Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

KANKER LEUKEMIA

Disusun oleh :

KELAS 4FA4

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

BANDUNG

2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah farmakoterapi tentang kanker leukemia ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

08 Desember, 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Definisi : Yohana Liunaruly (11161176), Tiffany Laraswati (11161192), Restika
Hati Tanjung (11161163)...............................................................................................3
2.2 Prevalensi : Adhelia Pramesty Damayanti Putri Wijaya (11161181), Lira Salmi
Oktafia (11161173), Nina Marlina (11161155) ............................................................4
2.3 Epidemiologi : Reformia Avianningsih (11161161), Resti Mirna Sari (11161162),
Nita Anesta (11161175).................................................................................................4
2.4 Etiologi : Robecca Saur Lina Siburian (11161167), Syahrul Firdaus (11161179), Rita
Nofera (11161166).........................................................................................................4
2.5 Patofisiologi : Via Helvia (1161185), Debi Dayana (11161180), Randi Antami
Zudata Putra (11161160)................................................................................................6
2.6 Faktor Risiko : Liza Alichia Marliana (11161156), Yulianti (11161177), Isma
Ulumul Azmi (11161182)..............................................................................................7
2.7 Tujuan Terapi : Nia Aprilia (11161154), Dwi Suci Anestesiani (11161183), Reza
Rahadian Pangestu (11161184) .....................................................................................8

ii
2.8 Terapi Non Farmakologi : Triandi Wira Alqori (11161172), Irma Yulianti
(11161188), Siti Nurjanah (11161169) .........................................................................9
2.9 Terapi Farmakologi : Nurani Eka Gumilang (11161157), Rio Pratama Yuda
(11161165), Nabilah Gumayah Puteri (11161152), Nikomang Ayu Tri Sanjiwani
(11161189), Wahyu Akbar Aditya (11161190) ........................................................12
2.10 Monitoring Terapi : Pricella Fadhila Choirunisa (11161159), Hendrik Septiadi
(11161191), Ratna Juwita (11161187) ........................................................................15
2.11 Evaluasi Terapi : Natasya Rizkiyan Ramadhani (11161153), Shaffa Auliya Farida
(11161168), Vanni Gandi Putri (11161174) , Zulkifli Reza Algifari (11161178).......23
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang dikarakterisasi dengan adanya


pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, invasi lokal pada jaringan, dan metastatis (DiPiro,
2005). Dewasa ini penyakit kanker menduduki peringkat teratas penyebab kematian manusia.
Di negara maju, kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit
kardiovaskular (Perwitasari, 2006). Leukimia akut merupakan salah satu jenis kanker yang
ganas pada anak-anak dan banyak menyebabkan kematian pada pasien dengan usia di bawah
35 tahun (DiPiro, 2005). Leukemia akut terbagi lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut (AML)
dan Leukemia Limfatik Akut (ALL) (Wagener et al., 1996). Pada tahun 2007, sekitar 18.610
kasus leukemia akut terjadi di Amerikadimana 13.410 merupakan kasus AML dan 5.200
merupakan kasus ALL. Kejadian tersebut sabil selama dua dekade. Sekitar 10.410 orang
meninggal setiap tahun dan dilaporkan 2%-nya disebabkan oleh leukemia akut (DiPiro,
2005).

Leukemia terjadi karena adanya proliferasi dan pendewasaan salah satu sel induk
sumsum tulang atau sel pendahulu yang tidak terkontrol. Sel induk yang mengalami
transformasi maligna ini menimbulkan berbagai kelainan. Dalam perjalanan penyakit sel-sel
ini mengganggu pembentukan sel darah normal sehingga menyebabkan kekurangan darah,
granulositopenia dan trombositopenia (Wagener et al., 1996). Terapi yang digunakan dalam
kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan obat sitostatika. Obat sitostatika
merupakan obat yang digunakan dalam kemoterapi dimana merupakan terapi sistematik
untuk menghambat pertumbuhan kanker atau untuk membunuh sel-sel kanker (Perwitasari,
2006). Obat-obat tersebut sebagian besar bekerja pada sintesis protein dan DNA. Obat
sitostatiska yang umumnya digunakan yaitu antimetabolit seperti fluorinated pyrymidines,
analog cytidine, purin dan antimetabolit purin; vinca alkaloid (vincristine dan vinblastine);
inhibitortopoisomerase; alkylating agent; komponen logam berat; terapi endokrin
(Lasparaginase); dan monoklonal antibodi. Dalam setiap kasus pada terapi pasien kanker
sering digunakan kombinasi berbagai macam obat tersebut sehingga perlu ditelusuri fungsi
dari setiap obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu kanker leukemia.

2. Berapa banyak prevalensi kanker leukemia di Indonesia maupun di dunia.

3. Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari kanker leukemia.

4. Bagaimana patofisiologi dan tujuan terapi kanker leukemia.

5. Bagaimana terapi non farmakologi dan terapi farmakologi kanker leukemia.

6. Bagaimana monitoring terapi dan evaluasi terapi yang paling efektif.

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan definisi penyakit kanker leukemia.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan prevalensi di Indonesia maupun di dunia pada


penyakit kanker leukemia.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan etiologi dan faktor resiko kanker leukemia.

4. Untuk mengetahui dan menjelaskan patofisiologi dan tujuan terapi kanker leukemia.

5. Untuk mengetahui, menjelaskan dan menyiapkan rekomendasi terapi sesuai algoritma


pada terapi non farmakologi dan terapi farmakologi kanker leukemia.

6. Untuk mengetahui dan menjelaskan monitoring terapi dan evaluasi terapi paling
efektif.

2
3
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi : Yohana Liunaruly (11161176), Tiffany Laraswati (11161192), Restika Hati
Tanjung (11161163)
Pengertian leukemia adalah karakteristik dari keganasan heterogen yang ditandai
dengan proliferasi sel dalam pembentukan darah yang tidak diregulasi . Leukemia akut adalah
keganasan hematologi prekursor sumsum tulang yang ditandai oleh produksi berlebihan dari
sel hematopoietik yang belum matang. Sel-sel leukemia menghambat pematangan sel normal
dalam sumsum tulang, yang mengakibatkan anemia, neutropenia, dan trombositopenia.
Leukemia juga dapat menyusup ke berbagai jaringan seperti kelenjar getah bening, kulit, hati,
limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf pusat. Leukemia kronik adalah keganasan hematologi
prekursor sumsum tulang yang ditandai oleh produksi berlebih dari sel hematopeitik yang
sudah lebih matang.
Klasifikasi leukemia akut ialah perkembang biakan sel yang belum matang dan tidak
berdiferensiasi. Terdapat 2 jenis yaitu acute leukemia limfoblastik (ALL) dan acute leukemia
myeloid (AML). Sedangkan pada leukemia kronis ialah perkembang biakan sel yang sudah
matang dan berdiferensiasi berlebihan. Terdapat 2 jenis yaitu chronic leukemia limfoblastik
(CLL) dan chronic leukemia myeloid (CML) (Dipiro et al. 8th edition, 2011).

2.2 Prevalensi : Adhelia Pramesty Damayanti Putri Wijaya (11161181), Lira Salmi Oktafia
(11161173), Nina Marlina (11161155).
Angka kejadian leukemia di dunia sebanyak sekitar 351.965 kasus. Menurut
IARC (International Agency For Research on Cancer). Di Indonesia berdasarkan
Riskesdas tahun 2013 kanker leukemia mencapai 8,9 % dengan rentang usia 29 bulan - 4
tahun (Riskesdas, 2013).

2.3 Epidemiologi : Reformia Avianningsih (11161161), Resti Mirna Sari (11161162), Nita
Anesta (11161175)
Data statistik kanker menurut " National Cancer Institute " Kanker leukemia
terjadi sebesar 13.7/100.000 kasus pertahun dan jumlah kematian leukemia sebesar
6.8/100.000 kasus pertahun. Kejadian leukemia pada anak2 (0-19tahun) "menurut CDC"
tahun 2014 sebesar 8.4/100.000 (1-4tahun) dan tingkat kematian sebesar 0.8/100.000
anak (15-19tahun). Di Amerika tahun 2017 -> terdapat sebanyak 62.130 kasus baru
leukemia dan 24.500 kasus kematian karena leukemia. (Dipiro et al. 10th edition, 2017).
2.4 Etiologi : Robecca Saur Lina Siburian (11161167), Syahrul Firdaus (11161179), Rita
Nofera (11161166) & Faktor Risiko : Liza Alichia Marliana (11161156), Yulianti
(11161177), Isma Ulumul Azmi (11161182)
Dikarenakan penyebab leukemia ini tidak dapat diketahui secara pasti, maka faktor
resiko dapat menjadi dugaan penyebab penyakit leukemia diantaranya :

1. Obat-obatan

 Alkylating Agents

 Epipodophyllatoxins

Keduanya merupakan obat-obatan kemoterapi. Pasien kanker jenis lain yang


mendapatkan kemoterapi tertentu dapat menderita leukemia dikemudian hari. Namun
pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio
manfaat dan risikonya. Obat-obatan anti neoplastik ini dapat mengakibatkan penyimpangan
kromosom yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi
leukemia.

2. Bahan kimia

Benzen adalah bahan baku penting untuk industri kimia dan pelarut industri, serta
komponen bensin. Paparan jangka panjang terhadap bahan kimia tertentu seperti benzen dan
formaldehid dapat meningkatkan risiko terjadi leukemia. Kontaminasi yang bisa
menyebabkan mutasi gen dan mencemari sel darah yang berasal dari paparan bahan kimia
yang menyebabkan leukemia. Selain itu, pajanan lingkungan terhadap benzen timbul dari
sumber emisi uap bensin dan asap kendaraan. Akibatnya identifikasi faktor yang
mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap benzen yang menyebabkan penyakit leukemia.

3. Radiasi

Pajanan radiasi seperti sinar-X diagnostik in utero berpotensi meningkatkan risiko


kanker leukemia dan kanker lain pada anak-anak. Konsekuensi dari kematian sel terhadap
kehidupan embrionik atau fetus meliputi retardasi pertumbuhan intrauterin (intrauterine
growth retardation, IUGR) dan/atau retardasi postnatal, kematian embrionik atau fetus atau
prenatal, dan malformasi bawaan. Pajanan radiasi pengion juga dapat menyebabkan efek
sangat parah pada embrio dan janin.

4. Virus

Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Ada

4
beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagai salah satu penyebab leukemia
yaitu enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis
RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.

Pada manusia terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya
leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan
oleh mikroskopik elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma
sel T yang umum pada propinsi tertentu di Jepang dan sporadis di tempat lain, khususnya di
antara Negro Karibia dan Amerika Serikat.

5. Kondisi genetik

Faktor risiko usia, jumlah WBC, kelainan sitogenetik, ploidi (kadar DNA), sel
leukemia. Pentingnya usia terlihat jelas pada anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak yang
lebih muda dari 1 tahun atau lebih dari 10 tahun memiliki hasil yang lebih buruk daripada
yang lain. Demikian juga, pada orang dewasa, ada penurunan yang stabil dalam tingkat
kelangsungan hidup dengan bertambahnya usia. Mirip dengan usia, jumlah WBC. Hitungan
WBC adalah indikasi beban tumor, meskipun mekanisme biologis yang mendasari yang
menyebabkan hasil yang tidak menguntungkan terkait dengan peningkatan jumlah WBC
tidak jelas. Pasien dengan jumlah WBC kurang dari 50 x 10 / mm3 (50 x 10 / L) dianggap
berisiko standar dan memiliki hasil yang lebih baik daripada pasien dengan jumlah WBC
yang lebih tinggi pada presentasi, yang dikaitkan dengan risiko kegagalan pengobatan yang
lebih tinggi.
a) Kelainan kromosom spesifik pada sel leukemia juga memiliki signifikansi
prognostik. Sel-sel ledakan dengan translokasi bagian kromosom 12 dan 21 (fusi
TEL-AML1) atau trisomi 4, 10, dan 17 dianggap memiliki fitur genetik yang
menguntungkan. Kehadiran kromosom Philadelphia (Ph), hasil translokasi khusus
antara kromosom 9 dan document 22, t (9; 22) (q34; q11.2), adalah fitur berisiko
tinggi, yang hadir dalam sekitar 3% anak-anak tetapi jauh lebih umum pada orang
dewasa dengan SEMUA translokasi ini menghasilkan tyrosine kinase novel itu
mendorong proliferasi sel. Di antara anak-anak yang lebih muda dari 1 tahun,
sebanyak 70% memiliki genotipe prognostik yang buruk diwakili oleh kehadiran
penyusunan ulang gen MLL (11q22) (Chisholm-Burns et al. 4th edition, 2016).

5
2.5 Patofisiologi : Via Helvia (1161185), Debi Dayana (11161180) , Randi Antami Zudata
Putra (11161160)
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau beberapa
jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel induk sistem
hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus berproliferasi, karena itu
sel ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih peka terhadap obat
toksik seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik menunjukkan bahwa pada
Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang
neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukan memendek. Oleh karena
itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni
menjadi sel matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal
hemopoetik mengalami tekanan (Sudoyo, 2007).
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan genetik
sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel mengalami
perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan kadar satu atau
beberapa jenis sel darah dan penghambatan pembentukan sel darah lainnya dengan akibat
terjadinya anemia, trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan prosesnya
sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan).Leukemia
diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel neoplastik, timbul dalam sumsum tulang
dan limfe noduli (dimana limfosit terutama dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel
neoplastik ini kemudian disebarkan melalui aliran darah yang kemudian tersangkut dalam
jaringan pembentuk darah dimana terus terjadi aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak
jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal. Gambaran darah menunjukan sel yang inmatur.
Lebih sering limfosit dan kadang-kadang mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti
dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya proliferasi sel blast, produksi
eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan trombositipenia
(Aguayo et al., 2006).

2.6 Tujuan Terapi : Nia Aprilia (11161154), Dwi Suci Anestesiani (11161183), Reza
Rahadian Pangestu (11161184)
1. Manifestasi Klinik, terdiri dari:
a) Kelemahan,
b) Limfadenopati dan nyeri tulang,

6
c) Malaise,
d) Penurunan berat badan,
e) Keringat malam,
f) Demam (Chisholm-Burns et al. 4th edition hal. 1394, 2016).
2. Diagnosa yang dapat dilakukan antara lain:
a) Pemeriksaan Fisik
 Splenomegali (86%)
 Hepatomegali
 Limfadenopati
 Nyeri tekan tulang dada
 Ekimosis
 Perdarahan retina
b) Pemeriksaan Laboratorium
 CBC dengan diferensiasi dilakukan,
 Leukositosis (WBC hitung > 100 x 109/ L [100 x 103/mm3] ),
 Limfositosis (mutlak getah bening hitung > 5 x 109 [5 x 103/mm3] ),
 Asam urat meningkat sekitar 50%,
 Elektrolit : Kalium dan fasfor meningkat, kalsium rendah
 Anemia (Hemoglobin ≤ 11,0 g/dL [110g/L ; 6,83 mmol/L] )
 Trombositopenia (Trombosit < 100 x 109/ L [100 x 103/mm3] )
c) Pemeriksaan Lain
 Pap darah perifer
 Biopsi sumsum tulang
 Studi sitogenetik
 Pengujian molekuler (Chisholm-Burns et al. 4th edition hal. 1394, 2016).
3. Tujuan Terapi
b) Tujuan sementara untuk menyembuhkan pasien.
c) Pada pasien metastasis untuk meringankan gejala.
d) Pada pasien berulang (kambuh) untuk meringankan kualitas hidup pasien
(Chisholm-Burns et al. 4th edition hal. 1393, 2016 & Dipiro et al. 8th edition hal.
2364, 2011).

7
2.7 Terapi Non Farmakologi : Triandi Wira Alqori (11161172), Irma Yulianti (11161188),
Siti Nurjanah (11161169)

Terapi Non Farmakologi


1. Transfusi darah untuk meningkatkan HB darah pada penderita.
2. Memberikan manajemen nutrisi pada pasien kanker leukemia akut.
3. Meningkatkan kepatuhan dalam melakukan kemoterapi.
4. Menghindari makanan yang bersifat karsinogenik (daging yang dibakar, diasapi,
minuman dan makanan dengan zat tambahan bersifat karsinogenik)
5. Banyak mengonsumsi makanan mengandung lemak omega 3 seperti ikan tuna, salmon,
lele, teri. Lemak omega 3 pada pasien kanker terbukti mampu mempertahankan BB dan
memperlambat kecepatan penurunan BB, meskipun tidak menambah BB pasien.
Konsumsi harian asam lemak omega-3 yang dianjurkan untuk pasien kanker adalah
setara dengan 2 gram asam eikosapentaenoat atau eicosapentaenoic acid (EPA).
6. Buatlah kamar yang protektif dan steril atau bersih untuk membuat penderita menjadi
nyaman ketika Anda melakukan perawatan dirumah, buatlah sebuah kamar yang
protektif dan steril, Anda dapat membuat kamar penderita senyaman mungkin seperti
ketika dia berada di kamar rumah sakit.
7. Konsumsi makanan yang higenis.
Strategi non farmakologis yang dapat dilakukan untuk mengatasi mual muntah meliputi
pengaturan nutrisi untuk menurunkan rasa mual muntah, akupresur serta teknik relaksasi
seperti teknik relaksasi otot progresif. Akupresur merupakan suatu bentuk metode terapi
dengan memberikan tekanan yang kuat dan terus menerus pada titik tertentu pada tubuh
untuk menimbulkan relaksasi atau mengurangi mual (Mc Closckey & Bulecheck, 1996).
Menurut pengobatan tradisional cina, tujuan akupresur adalah untuk mengatur dan
menyeimbangkan energi dalam tubuh dan meningkatkan kesehatan agar optimal. Menurut
ilmu kedokteran barat mekanisme akupresur dalam menurunkan mual adalah adanya
mekanisme untuk menghentikan stimulus muntah ke pusat muntah, sehingga mual muntah
dapat terkontrol.
Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu jenis teknik relaksasi dengan cara
menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan itu (Ramdhani &
Putra, 2007). Latihan relaksasi otot progresif menciptakan kondisi rileks secara sengaja pada
beberapa otot utama tubuh. Pada saat kondisi relaksasi, otot pada saluran pencernaan juga
ikut menjadi rileks sehingga mual muntah berkurang (Dipiro et al. 10th edition, 2017).

8
2.8 Terapi Farmakologi : Nurani Eka Gumilang (11161157), Rio Pratama Yuda
(11161165), Nabilah Gumayah Puteri (11161152), Nikomang Ayu Tri Sanjiwani
(11161189), Wahyu Akbar Aditya (11161190)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antitumor pada umumnya dibagi dalam
beberapa golongan sebagai berikut :
A. Alkilator
Berkhasiat kuat terhadap sel-sel yang sedang membelah. Khasiat ini berdasarkan
gugusan alkilnya, yang sangat reaktif dan menyebabkan cross-linking (saling mengikat)
antara rantairantai DNA di dalam inti sel. Dengan demikian pergandaan DNA terganggu dan
pembelahan sel dirintangi. Efek sitotoksis dan mutagen ini terutamaditujukan terhadap sel
yang membelah dengan pesat, seperti sel-sel kanker di sistem limfe.

Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan


Busulfan Menginhibisi Myelosupresi, Tersedia dalam
(Myleran tablet, replikasi DNA; hiperpigmentasi, bentuk larutan
injeksi Busulfex) selektif sitotoksik fibrosis pulmonal, injeksi 6mg/mL dan
untuk sel efek muntah kecil, tablet 2mg.
myeloid; menebus endokrin.
lapisan sawar
otak.
Chlorambucil Derivat mustard Myelosupresi, Tersedia dalam
(Leukeran) nitrogen; meningkatkan bentuk tablet 2mg.
membentuk cross- fungsi hati, ruam
links DNA kulit, efek muntah
interstrand; kesil, toksisitas
selektif citotoksik pulmonal,
untuk limfosit. pneumonitis,
karsinogenik.
Cyclophosphamid Alkilating agen; Efek muntah, Tersedia daklam
e (Cytoxan) cross-links DNA- mual, bentuk serbuk untuk
DNA atau DNA- myelosupresi, injeksi 500mg, 1g,
protein; alopesia, dan 2g. Tablet
menginhibisi interfertilitas, 25mg dan 50mg.

9
sintesis DNA, strelititas
mengaktivasi
CYP450.
(Dipiro, 2005)
B. Antimetabolit
Obat-obat ini juga mengganggu sintesa DNA, tetapi dengan jalan antagonis saingan.
Obat menduduki tempat metabolit (asam folat, purin, dan pirimidin) dalam sistem enzim
tanpa mengambil alih fungsinya, sehingga sintesa DNA atau RNA gagal dan perbanyakan sel
terhenti. Obatnya sendiri tidak bersifat sitotoksis. Semua obat ini berkhasiat imunosupresif.
Semua obat ini merupakan pro-drug yang baru menjadi metabolit aktif setelah diubah dalam
hati.
Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan
6-merkaptopurin Menghambat Anoreksia, ruam Tersedia dalam
(Purinethol; 6- proliferasi sel kulit, hepatotoksik, tbalet 50mg.
MP) limfoid pada fotosensitifitas,
stimulasi kulit kuning.
antigenik.
Methotrexat Menginhibisi Disfungsi renal jika Tersedia dalam
(MTX) sintesis DNA. digunakan pada bentuk tablet
Dalam psoriasis, dosis tinggi, 2,5mg; vial
diduga mempunyai mukositik, 5mg/2mL,
kerja mempercepat myelosuprresi. 50mg/2mL,
proliferasi sel 50mg/5mL; dan
epitel kulit. ampul 5mg/mL.
Hidroksiurea Menginhibisi RNA Mtelosupresi, ruam Tersedia dalam
(Hydrea) reduktase, kulit, bentuk kapsul
menginhibisi hiperpigmentasi, 200mg, 200mg,
sintesis DNA. hiperurisemia. 400mg, dan
500mg.
Cladiribin Dalam bentuk Myelosupresi, Tersedia dalam
(Leustatin) trifosfat aktif dapat demam, bentuk injeksi
memperpanjang imunosupresif, 1mg/mL.
rantai DNA, serta infeksi, gejala
menginhibisi RNA mual.
reduktase,

10
menghabiskan
intraselular
deoksinukleotida
dan merusak
sintesis DNA.
Cytarabine Menginhibisi Myelosupresi, Tersedai dalam
(Ara-C, cytosine polimerasi DNA alopesia, bentuk larutan
arabinosade, dengan menyebabkan injeksi 10mg/mL,
cytosar) menginhibisi mual, diare, 20mg/mL,
perpanjangan mukosistis, 100mg/mL
rantai dan replikasi demam, ruam,
DNA toksisitas serebral.
Fludarabine Menginhibisi RNA Myelosupresi, Tersedia dalam
(FAMP, Fludara) reduktase dengan meningkatkan T bentuk injeksi
menginhibisi sel, efek mual 25mg/mL; serbuk
sintesis DNA, rendah, diare, untuk injeksi
menginhibisi jarang terjadi 50mg; tablet
olimerase DNA toksisitas CNS, 10mg.
dengan mengantuk,
menginhibisi toksisitas
perbaikan DNA. pulmonal.
(Dipiro, 2005)
C. Antimikrotubuli
Alkaloid dari tumbuhan jenis Vincadapat berikatan dengan protein mikrotubul inti sel
tumor, menghambat sistesis dan polimerasi mikrotubul inti sel tumor, mebhambat sintesis
dan polimerasi mikrotubul, sehingga mitosis berhenti pada metafase replikasi sel terganggu.
Obat anti tumor baru, taksol, taksoter dapat memacu dimerisasi miksotubul dan menghambat
depolimerisasinya sehingga langkah kunci pembentukan spindel pada mitosis terhambat.
Efeknya kebalikan dari vinkristin tapi hasil akhirnya sama yaitu, mitosisi sel tumor terhenti
(IKAPI, 2013).
Obat Mekanisme Efek Samping Dosis
Vinkristin Mengganggu Neuropati Tersedia dalam
(VCR, Oncovin) formasi dari peripheral. larutan injeksi
mikrotubulus. 1mg/mL.
(Dipiro, 2005)
D. Inhibitor Topoisomerase
11
Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan
Daunorubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Daunomycin, Dauno, antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
Cerubidine) antitumor; mual sedang, injeksi 5mg/mL;
inhibitor alopesia, serbuk untuk
topoisomerase II; toksisitas kardia. injeksi 5mg,
menyisip pada 20mg, 50mg.
DNA.
Doxorubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Adriamycin, Adria, antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
Doxo, antitumor; mual sedang, injeksi 2mg/mL;
Hidroksidaunorubisin) inhibitor alopesia, serbuk untuk
topoisomerase II; toksisitas kardia. injeksi 10mg,
menyisip pada 20mg, 50mg.
DNA.
Etoposide Tumbuhan Myelosupresi, Tesedia dalam
(VP-16,Vepesid, alkaloid; efek muntah bentuk kapsul
Etopophos) menginhibisi sedang, alopesia, 50mg; larutan
aktifitas ikatan mukosistis, injeksi 20mg/mL;
DNA hipotensi. dan serbuk untuk
topoisomerase II injeksi 100mg.
ikatan DNA
dobel heliks
putus,
Idarubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Idamycin) antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
antitumor; muntah sedang, injeksi 1mg/mL..
inhibitor ekstravasasi,
topoisomerase II; alopesia,
menyisip pada toksisitas kardia.
DNA.
Mitoxantron Inibitor Myelosupresi, Tersedia dalam
(Novantrone) topoisomerase II, efek mual kecil, bentuk larutan
interkalalot mkosistis, injeksi.
DNA. alopesia,
kardiotoksik
rendah.

12
(Dipiro, 2005)
E. Imunomodulansia
Zat-zat ini juga dinamakan Biological Response Modifiers (BRM) dan berdaya
mempengaruhi secara positif reaksi biologis dari tubuh terhadap tumor. Fungsi sistem imun
dapat distimulir dengan baik maupun ditekan olehnya.
Contoh obatnya adalah interferon alfa, bekerja dengan menstimulasi sistem imun
melawan sel tumor, efek samping berupa demam, malaise, sakit kepala, anoreksia,
trombositopenia (Dipiro, 2005).
F. Micellaneous Agent
Contoh dari golongan ini adalah arsenic trioxide, dan asparaginase (L-asparaginase)
(Dipiro, 2005).
G. Biologically Direct Therapy
Contoh dari golongan ini adalah imatinib mesilat, tretionin, alemtuzumab, gemtuzumab
ozogamicin, dan rituximab (Dipiro, 2005).
H. Terapi Tambahan
1. Golongan Anti Nyeri/Analgesik/Painkiller
1) Analgetika Narkotik (analgetika sentral).
Analgetika narkotik merupakan obat penghilang rasa sakit yang bekerja melalui
susunan syaraf pusat, mempunyai efek analgesik kuat dan digunakan unutk nyeri
dengan intensitas tinggi, misalnya nyeri karena patah tulang, nyeri kanker, nyeri
setelah pembedahan. Obat golongan opioid ini digunakan untuk pasien kanker
dengan nyeri sedang hingga berat. Contohnya : morfin 5-10mg/4jam, meperidin 50-
150mg/4jam, methadon 3-10mg/4jam, kodein 15-60mg/6jam, oksikodon 5-
10mg/6jam, fentanil 50-100mcg/hari (Sutedjo, 2008).
2) Analgetika Non Narkotik (analgetika perifer).
Kelompok obat ini selain mengurangi rasa sakit juga berkhasiat menurunkan
suhu badan. Efek penurunan suhu dengan cara mempengaruhi hypothalamus yang
merangsang pelebaran pembuluh darah tepi, aktifitas kelenjar keringat meningkat
terjadi penegluaran keringat dan suhu tubuh lepas bersama keringat. Efek analgesik
dengan cara mempengaruhi thalamus untuk meningkatkan nilai ambang nyeri dan
menghambat prostaglandin yang membawa impuls nyeri kepusat resptor nyeri tepi.
Contohnya : fenacetin, paracetamol 500-650mg/8jam, antalgin 2 g/hari, asam
salisilat 250-1000mg/4jam, tramadol maksimal 400mg/hari (Sutedjo, 2008).
3) Analgetika Anti Inflamasi Non Steroid (AINS).

