Disusun Oleh :
Aulya Febriani (18.054.054.01)
Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita
semua sehingga dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA RESIKO PERILAKU KEKERASAN yang merupakan
tugas kami pada Semester V dalam mata kuliah keperawatan jiwa II guna memenuhi
kegiatan belajar mengajar.
Kami mengucapkan terima kasih pada dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingannya dan teman – teman yang memberikan dukungan dan
masukannya kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini, sehingga tugas ini dapat
terselesaikan oleh kami sebagaimana mestinya.
Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh
karena itu, saran serta kritik yang membangun senantiasa kami terima sebagai acuan
untuk tugastugas kami selanjutnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 3
C. TUJUAN 3
BAB 2 PEMBAHASAN 4
A. ANALISA DATA 14
B. SDKI, SLKI DAN SIKI 15
BAB IV PENUTUP 17
A. KESIMPULAN 17
B. SARAN 17
DAFTAR PUSTAKA 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kesehatan jiwa merupakan yang integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa
bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetatpi merupakan suatu hal
yang dibutuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan
bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain
sebagai mana adanya. Serta mempunyai sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan orang lain. (Menkes, 2005).
Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlah terus meningkat. Pada
studi terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara
1
berkembang sekitar 76-86% kasus gangguan jiwa tergolong parah dan tidak
dapat pengobatan apapun. Dari 150 juta populasi orang dewasa Indonesia,
berdasarkan data departemen kesehatan (Depkes). Ada 1.74 juta orang
mengalami gangguan mental emosional. Sedangkan 4% dari jumlah tersebut
terlambat berobat dan tidak ditangani akibat kurangnya layanan untuk
penyakit kejiwaan ini. Krisi ekonomi dunia yang semakin berat mendorong
jumlah penderita gangguan jiwa didunia , dan indonesia khususnya kian
meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari juta penduduk
indonesia mengalami gangguan jiwa.
2
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan resiko perilaku kekerasan?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan resiko perilaku kekerasan
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang
aneh dan terganggu (Wardani, 2020).
B. Etiologi
Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi yang
mendalam karena penggunaan koping yang kurang bagus. Beberapa
penyebab perilaku kekerasan menurut (Helena, dkk. 2011. h:80).
4
diakui. Jika tidak mendapat pengakuan individu tersebut dapat
menimbulkan resiko perilaku kekerasa.
C. Mekanisme Koping/Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
a. Respon adaptif
1. Asertif
Suatu respon dimana individu mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah, rasa tidak setuju, tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain, hal ini biasanya akan
memberikan gelegaan.
2. Frustasi
Respon yang menjai akibat individu gagal dalam
mencapai tujuan, kepuasan atau rasa aman yang tidak biasanya
dalam keadaan tersebut individu tidak bisa menemukan alternatif
lain.
b. Respon maladaptive
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk
menghindari suatu tuntutan nyata.
2. Agresif
Suatu kedaan dimana kemarahan yang meluap-luap dan orang
melakukan serangan secara kasar dengan jalan yang tidak wajar.
3. Amuk/PK
Respon kemarahan yang palin maladaftif yang
ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
5
disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain maupun lingkunga
6
berbeda dengan respon-respon yang lain. Faaktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar pula kemungkinan
terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah
yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
(Kusumawati, dkk. 2011. h: 81).
6. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus(pada
sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana
jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku),
lobus frontal(untuk pemikiran rasional, dan lobus temporal
(untuk interpretasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi dan hendak
menyerang objek yang ada disekitarnya(Kusumawati, dkk.
2011. h: 81-82).
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien sendiri,
lingkungan atau interaksi-interaksi dengan yang lain. Kondisi
pasien yang seperti ini memiliki kelamahan fisik(penyakit fisik),
keputus asaan, ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat
menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula denga situasi
dengan lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan, dengan
demikian interaksi yang profokatif dan konflik dapat memicu
perilaku kekerasan(Prabowo, 2014. h: 143).
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa
terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman
konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
7
1. Klien : kelemahan fisik, keputus asaan, ketidak
berdayaan, masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2. Interaksi : Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang
yang berarti, konflik, merasa terancam
baik dari permasalahan dari diri klien
sendiri maupun eksternal lingkungan.
