – 76,2
Lignin (%berat) 0,6 – 0,7
Hemiselulosa (%berat) 13,1 – 16,7
Pekti (%berat) 1,9
Lilin (%berat) 0,3
Sudut mikrofibril (o) 7,5
Kadar Air (%berat) 8,0
Kerapatan (mg/m3) 1,5

2. Bentuk Serat Rami

Bentuk serat rami terdiri dari membujur dan melintang, jika membujur
bentuk memanjang seperti silinder dengan permukaan bergaris – garis
dan berkerut-kerut membentuk benjolan-benjolan kecil dan jika
melintang bentuk lonjong memanjang dengan dinding sel yang tebal
dan lumen yang pipih. Ujung sel tumpul dan tidak berlumen (Evgust,
2011). Gambar serat rami membujur dan melintang dapat dilihat pada
Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.3. Hasil Foto SEM penampang memanjang(500x) dan


melintang serat rami (1000X) 0% naOH
135

Gambar 4.4. Hasil Foto SEM penampang memanjang(500x) dan


melintang serat rami (1000X) dengan 2,5% dan 5% NaOH

4.1.3 Tanaman Rotan

Seluruh jenis rotan tumbuh di permukaan bumi diperkirakan 850 jenis.


Penyebaran tumbuhan rotan mulai di kepulauan Fiji di Timur sampai ke
Afrika tropis di bagian Barat dan mulai dari Australia Utara sampai
daerah Cina Selatan. Pusat pertumbuhan rotan paling banyak ditemui
di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitar 614 jenis rotan dan 312
jenis diantaranya tumbuh di Indonesia.

Secara umum rotan tumbuh baik didaerah hutan hujan tropika, baik
pada hutan primer maupun hutan sekunder pada ketinggian sampai
dengan 1500 meter di atas permukaan laut. Dalam upaya pelestarian
136

sumberdaya rotan di Indonesia, masyarakat telah melakukan


penanaman rotan baik secara tradisonal maupun secara komersial.

1. Jenis dan Penyebaran

Semua bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari


tanaman yang termasuk sub-divisi Gymnospermae dan Angiospermae.
Dari sub-divisi Gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal
dari kelas Coniferales (kayu conifer atau softwood). Sedangkan dari
sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu
Monocotyiledons dan Dicotyledons. Dari kelas Dicotyledons dihasilkan
kayu-kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi
angiospermae, kelas monokotyledons, ordo palmales dan famili
palmeae. Famili palmeae ini terdiri dari 6 sub-famili, rotan termasuk ke
dalam sub-famili lepidocaryoid atau calamoideae (Uhl dan Dransfield,
1987). Sub-famili ini secara keseluruhan memiliki 22 genera dengan ciri
khas buahnya bersisik. Akan tetapi hanya 13 genera yang termasuk
tumbuhan rotan dengan ciri khas batang memanjat, kelopak dan daun
berduri, buah bersisik serta mempunyai flagela atau cirus. Seluruh jenis
tumbuhan rotan yang terdapat di dunia ini diperkirakan sekitar 850
jenis (Dransfield,1984 ; Weiner dan Liese,1990).

Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah Asia Tropis, terutama di Asia


Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari
seluruh jenis rotan yang tumbuh di muka bumi ini. Sisanya, 15%
tumbuh di Fiji, Papua Nugini, Australia Utara dan Afrika Tropis bagian
137

Barat. Di daerah yang disebut terakhir ini terdapat 3 genera endemik,


yaitu Eremospatha, Laccosperma dan Oncocalamus.
Mogea (1990) menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat sekitar 614
jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di Indonesia tumbuh sebanyak 314
jenis yang berasal dari 8 genera dan satu genus di antaranya adalah
endemik Indonesia, yaitu Cornera. Dari jenis yang ada di Indonesia, 51
jenis di antaranya dilaporkan oleh Sumarna (1996) sebagai jenis-jenis
rotan komersial, sedangkan 13 jenis rotan kurang dikenal dapat
digunakan sebagai alternatif pengganti rotan komersial.

Apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara di Asia


Tenggara, Indonesia merupakan negara paling kaya akan sumberdaya
rotan. Di Semenanjung Malaysia terdapat 146 jenis dari 7 genera dan
20 jenis di antaranya dilaporkan sebagai jenis komersial. Di Thailand
terdapat 70 jenis dari 6 genera dimana 10 jenis termasuk jenis
komersial. Di Philipina terdapat 70 jenis dari 4 genera dan 10 jenis di
antaranya dipungut sebagai jenis komersial. Badhwar (1961)
melaporkan, bahwa di India ditemukan sekitar 37 jenis dari 3 genera
dan 10 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis rotan komersil
(seluruhnya dari genus Calamus).

Untuk mengetahui penyebaran jenis-jenis rotan yang tumbuh


diberbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.3. Jenis-jenis
rotan yang paling banyak ditemui di Kalimantan ada 133 jenis,
kemudian menyusul berturut-turut di Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi,
Jawa, Maluku, dan paling sedikit di NTB dan NTT (hanya 2 jenis).
Apabila Tabel 4.3 diperhatikan lebih seksama, diketahui bahwa di
138

Indonesia terdapat jenis-jenis epidemik, yaitu jenis-jenis dari genera:


Calamus (15 jenis), Ceratalobus (2 jenis), Cornera (1 jenis),
Daemonorops (4 jenis), Korthalsia (5 jenis) dan Plectocomia (1 jenis).
Sedangkan, jenis-jenis endemik sebanyak 2 jenis berasal dari genus
Myrialepsis yang hanya tumbuh di Kalimantan dan Sumatera; dan
genus Plectocomia sebanyak satu jenis yang hanya tumbuh di
Sumatera.

Tabel 4.3 Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia


(Dransfield, 1974 dan Sumarna, 1986)

Cerata Daemo- Kort- Myr- Plecto-


Wilayah Jumlah Calamus Comera P’miopsis
lobus norops halsia liepsis comia
Borneo 133 75 4 1 37 15 1 - -
Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2
Papua 47 45 - - - 2 - - -
Sulawesi 35 27 - - 7 1 - - -
Jawa 30 18 2 - 6 2 - 2 -
Maluku 11 7 - - 4 - - - -
NTB+NTT 2 2 - - - - - - -

Gambar 4.5. Tanaman dan Buah Rotan (Sumarna, 1986)


139

2. Sifat Dasar Rotan

Rotan adalah batang dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang dapat


dimanfaatkan untuk mebel, barang kerajinan dan tikar. Dalam
pemanfaatan rotan harus dipahami sifat dasarnya karena tiap jenis
rotan pada hakekatnya mempunyai sifat yang berbeda, baik bentuk
maupun ukuran. Dalam buku ini dibahas sifat dasar meliputi ciri-ciri
umum, struktur anatomi, komposisi kimia, sifat fisis dan mekanis serta
keawetan rotan. Dengan mengetahui sifat dasar jenis rotan akan dapat
ditentukan peruntukannya secara lebih baik.

Gambar 4.6. Batang Rotan

3. Komposisi Kimia Rotan

Rotan disusun oleh berbagai komponen kimia yang sangat komplek.


Komponen ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pada
140

proses pembelahan, pembengkokan, pemutihan dan finishing. Secara


garis besar komponen tersebut di kelompokan menjadi tiga komponen
pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif.

- Selulosa

Selulosa berasal dari fotositensis, berbentuk rantai panjang. Rantai


selulosa tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai
selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada
bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah
yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa
mengembang atau mengerut. Pada rotan muda banyak daerah amorf
sehingga mudah keriput. Jumlah selulosa dalam rotan ± 38 - 60%.
Selulosa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi. Larutan
hidrogenperoksi (H2O2), ca-hipoklorit dan oksidator lainnya
mengoksidasi selulosa bila dipakai dalam proses pemutihan rotan.

- Lignin

Lignin adalah bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya


berkisar antara 18 - 35%. Lignin terutama berfungsi sebagai bahan
pengikat antara satu dan lain sel dalam bahan rotan. Ibarat semen
dalam susunan batu bata. Dengan demikian lignin memberi kekuatan
kepada rotan. Sifat fisikokimia lignin adalah tidak berwarna (colourless)
dan mudah dioksidasi oleh larutan alkalik maupun oksidator seperti
halnya pada selulosa. Reaksi ini juga digunakan untuk pemutihan.
141

- Zat ekstraktif

Zat ekstraktif adalah bahan organik dan anorganik dengan berat


molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang
terdapat dalam rongga sel (protoplasma) pada waktu sel-sel masih
hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding
sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika.
Jumlah zat ekstratif pada rotan lebih kurang 13%. Dibandingkan
dengan bahan berselulosa lain seperti kayu (± 9%) jumlah ini cukup
tinggi. Peranan zat ekstraktif dalam pengolahan sangat penting sekali
karena :
- Gula-gula merupakan bahan makanan jamur dan serangga.
- Lilin dan getah menghambat proses pengeringan.
- Zat warna menyebabkan rotan berwarna lebih gelap atau
kecoklatan, kemerah-merahan bahkan ada yang kehitaman.
- Silika merupakan zat vertikal keras yang dapat menumpulkan pisau
dalam proses pengerjaan rotan.

