Anda di halaman 1dari 26

BAB V

PERTOLONGAN PERTAMA PADA GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI


WANITA

5.1 Luka Pada Alat Genitalia


5.1.1 Perlukaan Akibat Persalinan
Perlukaan jalan lahir karena persalinan dapat mengenai vulva, vagina dan uterus.
Jenis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang
disertai pendarahan hebat.
a. Vagina
Perlukaan pada dinding depan vagina terjadi disekitar orifisium uretra dan
klitoris. Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri atau mirip lanjutan
robekan perineum. Robekan vagina 1/3 bagian atas ummnya mirip lanjutan
robekan serviks uteri.
Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang
berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Kadang-kadang robekan
lebar terjadi akibat ekstraksi dengan forceps.
Untuk menilai keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan pemeriksaan
dengan spekulum. Pendarahan pada keadaan ini umumnya adalah pendarahan
artevial, sehingga harus segera dijahit.
b. Perineum
Tempat yang paling sering mengalami perlukaan akibat persalinan ialah
perineum. Tingkat perlukaan pada perineum dapat dibagi dalam:
1) Tingkat I: perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit
perineum
2) Tingkat II: melukai fasia dan otot-otot diafragma urogenital
3) Tingkat III: menyebabkan muskulus sfingter ani enternus terluka di depan
perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani, dapat
terjadi tanpa luka pada kulit perineium atau pada vagina, sehingga tidak
kelihatan dari luar. Perlukan demikian dapat melemahkan dasar panggul,
sehingga mudah terjadi prolapsus genitalis. Robekan perineum dapat
mengakibatkan pula robekan jaringan pararektal, sehingga rektum terlepas
dari jaringan sekitarnya.
Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat
artevial atau yang merembes.
a) Pada perlukaan tingkat I, bila hanya ada luka lecet, diperlukan
penjahitan.
b) Pada perlukaan tingkat II, hendaknya luka dijahit secara cermat.
Lapisan otot dijahit simpul dengan Catgut no.0 atau 00, dengan
mencegah terjadinya ruang mati. Adanya ruang mati antara jahitan-
jahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang.
Pada perlukaan tingkat III memerlukan teknik penjahitan khusus.
Langkah pertama yang terpenting adalah menemukan kedua ujung
muskulus sfingter ani ekstermus yang terputus. Pada perlukaan tingkat
III yang tidak dijahit dapat terjadi inkontinensia alvi. Perlukaan pada
perineum sebenarnya dapat dicegah atau dijadikan sekecil mungkin
perlukaan ini umumnya terjadi pada saat lahirnya kepala. Oleh karena
itu keterampilan melahirkan kepala janin sangat menentukan sampai
seberapa jauh terjadi perlukaan pada perineum. Untuk mencegah
terjadinya perlukaan perineum yang tidak terarah dan tidak teratur
dianjurkan melakukan episiotomi. (Thoman AA, dkk. 2010)
c. Serviks Uteri
Robekan serviks bisa menimbulkan pendarahan banyak, khususnya bila jauh
ke lateral sebab di tempat itu terdapat ramus desendens dari arteria uterina.
Perlukaan pada serviks uteri sering diakibatkan oleh tindakan-tindakan pada
persalinan buatan dengan pembukaan yang belum lengkap. Selain itu,
penyebab lain robekan serviks ialah partus presipitatus. Pada partus ini
kontraksi rahim kuat dan sering sehingga janin di dorong keluar, kadang-
kadang sebelum pembukaan lengkap.
d. Korpus Uteri
Perlukaan yang paling berat pada waktu persalinan adalah robekan uterus.
Lokasi robekan dapat korpus uteri atau segmen bawah uterus. Robekan bisa
terjasi pada tempat yang lemah pada dinding uterus, misalnya pada parut bekas
seksio sesarea atau bekas miomektomi.
Secara anatomik, robekan uterus dapat di bagi dalam 2 jenis yaitu:
1) Robekan inkomplet: mengenai endometrium dan miometrium tetapi
perimetrium masih utuh.
2) Robekan komplet: mengenai endometrium, miometrium, perimetrium
sehingga terjadi hubungan langsung antara karum uteri dan rongga perut.
Robekan uterus komplet menyebabkan gejala-gejala yang khas ketika
persalian berlangsung yaitu nyeri perut mendadak, anemia, syok, dan
hilangnya kontraksi. Gejala robekan uterus inkomplet umumnya lebih
ringan. Pada waktu selesai persalinan, bila penderita pucat dan kelihatan
dalam syok, sedang perdarahan keluar tidak banyak, apabila diraba tumor
di parametrium, maka pada keadaan ini patut dicurigai adanya robekan
uterus inkomplet. Untuk lebih memastikan hal ini, dianjurkan melakukan
ekplorasi dengan memisahkan tangan didalam rongga uterus.Penanganan
pada robekan uterus ialah pemberian transfusi darah segera, kemudian
laparotomi, jenis opersi yang dilakukan ialah penjahitan luka pada dinding
uterus atau pengangkatan uterus. (Thoman AA, dkk.2010)
e. Nekrosis Jalan Lahir Akibat Tekanan Pada Persalinan Lama
Pada waktu berlangsungnya persalinan, bila kepala janin sudah masuk kedalam
ronggga tengah panggul, kandung kencing dan uretra mengalami tekanan oleh
kepala janin tersebut. Apabila tekanan berlangsung lama, vagina serta dasar
kandung kencing yang tertekan mengalami iskhemia dan akhirnya terjadinya
nekrosis.
5.1.2 Perlukaan Akibat Koitus
Perlukaan yang terjasi pada koitus pertama ialah robeknya selaput hymen.
Robekan selaput hymen biasanya terjasi pada dinding belakang dan menimbulkan
perdarahan sedikit, yang kemudian akan berhenti secara apontan. Pada keadaan
tertentu perlukaan akibat koitusdapat lebih berat. Koitus yang dilakukan secara
kasar dan keras-keras akan menimbulkan perlukaan-perlukaan vulva dan vagina
sehingga menimbulkan perdarahan.
5.1.3 Perlakuan Akibat Pembedahan Ginekologik
Perlukaan alat di dalam pelvis pada waktu pembedahan ginekologik terjadi bila
melakukan pembedahan ginekologik pada alat-alat genital.
a. Perlukaan Ureter
Letak ureter yang dekat dengan genitalia interna menyebabkan saluran kencing
itu mudah mengalami perlukaan pada waktu pembedahan ginekologik,
terutama jika lokasi ureter berubah karena desakan tumor.
Ada lima tempat di dalam panggul, dimana ureter mudah mengalami
perlukaan.
1) Pertama, di tempat ureter memasuki ruang panggul dan menyilang di atas
percabangan dengan arteri iliaka.
2) Kedua, pada vasa ovarika di mana ureter berada dekat dengan alat adneks.
3) Ketiga, di dalam ligamentum latum.
4) Keempat, pada tempat yang dekat dengan serviks bagian atas.
5) Kelima, pada fase 4 ureter mulai masuk ke dalam kandung kencing.
5.1.4 Perlukaan Akibat Trauma Aksidental
Perlukaan langsung pada alat-alat genital terjadi akibat patah tulang panggul, atau
akibat jatuh duduk dengan genitalia eksterna kena suatu benda.
a. Hematoma
Bentuk perlukaan yang paling sering terjadi ialah hematoma pada vulva.
