Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum Tanggal Praktikum : 15 Oktober 2020

Fisiologi Veteriner I Dosen Pembimbing : Dr. Drh. Aryani Sismin


Satyaningtijas, MSc.
Minggu ke-7 (Pagi) Kelompok Praktikum : P1.5
Asisten : Sabrun Jamil, SKH
Edja Amalia Subandari
(B04180035)

SISTEM INDRA
(Penglihatan, Penciuman, dan Pendengaran)
Oleh :
1. Prawira Eka Wardana (NIM B04190161)
2. Puri Adzrok Abidah* (NIM B04190162)
3. Nia Nur Alfani (NIM B04190164)
4. Deandarla Naoremisa (NIM B04190165)

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SEMESTER GANJIL 2020-2021
PENDAHULUAN

Dasar Teori

Fungsi utama sistem saraf adalah komunikasi atau menyampaikan


informasi. Akson melakukan potensial aksi dari satu tempat ke tempat lain.
Seringkali, akson bercabang sehingga potensial aksi dilakukan ke beberapa tempat
dalam waktu yang hampir bersamaan (Reece 2015). Di ujung setiap cabang akson,
ada daerah yang disebut terminal akson yang dikhususkan untuk melepaskan
neurotransmiter kimiawi dari vesikel yang terikat membran intraseluler (diameter
~30 nm), yang disebut vesikel sinaptik.
Neurotransmitter adalah molekul sinyal ekstraseluler yang bekerja sebagai
agen parakrin, pada neuron yang melepaskan bahan kimia sebagai agen autokrin,
dan terkadang sebagai hormon (agen endokrin) yang mencapai targetnya melalui
sirkulasi/siklus (Reece 2015). Molekul kimia ini dilepaskan dengan eksositosis
dan berdifusi melintasi ruang ekstraseluler kecil (disebut celah sinaptik) ke target
(paling sering ujung penerima neuron lain atau otot atau kelenjar). Molekul
neurotransmitter sering mengikat protein reseptor membran pada target, mengatur
urutan kejadian molekuler yang dapat membuka atau menutup saluran ion
membran dan menyebabkan potensi membran dalam sel target berubah (Reece
2015).. Tempat di mana neurotransmitter dilepaskan dari satu neuron dan
berikatan dengan reseptor pada sel target disebut sinapsis kimiawi, dan perubahan
potensial membran target disebut potensi sinaptik, atau potensi postsinaptik.
Dalam praktikum ini, praktikan akan mengeksplorasi beberapa langkah dalam
pelepasan neurotransmitter dari terminal akson.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mendefinisikan neurotransmitter, sinapsis kimiawi,


vesikel sinaptik, dan potensi postsynaptic serta mengetahui peran ion kalsium
dalam pelepasan neurotransmitter.

METODE

Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Neuron (in vitro) yang
terdisosiasi dengan terminal akson yang diperbesar dan empat larutan
ekstraseluler (kontrol Ca2+, tanpa Ca2+, rendah Ca2+, dan Mg2+).
Prosedur Kerja
Pada praktikum ini, ujung akson diletakkan pada cawan petri dan
dipasangkan stimulus. Pertama, neuron tersebut akan diberikan larutan Ca2+
kontrol dan stimulus akan dinyalakan pada low intensity. Amati apa yang terjadi.
Selanjutnya, stimulus akan dinyalakan pada high intensity dan amati apa yang
terjadi. Ulangi langkah-langkah sebelumnya dengan larutan ekstraseluler yang
lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Perbandingan stimulus intensitas rendah (kiri) dan intensitas tinggi


(kanan) pada larutan kontrol Ca2+.

Pada larutan kontrol Ca2+ menunjukkan hasil bahwa sinaptik vesikel


dikeluarkan dari neuron dengan ektositosis. Ketika distimulus dengan intensitas
rendah dan intensitas tinggi pada stimulator, terlihat bahwa sinaptik vesikel yang
diektositosiskan pada intensitas tinggi lebih banyak daripada stimulus intensitas
rendah. Hal ini terjadi karena adanya ion Ca2+ yang merangsang pelepasan
neurotransmitter, potensial aksi akan membuka gerbang Ca2+ dan meningkatkan
konsentrasi ion Ca2+ pada zona presinaptik, seusai dengan literatur pada
Chotimah et al. (2014). Intensitas tinggi juga mendorong sinaptik vesikel untuk
melakukan ektositosis.
Gambar 2. Hasil percobaan 2 pada larutan tanpa Ca2+.

