Anda di halaman 1dari 8

PERILAKU ORGANISASIONAL

STUDI KASUS

ANALISIS KEKALAHAN DONALD TRUMP SAAT PEMILU AMERIKA


2020 DALAM KONTEKS PERILAKU ORGANISASI

Disusun oleh
Kelompok 3
Adik Anis Tri Astuti (F0317002)
Pangestu Jalu Bagaskoro (F0317079)
Santi Silfiani (F0317 092)

S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2020
ANALISIS KASUS PENYEBAB KEKALAHAN DONALD TRUMP
DALAM PEMILU USA BERDASARKAN TEORI KEPEMIMPINAN DAN
POLITIK

Dalam kasus kekalahan Donald Trump pekan lalu tentunya menjadi sorotan warga
dunia tentang apa penyebab kekalahan Trump tersebut. Beberapa penyebab
kekalahan Donald Trump dalam pemilihan presiden pada pekan lalu menjadikan
dia tidak bisa memimpin ke-2 kalinya di Amerika Serikat. Dukungan suara Trump
dikalahkan Joe Biden yang berhasil mengumpulkan lebih dari 270 suara elektoral.
Salah satu faktornya yaitu kemampuan Joe Biden yang menampilkan dirinya
sebagai anti-tesis dari Donald Trump dalam menyikapi dan mengkomunikasikan
sebuah isu. Terutama, dalam menyikapi tiga isu besar yang terjadi di Amerika.
Ketiga isu tersebut adalah soal pandemi Covid-19, runtuhnya perekonomian
Amerika, serta pembunuhan George Floyd.

Kita semua tahu bahwa setiap pemimpin memiliki jenis kepemimpinan dan gaya
kepemimpinannya masing-masing, sehingga kita tidak bisa menyamaratakan
seorang pemimpin dengan pemimpin lainnya. Bagaimana tidak, setiap pemimpin
pasti akan menghadapi situasi yang berbeda, sehingga tujuan kepemimpinan yang
mereka buat tentunya tidak akan sama.

Kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan benar-benar memerlukan gaya


kepemimpinan yang tepat, sehingga fungsi kepemimpinannya bisa diterima dan
dirasakan dengan baik oleh seluruh lapisan organisasi. Untuk memaksimalkan
fungsi kepemimpinan yang kita dapat, maka para pemimpin perlu memilih teori
kepemimpinan yang tepat untuk diaplikasikan dalam organisasinya, yang tentunya
pemimpin tersebut harus sangat memahami kepribadian dirinya sendiri dan juga
kondisi lingkungan yang dirinya pimpin.

Berdasarkan hal tersebut, berikut ini merupakan analisis penyebab kekalahan


Donald Trump berdasarkan teori kepemimpinan:

1. Teori Kepemimpinan Situasional (Situational Theories).


Teori Kepemimpinan Situasional menyampaikan kepada kita bahwa gaya
kepemimpinan yang tepat itu bergantung pada faktor-faktor tertentu
seperti, kualitas dan situasi para pengikut kita (anggota tim). Teori
mengungkapkan bahwa tidak ada cara yang paling tepat untuk memimpin,
yang ada hanyalah para pemimpin harus mampu beradaptasi dengan segala
situasi dan mengubah gaya kepemimpinan berdasarkan situasi yang
dirinya hadapi.
Dalam kasus kepemimpinan yang dilakukan Donald Trump, dia tidak
dapat beradaptasi dengan situasi yang sedang dihadapi masyarakat
terutama saat Pandemi Covid-19. Dalam penanganan Pandemi Covid-19,
Donald Trump malah mengacuhkan masukan pakar. Donald Trump
mengira dengan mencoba menjadi “dirinya sendiri” yang blak-blakan,
tampil beda, dan menghina. Sampai Amerika menjadinegara dengan kasus
Covid-19 paling tinggi di Dunia. Hal ini tentunya bertentangan dengan
teorikepemimpinan ini yang menyatakan bahwa pemimpin harus mampu
beradaptasi dengan segala situasi dan mengubah gaya kepemimpinan
berdasarkan situasi yang dirinya hadapi.