Dalam cara pengolahan rotan tradisional ditemui perendaman rotan


dalam air mengalir atau lumpur dalam waktu yang cukup lama. Cara ini
sebenarnya bertujuan :
- Melarutkan zat warna supaya rotan berwarna lebih cerah,
- Melarutkan gula-gula agar rotan tidak lagi diserang oleh jamur dan
serangga sehingga rotan menjadi lebih awet (pengawetan).
142

Hasil penelitian komponen rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai
pustaka disajikan seperti pada Tabel 4.4. Pada Tabel 4.4 terlihat, bahwa
selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum dan
daun lebar. Sedangkan persentase lignin lebih kecil dibandingkan
dengan kayu daun jarum (Kollman dan Cöté, 1968). Karakteristik lignin
rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat
koniferil dan sinafil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasil-siringil.
Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian
Jaya berkisar antara 0.54 - 8,00% (Hadikusumo, 1994).

Chang et al. (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif


kecil, apabila di bandingkan dengan kayu keras (hardwood) atau kayu
lunak (softwood) tetapi sejumlah besar polisacharida, terutama
hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar
senyawa silika.

Tabel 4.4 Komposisi Kimia Rotan (Kollman and Cöte , 1968;


Hadikusumo, 1994; Fengel and Wagener, 1984; Rachman (1996);
Jasni et.al., 2012).

Komonen Kimia Rotan


Holoselulosa 71 - 76
Selulosa 39 - 60
Hemiselulosa -
Lignin 18 – 48
Prazat lignin Mirip d. lebar
Abu -
Silika 0,54 – 8,00
Pati 14,00 -29,00
143

Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk kedalam


kelompok abu, yaitu bahan anorganik yang diperoleh setelah
pengabuan kayu pada suhu 600 – 850oC. Elemen penyusun kelompok
abu yang utama adalah Ca (dalam kebanyakan kayu mencapai 50%
dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan
ketiga; lalu dilanjutkan oleh elemen-elemen Mn, Na, P, Cl, Si, S, Mg dan
lain–lain. Pada kayu–kayu tropis, persentase silika yang tinggi dapat
melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis.

Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau


elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel jari-jari, lamela
tengah, lapisan dinding tersier, noktah dan daerah penebalan spiral.
Deposit silika paling banyak terdapat dalam bentuk silikat (SiO 2) dan
tampil sebagai butiran (grain) atau butiran agregrat.

Analisis kualitatif dan kuantitatif silika dapat dilakukan secara gravimetri


mengikuti prosedur TAPPI standard T 15.06–58 atau ASTM D1102-56.
Analisis yang lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi (Fengel
dan Wegener, 1984). Sedangkan analisis pati secara kuantitatif
berdasarkan SII 70-1979 (Anonim, 1979).

4. Sifat Fisis dan Mekanis Rotan

Sifat fisis dan mekanis adalah indikator yang penting untuk menentukan
perilaku penampakkan, kekuatan dan bahkan mutu rotan. Sifat-sifat ini
berbeda untuk tiap jenis rotan sehingga ia menjadi karakter suatu jenis
rotan. Secara mendasar nilai sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh
144

susunan dan orientasi sel penyusunan dan komposisi kimia rotan. Sifat
fisis mekanis rotan diuraikan sebagai berikut.

- Kadar air

Dalam penggunaan rotan sebagai bahan baku industri, sangat penting


untuk mengetahui, bagaimana air berada dan bergerak di dalam bahan
rotan. Hal ini karena hampir semua sifat rotan dan produk rotan
dipengaruhi oleh keberadaan air dalam rotan. Pada saat rotan ditebas
di hutan, kandungan airnya sangat tinggi bahkan dapat melebihi berat
zat rotannya. Apabila sesorang tersesat di dalam hutan dan kehausan,
tebaslah sebatang rotan, airnya akan mengucur dari batang yang
ditebas.

Para pemungut dan petugas survei seringkali memanfaatkan air ini di


hutan sebagai penawar dahaga. Ketika rotan dalam keadaan segar,
yaitu rotan yang baru ditebas, air dalam bentuk cairan berada dalam
rongga sel, dinding sel dan ruang antar sel rotan. Beberapa waktu
setelah rotan ditebas jumlah air yang ada dalam rotan akan terus
berkurang sampai air hanya terdapat dalam dinding sel dan uap air-
jenuh dalam rongga sel serta ruang antar sel. Keadaan ini disebut
sebagai titik jenuh serat (TJS). Setalah melewati titik jenuh serat,
jumlah air akan terus berkurang sampai tercapai keseimbangan dengan
kelembaban udara di sekelilingnya. Di Indonesia kandungan air
tersebut berkisar 14 – 20% dari berat rotan kering (tanpa air),
tergantung pada kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada.
145

Banyaknya air dalam sepotong rotan dibandingkan dengan berat rotan


keringnya dan dinyatakan dalam persen disebut sebagai kadar air.
Untuk menghitung kadar air ini secara teliti harus dilakukan di
laboratorium, menggunakan timbangan dan oven. Berdasarkan
pengertian bahwa kadar air adalah rasio berat air dan berat rotan bebas
air maka kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut:

𝐵𝑏−𝐵𝑜
KA = x 100%
𝐵𝑜
dimana: KA = Kadar air ; Bb = Berat basah ; Bo = berat kering oven

Dalam praktek sehari–hari dikenal istilah rotan segar, rotan basah,


rotan kering udara atau rotan dengan kadar air 8 - 12% dan
sebagainya. Rotan segar adalah rotan yang baru dipanen dengan kadar
air melebihi 100%. Biasanya, terdapat pada rotan yang baru ditebas.
Rotan basah adalah rotan dengan kadar air di atas titik jenuh serat,
biasanya di bawah 100% dan di atas rotan kering udara. Nilai kadar air
rotan pada saat titik jenuh serat belum diketahui secara pasti. Nilai ini
diduga sekitar 30%. Rotan kering udara atau disebut juga rotan kering
adalah rotan dengan kadar air 14 - 20% dan merupakan kadar air
keseimbangan dengan kelembaban udara atau keadaan cuaca di
sekitar tempat rotan tersebut berada. Kadar air rotan kering udara
dapat pula diukur dengan cepat, menggunakan alat moisture meter
yang banyak dijual dengan berbagai merek. Alat ini pada hakekatnya
mengukur secara elektris hubungan antara kandungan air dalam bahan
dengan besarnya tegangan listrik. Oleh karena itu, terdapat sedikit
perbedaan antara nilai pengukuran kadar air moisture meter dengan
146

nilai pengukuran laboratoris. Untuk mengetahui kadar air rotan segar


dan kering udara secara laboratoris pada beberapa jenis rotan dapat
dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering
udara di daerah Bogor

Kadar air
Kadar air
Jenis kering udara
segar (%)
(%)
Rotan diameter besar
- Manau (Calamus manan) 140* 18
- Sampang (Korthalsia junghunii) 111* 18
- Seuti (C. ornatus) 225 16
- Bubuay (Plectocomia elongata) 147 15
Rotan diameter kecil
- Seel (Daemonorops malanocaetes) 235 14
195 16
- Pelah (Calamus sp)
Keterangan: *) sekitar 5 – 7 hari setelah panen

Pengeringan rotan pada dasarnya, adalah usaha pengeluaran air dari


dalam rotan mulai dari rotan segar sampai mencapai kadar air kering
udara. Pengeringan rotan biasanya disertai penyusutan. Pada jenis-
jenis rotan tertentu terutama rotan muda atau bagian ujung batang
dapat terjadi keriput (kisut) atau collaps selama proses pengeringan
sehingga menurunkan mutu rotan. Collaps biasanya terjadi pada bagian
ujung rotan diameter besar yang dijemur pada sinar matahari yang
terlalu terik.