Pada percobaan 2, larutan ekstraseluler diganti dengan larutan tanpa ion


Ca2+. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak ada ektositosis sinaptik vesikel
yang terjadi, baik pada stimulus intensitas rendah maupun intensitas tinggi. Hal
ini dikarenakan proses eksositosis sinaptik vesikel bergantung pada
synaptotagmin Ca2+ yang hanya bisa teraktivasi jika terdapat Ca2+ di lingkungan
neuron.

Gambar 3. Perbandingan stimulus intensitas rendah (kiri) dan intensitas tinggi


(kanan) pada larutan rendah Ca2+.

Pada percobaan 3, larutan ekstraseluler diganti dengan larutan rendah ion


Ca2+. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ektositosis sinaptik vesikel yang
terjadi sangat sedikit, baik pada stimulus intensitas rendah maupun intensitas
tinggi dibandingkan dengan larutan kontrol Ca2+. Hal ini dapat terjadi karena
terdapat konsentrasi Ca2+ yang di lingkungan neuron walau hanya sedikit
(Chotimah et al. 2014). Namun karena konsentrasi Ca2+ rendah, maka sinaptik
vesikel yang tereksositosis juga sedikit.
Gambar 4. Perbandingan stimulus intensitas rendah (kiri) dan intensitas tinggi
(kanan) pada larutan Mg2+.

Pada percobaan 4, larutan ekstraseluler diganti dengan larutan ion Mg2+.


Hasil percobaan menunjukkan bahwa ektositosis sinaptik vesikel yang terjadi
hampir mirip dengan percobaan dengan larutan rendah ion Ca2+, baik pada
stimulus intensitas rendah maupun intensitas tinggi. Hal ini terjadi karena
konsentrasi dan konfigurasi elektron Mg2+ yang sama dengan Ca2+ sehingga
masih terjadi eksositosis sinaps vesikel. Stimulus intensitas tinggi gagal
merangsang percepatan ektositosis sinaptik vesikel karena ion Mg2+ memblokir
atau menghalangi kanal ion kalsium pada terminal akson sehingga pelepasan
neurotransmitter tidak maksimal (Reece 2015).

SIMPULAN

Neurotransmitter berguna mentransmisikan sinyal antar neuron untuk


meneruskan informasi rangsangan. Neurotransmitter berada di dalam sinaptik
vesikel saraf presinaptik dan dihantarkan ke postsinaptik. Tanpa adanya ion Ca2+
maka tidak ada rangsangan untuk neurotransmitter tereksositosis dan rangsangan
sistem indera tidak tersampaikan. Jika ion Ca2+ digantikan dengan ion Mg2+, ion
Mg2+ akan menutup kanal saluran kalsium dan pelepasan neurotransmitter tidak
bisa berjalan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Chotimah C, Rahayu M, Ciptadi G, Fatchiyah. 2014. Optimization of neuron cells


maturation and differentiation. Jurnal Biotropika. 2(4): 191-197.
Reece WO (editors). 2015. Duke’s Physiology of Domestic Animals 13th Ed.
(USA): John Wiley & Sons.
RESUME SISTEM INDRA

SISTEM PENGLIHATAN

Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan menentukan ketajaman penglihatan, menentukan


bintik buta, serta memeriksa buta warna.

Dasar Teori

Mata adalah organ indera yang memiliki fotoreseptor. Fotoreseptor adalah


reseptor yang peka terhadap cahaya. Fotoreseptor teresbut adalah 3 macam sel
kerucut (pigmen iodopsin dengan senyawa ritinin dan epsin) yang masing-masing
peka terhadap rangsang warna tertentu (merah, biru, hijau, pada manusia) dan sel
batang yang peka terhadap rangsang warna monokrom. Kerusakan pada sel
kerucut menyebabkan buta warna dikromat (hanya mempunyai 2 sel kerucut) atau
monokromat (hanya daoat melihat warna hitam, putih, dan kelabu).

Bintik kuning (fofea) dan bintik buta (blind spot) merupakan dua bintik
pada retina. Apabila bayangan jatuh tepat pada fofea, maka suatu objek dapat
terlihat dengan jelas. Kelainan pada mata adalah miopi, hipermetropi,
asigmatisme, dan presbiopi.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Optotypi
Snellen, kertas putih yang dilengkapi dengan palang hitam ditengah, lampu senter,
cahaya matahari, cermin, dan buku Ishihara.

