Anda di halaman 1dari 123

SKRIPSI

HUBUNGAN KONSUMSI AIR PUTIH DENGAN KEJADIAN


KONSTIPASI PADA LANSIA DI DUSUN SIDOREJO DESA
KARAS KECAMATAN KARAS KABUPATEN MAGETAN

Oleh:
MIRNA AYU DWI SAPUTRI
NIM: 201402091

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
SKRIPSI

HUBUNGAN KONSUMSI AIR PUTIH DENGAN KEJADIAN


KONSTIPASI PADA LANSIA DI DUSUN SIDOREJO DESA
KARAS KECAMATAN KARAS KABUPATEN MAGETAN

Diajukan untuk memenuhi


Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:
MIRNA AYU DWI SAPUTRI
NIM: 201402091

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018

ii
iii
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN

Bismillahhirohmannirohim........
Dengan segala puja dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

atas dukungan dan doa dari orang- orang tercinta, akhirnya skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan rasa

bangga dan bahagian saya khaturkan rasa syukur dan terimakasih saya kepada :

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya yang begitu besar yang
telah memberikan kemudahan, kelancaran dan kekuatan yang luar biasa kepada
saya. Semoga keberhasilan ini menjadi satu langkah awal bagi saya untuk dapat
meraih cita-cita saya.
Bapak, Ibu, Mas Eki, Saya persembahkan karya sederhana ini yang saya
buat dengan sepenuh hati, sekuat tenaga dan pikiran untuk orang yang saya kasihi
dan saya sayangi. Juga yang telah memberikan dukungan moril maupun materi
serta doa dan saya yakin bahwa keberhasilan yang saya raih ini tidak lepas dari
doa - doa yang kalian panjatkan disetiap sujudnya.
Dosen Pembimbing, Untuk Ibu Asrina pitayanti, S.Kep., Ns., M.Kes dan
Bapak Priyoto, S.Kep,Ns., M.Kes yang telah memberikan bimbingan dan
masukan dalam penyusunan proposal dan skripsi dengan penuh kesabaran dan
ketelatenan. Semoga Allah memberikan balasan atas kebaikan yang telah
diberikan oleh bapak dan ibu. Dan untuk semua dosen STIKES Bhakti Husada
Mulia Madiun terimakasih yang telah mendidik dan membimbing saya selama ini.
Semoga Allah membalas semua kebaikan dan ilmu yang telah diajarkan.
Sahabatku Tercinta, teman-teman keperawatan 8A dan 8B, terimakasih
atas bantuan kalian, candaan kalian, mendukung dan menyemangati saya dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga selamanya tetap dekat seperti ini.

v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mirna Ayu Dwi Saputri

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Kendal, 08 Maret 1996

Agama : Islam

Email : ayudwimirnna@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. Lulus Dari Pendidikan TK Mekarsari Tahun 2002

2. Lulus Dari Sekolah Dasar Negeri Wungurejo Tahun 2008

3. Lulus Dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 02 Gemuh Tahun 2011

4. Lulus Dari Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Karas Tahun 2014

5. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Husada Mulia Madiun 2014-sekarang.

vii
ABSTRAK

HUBUNGAN KONSUMSI AIR PUTIH DENGAN KEJADIAN


KONSTIPASI PADA LANSIA DIDUSUN SIDOREJO DESA
KARAS KECAMATAN KARAS KABUPATEN MAGETAN

Mirna Ayu Dwi Saputri


201402091

Pada lansia akan mengalami kemunduran biologis tubuh yang


mengakibatkan aktifitas kerjanya menurun dan kecukupan gizi yang dibutuhkan
lebih rendah dibanding pada usia remaja dan dewasa. Salah satu yang harus
diperhatikan pada usia ini adalah konsumsi serat dan intake cairan setiap hari. Ini
bertujuan agar manusia lansia terhindar dari terjadinya kanker kolon, wasir,
hemoroid dan konstipasi. Konstipasi merupakan kondisi di mana feses mengeras
sehingga susah dikeluarkan melalui anus. Tujuan penelitian ini Untuk
menganalisis hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia
di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas.
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi dengan pendekatan
crossectional. Populasi pada penelitian ini sejumlah 55 lansia. Teknik yang
digunakan adalah simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan
kuesioner. Analisa data menggunakan uji koefisien kontingensi. Hasil crostabulasi
lansia yang mengonsumsi air putih kurang dari 1 liter ada 29 lansia (52,7%) dan
lansia yang mengalami konstipasi ada 28 lansia (50,9%).
Hasil analisa statistik chi square didapatkan nilai p value = 0,000 < 𝛼 = 0,05
yang berarti H1 diterima sehingga ada hubungan antara konsumsi air putih dengan
kejadian konstipasi di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas.
Rata-rata lansia di dusun sidorejo desa karas mengonsumsi air putih
sebanyak 900cc/hari. Selain untuk mengatasi konstipasi air juga bermanfaat untuk
memperlancar peredaran darah, mengatur suhu tubuh, menyehatkan dan
menghaluskan kulit tubuh, membantu pernafasan, melumasi sendi dan otot.

Kata kunci : Air Putih, Konstipasi, Lansia

viii
ABSTRACT

THE CORRELATION OF WATER CONSUMPTION WITH CONSTIPATION


IN ELDERY SIDOREJO KARAS VILLAGE KECAMATAN KARAS
MAGETAN DISTRICTS

Mirna ayu dwi saputri


201402091

In the elderly will experience a biological decline of the body resulting in


decreased work activity and nutritional adequacy required lower than in
adolescence and adulthood. One that must be considered at this age is the
consumption of fiber and fluid intake every day. It aims to prevent elderly people
from the occurrence of colon cancer, hemorrhoids, hemorrhoids and constipation.
Constipation is a condition in which the stool hardens so that it is difficult to
remove through the anus. The purpose of this study to analyze the relationship
between water consumption with constipations in eldery Sidorejo Karas Village
Kecamatan Karas Magetan Districts.
The type of this research is correlation research with crossectional
approach. The population in this study were 55 elderly. The technique used is
simple random sampling. Data collection using questionnaires. Data analysis
using contingency coefficient test. The result of elderly crostabulasi consuming
water less than 1 liter there are 29 elderly (52,7%) and elderly who have
constipation there are 28 elderly (50,9%).
The result of chi square statistic analysis got p value = 0.000 <α = 0,05
which means H1 accepted so there is relationship between water consumption
with constipation in Sidorejo Village Karas Village Karas Subdistrict Magetan.
Elderly in Sidorejo Village Karas consume water as much as 900cc / day.
In addition to overcoming water constipation is also useful to accelerate blood
circulation, regulate body temperature, nourish and smooth the skin of the body,
helps breathing, lubricate joints and muscles.

Keywords: Water, Constipation, Elderly

ix
DAFTAR ISI

Sampul depan ................................................................................................. i


Sampul dalam .................................................................................................. ii
Lembar persetujuan ......................................................................................... iii
Lembar pengesahan ......................................................................................... iv
Lembar persembahan ...................................................................................... v
Halaman pernyataan ....................................................................................... vi
Daftar riwayat hidup ....................................................................................... vii
Abtrak .............................................................................................................. viii
Abtract ............................................................................................................. ix
Daftar isi .......................................................................................................... x
Daftar tabel ...................................................................................................... xiii
Daftar gambar .................................................................................................. xiv
Daftar singkatan .............................................................................................. xv
Kata pengantar ................................................................................................ xvi
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan penelitian ............................................................................ 4
1.3.1 Tujuan umum ...................................................................... 4
1.3.2 Tujuan khusus ..................................................................... 4
1.4 Manfaat penelitian .......................................................................... 4
1.4.1 Manfaat teoritis ................................................................... 4
1.4.2 Manfaat praktis ................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1 Konsep air putih ............................................................................... 6
2.1.1 Definisi air putih ................................................................. 6
2.1.2 Sumber air putih ................................................................. 6
2.1.3 Manfaat air putih ................................................................. 8
2.1.4 Kebutuhan cairan ................................................................ 10
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi kebutuhan air putih ................ 11
2.1.6 Hubungan air dengan konstipasi ......................................... 15
2.1.7 Kandungan air putih ........................................................... 17
2.1.8 Perbedaan air hangat dan air dingin .................................... 18
2.2 Konsep konstipasi ............................................................................ 19
2.2.1 Definisi ............................................................................... 19
2.2.2 Etiologi ............................................................................... 20
2.2.3 Patofisiologi ........................................................................ 20
2.2.4 Manifestasi klinis ................................................................ 22
2.2.5 Diagnosis konstipasi ........................................................... 22
2.2.6 Proses pembentukan feses .................................................. 23
2.2.7 Akibat konstipasi ................................................................ 24
2.2.8 Faktor yang mempengaruhi konstipasi ............................... 25
2.2.9 Terapi farmakologis ............................................................ 35
2.2.10 Terapi non farmakologis ..................................................... 38

x
2.3
Konsep lansia ................................................................................... 39
2.3.1 Definisi lansia ..................................................................... 39
2.3.2 Batasan usia lanjut .............................................................. 40
2.3.3 Perubahan yang terjadi pada lansia ..................................... 41
2.4 Kerangka teori ................................................................................. 50
2.5 Penerapan kerangka teori ................................................................. 51
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .... 52
3.1 Kerangka konseptual ....................................................................... 52
3.2 Hipotesis penelitian ......................................................................... 53
BAB 4 METODELOGI PENELITIAN .......................................................... 54
4.1 Desain penelitian ............................................................................. 54
4.2 Populasi dan sampel ........................................................................ 54
4.2.1 Populasi ............................................................................... 54
4.2.2 Sampel ................................................................................ 55
4.3 Teknik sampling .............................................................................. 56
4.4 Kerangka kerja penelitian ................................................................ 56
4.5 Variabel penelitian dan definisi operasional variabel ...................... 58
4.5.1 Variabel penelitian .............................................................. 58
4.5.2 Definisi operasional variabel .............................................. 58
4.6 Instrumen penelitian ........................................................................ 61
4.7 Uji validitas dan reliabilitas ............................................................. 61
4.7.1 Uji validitas ......................................................................... 61
4.7.2 Uji reliabitas ........................................................................ 62
4.8 Lokasi dan waktu penelitian ............................................................ 62
4.8.1 Lokasi penelitian ................................................................. 62
4.8.2 Waktu penelitian ................................................................. 62
4.9 Prosedur pengumpulan data ............................................................. 62
4.10 Teknik pengolahan data ................................................................... 64
4.11 Analisa data ..................................................................................... 65
4.12 Etika penelitian ................................................................................ 66
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 67
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................ 67
5.2 Karakteristik Data Umum................................................................ 68
5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ......... 68
5.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ........................ 68
5.3 Data khusus ..................................................................................... 68
5.3.1 Karakteristik Konsumsi Air Putih ...................................... 68
5.3.2 Karakteristik Kejadian Konstipasi ...................................... 69
5.3.3 Analisa Hubungan Konsumsi Air Putih Dengan Kejadian
Konstipasi ........................................................................... 69
5.4 Pembahasan .................................................................................... 70
5.4.1 Konsumsi Air Putih ............................................................ 70
5.4.2 Kejadian Konstipasi ............................................................ 71
5.4.3 Analisis Hubungan Konsumsi Air Putih dengan Kejadian
Konstipasi ........................................................................... 72
5.5 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 75