Persamaam dasar kadar air dapat dirubah dalam bentuk yang lebih
mudah digunakan dalam situasi tertentu sebagai berikut:
147

𝐵𝑏 𝐾𝐴
Bo = 𝐾𝐴 ; Bb = Bo (1 + (% )
1+(% ) 100
100

Sebagai contoh, perhatikan suatu situasi tumpukan rotan basah,


beratnya 10 ton. Rotan ini akan diangkut dari tempat penebangan ke
tempat pengolahan. Kadar air rotan tersebut adalah sekitar 100%.
Berapa berat akan dihemat bila rotan dikirim dalam bentuk rotan bulat
kering udara (rotan WS) dengan kadar air 20%.

10 20
Bo = = 5 ton ; Bb = 5(1 + ( ) = 5 x 1,2 = 6 ton
1+1 100

Penghematan berat adalah 10 – 6 = 4 ton. Bila ongkos angkut per ton


= Rp. 10.000,- maka akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp.
40.000,-.

- Berat Jenis

Berat jenis (specific gravity) adalah salah satu sifat fisik yang paling
penting karena akan sangat mempengaruhi sifat kekuatan, kembang
susut, sifat menyerap bahan kimia dan finishing serta sifat–sifat lain
dalam pengolahan dan penggunaan. Berat jenis (BJ) adalah
perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan
berat dan volume air. Rumusnya adalah:

𝐵/𝑉 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛
Bj = ; dimana: B = berat ; V = volume
𝐵/𝑉 𝑎𝑖𝑟
148

Berdasarkan persamaan di atas maka nilai berat jenis tidak memakai


satuan. Selanjutnya, karena B/V air = 1 maka BJ diukur berdasarkan
B/V bahan. Berat jenis standar selalu dinyatakan Bo/Vb; Bo/Vku atau
Bo/Vo (di mana notasi o untuk oven; b untuk basah; ku untuk kering
udara). Namun dalam praktek sering digunakan berat jenis atas dasar
Bb/Vb atau Bku/Vku.

Rotan berat, sedang atau ringan berkaitan dengan berat jenis yang
tinggi, sedang atau rendah. Rotan dengan berat jenis yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah tidak disenangi karena terlalu kaku/ jeras atau
terlalu lemah/ lunak. Rotan manau dan tohiti sangat disukai dalam
pemakaian karena BJ-nya 0,48 – 0,55 (sedang). Berat jenis rotan
dipengaruhi pula oleh sebaran ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi
sebaran KIP semakin tinggi BJ rotan, tetapi sebaran yang terlalu tinggi
dan terlalu rendah biasanya kurang disukai Di lapangan sering dipakai
istilah kerapatan rotan yang pada hakekatnya sama dengan BJ.
Kerapatan adalah berat per satuan volume dan selalu dinyatakan dalam
satuan gr/cm³, kg/m³ atau lb/ft³. Kerapatan dihitung atas dasar Bo/Vb,
Bb/Vb atau Bo/Vku.

Pada kayu daun lebar (hardwood), proporsi sel–sel utama penyusun


kayu berpengaruh terhadap berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel
10. pada tabel tersebut secara umum tampak adanya hubungan,
bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara
nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel–sel
serat dengan dinding yang lebih tebal dan sel – sel parenkim akan
meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan
149

berat jenis. Hubungan yang sama berlaku pula pada rotan (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim
dengan berat jenis (Wangard, 1979) dan Rachman, 1996)

Jenis Pori (%) Serat (%) Parenkim (%) BJ


Kayu1)
Basswood 56 36 8 0,32
Sweetgum 54 26 20 0,46
Birch 21 64 15 0,50
Hickory 6 67 22 0,64

Rotan2)
Tretes 17 30 53 0,40
Galaka 23 33 45 0,50
Seuti 18 28 46 0,51
Manau 20 40 40 0,59
Tohiti 21 38 41 0,61

Keterangan: ¹) Wangard (1979), ²) Rachman (1996)

3. Kekuatan Lentur Statik Rotan

Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan


beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk.
Perubahan dapat berupa pelengkungan (bending), perpanjangan
(tensile) atau torsi (beban putar). Tingkat perubahan bisa sampai batas
elastis dan sampai maksimum. Batas elastis diartikan apabila
perubahan bentuk yang terjadi akibat pembebanan akan kembali ke
bentuk semula jika beban dilepaskan. Sedangkan, batas maksimum
adalah bila perubahan bentuk akibat pembebanan tidak kembali ke
bentuk semula jika beban dilepaskan.
150

Grafik hubungan pembebanan dan perubahan bentuk (stress-strain)


dalam uji lengkung (bending) pada kayu berbeda dengan rotan. Setelah
mencapai batas lengkungan (deflection) maksimum, kayu akan
mengalami patah (Gambar 4.7a). Sedangkan, pada rotan tidak
mengalami patah melainkan pertambahan lengkungan tidak lagi
menyebabkan kenaikan beban (Gambar 4.7b). Titik maksimum, pada
beberapa jenis rotan dicapai pada lengkungan sekitar 25 mm.
Pengujian lentur statik pada rotan dengan mesin uji lentur disajikan
pada Gambar 4.8.

Keterangan:

E = Batas elastis; M = Batas maksimum; = Lengkungan; P = Beban

Gambar 4.7 Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji
lentur statik rotan (b) dan kayu (a)

Ukuran kemampuan sampai batas elastis disebut modulus elastisitas


(MOE) dan sampai batas maksimum disebut modulus rusak (MOR)
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
151

0,424 𝑥 𝑃𝑒 𝑥 𝐿3
MOE =
𝐷4 𝐹𝑒

1,273 𝑃𝑚 𝐿
MOR =
𝐷3

dimana:

Pe = beban elastis; L = jarak sanggah, D = diameter rotan; Fe =


lengkungan; Pm = beban maksimum. Untuk rotan diameter besar
biasanya digunakan MOE dan MOR lengkung dan untuk kulit rotan
digunakan MOE dan MOR perpanjangan (tarik).

Gambar 4.8 Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji

Dalam hubungan dengan MOE lengkung dan MOR (lengkung


maksimum) pada rotan perlu dibedakan dengan istilah kekerasan yang
digunakan dalam standar mutu rotan. Istilah kekerasan dalam
standarisasi rotan diartikan, jika sepotong rotan dilengkungkan dengan
152

kedua tangan lalu ia menjadi patah maka dinyatakan kekerasannya


rendah dan sebaliknya kekerasannya tinggi. Sedangkan, kekerasan
dalam pengertian mekanika adalah besarnya gaya yang diperlukan
untuk menancapkan bola baja berdiameter 11,5 mm ke dalam bahan
5,525 mm. Kekerasan adalah indikator yang menunjukkan kegunaan
kayu untuk paving block, flooring, bearing dan bahan lain yang sama.
Adapun kekakuan (stiffness) adalah kemampuan bahan menahan
beban seketika dan merupakan indikator baik tidaknya bahan sebagai
hammer handle, athletic goods dan bahan sejenis lainnya. Sifat
mekanis lain yang penting adalah keteguhan belah yang menunjukan
mudah tidaknya rotan dibelah dan dikupas.

Rachman (1996) melaporkan bahwa MOE lengkung beberapa jenis


rotan berkisar antara 5.000 – 45.000 kg/cm². Selanjutnya hasil
penelitian yang telah dilakukan bahwa rotan tohiti MOEnya 54.000
kg/cm2 (Jasni et.al, 2007). Menurut Hadikusumo (1990) MOE lengkung
rotan jauh lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada
berat jenis yang hampir sama. Keteguhan lengkung maksimum kayu
dan rotan tidak berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar
550 – 650 kg/cm² pada berat jenis 0,55 – 0,65. Adapun keteguhan
tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti
dengan berat jenis yang sama (0,54) masing–masing adalah 205
kg/cm², 395 kg/cm² dan 411 kg/cm².

Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan


berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat
153

dan Thulasidas (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat


adalah parameter anatomi yang paling penting yang menentukan
perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan
lebih keras dan lebih berat. Selanjutnya Yudodibroto (1984)
melaporkan bahwa jumlah sel–sel schlerenchyma yang terdapat di
sekitar ikatan pembuluh berkolerasi dengan kekuatan tarik (tensile
strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel–sel ini, yang diukur pada
penampang lintang akan meningkatkan kekuatan tarik rotan seperti
terlihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma


dan kekuatan tarik rotan

Daerah yang ditempati (%) Kekuatan tarik


Jenis Rotan
Sel schlerenchyma Sel lain (kg/cm2)
-Tohiti (Calamus inops) 43,9 56,1 1.239,15
-Calamus sp 28,4 71,6 847,34
-Umbul (Calamus 25,8 74,2 830,81
symphysipus)

Pada Tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa C. inops mengandung 43,9%
sel serat. Sedangkan C. symphysipus yang mengandung 25,8% sel
serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30% lebih rendah dari C. inops.
Hadikusumo (1994) menyatakan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan
diperoleh rata–rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3%),
sepertiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah
sel parenkim.