Terdapatnya hematoma yang tampak kecil dari luar belum berarti bahwa
bekuan darah di dalamnya sedikit. Perdarahan dapat menjalar sekitar vagina
dan mengumpul di dalam ligamentum latum. Bila banyak darah terkumpul
dalam hematoma, dapat timbul gejala-gejala syok dan anemia, kulit permukaan
hematoma berwarna kebiru-biruan, mengkilat, tipis, dan mudah robek.
b. Perlukaan
perlukaan pada vagina dan vulva terjadi bila alat-alat tersebut terkena secara
langsung.
5.1.5 Perlukaan Akibat Benda Asing
Seringkali penderita dengan psikopatia seksualis memasukan benda-benda ke
dalam vagina atau uretra. Benda asing ini tetap tinggal karena kelupaan atau
karena memang penderita sengaja tidak mengeluarkannya. Pesarium yang
dipasang untuk prolapsus uteri dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan.
5.1.6 Perlukaan Akibat Bahan Kimia
Perlukaan vulva dan vagina berupa luka-luka bakar dapat disebabkan oleh:
a. Pembilasan dengan cairan yang sangat panas
b. Kesalahan teknik dalam pemakaian elektrokauter
c. Bahan-bahan kimiawi
Pembilasan dengan cairan yang sangat panas menimbulkan luka bakar yang
superfisial, yang kemudian dapat menyebabkan terlepasnya kulit dan mukosa
sehingga terdapat ulkus.
Pemakaian elektrokauter untuk pengobatan erosio dan porsio uteri, jika kurang
hati-hati dapat menyebabkan stenosis atau atresia pada ostiumuteri eksternum.
Vulva dan vagina yang terkena bahan-bahan kimia yang keras menimbulkan
gejala-gejala luka bakar. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan perlukaan
dalam hal ini ialah bahan-bahan asam yang terbagi dalam 2 jenis:
a. Bahan asam Anorganik, misal. Asam sulfat, asam nitrat, asam klorida
b. Bahan asam organik, misal, asam oksalat, dan asam asetat.
Asam anorganik, bila dimasukan ke dalam vagina sangat berbahaya karena
mempunyai daya korosif yang sangat kuat. Akibat pemakaiannya ialah perlukaan
yang parah pada vagina dan serviks uteri. Asam organik umumnya mempunyai
daya korosif yang kurang kuat, tetapi dapat menimbulkan gangguan dalam
pembekuan darah.
5.1.7 Kelainan dalam letak alat-alat genetalia
a. Vulva dan Vagina
1) Kelainan bawaan
Atresia vulva dalam bentuk atresia himenalis yang menyebabkan
hematokolpos, hematometra dan atresia vagina dapat menghalangi konsepsi.
Kelainan vagina yang cukup sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan
adalah septum vagina terutama vertika longitudinal.
Septum yang lengkap sangat jarang menyebabkan distosia karena
separoh vagina yang harus dilewati oleh janin biasanya cukup melebar sewaktu
kepala lahir. Akan tetapi septum yang tidak lengkap kadang kadang
menghambat turunnya kepala. Striktur vagina yang kongenital biasanya tidak
menghalngi turunnya kepala, akan tetapi yang disebabkan oleh parut akibat
perlukaan dapat menyebabkan distosia.
2) Varises
Wanita hamil sering mengeluh melebarnya pembuluh darah di tungkai,
vagina, vulva dan wasir serta menghilang setelah anak lahir. Hal ini karena
reaksi sistem vena terutama dinding pembuluh darah seperti otot-otot ditempat
lain melemah akibat pengaruh hormon steroid. Bahaya varises dalam
kehamilan dan persalinan adalah bila pecah dapat berakibat fatal dan dapat
pula terjadi emboli udara. Varises yang pecah harus dijahit baik dalam
kehamilan maupun setelah lahir.
3) Edema
Edema vulva sebagai bendungan lokal atau bagian dari edema umum pada
malnutrisi atau preeklamsia. Pengobatan harus pada penyakit primernya.
Edema dapat juga terjadi pada persalinan dengan dispoporsi sefalopelvik atau
wanita mengejan terlampau lama.
4) Hematoma
Pembuluh darah pecah sehingga hematoma di jaringan ikat yang
renggang di vulva, sekitar vagina atau ligamentum latum. Hematoma vulva
dapat juga terjadi karena trauma misalanya jatuh terduduk pada tempat yang
keras atau koitus yang kasar. Bila hematom kecil resorbsi sendiri, bila besar
harus insisi dan bekuan darah dikeluarkan.
5) Peradangan
Peradangan vulva sering bersamaan dengan peradangan vagina dan
dapat terjadi akibat infeksi spesifik.seperti sifilis, gonorea, trikomoniasis,
kandidasis dan amebbiasis dan infeksi tidak spesifik seperti eksema, diabetes
melitus,bartolinitis, abses, dan kista bartolini. Sifilis disebabkan oleh
Troponema pallidum. Luka primer di vulva sering tidak disadari penderita
dalam stadium 2 dijumpai kondilomata lata yaitu tonjolan kulit lebar-lebar
dengan permukaan licin basah warna putih atau kelabu dan sangat infeksius
wanita hamil fluor albus harus diperiksa kemungkinan lues disamping
pemeriksaan gonorea, trikomoniasis dan kandiddiasis.( Manuaba,1998)
Gonorea dapat menyebabkan vulvovaginitis dalam kehamilan dengan
keluhan fluor albus dan disuria. Bayi yang lahir dari ibu penderita gonorea
dapat mengalami blenorea neonatorum. Trikomoniasis vaginalis disebabkan
oleh parasit golongan protozoa menimbulkan gejala fluor albus dan gatal.
Pasangan pria dapat ditulari melalui persetubuhan dan sebaliknya ia dapat
menulari pasangan wanita. Penularan dapat juga terjadi melalui handuk.
Metronidazole sejak lama merupakan obat yang ampuh baik vaginal maupun
peroral. Karena trikhomonas vaginalis termasuk golongan protozoa seperti
amoeba dan malaria maka dapat juga diobati dengan derivat kinin.Kandidiasis
disebabkan oleh jamur kandida albicans dengan keluhan utama gatal di vulva
dan introitus vagina dengan atau tanpa disertai fluor albus. Diabetes dalam
kehamilan merupakan faktor predisposisi terjadinya kandidiasis. Sejak dulu
diobati dengan larutan gentian violet 1-2% sebaiknya setiap hari sekurang-
kurangnya 2 kali seminggu. Sekarang dipakai fungisid myconazole dalam
bentuk salap. (Manuaba,1998)
Amoebiasis infeksi vagina dengan entamoeba histolytica dengan
keluhan keputihan, nyeri waktu coitus, pada pemeriksaan didapat ulkus-ulkus
warna merah dan mudah bedarah. Terapi dengan suntikan emetin 30-45 mg/hr
selama 5-6 hari bersama dengan terapi lokal obat anti amoeba. Eksema
mengganggu penderia karena gatal kadang-kadang vulva jadi basah. Alergi
kulit menjadi lebih nyata dalam kehamilan dapat diobati anti histamin atau
kortikosteroid.
Diabetes melitus dapat menyebabkan pruritus dalam kehamialn.
Pruritus ini harus diobati penyakit primernya. Peradangan mendadak kista
bartolini biasanya oleh gonokokus. Ada kalanya bartholinitis menjadi abses
karena saluran kelenjar tertutup dan berlangsung proses pernanahan di dalam
kelenjar dan harus disembuhkan sebelum persalinan. Kista kecil dan tidak
menggangu dibiarkan saja dalam kehamilan dan baru diangkat kira-kira 3
bulan setelah persalinan.