xi
BAB 6 PENUTUP .......................................................................................... 76
6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 76
6.2 Saran ............................................................................................... 77
Daftar Pustaka
Lampiran

xii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


Tabel 2.1.4 Kebutuhan Cairan ............................................................... 10
Tabel 2.1.8 Tabel Perbedaan Air Dingin Dan Air Hangat ..................... 18
Tabel 4.1 Tabel Definisi Operasional ................................................. 59
Tabel 5.1 Disribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden .. 68
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia responden ................ 68
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Konsumsi Air Putih Pada Lansia ...... 68
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi kejadian konstipasi pada lansia ......... 69
Tabel 5.5 Hasil uji hubungan konsumsi air putih dengan kejadian
konstipasi pada lansia ......................................................... 69

xiii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman


Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ........................................................... 52
Gambar 4.1 Kerangka Kerja ................................................................... 57

xiv
DAFTAR SINGKATAN

AKG : Angka Kecukupan Gizi


BAAK : Biro Administrasi Akademik Dan Kemahasiswaan
BAB : Buang Air Besar
BB : Berat Badan
BAKESBANGPOL : Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik
DINKES : Dinas Kesehatan
GI : Gastrointestinal
DKBM : Daftar Komposisi Bahan Makanan
DKGA : Daftar Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan
MENKES : Menteri Kesehatan
Ml : Mililiter
PDPERSI : Pusat Data Dan Informasi
PERMENKES : Peraturan Menteri Kesehatan
SK : Surat Keputusan

xv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, proposal ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Proposal
dengan judul “Hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada
lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan”.
Proposal ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Keperawatan di Progam Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bhakti Husada Mulia Madiun.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam kegiatan penyusunan
skripsi tidak akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak yang telah memberikan banyak bimbingan, arahan dan
motivasi pada penulis. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Murgiyanto selaku Kepala Desa Karas yang telah memberikan ijin
peneliti untuk melakukan penelitian didesa tersebut.
2. Bapak Zaenal Abidin, S.KM, M.Kes (Epid) sebagai Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun.
3. Ibu Mega Arianti Putri, S.Kep., Ns,. M.Kep sebagai Ketua Prodi S-1
Keperawatan STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
4. Ibu Asrina Pitayanti,S.Kep.,Ns.,M.Kes sebagai pembimbing 1 yang telah
memberikan bimbingan, dorongan, motivasi dan saran dengan sabar, tulus
dan ikhlas kepada peneliti dalam menyelesaikan proposal ini.
5. Bapak Priyoto,S.,Kep.,Ns.,M.Kes sebagai pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, dorongan, motivasi dan saran dengan sabar, tulus
dan ikhlas kepada peneliti dalam menyelesaikan proposal ini
6. Orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan
semangat serta doa yang tulus untuk saya agar dapat menyelesaikan
proposal ini.

xvi
xvii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usia lanjut merupakan suatu proses yang alami yang tidak dapat dihindari.

Pada lansia akan mengalami kemunduran biologis tubuh yang mengakibatkan

aktifitas kerjanya menurun dan kecukupan gizi yang dibutuhkan lebih rendah

dibanding pada usia remaja dan dewasa. Salah satu yang harus diperhatikan pada

usia ini adalah konsumsi serat dan intake cairan setiap hari. Ini bertujuan agar

manusia lansia terhindar dari terjadinya kanker kolon, wasir, hemoroid dan

konstipasi. Insiden konstipasi mencapai puncak pada usia 60-70 tahun. Konstipasi

merupakan kondisi di mana feses mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui

anus, dan menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada rektum.

Konstipasi dapat terjadi pada semua lapisan usia, yang pada umumnya ditandai

dengan frekuensi buang air besar yang rendah (kurang dari 3 kali dalam satu

minggu) (Lilik, 2011).

Konstipasi masih sering dianggap remeh oleh masyarakat. Mereka

menganggap kesulitan buang air besar bukan masalah besar, hanya akibat dari

salah makan atau kurang minum air sehingga disepelekan dan dianggap akan

sembuh dengan sendirinya. Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun

keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.

Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurangnya asupan serat,

kurang asupan air, pengaruh obat yang dikonsumsi, pengaruh dari penyakit yang

1
diderita, hingga akibat kurang aktivitas fisik (Brown, 2011). Konstipasi dapat

mengakibatkan kanker usus besar (colon cancer) yang dapat berujung pada

kematian (Brown, 2011). Prevalensi konstipasi di Amerika Serikat tercata 2-27%

dengan 2,5 juta kunjungan ke dokter, sementara di Beijing ditemukan kejadian

konstipasi sebanyak 6,07%. Prevalensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah

sebesar 3,8% untuk lansia usia 60–69 tahun dan 6,3% pada lansia diatas usia 70

tahun (Kemenkes RI, 2013). Kejadian kanker kolon menempati urutan ke-4, dan

menempati peringkat ke-2 penyebab kematian karena kanker di dunia. Di

Indonesia, karsinoma kolon termasuk dalam sepuluh jenis kanker terbanyak dan

menempati urutan keenam dari penyakit keganasan yang ada. Dari hasil studi

pendahuluan terhadap 10 orang lansia dengan pertanyaan apakah feses keras

setiap kali BAB, dan berapa gelas air yang diminum dalam sehari, sebagian lansia

di dusun Sidorejo desa karas Kecamatan Karas mengeluh feses keras saat BAB,

mereka juga mengatakan dalam sehari minum air putih rata-rata 3-5 gelas (@

250cc).

Menurut penelitian amelia dyah kartika sari dan bambang wirjatmadi (2016)

tentang hubungan aktivitas fisik dengan kejadian konstipasi pada lansia di kota

madiun dengan minimal 68 responden menunjukkan hasil 45 orang lansia

mengalami konstipasi dan 23 orang lansia tidak mengalami konstipasi. 50 orang

lansia tidak melakukan aktivitas fisik dan 18 orang lansia cukup dalam melakukan

aktivitas fisik. Hasil uji statistik korelasi spearmen, didapat nilai p sebesar 0,000

dimana p < 0,1 yang berarti terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan

konstipasi. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan sebagian besar

2
penduduk Indonesia masih kurang konsumsi serat dari sayur dan buah, kurang

olah raga dan bertambah makan makanan yang mengandung pengawet. Keadaan

ini tentu saja menimbulkan gangguan dalam pencernaan dengan keluhan yang

sering timbul antara lain kembung dan tidak dapat buang air besar secara lancar

atau konstipasi. Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-

30% pada kelompok usia 60 tahun ke atasatau lansia. Insiden konstipasi

meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas Pada suatu

penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi

sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen (Wahyu, 2012).

Konstipasi pada lansia disebabkan karena proses penuaan yang mereka alami

dan di dukung oleh beberapa faktor seperti kurang gerak, asupan cairan dan serat

yang kurang. Jika konstipasi dibiarkan terus-menerus tanpa penangganan yang

tepat akan berdampak buruk pada kesehatan lansia salah satunya ialah kanker

kolon. Dalam mencegah terjadinya konstipasi pada lansia pemerintah melakukan

upaya dalam bentuk pemberian tambahan gizi pada lansia saat posyandu lansia.

Usaha yang dilakukan peneliti yaitu memberikan sosialisasi tentang konstipasi

dan bagaimana cara pencegahannya dibantu dengan tenaga kesehatan di

posyandu.

Berdasarkan permasalahan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “hubungan konsumsi air putih dengan kejadian

konstipasi pada lansia”

3
1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas,maka penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “apakah ada hubungan

konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa

Karas Kecamatan Karas ?”

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk menganalisis hubungan konsumsi air putih dengan kejadian

konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi konsumsi air putih pada lansia di Dusun Sidorejo Desa

Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan

2. Mengidentifikasi kejadian konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa

Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan

3. Menganalisis hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi

pada lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten

Magetan

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mendukung teori

dalam bidang keperawatan tentang baiknya konsumsi air putih pada usia

lanjut.

4
1.4.2 Manfaat praktis

1. Bagi Responden

Meningkatkan pengetahuan responden dalam peningkatan konsumsi air

putih.

2. Bagi Tenaga Kesehatan tersebut

Diharapkan setelah ada penelitian ini dapat memberikan informasi untuk

tenaga kesehatan menjadi sumber edukasi dan role mode bagi lansia itu

sendiri

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan atau sumber untuk

penelitian selanjutnya yang berkepentingan untuk melakukan penelitian

lebih lanjut dengan menambah variabel lain.

5
B AB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Air putih

2.1.1 Definisi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 907 /Menkes/SK/VII/2002,

air putih adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan

yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air adalah

substansi kimia dengan rumus kimia H2O, di mana satu molekul air tersusun atas

dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air

bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu

pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini

merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk

melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa

jenis gas dan banyak macam molekul organik (Hari, 2007).