Menurut Hadikusumo (1994) sifat kelengkungan rotan (radius terkecil


dari pelengkungan rotan) lebih banyak dipengaruhi oleh diameter dan
154

kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan


kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda.

4.1.4 Tanaman Bambu

Bambu di dunia tercatat tumbuh dilebih dari 75 negara dan terdapat


1250 spesies bambu, selanjutnya kuantitas bambu yang ada di Asia
Selatan dan Asia Tenggara kira-kira 80% dari keseluruhan bambu yang
ada di dunia. Genus Bambusa mempunyai jumlah spesies paling
banyak, terutama tersebar di daerah tropis, termasuk Indonesia.
Bambu yang bergerombol dalam rumpun pada dasarnya termasuk
tanaman hutan. Bambu yang tumbuh menjalar pertumbuhannya
cenderung merajarela ke segala arah untuk menguasai lahan yang ada.
(Sharma, 1987 dan Uchimura, 1980). Bambu mempunyai keunggulan
sebagai bahan multi fungsi, tanaman cepat tumbuh (3 - 5 tahun), dan
mempunyai sifat kuat tarik yang hampir mendekati baja. Rittironk dan
Elnieri (2008), memaparkan penggunaan bambu yang dibagi dalam
bambu tradisional (konvensional) dan bambu rekayasa (mengalami
proses manufaktur). Bambu berdasarkan pertumbuhannya, dapat
dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu bambu simpodial dan
bambu monopodial (Morisco, 2006). Bambu simpodial tumbuh dalam
bentuk rumpun, setiap rhizome hanya akan menghasilkan satu batang
bambu, bambu muda tumbuh mengelilingi bambu yang tua. Bambu
simpodial tumbuh di daerah tropis dan subtropis, sehingga hanya jenis
ini saja yang dapat dijumpai di Indonesia. Bambu monopodial
berkembang dengan rhizome yang menerobos ke berbagai arah di
155

bawah tanah dan muncul ke permukaan tanah sebagai tegakan bambu


yang individual. Batang bambu terdiri atas dua bagian yaitu:

a. Nodia (ruas/buku bambu)


Nodia adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu
batang dari bambu, karena pada nodia sebagain serat bambu
berbelok. Serat yang berbelok ini sebagian menuju sumbu batang,
sedang sebagian lain menjauhi sumbu batang, sehingga pada nodia
arah gaya tidak lagi sejajar semua serat (Morisco, 1999). Secara
umun nodia mempunyai kapasitas memikul bahan yang tidak
efektif baik dari segi kekuatan ataupun deformasi. Meskipun
demikian adanya nodia pada batang bambu mencegah adanya
tekuk lokal yang sangat penting dalam perancangan bambu
sebagai elemen tekan (kolom).
b. Internodia (antar ruas)
Internodia adalah daerah antar nodia, semua sel yang terdapat
pada internodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada nodia
mengarah pada sumbu transversal. Tiap-tiap jenis bambu
mempunyai jarak internodia yang berbeda-beda. Bagian internodia
adalah bagian yang paling kuat dari bambu, sehingga mempunyai
kapasitas memikul bahan yang efektif.
156

Gambar 4.8 Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan:


a. Simpodial; b. Monopodial (docplayer.info)

(a) (b)

Gambar 4.9 Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan:


a. Bambu Simpodial; b. Bambu Monopodial

1. Jenis Bambu

Menurut Krisdianto, dkk. (2005) tanaman bambu di Indonesia


merupakan tanaman bambu simpodial, dengan batang-batang yang
cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan
157

rhizomnya di dalam tanah. Batang bambu yang lebih tua berada di


tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses
penebangannya. Di Indonesia terdapat lebih dari 13 spesies bambu
yang biasa digunakan masyarakat untuk struktur bangunan, seperti
yang tercantum pada Tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8 Jenis Bambu di Indonesia (Krisdianto dkk, 2005)

Nama Ilmiah Nama Lokal


Bambusa Spinosa Bluemeana Bambu duri, bambu gesing, bambu
greng, haur cucuk, pring greng
Bambusa Bambos Cruce Bambu duri, pring ori
Bambusa Multiplex Raeusech Awi krisik, bambu cina, pring
gendani,
pring cendani, bambu pagar
Bambusa Vulgaris Schrad Bambu tutul, jajang gading, awi
koneng
Dendrocalamus Asper (Schult, F) Awi betung, bambu petung, deling
Black ex Heyne peting, jajang betung, pring petung
Gigantochloa Verticillite (Willa) Andong gombong, awi
Munro gombong,awi
hideung, bambu hitam, pring
wulung,
pereng sorat
Gigantochloa Nigrociliata (Bues) Bambu lengka tali, awi tela, bambu
Kurz lengka
Gigantochloa Apus Awi tali, bambu tali, deling apus,
pring
tali, pring apus
Gigantochloa Hasskarlina (kurz) Awi lengka tali, awi tela
Back ex Heyne
Phyllostachuhys Aurea Pring unceu, bambu cina
Schizostashyum Blumei Nees Awi bunar, awi tamiyang, pring
wuluh, buluh sumpitan
Schizostashyum Zollingeri (Steud) Bambu perling, awi cakeutreauk
Kurz
Schizostachy Branchycladium Kurz Awi bulu
158

2. Sifat Fisika Bambu

Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis, kadar dan kembang susut.
Kualitas bambu sangat tergantung dari nilai sifat fisika bambu. Semakin
tinggi kualitas bambu akan ditunjukkan oleh nilai berat jenis yang
tinggi, kadar air yang rendah dan kembang susut yang rendah.
Sehingga dalam pemilihan bambu akan sangat perlu melihat sifat fisika
dari bambu yang akan kita pakai.

Sifat fisika merupakan informasi penting guna memberi petunjuk


tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil
pengujian sifat fisis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam
Krisdianto 2005, dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada
bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa
nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisis adalah
umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban
(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam
dan kadar air bambu. Titik jenuh serat bambu 20-30%. Bagian dalam
bambu lebih banyak mengandung lengas (air bebas), daripada bagian
luar. Bagian buku-buku (nodes) mengandung +10% lebih sedikit kadar
airnya dari pada bagian ruasnya. Bambu kurang tahan jika
dipergunakan sebagai tulangan beton karena daya serap airnya bisa
mencapai 300%. Bambu perlu diawetkan agar dapat mencapai mutu
dan umur yang diharapkan. Penggunaan pada konstruksi bangunan
harus dihindarkan dari hujan dan panas matahari langsung, agar tidak
mudah rapuh dan membusuk.
159

Kebanyakan bambu tumbuh pada temperatur 8.8°C sampai 36°C. Moso


dan bambu Ma yang tumbuh di Jepang dapat tumbuh pada temperatur
-10°C. Ketinggian tanah dimana bambu tumbuh dapat mencapai 3.600
m di atas permukaan laut seperti bambu yang tumbuh di Ekuador.
Bambu umumnya tumbuh pada tanah yang berpasir (sandy loam)
sampai di tanah liat (kuning, coklat kekuning-kuningan atau merah
kekuning-kunigan). Kualitas tanah tidak penting bagi pertumbuhan
bambu.

Moisture content bambu, Phisikal propertis, Mekanikal/teknikal


propertis sebagaimana juga dalam penggunaan bambu sebagai bahan
baku atau komponen bangunan tergantung dari kadar airnya (moisture
content). Kadar air bambu pada buku dan batang sangat tergantung
pada umur dan musim. Pada batang antar buku dapat mencapai 25%
dibandingkan dengan pada bagian buku sedangkan pada bagian dasar
sangat bervariasi. Pada daerah subtropical musim sangat
mempengaruhi moisture content (kandungan air) bambu dan pada
musim hujan dapat mencapai dua kalinya. Kandungan air bambu ini
sangat mempengaruhi kualitas bambu terutama pada saat akan
dimanfaatkan sebagai komponen bangunan.

Pemuaian dan penyusutan bambu hampir sama dengan kayu.


Perubahan yang terjadi pada panjang, lebar serta tebal kurang lebih
proporsional dengan kadar air yang dikandung. Pada penggunaan
konstruksi yang seluruhnya menggunakan bambu kondisi ini tidak
begitu berpengaruh pada konstruksi, berbeda dengan konstruksi yang
160

menggunakan kombinasi antara bambu dan kayu kemungkinan


terlepasnya sambungan sangat besar.

Ketahanan api bambu, dibandingkan dengan kayu lunak sejenis


spruce (famili pinus) maka bambu mempunya daya rambat yang lebih
baikSpruce terbakar lebih cepat sedangkan bambu dua kali lebih lama.
Kulit bambu yang mengandung silisic acid sangat membantu menahan
rambatan api shingga proses terbakarnya lebih lama dibandingkan
spruce. Komponen yang dipasang secara horizontal lebih tahan
dibandingkan dengan yang posisinya vertikal.

3. Sifat Mekanik Bambu

Sifat mekanika merupakan informasi penting guna memberi petunjuk


tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil
pengujian mekanis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam
taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada bambu apus
(Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata
Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi mekanis bambu adalah
umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban
(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam
dan kadar air bambu. Sifat mekanika, merupakan nilai paling utama
dalam desain perancangan bambu sebagai bahan konstruksi. Nilai ini
menetukan kuat tidaknya, dan layak tidaknya digunakan pada posisi
tertentu pada konstruksi. Sifat mekanika dari bambu antara lain:
161

- Kekuatan tekan

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tekan tergantung pada bagian ruas
dan bagian antar ruas batang bambu. Kuat tekan dari batang bambu dapat
dihitung dengan Persamaan 1. Bagian batang tanpa ruas memiliki kuat tekan
(8 - 45)% lebih tinggi dari pada batang bambu yang beruas.

𝑃
tk = (N/mm2) (1)
𝐴
dengan :

Ptk = beban maksimum ( N );


A = luas bidang tekan ( mm2 ).

Kegagalan akibat uji tekan ada tiga jenis, yaitu:


- Kegagalan tekuk (buckling failure), kegagalan bambu berupa
batang bambu menekuk akibat yang kemudian ditandai bambu
pecah (failure).
- Kegagalan geser (split), kegagalan bambu langsung pecah dan
terbelah arah longitudinal akibat uji tekan.
- Kegagalan tekuk dan geser, kegagalan bambu kombinasi tekuk dan
geser yang terjadi bersamaan saat bambu akan failure
162

Tabel 4.9 Kekuatan Tekan Rata-rata Bambu Bulat di Tiga Posisi


(Morisco, 1999)
Jenis Bambu Bagia
Kekuatan Tekan
Varian Bambu Bagian
(Mpa)
Pangkal 327
Bambu Galah (Gigantochloa ven
Tengah 399
icilata)
Ujung 405
Pangkal 215
Bambu Apus (Gigantochloa apus) Tengah 288
Ujung 335
Pangkal 532
Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Tengah 543
Ujung 464
Pangkal 277
Bambu Petung (Dendrocalamus
Tengah 409
Asper)
Ujung 548

Gambar 4.10 Uji Tekan Bambu (Eratodi, 2017)


163

Gambar 4.11 Hasil Pengujian Tekan Bambu (Eratodi, 2017)

- Kekuatan Tarik

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tarik tergantung pada batang


yang digunakan dan besarnya dihitung dengan Persamaan 2. Bagian
ujung memiliki kekuatan terhadap gaya tarik 12% lebih rendah
dibanding dengan bagian pangkal.

𝑃
tk = (N/mm2) (2)
𝐴
dengan:

P = beban maksimum ( N );
A = luas bidang tarik ( mm2).
164

Gambar 4.12 Contoh Spesimen Uji Tarik

Gambar 4.13 Hasil Pengujian Tarik Bambu (Eratodi, 2017)

Tabel 4.10. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven (Morisco, 1999)

Kuat Tarik Kuat Tarik


Bagian Bagian
Varian Bambu
Dalam Luar
(kg/cm2) (kg/cm2)
Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 1.640 4.170
Bambu Petung (Dendrocalamusasper) 970 2.850
Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea) 960 2.370
Bambu Tutul (Bambusa maculata) 1.460 2.860
165

Tabel 4.11. Kuat tarik bambu kering oven (Morisco, 1999)

Kuat Tarik Kuat Tarik


Bagian Bagian
Varian Bambu
Dalam Luar
(kg/cm2) (kg/cm2)
Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 291 128
Bambu Petung (Dendrocalamusasper) 190 116
Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea) 166 147
Bambu Tutul (Bambusa maculata) 216 74
Bambu Legi (Gigantochloa verticilata) 288 126
Bambu Galah (Gigantochloa verticilata) 253 124
Bambu Apus (Gigantochloa apus) 151 55

4. Kandungan Kimia bambu

Kandungan kimia bambu dipengaruhi oleh usia, tinggi, lapisan bambu


yang dievaluasi dengan analisis varian pada level signifikan 0.05. Hasil
pengujian kimia bambu tercantum dalam Tabel 4.11. Pengujian ini
menggunakan metode Ekstraktif Alkohol-toluena dan Air panas
Ekstraktif alkohol-toluena bambu terdiri dari bahan yang tidak larut,
umumnya dianggap sebagai bagian dari substansi bambu, terutama
lilin, lemak, resin, dan beberapa kerak, beberapa substansi yang larut
dalam air. Kandungan ekstraktif alkohol-toluena dari berbagai usia dan
ketinggian lokasi disajikan pada Gambar 4.14. Umur mempunyai
pengaruh yang signifikan pada kandungan ekstraktif toluena alkohol.
Dengan meningkatnya umur, kandungan ekstraktif toluena alkohol
terus meningkat. Usia lima tahun bambu memiliki kandungan ekstraktif
tertinggi. Ada beberapa variasi diantara lokasi sampling vertikal. Bagian
atas memiliki kandungan ekstraktif tertinggi. Pangkal dan menengah
166

tidak secara signifikan berbeda dalam kandungan ekstraktif toluena


alkohol.

Tabel 4.11. Komposisi Kimia dari Bambu (Eratodi, 2017)

Hot Alcohol
Holo
Umur
Lokasi
Ash water toluena Lignin
Cellulose
α-
(Thn) (%) Solubles Sulubles (%) Cellulose
(%)
(%) (%)
Bawah 1,82 5,83 3,32 21,98 68,92 46,52
1 Tengah 1,94 5,07 2,86 22,11 70,84 47,30
Atas 1,95 5,14 3,48 21,26 71,95 47,51
Bawah 1,30 6,33 4,17 23,21 68,58 46,21
2 Tengah 1,36 6,91 4,38 23,95 72,69 46,82
Atas 1,41 7,43 5,21 23,71 73,82 46,99
Bawah 1,26 4,89 6,61 22,93 69,94 46,08
3 Tengah 1,30 5,19 6,81 22,97 72,50 47,65
Atas 1,35 5,84 7,34 23,02 73,65 47,91
Bawah 4,09 9,19 5,99 22,41 63,14 41,91
Tengah 0,54 5,26 3,15 24,30 69,94 49,02
31
Atas 0,65 7,25 4,25 21,79 65,84 45,08
Dalam 0,88 9,33 5,78 22,57 64,54 42,84

4.2 Proses Pengolahan Serat

Proses pembuatan atau pengolahan tanaman sumber serat sebagian


besar dilakukan setelah panen (pascapanen), terutama pada tanaman
yang khusus ditanam untuk diambil seratnya (Tanaman Rami), tetapi
ada beberapa tanaman yang diambil seratnya setelah terlebih dahulu
dilakukan proses pengolahan awal (Rotan dan Bambu). Untuk
pengambilan tanaman tersebut pengolahan sertanya adalah berikut ini.
167

4.2.1 Pengolahan Serat Rami

Pascapanen rami merupakan rangkaian panjang sebelum batang rami


dapat dimanfaatkan menjadi serat rami siap pintal yang biasa disebut
rami top. Rangkaian ini meliputi: proses dekortikasi batang rami
menjadi china grass, degumming china grass menjadi serat bebas gum,
pelunakan (softening) serat bebas gum agar serat menjadi lemas.
Perlakuan selanjutnya pembukaan bundelan serat menjadi helaian
serat elementer agar mudah dipintal atau di-blending dengan serat
sintetis atau serat alami lainnya. Serat yang telah mengalami perlakuan
di atas disebut rami top. Selanjutnya rami top dapat diperdagangkan
dalam bentuk aslinya atau dipotong-potong sepanjang serat kapas
apabila akan diblending dengan serat kapas. Selanjutnya proses di atas
akan diuraikan sebagai berikut (Balai Besar Tekstil, 2005):

1. Proses Pemisahan Serat dari Batang (Dekortikasi)


Proses dekortikasi dilakukan dalam keadaan tanaman masih basah;
hasil proses dekortikasi yang berupa serat kasar (china grass)
kemudian dikeringkan. Sistem kerja alat ini ialah pemukulan batang
basah oleh batang besi yang melintang tegak lurus atas batang
tersebut. Bagian kayu akan hancur dan serat mengelupas,
kemudian akan terpisah bersama dengan keluarnya serat dari
mesin. Serat inilah yang biasa disebut china grass. Mesin
dekortikator yang digunakan adalah mesin diesel atau bensin
berkekuatan 2–5 pk. Ada juga mesin dekortikator yang digerakkan
dengan motor listrik, namun sangat jarang. Kemampuan proses
dekortikasi per mesin sekitar 1 ton batang basah per hari. Output
168

berupa serat mentah (china grass) = 525 kg per 15 ton hasil panen
batang basah per hektar (rendemen 3,5%). Efektivitas pemakaian
per mesin dapat mencapai 4–5 hektar dan mesin dioperasikan di
lokasi perkebunan. Proses dekortikasi dengan sistem penggilasan
dan kontinu dapat menghasilkan serat mentah dengan rendemen
± 6%.