2. Teori Gaya dan Perilaku (Style and Behavior Theory)


Dalam teori gaya dan perilaku ini, kita bisa melihat bahwa kesuksesan dan
keberhasilan yang diraih oleh seorang pemimpin semuanya tergantung
dengan perilaku, sikap, dan karakteristik yang dirinya miliki. Dengan kata
lain, keberhasilan kepemimpinan tergantung pada sikap dan perilaku
pemimpin dalam memenuhi fungsi-fungsi kepemimpinannya.
Dalam kepemimpinan yang dilakukan oleh Donald Trump, sikap dan
perilaku yang dilakukan dalam menangani masalah perekonomian
Amerika Serikat kurang tepat. Hal ini terbuti denga adanya krisis ekonomi
yang dialami Amerika Serikat. Sikap dan perilaku Donald Trump dalam
mengatur masalah perekonomian kurang tepat sehingga terjadi
krisisekonomi dimana-mana. Dalam menghadapi krisis ekonomi juga
kurang tepat sehingga Amerika gagal dalam mencapai kesuksesan
perekonomian.
3. Teori Transformasional (Transformational Theory).
Teori kepemimpinan transformasional mencakup dua elemen yang sangat
penting. Kedua elemen yang dimaksud adalah relasional dan hal-hal yang
berurusan dengan perubahan riil. Teori kepemimpinan ini terjadi ketika
satu orang atau sekelompok orang berhubungan dengan orang banyak
dengan upaya untuk mengangkat posisi atau pencapaian para pemimpin
dan pengikut (anggota tim). Dengan kata lain, antara pemimpin dan
pengikut saling mengangkat pencapaian mereka sampai kepada tingkat
motivasi dan moralitas (semangat) yang lebih tinggi.
Dalam kasus kepemimpinan yang dilakukan oleh Donald Trump, Donald
Trump kurang dapat mengatur sikap moral para aparat kepolisisan
sehingga sampai terjadi kematian George Floyd. Seharusnya Trump
membuat regulator dan menanamkan jiwa kemanuasiaan dan moral pada
aparat negara sehingga kasus George Floyd tidak terjadi. Dalam pasca
kasus, sikap Donald Trump juga kurang dapat mengkondisikian situasi
yang ada sehingga demo besar-besaran terjadi dimana-mana sampai
merusak toko-toko yang ada. Hal ini tentunya bertentangan dengan teori
kepemimpinan ini yang menyatakan bahwa antara pemimpin dan pengikut
saling mengangkat pencapaian mereka sampai kepada tingkat motivasi dan
moralitas (semangat).