3. Lingkungan : panas, padat dan bising
(Kusumawati, dkk. 2011. h: 82).
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien dengan melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku kekerasan (Keliat. 2009. h:110), diantaranya
:
8
F. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi data-data demografi seperti nama, usia, pekerjaan, dan
tempat tinggal klien
2. Keluhan utama
Biasanya klien memukul anggota keluarga atau orang lain.
3. Alasan masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga:
A. Sebab Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke
rumah sakit?
B. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi
masalah ini?
C. Bagaimana hasilnya?
4. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan
datasignifikan tentang:
A. Ker konvensi genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
B. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang
barukesialan
C. Episode-episode perilaku kekerasan di masa lalu
D. Riwayat pengobatane
E. Penyalahgunaan obat dan alkohol
F. Riwayat pendidikan dan pekerjaan5.
5. Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang setiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi / tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor tersebut memperbaiki oleh individu:
a) Psikologis, kegagalan yang dapat menimbulkan frustasiyang
kemudian 9dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang
tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,dianiaya atau
saksi penganiayaan.
9
b) Perilaku, penguatan yang diterima saat melakukan kekerasan,sering
mengobservasi kekerasaan dirumah atau diluar rumah,semua aspek
ini menstimulasi individu yang membuat perilakukekerasan.
c) Sosial budaya, budaya tertutup dan grup diam(pasifagresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelakukekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasanditerima (permisive).
d) Bioneurologis, banyak menilai bahwa kerusakan sistem limbik,lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbanganneurotransmiter
dalam perilaku kekerasan.
6. Faktor mengatasi
Faktor penanggulangan dapat bersumber dari klien, lingkungan
atau interaksidengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik,
keputusasaan,ketidakberdayaan, percaya diri yang tidak dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan
yang ribut, padat, kritikan Yang mengarah pada penghinaan, Kehilangan
orang yangdicintai / pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab
yang lain.Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat
mengakibatkan perilaku kekeraaan.
G. Intervensi
Perawat dapat mengimplemen- tasikan sebagai intervensi untuk
mencegah dan managemen perilaku kemarahan. Intervensi dapat melalui
rentang intevesni keperawatan, seperti pada gambar berikut :
Adaptif
Maladaptif
10
Pendidikan klien perubahan lingkungan Seclision
psikofarmakologi
(Stuart, 2006).
a. Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stres yang dihadapinya dapat
mempengaruhi komunikasinya dengan pasien. Bila perawat merasa
letih, cemas, marah atau apatis maka akan sulit baginya untuk
membuat klien tertarik. Oleh sebab itu, bila perawat itu sendiri
dipenuhi dengan masalah, maka energi yang dimilikinya bagi klien
menjadi berkurang. Untuk mencegah semua itu, harus bisa
meningkatkan kesadaran diri serta melakukan supervisi dengan
mengidentifikasi antara masalah pribadi dan saat menghadapi klien.
b. Pendidikan Klien
Pendidikan kesehatan yang diberikan mengenai cara
berkomonikasi dan cara mengekspresikan marah yang tepat. Banyak
klien yang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaannya,
kebutuhan hasyrat dan bahkan kesulitan dalam mengkomunikasikan
perasaannya pada orang lain. Dengan berkomunikasi maka klien
dapat menyampaikan perasaannya, sehingga perawat dapat
mengidentifikasi apakah respon yang diberikan klien adaptif atau
maladaptif, lalu klien dapat mengekspresikan perasaannya melalui
gambar.
c. Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat
meliputi : Berkomunikasi secara lansung dengan setiap orang,
mengatakan tidak untuk suatu yang tidak beralasan. Sanggup
melakukan komplain, mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
d. Komunikasi
11
Setiap komunkasi dengan klien dengan perilaku kemarahan,
yaitu besikap tenang, bicara lembut, bicara dengan cara tidak
menghakimi, bicara netral dengan cara konkrit, tunjukan respek pada
klien, hindari intensitas kontak mata langsung, demonstrasika cara
mengontrol situasi tanda adanya kesan berlebihan, fasilitasi
pembicaraan klien, jangan buru-buru menginterpretasikan, jangan
membuat janji.
e. Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas
seperti : membaca, terapi aktivitas kelompok dan meningkatkan
adaptasi sosial.