Air di dalam tubuh manusia berfungsi untuk menjaga kesegaran, membantu

pencernaan, dan juga mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Air secara khusus

memiliki kualitas-kualitas yang unik dan kualitas ini dapat dimanfaatkan secara

maksimal untuk meningkatkan metabolisme tubuh. Air membantu proses

metabolisme dalam tubuh dengan mengubah makanan menjadi energi. Air sangat

berperan dalam mendorong reaksi kimia metabolisme (PDPERSI, 2005)

2.1.2 Sumber Air putih

Pada prinsipnya semua air dapat diolah menjadi air putih. Sumber-sumber

air dapat dibagi menjadi (Notoatmodjo, 2003):

6
a. Air Hujan

Air hujan merupakan penyubliman awan/uap air menjadi air murni. Walau

pada saat prestipasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut

cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran

yang berlangsung di atmosfer dapat disebabkan oleh partikel debu,

mikroorganisme, dan gas, misalnya karbon dioksida, nitrogen dan amonia.

Maka untuk menjadikan air hujan sebagai sumber air minum hendaklah

pada waktu menampung air hujan jangan dimulai pada saat hujan mulai

turun, karena masih banyak mengandung kotoran.

b. Air Permukaan

Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai, danau,

telaga, waduk, rawa, terjun, dan sumur permukaan, sebagian besar dari air

hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Air hujan tersebut kemudian

mengalami pencemaran baik oleh tanah, sampah maupun lainnya. Pada

umumnya air permukaan telah terkontaminasi dengan berbagai zat-zat yang

berbahaya bagi kesehatan, sehingga memerlukan pengolahan terlebih dahulu

sebelum dikonsumsi oleh masyarakat.

c. Air Tanah

Air tanah berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang

kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan

mengalami proses filtrasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami

air hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah, membuat air

tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan dengan air

7
permukaan. Secara praktis air tanah adalah air bebas polutan karena berada

di bawah permukaan tanah. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa air

tanah dapat tercemar oleh zat-zat yang mengganggu kesehatan.

2.1.3 Manfaat Air putih dalam tubuh menurut Amirta (2007) untuk:

a. Mengatur suhu tubuh


Tubuh akan menurun kondisinya ketika kadar air menurun. Hal ini terjadi

apabila tubuh tidak mendapatkan pemasukan cairan dengan segera untuk

memenuhi kebutuhan air dalam tubuh. Suhu tubuh akan meningkat bila

tubuh kekurangan air. Masukan cairan ke dalam tubuh akan

menyeimbangkan suhu tubuh.

b. Memperlancar peredaran darah


Darah dalam tubuh manusia terdiri dari 90% air. Darah akan menjadi lebih

kental bila tubuh kekurangan air. Hal ini disebakan cairan di dalam darah

tersedot untuk kebutuhan dalam tubuh. Darah berfungsi untuk membawa

nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh sehingga ketika tubuh kehilangan air

secara terus-menerus maka bisa dipastikan darah akan lebih cepat

mengental. Akibatnya jantung dipaksa untuk bekerja lebih keras memompa

darah ke seluruh tubuh.

c. Menyehatkan dan menghaluskan kulit tubuh


Ketika tubuh kekurangan air, tubuh akan menyerap kandungan air di dalam

kulit sehingga kulit akan menjadi tampak kering, kusam, kasar, berkerut dan

tidak segar. Air sangat penting untuk mengatur struktur dan fungsi kulit.

8
Kecukupan air di dalam tubuh perlu untuk menjaga kelembaban,

kelembutan, dan elastisitas kulit akibat pengaruh panas dari luar tubuh.

d. Memperlancar fungsi pencernaan


Konsumsi air yang cukup akan membantu organ-organ pencernaan seperti

usus besar agar berfungsi mencegah konstipasi karena gerakan-gerakan usus

menjadi lebih lancar. Metabolisme di dalam tubuh akan berjalan dengan

sempurna dengan komsumsi air yang cukup.

e. Membantu pernafasan tubuh


Paru-paru di dalam tubuh manusia harus selalu basah dalam melaksanakan

fungsinya untuk memasukkan oksigen ke dalam sel tubuh dan

mengeluarkan karbondioksida.

f. Melumasi sendi dan otot

Air yang cukup di dalam tubuh akan melindungi dan melumasi gerakan

sendi dan otot. Air membantu melumasi sendi agar bergerak lebih luwes.

Otot-otot tubuh akan mengempis apabila otot-otot tubuh kekurangan cairan,

sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena kekurangan

cairan.

g. Media untuk memulihkan kondisi tubuh


Cairan yang keluar dari dalam tubuh akan lebih banyak pada saat terjadi

peningkatan suhu tubuh. Kondisi ini memerlukan konsumsi cairan yang

lebih banyak dari biasanya, karena air berfungsi untuk menggantikan cairan

yang telah terbuang dari dalam tubuh.

9
2.1.4 Tabel kebutuhan air yang dianjurkan untuk orang indonesia (per orang per
hari) menurut PERMENKES RI nomor 75 tahun 2013

Rumus menghitung kebutuhan cairan :

10kg pertama dari BB dihitung 1 liter

10kg kedua dari sisa BB dihitung 500ml

Untuk BB sisanya dikali 20ml

Kelompok umur Berat badan (kg) Air (mL)


Bayi/anak
0-6 bulan 6kg -
7-11 bulan 9 800
1-3 tahun 13 1200
4-6 tahun 19 1500
7-9 tahun 27 1900
Laki-laki
10-12 tahun 34 1800
13-15 tahun 46 2000
16-18 tahun 56 2200
19-29 tahun 60 2500
30-49 tahun 62 2600
50-64 tahun 62 2600
65-80 tahun 60 1900
80+ tahun 58 1600
Perempuan
10-12 tahun 36 1800
13-15 tahun 46 2000
16-18 tahun 50 2100
19-29 tahun 54 2300
30-49 tahun 55 2300
50-64 tahun 55 2300
65-80 tahun 54 1600
80+ tahun 53 1500

10
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi konsumsi air putih

a. Usia
Asupan cairan individu bervariasi berdasarkan usia. Dalam hal ini, usia

berpengaruh terhadap proporsi tubuh, luas permukaan tubuh, kebutuhan

metabolik, serta berat badan. Bayi dan anak di masa pertunbuhan memiliki

proporsi cairan tubuh yang lebih besar dibandingkan orang dewasa.

Karenanya, jumlah cairan yang diperlukan dan jumlah cairan yang hilang

juga lebih besar dibandingkan orang dewasa. Besarnya kebutuhan cairan

pada bayi dan anak-anak juga dipengaruhi oleh laju metabolik yang tinggi

serta kondisi ginjal mereka yang belum atur dibandingkan ginjal orang

dewasa. Kehilangan cairan dapat terjadi akibat pengeluaran cairan yang

besar dari kulit dan pernapasan. Pada individu lansia, ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit sering disebabkan oleh masalah jantung atau

gangguan ginjal, angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas

menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.

b. Aktivitas

Aktivitas hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap kebutuhan cairan

dan elektrolit. Aktivitas menyebabkan peningkatan proses metabolisme

dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan penigkatan haluaran cairan melalui

keringat. Dengan demikian, jumlah cairan yang dibutuhkan juga

meningkat. Selain itu,kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible

water loss) juga mengalami peningkatan laju pernapasan dan aktivasi

kelenjar keringat.

11
c. Iklim

Normalnya,individu yang tinggal di lingkungan yang iklimnya tidak

terlalu panas tidak akan mengalami pengeluaran cairan yang ekstrem

melalui kulit dan pernapasan. Dalam situasi ini, cairan yang keluar

umumnya tidak dapat disadari (insensible water loss, IWL). Besarnya

IWL pada tiap individu bervariasi, dipengaruhi oleh suhu lingkungan,

tingkat metabolisme,dan usia. Individu yang tinggal di lingkungan yang

bertsuhu tinggi atau di dearah deangan kelembapan yang rendah akan lebih

sering mengalami kehilangan cairandan elektrolit. Demikian pula pada

orang yang bekerja berat di lingkungan yang bersuhu tinggi,mereka dapat

kehilangan cairan sebanyak lima litet sehaei melalui keringat. Umumnya,

orang yang biasa berada di lingkungan panas akan kehilangan cairan

sebanyak 700 ml per jam saat berada ditempat yang panas, sedangkan

orang yang tidak biasa berada di lingkungan panas dapat kehilangan

cairan hingga dua liter per jam.

d. Diet

Diet seseorang berpengaruh juga terhadap asupan cairan dan elektrolit.

Jika asupan maknan tidak seimbang, tubuh berusaha memcah simpanan

protein dengan terlebih dahulu memecah simpanan lemak dan glikogen.

Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar albumin.

e. Stress

Kondisi stress berpengaruh pada kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh.

Saat stress, tubuh mengalami peningkatan metabolism seluler, peningkatan

12
konsentrasi glukosa darah, dan glikolisis otot. Mekanisme ini

mengakibatkan retensi air dan natrium.Disamping itu, stress juga

menyebabkan peningkatan produksi hormone anti deuritik yang dapat

mengurangi produksi urine.

f. Penyakit

Trauma pada jaringan dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit

dasar sel atau jaringan yang rusak (mis.Luka robek, atau luka bakar).