Lonceng kekalahan bagi Trump kini mulai berdentang, seiring dengan


langkahnya yang selalu kontroversial, dan sombong . Setidaknya ada beberapa
faktor yang menjadi penyebab kekalahan Trump. Seperti  diketahui, dalam
Pilpres 2016 lalu Trump bisa menundukan Hillary Clinton meski mendapat
perlawanan yang sengit. Bahkan hingga saat ini kemenangan Trump masih
kontroversial serta menimbulkan spekulasi  adanya keterlibatan Rusia dalam
proses pemenangan itu.
Untuk meraih kemenangan itu Trump mengusung dan menyajikan jargon
usang, ‘American first’  yang diupgrade menjadi ‘American first policy’. Tema
kampanye  nasionalisme ala Trump itu merupakan antithesis dari kebalikan
Barrack Obama yang telah melakukan internasionalisme ekonomi dan politik.
Dan terbukti menjelang masa berakhirnya kekuasaan Obama, Amerika terlilit
krisis karena beban anggaran untuk pengerahan tentara Amerika di beberapa
negara seperti Irak dan Afghanistan.
Di sisi lain, Amerika juga diterjang  krisis bubble gum, karena dampak
dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage) serta bangkrutnya lembaga
sekuritas Lehman Brothers, 2008 lalu Amerika berubah  dari super
power menjadi  super losser (pecundang). Bahkan Amerika harus berhutang ke
China untuk menambal defisit anggarannya, Tidak tanggung-tanggung utang
Amerika ke China dalam bentuk US treasury itu sangat besar hingga mencapai
US $ 1,12 triliun.
Maka tema kampanye Trump itu memperoleh momentum, dan
menjanjikan angin segar bagi kepentingan ekonomi dan politik domestik.  Karena
Amerika memiliki ruang untuk membenahi perekonomiannya sendiri, sementara
bagi negara-negara  lain, Amerika seperti akan melakukan tindakan yang ekstrem
dari sikapnya yang suka kepo dan tengil dengan mau turut campur urusan negara
lain. Dan itikad baik itu secara eksplisit diperlihatkan  oleh Trump dengan
menjalin komunikasi politik dengan Presiden Korea Utara, Kim Jong Un.
Padahal sebelumnya Trump sempat menjuluki Korut dan Iran sebagai negara
‘poros setan’.
Tetapi konsistensi Trump dipertanyakan oleh masyarakat internasional
setelah Amerika ditengarai terlibat dalam serangan terhadap Jenderal Iran,
Qaseem Sulaimani. Hubungan Amerika dan China pun seperti Tom & Jerry,
terutama setelah munculnya wabah Covid 19, bahkan ketika isu pemindahan
Capitol, Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusaleem Timur, masyarakat
internasionalpun bingung membaca gaya politik Trump. Ketika Indonesia
menentang rencana itu, Trump justru menghardik Indonesia sebagai negara yang
tidak tahu terima kasih dan mengancam akan membalasnya.
Gaya komunikasi politik  Trump yang seenaknya sendiri itulah yang
membuat banyak negara menjaga jarak. Tidak hanya dengan negara-negara
dengan berbagai lembaga dunia seperti WHO dan PBB hubungan Amerika juga
memburuk, apalagi Amerika sempat melakukan suspend terhadap bantuan
keuangan PBB. Sikap itulah yang secara perlahan justru melunturkan hegemoni
Amerika di mata dunia internasional. Sehingga banyak negara merasa tidak
senang dengan sikap Trump dan mereka lebih menginginkan Trump untuk tidak
terpilih lagi.
Sementara kebijakan Trump dalam negeri juga memunculkan kontraksi
yang hebat. Profesor ilmu politik  dari Georgia State University, Charles Hankla
mengkritik keras sepuluh langkah yang telah dilakukan oleh Trump seusai
dilantik diantaranya adalah Amerika keluar dari Trans Pasific Patnershif (TPP)
yang nota bene sudah tergabung dalam Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika
Utara (NAFTA), hanya karena dilandasi oleh sikap anti Beijing, ternyata  justru
berdampang negative terhadap perekonomian Amerika sendiri. Trump pun
semakin kemlinthi (bertindak semaunya) dengan mengenakan tarif pajak 20%
terhadap negara-negara yang telah menikmati surplus perdagangan dengan
Amerika, kebijakan ini lagi-lagi justru membuat banyak negara ogah berurusan
dengan Trump.
Untuk menterjemahkan ‘American first policy’ lagi-lagi Trump membuat
blunder. Trump melakukan pembatasan imigrasi secara ketat, dan melarang orang
dari banyak negara untuk masuk ke Amerika. Bahkan Trump sempat berniat
untuk membangun tembok dan menutup perbatasan dengan Meksiko yang
menjadi lubang keluar masuk imigran. Bahkan Trump membuat pernyataan yang
membuat tersinggung banyak pihak dengan mengatakan ‘pengemismu,
tetanggamu’. Sikap Trump yang songong dan kontroversial inilah yang membuat
kalangan imigran menjadi dongkol terhadap Trump. Perlu diingat dari 328 juta
jumlah penduduk Amerika, 51 juta diantaranya adalah kalangan imigran yang
berasal dari negara-negara yang dilecehkan oleh Amerika seperti Meksiko,
China, India, Kuba dll. Tentu mereka masih memiliki ikatan batin dengan negeri
leluhurnya yang telah dilecehkan oleh Trump.
Isu rasisme selama pemerintahan Trump juga menguat dan meningkat
tajam, apalagi pasca terbunuhnya George Floyd, Mei 2020 lalu semakin
melekatkan tuduhan politik rasis yang dikembangkan oleh Trump. Terbunuhnya
Floyd memancing aksi kerusuhan diberbagai tempat serta memancing solidaritas
bagi Floyd terutama bagi masyarakat Afro- Amerika yang telah masuk Amerika
sejak tahun 1600. Trump seakan lupa jika kelompok masyarakat ini jumlahnya
signifikan sekitar 34,6 juta orang atau sekitar 12,3% dari jumlah total penduduk
Amerika.
Kemenangan Joe Biden di Wisconsin, Georgia dan Nort Carolina
menjadi bukti terjadinya proses delegitimasi terhadap Trump sebagai dampak
dari berbagai kebijakan Trump yang membuat masyarakat bingung dan frustasi.
Terbukti dengan serangkaian demo yang dinilai terbesar sepanjang sejarah
Amerika. Berbagai fakta itulah yang telah menggerus kepercayaan publik. Alih-
alih   jargon American first policy itu bias membenahi perekonomian dalam
negeri tetapi justru  tak ubahnya sebagai manifesto politik rasis.
Dalam perkembangan ini dapat kita lihat bahwa politik yang digunakan
Donald Trump di dalam organisasi nampak sangat berbeda dengan cara Barrack
Obama dalam berorganisasi. Hal ini dapat kita lihat dari cara Donald Trump
mengurus cabinet dan orang-orang disekitarnya, dimana Barrack Obama lebih
menggunakan pendekatan secara personal sedangkan Donald Trump memilih
untuk menunjukkan pendekatan dimana dia yang harus ditakuti dengan
membentangkan pandangan politik American First. Hal ini menjadi salah satu
pendorong kenapa Donald Trump bisa mengalami kekalahan dalam kontestasi
politik melawan Joe Biden dari partai Demokrat. Cara pandang rakyat Amerika
yang lebih memilih untuk dipimpin dengan menggunakan pendekatan secara
emosional daripada mendapatkan pemimpin dengan karakteristik yang ditakuti
oleh banyak orang.
Sumber :
https://jubi.co.id/pilpres-as-sikap-ini-menjadi-faktor-kekalahan-trump/
(diunduh 24 November Pukul 09:20)
https://www.studilmu.com/blogs/details/apa-saja-teori-kepemimpinan-
yang-penting-untuk-kita-ketahui (diunduh 24 November Pukul 09:39)

Anda mungkin juga menyukai