Tata Kerja

Memeriksa ketajaman penglihatan

Orang percobaan (OP) dipersilahkan untuk duduk pada jarak 6 m dari


Optotypi Snellen tersedia. Mata OP ditutup dengan sapu tangan atau penutup
khusus. OP dipersilahkan membaca huruf pada Optotypi Snellen secara bertahap
mulai dari atas sampai bawah. Pemeriksaan diulangi untuk mata yang lainnya.

Perhitungan visus OP dapat dihitung dengan rumus:


Memeriksa bintik buta

Pemeriksaan bintik buta yang pertama pada mata kanan. Mata kiri OP
ditutup. Kartu pemeriksaan bintik buta ditempatkan pada jarak ± 30 cm di depan
OP sehingga mata kanan tepat di tanda tambah. Kertas tersebut digerakkan
perlahan mendekati mata OP dengan mata kanan tetap melihat ke tanda tambah
dan posisi bulatan hitam ada di bagian lateral mata kanan. Pada jarak ± 20 cm
dapat ditanyakan kepada OP apakah OP masih melihat bulatan hitam atau tidak.
Kalau OP tidak dapat melihat bulatan hitam maka wilayah tersebut merupakan
wilayah kebutaan. Sepotong kertas putih diambil dan sebuah palang hitam
digambar ditengahnya. Ujung pensil ditempatkan pada sisi luar-lateral, lalu ujung
pensil tersebut digeser menuju wilaya kebutaan. Bila ujung pensil menghilang
dari pandangan, tanda diberikan. Pensil kembali digeser hingga ujung pensil
kembali terlihat. Titik di mana pensil tidak terlihat dan terlihat dicatat. Semua titik
hilang dan titik timbul dihuungkan. Gambar yang nampak merupakan bercak buta
mata kanan. Jarak mata ke kertas pemeriksaan diukur. Cara tersebut diulangi pada
mata kiri OP.

Memeriksa pupil

OP dipersilahkan duduk menghadap jendela suatu objek yang jauh


diletakkan dan OP diminta untuk melihat objek tersebut, Senter diambil dan
keadaan pupil OP (warna iris dan ukuran diameter pupil) diperiksa. Pemeriksaan
refleks pupil pada kedua mata OP dilakukan. Refleks pupil langsung merupakan
mengecilnya pupil saat dilakukan penyinaran langsung ke mata OP. Refleks pupil
tidak langsung merupakan mengecilnya pupil pada mata sisi lain waktu dilakukan
penyinaraan ke salah satu mata. Pemeriksaan refleks akomodasi dilakukan dengan
cara OP dipersilahkan melihat suatu objek yang jauh dan tetap. Setelah beberapa
lama, OP dipersilahkan melihat jari yang ditempatnya ± ½ m didepan mata OP.
Perubahan diameter pupil diperhatikan. Jari dapat digerakan perlahan mendekati
mata OP. Akomodasi mata OP diperhatikan dan tindakan ini diulangi di mata
lainnya.

Memeriksa buta warna

OP dipersilahkan membaca gambar pada buku Ishihara. Lalu, kesalahan


OP dicatat.

Pembahasan

Optotypi Snellen merupakan alat yang digunakan untuk


pemeriksaan ketajaman mata seseorang pada jarak 6 meter (20 feet). Visus 20/20
atau 6/6 memiliki arti bahwa seseorang dapat melihat benda jarak 6 meter dengan
tajam penuh. Visus normal manusia adalah 20/20 (feet) atau 6/6 meter. Hasil
percobaan pada kedua mata OP menunjukkan visus sebesar 20/60 (feet) yang
artinya pada jarak 20 feet, jarak maksimal yang dapat dilihat oleh kedua mata OP
adalah 60 feet. Sedangkan pada mata kanan OP menunjukkan visus sebesar 20/40
(feet) yang artinya pada jarak 20 feet, jarak maksimal yang dapat dilihat oleh mata
kanan OP adalah 40 feet. Di sisi lain mata kiri OP menunjukkan visus sebesar
20/80 yang artinya pada jarak 20 feet jarak maksimal yang dapat dilihat oleh mata
OP adalah 80 feet. Dari hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan, penglihatan OP
tergolong tidak tajam.

Pemeriksaan bintik buta menunjukkan hasil diameter mata kanan OP


adalah 6 cm dan diameter mata kiri OP adalah 4,4 cm. Bintik buta merupakan
cakram optik bagian fovea dekat hidung. Bintik buta merupakan tempat
percabangan serabut dan pembuluh darah ke retina sehingga tidak mengandung
sel batang maupun kerucut.

Iris OP berwarna coklat dan hasil percobaan akomodasi mata OP jarak


jauh adalah dilatasi sedangkan jarak dekat adalah konstriksi. Hasil percobaan
refleks pupil secara langsung adalah mengecil. Refleks pupil secara tidak
langsung juga menyebabkan pupil yang lain turut mengecil. Hal ini disebabkan
karena saraf visceral mata bekerja di kedua sisi tubuh.

Hasil percobaan pemeriksaan buta warna pada Op adalah seluruh gambar


dengan tepat dijawab oleh OP. Hal ini mengindikasikan bahwa OP tidak
mengalami buta warna. Pemeriksaan dilakukan menggunakan buku ishihara.
Buku ishihara berisi kumpulan gambar untuk menentukan apakah seseorang
mengalami buta warna atau tidak.

Simpulan

Penglihatan OP tidak tajam dalam pemeriksaan menggunakan Optitypi


Snellen dengan batas visus normal 20/20. Bintik buta OP diameter mata kanan OP
adalah 6 cm dan diameter mata kiri OP adalah 4,4 cm. Akomodasi mata OP jarak
jauh adalah dilatasi sedangkan jarak dekat adalah konstriksi. Refleks pupil
langsung atau tidak langsung menunjukkan pupil mengecil karena saraf viseral
terjadi di kedua sisi tubuh. OP tidak mengalami buta warna karena dapat
menjawab buku Ishihara dengan benar seluruhnya.
SISTEM PENDENGARAN

Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan menentukan ketajaman pendengaran, menentukan


hantaran udara dan menentukan hantaran tulang pada proses pendengaran, serta
membedakan tuli.

Dasar Teori

Telinga merupakan organ yang memiliki dua tanggung jawab, sistem


pendengaran dan sistem keseimbangan tubuh. Telinga dibagi menjadi 3 bagian,
telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Reseptor pada sistem pendengaran
adalah mekanoreseptor. Mekano reseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang berupa getaran, dalam hal ini getaran mekanik gelombang suara di udara.
Telinga manusia dapat menangkap suara dengan frekuensi 20 Hz sampai 20.000
Hz.

Telinga sebagai organ dalam sistem keseimbangan tubuh diperantai oleh


reseptor vestibular. Keseimbangan tubuh merupakan kemampuan tubuh
mempertahankan postur dalam aktivitas motoriknya. Organ reseptor vestibular ini
adalah aparatus vestibularis (labirin) yang berada di telinga dalam. Fungsi labirin
ini adalah mendeteksi perubahan posisi, gerakan kepala, dan menjaga
keseimbangan. Aparatus vestibularis menganding endolimfa, perilimfa, dan sel
rambut yang aktif mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi sesuai arah gerakan
cairan.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum ini adalah garpu tala
dengan frekuensi 100, 256, dan 512 Hz, arloji tangan yang berdetak (atau
stopwatch), penggaris, OP, dan ruang kedap suara.

Tata Kerja

Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran

Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara. Telinga


kiri OP ditutup dengan kapas. Arloji ditempatkan di telinga kanan. Setelah OP
mengenal bunyi arloji, arloji dapat dijauhkan secara perlahan sampai OP tidak lagi
mendengar suaranya. Jarak tersebut diukur. Arloji kembali didekatkan secara
perlahan hingga OP dapat mendengar kembali suara arloji. Jarak tersebut pun
diukur kembali. Pemeriksaan diulangi pada telinga kiri OP.

Pemeriksaan Ketulian Pendengaran

1. Cara Rinne

Penala dengan frekuensi 256 Hz digetarkan (dipukul pada tepi telapak


tangan/ dijentikkan). Penala dipegang pada pangkalnya. Pangkal gagang
penala yang sedang bergetar ditekan pada prosesus mastoideus telinga
kanan OP. Tanda akan diberikan oleh OP apabila OP mendengar atau
tidak mendengar dengungan suara. Penala diangkat dari prosesus
mastoideus kemudian ditempatkan ujung penala ke dekat liang telinga
kanan OP. Waktu saat OP mendengar kembali suara penala sampai suara
tersebut tidak terdengar lagi dihitung. Pemeriksaan diulang untuk telinga
kiri.