Pasien yang menderita diare juga dapat mengalami peningkatan

kebutuhan cairan akibat kehilangan cairan melalui saluran gastro

intestinal. Gangguan jantung dan ginjal juga dapat menyebabkan

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Saat aliran darah ke ginjal

menurun karena kemampuan pompajantung menurun, tubuh

akanmelakukan penimbunan cairan dan natrium sehingga terjadi

retensi cairan dan kelebihan beban cairan (hipervelomia). Lebih lajut,

kondisi inidapat menyebabkan edema paru. Normalnya, urine akan

dikeluarkan dalam jumlah yang cukup untukmenyeimbangkan cairan dan

elektrolit serta kadar asam dan basa dalam tubuh. Apabila

asupan cairan banyak, ginjal akan memfiltrasi cairan lebih banyak

dan menahan ADH sehingga produksi urine akan meningkat. Sebaliknya,

dalam keadaan kekurangan cairan, ginjal akan menurunkan produksi urine

dengan berbagi cara. Diantaranya peningkatan reapsorpsi tubulus, retensi

natrium dan pelepasan renin. Apabila ginjal mengalami kerusakan,

kemampuan ginjal untuk melakukan regulasi akan menurun. Karenanya,

13
saat terjadi gangguan ginjal (mis., gagal ginjal) individu dapat mengalami

oliguria (produksi urine kurang dari 40ml/ 24 jam) sehingga anuria

(produksi urine kurang dari 200 ml/ 24 jam).

g. Tindakan Medis

Beberapa tindakan medis menimbulkan efek sekunder terhadap kebutuhan

cairan dan elektrolit tubuh. Tindakan pengisapan cairan lambung dapat

menyebabkan penurunan kadar kalsium dan kalium.

h. Pengobatan

Penggunaan beberapa obat seperti Diuretik maupun laksatif secara

berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan dalam

tubuh. Akibatnya terjadi defisit cairan tubuh. Selain itu, penggunan

diuretic menyebabkan kehilangan natrium sehingga kadar kalium akan

meningkat. Penggunaan kortikostreroid dapat pula menyebabkan retensi

natrium dan air dalam tubuh.

i. Pembedahan

Klien yang menjalani pembedahan beresiko tinggi mengalami

ketidakseimbangan cairan. Beberapa klien dapat kehilangan banyak darah

selama perode operasi, sedangkan beberapa klien lainya justru mengalami

kelebihan beban cairan akibat asupan cairan berlebih melalui intravena

selama pembedahan atau sekresi hormon ADH selama masa stress akibat

obat- obat anastesia.

14
2.1.6 Hubungan air dengan konstipasi

Kolon menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Air harus

mencairkan komponen-komponen makanan padat yang tidak dapat larut agar

sarinya dapat diserap. Apa pun yang dilarutkan kemudian akan diserap ke dalam

aliran darah dan dikirim ke hati untuk diproses. Komponen makanan yang tidak

dapat dipecah lebih lanjut akan dilewatkan melalui beberapa segmen usus dan

secara bertahap dipadatkan untuk pembuangan (Price & Wilson, 2002).

Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air

yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada

ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan

bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di

sepanjang kolon. Segmen terakhir ileum dan sebagian besar kolon berada dibawah

arahan pengatur air untuk menyerap kembali sebanyak mungkin air dari sisa

metabolisme, selaras dengan kebutuhan air di bagian tubuh lainnya. Semakin

tubuh membutuhkan air, semakin besar usahanya untuk menyerap kembali air

yang tersedia dalam usus. Proses ini memberi tekanan besar pada sisa

metabolisme agar airnya dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding

selaput dari kolon (Guyton & Hall, 1996).

Semakin tubuh kekurangan air, gerakan kolon semakin lambat di bagian

bawah agar tersedia lebih banyak waktu untuk penyerapan ulang cairan pada sisa

metabolisme. Proses pencegahan hilangnya air ini adalah sebuah mekanisme lain

pencadangan air oleh tubuh. Salah satu bagian tubuh tempat hilangnya air akan

dicegah selama mekanisme pengelolaan kekeringan adalah kolon, melalui

15
penyesuaian konsistensi dan kecepatan aliran bahan sisa. Feses menjadi keras

serta tidak cukup cair untuk mengalir ketika gerakan ampas metabolisme di kolon

menjadi lambat dan mukosa menyerap banyak air. Proses ini mengakibatkan

pengeluaran tinja akan menjadi sulit (Batmanghelidj, 2007).

Jalan keluar alami untuk mencegah konstipasi adalah dengan menambah

asupan air dan serat. Penyerapan ulang air di saluran pencernaan juga melibatkan

pengaturan katup di antara bagian terakhir usus kecil dan bagian awal kolon, yang

dikenal sebagai katup ileosekal. Katup menutup dan memberi waktu pada usus

halus untuk menyerap air sebanyak mungkin dari ampas metabolisme. Penutupan

katup bisa menjadi terlalu kuat dan menimbulkan spasme pada tingkat dehidrasi

tertentu (Batmanghelidj, 2007). Satu setengah liter air direkomendasikan dengan

mempertimbangkan rata-rata kapasitas lambung. Lambung merupakan suatu

kantung otot yang dapat menampung sekitar 1,5 2liter cairan (Smeltzer & Bare,

2008).

Lambung dapat membesar untuk menampung makanan hingga 4 liter,

hingga ukurannya 50 kali lebih besar dari keadaan kosong. Jumlah cairan yang

banyak sesuai dengan kapasitas lambung diperlukan dalam satu kali pemberian di

pagi hari untuk proses pembersihan organ tubuh . Masuknya cairan dalam jumlah

yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang

kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus (Price & Wilson, 2002).

Pemberian cairan atau minum air harian biasanya lebih bertujuan untuk memenuhi

rasa haus. Air bukan bertujuan untuk memenuhi rasa haus, tetapi membantu

memudahkan pembuangan zat-zat beracun dari tubuh. Mengkonsumsi air dalam

16
jumlah banyak sebaiknya dilakukan pada pagi setelah bangun tidur. Hal ini

dikarenakan lambung berada dalam keadaan kosong pada pagi hari setelah bangun

tidur, sehingga dinding lambung dapat menyerap air dengan cepat untuk

kemudian dialirkan ke usus. (Hamad, 2007).

Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus. Air

membantu membersihkan organ mulai dari mulut, esofagus, ke lambung dan usus

halus serta bagian dari kolon hingga ke rektum. Air diabsorbsi di kolon dan

kemudian masuk ke dalam aliran darah, sisanya dibuang untuk mendorong

kotoran/ feses keluar dari tubuh melalui rektum. Setiap pagi kita membersihkan

seluruh saluran pencernaan melalui air yang kita minum agar feses lebih mudah

keluar, hampir seperti enema (CiteHR Human Resource Management

Community, 2007; Sakthi Foundation, 2007).

2.1.7 Kandungan Air Putih

a. Mineral, air putih memiliki zat mineral yang alami. Sehingga perannya tidak

dapat di gantikan oleh cairan lain, dan inilah yang menjadikan air putih

sebagai salah satu minuman yang wajib di konsumsi.

b. Fluorida, kandungan dalam air berupa fluorida ini dapat membantu manusia

untuk menjaga kekuatan tulang serta gigi.

c. Kalsium dan Magnesium, kedua zat tersebut berperan sangat penting bagi

tubuh yakni guna menjaga kesehatan organ tubuh yang penting seperti

jantung, pembuluh darah serta tulang.

17
2.1.8 Perbedaan air hangat dan air dingin untuk pencernaan setelah makan :

Air dingin Air hangat


Air es bisa menggumpalkan minyak Air hangat mampu membuat

dan juga lemak di dalam tubuh. makanan terserap sempurna.

Minyak dan lemak yang sudah Air hangat mampu melarutkan

menggumpal bisa menyebabkan minyak dan lemak bersama dengan

tumor bahkan kanker. peredaran darah didalam tubuh

manusia bukan malah

menggupalkannya atau

menimbunnya.

Air es tidak bisa menyerap Sisa makanan yang dicerna oleh

kandungan makanan yang kita tubuh dijadikan dalam partikel-

makan, akibatnya makanan dengan partikel kecil, sehingga memudahkan

gizi apapun jika diimbangi dengan usus untuk membuangnya melalui

air es tidak bisa terserap oleh tubuh. feses.

Air es mampu menciptakan

timbunan lemak didalam usus.

Timbunan lemak di usus bisa

mengganggu pencernaan.

18
2.2 Konsep Konstipasi

2.2.1 Definisi

Secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau kesulitan pergerakan

feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Konstipasi adalah suatu penurunan

frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan

pergerakan feses (Stanley, 2007). Konstipasi merupakan kondisi di mana feses

mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui anus, dan menimbulkan rasa

terganggu atau tidak nyaman pada rektum. Konstipasi dapat terjadi pada semua

lapisan usia, yang pada umumnya ditandai dengan frekuensi buang air besar yang

rendah (kurang dari 3 kali dalam satu minggu) (Lilik, 2011).

Konstipasi juga berarti pelannya pergerakan tinja melalui kolon. Kondisi ini

sering berhubungan dengan sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon

desendens yang menumpuk karena penyerapan cairan berlangsung lama (Guyton

& Hall, 1996). Konstipasi dalam konsep diagnosa keperawatan diartikan sebagai

penurunan frekuensi defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan

kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat

keras dan kering (Wilkinson, 2006).

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan

batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam

dua golongan : 1) konstipasi fungsional, 2) konstipasi karena penundaan

keluarnya feses pada muara rektisigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu

perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara

19
rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai

adanya perasaan sumbatan pada anus.

2.2.2 Etiologi

a. Pola makan yang buruk, misalnya kurang mengonsumsi serat atau kurang

minum.

b. Kurang aktif dan jarang melakukan olahraga.

c. Mengabaikan keinginan untuk buang air besar.

d. Rasa tidak leluasa saat menggunakan toilet.

e. Kekurangan atau kelebihan berat badan.

f. Gangguan mental, seperti kecemasan atau depresi.

g. Penyakit atau kondisi medis lain, misalnya diabetes, prolaps rektum,

penyumbatan atau penyempitan usus, kanker usus besar, stroke, penyakit

Parkinson, cedera saraf tulang belakang, hipotiroidisme, serta

hipertiroidisme.

h. Efek samping obat-obatan tertentu, contohnya suplemen kalsium, suplemen

zat besi, antasida yang mengandung aluminium, obat diuretik, analgesik

yang mengandung opium (seperti kodein dan morfin), antidepresan,

antiepileptik untuk pengobatan epilepsi, serta antipsikotik untuk pengobatan

skizofrenia dan penyakit kejiwaan lainnya. Jika penyebabnya memang obat,

konstipasi biasanya akan reda saat Anda berhenti meminum obat tersebut.

2.2.3 Patofisiologi konstipasi

Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini

berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon yaitu: transpor

20
mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon), aktivitas mioelektrik

(pencampuran massa rektal), atau proses defekasi. Dorongan defekasi secara

normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap: rangsangan refleks

penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi sfingter eksternal dan

otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan

salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi (Smeltzer & Bare,

2008).

Membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap

adanya massa fekal apabila dorongan untuk defekasi diabaikan. Hal ini

mengakibatkan perlunya rangsangan yang lebih kuat untuk menghasilkan

dorongan peristaltik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal adalah

untuk menimbulkan kepekaan kolon, di mana pada tahap ini sering

mengalamispasme, khususnya pada saat makan. Kondisi ini dapat menimbulkan

nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung

sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat responsif

terhadap rangsang normal sehingga terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada

prosespenuaan yang dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan

(Smeltzer & Bare, 2008). Ada tiga mekanisme yang berperan pada konstipasi

idiopatik. Mekanisme itu terdiri dari peningkatan absorbsi cairan di kolon dengan

transit normal, melambatnya transit dengan absorbsi normal, dan gangguan

defekasi di mana pergerakan kolon tidak fungsional. Aktivitas motorik yang

meningkat, menurun, dan normal ditemukan pada konstipasi. Gerakan maju

mundur yang meningkatkan waktu kontak dari chyme atau isi lumen dengan

21
mukosa dapat terjadi, jika kontraksi meningkat dalam amplitudo dan frekuensi

yang tidak terkoordinasi. Perpanjangan waktu kontak meningkatkan pengeringan

feses, sehingga feses sulit didorong. Feses yang kering dapat mengakibatkan

segmentasi dengan gerakan yang melambat. Hal ini membuat transit ampas

metabolisme melambat dan akhirnya terjadi konstipasi (Simadibrata, 2006, dalam

Sudoyo, dkk, 2006).

2.2.4 Manifestasi klinis

Menurut Stanley (2007) :

a. Mengejan berlebihan saat BAB

b. Massa feses yang keras

c. Perasaan tidak puas saat BAB

d. Sakit pada daerah rektum saat BAB

e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses

2.2.5 Diagnosis

Pada tahun 2006 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu

pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Kriteria diagnosis konstipasi

fungsional dari Rome III adalah terpenuhinya 3 kriteria dibawah ini dalam 3 bulan

terakhir dengan gejala yang dimulai setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis:

1. Harus disertai 2 atau lebih gejala-gejala berikut :

a. mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi

b. feses keras setidaknya 25% defekasi

c. perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi

d. sensasi obstruksi anorektal setidaknya 25% defekasi

22
e. manuver manual untuk memfasilitasi setidaknya 25% defekasi (evakuasi

dengan bantuan jari, penekanan dasar pelvis)

f. kurang dari 3 kali defekasi per minggu.

2. Feses lembek jarang sekali dihasilkan tanpa penggunaan laksatif

3. Kriteria yang tidak cukup untuk diagnosis irritabel bowel syndrome

(drossman DA, 2006).

2.2.6 Proses Pembentukan Feses

Setiap harinya, sekitar 750 cc chime masuk ke kolon dari ileum. Di kolon,

chime tersebut mengalami proses absorpsi air, natrium, dan kloride. Absorbsi ini

dibantu dengan adanya gerakan peristaltic usus. Dari 750 cc chime tersebut,

sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chime yang tidak direabsorbsi

menjadi bentuk semisolid yang disebut feses. Selain itu, dalam saluran cerna

banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut mengadakan fermentasi zat makanan

yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan menghasilkan gas yang dikeluarkan

melalui anus setiap harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus. Misalnya,

karbohidrat saat difermentasi akan menjadi hydrogen, karbondioksida, dan gas

metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat, maka akan ada banyak

gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya, seseorang akan merasa kembung.

Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan menghasilkan

asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulphide. Oleh karenanya, apabila

terjadi gangguan pencernaan protein maka flatus dan fesesnya menjadi sangat bau

(Asmadi. 2008).

23
2.2.7 Akibat Konstipasi

Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat konstipasi antara lain:

a. Impaksi feses

Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya

penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.

b. Volvulus daerah sigmoid

c. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan

konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

d. Haemorrhoid

Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi sehingga

ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.

e. Kanker kolon

Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang keras

akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu yang

cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang diproduksi

menjadi lebih konsentrat.

f. Penyakit divertikular

Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada penderita

konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung pada dinding

kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan. Kantung-

kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.

24
2.2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konstipasi pada Lansia

Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian konstipasi pada

lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :

2.2.8.1 Asupan serat

Pengertian Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman

yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yangdapat diserap di

saluran pencernaan (Almatsier, 2010).

a. Ragam Serat makanan

Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering digunakan dalam

kaitannya dengan serat yaitu :

1. Dietary fiber(serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap dalam

kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun serat tidak larut

air.

2. Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut dalam

air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun serat yang

larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan mucilages.

b. Klasifikasi Serat

Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu :

1. Serat larut air (Soluble fibre)

Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian membentuk

gel dalam saluran pencernaan dengan cara menyerap air. Soluble fiber

meliputi pectin, gum, mucilage, dan beberapa hemicelluloses. Bentuk

lain soluble fiber/serat larut ditemukan pada gandum, padi dan polong.

25
Pengaruh serat larut dalam saluran cerna berhubungan dengan

kemampuan mereka untuk menahan air dan membentuk

gumpalan/gel.

2. Serat tidak larut air (Insoluble fibre )

Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan

juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki kemampuan menyerap

air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja. Insoluble fiber

terutama terdiri dari cellulose dan hemicelluloses. Sumber utama serat

ini berada dalam padi, sereal dan biji-bijian (Devi, 2010).

c. Sumber Serat

Sumber makanan yang tinggi serat antara lain:

1. sayur-sayuran : daun bawang, bawang prei, kecipir muda, kangkung,

tauge, tomat, lobak, kembag kol, daun kelor, brokoli, buncis, kentang,

kol, wortel, timun, daun singkong, daun kemangi, dan lain-lain.

2. buah-buahan : jambu biji, belimbing, anggur, kedondong,.

3. sereal : oat, gandum, rye, jagung, beras, dan beras merah.

4. biji-bijian : sunflower seed dan sesame seed.

5. kacang-kacangan : kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang

tolo, kacang bogor (Kusharto, 2007).

d. Anjuran konsumsi

Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori untuk orang

dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal dari karbohidrat

kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20 gram-35 gram per hari dan

26
cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan (Devi,

2010).

e. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar

Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

f. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA)

atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia (Supariasa, dkk, 2001).

g. Keuntungan Serat

Keuntungan-keuntungan serat antara lain:

1. berfungsi untuk mengontrol berat badan.

2. mencegah/meringankan risiko konstipasi, Irritable Bowel Syndrome,

penyakit divertikular, dan haemorrhoid.

3. mencegah kanker kolon.

4. menurunkan kadar Low Density Lipoprotein dan kolesterol.

5. memperlambat absorbsi glukosa (berguna untuk meregulasi kadar

gula darah) (Devi, 2010).

h. Asupan serat dan konstipasi

Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat dicerna

dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang lembek. Insoluble fibre

bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang

lebih banyak dan berair. Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan

peristaltik, mempercepat waktu transit kolon, peningkatan frekuensi

defekasi, dan penurunan tekanan di dalam kolon (Wirakusumah E. , 2003).

27
2.2.8.2 Intake cairan

Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara

fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari

total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari

tubuh. Secara keseluruhan, kategori persentase cairan tubuh berdasarkan umur

adalah bayi baru lahir 75% dari total berat badan, pria dewasa 57% dari total berat

badan, wanita dewasa 55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total

berat badan. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia,

lemak dalam tubuh dan jenis kelamin (Alimul Hidayat, 2006). Di samping sumber

air yang nyata berupa air dan minuman lain, hampir semua makanan mengandung

air. Sebagian besar buah dan sayuran mengandung sampai 95% air, sedangkan

daging, ayam, dan ikan sampai 70-80%. Air juga dihasilkan di dalam tubuh

sebagai hasil metabolisme energi.

Ketidakseimbangan air dapat berakibat buruk bagi kesehatan, seperti

konstipasi dan dehidrasi. Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan kenyang. Hal ini

terjadi melalui perubahan yang dirasakan oleh mulut, hipotalamus (pusat otak

yang mengontrol pemeliharaan keseimbangan air dan suhu tubuh) dan perut. Bila

konsentrasi bahan-bahan di dalam darah terlalu tinggi, maka bahan-bahan ini akan

menarik air dari kelenjar ludah. Mulut menjadi kering, dan timbul keinginan untuk

minum guna membasahi mulut. Bila hipotalamus mengetahui bahwa konsentrasi

darah terlalu tinggi, maka timbul rangangan untuk minum. Pengaturan minum

dilakukan pula oleh saraf lambung (Almatsier, 2010).

28
Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi keseimbangan

cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain respons haus sering menjadi

tumpul, nefron (unit fungsional ginjal) menjadi kurang mampu menahan air,

penurunan TBW (total body water) yang berhubungan dengan FFM (Fat Free

Mass). Perubahan normal karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi

(Audrey Berman et.al, 2009). Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun

keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.

Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon menggunakan banyak air

untuk memecah makanan padat. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna

akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan,

dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa

sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa

metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air,

semakin besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus.

Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya dapat

diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon. Dampaknya tinja

menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras (Guyton & Hall,

1996).

2.2.8.3 Aktivitas fisik

a. Pengertian aktivitas fisik

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka

yang memerlukan pengeluaran energi untuk mengeluarkannya, seperti berjalan,

menari, mengasuh cucu, dan lain sebagainya (Darmojo & Martono, 2006).

29
b. Aktivitas fisik lansia

Lansia yang mengalami penuaan yang optimal akan tetap aktif dan tidak

mengalami penyusutan dalam kehidupan sehari-hari (Stanley, 2007). Lansia yang

masih melakukan aktivitas fisik dapat mempertahankan kualitas hidupnya agar

tetap sehat. Adapun tipe-tipe aktivitas fisik yang dapat dilakukan lansia untuk

mempertahankan tubuh yaitu :

1. Kemandirian (Self Efficacy)

Kemandirian seorang lansia akan menimbulkan keberanian lansia

dalam mobilisasi.

2. Latihan pertahanan (Resistance training)

Latihan pertahanan meliputi : kecepatan gerak sendi, luas lingkup

gerak sendi (range of motion) dan jenis kekuatan yang dihasilkan

karena pemendekan atau pemanjangan otot. Aktivitas fisik yang

bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot,

dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat tubuh mereka

bertenaga. Contoh berjalan, lari ringan, berkebun ataupun di sawah.