6) Kondilomata akuminata
Merupakan pertumbuhan pada kulit atau selaput lendir yang
menyerupai jegger ayam jago. Berlainan dengan kondiloma latum permukaan
kasar papiler, tonjolan lebih tinggi, warnanya lebih gelap. Sebaiknya diobati
sebelum bersalin. Banyak penulis menganjurkan eksisi dengan elektrocauter
atau dengan tingtura podofillin. Kemungkinan residif selalu ada lebih lebih
penyebab rangsangan tidak diberantas lebih dahulu atau penyakit primernya
kambuh.
7) Fistula
Fistula vesikovaginal atau fistula rectovaginal biasanya terjadi waktu
bersalin baik sebagai tindakan operatif maupun akibat nekrosis tekanan.
Tekanan lama antara kepala dan tulang panggul gangguan sirkulasi sehingga
terjadi kematian jaringan lokal dalam 5-10 hr lepas dan terjadi lubang.
Akibatnya terjadi inkotinensia urin dan ikontinensia alvi. Fistula kecil yang
tidak disertai infeksi dapat sembuh dangan sendirinya. Fistula yang sudah
tertutup merupakan kontraindikasi pervaginam.
8) Kista vagina
Kista vagina berasal dari duktus Gartner atau duktus Muller. Letak
lateral dalam vagina bagian proksimal, ditengah, distal dibawah orifisium
uretra eksternum. Bila kecil dan tidak ada keluhan dibiarkan tapi bila besar
dilakukan pembedahan. Marsupialisasi sebaiknya 3 bulan setelah lahir.
9) Pintu vagina yang lemah
Dalam kehamilan, dinding depan atau dinding belakang vagina dapat
menonjol keluar dari vulva dan dapat menyebabkan sakit pinggan dan perasaan
turun. Dalam kehamilan keadaan ini tidak dapat diobati, tetapi tirah baring
dapat mengurangi keluhan – keluhan.
10) Tumor vagina
Kadang – kadang ada tumor didalam vagina, biasanya berupa kista
(berasal dari saluran Gartner atau Muller). Kista ini sedapat – dapatnya harus
diekstirpasi tetapi kalau tidak mungkin dan terutama kalau mengganggu
kemajuan persalinan maka dapat di punksi.
11) Karsinoma Cerviks
Karsinoma cerviks menimbulkan fluor berbau busuk biasanya
bercampur dengan darah, perdarahan kontak ialah perdarahan pada
persetubuhan atau buang air besar dan sering juga menimbulkan perasaan gatal
pada kemaluan luar.Pada toucher teraba tukak atau tumor pada cerviks yang
rapuh dan mudah berdarah. Pada pemeriksaan in speculo tukak atau tumor
pada cerviks dapat dilihat dan perlu dibuat eksisi percobaan untuk diagnosa
pasti. Diagnosa dini dibuat dengan pemeriksaan Papa nicolaou.
(Manuaba,1998)
Pengobatan : Jika kehamilan masih muda, maka diberi penyinaran.
Biasanya karena penyinaran ini terjadi abortus, tetapi kalau dalam 4 minggu
belum juga terjadi abortus maka anak harus dikeluarkan dengan hysteretomi
abdominal karena anak akan cacat oleh pengaruh sinar Rontgen.Jika kehamilan
sudah besar, agar anak dapat hidup di dunia luar maka anak akan dilahirkan
dengan SC. Persalinan per vaginam tidak dibenarkan, mengingat kesukaran
dilatasi cerviks dan kemungkinan perdarahan. Penyinaran dimulai 1 – 2
minggu setelah SC. (Manuaba,1998)
b. Uterus
1) Kelainan bawaan uterus
Secara embriologis uterus, vagina, servik dibentuk dari kedua duktus
muller yang dalam pertumbuhan mudigah mengalami proses penyatuan.
Kelaina bawaan dapat terjadi akibat gangguan dalam penyatuan, dalam
berkembangnya kedua saluaran muller dan dalam kanalisasi. Uterus didelfis
atau uterus duplek terjadi apabila kedua saluaran muller berkembang sendiri-
sendiri tanpa penyatuan sedikitpun sehingga terdapat 2 saluran telur, 2 servik
dan 2 vagina. Uterus subseptus terdiri atas 1 korpus uteri dengan septum yang
tidak lengkap, 1 servik, 1 vagina cavum uteri kanan dan kiri terpisah secara
tidak lengkap. Uterus arkuatus hanya mempunyai cekungan di fundus uteri,
kelainan ini paling ringan dan sering dijumpai. Uterus bikornis unilateral
rudimentarius terdiri atas 1 uterus dan disampingnya terdapat tanduk lain.
Uterus unikornis terdiri atas 1 uterus, 1 servik yang berkembang dari satu
saluran kanan dan kiri. Kelainan ini dapat menyebabkan abortus, kehamilan
ektopik dan kelainan letak janin. (Manuaba,1998)
2) Kelainan pertumbuhan uterus
Alat kandungan terbentuk dari saluran Muller kanan dan kiri yang pada
ujungnya bersatu akan membentuk vagina bagian atas dan uterus, sedangkan
bagian yang tetap terpisah akan menjadi tuba. Gangguan pertumbuhan saluran
Muller dapat menimbulkan aplasi atau hipoplasi alat kandungan, sedangkan
gangguan persatuan saluran Muller menimbulkan berbagai kelainan dari alat
kandungan.
a) Uterus duplex
Jika terjadi kehamilan pada salah satu bagian uterus, maka
bagian yang lain akan ikut membesar. Karena lapisan otot kurang tebal
maka dapat terjadi kelemahan His dan ruptur uteri. Bagian uterus yang
ikut membesar itu dapat menghalangi jalan lahir.
b) Uterus bicornis
Sering ditemukan letak sungsang yang tak dapat diversi.
Mungkin terjadi abortus dan partus praematurus. Pada uterus bicornis,
pembukaan dapat terganggu oleh bagian uterus yang membesar; kornu
yang kosong ikut membesar dan dapat merupakan tumor yang
menghalangi jalan lahir. Mungkin terjadi inertia uteri dan ruptur uteri.
c) Uterus subseptus
Dapat menyebabkan letak lintang yang tak dapat diversi. Kalau
placenta melekat pada septum maka disebut placenta accreta. Uterus
subseptus dapat juga menjadi sebab abortus (habitualis).
d) Uterus arcuatus
Uterus arcuatus dapat menyebabkan letak lintang.
e) Uterus bicornis dengan kornu yang rudimenter
Dapat terjadi kehamilan dalam kornu yang rudimenter yang
sifat – sifatnya kehamilan ektopic. Kehamilan ini terjadi dengan
migratio eksterna. Biasanya terjadi ruptur dari kornu setetlah bulan
ketiga. Pada operasi, kornu yang rudimenter ini sebaiknya diekstirpasi.
