Anda di halaman 1dari 8

Rangkuman Bab III Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi

Di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dinyatakan secara eksplisit bahwa
pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional
dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
pembangunan ekonomi yang lebih serius dan terencana baik di indonesia baru dimulai sejak
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita 1) tahun 1969, dan
prosesnya berjalan mulus sejak itu hingga krisis ekonomi menerjang Indonesia tahun
1997/1998 ; walaupun selama jangka waktu tersebut Indonesia mengalami beberapa
goncangan eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional dan
apresiasi nilai tukar Yen (Jepang) terhadap dolar AS selama 1980-an. Baru pada saat krisis
ekonomi terjadi, pembangunan ekonomi di Indonesia terhenti; bahkan pertumbuhan produk
baru (PDB) mengalami negatif tahun 1998 (tambunan,2011a).

Walaupun buka suatu indikator yang bagus, tingkat kesejahteraan masyarakat dilihat
dari aspek ekonominya, dapat diukur dengan pendapatan nasional (PN) per kapita. “ Untuk
dapat meningkatan PN, pertumbuhan ekonomi, diukur dengan pertumbuhan PDB, dan
menjadi salah satu target penting yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi.

Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi juga akan membawa dengan


sendirinya suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dari sisi permintaan agregat,
perubahan atau yang dimaksud dengan ‘pendalaman’ struktur ekonomi terjadi terutama
didorong oleh peningkatan pendapatan.

A. Pertumbuhan Ekonomi

1. Konsep dan Cara Penghitungan

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau
suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.
Jumlah penduduk bertambah setiap tahun, sehingga dengna sendirinya kebutuhan konsumsi
sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap
tahun.

Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk
juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan
ekonomi tanpa disertai dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan
ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang
selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan
kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan ekonomi konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri
hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang
terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah
penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN
Ada dua arti dari PN, yaitu arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, PN
adalah PN. Sedangkan dalam arti luas, PN dapat merujuk ke PDB, atau merujuk ke produk
nasional bruto (PNB), atau ke produk nasional netto (PNN). Sesuai metode standar
penghitungan PN diawali dengan penghitungan PDB. Hubungan antara PDB dan PN dapat
dijelaskan melalaui beberapa persamaan sederhana sebagai berikut.

PNB = PDB + F (3.1)

PNN = PNB - D (3.2)

PN = PNN - Ttl (3.3)

Di mana :

F = pendapatan netto atas faktor luar negeri.

D = penyusutan dan

Ttl = Pajak tak langsung netto (variabel-variabel lainnya telah dijelaskan di dalam teks).

Jika tiga persamaan di atas digabungkan, akan mendapatkan persamaan berikut.

PDB = PN + Ttl + D - F (3.4)

Atau

PN = PDB + F - D – Ttl (3.5)

PDB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi,
pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama tersebut
adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran adalah
penghitungan PDB dari sisi permintaan agregat. Menurut produksi, PDB adalah jumlah nilai
output (NO) dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha. Berdasarkan satu digit, Biro
Pusat Statistik (BPS) membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor, yaitu pertanian,
pertambangan dan penggalian, industri manufaktur, listrik, gas dan air bersih, bangunan,
perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa dan jasa
perusahaan, dan jasa-jasa. Jadi, PDB adalah jumlah NO dari ke sembilan sektor tersebut.

PDB = ∑ NOi (3.6)

i = 1, 2.....9

Sedangkan melalui pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan yang


diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-
masing sektor, seperti tenaga kerja (gaji/upah), pemilik modal (bunga / hasil investasi),
pemilik tanah (hasil jual / sewa tanah), dan pengusaha (keuntungan bisnis / perusahaan).

Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong oleh pajak penghasilan dan pajak-
pajak langsung lainnya. Dalam pendekatan ini, penghitungan PDB juga mencakup
penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung netto. Oleh sebab itu, dalam pendekatan
pendapatan, PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto (NTB) dari kesembilan sektor
tersebut:

PDB = NTB1 + NTB2 + ........ NTB9 (3.7)

Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua komponen
dari permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang
tidak berorientasi profit / nirlaba (C), pembentukan modal tetap domestik bruto, termasuk
perubahan stok (I), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X), dan Impor (M):

PDB = C+I+G+X-M (3.8)

2. Sumber-Sumber Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan permintaan agregat atau


pertumbuhan penawaran agregat. Dari sisi permintaan agregat, peningkatannya di dalam
ekonomi bisa terjadi karena PN, yang terdiri atas permintaan masyarakat (konsumen),
perusahaan, dan pemerintah, meningkat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sisi permintaan
agregat (penggunaan PDB) terdiri atas empat komponen: konsumsi rumah tangga, investasi
(termasuk perubahan stok), konsumsi / pengeluaran pemerintah, dan ekspor netto (ekspor
barang dan jasa minus impor barang dan jasa). Sisi permintaan agregat di dalam suatu
ekonomi bisa digambarkan dalam suatu model ekonomi makro sederhana sebagai berikut.

Y = C+I+G+X-M (3.83)

C = cY+Ca (3.9)

I = -ir + Ia (3.10)

G = Ga (3.11)

X = Xa (3.12)

M = mY + Ma (3.13)

Persamaan (3.83) menggambarkan keseimbangan antara penawaran agregat (total


output / PDB) dan permintaan agregat yang terdiri atas empat komponen tersebut. Persamaan
(3.9) adalah besarnya konsumsi rumah tangga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan
faktor otonom (tidak tergantung pada tingkat / perubahan pendapatan); 3c3 adalah koefisien
konsumsi (marginal propensity to consume; MPC) dengan nilai positif antara 0 dan 1, yang
artinya semakin tinggi pendapatan semakin besar pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Persamaan (3.10) menunjukkan nilai atau jumlah investasi (misalnya dalam jumlah proyek)
sangat ditentukan oleh tingkat suku bunga (i) di dalam negeri, selain itu sejumlah faktor lain
yang bersifat otonom (Ia). Semakin tinggi i, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap (tidak
berubah), semakin mahal biaya alternatif dari investasi, semakin mahal biaya alternatif dari
investasi, semakin kecil jumlah investasi di dalam ekonomi yang dicerminkan oleh tanda
negatif di depan koefisien ‘r’. Persamaan (3.11) adalah pengeluaran pemerintah yang sifatnya
otonom: besar-kecilnya pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor lain (di
antaranya faktor politik) di luar model tersebut.

Demikian juga dengan persamaan (3.12), karena Indonesia adalah negara kecil dilihat
dari pangsa perdagangan luar negerinya di dalam jumlah volume perdagangan dunia, maka
pertumbuhan ekspor Indonesia lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal di luar pengaruh
Indonesia, seperti permintaan di negara-negara tujuan ekspor. Persamaan (3.13)
menggambarkan, bahwa impor ditentukan oleh tingkat pendapatan di dalam negeri, selain
juga oleh faktor otonom. Semakin tinggi pendapatan masyarakat di Indonesia, semakin besar
permintaan pasar dalam negeri terhadap impor, yang terdiri atas barang dan jasa untuk
keperluan konsumsi dan kegiatan proses produksi di dalam negeri.

Dari sisi penawaran agregat, pertumbuhan output bisa disebabkan oleh peningkatan
volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti tenaga kerja, modal (kapital),
tanah, faktor produksi terakhir ini khususnya penting bagi sektor pertanian), dan energi.

Pertumbuhan output juga bisa didorong oleh peningkatan produktivitas dari faktor-faktor
tersebut. Jadi, relasi antara output dengan faktor-faktor produksi dapat ditulis dalam suatu
fungsi sederhana sebagai berikut.

Q = f (X1,X2,X3, …….. Xn) (3.14)

Dimana: Q mewakili volume output dan X1,X2,………Xn adalah volume dari faktor-faktor
produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Tanda-tanda positif dibawah
setiap X, menandakan hubungan antara setiap faktor produksi tersebut dengan output adalah
positif: jika jumlah X1, meningkat, output juga meningkat.

3. Analisis empiris

a. Era Orde Baru: Indonesia Calon ‘ Macan Asia’ Baru ?

Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru


(sebelum terjadi krisis keuangan Asia 1997 / 1998), dapat dikatakan bahwa Indonesia telah
mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat
makro (agregat). Keberhasilan ini dianggap banyak kalangan sebagai prestasi paling besar
dari pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Bahkan, pencapaian
yang cemerlang ini sampai membuat Bank Dunia menobatkan Indonesia bersama-sama
dengan Malaysia dan Thailand sebagai “ Macan Asia” baru. Macan Asia yang sudah ada
waktu itu, di luar Jepang, Korea Selatan, Hong Kong (Menjadi HK-Cina, karena sudah
bagian negara Cina), Taiwan ( atau Cina-Taipei, karena Cina menganggapnya sebagai salah
satu provinsinya), dan Singapura.

Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah Indikator ekonomi makro. Dua di
antaranya yang umum digunakannnya adalah laju pertumbuhan PDB per tahun dan tingkat
PN per kapita. Sejak Tahun 1996, awal berdirinya orde baru atau sejak tahun 1969, awal dari
pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional yang ditandai dengan dimulainya pelaksanaan
Repelita I, hingga menjelang krisis keuangan Asia (1997-1998), laju pertumbuhan PDB
Indonesia rata-rata per tahun sekitar 7 persen hingga 8 persen. Prestasi ini membuat Indonesia
sebagai salah satu negara di ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.

Pada tahun 1968 PN per kapita masih sangat rendah, hanya sekitar 60 dolar AS.
Tingkat ini jauh lebih rendah dibandingkan PN dari NB lain pada saat itu, seperti India, Sri
Langka, dan Pakistan. Tetapi, sejak Repelita I dimulai (1969) PN Indonesia per kapita
mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun. Pada tahun 1970, setahun setelah
Repelita I dimulai, nilainya masih rendah walaupun jauh lebih besar dibandingkan pada tahun
1968, yaitu sekitar 300 dolar AS. Pada akhir tahun 1980-an PN per orang di Indonesia telah
mendekati 500 dolar AS, dan menjadi 800 dolar AS pada tahun 1993. Setahun sebelum krisis
Keuangan Asia muncul, PN per kapita di Indonesia telah mencapai sedikit di atas 1000 dolar
AS. Namun setelah itu, akibat krisis keuangan Asia tersebut, PN per kapita di Indonesia turun
dengan laju hampir mencapai 60% ke 670 dolar AS pada tahun 1997 dan 590 dolar AS pada
tahun 1998. Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia mulai Pulih dan PN per kapita mulai
menunjukkan tanda-tanda membaik kembali, yaitu sekitar 591 dolar AS pada tahun itu dan
740 dolar AS pada tahun 2000.

Laju kenaikkan PN per kapita yang terus-menerus selama era orde baru- sebelum
krisis keuangan Asia tersebut, dikarenakan pertumbuhan PDB yang juga berkesinambungan
dengan laju rata-rata per tahun mencapai antara minimum 7 persen dan maksimum 8 persen
selama dekade 1980-an. Kebijakan industrialiasi yang terapkan pada waktu itu diawali
dengan strategi substitusi impor dan pada tahun 1980-an diganti secara bertahap dengan
strategi promosi ekspor setelah membuat suatu perubahan yang signifikan di dalam struktur
ekonomi indonesia, yang umum disebut transformasi ekonomi, dari sebuah ekonomi berbasis
pertanian ke sebuah ekonomi berbasis industri. Karena Perubahan tersebutlah yang menjadi
motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan pendapatan per
kapita yang terus-menerus selama era orde baru.

Walaupun demikian, penjelasan di atas tersebut tidak mengatakan, bahwa selama


pembangunan ekonomi orde baru tidak ada sedikit pun masalah. Sebaliknya tahun 70an dan
80an proses pembangunan ekonomi di Indonesia mengalami cukup banyak goncangan yang
cukup serius, terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti merosotnya harga
minyak mentah dipasar internasional menjelang pertengahaan 1980-an dan resesi ekonomi
dunia pada dekade yang sama. Sejak pemerintahan orde baru, Indonesia menganut sistem
ekonomi terbuka, goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Resesi ekonomi dunia yang terutama disebabkan oleh rendahnya laju pertumbuhan
PDB atau PN di NM, yang secara bersama mendominasi perdagangan dunia, mengakibatkan
lemahnya permintaan dunia terhadap barang-barang ekspor dari Indonesia yang selanjutnya
dapat menyebakan defisit saldo neraca perdagangan.

Dampak negatif dari resisi ekonomi dunia tahun 1982 terhadap perekonomian
Indonesia, terutama terasa dalam laju pertumbuhan ekonomi yang selama 1982-1988 jauh
lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Beberapa negara dan ekononomi lain di
Asia, seperti Malaysia,Filipina,Cina-Taipei, dan Thailand juga mengalamai hal yang sama
Terkecuali di Filipina, merosotnya pertumbuhan ekonomi di Malaysia,Thailand, dan Cina-
Taipei lebih lambat dibandingkan di Indonesiam, karena memang ketiga negara tersebut
basisnya sudah lebih kuat dari pada fundamental ekonomi Indonesia.

Sejak pertengahan 1970-an, sektor industri dan ekspor manufaktur di negara-negara


tersebut sudah jauh lebih maju dibandingkan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa
biasanya resesi ekonomi dunia lebih mengakibatkan permintaan berkurang terhadap bahan-
bahan baku dari pada permintaan terhadap barang-barang konsumsi seperti alat-alat rumah
tangga dari elektronik dan mobil.

b. Era Reformasi Hingga Kabinet Kerja Jokowi

Sejak berakhir krisis keuangan Asia 1997-1998 hinga tahun 2014, Indonesia masih
dilanda krisis dua kali yang semuanya bersumber dari luar, yakni krisis ekonomi global pada
periode 2008-2009 yang berasal dari krisis keuangan di AS, dan krisis zona EURO pada
periode 2010-2012 yang disebabkan oleh krisis utang luar negeri (ULN) di sejumlah negara
anggota Uni Eropa (UE). Namun, berbeda dengan pengalaman sewaktu krisis keuangan Asia,
Selama dua krisis tersebut, Indonesia tetap bisa tumbuh positif. Bahkan, data dari Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan BPS menunjukkan laju pertumbuhan
PDB Indonesia cenderung terus meningkat tiap tahunnya, dari sekitar 3,3 persen pada tahun
2001 yang sempat merosot dibandingkan satu tahun sebelumnya ke 6,23 % pada tahun 2012.
Pada Triwulan II 2013 PDB tumbuh 5,62 % dibandingkan periode yang sama tahun 2012 dan
sedikit menurun ke 5,62% pada triwulan III 2013 dibandingkan periode yang sama tahun
lalu.

Peningkatan ini terjadi pada hampir semua sektor ekonomi, terkecuali sektor
pertambangan dan penggalian yang tercatat mengalami penurunan sebesar 0,38. Laju
pertumbuhan output tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar
10,23 persen, diikuti oleh sektor bangunan yang outputnya tumbuh 6,54 %, sektor listrik, gas
dan air bersih sebesar 6,52%, sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan yang tercatat
mencapai 6,16%, sektor jasa-jasa 5,81%, sektor industri pengolahan 5,16%, sektor
perdagangan, hotel dan restoran 4,59%, dan sektor pertanian, termasuk
peternakan,kehutanan,dan perikanan 3,30%.

Dari sisi AS sumber pertumbuhan PDB Indonesia untuk periode triwulan I-2014
paling besar dari industri pengolahan yang tercatat mencapai 1,31%, disusul pada posisi
kedua oleh sektor pengangkutan dan komunikasi dengan sumbangannya sebesar 1,07 %.

Dari sisi AD komponen pengeluaran konsumsi RT (C) selama ini merupakan bagian
tersebesar dari pembentukan atau pertumbuhan PDB nasional. Bukan hanya persentasenya
dari PDB paling besar tetapi nilainya juga naik setiap tahun atau setiap triwulan, baik atas
dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Komponen AD ini atas dasar harga
berlaku maupun atas dasar harga konstan.

c. Prospek 2014 ke Depan


Ditentukan secara stimulan oleh dua kelompok faktor, yakni faktor-faktor global dan
faktor-faktor dalam negeri. Kelompok faktor dalam negeri selanjutnya bisa dibagi dalam dua
sub-kelompok, yakni kebijakan fiskal,kebijakan moneter,kebijakan investasi,kebijakan
pengupahan,kebijakan harga,dan kebijak-kebijakan lainnya yang mempengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung kinerja dari perusahaan-perusahaan di dalam dan sub-
kelompok non-kebijakan.

d. Jebakan Pendapatan Menengah

Walaupun lambat, namun laju pertumbuhan PDB Indonesia berangsur-angsur naik,


yang pada tahun 2004 sudah mencapai di atas 5 % dan hingga saat ini tertinggi pernah
mencapai 6,5 persen pada tahun 2011.Bahkan, saat ini Indonesia sudah menjadi negara
dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah China.

Namun, Indonesia jebakan pendapatan menengah. Seperti banyak negara lainnya,


Indonesia selama ini menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil hingga
Indonesia masuk ke dalam kelompok negara-negara berpendapatan menengah versi Bank
Dunia.

B. Perubahan Struktur Ekonomi

Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB akan membawa


suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan
pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non-
primer, Khususnya Industri manufaktur dengan increasing returns to scale (relasi positif
antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai motor
utama penggerak pertumbuhan ekonomi.

Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi, pada umumnya disebut


transformasi struktural, dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahaan yang
saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar
negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.

1. Sumber-Sumber Perubahan

Perubahaan struktur ekonomi berbarengan dengan pertumbuhan PDB yang


merupakan total pertumbuhan nilai tambah bruto (NTB) dari semua sektor ekonomi
dapat dijelaskan sebagai berikut. Dengan memakai persamaan (3.7), dimisalkan di
suatu ekonomi hanya ada dua sektor, yaitu industri dan pertanian dengan NTB
masing-masing, yaitu NTB1 dan NTBp yang membentuk PDB:

PDB = NTB1 + NTBp (3.7)

Atau
I= [a(t)I + a(t)p] PDB (3.15)

Di mana: a(t)i dan a(t)p adalah pangsa PDB masing-masing dari industri dan
pertanian: t menunjukkan periode. Pada tahap awal pembangunan (t=0), sebelum
industrialisasi dimulai atau sektor industri belum berkembang: a(0)i < a(0)p. Dalam
proses pembangunan terjadi transformasi ekonomi, di mana pangsa PDB dari sektor
industri meningkat dan dari sektor pertanian menurun. Pada tahap akhir pembagunan
ekonomi (t=1):a(1)p, dimana a(1)i > a(0)p dan a(1)p < a(0)p.

Menurut Chenery (1992), proses transformasi struktural akan mencapai


tarafnya yang paling cepat bila pergeseran pola permintaan domestik ke arah output
industri manufaktur diperkuat oleh perubahan yang serupa dalam komposisi
perdagangan luar negeri atau ekspor sebagaimana yang terjadi di kelompok NIC,
seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong-Cina. Struktural, Relasi
antara pertumbuhan output di sektor industri manufaktur, pola perubahaan permintaan
domestik ke arah output industri dan pola perubahan perdagangan luar negeri dapat
digambarkan dalam suatu persamaan sederhana berikut :

Yi = Di + (Xi – Mi) + ∑jYij (3.16)

Dimana :

Yi = jumlah output bruto dari industri manufaktur

Di = permintaan domestik terhadap produk akhir ( konsumsi plus investasi) dari industri
manufaktur

(Xi-Mi) = volume perdagangan neto (ekspor minus impir produk kompetitif)

∑jYij = pengunaan produk industri manufaktur sebagai barang jasa sebagai barang antar oleh
sektor j

2. Analisis Empiris

Kalau dilihat sejak awal era pemerintahan orde baru hingga sekarang, dapat dikatakan

bahwa proses perubahan struktural ekonomi Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1970, nilai
output atau nilai tambah bruto (NTB) dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan menyumbang sekitar 45% terhadap pembentukan PDB, dan pada dekade 1990-an
sudah di bawah 20%. Sedangkan Sumbangan output dari industri pengolahan terhadap
pembentukan PDB terus mengalami peningkatan setiap tahun yang pada tahun 2006 tercatat
sudah mencapai sekitar 28%. Perkembangan ini jelas mencerminkan ekonomi nasional telah
mengalami suatu perubahan secara struktural dalam 3 dekade belakangan ini yang cenderung
akan berlangsung terus.

Anda mungkin juga menyukai