3. Daya tahan (Endurance)

Daya tahan akan meningkatkan kekuatan yang didapat dari latihan

pertahanan. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat

membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang

diterima, tulag tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta

membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit osteoporosis.

30
Contoh membawa belanjaan, naik turun tangga, dan angkat berat atau

beban.

4. Kelenturan

Kelenturan merupakan komponen yang sangat penting ketika lansia

melakukan mobilisasi karena pada lansia banyak terjadi pembatasan

luas lingkup gerak sendi akibat kekakuan otot dan tendon. Aktivitas

fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membatu pergerakan lebih

mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lentur dan sendi berfungsi

dengan baik. Contoh mencuci piring, mencuci pakaian, mencuci

mobil, dan mengepel lantai.

5. Keseimbangan

Keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena gangguan

keseimbangan pada lansia saat mobilisasi dapat menyebabkan lansia

mudah terjatuh (Darmojo & Martono, 2006). Gaya hidup yang kurang

menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh

seseorang. Aktivitas fisik tersebut diperlukan untuk membakar energi

dari dalam tubuh.

c. Aktivitas fisik dan konstipasi

Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan mental

dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan mengalami penurunan

aktifitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat

menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan

membatasi aktifitas yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga

31
merangsang terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat

mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan

melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan

feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik juga membantu seseorang untuk

mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot

pelvis dan diafragma sangat penting bagi defekasi (Asmadi, 2008).

2.2.8.4 Depresi

a. Pengertian

Depresi yaitu keadaan jiwa yang tertekan dan penurunan fungsi kognitif

hingga berpotensi menimbulkan bergagai kendala (Noorkasiani, 2009). Depresi

merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia baik fungsi psikis mupun

fungsi fisik, yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih gejala penyertanya,

termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotorik, konsentrasi,

anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri

(Ilmu kedokteran jiwa darurat, 2004).

b. Penggunaan obat-obatan

Pengobatan kadang-kadang bertambahnya usia identik dengan

ketergantungan obat. Pada dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki kondisi

kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak pengobatan pun

dapat mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek ini timbul karena obat-

obatan tertentu dapat mempengaruhi proses penyerapan zat gizi. Tidak jarang

lansia harus mengkonsumsi obat-obatan dalam waktu yang cukup lama. Banyak

obat menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di antaranya seperti obat-

32
obatan antikolinergik, antasida aluminium, golongan narkotik, golongan

analgetik, antihipertensi dan diuretik. Obat antikolinergik mengurangi sekresi

asam lambung dengan menghambat aktivitas nervus vagus. Ini berakibat

penurunan motilitas gastrointestinal (efek antispasmodik). Obat antikolinergik

yang umum dipakai, misalnya Robinul, Pamine, Tyrimide, Monodral, Pro-

Banthine. Antasida dipakai untuk mengobati ulkus ventrikuli, ulkus duodeni,

dispepsia dan esofagitis. Garam aluminium dapat mengakibatkan konstipasi.

Contoh obat antasida aluminium yang umum dipakai seperti Mylanta, Gastrogel,

Aludox, Simeco, dan lain-lain. Analgesik lemah mempengaruhi produksi

substansi penyebab nyeri pada tempat luka, dan meliputi aspirin dan salisilat,

paracetamol, NSAID (non-steroidal anti-inflammatory drugs), dan opiat lemah

(kodein dan dekstropropoksifen). Obat analgesik non-narkotika memberikan

beberapa efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang paling umum

terjadi adalah pada saluran pencernaan yaitu menghambat aktivitas kontraktil dan

melambatkan pengosongan lambung. NSAID yang umum dipakai seperti Asam

mefenamat (Ponstan, Mefic, Stanza), ibuprofen, aspirin,naproksen, piroksikam,

indometasin, dan lain sebagainya (Tambayong, 2001). Keburukan narkotik adalah

depresi pernapasan, konstipasi, toleransi dan ketergantungan bila sering

digunakan. Alkaloid yang berasal dari opium adalah morfin, codein, papaverine

dan noscapin. Obat golongan ini merangsang otot polos, berakibat spasme otot

gastrointestinal, saluran biliaris, dan saluran kemih. Selain itu mengurangi

motilitas usus dan mengakibatkan konstipasi. Pengobatan diuretik akan

mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga mempengaruhi proses

33
absorpsi di usus. Obat diuretik yang umum dipakai misalnya Furosemide,

Torsemide, Metolazone, Hydroflumethiazide, Bendroflumethazide, dan lain

sebagainya (Katzung, 2001).

2.2.8.5 Gangguan metabolik

Hiperkalsemia mengacu pada kelebihan kalsium dalam plasma. Secara

umum, gejala-gejala hiperkalsemia adalah sebanding dengan tingkat kenaikan

kadar kalsium serum. Hiperkalsemia mengurangi eksitabilitas neuromuskular

karena hal ini menekan aktivitas pertemuan mioneural. Gejala-gejala seperti

kelemahan muskular, inkoordinasi, anoreksia, dan konstipasi dapat karena

penurunan tonus pada otot lurik dan polos. Hipotiroidyaitu dimana produksi

hormon pada kelenjar tiroid mengalami penurunan sehingga kecepatan

metabolisme tubuh terganggu, sehingga ketika proses metabolisme makanan

dalam tubuh terhambat maka proses pengeluarannya pun juga lebih lambat

(Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.8.6 Kurang privasi untuk BAB

Kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB dapat menjadi

stimulus psikologis bagi individu untuk menahan buang air besar dan dapat

menyebabkan konstipasi (Darmojo&Martono, 2006).

2.2.8.7 Obstruksi mekanik

Kanker kolon adalah tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon. Kanker

yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi

sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses,

34
dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan

obstruksi (Darmojo&Martono, 2006).

2.2.9 Terapi Farmakologis

Pilihan obat yang dapat digunakan dalam terapi farmakologis konstipasi

adalah:

a. Emolien adalah agen surfaktan dari dokusat dan garamnya yang bekerja

dengan memfasilitasi pencampuran bahan berair dan lemak dalam usus

halus. Produk ini meningkatkan sekresi air dan elektrolit dalam usus.

Pencahar emolien ini tidak efektif dalam mengobati konstipasi namun

berguna untuk pencegahan, terutama pada pasien pasca infark miokard,

penyakit perianal akut, atau operasi dubur. Secara umum dokusat relatif

aman, namun berpotensi meningkatkan laju penyerapan usus sehingga

berpotensi meningkatkan penyerapan zat-zat yang berpotensi racun.

b. Lubrikan merupakan laksatif dari golongan minyak mineral yang akan

efektif bila digunakan secara rutin. Lubrikan diperoleh dari penyulingan

minyak bumi. Lubrikan bekerja dengan membungkus feses sehingga

memudahkannya meluncur ke anus dan dengan menghambat penyerapan air

diusus sehingga meningkatkan bobot feses dan mengurangi waktu transitnya

dalam usus. Lubrikan dapat diberikan peroral dengan dosis 15-45 ml, dan

akan memberikan efek setelah 2-3 hari setelah penggunaan. Penggunaan

lubrikan ini disarankan pada kondisi sebagaimana penggunaan emolien.

Namun lubrikan memberikan potensi efek samping yang lebih besar. Resiko

efek samping itu diantaranya: minyak mineral dapat diserap secara sistemik

35
dan dapat menimbulkan reaksi asing dalam jaringan limfoid tubuh, dan

mengurangi penyerapan vitamin larut lemak (A, D, E dan K).

c. Laktulosa dan sorbitol. Laktulosa adalah disakarida yang dapat digunakan

secara oral atau rektal. Laktulosa dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi

molekul asam dengan bobot rendah, sehingga mempertahankan cairan

dalam kolon, menurunkan PH dan meningkatkan gerak peristaltik usus.

Laktulosa tidak direkomendasikan dalam terapi konstipasi lini pertama

karena harganya yang mahal dan efektivitasnya yang tidak lebih efektif dari

sorbitol atau garam magnesium. Sorbitol sebagai monosakarida bekerja

dengan tindakan osmotik dan telah direkomendasikan sebagai terapi

konstipasi lini pertama.

d. Derivat Difenilmetana. Dua turunan difenilmetana yang utama adalah

bisakodil dan fenoftalein. Bisakodil memberikan efek dengan merangsang

pleksus syaraf mukosa usus besar. Sedangkan fenoftalein bekerja dengan

menghambat penyerapan aktif glukosa dan natrium. Dengan fenoftalein,

sejumlah kecil fenoftalein akan mengalami resirkulasi enterohepatik dan

mengakibatkan efek antikonstipasi berkepanjangan. Penggunaan fenoftalein

pada penderita apendiksitis, hamil, atau menyusui harus berhati-hati karena

dapat menimbulkan perforasi, sehingga menyebabkan air seni berwarna

merah muda.

e. Derivat Antrakuinon termasuk dalam derivat antrakuinon adalah sagrada

cascara, sennosides, dan casathrol. Bakteri usus memetabolismekan

senyawa-senyawa tersebut, namun mekanisme jelasnya dalam pengobatan

36
konstipasi tidak diketahui. Sama seperti derivat difenilmetana, penggunaan

derivat antrakuinon secara rutin tidak direkomendasikan.

f. Katartik Saline terdiri dari ion-ion yang sulit diserap seperti magnesium,

sulfat, sitrat, dan fosfat yang bekerja dengan menghasilkan efek osmotik

dalam mempertahankan cairan dalam saluran cerna. Magnesium

merangsang sekresi kolesistokinin yang merangsang motilitas usus dan

sekresi cairan. Agen ini akan memberikan efek dalam waktu kurang dari 1

jam setelah pemberian dosis oral. Agen ini sebaiknya digunakan dalam

keadaan evakuasi akut usus, tindakan pradiagnostik, keracunan, atau untuk

menghilangkan parasit setelah pemberian antelmintik. Agen ini tidak

disarankan untuk digunakan secara rutin. Agen ini berpotensi menyebabkan

deplesi cairan.

g. Minyak Jarak dimetabolisme disaluran cerna menjadi senyawa aktif asam

risinoleat yang bekerja merangsang proses sekresi, menurunkan absorpsi

glukosa, dan meningkatkan motilitas usus, terutama dalam usus halus. Efek

buang air besar biasanya akan dihasilkan 1-3 jam setelah mengkonsumsi

agen ini.

h. Gliserin biasanya diberikan dalam bentuk suppositoria 3 gram yang akan

memberikan efek osmotik pada rektum. Gliserin dianggap sebagai pencahar

yang aman meski mungkin juga mengakibatkan iritasi rektum.

i. Polyethylene glicol-electrolite lavage solution (PEG-ELS), merupakan

larutan yang digunakan dalam pembersihan usus sebelum prosedur

diagnostik atau pembedahan kolorektal. 4 liter cairan ini diberikan dalam

37
waktu tiga jam untuk evakuasi lengkap dari saluran gastrointestinal. Cairan

ini tidak dianjurkan untuk terapi rutin dan pada pasien dengan obstruksi

usus.