3) Kelainan letak uterus
a) Anteversio uteri
Kelainan letak pada uterus ke depan dijumpai pada perut
gantung. Perut gantung terdapat pada multipara karena melemahnya
dinding perut, terutama multipara gemuk, hal ini menghalangi
masuknya kepala ke dalam panggul, pembukaan tidak lancar. Dalam
persalinan tidur telentang, setiap ada his fundus dorong ke atas.
b) Retrofleksio uteri
Retroflexi uteri sering dijumpai pada wanita Indonesia dan tidak usah
kita anggap sebagai hal yang patologis. Kalau terjadi kehamilan maka
beberapa kemungkinan yang terjadi adalah :
(1). Biasanya retroflexi terkoreksi secara spontan
(2). Terjadi abortus
(3). Terjadi inkarserasi dari rahim yang terus membesar didalam rongga
panggul kecil : retroflexio uteri gravidi inkarserata.
c) Prolap uteri
Prolapsus uteri adalah Keadaan dimana turunnya uterus melalui
hiatus genitalis yang disebabkan kelemahan ligamen-ligamen, fasia
endopelvik danotot dasar panggul yang menyokong uterus.
Turunya uterus dari tempat biasa disebut desensus uteri atau
prolap uteri.Terbagi dalam 3 tingkat:
(1). Tingkat 1 bila servik belum keluar dari vulva
(2). Tingkat 2 bila servik sudah keluar vulva tapi corpus belum
(3). Tingkat 3 bila korpus uteri sudah berada di luar vulva
Kehamilan dapat terjadi pada prolap tingkat 1 dan 2. Jika uterus
dengan prolapsus parsialis menjadi hamil, maka biasanya uterus yang
membesar itu keluar dari rongga kecil dan terus tumbuh di dalam
rongga perut. Jika uterus naik, maka cervix akan ikut tertarik ke atas
hingga prolapsus tidak nampak lagi atau berkurang. Jika uterus tidak
keluar dari rongga panggul, maka akan terjadi inkaserasi yang
menimbulkan abortus. Jika ada prolapsus dalam kehamilan, maka
sebaiknya uterus ditahan dengan pessarium sampai bulan ke-4. Namun,
bila dasar panggul terlalu lemah hingga pessarium terus jatuh maka
pasien dianjurkan tirah baring sampai bulan ke-4.
d) Elongatio Colli (Cervix Yang Panjang)
Cervix yang panjang menyulitkan kehamilan, namun biasanya tidak
mengganggu persalinan.
e) Myoma Uteri
Adalah tumor jinak dari otot-otot rahim. Pengaruh myoma adalah
sebagai berikut :
(1). Mengurangi kemungkinan kehamilan karena endometrium kurang baik.
(2). Kemungkinan abortus lebih besar.
(3). Dalam kehamilan, myoma kadang sangat membesar hingga menekan
alat-alat sekitarnya.
(4). Dapat menimbulkan kelainan letak.
(5). Dapat menyebabkan plasenta praefia, dan plasenta accreta.
(6). Dapat menimbulkan inertia uteri.
(7). Jika letaknya dekat cervix dapat mengganggu jalan lahir.
Pengaruh kehamilan pada myoma. Pada kehamilan biasanya
myoma membesar, pada masa post-partum dapat terjadi degenerasi merah,
infeksi, dan nekrosis myoma.
Pengobatannya
Sebisa mungkin dilakukan tindakan konservatif, karena tindakan
enukleasi myoma pada kehamilan sangat berbahaya yang dapat
menimbulkan perdarahan hebat dan abortus. Jika akan dilakukan tindakan
enukleasi sebaiknya ditunda setelah masa nifas. Operasi terpaksa dilakukan
jika ada penyulit-penyulit yang menimbulkan gejala-gejala akut atau
kerana myoma sangat membesar. Jika myoma mengahalangi jalan lahir
dilakukan SC, dan bila perlu disusul dengan histerektomi.
c. Ovarium
1) Cystoma Ovarii
Pengaruhnya pada kehamilan dan persalinan adalah:
a) Abortus
b) Dapat terjadi torsi tumor
c) Dapat minumbulkan kelainan letak
d) Dapat menghalangi jalan lahir
Lebih mudah didiagnosa pada kehamilan muda, sedangkan jika
uterus sudah sangat besar diagnosa sulit dilakukan, bahkan kadang baru
diketahui adanya kista setelah persalinan. Mengingat penyulit-penyulit
yang mungkin timbul dan kemungkinan keguguran, maka sebaiknya
kistoma ovarii dioperasi walaupun penderita hamil. Karena adanya
kemungkinan korpus luteum graviditas ikut terangkat, hingga terjadi
abortus, maka sebaiknya operasi ditunda sampai bulan ke-4, karena pada
bulan ke-4 faal korpus luteum telah diambil alih oleh plasenta. Dan untuk
memperkecil kemungkinan abortus sebelum dan sesudah operasi ibu diberi
progesteron (25 mg IM / hari). Jika tumor ini baru ditemukan pada hamil
tua, operasi ditunda sampai sesudah persalinan, karena luka operasi yang
baru sembuh dapat mengganggu kekuatan mengejan. Jika tumor
menghalangi jalan lahir dilakukan SC, dan sekaligus dilakukan
pengangkatan tumor. Dalam keadaan darurat misalnya karena tidak
mungkin melakukan operasi, maka kista yang menghalangi jalan lahir
dapat dipunksi untuk menghindari ruptur uteri. (Manuaba,1998)
2) Tuba
Telah diketahui bersama bahwa patensi tuba mutlak untuk
pembuahan. Kelainan pada tuba seperti peradangan atau tumor hampir
tidak memungkinkan hamil. Apabila terjadi kehamilan juga akan
menghasilkan kehamilan luar uterus, yang biasanya terganggu pada
kehamilan muda.
3) Tumor Ovarium
Tumor ovarium baik kecil maupun besar, kistik atau padat, jinak
atau ganas mempunyai arti obstetrik yang lebih penting daripada tumor
tumor lain. Dalam kehamilan tumor ovarium jarang dijumpai, yang paling
sering kista dermoid.Komplikasi yang paling sering dan berbahaya adalah
torsi yang menyebabkan nekrosis jaringan dan infeksi dengan gejala gejala
sakit perut mendadak. Kista dapat pecah karena trauma dan pengakhiran
persalinan. Pada masa nifas juga berbahaya karena pengecilan rahim
memperbesar kemungkinan torsi.
Diagnosis
Sering tumor kecil diketahui apabila diperiksa secara bimanual
dalam kehamilan muda. Tumor yang mengisi rongga panggul mudah
dikenal dalam persalinan apabila dilakukan pemeriksaan dalam.
Penanganan
Dalam kehamilan tumor ovarium yang lebih besar telor angsa harus
dikeluarkan karena:
1) Kemungkinan keganasan
2) Kemungkinan torsi
3) Kemungkinan menimbulkan komplikasi obstetrik yang gawat
Triwulan pertama, pengangkatan tumor sebaiknya ditunda sampai 16
minggu. Operasi paling baik antara 16-20 mg. Operasi pada kehamilan
muda dapat disusul oleh abortus apabila korpus luteum graviditatis yang
menghasilkan prosgesteron ikut terangkat. Pada kehamilan lebih 16
minggu plasenta sudah terbentuk sehingga fungsi corpus luteum diambil
alih plasenta dan produksi progesteron berlangsung terus, pada kehamilan
> 20 mg teknik lebih sulit sehingga rangsangan mekanis pada uterus sulit
dihindarkan sehingga dapat terjadi partus prematurus. Bila tumor
diketahui pada kehamilan tua dan tidak menyebabkan penyulit obstetrik
atau gejala gejala akut, atau tidak mencurigakan akan mengganas dapat
ditunggu partus spontan. Operasi dapat dilakukan dalam masa nifas. Lain
halnya dengan tumor yang dianggap ganas atau yang disertai gejala-gejala
akut. Dalam hal ini operasi harus segera dilakukan tanpa menghiraukan
usia kehamilan. (FitzGerald MP dkk. 2007)
5.1.8 Permasalahan dalam system urologi
a. Infeksi Saluran Kencing
Infeksi pada saluran kencing selama kehamilan bisa menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan untuk ibu dan fetus. Secara
keseluruhan, infeksi saluran kencing biasa terjadi pada kehamilan, dengan
prevalensi 4-7%, yang bermanifestasi sebagai bakteriuria asimtomatik, cystitis
akut, atau pyelonefritis akut. Meskipun insiden infeksi saluran kencing pada
ibu hamil dan tidak hamil hampir sama, risiko untuk berkembang menjadi
pyelonefritis akut lebih besar pada ibu hamil.