2. Proses Pembuangan Gum (Degumming)


Proses ini merupakan upaya penguraian china grass menjadi serat
elementer dengan cara mendekomposisi gum/pektin/zat perekat
yang berada di antara helaian serat. Pada umumnya proses
merupakan proses kimiawi yang disertai dengan pemanasan.
Bahan kimia yang dipergunakan ialah NaOH yang konsentrasinya
2–5%, suhu pemanasan sekitar 90–95oC. Pemanasan (pemasakan)
dilakukan selama 2–3 jam. Kemampuan proses = 50 kg per batch
dengan 4–5 batch per hari (bergantung jenis dan kapasitas mesin).

Proses degumming dengan metode biologis atau enzimatis


merupakan cara alternatif dengan mempergunakan bakteri atau
enzim. Cara ini tidak menggunakan bahan kimia dan suhu yang
dipergunakan tidak terlalu tinggi; maksimal 35–37oC. Suhu ini
merupakan suhu optimal untuk kegiatan enzimatis yang dilakukan
oleh bakteri/enzim perombak. Berbeda dengan proses degumming
cara kimia yang memerlukan waktu proses cukup singkat (2–3 jam
pemasakan), proses ini memerlukan waktu lebih lama. Hal ini
disebabkan karena kegiatan enzimatis tersebut yang tidak dapat
dipercepat. Untuk mempercepat proses ini jalan yang ditempuh
169

ialah dengan mengondisikan tempat proses pada keadaan optimal


untuk kegiatan bakteri perombak/enzim yang dipergunakan dalam
proses degumming. Cara ini masih belum banyak dipakai di
kalangan praktisi, karena memerlukan tempat proses yang lebih
besar/banyak. Namun bila diinginkan proses tanpa bahan kimia,
proses degumming dengan menggunakan metode ini layak
dipertimbangkan. Hasil proses degumming ini berupa degummed
fiber dengan rendemen 90% yang mengandung ± 90% selulosa.

3. Proses Pelemasan (Softening)


Serat hasil proses degumming, baik cara kimia maupun
biologis/enzimatis masih memerlukan perlakuan lanjutan berupa
proses pelemasan (softening). Proses ini dilakukan dengan tujuan
agar serat rami tidak kaku. Adapun cara-caranya sebagai berikut:
- Cara kimiawi melalui metode perendaman atau penyemprotan
dengan zat pelemas.
- Cara mekanik melalui mekanisme penggilasan.
- Gabungan cara kimiawi dan mekanik.
Setelah melalui proses ini serat akan menjadi lemas dan siap untuk
mendapat perlakuan selanjutnya.

4. Proses Pembukaan (Opening)


Proses ini dilakukan agar serat berubah menjadi helaian serat atau
serat elementer yang menyerupai serat kapas tetapi dengan
panjang yang berbeda. Prinsip kerja alat ini ialah mengurai,
membuka, dan melepas serat-serat yang masih saling melekat.
Peralatan yang digunakan ialah: mesin fiber opener atau waste
170

opener. Hasil proses ini ialah serat stapel rami siap pintal atau yang
biasa disebut rami top. Serat ini dapat dikempa dan dikemas dalam
satu kemasan atau dipotong sepanjang serat kapas, apabila akan
dicampur dengan serat kapas. Alur proses pembuatan serat stapel
rami tercantum pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14 Alur proses pembuatan serat stapel rami


(Balai Besar Tekstil, 2005)

4.2.2 Pembuatan Serat Bambu

Teknologi pemanfaatan bambu untuk dimanfaatkan seratnya, belum


banyak dilakukan mengingat teknologi pembuatan serat bambu dan
pemanfaatan serat bambu untuk material industri, masih
dikembangkan. Secara sederhana teknologi pembuatan serat bambu
meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut (Nurkertamanda, 2012):
- Tahapan Preparasi
171

Tahapan preparasi meliputi tahapan:


a. Persiapan bahan baku utama, yaitu : bambu
b. Persiapan larutan pelunakan, merupakan cairan kimiawi.
- Tahapan Pelunakan
Tahapan pelunakan merupakan tahapan perebusan bambu dalam
larutan pelunakan.
- Tahapan Pembilasan
Tahapan pembilasan merupakan pembersihan bambu dari cairan
pelunakan yang bersifat kimiawi.
- Tahapan Pemisahan serat
Tahapan terakhir merupakan tahapan untuk memisahkan serat-
serat bambu dan memdapatkan serat yang diinginkan.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan bahan baku utama yaitu bambu dibilah tipis-
tipis karena dengan pembilahan tipis-tipis akan mempercepat proses
degumming karena dengan bilah-bilah bambu yang tipis akan
mempermudah dalam pemisahan seratnya jika di bandingkan bilahan
bambu yang tebal.

Dengan menggunakan kadar persentase NaOH terhadap bilah yang


mempunyai ukuran sama diperoleh hasil yang sifat serat yang dapat
dilihat dalam Tabel 4.12 berikut:
172

Tabel 4.12 Rekapitulasi hasil percobaan presentase NaOH


terhadap sifat serat hasil proses (Nurkertamanda, 2012)

NaOH (%berat) Suhu (oC) Sifat Serat Hasil Proses


Serat bersifat agak sedikit kasar dan
keras, namun serat dapat terpisah dan
5 70
panjang

Serat bersifat lebih lunak dari percobaan


1, namun beberapa serat mudah putus
8 70
dan rapuh

Serat bersifat sangat lunak, namun serat


sangat rapuh dan mudah putus ketika
15 70 mengalami proses pengeringan dan
proses mekanis berupa pemisahan serat.

Berdasarkan Tabel 4.12 dengan presentase NaOH 5% mendapatkan


struktur serat yang diinginkan, kasar agak keras namum tidak nudah
patah/putus. Kadar NaOH 5 % juga mudah untuk dilunakan sehingga
tidak terlalu merusak lingkungan karena pengolahan limbah dengan
presentase kecil lebih mudah dilakukan. Presentase ini juga dipilih
dalam pemenuhan technical requirement berupa humiditas bahan.
Ketika bahan serat semakin lunak atau halus, maka humiditas dari serat
tersebut akan bertambah. Jika tanpa pengolahan lebih lanjut, serat
tersebut akan mudah mengalami penjamuran. Pertimbangan kedua
juga inilah yang membuat peneliti menentukan peleburan bambu pada
tingkat konsentrasi NaOH pelarut sebesar 5%.
173

2. Tahapan Pelunakan

Tahap pelunakan di mana bambu direbus dengan suhu 70oC, lama


perebusan sangat tergantung dari tebal bilah yang direbus makin tipis
bilah maka makin cepat waktu perebusan, tetapi makin tebal bilah
maka waktu perebusan akan semakin lama. Jika bilah tipis (2 mm)
direbus terlalu lama akan didapatkan serat bambu yang halus dan
mudah putus, demikian juga sebaliknya jika bilah bambu tebal direbus
sebentar (3 jam) masih sulit untuk melepaskan ikatan antar serat.

3. Tahapan Pembilasan

Teknik pembilasan yang diambil adalah pembilasan dengan sistem


rendam, dimana proses degumming atau pemecahan zat pengikat serat
dilakukan secara perlahan dan menghilangkan kandungan NaOH yang
tersisa secara bertahap

4. Tahapan Pemisahan serat

Pada tahap terakhir merupakan tahapan untuk memisahkan serat-serat


bambu untuk memdapatkan serat yang diinginkan, teknik yang terbaik
adalah proses pengrollan secara perlahan, bertujuan memicahkan
antara zat pengikat serat dengan serat bambu. Teknik pengrollan
berbeda dengan pemukulan, jika di roll serat tidak terputus akibat
pemukulan yang terlalu keras. Jika dilakukan teknik penekanan secara
berulang, kadang-kadang di beberapa bagian terlewat. Sehingga teknik
174

pemisahan serat yang terbaik adalah dengan pengrollan baik maual


ataupun dengan bantuan roll mekanis.