2.2.10 Terapi non farmakologis menurut Ramkumar D. Efficacy 2005 :

a. Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fi sik berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat

risiko konstipasi. Tirah baring dan imobilisasi berkepanjangan juga sering

dihubungkan dengan konstipasi.

b. Latihan

Sebagian kemampuan defekasi merupakan suatu refl eks yang

dikondisikan. Sebagian besar pasien dengan pola defekasi teratur

melaporkan bahwa pengosongan saluran cernanya pada saat yang hampir

sama setiap hari. Saat optimal untuk defekasi adalah segera setelah bangun

tidur dan setelah makan, saat transit kolon tersingkat. Pasien-pasien harus

mengenali dan merespons keinginan defekasi, jika gagal dapat meng-

akibatkamenumpuknya feses yang ber-lanjut diabsorpsi cairan yang

membuat nya makin sulit dikeluarkan.

c. Posisi Saat Defekasi

Suatu penelitian yang membandingkan posisi-posisi defekasi

menyimpulkan bahwa pasien harus dimotivasi untuk mengadopsi posisi

setengah berjongkok atau “semi-squatting” untuk defekasi. Kebanyakan

orang tidak terbiasa dengan posisi berjongkok, tetapi dapat dibantu dengan

mengguna-kan pijakan kaki dan membungkuk badan ke depan saat di

38
toilet. Bantal juga dapat digunakan untuk membantu untuk menguatkan

otot-otot abdomen.

d. Konsumsi Air

Konsumsi air adalah kunci penatalaksanaan, pasien harus dianjurkan

minum setidaknya 8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari). Konsumsi

kopi, teh, dan alkohol dikurangi semaksimal mungkin atau konsumsi

segelas air putih ekstra untuk setiap kopi, teh, atau alkohol yang diminum.

e. Serat

Meningkatkan konsumsi serat umum direkomendasikan sebagai terapi awal

konstipasi. Rekomendasi makanan tinggi serat (buah dan sayur) atau

suplemen-suplemen serat Psyllium (kulit ari ispaghula/ispaghula husk,

metilselulosa, polycarbophil, atau kulit padi/bran) perlu dilanjutkan selama

2-3 bulan sebelum ada perbaikan gejala yang bermakna. Pendekatan ini

hanya efektif pada sebagian pasien dan masih sedikit bukti penelitian klinis

yang mendukung cara ini.

2.3 Konsep lansia

2.3.1 Definisi Lansia

Dari beberapa referensi yang ada menjelaskan bahwa pengertian lanjut usia

menurut undang-undang No. 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai 55

tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan

hidupnya sehari-hari (Darmojo & Martono, 2006). Sedangkan menurut undang-

39
undang No. 13 tahun dinyatakan bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai

lanjut usia (Noorkasiani, 2009).

Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis yang

dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan

pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan

seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang

dihadapinya (Noorkasiani, 2009).

Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu

waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan suatu proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak

proporsional (Nugroho, 2008). Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai

seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya.

2.3.2 Batasan Usia Lanjut

Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut

usia meliputi (Notoadmodjo, 2007).

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun,

40
b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun,

c. Usia lanjut tua (old)adalah kelompok usia antara 71-90 tahun,

d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun.

Sedangkan menurut Undang-Undang nomer 13 tahun 1998 Menjelaskan

tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu

bahwa “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai umur diatas 60 tahun”.

Sedangkan menurut Sumiati (2000) Membagi periodesasi biologis perkembangan

hidup manusia sebagai berikut : Umur 40-65 tahun : masa setengah umur

(prasenium), Umur 65 tahun keatas : masa lanjut usia (senium). Sedangkan

menurut Setyonegoro (dalam Nugroho, 2008) Pengelompokan usia lanjut sebagai

berikut : Lajut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun, Young age yaitu

umur 70-75 tahun, Old yaitu umur 75-80 tahun, Very old yaitu umur lebih dari 80

tahun.

2.3.3 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia

2.3.3.1 Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal

Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran

gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Namun, karena luasnya persoalan

fisiologis pada sistem gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang

berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-

masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan

gaya hidup mereka. Mitos umum dikaitkan dengan fungsi normal saluran

gastrointestinal dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia (Stanley,

2007).

41
a. Rongga Mulut

Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah.

Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi

setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi

yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari

selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80%), hilangnya sensitivitas dari syaraf

pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf

pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit (Nugroho, 2008).

b. Esofagus

Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran

seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus.

Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini

meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000).

c. Lambung

Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan

menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang.

Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung

makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone

terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar juga

berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna makanan

adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung.

Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi asam hidrogen-

klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan

42
vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan melambatnya gerakan dari

sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus

dan usus besar (Stanley, 2007).

d. Usus Halus

Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan

berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dansel epithelial berkurang. Di daerah

duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun,

sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak

sebaik sewaktu muda (Leueckenotte, 2000).

e. Usus Besar dan Rektum

Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi

mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah gagal

mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000).

Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas

kolo menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan

elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses

menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan

yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh

kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen

sudah melemah (Darmojo & Martono, 2006).

f. Pankreas

Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia

43
sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu

yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim

pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin dan/

atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006).

g. Hati

Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses

detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain

sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan

terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi

jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo &

Martono, 2006). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa

perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi

peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi

dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley,

2007).

2.3.3.2 Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Menurut Lueckenotte (2000), tulang-tulang pada sistemskelet (rangka)

membentuk fungsi penunjang, pelindung, gerakan tubuh dan penyimpanan

mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan bertanggung jawab untuk

gerakan tubuh volunter. Persendian diklasifikasikan secara struktural dan

fungsional. Klasifikasi struktural didasarkan pada ikatan materi tulang dan apakah

ada rongga persendian. Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan

44
yang dimungkinkan pada persendian. Bila artikulasis di antara tambahan tulang,

sendi menahan tulang dan memungkinkan gerakan. Penurunan progresif pada

massa tulang total terjadi sesuai proses penuaan. Beberapa kemungkinan

penyebab dari penurunan ini meliputi ketidakaktifan fisik, perubahan hormonal

dan resorpsi tulang. Efek penurunan tulang adalah makin lemahnya tulang :

vertebra lebih lunak dan dapat terteka dan tulang berbatang panjang kurang

tahanan terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur. Serat otot

rangka berdegenerasi. Fibrosis terjadi saat kolagen menggantikan otot,

mempengaruhi pencapaian suplai oksigen dan nutrisi. Massa, tonus, dan kekuatan

otot semuanya menurun : otot lebih menonjol dari ekstremitas yang menjadi kecil

dan lemah, dan tangan kurus dan tampak bertulang. Penyusupan dan sklerosis

pada tendon dan otot mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks

tendon. Menurut Pujiastuti (2003), perubahan muskuloskeletal antara lain pada

jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, kartilago, dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan

hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan

mobilitas pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena

penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang

merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas

dan kuantitasnya. Perubahan pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya

fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan

45
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke

berdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-

hari. Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan

latihan untuk menjaga mobilitas.

b. Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi

akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk

regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arahprogresif.

Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago, berkurang atau

hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen kehilangan

kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago

mengalami klasifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan tiroid.

Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi

sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada

persendian menjadi rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi

pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah

mengalami peradangan, kakakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya

aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dapat diberikan

teknik perlindunga sendi.

c. Sistem Skeletal

Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami

penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal

akibat proses menua: Penurunan tinggi badan secara progresif karena

46
penyempitan didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis.

Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan

penampilan barrel-chest. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang

berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan.

Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur (Stanley, 2007).

d. Sistem Muskular

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat

proses menua: Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.

Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang

kurang aktif. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan

sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degeneratif

ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi (Stanley, 2007).

e. Sendi

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses

menua: Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini

adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas. Kekakuan

ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera

(Stanley, 2007).

2.3.3.3 Perurubahan Pada Sistem Persarafan

Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan.

Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-neuron

tersebut tidak dapat mengalami regenerasi. Perubahan struktural yang paling

terlihat tejadi pada otak itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf pusat

47
juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus dan

dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebal adalah daerah otak yang paling

besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan

penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. Menurut Pujiastuti

(2003), lanjut usia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi

sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat. Hal ini terjadi karena SSP

pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan

dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak

menjadi lebih ringan. Akson,dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami

kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang

berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis

dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10%

sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37%.

Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi,

keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi. Hal itu

dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan keseimbangan.

2.3.3.4 Perubahan pada Sistem Endokrin

Kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat age-related

cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebagainya. Perubahan karena usia pada

reseptor hormon, kerusakan permeabilitas sel dan sebagainya, dapat menyebabkan

perubahan respon inti sel terhadap kompleks hormon-reseptor (Darmojo &

Martono, 2006). Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain

48
produksi dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya

tidak berubah, terjadinya pituitari yaitu pertumbuhan hormon ada tetapi lebih

rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurang produksi ACTH, TSH,

FSH, dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic

Rate) dan menurunnya daya pertukaran zat. Menurunnya produksi aldosteron dan

menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan

testosteron (Nugroho, 2008).

