Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH DASAR DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN

PENYAKIT AKAR GADA PADA KUBIS

DISUSUN OLEH :

1. DWI NANDA ALMU’DI (19016124835)

2. FAJAR RAHMAT PRAYOGI (1906124939)

AGROTEKNOLOGI-A

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu menyertai

kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Penyakit Akar

Gada pada Kubis” ini yang benar. Tugas ini ditunjukan untuk memenuhi tugas dasar

dasar perlindungan tanaman. Dan kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.

Muhammada Ali M.Sc selaku dosen matakuliah dasar dasar perlindungan tanaman.

Kami masih menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik

dalam isi maupun sistematikanya, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan

saran untuk menyempurnakan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menuai

manfaat, khususnya bagi para pembaca dikalangan mahasiswa.

Balai Jaya, 15 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iii

I. PENDAHULUAN..........................................................................................................1

II. BIOLOGI......................................................................................................................4

III. GEJALA PENYAKIT.................................................................................................6

IV. PENYEBARAN PATOGEN......................................................................................8

V. TEKNIK PENGENDALIAN PENYAKIT..................................................................9

VI. PENUTUP.................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk dari Plasmodiophora brassicae Wor..............................................................4


Gambar 2. Gejala Serangan ........................................................................................................6
Gambar 3.Pengapuran tanah........................................................................................................9
Gambar 4. Fumigasi pada lahan................................................................................................11
I. PENDAHULUAN

Tanaman kubis merupakan salah satu sayuran yang banyak dikonsumsi oleh

masyarakat luas. Kubis sangat potensial untuk dikembangkan karena mengandung

vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Produksi tanaman

kubis banyak mengalami hambatan antara lain adanya serangan berbagai hama dan

patogen penyebab penyakit tumbuhan (Sulistyawati, 2002).

Kubis merupakan salah satu tanaman hortukultura yang memiliki keunggulan

kompetitif. Indonesia pernah menduduki peringkat ke-8 di jajaran produsen komoditas

kubis dunia pada tahun 2001 dan 2005. Menurut data BPS tahun 2017, kubis termasuk

ke dalam lima komoditas sayuran semusim dengan produksi terbesar. Produksi kubis

tahun 2018 di Indonesia mencapai 1,407.932 ton. Provinsi Jawa Tengah menempati

posisi pertama sebagai produsen kubis terbesar dengan persentasi 22%. Posisi ke-2

hingga ke-5 diduduki oleh Jawa Barat sebesar 20%, Jawa Timur 15%, Sumatera Utara

12%, dan Sumatera Barat 8%. Produksi kubis nasional cenderung terus menurun selama

kurun waktu tiga tahun terakhir. Meskipun produksi menurun, kubis Indonesia selalu

mengalami surplus. Berdasarkan data BPS, rata-rata ekspor kubis dari 2013-2017

mencapai 4.500 ton per tahun.

Pada tahun 2017 dan 2018 volume ekspor kubis mengalami penurunan. Tahun

2017 volume ekspor tercatat 18.459 ton dengan nilai 55,379 milyar rupiah dan di tahun

2018 sebesar 15.228 ton dengan nilai 45,906 milyar rupiah. Meskipun begitu, kubis

masih menjadi komoditas sayuran yang paling banyak diekspor dibanding jenis sayuran

lain. Kubis menjadi salah satu komoditas unggulan dengan permintaan ekspor yang

selalu tinggi. Terutama kubis Berastagi hasil budidaya petani Kabupaten Karo. Kubis
Berastagi sangat digemari di Singapura dan Malaysia. Selain kedua negara tersebut;

kubis Berastagi diekspor ke Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan.

Peningkatan produksi yang maksimum dilakukan dengan berbagai teknik

pengaturan potensi produksi. Peningkatan potensi produksi harus diimbangi dengan

pengelolaan terhadap faktor yang dapat 2 menguranginya. Salah satunya adalah dengan

pengendalian serangan hama dan penyakit.

Penyakit kubis banyak jenisnya. Salah satu yang cukup serius adalah penyakit

akar gada (clubroot) yang disebabkan oleh Plasmodiphora brassicae Wor. yang

menyebabkan bengkak pada akar. Serangan patogen akar gada dapat mengancam

pendapatan petani. Pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran dataran tinggi

selama ini lebih banyak menggunakan pestisida, baik insektisida maupun fungisida. Ini

sangat mempengaruhi kondisi organisme di sekitar tanaman serta hasil panen kubis .

Akar gada (clubroot) di Indonesia dikenal pula dengan nama-nama: akar bengkak,

akar kaki gajah, dan akar pekuk. Di Indonesia akar gada merupakan penyakit utama

khususnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain kedua provinsi tersebut, penyakit ini

telah menyerang kubis di Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Kerugian yang

disebabkan patogen tersebut berkisar antara 50-100 %. Apabila suatu lahan telah

terinfeksi oleh penyakit ini, maka dalam waktu kurang lebih 30 tahun penyakit ini

bertahan dalam bentuk spora, walaupun tidak ditanami kubis-kubisan (Cruciferae)

selama kurun waktu tersebut. Kubis lebih tahan terhadap serangan P. brassicae pada

lingkungan yang mempunyai intensitas cahaya rendah. Hal ini dapat disebabkan karena

banyak terbentuknya spora istirahat. Infeksi patogen tersebut pada tanaman inangnya
ditemukan pada kisaran suhu 9-30 0C. Gejala tanaman kubis akan nampak pada siang

hari yang terik atau pada cuaca panas .

Berdasarkan uraian diatas maka kami membuat makalah tentang penyakit akar

gada pada tanaman kubis yang disebabkan oleh patogen Plasmodiophora brassicae

Wor. agar dapat memberikan informasi yang sedetail mungkin kepada si pembaca,

sehingga dapat memberi manfaat kepada pembaca.


II. BIOLOGI

Plasmodiophora brassicae Wor. merupakan patogen tular tanah yang sangat

penting dan dapat menyebabkan penyakit akar gada pada tanaman kubis-kubisan.

Penyakit ini juga sering disebut penyakit akar pekuk atau penyakit akar bengkak.

Menurut Agrios (2005) mengklasifikasikan patogen tersebut ke dalam kingdom

Protozoa, filum Plasmodiophoromycota, kelas Plasmodiophoromycetes, ordo

Plasmodiophorales, famili Plasmodiophoraceae, genus Pasmodiophora, dan

spesies Plasmodiophora brassicae Wor. Penyakit akar gada disebabkan oleh P.

brassicae. yang merupakan patogen tular tanah.

Gambar 1. Bentuk dari Plasmodiophora brassicae Wor.


Plasmodiophora brassicae termasuk cendawan tingkat rendah dari kelas

Plasmodiophoramycetes. Fase aseksual kelas ini ialah Plasmodium yang berkembang di

dalam sel-sel inangnya.

Cendawan patogen ini merupakan parasit obligat menjelaskan bahwa kelebihan

dari cendawan ini adalah dapat membentuk spora tahan yang berbentuk bulat, hialin,

dan garis tengahnya dapat mencapai 4 μm. Spora tahan ini dapat berkecambah dalam

medium yang sesuai, membengkak sampai ukuran beberapa kali dari ukuran semula,

dan menjadi satu spora kembara (zoospora) yang muncul melalui satu celah pada

dinding sel. Spora tahan akan terbebas dari akar sakit jika akar ini terurai oleh jasad-

jasad sekunder. Spora ini dapat segera tumbuh tetapi dapat juga bertahan sangat lama di

dalam tanah selama 10 tahun atau lebih meskipun tidak terdapat tumbuhan inang di

sekitar tanah terinfestasi. Kerusakan yang diakibatkan oleh Plasmodiophora Brassicae

Wor selain dapat menyebabkan bengkak pada akar, yang dapat mengganggu fungsi akar

seperti translokasi zat hara dan air mineral dari dalam tanah ke daun, namun dapat juga

menyebabkan tanaman layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati.


III. GEJALA PENYAKIT

Kelayuan bibit atau tanaman adalah tanda pertama dari infeksi. Hal

inimenunjukkan bahwa akar telah rusak. Gejala pertama kali terlihat padaakar adalah

pembengkakan yang berkembang menjadi distorsi besar atauseperti gada. Keseriusan

bergantung kepada usia tanaman dan waktu bersentuhan dengan penyakit tersebut.

Gambar 2. Gejala Serangan pada Akar dengan Akar mengalami pembengkakan(Kiri);

Gejala Serangan pada Daun dengan Daun menjadi layu (kanan)

Ciri khas gejala penyakit akar gada yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora

Brassicae Wor ini terlihat pada perakaran atau kadang - kadang tepat di bawah pangkal

batang. dengan ukuran yang bervariasi karena patogen penyebab penyakit ini mengadakan

reaksi pembelahan dan pembesaran sel, yang menyebabkan terjadinya nyali atau kelenjar

yang tidak teratur dan selanjutnya nyali-nyali ini bersatu, sehingga menjadi bengkakan

memanjang yang mirip dengan batang (gada). Rusaknya susunan jaringan akar

menyebabkan rusaknya jaringan pengangkutan air dan hara tanah terganggu. Gejala

pembengkakkan tersebut terjadi pada sebagian perakaran atau seluruh perakaran. Sebelum
akhir musim tanam dan kondisi lingkungan yang basah, akar yang membengkak akan

hancur karena diuraikan oleh bakteri dan parasit sekunder lain di dalam tanah

Gejala infeksi yang tampak di atas permukaan tanah adalah daun-daun tanaman

layu jika hari panas dan kering, kemudian pulih kembali pada malam hari, serta

kelihatan normal dan segar pada pagi hari. Jika penyakit berkembang terus, daun-daun

menjadi kuning, tanaman kerdil, dan mungkin mati atau hidup merana (Widodo 1993).

Pembengkakan akar merupakan ciri khas penyakit akar gada. Bentuk dan letaknya

bergantung pada spesies inang dan tingkat infeksi. Akar yang membengkak akan makin

besar dan biasanya hancur sebelum akhir musim tanam karena serangan bakteri dan

cen- dawan lain. Apabila infeksi terjadi pada akhir musim tanam, ukuran gada biasanya

kecil dan tanaman dapat bertahan hidup.


IV. PENYEBARAN PATOGEN

Penyakit akar gada pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1950 di

daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada musim hujan tahun 1975/1976 penyakit tersebut

juga ditemukan di Kebun Percobaan Margahayu, Lembang, P. brassicae telah menyebar

di Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan terutama di Jawa Barat. Pada tahun 1988 bahkan

sudah ditemukan pada tanaman petsai di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Saat ini penyakit

tersebut telah menyebar ke daerah-daerah penghasil kubis dan tanaman dari famili

Brassicaceae lainnya (Widodo dan Suheri 1995).

Patogen dapat terpencar di alam melalui tanah dengan berbagai cara atau

perantara, misalnya perlengkapan usaha tani, bibit pada saat pemindahan ke lapangan,

hasil panen, air permukaan, angin dan melalui pupuk kandang. Patogen juga dapat

ditularkan oleh biji melalui kontaminasi permukaan biji dengan tanah yang terinfeksi.

Selain itu sejumlah tanaman cruciferae liar dan beberapa tanaman inang lain yang

rentan terhadap penyakit akar gada dapat menjadi tempat bertahan hidup patogen pada

saat tanaman budi daya tidak ada.


V. TEKNIK PENGENDALIAN PENYAKIT

1). Kultur Teknis

Pengapuran tanah dapat mengendalikan penyakit jika kepadatan spora rehat

rendah, namun aplikasinya tidak efektif pada tanah yang terkontaminasi sangat.

Aplikasi 60 t/ha kalsium karbonat, sodium karbonat, dan gipsum selama 3 tahun

dapat mengendalikan penyakit dan meningkatkan hasil kubis dengan memu- askan,

tetapi kepadatan inokulum di dalam tanah tidak menurun secara nyata, dan jika

kandungan kalsium tanah kembali rendah dapat menginduksi penyakit. Pengapuran

tanah dengan CaO 11,20 t/ha atau 20 t/ha belum mampu menekan kejadian dan

intensitas se- rangan penyakit dengan nyata pada tanaman kubis (Herdian 2000).

Gambar 3.Pengapuran tanah

Efektifitas pengapuran tanah dipengaruhi oleh distribusi atau redistribusi kapur

dalam tanah, tetapi peranan kapur dalam menekan penyakit belum diketahui secara

pasti. Namun demikian peningkatan pH tanah setelah aplikasi kapur diduga dapat
mengontrol patogen. Menurut Agrios (1997), serangan penyakit akar gada paling

parah terjadi pada pH tanah 5,70 Perkembangan penyakit akan menurun pada pH

tanah 5,70 sampai 6,20 dan tertekan pada pH 7,80. Selanjutnya ditekankan penting-

nya memerhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan distribusi kapur,

termasuk persiapan tanah, kelembapan tanah, tekstur tanah, interval inkubasi antara

aplikasi kapur dan penanaman serta jenis pupuk yang digunakan serangan dan

indeks (keparahan) penyakit akar gada baik pada tanah yang diberi kapur maupun

yang tidak diberi kapur. Ca(NO ) merupakan sumber pupuk nitrogen yang paling

baik pada tanah yang diberi kapur cocok digunakan pada lahan yang terinfeksi,

khususnya pada tanah yang tidak diberi kapur, karena tingkat serangan dan indeks

penyakit akar gada cukup tinggi.

2). Pengendalian Kimia

Fumigasi tanah dengan metil bromida dapat mematikan P. brassicae, tetapi cara

ini tidak dianjurkan di lapangan karena berbahaya dan mahal. Pengendalian dengan

fungisida tidak selalu menunjukkan hasil yang memuaskan. Pencelupan akar bibit

dalam cairan fungisida yang mengandung pentachloronitrobenzene atau derivat

benzimidazole dapat mengurangi intensitas penyakit akar gada dalam beberapa

kasus saja, tetapi tidak efektif jika digunakan pada tanah yang mengandung banyak

pupuk kandang. Hal ini disebabkan fungisida yang diapli kasikan tidak dapat

mencapai tanah yang mengandung patogen karena terhalang oleh pupuk kandang,

atau dengan kata lain sebagian fungisida yang diaplikasikan hanya menempel pada

pupuk kandang.
Gambar 4. Fumigasi pada lahan

Penggunaan dazomet di beberapa negara dapat menanggulangi serangan

penyakit akar gada, tetapi penelitian Djatnika (1990) menggunakan bahan yang

sama dengan dosis 40 g/m2 tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pengendalian dengan pestisida sulit diterapkan pada lahan yang ditanami tanaman

kubis-kubisan secara terus-menerus. Penanaman tanaman sejenis secara berulang

pada lahan yang sama akan meningkat- kan populasi dan virulensi patogen

sehingga patogen makin sulit dikendalikan, termasuk dengan pestisida.

Beberapa fungisida mempunyai efikasi yang terbatas bila kepadatan spora rehat

dan virukasi P. brassicae tinggi (tanaka 1997). Flusulfamida telah digunakan secara

luas dalam produksi cruciferae di Jepang. Flusulfamida mempengaruhi stadia awal

dari siklus hidup P. brassicae, dan diduga menghambat perkecambahan spora rehat

atau menurunkan viabilitas spora primer yang terlepas dari spora rehat, namun tidak

efektif mengen dalikan P. brassicae yang sudah ada dalam sel korteks.
3). Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati patogen tular tanah menggunakan mikroba antagonis telah

banyak dilaporkan. Pengendalian hayati dengan mikroba tanah Mortierella sp. yang

dikombinasikan kapur setara 2 t CaO/ha pada percobaan semilapangan dapat

menekan persentase dan intensitas serangan penyakir akar gada serta me-

ningkatkan bobot daun kubis, sedangkan peranan Gliocladium sp. dan Chaetomium

sp. tidak tampak, Sebaliknya Gliocladium sp. dapat mengurangi serangan penyakit

akar gada pada tanaman petsai walaupun hasilnya belum memuaskan .Widodo et al.

(1993) melaporkan bahwa penggunaan mikroba antagonis Pseudomonas spp.

kelompok fluoresen dapat menekan serangan tetapi tidak berpengaruh nyata

terhadap bobot basah tanaman caisin. Namun, perlakuan benih dan penyiraman

tanah dengan isolat-isolat mikroba tersebut di lapangan tidak berpengaruh nyata

terhadap luas serangan, indeks penyakit, dan bobot basah krop kubis.