Karakteristik serat bambu yang dihasilkan ditunjukkan dalam Gambar


4.15 serta Gambar 4.16.

Gambar 4.15 Serat yang diinginkan masih berupa serat kasar


(Nurkertamanda, 2012)

Gambar 4.16 Serat halus (terlalu halus) (Nurkertamanda, 2012)


175

4.2.3 Pembuatan Serat Rotan

Untuk pembuatan serat rotan prosesnya pembuatanya dapat meniru


pada proses pembuatan serat bambu, namun yang membedakan serat
rotan diambil dari kulit rotan.

4.3 Pemanfaatan Serat

Pemanfaatan serat alami (Rami, Bambu Rotan) dalam hal serat rami,
serat rotan serta serat bambu pada umumnya dgunakan untuk
pengganti serat sintetis yang digunakan untuk bahan baku tekstil.
Selain bahan untuk tekstil serat alami juga dapat dipakai untuk
keperluan barang dan bahan teknik tertentu masih dalam skala
laboratorium belum diproduksi secara masal.

Gambar 4.17 Body Armour (Polisi Tactica)


176

Referensi

1. Anonim., 2007. Prosiding Lokakarya Model Pengembangan


Agribisnis Rami, Puslitbang Perkebunan, Bogor, P 33-39.
2. Badhwar, R.L. et. Al., 1961. Collection and processing of canes,
Indian Forester.
3. Bhat, K.V., Varma, R.V., Raju Paduvil, Distribution of starch in the
culms of Bambusa bambos (L.) Voss and its influence on borer
damage. The Journal of the American Bamboo Society 19(1): 1-4
Kerala Forest Research Institute, Peechi – 680 653, Kerala, India
4. Dransfield, J,. 1974. A short guide to Rattans. Bogor. BIOTROP.
5. Dransfield, J., 1984. The Rattans of Sabah. Sabah Forest Record
no. 13. Forest Departement Sabah.
6. Evgust. wordpress.com/2011/04/16/serat-rami/. Posted on 16 April
2011 by evi gustami.
7. Eratodi, I.G.L.B., 2017, Struktur dan Rekayasa Bambu, Penerbit
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Bali.
8. Fengel, D dan G, Wagner, 1984. Wood, Chemistry Ultrastruktur and
reaction. Walter de Bruyter. New York.
9. Hadikusumo, S. A., 1994. Exploration of physical and mechanical
properti es of precently unused Rattan. Buletin Fakultas Kehutanan
25:1-19.
10. https://www.makalah-nkp.com/2018/06/rompi - polisi - klasifikasi
- level.html diuduh tanggal 10 Desember 2019.
11. Jasni, Krisdianto, Kalima, T., Malik, J. & Abdurachman, 2012. Atlas
rotan Indonesia. Jilid 3. Bogor, Pusat penelitian dan Pengembangan
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
177

12. Kollman FFP, Cote WA., 1968. Principle of Wood Science and
Technology-Solid Wood. Volume ke-1. New York: Springer-Verlag.
13. Krisdianto, Sumarni G., dan Ismanto A., 2005. Sari HasilPenelitian
Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
14. Mogea, J. P., 1990. Survey Botani Rotan di Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Selatan. Herbarium Bogoriense Balitbang Botani,
Puslitbang Biologi LIPI.
15. Morisco, 2006, Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Magister Teknologi
Bahan Bangunan. Program Studi Teknik Sipil Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
16. Morisco, 1999, Rekayasa Bambu, Nafiri Offset, Komplek Yadara
Blok V/12 Yogyakarta
17. Mohanty, A.K., Misra, M., Dzral, L. T., Selke, S.E., Harte, B. R. And
Hinrichsen, 2005. Natural Fibers, Biopolymers And Biocomposite:
An intrduction”.Chapter 1 in Natural Fibers, Biopolymers, And
Biocomposite, edited by Mohanty, A.K., Misra, M., Dzral, L. T., CRC
Press, Taylor And Francis Group, 6000 Broken Sound Parkway NW,
USA.
18. Mohanty, Misra, M., Drzal, L.T., 2005. Natural fibers, biopolymers,
and biocomposites: an introduction. In: Natural Fibers,
Biopolymers, and Biocomposites. pp. 1–36.
19. Musaddad , M.A., 2007. Agribisnis tanaman Rami, Panerbit
Swadaya. Depok.
20. Nurkertamanda, Denny, Alvin, Andi, 2012. Desain Proses
Pembentukan Serat Bambu Sebagai Bahan Dasar Produk Industri
Kreatif Berbahan Dasar Serat Pada UKM. J@TI Undip, Vol VII, No.3.
178

21. Purwati, D.R., 2012. Strategi Pengembangan Rami (Bohmeria nivea


Gaud). Perspektif Vol.9. No.2. hal 106 - 118. ISSN : 1412 - 8004.
22. Rachman, O., 1996. Peranan Sifat Anatomi Kimia dan Fisis terhadap
Mutu Rekayasa Rotan. Disertasi Doktor. Program Pasca sarjana
IPB. Bogor.
23. Rittironk, S.and M. Elnieiri. 2008. Investigating laminated
bamboolumber as an alternate to wood lumber in residential
construction in the United States. Modern BambooStructures.CRC
Press.
24. Sharma, Y.M.L., 1987. Inventory and resources of bamboo : 4 –17,
In Rao, A.N.,: Dhanarajan, G. & Shastry, C.B., Recent Research on
Bamboo, C.A.F., China and IDRC. Canada.
25. Suryanto, H., Irawan, Y.S., Marsyahyo, E., Soenoko, R., 2014.
Effect of Alkali Treatment on Crystalline Structure of Cellulose Fiber
From Mendong (Fimbristylis globulosa) Straw. Key Eng. Mater.
594–595, 720–724.
26. Suryanto, H., Marsyahyo, E., Surya Irawan, Y., Soenoko, R.,
Aminudin, 2015. Improvement of interfacial shear strength of
Mendong fiber (Fimbristylis globulosa) reinforced epoxy composite
using the AC electric fields. Int. J. Polym. Sci. 2015, 1–10.
27. Wangard, F. F., 1979. The Mechanical Properties of Wood. John
Willey and Sons, Inc. New York.
28. Weiner, G.; W. Liese., 1990. Rattans – Stem Anatomy and
Taxonomic Implications. IAWA Bulletin, International Association of
Wood Anatomists 11(1): 61-70.
BAB 5
IMPLEMENTASI MATERIAL BOTANI PADA
TEKNOLOGI PERTAHANAN

5.1 Implementasi Material Botani Mengandung Selulosa

Untuk mendukung kemandirian material dibidang teknologi


pertahanan, material botani yang mengandung selulosa dapat
dimanfaatkan untuk material pembuatan propelan. Pada dasarnya
propelan digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu jenis propelan padat
serta jenis propelan cair (Sutton, 2001).

Jenis propelan padat merupakan propelan yang berbentuk padat atau


propelan non fluida. Kelebihan golongan propelan ini saat penyimpanan
lebih mudah untuk diatur. Kelemahannya propelan jenis padat yaitu
unthrotlelable atau besar kecilnya thrust yang dihasilkan tidak mampu
diatur, dan memiliki impuls spesifik lebih kecil dibanding propelan cair.

Propelan cair atau propelan fluida merupakan propelan berbentuk cair,


perkembangan terakhir propelan ini banyak digunakan pada roket-
roket terbaru. Keunggulan propelan cair adalah thrust yang dihasilkan
dapat diatur atau throttleable dan memiliki impuls spesifik relatif besar.
Beberapa kekurangan antara lain biaya produksi yang cukup mahal,
resiko peledakan saat proses pembuatan dan cara penyimpanan yang
lebih sulit. Propelan cair mengandung beberapa komposisi antara lain
oxidizer dan fuel. Propelan roket cair pada hakekatnya sama seperti

179
180

bahan bakar pesawat terbang, namun kebutuhan oksigen dipenuhi dari


oxidizer sendiri yang dibawa dalam bentuk cair (Sutton, 2001).