b. Bakteriuria Asimtomatik dan Cystitis Akut
Karena adanya risiko pyelonefritis akut yang berhubungan dengan
komplikasi pada ibu dan fetus, beberapa guideline akhir-akhir ini
merekomendasikan untuk semua ibu hamil agar melakukan screening kurang
lebih pada 16 minggu kehamilan untuk bakteriuria. Asymptomatic bacteriuria
adalah adanya > 105 colony forming unit (CFU) single pathogen per milliliter
urine dari spesimen yang dikumpulkan secara tepat tanpa adanya gejala awal.
Bagaimanapun, jumlah bakterial serendah 102 CFU juga harus diperhatikan
pada ibu hamil dan harus diterapi secara tepat. Patogen saluran kencing pada
wanita hamil serupa dengan patogen pada wanita yang tidak hamil:
Escherichia coli yang paling sering, diikuti dengan Klebsiella, dan
Enterobacter. (Loughlin KR, dkk. 2004)
Acut cystitis terjadi kurang lebih 1-2% pada wanita hamil. Laju
perkembangan dari asymptomatic bacteriuria menjadi symptomatic infection
3-4 kali lebih tinggi pada wanita hamil, yang disebabkan oleh perubahan
anatomi dan fisiologi genitourinari yang berhubungan dengan kehamilan.
Gejala frequency dan urgency juga sering terjadi selama kehamilan, yang
membuat gejala dan tanda klinis dari infeksi saluran kencing pada wanita
hamil menjadi kurang jelas. Terapi cystitis akut dan asymptomatic bacteriuria
adalah sama yaitu antibiotik oral selama 3-7 hari. Melakukan kultur juga
penting untuk meyakinkan terapi yang diberikan sudah adekuat dan
mengeluarkan adanya kemungkinan infeksi berulang atau persisten. Terapi
antibiotik profilaksis dosis rendah, seperti 50-100 mg nitrofurantoin setiap hari
bisa dipertimbangkan setelah terapi awal. (Loughlin KR, dkk. 2004)
c. Pyelonefritis Akut
Pyelonefritis akut terjadi pada 1-4% wanita hamil, dan lebih dari 20-40%
wanita dengan asymptomatic bacteriuria yang tidak terawat akan berkembang
menjadi pyelonefritis. Kebanyakan kasus pyelonefritis akut terjadi pada
trimester ketiga, ketika hidronefrosis fisiologikal dan urine stasis terjadi.
Bagaimanapun, terapi bakteriuria yang dilakukan sesegera mungkin dapat
menurunkan insiden pyelonefritis akut sebanyak 90%. Gejala pyelonefritis
akut pada wanita hamil serupa dengan yang terjadi pada wanita yang tidak
sedang hamil, seperti demam, menggigil, mual, emesis, dan nyeri tekan pada
costovertebral angle. Lebih dari itu, pyelonefritis akut pada wanita hamil
dapat menyebabkan terjadinya anemia, gagal ginjal, acute respiratory distress
syndrome, dan atau sepsis pada ibu, yang dapat mengarah ke prematuritas,
berat badan lahir rendah, atau mortalitas fetal. Karena adanya risiko
morbiditas dan mortalitas ini, pyelonefritis akut harus didiagnosis dan diterapi
secara cepat. (Loughlin KR, dkk. 2004)
Wanita hamil yang menderita pyelonefritis akut sering memerlukan
perawatan di rumah sakit dan memerlukan terapi dengan antibiotik parenteral.
Terapi awal harus meliputi antibiotik berspektrum luas seperti ampisilin
dengan gentamisin atau sefalosporin. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga
dapat juga diberikan sebagai terapi antibiotik tunggal. Setelah memberikan
respon dengan terapi parenteral, pasien dapat dipulangkan dengan pemberian
antibiotik oral selama 2 minggu berikutnya. Pasien dengan infeksi saluran
kencing yang berulang harus diterapi dengan antibiotik profilaksis berdosis
rendah. Dengan demikian, penting sekali bagi kita untuk
mengimplementasikan program screening untuk mendeteksi dan menterapi
sedini mungkin asymptomatic bacteriuria, sehingga infeksi saluran kencing
bagian atas pada populasi ibu hamil secara signifikan dapat diturunkan.
(Loughlin KR, dkk. 2004)

d. Retensi Urinari Akut

Meskipun retensi urine postpartum lebih sering terjadi, retensi urine selama
kehamilan terjadi pada 1 dari 3000 sampai 1 dari 8000 wanita. Retensi urine
sering terjadi karena pembesaran retroverted uterus dengan entrapment fundus
di bawah sacral promontory. Uterine fibroid atau abnormalitas anatomikal
uterin lainnya dapat sebagai faktor predisposisi terjadinya retensi urine.
Retensi urine akut secara klasik terjadi pada 12-14 minggu kehamilan dan
hilang pada 16 minggu kehamilan, ketika uterus tumbuh keluar pelvis. Hal ini
bisa diatasi dengan drainase buli-buli temporer atau kateterisasi intermiten,
namun manipulasi bimanual terhadap uterus untuk posisi anteversi juga dapat
dilakukan. Alternatif lainnya, Smith-Hodge pessary dapat dimasukkan secara
temporer untuk menjaga anteversi uterin dan untuk menurunkan tekanan pada
leher buli-buli(Loughlin KR, dkk. 2004)
e. Hematuria
Hematuria selama kehamilan serupa dengan pasien nongravida. Satu hal
yang penting adalah hematuria harus dibedakan dari perdarahan vaginal, dan
kateterisasi ureteral dapat sebagai alat diagnosis. Gross atau mikroskopik
hematuria > 3 RBC/hpf harus diperhatikan, dan penyebab organik seperti
infeksi, urolitiasis, tumor, atau penyakit ginjal harus dikeluarkan, terutama
pada pasien dengan faktor risiko seperti riwayat merokok, occupational
exposure, atau umur lebih dari 40 tahun. Pada kasus tidak adanya penyebab
organik yang dapat dibedakan, mikroskopik hematuria selama kehamilan
dapat dikatakan idiopatik, yang diakibatkan dari perubahan fisiologikal pada
renal selama kehamilan seperti ruptur vena kecil sekitar renal pelvis yang
dilatasi. Terdapat teori “nutcracker” sebagai etiologi dari kebanyakan kasus
hematuria selama kehamilan, di mana peningkatan tekanan intraabdominal
pada gravid uterus menyebabkan kompresi pada vena renal kiri antara superior
mesenterik arteri dan aorta. Kompresi vena renal kiri menyebabkan drainase
venous kolateral meningkat untuk meluaskan varikositas renal, memungkinan
ruptur pada renal kaliks, sehingga menyebabkan hematuria. Evaluasi lengkap
untuk mengetahui etiologi mikroskopik hematuria dapat dilakukan setelah
persalinan.1Pada kasus dengan perdarahan yang banyak, ultrasonografi dan
MRI dapat berguna untuk mengeluarkan diagnosis lesi saluran genitourinari,
dan cystoscopy bisa dilakukan untuk mengetahui lokasi perdarahan. Salah satu
yang harus diperhatikan sebagai penyebab hematuria selama kehamilan adalah
plasenta perkreta, yang mana plasenta dapat menginvasi melalui uterus ke
dalam buli-buli. Insiden plasentasi abnormal terjadi kurang lebih 1 dari 7000
persalinan, yang mana plasenta perkreta meliputi 5-7% dari kasus ini. Plasenta
perkreta dengan invasi buli-buli adalah kondisi yang mengancam jiwa dengan
risiko perdarahan yang signifikan. Hanya 22% pasien dengan plasenta perkreta
menunjukkan tanda gross hematuria, dan sering diagnosis ditegakkan agak
terlambat, setelah berusaha untuk memisahkan plasenta dari buli-buli. Pelvic
ultrasonography dapat menegakkan diagnosis, dan peningkatan alfa-
fetoprotein maternal dengan tidak adanya fetal anomali juga mengindikasikan
plasenta perkreta. Cystoscopy dapat mengidentifikasi lesi plasenta pada
permukaan posterior dari dinding buli-buli, bagaimanapun biopsi buli-buli
dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan sehingga harus dihindari.
Berusaha untuk memisahkan adherent plasenta telah dilaporkan dapat
menyebabkan perdarahan yang masif sehingga tidak dianjurkan. Sebagai
gantinya, kebanyakan pasien dengan plasenta perkreta memerlukan
histerektomi dengan parsial cystectomy sesegera mungkin setelah persalinan.
Pada pasien tertentu, manajemen konservatif dengan penundaan histerektomi
setelah manajemen medikal dengan methotrexate dapat diusahakan.1,5,6
f. Nefrolitiasis
Nefrolitiasis simtomatik terjadi kurang lebih 1 dari 1500 kehamilan. Di
samping hiperkalsiuria dan peningkatan urinari stasis pada kehamilan laju
pembentukan batu serupa dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini karena
perubahan metabolik yaitu peningkatan urinari sitrat, magnesium, dan
glikoprotein yang memiliki efek protektif melawan pembentukan batu dan
agregasi. Bagaimanapun, kebanyakan episode batu simtomatik terjadi selama
trimester kedua atau ketiga, ketika dilatasi ureteral dan kompresi oleh gravid
uterus terjadi. Hidroureteronefrosis fisiologis ini memberikan jalan bagi
sejumlah besar kalkuli untuk bermigrasi ke ureter, menyebabkan obstruksi
distal dan atau kolik ureterik. (Loughlin KR, dkk. 2004)
Secara tipikal, wanita hamil mengalami mual, muntah, hematuria, dan nyeri
panggul atau abdomen selama episode batu akut. Lebih dari 42% dari wanita
hamil dengan kolik renal dan nefrolitiasis memiliki pyuria pada pemeriksaan
urinalisis. Perubahan anatomi selama kehamilan bisa merubah lokalisasi dan
penyebaran nyeri abdomen, sehingga dapat menyamarkan diagnosis. Selain
itu, diagnosis nyeri abdominal yang disebabkan oleh obstruksi ureteral akut
juga sulit untuk dibedakan dari hidronefrosis fisiologis selama kehamilan.
Diagnosis dan manajemen yang cepat dan efisien sangat diperlukan, di mana
kolik renal dari obstruksi ureteral pada wanita hamil dapat menginduksi
terjadinya hipertensi, preeklamsia, atau onset persalinan prematur. (Loughlin
KR, dkk. 2004)
Diagnostic imaging pada wanita hamil merupakan sebuah tantangan karena
adanya risiko radiasi ion pada fetus yang sedang berkembang. Paparan radiasi
terhadap fetus lebih merusak pada trimester pertama, selama pembelahan sel
terjadi dengan cepat dan terjadi organogenesis, namun paparan intrauterin
selama trimester kedua dan ketiga juga menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Secara kesulurahan, tidak terdapat konsensus mengenai batas
paparan radiasi yang aman selama kehamilan. Beberapa studi melaporkan
paparan radiasi 1cGy pada utero dapat meningkatkan risiko relatif terjadinya
leukemia 1,6 kali lipat dan meningkatkan risiko kanker 3,2 kali lipat,
sedangkan laporan lain menyatakan dosis radiasi kurang dari 5 cGy tidak
menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterin atau anomali fetal lainnya.
Secara umum, ultrasonografi abdominal merupakan modalitas utama yang
digunakan pada wanita hamil untuk mengevaluasi nefrolitiasis. Ultrasonografi
dapat mengvisualisasikan parenkim ginjal dan dapat memberikan gambaran
apakah terdapat hidronefrosis atau tidak. Hidronefrosis fisiologis terjadi jika
hidroureteronefrosis terdapat di bawah pelvic brim dan obstruksi ureteral distal
harus dipertimbangkan. Namun sayang sekali, ultrasonografi dalam kehamilan
dibatasi oleh hidronefrosis fisiologis dan visualisasi ureter yang buruk, dan
sangat tergantung dari operator. Ultrasonografi memiliki sensitivitas yang
terbatas yaitu 34-95% untuk mendeteksi batu pada wanita hamil. (Loughlin
KR, dkk. 2004)
Penggunaan ultrasonografi Doppler menambah elemen fungsional untuk
mengevaluasi obstruksi dan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk
mendeteksi obstruksi ureteral. Pada studi yang dilakukan pada 22 pasien hamil
dengan obstruksi ureteral unilateral akut yang disebabkan oleh batu, studi
menemukan penggunaan ultrasonografi Doppler berwarna dapat membantu
membedakan obstruksi ureteral dari hidronefrosis fisiologiSecara teori,
sebelum kita memilih terapi apa yang akan diberikan kepada pasien, kita harus
mempertimbangkan secara hati-hati mengenai lokasi batu, ukuran batu, dan
umur kehamilan pasien. Lebih dari 64-70% pasien mengeluarkan batu secara
spontan selama kehamilan, dan 50% mengeluarkan batu pada periode
postpartum. Kebanyakan pasien hamil dengan episode batu akut tidak
memerlukan intervensi, terapi konservatif dengan analgesia dan hidrasi lebih
sering dipilih sebagai terapi lini pertama. Keamanan dari terapi ekspulsif
medis selama kehamilan menggunakan calcium channel blocker atau alpha
blocker belum dapat dipastikan. Jika terapi konservatif gagal, intervensi
operasi dengan drainase temporer atau manajemen batu definitif harus
dipertimbangkan, dan pasien perlu dirawat inap untuk memberikan terapi
hidrasi intravena dan untuk memonitor kondisi fetus. Indikasi absolut dan
relatif untuk intervensi operasi pada kehamilan serupa dengan pasien yang
tidak hamil, indikasi ini meliputi nyeri yang tidak menghilang, mual, muntah,
infeksi saluran kencing febril, uropati obstruktif, gagal ginjal akut, sepsis, dan
obstruksi soliter ginjal. (Loughlin KR, dkk. 2004)
Drainase urinari temporer pada pasien hamil dengan obstruksi ureteral bisa
menggunakan stent ureteral atau dengan penempatan nefrostomi perkutan.
Penempatan stent ureteral retrograde dilakukan di bawah anastesi lokal
dengan tuntunan ultrasound, atau bisa dengan anastesi general dengan
fluoroscopy. Namun penggunaan stent ureteral dapat memperburuk gejala
iritatif saluran kencing bagian bawah karena perubahan anatomik buli-buli
oleh karena kompresi buli-buli oleh gravid uterus. Stent ureteral harus diganti
setiap 4-8 minggu pada pasien hamil. Beberapa urologist menyarankan untuk
dilakukan penempatan nefrostomi perkutan selama kehamilan selama
obstruksi ureteral di atas stent ureteral untuk menghindari terjadinya stent
encrustation yang dapat menyebabkan hiperkalsiuria dan hiperurikosuria.
Nefrostomi perkutan dapat dilakukan dengan tuntunan ultrasound dengan
menggunakan anestesi lokal. Encrustation dapat juga terjadi pada tuba
nefrostomi, namun kateter ini dapat dimonitor, diubah lebih mudah, dan
diirigasi jika diperlukan. Selain itu, penempatan nefrostomi perkutan pada
wanita hamil dengan obstruksi harus dilakukan lebih awal untuk menghindari
perubahan stent ureteral multiple. Kerugian penempatan nefrostomi perkutan
meliputi adanya risiko perdarahan, memerlukan peralatan eksternal, dan
terdapat kolonisasi bakterial pada kateter. (Loughlin KR, dkk. 2004)
Terapi definitif untuk penyakit batu pada kehamilan sangat terbatas. Shock
wave lithotripsy merupakan kontraindikasi, dan ekstraksi batu perkutan tidak
dianjurkan karena memerlukan waktu untuk fluoroscopy dan memposisikan
pasien. Ureteroskopi dikatakan aman dan efektif dalam terapi nefrolitiasis
pada semua trimester kehamilan, dengan stone free rate 70-100%. Sehingga
ureteroskopi dipertimbangkan sebagai pendekatan lini pertama untuk
manajemen penyakit batu simtomatik pada kehamilan. Hidroureteronefrosis
fisiologis dapat memfasilitasi jalur untuk ureteroskopi di dalam ureter dan
kemudian litotripsi dapat dilakukan. Penggunaan pneumatic litotripsi pada
kehamilan tidak direkomendasikan karena adanya risiko gangguan pada
pendengaran fetus meskipun data-data yang tersedia masih terbatas.
Alternatifnya adalah dengan litotripsis laser yang dikatakan aman dan efektif.
Secara umum, menejemen konservatif merupakan terapi lini pertama pada
mayoritas pasien karena dilihat dari kebanyakan pasien dapat mengeluarkan
batunya secara spontan, namun jiga intervensi diperlukan maka dapat
dilakukan ureteroskopi untuk menghindari gejala eksaserbasi iritatif pada
saluran kencing bagian bawah bila ditempatkan ureteral stent. (Loughlin KR,
dkk. 2004)
g. Kaganasan Urologi
Kehamilan dan keganasan memiliki kesamaan mengenai suatu hal yaitu
antigen asing secara natural ditoleransi oleh sistem imun tubuh. Insiden
terjadinya keganasan pada kehamilan 2,35 dari 10.000 kehamilan, dan insiden
keganasan urologi juga jarang terjadi.
Intervensi tindakan operasi dilakukan pada trimester kedua karena adanya
potensial risiko aborsi pada trimester pertama dan persalinan prematur pada
trimester ketiga. Bagaimanapun tumor yang agresif dan cepat meluas
memerlukan intervensi yang cepat walaupun berisiko terjadinya mortalitas
pada fetus. Tumor yang terjadi selama kehamilan tidak memiliki progresifitas
yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil, dan terapinya
sangat individual bergantung dari tingkat dan stadiumnya, dan
mempertimbangkan juga umur fetus untuk menentukan waktu yang optimal
untuk dilakukan intervensi operasi. Renal cell carcinoma adalah keganasan
urologik tersering yang terjadi selama kehamilan, diikuti dengan
angiomiolipoma. Tumor ureter dan buli-buli juga dilaporkanpada pasien
hamil, meskipun tumor ini jarang emergensi. Pheochromocytoma dan renal
angiomyolipoma adalah 2 neoplasma yang menjadi emergensi urologi pada
kehamilan yang memiliki potensial morbiditas dan mortalitas pada maternal
dan fetus. (FitzGerald MP, dkk. 2007)
1) Angiomyolipoma
Angiomyolipoma (AML) adalah massa pada ginjal yang tersering
kedua yang diidentifikasi selama kehamilan setelah renal cell carcinoma.
Terdapat predominasi wanita untuk angiomyolipoma, dan kurang lebih
20-30% dari lesi ini ditemukan pada pasien dengan sklerosis tuberus.
Meskipun kebanyak angiomyolipoma simtomatik, pasien sering
mengeluhkan nyeri panggul, hematuria, atau syok hipovolemik yang
berhubungan dengan perdarahan. Perdarahan masif selama kehamilan
merupakan komplikasi yang dapat berakibat fatal. Pertumbuhan
angiomyolipoma yang cepat selama kehamilan disebabkan oleh pengaruh
hormonal. Peningkatan tekanan abdominal dan volume darah sirkulasi
selama kehamilan juga meningkatkan risiko terjadinya ruptur pada wanita
hamil.
Diagnosis angiomyolipoma dapat dikonfirmasi dengan
menggunakan ultrasonografi atau MRI tanpa radiasi ionisasi. Angiografi
dan embolisasi juga dapat digunakan sebagai diagnostik dan terapi pada
pasien tertentu. Secara umum, karena peningkatan risiko ruptur dan
perdarahan yang berhubungan dengan angiomyolipoma > 4 cm, operasi
lebih dipilih sebelum kehamilan. Manajemen simtomatik
angiomyolipoma selama kehamilan meliputi ekstirpasi dengan teknik
terbuka atau laparoskopi, thermal ablation, atau embolisasi. Manajemen
konservatif dengan observasi adalah mungkin jika pasien asimtomatik
atau hemodinamik pasien tetap stabil. Pada pasien dengan perdarahan
yang terus-menerus atau dengan hemodinamik yang tidak stabil, selektif
angioembolisasi akan efektif dengan paparan radiasi atau kontras yang
minimal.
2) Pheochromocytoma
Secara keseluruhan insiden pheochromocytoma yang didiagnosis selama
kehamilan adalah 1 dari 50.000 kehamilan. Meskipun kasus ini relatif
jarang, pheochromocytoma dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan karena sangat berpotensial untuk terjadinya krisis hipertensif
yang berat. Selama kehamilan, pasien secara tipikal memiliki gejala
hipertensi, sakit kepala, palpitasi, serupa dengan gejala-gejala pada pasien
yang tidak sedang hamil. Berbeda dengan pre-eklamsia, pasien dengan
pheochromocytoma mengalami hipertensi terlebih dahulu tanpa adanya
proteinuria seperti pada pre-eklamsia. Diagnosis harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan katekolamin dan metanefrin dengan pengumpulan
urine 24 jam, dan ultrasonografi atau MRI dapat membantu untuk
mengetahui lokasi tumor. Massa yang cerah pada gambaran MRI dapat
membantu menegakkan pheochromocytoma dari adrenaloma incidental.
Computed tomography dan meta-iodobenzylguanidine (MIBC) scanning
biasanya dihindari karena berisiko terhadap fetus. (Biyani CS, dkk. 2002)
Manajemen definitif untuk phechromocytoma juga harus sangat
diperhatikan karena adanya risiko morbiditas dari hipertensi yang tidak
terkontrol. Pemilihan terminasi kehamilan baik dilakukan pada awal
kehamilan, di mana risiko terjadinya kematian fetus meningkat setelah
operasi dilakukan (20-46%). Dengan ditegakkannya diagnosis sedini
mungkin dan terapi yang tepat pada wanita hamil dengan
pheochromocytoma dapat menurunkan laju mortalitas fetus dan maternal
dari 46% dan 55% menjadi 4% dan 15%. Pasien harus distabilkan dengan
medikasi sebelum dilakukan operasi ekstirpasi dengan alpha adrenergic
blockade yaitu dengan phenoxybenzamine diikuti dengan beta adrenergic
blockade. Hal penting yang perlu diingat, pemberian beta blockade tanpa
didahului oleh alpha blockade dapat menyebabkan stimulasi alpha-
adrenergic yang dapat menyebabkan krisis hipertensif yang berat atau
mortalitas. Reseksi pheochromocytoma dianjurkan dilakukan setelah
manajemen medis, dan laparoskopik adrenalektomi juga merupakan terapi
yang aman dan efektif untuk manajemen pheochromocytoma selama
kehamilan. Jika penegakkan diagnosis pheochromocytoma pada
kehamilan terlambat dilakukan, persalinan pada trimester ketiga harus
dilakukan segera setelah terjadi maturitas pada paru-paru fetus. Persalinan
dengan cesarean section berhubungan dengan laju mortalitas maternal
yang lebih rendah dari pada persalinan per vaginam (31% vs 19%), dan
beberapa penulis juga menyarankan untuk dilakukan persalinan pada
trimester ketiga dengan cesarean section diawali dengan reseksi tumor
untuk menghindari penggunaan 2 anestesi. (Hill CC, dkk. 2008)
RANGKUMAN
Perlukaan pada dinding depan vagina terjadi disekitar orifisium uretra dan
klitoris. Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri atau mirip lanjutan robekan
perineum. Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang
berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Pendarahan pada keadaan ini
umumnya adalah pendarahan artevial, sehingga harus segera dijahit.
Perlukaan pada serviks uteri sering diakibatkan oleh tindakan-tindakan pada persalinan
buatan dengan pembukaan yang belum lengkap. Pada partus ini kontraksi rahim kuat dan
sering sehingga janin di dorong keluar, kadang-kadang sebelum pembukaan
lengkap. Perlukaan yang paling berat pada waktu persalinan adalah robekan
uterus. Robekan bisa terjasi pada tempat yang lemah pada dinding uterus, misalnya pada
parut bekas seksio sesarea atau bekas miomektomi.
Pada waktu selesai persalinan, bila penderita pucat dan kelihatan dalam syok, sedang
perdarahan keluar tidak banyak, apabila diraba tumor di parametrium, maka pada keadaan
ini patut dicurigai adanya robekan uterus inkomplet. Penanganan pada robekan uterus
ialah pemberian transfusi darah segera, kemudian laparotomi, jenis opersi yang dilakukan
ialah penjahitan luka pada dinding uterus atau pengangkatan uterus. Pada waktu
berlangsungnya persalinan, bila kepala janin sudah masuk kedalam ronggga tengah
panggul, kandung kencing dan uretra mengalami tekanan oleh kepala janin tersebut.
Kegawatdaruratan urologi pada pasien hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis
akut, retensi urine akut, hematuria, plasenta percreta, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan
keganasan saluran kemih. Kegawatdaruratan urologik dalam kehamilan memberikan
tantangan bagi dokter dalam mendiagnosis dan memanajemen kasus tersebut. Tanda
diagnostik sering menjadi kabur karena adanya perubahan fisiologis normal dan
perubahan anatomi selama hamil. Modalitas imaging dalam kehamilan meliputi
ultrasonografi dan MRI yag dikatakan aman dan sering dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis dan menuntun terapi. Pemilihan waktu dilakukannya operasi pada pasien hamil
bersifat individual bergantung dengan status klinis pasien dan juga umur kehamilan.
Pendekatan multidisiplin sangat diperlukan, dari anestetik dan tim obstetrik.
CONTOH SOAL
1. Perlukaan jalan lahir karena persalinan dapat mengenai apa saja?
a. Vulva
b. Vagina
c. Uterus
d. Jawaban a, b, c, benar
e. Kulit
2. Tempat yang paling sering mengalami perlukaan akibat persalinan ialah
a. Vagina
b. Perineum
c. Perut
d. Paha
e. Kaki
3. Pada perlukaan tingkat III memerlukan teknik penjahitan khusus. Langkah pertama
yang terpenting adalah
a. menemukan kedua ujung muskulus sfingter ani ekstermus yang terputus.
b. Pada perlukaan tingkat III yang dijahit dapat terjadi inkontinensia alvi.
c. Perlukaan pada perineum sebenarnya dapat dicegah
d. Dijadikan sekecil mungkin perlukaan ini umumnya terjadi pada saat lahirnya
kepala.
e. Jawaban semua benar
4. Perlukaan yang paling berat pada waktu persalinan adalah
a. Robekan vagina
b. Robekan perineum
c. Korpus uteri
d. Serviks uteri
e. Jawaban a dan b benar
5. Perlukaan vulva dan vagina berupa luka-luka bakar dapat disebabkan oleh
a. Pembilasan dengan cairan yang sangat panas
b. Kesalahan teknik dalam pemakaian elektrokauter
c. Bahan-bahan kimiawi
d. Peralatan kotor
e. Jawaban a, b, dan c benar
DAFTAR PUSTAKA
1. Biyani CS, Joyce AD. Urolithiasis in pregnancy. BJU Int. 2002;89:811–818
2. Chaliha C, Stanton SL. Urological problems in pregnancy. BJU Int.
2002;89(5):469–476
3. Everett HS, Williams TJ. The Urology Tract During Pregnancy. In: Campbell
MF, Harrison JH. Urology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company;
1970. P. 1981-1984
4. FitzGerald MP, Graziano S. Anatomic and functional changes of the lower
urinary tract during pregnancy. Urol Clin North Am. 2007;34:7–12
5. Hill CC, Pickinpaugh J. Physiologic changes in pregnancy. Surg Clin North Am.
2008;88:391–401vii
6. http://midwife-ireen.blogspot.com/2011/05/trauma-pada-alat-genitalia.html
7. lkus R, Popovich J. Respiratory physiology in pregnancy. Clin Chest Med.
1992;13:555–565
8. Loughlin KR. Management of Urologic Problems during Pregnancy. In: Potts
JM. Essential Urology A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana Press;
2004. P. 1-16
9. Lucas MJ, Cunningham FG. Urinary infection in pregnancy. Clin Obstet
Gynecol. 1993;36:855–868
10. Manuaba,1998.Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan.Jakarta:EGC
11. Millar LK, Cox SM. Urinary tract infections complicating pregnancy. Infect Dis
Clin North Am. 1997;11:13–26
12. Thoman AA, Thomas AZ, Campbell SC, Palmer JS. Urologic Emergemcies in
Pregnancy. UROLOGY. 2010; 76 (2): 453-460

Anda mungkin juga menyukai