2. Cara Weber

Penala digetarkan dengan frekuensi 512 Hz. Pangkal gagang penala


ditekan di vertex/ garis median tulang tengkorak. OP dipersilahkan
memberikan tanda apabila mendengar dengungan yang sama keras atau
tidak sama keras di salah satu telinga. Apabila OP mendengar dengungan
yang sama keras maka hasilnya “tidak ada laterasi”. Apabila OP
mendengar dengungan yang tidak sama keras maka hasilnya “ada laterasi”.
Apabila dengungan terdengar lebih keras di telinga kanan maka hasilnya
“laterasi ke kanan”. Begitupula apabila terjadi dengungan yang lebih keras
di telinga kiri maka hasilnya “laterasi ke kiri”. Percobaan diulangi dengan
menutup salah satu telinga OP dengan kapas.

3. Cara Schwabach

Penala dengan frekuensi 100 Hz digetarkan. Pangkal gagang penala


ditekan pada prosesus mastoideus OP. OP dipersilahkan memberikan
tanpa apabila dengungan sudah tidak terdengar. Gagang penala segera
dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa. Bila pemeriksa masih
dapat mendengar dengungan maka hasil tes ini “memendek”. Percobaan
diulangi akan tetapi penala ditempatkan lebih dahulu ke prosesus
mastoideus pemeriksa. Bila dengungan sudah tidak terdengar, penala
dipindahkan ke prosesus mastoideus OP. OP dipersilahkan memberikan
tanda apabila masih mendengar suara dengungan. Apabila OP masih
mendengar suara dengungan maka hasil pemeriksaannya “memanjang”.
Apabila hasil kedua percobaan hampir sama antara OP dengan pemeriksa
maka hasil tes ini “sama dengan pemeriksa”. Pemeriksaan dapat diulangi
pada telinga lainnya.

Koordinasi dan Sikap Keseimbangan Tubuh

1. Percobaan Romberg

OP dipersilahkan berdiri dengan tumit dan jari kaki merapat serta tangan
direntangkan. Ayunan tubuh dan gerakan koreksi OP untuk
mempertahankan keseimbangan diperhatikan. Pertama-tama mata OP
dibuka dan untuk selanjutnya mata OP ditutup. Goyangan yang terlalu
keras dapat diperhatikan. Selanjutnya, OP dipersilahkan berdiri di atas satu
tungkai. Pertama-tama mata OP dibuka dan untuk selanjutnya mata OP
ditutup. OP dipersilahkan melihat ke langit-langit ruangan dan berdiri di
atas satu tungkai. Pertama-tama mata OP dibuka dan untuk selanjutnya
mata OP ditutup. Keseimbangan statis OP dan peranan mata terhadap
keseimbangan statis dinilai.

2. Hopping Reaction

OP dipersilahkan berdiri diatas kaki kanannya. OP didorong perlahan ke


kanan sampai OP merasa akan terjatuh.

3. Thrust Reaction

OP dipersilahkan berdiri tegak dengan kedua kaki dirapatkan. Berat tubuh


OP dibagi sama rata atas telapak – telapak kaki depan dan belakang. OP
didorong dengan perlahan-lahan ke depan, lalu ke belakang, lalu ke
samping kiri, dan ke samping kanan.

4. Shifting Reaction

OP dipersilahkan mengambil suatu sikat dengan keempat anggota


tubuhnya menunjang berat badan OP. Lalu, OP dipersilahkan mengangkat
tangan kiri dan meletakannya di dalam genggaman orang lain. OP
didorong oleh pemeriksa dengan perlahan-lahan ke kanan, ke kiri, ke
depan dan ke belakang.

5. Past Pointing

Mata OP dibuka. Hidung OP disentuh kemudian lengan OP diekstensi


untuk menyentuh jari pemeriksa. Apabila OP dapat melakukannya tanpa
kesulitan maka OP normal. OP diputar ke kanan lalu putaran dihentikan
secara mendadak. OP diminta menyentuh jari pemeriksa dengan mata
terbuka. Hal tersebut diulang tetapi mata OP ditutup.

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan ketajaman pendengaran OP adalah pada telinga kiri


jarak dekat ke jauh adalah 95 cm dan sebaliknya adalah 50 cm. Dan, pada telinga
kanan dari jarak dekat ke jauh adalah 140 cm dan jarak jauh ke dekat adalah 100
cm. Hasil tersebut menandakan bahwa pendengaran OP masih normal. Hal
tersebut dikarenakan telinga OP menangkap frekuensi suara pada jarak yang
berbeda yang dipengaruhi oleh frekuensi sumber dan jarak sumber suara dari OP.

Hasil percobaan Rinne pada OP adalah telinga OP dalam keadaan normal


dengan Uji Rinne positif telinga kanan selama 12 detik dan telinga kiri selama 13
detik. Uji Rinne dilakukan untuk menunjukkan ketulian yang bersifat konduktif
atau perseptif. OP dengan tuli konduktif akan mendengar bunyi lebih baik bisa
garpu tala diletakkan di atas prosesus mastoid dibandingkan di depan telinga.
Pada OP dengan tuli perseptif sebaliknya. Pada OP dengan tuli konduktif jarak
waktu OP mendengar garpu tala memanjang, sedangkan pada tuli persepsi
memendek.

Hasil Uji Weber pada OP menunjukkan bahwa OP mendengar dengungan


yang tidak sama keras pada kedua telinganya. OP mendengar dengungan yang
lebih besar pada telinga kiri. Tes Webes digunakan untuk membandingkan
hantaran tulang telinga kiri dan tulang telinga kanan. Pada pendengaran normal,
gelombang bunyi akan melalui tengkorak menuju ke kedua telinga dan suara akan
terdengar sama keras. Laterasi telinga OP ke kiri dapat disebabkan karena adanya
kecenderungan telinga dalam menangkan frekuensi suara.

Hasil percobaan pada Tes Schwabach OP adalah telinga kanan


menunjukkan hasil yang memendek dan kiri menunjukkan hasil yang sama
dengan pemeriksa. Tes Schwabach digunakan untuk membandingkan hantaran
tulang pasien dengan pemeriksa. Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran
tulang OP dengan pemeriksa hampir sama. Jika pemeriksa masih dapat
mendengar bunyi garpu tala setelah pasien tidak lagi mendengarnya maka hasil
tesnya memendek.

Hasil percobaan Romberg adalah OP tetap tegak ketika berdiri dengan dua
kaki dan membuka mata. OP teramati menunjukkan goyangan ringan saat
menutup mata. Ketika OP hanya merentangkan tangan OP teramati tidak
melakukan goyangan. OP teramati melakukan goyangan ringan ketika berdiri satu
kaki dan tangan direntangkan dengan mata terbuka. Ketika mata OP tertutup,
goyangannya lebih kuat. Ketika berdiri dengan satu kaki dan kepala diangkat, OP
teramati melakukan goyangan ringan. Ketika mata OP ditutup, OP terjatuh.

Reaksi melompat atau Hopping reaction pada OP adalah semua dorongan


dari segala jenis arah menyebabkan OP bergoyang. Dorongan yang paling
memperlihatkan OP akan terjatuh adalah dorongan ke kiri. Apabila diurutkan
goyangan OP dari yang paling ringan hingga berat adalah ketika dorongan ke
depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Thrust reaction menunjukan hasil
dorongan ke kanan dan ke belakang membuat OP teramati akan jatuh.

Hasil percobaan pada Shifting reaction menunjukkan hasil percobaan OP


akan menarik genggaman tangan orang lain saat OP didorong kecuali ketika OP
didorong ke depan dan ke belakang. Past pointing menunjukkan hasil OP tepat
dalam keadaan mata terbuka. Tetapi, saat mata ditutup OP meleset agak ke kanan
ketika diputar ke kanan dan OP meleset agak ke kiri ketika diputar ke kiri.

Hasil percobaan Tes Romberg menunjukan bahwa OP dapat


mempertahankan posisi nya. Tes Romberg ini digunakan untuk memeriksa fungsi
keseimbangan statis dan ketidakmampuan OP untuk menjaga postur. Apabila OP
berhasil mempertahankan posisinya maka hasil tes ini adalah negatif. Sebaliknya
apabila OP tidak mampu mempertahankan posisinya (goyangan) maka tes ini
positif.
SIMPULAN

Ketajaman pendengaran OP masih normal. Telinga OP pun pada Uji


Rinne dalam keadaan normal dengan positif telinga kanan selama 12 detik dan
telinga kiri selama 13 detik. Pada Uji Rinne, dapat dipahami bahwa ketulian yang
bersifat konduktif atau perseptif. OP dengan tuli konduktif akan mendengar bunyi
lebih baik bisa garpu tala diletakkan di atas prosesus mastoid dibandingkan di
depan telinga. Pada OP dengan tuli perseptif sebaliknya. Hasil Uji Weber pada OP
menunjukkan laterasi ke kiri. Hasil percobaan Romberg normal. Hopping reaction,
Thrust reaction, Shifting reaction, dan Past pointing pada OP juga normal.
Sedangkan Tes Romberg pada OP negatif.

Anda mungkin juga menyukai