Untuk kebutuhan bahan dasar propelan padat dan menunjang


kemandirian material untuk industri pertahanan, maka material botani
dapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk pembuatan propelan.
Material botani yang dapat dijadikan propelan yaitu material botani
yang kadar selulosanya dinilai tinggi. Beberapa material botani yang
mengandung kadar selulosa yang tinggi diantaranya adalah kapas,
kapuk serta limbah kelapa sawit.

Untuk dijadikan bahan dasar propelan material tersebut harus diambil

selulosanya (α-selolusa) terlebih dahulu kemudian dijadikan

nitrocellulose sebelum dipakai sebagai bahan dasar propelan.

Gambar 5.1 α-Selulosa dari Kapas (alibaba.com)


181

Gambar 5.2 Nitrocellulose (Steemit.com)

Gambar 5.3 Propelan (rediyus.com)

5.2 Implementasi Material Botani Mengandung Resin

Resin adalah substansi padat atau semi padat berbentuk amorf yang
tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol atau pelarut organik.
Resin dapat berupa bahan keras atau bahan rapuh yg transparan jika
dipanaskan akan melunak dan meleleh menghasilkan campuran
182

kompleks yg terdiri dari resinotanol, asam resin, ester resin, resin


alkohol dan resena. Resin diproduksi secara normal di saluran
schizogen atau schizolysigen atau rongga-rongga sebagai produk akhir
metabolism. Resin dianggap sebagai produk oksidasi dari terpena atau
sebagai produk akhir metabolisme destruktif. Secara alami resin
mudah terbakar, Resin tidak menghantarkan listrik.

Resin alami dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung getah seperti


damar dan pinus, getah damar dan pinus dihasilkan dari proses
penyadapan. Pemanfaatan getah damar dan getah pinus dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku material teknologi pertahanan dalam
bentuk gliserol dan bentuk resin untuk pembuatan material komposit.
Untuk gliserol merupakan bahan dasar bahan peledak serta
nitroglycerine yang digunakan dalam pembuatan propelan doubel base
yaitu pembuatan propelan dengan bahan dasar nitrocellulose dan
nitroglycerine.

Gambar 5.4 Resin Damar (rediyus.com)


183

Gambar 5.5 Resin Pinus/Gondorukem (rediyus.com)

Gambar 5.6 Gliserol (alibaba.com)

Gambar 5.7 Nitrogliserin (Britannica.com)


184

5.3 Implementasi Material Botani Mengandung Serat

Implementasi tumbuhan/botani yang mengandung serat dapat


gunakan untuk material komposit bagi beberapa material untuk
material kapal, serta material armor atau material tahan peluru juga
dapat digunakan sebagai bahan absor.

Gambar 5.8 Serat Rami

Gambar 5.9 Hasil tenunan rami secara manual (Saferi, 2015)


185

Gambar 5.10 Pemberian wax pada permukaan panel cetakan


(Saferi, 2015)

Gambar 5.11 Pencampuran resin dan hardener (Saferi, 2015)

Gambar 5.12 Pembuatan Komposit (Saferi, 2015)


186

Gambar 5.13 Komposit Kering (Saferi, 2015)

Referensi

1. Gibson,R.F.,1994.“Principal of Composite Material Mechanics”.


MC.Graw Hill.
2. Marsyahyo,E., Soekrisno,R., Rochardjo,H.S.B., Jamasri,. 2009,
Preliminary Investigation on Bulletproo Panels Made from Ramie
Fiber Reinforced Composites for NIJ Level II, IIA, and IV, Journal of
Industrial Textiles,Vol. 39, No. 1.
3. Mueller, D.H., Krobjilowski, A., 2003. New Discovery in the Sifates
of Composites Reinforced with Natural Fibers. Journal of industrial
textiles, vol. 33, no. 2.
4. Saferi, Rozi, Bur, Mulyadi, Dahlan Hendery, 2015. Pengaruh
Thermal Shock Terhadap Kekuatan Tarik dan Bending Komposit
Resin Berpenguat Serat Rami, Jurnal Energi dan Manufaktur Vol.8,
No. 2
5. Sutton, G. P., and Biblarz, O., 2001. Rocket Propulsion Elements,
California: John Willey and Son.
Indeks

Amorf, 45
APL, 1

Balsamum, 111
Batch Autoclave, 119
Berat Jenis, 47

CA, 2
Continuous, 120
CPO, 52
China grass, 132

Damar, 87, 88
Damar Gom, 110
Damar Mata Kucing, 89
Degumming, 169

187
188 Indeks

Dekortikasi, 168

Fat splitting, 117

Getah, 101
Getah pinus, 100
Gliserol, 112
Gondorukem, 103

HK, 1
HL, 1
HPK, 1
HPT, 1
HTI, 3

Indeks Bias, 47
Internodia, 156
189

Kapas, 41
Kapuk/Randu, 41
Kelapa, 41
Kelapa Sawit, 41
Keliatan (Toughness), 47
Kelompok jerami, 128
Kelompok kulit pohon, 128
Kolompok Daun, 128
Kopal, 88
KPA, 2
Kristalin, 45
KSA, 2

LDCM, 3
Lignin, 60

Moisture Regain, 47
Mulur, 47
190 Indeks

Nenas, 41

Oleoresin, 110
Opening, 170

Pengaruh alkali, 48
Pengaruh asam, 48
Pengaruh mikroorganisma, 48
Pengaruh oksidator, 48
Pinus, 87
Pisang, 41
Pohon Bambu, 129
Pohon Rami, 129

Rami, 41, 132


Ramie Raw, 132
Ramie Stafle Fibre, 132
Rotan, 129
Reagen, 119
191

Resin, 88
Resin Damar, 109

Selulosa, 15, 41, 46


Selulosa α, 16
Selulosa ß, 17
Selulosa γ, 17
Serat, 26
serat alam, 127
Serat alami, 127
serat jerami, 127
Serat rumput/grass, 129
serat sintetis, 127
SM, 2
Softening, 170

Tahura, 2
TBS, 52
Terpentin, 101
TKKS, 52
TN, 2
Transesterifikasi, 115
TWA, 2
Twitchell, 118
TENTANG PENULIS

Saat ini penulis menjabat sebagai Sesprodi


Teknologi Daya Gerak, Fakultas Teknologi
Pertahanan, Universitas Pertahanan, pernah
menjabat sebagai Sesprodi Keamanan Energi dan
Sesprodi Industri Pertahanan, Universitas
Pertahanan. Untuk jabatan kemiliteran saat ini
sebagai Perwira Menegah dengan Pangkat Kolonel
Kes, di Angkatan Udara Republik Indonesia.
Penulis mempunyai latar belakang pendidikan Fisika dari USU (1993),
Magister Sains (M.Si) Fisika Bio Material dari Universitas Indonesia,
serta Doctor (Dr) Rekayasa Bio Material dari Universitas Indonesia (UI).
Selain pendidkan umum, Pendidikan kemiliteran yang pernah ditempuh
yaitu: Kursus alat Human Centrifuge (HC) di Late Coere Prancis th 2000,
Kursus Physiologycal Training Officer di Lakespra Saryanto, SEKKAU
Angkatan 80, SESKOAU Angkatan 48 di Lembang Bandung, Jawa Barat.

Saat ini penulis menjabat sebagai Dosen di Fakultas


Teknik Universitas Suryakancana, Cianjur. Dan
pernah menjabat sebagai Sekretaris Prodi Teknik
Informatika dari tahun 2001-2002, Sekretaris Prodi
Teknik Industri 2002-2007. Dan 2015-2017,
Fakultas Teknik, Universitas Suryakancana Cinajur.
Penulis mempunyai latar belakang pendidikan
Teknik dan Manajemen Industri ITB. Selain penulis
merupakan lulusan Magister Pertahanan (M.Han)
Program Studi Industri Pertahanan dari Universitas Pertahanan. Selain
Pendidikan umum, Penulis pernah bekerja di Berbagai perusahaan,
Bimantara Automotive tahun 1992 sampai 1999 dengan jabatan
terakhir Engineering Assistant Manager, PT. Nipress (NS Battery)
tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan jabatan terakhir PPIC Manager,
PT. Panfila Indosari Drinking Water Industry, 2001 sampai 2003,
Jabatan terakhir Plant Deputy Manager, PT. Altin Cap, 2003 sampai
2006 sebagai PPIC & Production Manager, serta PT. IHE Cendekia
Rekayasa, 2015 sampai 2017 sebagai Project General Manager. Selain
itu penulis menjadi ahli, pada Lapi-ITB dan Lapi Ganeshatama
Consulting. Disamping itu penulis sebagai Ahli Madya di Bidang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Anda mungkin juga menyukai