Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

RESIKO PERILAKU KEKERASAN


Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa II

Dosen Koordinator : Ns. Siti Kolifah, M. Kep., Sp, Kep. Kom.

Disusun Oleh :
Aulya Febriani (18.054.054.01)

Hesti Iriani (18.066.066.01)


Isnaini Qurotul Khasanah (18.068.068.01)

Remitasari Andi Randa Palobo (18.086.086.01)


Rutiyani Palimbunga (18.091.091.01)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS
WIYATA HUSADA SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita
semua sehingga dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA RESIKO PERILAKU KEKERASAN yang merupakan
tugas kami pada Semester V dalam mata kuliah keperawatan jiwa II guna memenuhi
kegiatan belajar mengajar.
Kami mengucapkan terima kasih pada dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingannya dan teman – teman yang memberikan dukungan dan
masukannya kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini, sehingga tugas ini dapat
terselesaikan oleh kami sebagaimana mestinya.

Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh
karena itu, saran serta kritik yang membangun senantiasa kami terima sebagai acuan
untuk tugastugas kami selanjutnya.

Samarinda, 18 September 2020


Hormat Kami,

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 3
C. TUJUAN 3

BAB 2 PEMBAHASAN 4

A. DEFINISI RESIKO PERILAKU KEKERASAN 4


B. ETIOLOGI 4
C. MEKANISME KOPING/RENTANG RESPON 5
D. FAKTOR PREDISPOSISI DAN FAKTOR PRESIPITASI 6
E. MANIFESTASI KLINIS 7
F. PENGKAJIAN 8
G. INTERVENSI 9
H. PHATWAY 13

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 14

A. ANALISA DATA 14
B. SDKI, SLKI DAN SIKI 15

BAB IV PENUTUP 17

A. KESIMPULAN 17
B. SARAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesehatan jiwa merupakan yang integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa
bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetatpi merupakan suatu hal
yang dibutuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan
bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain
sebagai mana adanya. Serta mempunyai sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan orang lain. (Menkes, 2005).

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbedaan


yang terjadi setiap daerah, banyak menyebabkan perubahan dalam segi
kehidupan manusia baik fisik, mental dan sosial yang dapat kemampuan
manusia mengalami keterbatasan diri dalam kepuasan dan kesejahteraan
hidup, sehingga sering menimbulkan tekanan dan akan mengarah pada
dampak negatif seperti tmbulnya stress atau kecemasan, bila kecemasan tidak
segera diatasi atau ditangani akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berkonsentrasi dan berorientasi pada realita.

Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan


respon pada realita. Klien tidak dapat membedakan rangsangan internal dan
eksternal, tidak memberi respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang
sukar dimengerti dan mungkin menakutkan. Gangguan pada fungsi kognitif
dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu.
Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial dan mengakibatkan kemampuan
berespon terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi muka,
gerakan tubuh dan perilaku verbal) penampilan hubungan sosial karena
gangguan atau respon yang timbul disebut pola respon neurobiologik.

Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlah terus meningkat. Pada
studi terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara

1
berkembang sekitar 76-86% kasus gangguan jiwa tergolong parah dan tidak
dapat pengobatan apapun. Dari 150 juta populasi orang dewasa Indonesia,
berdasarkan data departemen kesehatan (Depkes). Ada 1.74 juta orang
mengalami gangguan mental emosional. Sedangkan 4% dari jumlah tersebut
terlambat berobat dan tidak ditangani akibat kurangnya layanan untuk
penyakit kejiwaan ini. Krisi ekonomi dunia yang semakin berat mendorong
jumlah penderita gangguan jiwa didunia , dan indonesia khususnya kian
meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari juta penduduk
indonesia mengalami gangguan jiwa.

Gangguan kejiwaan merupakan masalah klinis dan sosial yang harus


diatasi karena sangat meresahkan masyarakat baik dalam bentuk dampak
penyimpangan perilaku maupun semakin tingginya jumlah penderita
gangguan jiwa. Penyakit mental ini menimbulkan stress bagi penderita dan
keluargannya. Semakin tinggi persaingan dan tuntunan dalam memenuhi
kebutuhan dapat menyebabkan seseorang mengalami stress atau merasa
tertekan. Jika seseorang mengalami stress maka ia akan cenderung
menagalami atau menunjukkan gejala gangguan kejiwaan sehingga ia
menjadi maladaptif tergadap lingkungan.