f. Tindakan perilaku
Sebelumnya perawat melakukan suatu kontrak pada klien untuk
suatu uji perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
g. Psikofarmakologi
Pengobatan yang dibeikan meliputi obat-obat golongan anti
ansietas dan hipnotik sedatif, antidepresi, stabilasi mood,
antipsikotik dan obat-obatan golongan lainnya.
h. Managemen krisis
Bila pada waktu intevensi awal tidak berhasil, maka diperlukan
intevensi yang lebih aktif dengan menanganan kedaruratan psikiatrik
dengan pimpinan tim krisis yang bertanggung jawab selama 24jam.
i. Seclusion
Pengkajian fisik merupakan tindakan yang terakir, dimana
pengekangan ada dua macam pengekangan fisik secara mekanik atau
dengan isolasi klien.
j. Restrain
Restrain dalah suatu alat manual yang digunakan untuk
membatasi mobilisasi klien jika klien mengalami amuk (Mulyani
dalam Stuart, 2006).
12
H. PHATWAY
Ketidakmampuan
menghadapi
BAB III stressor
13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Analisa Data
1. DS: klien mengatakan ingin Gangguan isi pikir waham Resiko bunuh diri
mengakhiri hidup
Harga diri rendah
DO: klien berteriak dan
Halusinasi
menangis
Resiko bunuh diri
Resiko cidera/kematian
2. DS: klien merasa tidak ada gangguan harga diri : harga RPK
yang dapat mengerti diri rendah
perasaan yang dirasakan
perilaku kekerasan/amuk
klien.
resiko mencederai diri, orang
DO: Klien tampak murung
lain dan lingkungan
dan marah
3. DS: klien mengatakan tidak Isolasi sosial : menarik diri Defisit perawatan diri
ada ingin mandi
Menurunnya motivasi dalam
DO: klien tampak lemas perawatan diri
Gangguan pemeliharaan
kesehatan (BAB/BAK,mandi,
makan, dan minum)
14
4. DS: Klien mengatakan ingin Gangguan konsep diri : harga Isolasi sosial
sendiri saja diri rendah
15
B. SDKI, SLKI, SIKI
No. SDKI SLKI SIKI
16
berhubungan dengan maka defisit perawatan diri (untervensi utama)
dengan kriteria hasil :
gangguan psikologis dan /
1. Kemampuan mandi 1. observasi
atau psikotik (meningkat)
2. Kemampuan mengenakan
Identifikasi ke
pakaian (meningkat)
3. Kemampuan makan aktivitas perawatan dir
(meningkat)
usia
4. Kemampuan ke toilet
(BAB/BAK) (meningkat)
5. Verbalisasi keinginan 2. terapeutik
melakukan perawatan diri Sediakan lingkunga
(meningkat)
6. Minat melakukan terapeutik (mis. S
perawatan diri (meningkat) hangat, rileks, privasi)
3. edukasi
Anjurkan me
perawatan diri
konsisten sesuai kemam
17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana
adanya dan mempunyai sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang
lain. (Menkes, 2005). Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan
klien menilai dan merespon pada realita. Klien tidak dapat membedakan
rangsangan internal dan eksternal, tidak memberi respon secara akurat,
sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan.
Gangguan atau masalah kesehatan jiwa berupa proses pikir
maupun gangguan sensori persepsi yang sering adalah Resiko perilaku
kekerasan(RPK). Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik secara diri sendiri, orang lain maupun lingkungan(stuart dan
sundeen, 1995).
B. Saran
Gangguan kejiwaan terutama dalam hal resiko perilaku kekerasan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak
terkontrol. Untuk itu, sebaiknya bagi para keluarga maupun orang sekitar
yang bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal itu agar dapat
mendampingi dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
18
Fawaid, R. (2019). HUBUNGAN FAKTOR TRAUMA DENGAN
KEKAMBUHAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN (Di Yayasan
Griya Cinta Kasih Jogoroto, Kabupaten Jombang) (Doctoral dissertation,
STIKes ICMe Jombang).
Wardani, I. K., & Prabowo, A. (2020). Efektifitas Terapi Spiritual Wudhu Untuk
Mengontrol Emosi Pada Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Tens: Trends
of Nursing Science, 1(1), 74-84.
19