Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Aksara Lontara’

Aksara Lontara’ merupakan satu dari lima aksara dunia, yakni aksara Arab, Latin,
Kanji, Kawi (Jawa Kuno). Aksara Makassar atau Lontara’ disebut demikian karena
dahulu kala, sebelum ditemukannya kertas sebagai media menuliskan pesan, baik
surat ataupun dokumen penting lainnya, orang Makassar (baca: orang Gowa)
biasanya menggunakan rontal atau daun lontar sebagai media. Selanjutnya lontara’
dijadikan sebagai aksara resmi kerajaan. Istilah lontara’ sendiri berasal dari kata
rauntala’, yang berarti daun tala’. Itulah sebabnya aksara Makassar disebut dengan
lontara’.

Ditilik dari segi bentuknya, aksara lontara’ sangat berbeda dengan aksara lainnya.
Pada aksara lontara’ tidak dijumpai garis melengkung atau bengkok. Hanya ada garis
lurus ke atas dan ke bawah. Pada pertemuan garis lurus ke atas dan garis lurus ke
bawah terdapat patahan. Kemudian dari segi teknis penulisannya aksara lontara’
menggunakan garis tebal tipis (bukan tipis tebal). Garis lurus ke atas harus tebal dan
garis lurus ke bawah harus tipis (halus). Keunikan lain dari aksara lontara’ adalah
tidak dijumpai adanya huruf mati. Karena, secara filosofi, seperti dijelaskan Sekda
Kabupaten Gowa H. Muchlis, keunikan bentuk dan teknis penulisan aksara lontara’
mengandung makna sebagai berikut:

Satu, aksara lontara’ tidak mengenal garis melengkung atau garis bengkok. Hanya
ada garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah. Kemudian pada pertemuan kedua
garis lurus tersebut terdapat patahan. Ini merupakan perwujudan dari karakter orang
Gowa (Makassar) termasuk juga orang Bugis yang mencintai kejujuran, kemudian
disimbolkan dengan garis lurus, dengan suatu semboyan lebih baik patah daripada
harus bengkok.

Kedua, dari segi teknis penulisan dengan variasi tebal halus—ke atas harus tebal dan
ke bawah harus halus—menyiratkan tekad yang besar untuk maju dan berkembang.
Sedangkan garis lurus halus ke bawah sebagai simbol kehalusan budi pekerti.
Hal yang disampaikan oleh Muchlis ini dapat dijumpai manakala kita menelusuri
jejak-jejak sejarah masa lalu. Terutama dalam hal peralihan kekuasaan dari seorang
raja ke putra mahkota—suksesi kepemimpinan. Seorang raja, ketika sudah tidak lagi
efektif dalam memimpin, entah karena sakit ataupun karena sudah uzur (tua), harus
turun dengan cara yang baik dan halus, yang kemudian disimbolkan sebagai garis
lurus yang halus mengarah ke bawah seperti pada aksara lontara’ tersebut.

Begitu juga bagi saudara laki-laki ataupun saudara perempuan yang memiliki
keinginan untuk menjadi raja, tetapi tidak ditunjuk sebagai putra mahkota dan tidak
dapat menjadi raja, ia harus pergi meninggalkan tanah tempat ia lahir dan dibesarkan.
Raja yang baru bersama sesepuh kerajaan mempersiapkan bekal dan segala
sesuatunya untuk kebutuhan saudaranya yang akan pergi. Kepergiannya tentu
bersama dengan para pendukungnya dan orang-orang yang setia kepadanya.

Adapun arah atau tempat yang dituju adalah tanah yang belum pernah dijamah oleh
manusia. Di sana mereka membabat hutan dan membuat sebuah perkampungan baru,
yang selanjutnya akan berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil, yang dipimpin
oleh seorang karaeng (disebut: karaeng panini&rsquoting..ting!, yang tak lain adalah
saudara kandung dari raja di kerajaan induk. Kerajaan ini kemudian akan menjadi
penyangga kerajaan induk. Itulah sebabnya, sehingga suksesi raja-raja di Suawesi
Selatan semuanya berjalan damai. Tidak ada keributan, apatah lagi darah yang
tertumpah.

Ketiga, aksara lontara’ tidak mengenal huruf mati. Maknanya adalah bahwa segala
ilmu agar berkah, maka mintalah restu atau tanyakanlah kepada pemiliknya atau
ahlinya. Dengan begitu ilmu itu tidak akan pernah mati.

Contohnya, dalam bahasa Makassar dikenal istilah seperti, “Nia’ kana nikanampi
namakkana”. Artinya, ada kata yang akan ketahuan maknanya nanti setelah
disampaikan oleh ahlinya. Misalnya penulisan kata kokkong (bahasa Bugis, artinya
berjalan sambil mengepit), sama penulisannya dengan kata kongkong (bahasa
Makassar: anjing), dan juga sama penulisannya dengan kata koko (bahasa Makassar:
kebun), serta kata kokko’ (bahasa Makassar: gigit).

Hubungannya dengan kehidupan sehari-hari adalah manakala ada sesuatu yang


belum jelas maknanya, agar tidak menimbulkan persepsi yang negatif maka
tanyakanlah kepada ahlinya. Jangan tanya tentang halal haramnya pernikahan sesama
jenis kepada orang yang bukan ahli agama. Jangan pula tanyakan tentang etika
kepada mereka para anggota dewan yang terhormat, karena sejatinya mereka tidak
paham tentang etika. Wong, mereka saja tidak beretika. Dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai