Dosen Pembimbing :
Rita Yuanita Toendan, SE, MSi
Disusun Oleh :
Ainun Jariah
BBA 117 032
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2019
BAB. IV
LEMBAGA INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF BISNIS
INTERNASIONAL
B. Tipe-Tipe Lembaga
Scott telah mengembangkan sebuah model lembaga yang dikategorikan sebagai lembaga
formal dan informal. Lembaga formal memengaruhi tindakan melalui hukum dan
peraturan, semantara lembaga informal menggunakan kultur dan ideologi. Contoh dari
lembaga formal adalah Directorate General for Compettion Uni Eropa. Contoh dari
lembaga informal dapat ditemukan dalam pola-pola yang meliputi hubungan pemasok
perusahaan, yang sangat kontras antara Jepang dan Amerika Serikat.
Model lembaga Scott menjelaskan lebih mendalam mengenai tiga tipe pilar
pendukung sebagai temapat lembaga bersandar: regulatif, normatif, dan kognitif.
Lembaga formal diwilayah legal, politik, dan ekonomi bersandar pada pilar regulasi.
Fungsinya untuk mendesak dan mengatur perilaku perusahaan melalui peraturan, hukum
dan sanksi-seluruh mekanisme yang menegakkan atau memaksa kepatuhan. Lembaga
informal bersandar pada salah satu dari dua pilar, normatif atau kognitif. Pilar normatif
memengaruhi perilaku perusahaan melalui kumpulan nilai dan norma.
Dalam ekonomi berkembang yang memiliki banyak lembaga formal yang sedang
dibangun, lembaga informal dapat dilihat telah memiliki kepentingan substansial. Dalam
penelitiannya tentang kewirausahaan pada ekonomi berkembang, Peng menyatakan
bahwa semakin lemah pembatas yang dibangun oleh lembaga formal, semakin kuat
peran lembaga informal. Perintah tambahan yang dibawa ke lingkungan yang kacau pada
perkembangan ekonomi, yaitu lingkungan yang tidak terstruktur oleh lembaga formal
dengan pengembangan yang baik, menyatakan bahwa nilainya adalah sebagian dari
lembaga tersebut menyediakan peraturan permainan, sehingga memudahkan pemilihan
tindakan yang dapat dibuat perusahaan.
Kita mulai fokus pada lembaga ditingkat global, dengan mengkaji kontribusi PBB
dari sudut pandang perusahaan. Kemudian, melangkah pada dua organisasi moneter
internasional yang dikenal sebagai lembaga Bretton-Woods: IMF dan Bank Dunia.
Bagian terakhir dari organisasi-organisasi tingkat global adalah World Trade
Organization (WTO). Lembaga regional yang memasukkan aliansi kerja sama militer;
Organisation for Economic Cooperation Developments (OECD); dan dua aliansi
ekonomi lebih kecil, Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Group
Of Eight.
Organisasi PBB, Kerja Pbb dilaksanakn melalui lima badan atau organisasi utama.
Semua negara anggota PBB adalah anggota Majelis Umum, badan deliberatif utama
yang mewakili setiap negara yang memiliki satu suara terlepas dari ukuran, kekayaan,
atau kekuatan negara tersebut. Majelis Umum bertindak dengan menerapkan ketetapan
yang mengeskpresikan keinginan negara-negara anggotanya. Keputusan Majelis Umum
bersifat normatif karena tidak memilki kekuatan mengikat secara hukum pada
pemerintah atau penduduk di negara-negara anggotanya, namun keputusan tersebut
membawa beban berat dalam opini dunia.
Dewan Keamanan PBB adalah 15 badan anggota yang tujuannya adalah menjaga
perdamaian dan keamanan dunia. Dewan keamanan memiliki 5 negara sebagai anggota
tetap – Cina, Prancis, Federasi Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat- masing-masing
memiliki hak veto dan 10 negara anggota tidak tetap yang mewakili daerah tertentu
untuk menjamin terwakilinya setiap daerah. Saat ini, kegiatan operasi penjaga
perdamaian Dewan Keamanan telah aktif di 18 lokasi: Afrika (Republik Cad dan
Republik Afrika Tengah, Darfur, Sudan, Pantai Gading, Liberia, Republik Demokrat
Kongo, Etiopia dan Eritrea, serta Sahara Barat); Amerika (Haiti); Asia (di perbatasan
Pakistan dan India dinegara bagian Jammu dan Kashmir serta di Timor Leste); Eropa
(Siprus, Kosovo, dan Georgia); dan Timur Tengah (Golan dan Lebanon).
PBB ke Depan. Banyak masalah yang terjadi saat ini membutuhkan solusi global atau
regional, dan PBB adalah salah satu lembaga yang siap membantu menghadapi tantangan
yang berat ini: HIV/AIDS, terorisme, dan masalah terkait etnis yang mengarah kepada
pembunuhan massal, masalah lingkungan, krisis kemanusiaan, konflik militer, obat-obatan,
dan perdagangan manusia. Pada saat yang sama, kita menghadapi krisis yang menakutkan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia di seluruh dunia terhubung dengan cara baru.
Kita harus berterimakasih pada internet dan ponsel karena komunikasi dapat dilakukan
hampir di mana saja, langsung dan segera. Era ini menyediakan informasi yang lebih bisa
diandalkan daripada yang ada pada masa-masa sebelumnya, berdasarkan tingkat pendidikan,
perjalanan, dan akses ke media, sehingga kita dapat mengakses pemikiran terbaik di dunia.
Selanjutnya, satu dari lima penduduk dunia dapat membaca dan berbicara dalam bahasa
Inggris, jadi banyak orang di negara-negara berbeda dapat berbagi sarana komunikasi.
Karena kita berusaha memenuhi tantangan kompleks yang terus meningkat, PBB diposisikan
untuk memimpin dan mengkoordinasi. Tidak ada badan lain yang menghimpun seluruh dunia
bersama-sama utnuk mengatasi kebutuhan global. PBB mulai fokus dengan serius pada
reformasi internal pada masalah yang melanda PBB, termasuk pemborosan dan korupsi.
Privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari publik ke
sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian atau seluruhnya
(Hemming dan Mansoor, 1988). Privatisasi tidak selalu melibatkan penjualan. Konsepnya
telah diperluas mencakup perubahan struktural yang lebih luas seperti ‘leasing’ dan kontrak
manajemen, waralaba sektor publik, kontrak umum sektor publik (IBRD, 1988). Dikatakan
juga bahwa privatisasi sebagai proses memperkenalkan disiplin kekuatan pasar (Ramandham,
1989). Konsep ‘marketisasi’ mendorong penghilangan monopoli atau pengurangan langsung
dan tidak langsung hambatan keluar-masuk pasar (PBB, 1989). Sementara Ramamurti
(1992), menambahkan bahwa pengertian luas privatisasi adalah mencakup satu atau lebih
kombinasi dari pengalihan peranan pemerintah pada swasta dalam hal pemilikan,
pembiayaan, pelaksanaan produksi, manajemen dan lingkungan bisinis.
Menurut Savas (1987), sebagai proses, privatisasi berarti mengurangi peran pemerintah,
dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan aset. Namun konsep
sektor publik dan swasta tidak ‘mutually exclusive’ atau statis. Pertama, beberapa aspek
pemerintahan bertumbuh sementara lainnya tidak berubah, bahkan berkurang. Misalnya
privatisasi penjara mengakibatkan perlunya dibuat regulasi baru untuk memastikan
dihormatinya hak narapidana. Kedua, pertumbuhan produktifitas sektor swasta bergantung
signifikan pada investasi sektor publik seperti jalan, pelabuhan. Ketiga, sektor swasta terbagi
dalam banyak dimensi. Sektor swasta termasuk sektor informal dan sektor swasta nirlaba,
asosiasi profesi, dan sektor ekonomi rumah tangga (Gayle, 1990). Sementara Kolderie (1990)
mengajukan beberapa isu mengenai konsep privatisasi. Dimulai dengan pemahaman bahwa
pemerintah melakukan dua kegiatan yang berbeda, yaitu penyediaan (provide) pelayanan dan
produksi (produce) pelayanan.
Menurut Pirie (1988), privatisasi bukan sebuah formula tetapi sebuah pendekatan.
Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan kasus-per-kasus adalah esensi dari privatisasi.
Fleksibilitas dari privatisasi sebagai sebuah pendekatan memungkinkannya digunakan pada
beragam situasi di berbagai sistem ekonomi.
Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan BUMN dan pihak swasta
mempunyai kesempatan dan perilaku yang sama. Lebih jelasnya Mar’ie (1996) menyatakan
bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta. Pengertian lainnya adalah
(i) memberikan kesempatan swasta menjadi pemain utama dalam bidang bisnis; (ii)
menjadikan BUMN bertingkah laku sebagai suatu ‘entrepreneur’; (iii) BUMN bisa
bertingkahlaku sebagai swasta.
Ramamurti (1992) membuat rangkuman dengan makna yang lebih luas bahwa privatisasi
umumnya mencakup tiga hal yaitu (i) Divestasi pemilikan pemerintah baik sebagian atau
keseluruhan pada swasta. Hal ini mencakup perubahan kontrol dari negara pada swasta; (ii)
Deregulasi ekonomi, yang mencakup pelonggaran ketentuan BUMN khususnya pada BUMN
monopoli; (iii) Liberalisasi, yaitu mencegah kekuatan tertentu dalam ekonomi yang dapat
menghambat kompetisi.
Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum tetap dapat
dirangkum sebagai berikut (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi
perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh
saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, baik melalui ‘private
placement’ maupun ’public offering’; (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara atau
perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk
selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk
sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer); (iv) Pemberian kesempatan
pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli
pemerintah; (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan
memanfaatkan aset pemerintah; (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat
dalam dunia usaha (Soebagjo, 1996).
B. Alasan dan Tujuan Privatisasi
Gouri (1991) mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam 4 (empat) kelompok yaitu (i)
tekanan finansial, seperti defisit anggaran, neraca pembayaran; (ii) tekanan ekonomi, berupa
ketidakefisienan BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa pemerataan pendapatan,
meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan eksternal misalnya tekanan dari lembaga donor
seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (Siahaan, 2000).
Menurut Shirley dan Nellis (1972) fenomena privatisasi merupakan akibat dari (i)
kegagalan birokratik yang mengakibatkan lemahnya kinerja BUMN; (ii) sifat permanen dari
kegagalan pasar terlalu dibesar-besarkan (Siahaan, 2000). Veljanovsky (1990) menekankan
bahwa tujuan privatissi tersebut harus didasari oleh beberapa prinsip yaitu (i) keputusan
bisnis harus didepolitisasi; (ii) efisiensi dan persaingan harus ditingkatkan; (iii) mendorong
pembiayaan investasi didasarkan pada prinsip pasar yang mencerminkan biaya modal yang
sebenarnya; (iv) harga jasa harus mencerminkan biaya yang sebenarnya; (v) Pada situasi
persaingan tidak dapat ditingkatkan, pengaturan bisnis dilakukan sehingga pelanggan
mendapat perlindungan dari penyalahgunaan monopoli.
C. Latar Belakang Privatisasi di Indonesia
Sampai tahun 1996, tepat sebelum terjadinya krisis ekonomi, jumlah BUMN yang masuk
pasar modal telah mencapai 7 (tujuh) BUMN yaitu PT. Semen Gresik (1991); PT. Indosat
(1994), PT. Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), Bank BNI (1996), PT. Indofarma;
PT. Kimia Farma. Masih terdapat beberapa kegiatan privatisasi lagi seperti Kerja Sama
Operasi (KSO) PT. Telkom.
Memasuki tahun 1997 ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi, maka langkah
privatisasi menjadi salah satu prioritas pemerintah terutama setelah Indonesia menjadi pasien
IMF. Program privatisasi bahkan tercantum dalam Letter of Intention (LOI). Sejak awal
program tahun 1998 sampai Maret 1999 hanya 2 (dua) transaksi yang terlaksana. Penjualan
saham minoritas di PT. Semen Gresik pada Cemex (Meksiko), dan PT. Indofood Sukses
Makmur. Banyak BUMN lainnya yang terhambat proses privatisasinya karena adanya
penolakan dari publik. Salah satunya Privatisasi PT. Krakatau Steel terhambat karena adanya
penolakan dari kalangan direksi sendiri.
Memasuki tahun anggaran 1999/2000, pemerintah mentargetkan pendapatan sebesar Rp.
13 Triliun. Seperti periode sebelumnya, hasilnya jauh dari harapan, meskipun terjadi
privatisasi PT. Pelindo II (Rp. 1,89 Triliun), PT. Pelindo III (Rp. 1,52 Triliun), PT. Telkom
(Rp. 3,27 Triliun).
Tahun anggaran 2000, bahkan tidak terjadi transaksi sama sekali dari target sebesar Rp.
6,5 Triliun. Target tersebut kemudian dilanjutkan dalam tahun anggaran berikutnya.
Meskipun demikian pemerintah tetap mentargetkan jumlah BUMN yang akan diprivatisasi
cukup besar untuk tahun anggaran 2002 yang mencapai 25 BUMN.
Sebenarnya masih banyak metode privatisasi yang dilakukan selain go public, tetapi
keterbatasan informasi menyebabkan sulitnya mengetahui kemajuannya.
Secara garis besar hambatan dan privatisasi di Indonesia adalah (i) belum adanya bukti
bahwa privatisasi dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat; (ii) kurangnya sosialisasi
tentang rencana privatisasi; (iii) belum adanya dasar hukum yang kuat paling tidak setingkat
undang-undang bagi privatisasi BUMN; (iv) faktor internal termasuk kekhawatiran terjadinya
PHK besar-besaran, hilangnya kemudahan yang dinikmati oleh direksi dan komisaris; (v)
ketakutan pemda akan kehilangan sumber pemasukan (Kompas, 2002).
Prawiro (1989) mengemukakan masalah yang lebih terkait pada kinerja BUMN dan
ideologi yaitu (i) kinerja BUMN yang kurang baik mengakibatkan nilai jual BUMN yang
relatif rendah; (ii) kinerja yang kurang baik juga menjadi hambatan untuk memenuhi
persyaratan masuk pasar modal; (iii) salah satu tugas BUMN adalah mendidik tenaga
Indonesia, dan dengan privatisasi menjadi tidak tertangani; (iv) BUMN diberi hak monopoli
karena beban sosial yang ditanggungnya tetapi dengan privatisasi maka beban tersebut tidak
ada lagi sehingga seharusnya hak monopoli dihilangkan. Tetapi hak monopoli inilah yang
sebenarnya menarik minat swasta membeli BUMN.
Hambatan lainnya adalah proses privatisasi yang tidak transparan dan sepihak serta tidak
terpantau oleh lembaga legislatif dan masyarakat yang menyebabkan terciptanya kuasi
BUMN (Wibisono, 1987)18.
Aviliani selain menyoroti faktor internal seperti penolakan manajemen dan pegawai, dan
faktor keterbukaan sebagai kendala privatisasi, juga mengaitkan dengan konteks otonomi
daerah yang menjadi alasan pemerintah daerah menolak privatisasi BUMN yang berlokasi di
daerahnya.(Jurnal, 2002).
E. Dampak Privatisasi pada PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom)
Layanan telepon di Indonesia untuk pertama kalinya dikenal sejak 116 tahun yang lalu,
tepatnya tahun 1882. Tahun 1884 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan badan usaha
swasta yang berfungsi untuk melayani jasa pos dan telegram dalam dan luar negeri untuk
kepentingan masyarakat. Sistem ini terus berjalan hingga tahun 1906 ketika Belanda
membentuk sebuah departemen untuk mengelola jasa ini.
Telkom telah go public pada tanggal 14 Nopember 1995 di Bursa Saham Jakarta dan
New York Stock Exchange. Sampai tahun 1998 komposisi kepemilikan saham pemerintah
sebesar 75,81 persen dan publik 24,19 persen (Yogaswara, 1998).
Mencermati kasus privatisasi ini, penjualan saham hendaknya ditujukan kepada banyak
potensial investor sehingga negara masih menjadi majority tetapi tidak dapat lagi melakukan
kontrol sepenuhnya terhadap perusahaan tanpa persetujuan pemegang saham lain. Dengan
cara ini, pengendalian publik atau mekanisme check and balance tetap berjalan sehingga
pengawasan kepada management dapat dilakukan sebagaimana mestinya.
Variasi investor yang membeli saham diprioritaskan berasal dari karyawan, rakyat
banyak melalui investment fund, public, institutional investor, financial investor, dan
strategic investor. Dengan variasi investor ini memungkinkan saham negara terdilusi tetapi
masih menjadi mayoritas. Penjualan saham kepada strategic investor menimbulkan resiko
kemungkinan terjadinya KKN, walaupun itu dilakukan dengan cara tender terbuka, syak
wasangka akan tetap muncul. Dalam proses tender ini, faktor akses ke pemutus menjadi salah
satu kunci dalam memenangkan tender.
Dampak Positif, Negara mendapat tambahan dana atau devisa dari hasil penjualan saham
kedua perusahaan tersebut, selain itu dengan masuknya kedua anak perusahaan Temasek,
maka akan ada perbaikan dan baik pada manajemen maupun peningkatan teknologinya, yang
tentunya akan berdampak perbaikan mutu dan pelayanan, dan juga bahwa privatisasi dapat
memberikan manfaat bagi publik, termasuk untuk hak publik mendapatkan jasa
telekomunikasi dengan harga yang kompetitif dari PT. Telkom yang sudah diprivatisasi.
Pemangku kepentingan (stakeholders) BUMN termasuk PT. Telkom terdiri dari banyak
pihak yang tidak hanya politisi saja (Pemerintah dan DPR), tetapi juga karyawan, pelanggan,
dan regulator teknis dibidangnya. Karena kebijakan privatisasi merupakan kebijakan ekonomi
politik, maka Pihak-pihak yang termasuk dalam stakeholders ini hendaknya juga diberi
kesempatan untuk memberikan masukan dalam proses privatisasi. Dengan melibatkan
segenap stakeholders, diharapkan proses privatisasi mendapat dukungan dari banyak pihak
sehingga proses privatisasi tidak menimbulkan kontroversi tetapi justru dapat dipakai untuk
memperbaiki image positif yang terbentuk karena pola privatisasi memberi manfaat kepada
banyak stakeholder, pemerataan, dan pengawasan banyak investor atas perjalanan usahanya.
Kesimpulan
1. Kebijakan ekonomi politik Indonesia dalam hubungannya dengan privatisasi PT. Telkom
masih belum memihak kepada kepentingan dan kebutuhan publik.
2. Masih lemahnya hukum dan perundangan yang berhubungan dengan kebijakan
privatisasi yang dilakukan pemerintah.
3. Selain mendapat persetujuan Pemerintah dan DPR RI, Kebijakan privatisasi sebaiknya
melibatkan seluruh stackholders yang berhubungan dengan perusahaan yang akan
diprivatisasi.
4. Privatisasi hendaknya melibatkan beberapa perusahaan atau investor dan tidak ada
perusahaan/investor pembeli yang memiliki hak mayoritas atas saham perusahaan yang
diprivatisasi
Kebijakan privatisasi dari PT. Telkom harus ditinjau kembali dan pemerintah serta DPR
RI harus belajar dari kasus privatisasi ini untuk lebih mengetatkan regulasi dan pembuatan
perundang-undangan yang dapat memback-up kebijakan Privatisasi.
DAFTAR PUSTAKA
PT. Telekomunikasi Indonesia. 2000 Annual Report on Form 20-F. Desember 2000
https://isnaniayuniaa.blogspot.com/2017/01/privatisasi-pt-indosat-tbk-dan-pt.html