Gangguan atau masalah kesehatan jiwa berupa proses pikir maupun


gangguan sensori persepsi yang sering adalah Resiko perilaku
kekerasan(RPK). Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik secara diri sendiri, orang lain maupun lingkungan(stuart dan
sundeen, 1995). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun
psikologis(Berkowitz, dalam Harnawati, 1993). Resiko perilaku kekerasan
adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya
langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000). Jadi
resiko perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain
bahkan dapat merusak lingkungan.

2
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan resiko perilaku kekerasan?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan resiko perilaku kekerasan
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang
aneh dan terganggu (Wardani, 2020).

Resiko Perilaku kekerasan (RPK) adalah suatu keadaan dimana seorang


melakukan tindakan yang dapat membayakan secara fisik, baik pada dirinya
sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak
terkontrol (Kusumawati dalam Ramli, 2019)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Resiko Perilaku kekerasan


(RPK) adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang dapat
membayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain yang
dipengaruhi oleh otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi,
dan gerakan.

B. Etiologi
Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi yang
mendalam karena penggunaan koping yang kurang bagus. Beberapa
penyebab perilaku kekerasan menurut (Helena, dkk. 2011. h:80).

a. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai


tujuan yang diharapkan menyebabkan dia menjadi frustasi, jika dia
tidak mampu mengendalikannya maka dia akan berbuat kekerasan
disekitarnya.
b. Hilangnya harga diri, pada dasarnya manusia itu mempunyai
kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
dipenuhi akibatnya individu tersebut akan merasa rendah diri, cepat
emosi dan mudah bertindak kekerasan.
c. Penghargaan status dan prestasi, manusia pada umunya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan

4
diakui. Jika tidak mendapat pengakuan individu tersebut dapat
menimbulkan resiko perilaku kekerasa.
C. Mekanisme Koping/Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif amuk/PK

(Kusumawati, dkk. 2011. h: 81)

a. Respon adaptif
1. Asertif
Suatu respon dimana individu mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah, rasa tidak setuju, tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain, hal ini biasanya akan
memberikan gelegaan.
2. Frustasi
Respon yang menjai akibat individu gagal dalam
mencapai tujuan, kepuasan atau rasa aman yang tidak biasanya
dalam keadaan tersebut individu tidak bisa menemukan alternatif
lain.

b. Respon maladaptive
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk
menghindari suatu tuntutan nyata.
2. Agresif
Suatu kedaan dimana kemarahan yang meluap-luap dan orang
melakukan serangan secara kasar dengan jalan yang tidak wajar.
3. Amuk/PK
Respon kemarahan yang palin maladaftif yang
ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat

5
disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain maupun lingkunga

D. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


A. Fatkor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami setiap orang merupakan faktor
predisposisi, resiko terjadinya perliaku kekerasan menurut(Prabowo.
2014. h:142).
1. Psikologis.
kegagalan yang dialami oleh seseorang dapat
menimbulkan frustasi yang kemudian dapat menimbulkan
tidakan agresif dan amuk. Pada masa kanak-kanak yangt tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, atau saksi
penganiayaan.
2. Perilaku
Reinfrment yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di
luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi
perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya
budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan
dan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang
diterima.
4. Bionorologis
banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal dan
ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
teradinya perilaku kekerasan yang diterima (Prabowo. 2014.
h:143).
5. Faktor soaial budaya
Seseorang akan merespon terhadap peningkatan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Sesuai teori menurut Bandura bahwa agresi tidak

6
berbeda dengan respon-respon yang lain. Faaktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar pula kemungkinan
terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah
yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
(Kusumawati, dkk. 2011. h: 81).
6. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus(pada
sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana
jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku),
lobus frontal(untuk pemikiran rasional, dan lobus temporal
(untuk interpretasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi dan hendak
menyerang objek yang ada disekitarnya(Kusumawati, dkk.
2011. h: 81-82).
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien sendiri,
lingkungan atau interaksi-interaksi dengan yang lain. Kondisi
pasien yang seperti ini memiliki kelamahan fisik(penyakit fisik),
keputus asaan, ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat
menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula denga situasi
dengan lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan, dengan
demikian interaksi yang profokatif dan konflik dapat memicu
perilaku kekerasan(Prabowo, 2014. h: 143).
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa
terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman
konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:

7
1. Klien : kelemahan fisik, keputus asaan, ketidak
berdayaan, masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2. Interaksi : Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang
yang berarti, konflik, merasa terancam
baik dari permasalahan dari diri klien
sendiri maupun eksternal lingkungan.
3. Lingkungan : panas, padat dan bising
(Kusumawati, dkk. 2011. h: 82).

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien dengan melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku kekerasan (Keliat. 2009. h:110), diantaranya
:

1. Muka merah dan tegang


2. Pandangan tajam
3. Menagtupkan rahang dengan kuat
4. Mengapal tangan
5. Bicara keras
6. Suara tinggi keras
7. Mengancam secara verbal atau fisik
8. Melempar atau memukul benda atau orang lain
9. Tidak memiliki kemampuan mencegah (Diah dalam Keliat. 2009.
h:110).
10. Agresif
Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
individu untuk menuntut sesuatu yang dianggap benar.
11. Amuk dan kekerasan
Perasaan marah dan permusuhan yang kuat dan tidak
terkontrol, dimana individu dapat mencederai diri sendir dan
orang lain (Prabowo, 2014. h: 142).

8
F. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi data-data demografi seperti nama, usia, pekerjaan, dan
tempat tinggal klien
2. Keluhan utama
Biasanya klien memukul anggota keluarga atau orang lain.
3. Alasan masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga:
A. Sebab Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke
rumah sakit?
B. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi
masalah ini?
C. Bagaimana hasilnya?
4. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan
datasignifikan tentang:
A. Ker konvensi genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
B. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang
barukesialan
C. Episode-episode perilaku kekerasan di masa lalu
D. Riwayat pengobatane
E. Penyalahgunaan obat dan alkohol
F. Riwayat pendidikan dan pekerjaan5.
5. Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang setiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi / tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor tersebut memperbaiki oleh individu:
a) Psikologis, kegagalan yang dapat menimbulkan frustasiyang
kemudian 9dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang
tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,dianiaya atau
saksi penganiayaan.

9
b) Perilaku, penguatan yang diterima saat melakukan kekerasan,sering
mengobservasi kekerasaan dirumah atau diluar rumah,semua aspek
ini menstimulasi individu yang membuat perilakukekerasan.
c) Sosial budaya, budaya tertutup dan grup diam(pasifagresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelakukekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasanditerima (permisive).
d) Bioneurologis, banyak menilai bahwa kerusakan sistem limbik,lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbanganneurotransmiter
dalam perilaku kekerasan.
6. Faktor mengatasi
Faktor penanggulangan dapat bersumber dari klien, lingkungan
atau interaksidengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik,
keputusasaan,ketidakberdayaan, percaya diri yang tidak dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan
yang ribut, padat, kritikan Yang mengarah pada penghinaan, Kehilangan
orang yangdicintai / pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab
yang lain.Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat
mengakibatkan perilaku kekeraaan.

G. Intervensi
Perawat dapat mengimplemen- tasikan sebagai intervensi untuk
mencegah dan managemen perilaku kemarahan. Intervensi dapat melalui
rentang intevesni keperawatan, seperti pada gambar berikut :

Adaptif
Maladaptif

srtategi prefentif strategi antisipatif strategi


pengukuran

Kesadaran diri Komunikasih managemen


krisis

10
Pendidikan klien perubahan lingkungan Seclision

Latihana asertif tindakan prilaku Restrain

psikofarmakologi

(Stuart, 2006).

a. Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stres yang dihadapinya dapat
mempengaruhi komunikasinya dengan pasien. Bila perawat merasa
letih, cemas, marah atau apatis maka akan sulit baginya untuk
membuat klien tertarik. Oleh sebab itu, bila perawat itu sendiri
dipenuhi dengan masalah, maka energi yang dimilikinya bagi klien
menjadi berkurang. Untuk mencegah semua itu, harus bisa
meningkatkan kesadaran diri serta melakukan supervisi dengan
mengidentifikasi antara masalah pribadi dan saat menghadapi klien.
b. Pendidikan Klien
Pendidikan kesehatan yang diberikan mengenai cara
berkomonikasi dan cara mengekspresikan marah yang tepat. Banyak
klien yang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaannya,
kebutuhan hasyrat dan bahkan kesulitan dalam mengkomunikasikan
perasaannya pada orang lain. Dengan berkomunikasi maka klien
dapat menyampaikan perasaannya, sehingga perawat dapat
mengidentifikasi apakah respon yang diberikan klien adaptif atau
maladaptif, lalu klien dapat mengekspresikan perasaannya melalui
gambar.
c. Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat
meliputi : Berkomunikasi secara lansung dengan setiap orang,
mengatakan tidak untuk suatu yang tidak beralasan. Sanggup
melakukan komplain, mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
d. Komunikasi

11
Setiap komunkasi dengan klien dengan perilaku kemarahan,
yaitu besikap tenang, bicara lembut, bicara dengan cara tidak
menghakimi, bicara netral dengan cara konkrit, tunjukan respek pada
klien, hindari intensitas kontak mata langsung, demonstrasika cara
mengontrol situasi tanda adanya kesan berlebihan, fasilitasi
pembicaraan klien, jangan buru-buru menginterpretasikan, jangan
membuat janji.
e. Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas
seperti : membaca, terapi aktivitas kelompok dan meningkatkan
adaptasi sosial.
f. Tindakan perilaku
Sebelumnya perawat melakukan suatu kontrak pada klien untuk
suatu uji perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
g. Psikofarmakologi
Pengobatan yang dibeikan meliputi obat-obat golongan anti
ansietas dan hipnotik sedatif, antidepresi, stabilasi mood,
antipsikotik dan obat-obatan golongan lainnya.
h. Managemen krisis
Bila pada waktu intevensi awal tidak berhasil, maka diperlukan
intevensi yang lebih aktif dengan menanganan kedaruratan psikiatrik
dengan pimpinan tim krisis yang bertanggung jawab selama 24jam.
i. Seclusion
Pengkajian fisik merupakan tindakan yang terakir, dimana
pengekangan ada dua macam pengekangan fisik secara mekanik atau
dengan isolasi klien.
j. Restrain
Restrain dalah suatu alat manual yang digunakan untuk
membatasi mobilisasi klien jika klien mengalami amuk (Mulyani
dalam Stuart, 2006).

12
H. PHATWAY

Faktor genetic: masyrakat umum Lingkungan


1%, Orang tua 5%, Saudara Ekspresi emosi berlebih
kandung 8%, Anak 10%

Pandangan ekstrim masy.

Ketidakmampuan
menghadapi
BAB III stressor

Gangguan Penurunan Motivasi


Koping individu
berfikir dlm pmnenuhan
tak efektif
kbtuhan sehari hari
Mk : waham

Mk: Ggg konsep Penurunan motivasi


Kbtuhan diri :HD Rendah dan kemapuan dlm
Mk : resiko
Dasar tk berhubungan sosial
nutrisi kurang
terpenuhi
dari kebutuhan
Ketidak Mk : Isolasi sosial
Kecemasan berdayaan
Meningkat diarahkan pd diri Mk : deficit
org lain & ling. Mk : Halusinasi
perawatan
diri

Mk : Resiko Isi halusinasi Isi halusinasi


prilaku kekerasan menganggu menyenangkan

13
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Analisa Data

No Data Etiogi Masalah keperawatan


.

1. DS: klien mengatakan ingin Gangguan isi pikir waham Resiko bunuh diri
mengakhiri hidup
Harga diri rendah
DO: klien berteriak dan
Halusinasi
menangis
Resiko bunuh diri

Resiko cidera/kematian

2. DS: klien merasa tidak ada gangguan harga diri : harga RPK
yang dapat mengerti diri rendah
perasaan yang dirasakan
perilaku kekerasan/amuk
klien.
resiko mencederai diri, orang
DO: Klien tampak murung
lain dan lingkungan
dan marah

3. DS: klien mengatakan tidak Isolasi sosial : menarik diri Defisit perawatan diri
ada ingin mandi
Menurunnya motivasi dalam
DO: klien tampak lemas perawatan diri

Defisit perawatan diri

Gangguan pemeliharaan
kesehatan (BAB/BAK,mandi,
makan, dan minum)

14
4. DS: Klien mengatakan ingin Gangguan konsep diri : harga Isolasi sosial
sendiri saja diri rendah

DO: bicara klien pelan dan Isolasi sosial : menarik diri


lambat
Resiko perubahan persepsi
sensori halusinasi

15
B. SDKI, SLKI, SIKI
No. SDKI SLKI SIKI

1. Resiko bunuh diri di tandai Setelah dilakukan intervensi Pencegahan bunuh


dengan gangguan psikologis keperawatan selama 24 Jam (intervensi utama)
maka resiko bunuh diri dengan 1. Observasi
kriteria hasil : Identifikasi gejala
1. Perasaan tidak berharga bunuh diri (mis. Ga
(menurun) mood, halusinasi,
2. Sedih (menurun) panik, penyalahguna
3. Putus asa (menurun) kesedihan, ga
4. Periatiwa negatif (menurun) kepribadian)
5. Perasaan bersalah 2. Terapeutik
(menurun) Lakukan pen
6. Keletihan (menurun) langsung dan
7. Pikiran mencederai diri menghakimi saat me
(menurun) bunuh diri
8. Pikiran bunuh diri 3. Edukasi Latih penc
(menurun) resiko bunuh diri
9. Bimbang (menurun) Latihan asertif, relaks
10. Menangis (menurun) progresif)
11. Marah (menurun)
12. Penyalahgunaan zat
(menurun)
13. Penyalahgunaan alkohol
(menurun)

2. Resiko perilaku kekerasan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan perilaku ke


ditandai dengan alam keperawatan selama 24 Jam (intervensi utama )
perasaan depresi maka resiko perilaku kekerasan 1. Observasi
dengan kriteria hasil : Monitor adanya bend
1. Verbalisasi ancaman kepada berpotensi membah
orang lain (meningkat) (mis. Benda tajam, ta
2. Verbalisasi umpatan 2. Terapeutik
(meningkat) Pertahankan ling
3. Perilaku menyerang bebas dari bahaya
(meningkat) rutin
4. Perilaku melukai diri 3. Edukasi
sendiri/orang lain Latih mengurangi kem
(meningkat) secara verbal dan no
5. Perilaku merusak (mis. Relaksasi, berce
lingkungan sekitar
(meningkat)
6. Perilaku agresif/amuk
(meningkat)
7. Suara keras (meningkat)
8. Bicara ketus (meningkat)
3. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan intervensi Dukungan perawatan
keperawatan selama 24 Jam

16
berhubungan dengan maka defisit perawatan diri (untervensi utama)
dengan kriteria hasil :
gangguan psikologis dan /
1. Kemampuan mandi 1. observasi
atau psikotik (meningkat)
2. Kemampuan mengenakan
Identifikasi ke
pakaian (meningkat)
3. Kemampuan makan aktivitas perawatan dir
(meningkat)
usia
4. Kemampuan ke toilet
(BAB/BAK) (meningkat)
5. Verbalisasi keinginan 2. terapeutik
melakukan perawatan diri Sediakan lingkunga
(meningkat)
6. Minat melakukan terapeutik (mis. S
perawatan diri (meningkat) hangat, rileks, privasi)
3. edukasi
Anjurkan me
perawatan diri
konsisten sesuai kemam

4. Isolasi sosial berhubungan Setelah dilakukan intervensi promosi sosialisasi (in


dengan ketidakmampuan keperawatan selama 24 jam utama)
menjalin hubungan yang maka isolasi sosial dengan
1. Observasi
memuaskan kriteria hasil :
Identifikasi kem
1. minat interaksi (meningkat) melakukan interaksi
orang lain
2. verbalisasi tujuan yang jelas
2. Terapeutik
(meningkat)
Motivasi menin
3. minat terhadap aktivitas keterlibatan dalam
(meningkat) hubungan
3. edukasi
Anjurkan berinteraksi
orang lain secara bertah

17
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana
adanya dan mempunyai sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang
lain. (Menkes, 2005). Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan
klien menilai dan merespon pada realita. Klien tidak dapat membedakan
rangsangan internal dan eksternal, tidak memberi respon secara akurat,
sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan.
Gangguan atau masalah kesehatan jiwa berupa proses pikir
maupun gangguan sensori persepsi yang sering adalah Resiko perilaku
kekerasan(RPK). Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik secara diri sendiri, orang lain maupun lingkungan(stuart dan
sundeen, 1995).

Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi


yang mendalam karena penggunaan koping yang kurang bagus. Beberapa
penyebab perilaku kekerasan yaitu frustasi, hilangnya harga diri dan
penghargaan status dan prestasi, (Helena, dkk. 2011. h:80).

B. Saran
Gangguan kejiwaan terutama dalam hal resiko perilaku kekerasan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak
terkontrol. Untuk itu, sebaiknya bagi para keluarga maupun orang sekitar
yang bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal itu agar dapat
mendampingi dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka.

DAFTAR PUSTAKA

18
Fawaid, R. (2019). HUBUNGAN FAKTOR TRAUMA DENGAN
KEKAMBUHAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN (Di Yayasan
Griya Cinta Kasih Jogoroto, Kabupaten Jombang) (Doctoral dissertation,
STIKes ICMe Jombang).

Kusumawati, F dan Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


EGC

Prabbowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta. Medikal Book

Pratiwi, F. (2015). Analisi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya


Kekambuhan Pada Psien Skizofrenia. Jember: Universitas Jember.

Wardani, I. K., & Prabowo, A. (2020). Efektifitas Terapi Spiritual Wudhu Untuk
Mengontrol Emosi Pada Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Tens: Trends
of Nursing Science, 1(1), 74-84.

Stuart, GW & Sudden. (2006). Keperawatan Psikiatri: Buku Saku Keperawatan


Jiwa. Edisi 5 Jakarta: EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai