Disusun Oleh :
KELOMPOK 1 :
1. Aulia Octaviyani
2. Iin Kurnia Sari
3. Mega Surya Sukma Jaya
4. Ria Prabawati
5. Sinta Dwiniti Wulandari
2016
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“Acute Limfoblastic Leukemia (ALL)”.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan dari
semua pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini tidak lupa kami ingin menyampaikan terima kasih
kepada dosen mata kuliah Hematologi dan semua pihak yang telah membantu, sehingga
terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak
demi kebaikan dan kemajuan penyusun di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembacanya.
penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit
ganas dalam sumsum tulang dan darah (Hoffbrand, Pettit & Moss, 2005). Leukemia
merupakan kanker pada jaringan pembuluh darah yang paling umum ditemukan pada anak
(Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2008; American Cancer Society, 2009).
Leukemia yang terjadi pada umumnya leukemia akut, yaitu Acute Limfoblastic Leukemia
(ALL) dan Acute Mieloblastic Leukemia (AML). Lebih kurang 80% leukemia akut pada anak
adalah ALL dansisanya sebagian besar AML (Rudolph, 2007). Yayasan Ongkologi Anak
Indonesia menyatakan bahwa menurut data dari World Health Organization (WHO), setiap
tahun jumlah
penderita kanker anak terus meningkat. Jumlahnya mencapai 110 sampai130 kasus per satu
juta anak per tahun. Di Indonesia, setiap tahun ada kirakira 11.000 kejadian kanker anak, dan
650 kasus kanker anak di Jakarta. Jenis kanker anak yang paling sering ditemukan di
Indonesia adalah leukemia dan retinoblastoma. Di kota Padang, khususnya RSUP Dr. M.
Djamil ditemukan bahwa ALL merupakan kasus terbanyak yang dirawat dibandingkan
dengan retinoblastoma dan AML, disepanjang tahun 2013 terdapat sebanyak 184 anak
dengan ALL dan 6 anak yang menderita AML, serta terdapat 40 orang anak dengan
retinoblastoma (Data rekam medik pasien instalansi rawat inap RSUP Dr. M. Djamil, 2013).
Pengobatan utama leukemia yang digunakan adalah kemoterapi karena sel leukemik
dari penderita leukemia biasanya cukup sensitive terhadap kemoterapi pada saat diagnosis
(Rudolph, 2007). Kemoterapi adalah perawatan berulang dan teratur yang diberikan secara
kombinasi,
dengan lama pengobatan selama dua sampai tiga tahun bagi pasien ALL (Davey, 2005
dikutip dari Gamayanti, Rakhmawati, Mardhiyah & Yuyun, 2012). Mekanisme kerja
kemoterapi yang bersifat tidak selektif dan terapi kombinasi menyebabkan toksisitas obat
meningkat. Toksisitas kemoterapi secara umum dapat dibagi dua yaitu bersifat akut dan
4
jangka panjang. Toksisitas akut terjadi segera setelah pemberian kemoterapi (jam–minggu)
dan bersifat sementara, sedangkan toksisitas jangka panjang bersifat permanen. Toksisitas
akut antara lain depresi sumsum tulang, mual, muntah, alopesia, mukositis orointestinal,
alergi, kelainan fungsi hati dan ginjal. Beberapa obat kemoterapi bersifat unik oleh karena
toksisitas obat bersifat spesifik terhadap organ atau jaringan tertentu permanen (Vassal,
2005). Menurut Rudolph (2007), ada strategi dasar untuk pengobatan ALL yang terdiri atas:
fase induksi, pengobatan sistem saraf pusat presimtomatis, fase konsolidasi, dan fase rumatan
(maintenance). Pada kemoterapi pertama yang diberikan pada anak penderita leukemia yakni
fase induksi, sangat ketat dan kadang-kadang komplikasi dapat cukup serius dan mengancam
jiwa (American Cancer Society, 2013).
Menurut penelitian Ariawati, Windiastuti, dan Gatot (2007), yang mendapatkan hasil
bahwa pemberian kemoterapi ALL pada fase induksi dan fase profilaksis SSP
memperlihatkan berbagai toksisitas akut, seperti gejala mual dan muntah yang terjadi paling
banyak setelah pemberian MTX dosis 1 g/m2 kemudian setelah pemberian MTX intratekal.
Dampak lainnya yang terjadi seperti neuropati setelah pemberian vinkristin dan setelah
pemberian MTX 1 g/m2, selanjutnya juga dijumpai adanya yang mengalami Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) dengan hasil kultur Staphillococcus epidermidis dan penurunan
hemoglobin, leukosit, trombosit pada minggu pertama dan kedua fase induksi kemungkinan
disebabkan oleh pendesakkan blas dalam sumsum tulang. Nency (2011), juga menyebutkan
bahwa fase induksi bertujuan untuk mencapai remisi, untuk itu digunakan vincristin,
glukokortikoid ditambah L-asparaginase dan antrasiklin untuk dapat mencapai angka remisi
95%. Pemakaian empat obat dalam fase induksi selain dapat meningkatkan durasi remisi,
namun juga dapat menimbulkan banyak komplikasi karena mielosupresi. Mielosupresi pada
ALL disebabkan oleh invasi sel ganas pada sumsum tulang maupun karena pemberian
kemoterapi yang intensif. Hal ini akan menyebabkan kondisi anemia dan trombositopenia.
Kehilangan darah akibat trombositopenia juga akan memperberat kondisi anemia dan tidak
jarang berakhir pada kematian, sehingga terapi suportif sangat diperlukan. Sebelum era
transfusi trombosit, perdarahan adalah penyebab kematian utama pada ALL.
5
1.2 Tujuan
1. Apakah definisi ALL?
2. Bagaimana insiden dan patogenesis ALL?
3. Bagaimana kalsifikasi ALL?
4. Apa saja manifestasi hasil ALL?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dari ALL?
6. Bagaiman pengobatannya?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leukemia adalah keganasan yang berasal dari sel-sel induk sistem hematopoietik
yang mengakibatkan ploriferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol dan pada sel-sel darah
merah namun sangat jarang. (Gale, 2000)
Sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum
tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik dan mempengaruhi produksi dari
sel-sel darah normal lainnya.
Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah penyakit yang berkaitan dengan sel
jaringan tubuh yang tumbuhnya melebihi dan berubah menjadi ganas tidak normal serta
bersifat ganas, yaitu sel-sel sangat muda yang serharusnya membentuk limfosit berubah
menjadi ganas. Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah
yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit
immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel
leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur dan
menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu fungsi sel
normal lain
Insiden ALL paling tinggi pada usia 3-7 tahun dengan 75% kasus terjadi sebelum
usia 6 tahun. Terjadi peningkatan kedua setelah usia 40 tahun. Delapan puluh lima persen
kasus berasal dari turunan sel B dan memiliki insiden jenis kelamin yang sama; untuk
ALL sel T (T-ALL) yang 15 %, terdapat sedikit predominasi pria.
7
% kasus ALL poositif-BCR-ABLI. Pada sebagian kasus, prose pertama terjadi di janin
dalam Rahim, dengan proses kedua mungkin dipicu oleh infeksi pada masa anak. Proses
pertama adalah translokasi atau mutase titik. Proses kedua melibatkan perubahan jumlah
Salinan yang mengenai genom keseluruhan, yang sebagian menyandi fungsi-fungsi yang
relevan untuk leukomogenesis. Pada kasus-kasus lain, penyakit tampaknya muncul
sebagai mutase setelah lahir pada sel progenitor limfoid.
Gambar ALL ( Limfadenopati leher yang mencolok pada seorang anak laki-laki
Gambar ALL ( pembesaran testis dan eritema di sisi kiri skrotum akibat infiltrasi testis
2.3 Klasifikasi
ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia
8
15 tahun ALL jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Sedangkan secara
morfologik, menurut FAB (French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1) L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2) L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma
agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3) L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak
vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)
9
Gambar ALL Tipe L-3 (Roganovic, 2013)
(a) (b)
(c) (d)
10
Gambar morfologi, sitokimia, dan imunofenotipe ALL, (a) Limfoblas memperlihatkan
sitoplasma yang minimal tanpa granula. (b) Limfoblas terlihat besar dan heterogen dengan sitoplasma
banyak. (c) Limfoblas tampak sangat basofilik dengan vakuolisasi sitoplasma. (d) Imunofluresensi tak
langsung menunjukkan terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) di nukleus (hijau) dan CD10 di
membran (oranye).
11
2.4 Manifestasi Klinis
1. Gejala kegagalan sumsum tulang:
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Disebabkan karena produksi sel darah
merah kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah.
Ditandai dengan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel
darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia mengalami pucat, mudah lelah,
kadang-kadang sesak nafas.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise, infeksi rongga mulut,
tenggorokan, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok septic.
c. Trombositopenia menimbulkan easy bruising, memar, purpura perdarahan kulit,
perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis. Tanda-tanda perdarahan
dapat dilihat dan dikaji dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis)
atau perdarahan bawah kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan
dapat terjadi secara spontan.
12
4. Gejala lain yang dijumpai adalah:
a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/µL. penderita dengan leukositosis
serebral ditandai oleh sakit kepala, confusion, dan gangguan visual. Leukostasis
pulmoner ditandai oleh sesak napas, takhipnea, ronchi, dan adanya infiltrasi pada foto
rontgen.
b. Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih sering dijumpai pada
leukemia promielositik akut (M3). DIC timbul pada saat pemberian kemoterapi yaitu
pada fase regimen induksi remisi.
c. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal.
d. Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada ALL. Tetapi sindrom
lisis tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.
13
b. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang
Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limpoblast yang sangat banyak
lebih dari 90% sel berinti pada ALL dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya
digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil,
sehingga touch imprintdari jaringan biopsy penting untuk evaluasi gambaran
sitologi.
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran monoton, yaitu
hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia
sekunder).
c. Sitokimia
Pada ALL, pewarnaan Sudan Black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil
yang negative. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari precursor granulositik yang dapat dideteksi pada sel blast AML.
Sitokimia berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang gans, sedangkan sel B
dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS).
TdT yang diekspresikan oleh limpoblast dapat dideteksi dengan
pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry
e. Sitogenetik
Analisi sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik
berhubungan dengan subtype ALL tertentu, dan dapat memberikan informasi
14
prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t (8;22) hanya ditemukan pada ALL sel
B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang
berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8.
f. Biopsi limpa
pemeriksaan ini memeperlihatkan poriferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa yang terdesak, seperti limposit normal, RES, granulosit, dan pulp
cell.
2.6 Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi spesifik
dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang,
baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi (Bakta, 2006).
a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari
beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan hematopoiesis normal dan status
kinerja normal. Fase pengobatan ini hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid
(prednisone, prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen
lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak- anak dengan risiko
tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan hampir semua dewasa muda dengan
LLA menerima empat atau lebih obat selama terapi remisi-induksi. Perbaikan dalam
kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar 98
15
persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa. Telah terbukti jika
upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi pengurangan lengkap beban sel-
leukemia dapat mencegah resistensi obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.
Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan. Dalam
remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel tumor dan tanpa
kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien akan kambuh. Bagaimanapun,
tercapainya remisi merupakan langkah pertama yang penting dalam pengobatan
keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih
intensif (Hoffbrand, 2013).
16
diberikan tiga blok intensifikasi untuk anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang
digunakan untuk dewasa (Hoffbrand, 2013).
c. Fase reinduksi
Fase reinduksi - pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi awal yang
diberikan selama beberapa bulan pertama remisi –merupakan salah satu komponen dari
suksesnya protokol LLA. Penting untuk dicatat bahwa vincristine tambahan dan
prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa
perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti
asparaginase. Karena sering terjadinya osteonekrosis setelah pengobatan reinduksi, terapi
glukokortikoid sedang diselidiki sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi.
2. Terapi Suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi
spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus
ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka penderita dapat
meninggal karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi
efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells) untuk
mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang,
transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
Antibiotika adekuat
Transfusi konsentrat granulosit
17
Perawatan khusus (isolasi)
Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.
d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :
Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapharesis.
Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit.
Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol
dan alkalinisasi urine (Bakta,2006).
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Leukemia adalah keganasan yang berasal dari sel-sel induk sistem hematopoietik yang
mengakibatkan ploriferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol dan pada sel-sel darah merah
namun sangat jarang. Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah penyakit yang berkaitan
dengan sel jaringan tubuh yang tumbuhnya melebihi dan berubah menjadi ganas tidak
normal serta bersifat ganas, yaitu sel-sel sangat muda yang serharusnya membentuk limfosit
berubah menjadi ganas.
Pemeriksaan Laboratorium:
a. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
b. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang
c. Sitokimia
d. Imunofenotif (dengan sitometri arus/ Flow cytometry)
e. Sitogenetik
f. Biopsi limpa
19
DAFTAR PUSTAKA
20