Pengendalian hayati dengan Phoma glomerata menunjukkan aktivitas bio

kontrol terhadap penyakit akar gada pada tanaman caisin dan turnip yang ditanam

pada media sekam tanah yang terinfestasi P. brassicae, tetapi pengendalian tersebut

kurang efektif dibanding dengan Epoxydon dari P. glomerata

Secara alami tanah mengandung mikroorganisme yang mampu menekan

perkembangan patogen dalam tanah. Jika keseimbangan mikroorganisme dalam

tanah terganggu maka efek penekanan tersebut akan hilang. Sebagian besar

mikroorganisme antagonis tersebut hidup sebagai saprofit. Kemampuan adaptasi


mikroorganisme terhadap berbagai kondisi lingkungan dapat dimanfaatkan sebagai

agen pengendali hayati patogen tanaman.

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa pengendalian hayati terjadi secara

alami seperti adanya tanah supresif (suppressive soil) pada areal pertanian. Hal ini

salah satu penyebabnya adalah adanya peran aktif mikroorganisme antagonis dalam

tanah. Faktor biotik berperan penting dalam penekanan penyakit pada tanah

kondusif. Indeks penyakit akar gada yang lebih rendah pada tanah yang tidak

disterilkan daripada tanah yang di sterilkan, baik pada tanah supresif maupun tanah

kondusif, menunjukkan bahwa faktor biotik berpengaruh pada penekanan penyakit

pada kedua tanah tersebut. Selain itu, penekanan penyakit yang masih terjadi pada

tanah supresif bahkan setelah disterilisasi menunjukkan bahwa faktor abiotik juga

berperan dalam penekanan penyakit pada tanah tersebut

Penambahan berbagai jenis bahan organik (pupuk hijau, pupuk kandang, sisa

sisa tanaman atau sampah organik) ke dalam tanah dapat menyeimbangkan

mikroflora tanah dan telah diakui sebagai suatu pendekatan biologi yang prospektif

dalam perbaikan pengelolaan penyakit tular tanah. Cicu (2005) melaporkan bahwa

perlakuan tanah untuk pembibitan dengan pemberian pupuk kandang ayam 5 kg/m2

yang diaplikasikan 6 minggu sebelum bibit kubis disemai dapat menurunkan indeks

penyakit akar gada dan meningkatkan produksi kubis dengan nyata. Hal ini

berkaitan dengan peningkatan mikroflora rizosfer akar kubis.


VI. PENUTUP

6.1 kesimpulan

Tanaman kubis merupakan salah satu sayuran yang banyak dikonsumsi oleh

masyarakat luas. Kubis sangat potensial untuk dikembangkan karena mengandung

vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Penyakit kubis

banyak jenisnya. Salah satu yang cukup serius adalah penyakit akar gada

(clubroot) yang disebabkan oleh Plasmodiphora brassicae Wor. yang

menyebabkan bengkak pada akar.pada pengendalian serangan pathogen ini dapat

dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan intensitas gejala seranagn dan

daerah pertanaman agar pengandalian yang di lakukan berjalan dengan maksimal.

6.2 saran

Pada tanaman kubis terdapat berberapa pathogen yang meyerang antara lain

penyakit akar gada (clubroot),penyakit ini dapat dikendalikan dengan beberapa

macam pengendalian sesuai dengan gejala serangan dan kondisi lahan yang ada

,agar pengendalian yang dilakukan berjalan dengan maksimal dan efisisiensi

terhadap kegiatan yang dilakukan .


DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 5th ed 2005. Elesvier : Academic Press.

Cahyono ,B.2001.kubis Bunga dan brokoli.yogyakarta .kanisius

Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan

dan upaya pengendaliannya. J. Litbang Pert. 25(1):16-21.

Permadi ,A.H dan sastrosiswojo,S.1993.kubis.lembang:badan penelitian dan

pengembangan pertanian balai penelitian hortikultura.

Pracaya .2005.hama dan penyakit tanaman.jakarta:penebar swadaya.

Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Yogyakarta: Kanisius.

Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. 848 hal.

Sulistyawati, H. PR. 2002. Penanaman caisin dan kenikir sayur serta infestasi

Trichoderma untuk mengeliminasi propagul cendawan akar gada pada tanah.

Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta. 149 hal.

Widodo and Suheri. 1995. Suppression of clubroot disease of cabbage by soil

solarization. Buletin Hama Penyakit Tumbuhan 8(2):49−55.


Widodo dan sutiyono,Y.2013.hama dan penyakit tanaman deteksi dini dan

penanggulangan.depok.pt trubus swadaya

Anda mungkin juga menyukai