13
Beberapa AINS dibawah ini umumnya bersifat anti inflamasi, analgetika, dan
antipiretika. Efek antipiretika baru terihat pada dosis yang lebih besar daripada efek
analgesiknya. Mekanisme kerja dari AINS sebagian besar berdasarkan hambatan
sintesa prostaglandin. Obat ini digunakan untuk pasien kanker dengan tingkat nyeri
ringan. Pemberian AINS pada pasien apabila terbukti memiliki efektifitas dan
toleransi terhadap pemberian AINS. Contohnya meliputi ibuprofen 300-600mg/hari
jika perlu ditambahkan ketorolac 15-30mg/6jam, diklofenak 25-50mg/hari,
ketoprofen 25-100mg/8jam, asam mefenamat 250-500mg/hari (Ganiswaraet al.,
2005).
2. Golongan Kortikosteroid
Kortikosteroid sering digunakan dengan kemoterapi pada AL. kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi, serta beberapa kortikosteroid
memiliki efek anti kanker. Obat yang biasa digunakan untuk terapi kanker adalah prednisone
dan dexamethasone.

2.9 Monitoring Terapi : Pricella Fadhila Choirunisa (11161159), Hendrik Septiadi


(11161191), Ratna Juwita (11161187)
1. Limfositik Leukemia Akut
a) Induksi (terapi awal)
Pasien dewasa :
 Vincristine : efek rambut menjadi rontok dan berat badan menurun
 Asparaginase : terjadi reaksi hipersensitivitas
 Dexametason : meningkatkan resiko efek samping
Pasien anak :
 Prednison
 Glukokortikoid
b) Profilaksis CNS
 Metotrexate : efek pada mata merah dan gusi bengkak
 Cytarabine : reaksi alergi
 Opsi terapi triple : hidrokortison
c) Konsolidasi
 Vincristine : efek rambut menjadi rontok
 Mercatopurine : reaksi alergi
d) Reinduksi

14
 Cyclophosphamide : efeknya sakit saat buang air besar
 Metrorexate : menyebabkan mata merah dan gusi bengkak
 Doxorubicin : terjadi gangguan penglihatan
e) Terapi pemeliharaan
Terapi untuk membunuh sel leukemia lebih lanjut
Mingguan :
 Mercatopurin : sebabkan diare dan ruam
 Metotrexate : menyebabkan mata merah dan gusi bengkak
Bulanan :
 Vincristine : efek rambut menjadi rontok
 Steroid : moon face, hipertensi, tukak lambung
Pada bayi :
 Asparaginase, vincristin, kortikosteroid (resisten)
 Sitaradin dan dadibine : sensitivitas
2. Myeloid Leukemia Akut
a) Induksi :
 Tretinoin : leukositosis dan sindrom APL
 Antrasiklin
b) Konsolidasi :
 Idarubicin + tretinoin : tingkat kekambuhan tinggi
 Vincristine : efek rambut menjadi rontok
 Dexametason : meningkatkan resiko efek samping
 Predison
(Chisholm-Burns et al. 4th edition hal. 1398-1399, 2016)

2.10 Evaluasi Terapi : Natasya Rizkiyan Ramadhani (11161153), Shaffa Auliya Farida
(11161168), Vanni Gandi Putri (11161174) , Zulkifli Reza Algifari (11161178)

LEUKEMIA MYELOID KRONIS


Penilaian Pasien:
• Tinjau nilai-nilai laboratorium dan tentukan stadium CML tergantung pada persen ledakan
di darah tepi atau sumsum tulang.
• Tinjau riwayat medis, termasuk usia pasien, kondisi komorbiditas, dan pengobatan saat ini u
ntuk menghindari interaksi obat-obat.

15
Evaluasi Terapi:
• Jika tujuan hematologi, sitogenetik, dan molekuler tidak tercapai, tentukan apakah perubaha
n dalam pengobatan diperlukan.
• Jika pasien mengalami intoleransi terhadap terapi termasuk efek samping yang parah, perub
ahan dalam pengobatan mungkin diperlukan.
• Menentukan apakah salah satu TKI lini pertama mungkin lebih hemat biaya daripada agen l
ain.
Pengembangan Rencana Perawatan:
• Diskusikan pentingnya kepatuhan pengobatan dan hasil jangka panjang.
• Mengatasi kekhawatiran tentang obat yang dipilih termasuk biaya dan manajemen efek sam
ping.
Evaluasi Tindak Lanjut:
• Terapi TKI harus sering dipantau. Tindak lanjut dapat dijadwalkan setiap 3 bulan untuk me
nentukan apakah tujuan terapi dipenuhi.
• Tindak lanjut di luar kantor (mis., Panggilan telepon) dapat membantu untuk memperkuat p
entingnya kepatuhan dan untuk mengidentifikasi dan mengelola segala dampak buruk.

LEUKEMIA LYMPHOCYTIC KRONIS


Penilaian Pasien:
• Tinjau riwayat penyakit saat ini, pemeriksaan fisik, dan nilai-nilai laboratorium untuk mene
ntukan apakah perawatan segera diperlukan.
Evaluasi Terapi:
• Bergantung pada terapi, nilai kemanjuran, efek samping, dan kepatuhan pasien.
• Jika pasien terus mengalami perkembangan penyakit, rejimen lain dapat digunakan.
• Pantau jumlah WBC dan tanda-tanda infeksi jika pasien menerima kemoimunoterapi agresif.
Pengembangan Rencana Perawatan:
• Mengatasi kekhawatiran tentang obat yang dipilih termasuk biaya dan manajemen efek sam
ping.
• Obat perawatan suportif seperti remedikasi untuk pencegahan reaksi infus, profilaksis trimet
oprim sulfametoksazol dan antivirus (asiklovir, famciclovir, atau valacyclovir) dapat direkom
endasikan untuk pengobatan tertentu.
Evaluasi Tindak Lanjut:
• Pasien tanpa gejala akan secara rutin melakukan tindak lanjut untuk menentukan kapan mer
eka membutuhkan perawatan.

16
(Chisholm-Burns et al. 4th edition hal. 1393, 2016 & Dipiro et al. 8th edition hal. 2364, 2011).

17
BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa:

Perawatan yang digunakan untuk CML dan CLL sangat berbeda dengan tyrosine kinase
inhibitor yang digunakan dalam CML dan antibodi monoklonal, baik dengan atau tanpa
kemoterapi, memainkan peran yang semakin penting dalam CLL. Pengobatan garis depan
untuk CML adalah imatinib atau salah satu dari inhibitor tirosin kinase generasi kedua
lainnya dengan opsi lini kedua termasuk dasatinib, nilotinib, dan HSCT alogenik yang dipilih
berdasarkan faktor spesifik pasien. Allogeneic HSCT dibedakan antara terapi lain sebagai
satu-satunya intervensi pengobatan yang diketahui dalam CML yang mencapai penyembuhan
jangka panjang. IFN-«sekarang digunakan hemat untuk CML dan dapat dianggap sebagai
pilihan pengobatan untuk pasien yang tidak toleran terhadap inhibitor tirosin kinase tanpa
opsi HSCT. Tujuan dalam pengobatan CLL adalah untuk mengidentifikasi secara prospektif
pasien dengan fitur prognostik yang buruk dan individualisasi intensitas terapi berdasarkan
pada kemungkinan perkembangan penyakit yang cepat. Pengamatan sesuai pada pasien
tanpa gejala dengan penyakit tahap awal. Pada pasien dengan penyakit lanjut, stratifikasi
dengan adanya 17p- dan usia akan membantu untuk memutuskan apakah akan memulai
pengobatan dengan kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi atau imunoterapi saja.
Pemantauan untuk hipogamaglobinemia dan melembagakan profilaksis infeksi yang tepat
sangat penting untuk mencegah munculnya infeksi oportunistik selama dan berbulan-bulan
setelah pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2018). Cancer Facts & Figures 2018.


Barnholtz-sloan, J. S., Schwartz, A. G., Qureshi, F., Jacques, S., Malone, J., & Munkarah, A.
R. (2003). Ovarian cancer : Changes in patterns at diagnosis and relative survival over
the last three decades, 1997, 1120–1127. https://doi.org/10.1067/S0002-9378(03)00579-
9
Berek, J. S., & Hacker, N. F. (2019). Berek and Hacker’s Gynecologic Oncology.
Chisholm-Burns, M. A., Schwinghammer, T. L., Wells, B. G., Malone, P. M., Kolesar, J. M.,
& Dipiro, J. T. (2016). Pharmacotherapy Principles and Practice Fourth Edition.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2011).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eighth Edition.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2016).
Pharmacoterapy : A Pathophysiologic Approach (tenth edit).
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2017).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Tenth Edition.
Prajatmo, H., Siswishanto, R., & Prawitasari, S. (2018). Hubungan Kadar Ca-125 Praoperatif
Terhadap Prognosis Survival Penderita Kanker Ovarium Epitelial Di RSUP Dr. Sardjito.
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 5, 15–23.
Prat, J. (2015). FIGO’s staging classification for cancer of the ovary, fallopian tube, and
peritoneum : abridged republication. Journal of Gynecologic Oncology, 26(2), 87–89.
Riskesdas. (2013). Pokok-pokok Hasil RISKESDAS Indonesia 2013.
Simamora, R. P. A. (2018). Hubungan Usia, Jumlah Paritas, dan Usia Menarche Terhadap
Derajat Histopatologi Kanker Ovarium di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung Tahun 2015-2016.
WHO. (2012). World Health Statistics.
Yanti, D. A. M., & Sulistianingsih, A. (2016). Faktor Determinat Terjadinya Kanker Ovarium
di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moelok Provinsi Lampung 2015. Jurnal
Keperawatan, 7, 79–87.

25

Anda mungkin juga menyukai