49
2.3.4 Kerangka Teori

Keperawatan

Membantu Melalui
pelaksanaan
aktivitasn
Dapat Melakukan kegiatan kehidupan,
melakukan Individu - Preventif menyamankan dan
aktivitas hidup - Kenyamanan komponen
sehari-hari - mencoba ketergantungan
keperawatan agar
klien

Koping Pemulihan Kehidupan


terhadap kesehatan dan
ketergantungan kesehatan
esensial

Gambar 2.3.4 Teori Virginia Henderson (1996)

50
2.3.5 Penerapan Kerangka Teori

Kebutuhan cairan tubuh jika tidak


Air terpenuhi

Feses keras BAB yang tidak tuntas,


status frekuensi bab

Konstipasi

Gambar 2.3.5 Kerangka Penerapan Dari Kerangka Teori Virginia Henderson.

Kerangka diatas dimulai dari kurangnya kebutuhan cairan perhari yang

dapat menyebabkan feses keras, BAB yang tidak tuntas, dan status frekuensi

BAB yang dapat menyebabkan konstipasi.

51
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka konsep


Faktor penyebab :
a. Kurang serat
b. Kurang cairan/konsumsi air
putih
c. Kurang aktivitas
d. Depresi
e. Gannguan metabolik
f. Kurang privasi
g. Obstruksi mekanik
Faktor yang
mempengaruhi:
a. Usia
b. Aktivitas
c. Iklim
d. Diet Konsumsi air Konstipasi
e. Stress putih
f. Penyakit
g. Tindakan medis
h. Pengobatan
i. pembedahan a. Impaksi feses
b. Haemorrhoid
c. Kanker kolon
d. Penyakit divertikular

Keterangan :

: Diukur

: Tidak diukur

: Berhubungan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Konsumsi Air Putih Dengan Kejadian
Konstipasi Pada Lansia Di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan
Karas Kabupaten Magetan.

52
Dari gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa penelitian ini peneliti ingin melihat

hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia. konstipasi

dapat berhubungan dengan konsumsi air putih yang sesuai dengan kebutuhan

tubuh. faktor penyebab konstipasi yaitu kurang serat, kurang cairan/konsumsi air,

kurang aktivitas, depresi, gangguan metabolik, kurang privasi, obstruksi mekanik.

Dari faktor penyebab konstipasi peneliti mengambil satu faktor penyebab yaitu

kurang cairan/kurang konsumsi air, faktor penyebab kurang cairan/konsumsi air

pada lansia yaitu usia, aktivitas, iklim, diet, stress, penyakit, tindakan medis,

pengobatan, pembedahan. Upaya untuk mngurangi konstipasi yaitu dengan

konsumsi air putih sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dari intervensi konsumsi air

putih dapat dilihat ada hubungan dengan kejadian konstipasi pada lansia.

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada hubungan konsumsi air putih

dengan kejadian konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan

Karas Kabupaten Magetan.

53
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain korelasi

menggunakan pendekatan Cross Sectional. Dimana seluruh variabel yang diamati,

diukur pada saat penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan data primer

untuk mengetahui hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada

lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

Dimana variabel bebas yaitu konsumsi air putih dan variabel terikat yaitu

terjadinya konstipasi yang akan dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Cross

sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/ observasi

variabel independent dan dependent hanya satu kali pada satu saat (Nursalam,

2016).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, bukan hanya orang tetapi

juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah

yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek itu (Sugiyono, 2011).

54
Besarnya populasi dalam penelitian ini adalah lansia dengan usia 60-70

tahun sebanyak 65 orang di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

Kabupaten Magetan.

4.2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan menyeleksi porsi

dan populasi yang dapat mewakili kriteria populasi (Nursalam, 2016). Besar

sample dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut:


𝑁
𝑛 = 1+𝑁 (𝑑2 )

Keterangan :

n : Perkiraan sampel

N : Jumlah Populasi

d : tingkat signifikansi α = 0,05

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑2 )

65
𝑛=
1 + 65(0,052 )

65
𝑛=
1,1625

𝑛 =55,9

𝑛 = 55

Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan sampel kasus sebanyak 55

responden.

55
4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan

sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan

subjek penelitian (Sastroasmoro & Ismail, 1995; Nursalam, 2016). Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random samping,

adalah pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan strata dalam

populasi tersebut. Sehingga semua sampel yang ada memiliki peluang yang sama

untuk dijadikan sebagai anggota sampel. Langkah-langkah dalam pemilihan

sampel dengan teknik simple random sampling yaitu :

1. Membuat nomor undian sejumlah populasi, yaitu nama responden dari 01-

65 dilipat sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam pengambilan

undian.

2. Nomor yang sudah dilipat dimasukan dalam kaleng dikocok-kocok sampai

keluar nomor undian

3. Lakukan langkah 1 dan 2 sampai sampel yang dibutuhkan terpenuhi.

Sampel yang dibutuhkan sejumlah 55 sampel.

4. Jika tidak ada responden pada nomor undian yang keluar maka dikocok lagi.

5. Jika telah terpenuhi undang lansia sesuai nama pada sampel dan disuruh

untuk membawa gelas yang biasa digunakan untuk minum sehari-hari.

4.4 Kerangka Kerja

Kerangka kerja konseptual adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang diteliti. Konsep tidak dapat

56
diukur dan diamati secara langsung. Agar dapat diukur dan diamati, maka konsep

itu harus dijabarkan kedalam variabel-variabel. Dari variabel itulah konsep dapat

disusun dan diukur (Notoatmojo, 2012).

Populasi
Seluruh lansiadi Dusun S idorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten
Magetan

Teknik Sampling :
Simple random sampling

Sampel
Lansia usia 60-70 tahun di Dusun Sidorejo Desa Karas

Pengumpulan data :
Menggunakan Angket /kuesioner

Variabel bebas : Variabel terikat :


Konsumsi air putih Kejadian konstipasi

Pengolahan data :
Editing, Coding, Skoring, Data Entry, Cleaning

Analisa Data :
Uji chi square

Hasil dan Kesimpulan

Gambar 4.1 Kerangka kerja hubungan konsumsi air putih dengan kejadian
konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan
Karas Kabupaten Magetan.

57
4.5 Variabel Penelitian

4.5.1. Identifikasi Variabel

Variabel adalah perilaku yang memberikan nilai beda terhadap suatu

(benda, manusia, dan lain-lain) Nursalam (2013). Identifikasi variabel adalah

langkah penetapan variabel-varibel utama dan penetuan fungsi-fungsinya masing-

masing (Azwar, 2010). Variabel dalam penelitian ini ada 2 yaitu variabel

independent (bebas) dan variabel dependent (terikat).

1. Variabel Independent

Variabel Independent (Bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau

nilainya menemukan variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel independent

dalam penelitian ini adalah konsumsi air putih.

2. Variabel Dependent

Variabel Dependent (terikat) adalah aspek tingkah laku yang diamati dari

organisme yang dikenai stimulus atau disebut juga faktor yang diamati dan

diukur menentukan ada atau tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel

bebas (Nursalam, 2013). Variabel dependent dalam penelitian ini adalah

kejadian konstipasi.

4.5.2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari suatu yang didefinisikan tersebut, sehingga memungkinkan penulis untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek

fenomena dan replikasi (Nursalam, 2013).

58
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Skala Data Skor

Konsumsi air Jumlah air yang Menghitung jumlah air yang Lembar tabulasi nominal 1 : kurang dari 1 liter

putih diminum individu setiap diminum lansia perhari. dan gelas ukur 2 : lebih dari 1 liter

hari

kejadian Suatu keadaan dimana 1. Harus disertai 2 atau lebih gejala- Kuesioner Nominal 1 : tidak konstipasi
gejala berikut :
konstipasi waktu seseorang BAB a. mengejan berlebihan minimal 2 : konstipasi
b. feses keras
fesesnya keras. c. perasaan tidak puas
d. sensasi obstruksi anorektal
e. evakuasi dengan bantuan jari,
penekanan dasar pelvis
f. kurang dari 3 kali defekasi
per minggu.
2. Lama berlangsungnya proses BAB.
3. Riwayat konstipasi dalam 3 bulan

59
4.6 Instrumen penelitian

Instrumen atau alat penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoadmojo, 2012). Alat ukur ini mengguanakan kuesioner

(daftar pertanyaan) konstipasi milik Agarwal Sharma dengan 8 item pertanyaan

dan 1 item pertanyaan untuk konsumsi air putih. Pertanyaan yang digunakan

adalah angket tertutup atau berstruktur dimana angket tersebut dibuat sedemikian

rupa sehingga responden hanya tinggal memilih atau menjawab yang sudah

tersedia (responden hanya memberikan tanda (√).

Item pertanyaan konstipasi menurut


Item pertanyaan konsumsi air putih
Agarwa Sharma
a. Harus disertai 2 atau lebih gejala-gejala Berapa gelas air yang diminum perhari
berikut
1. Mengejan berlebihan
2. Feses keras
3. Perasan tidak puas setelah BAB
4. Rasa ingin kembali BAB
5. Pengobatan untuk membantu BAB
(dengan obat atau tanpa obat)
6. Frekuensi BAB
b. Lama berlangsungnya BAB
c. Riwayat konstipasi dalam 3 bulan

4.7 Uji validitas dan Reabilitas

a. Uji validitas

Uji validitas dilakukan untuk memastikan seberapa baik suatu instrumen

untuk mengukur konsep yang seharusnya diukur. Menurut sugiono (2010), untuk

menguji validitas konstruk dilakukan dengan cara mengkorelasikan antara skor

butir pertanyaan dengan skor totalnya.

Uji validitas kuesioner konstipasi dengan jumlah 8 soal dengan kategori

jawaban ya nilianya 1 dan tidak nilainya 0. Uji validitas dilakukan di Desa

Tanjung Sepreh Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan dengan responden

60
sebanyak 15. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan uji Pearson Product

Moment dengan bantuan program SPSS versi 16. Butir pertanyaan kuesioner

dikatakan valid jika diperoleh hasil perhitungan r hitung > r tabel (0,444) dengan

taraf signifikansi 0,05.

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan

sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap valid bila dilakukan

pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan

alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010).

Pada penelitian ini menggunakan uji reabilitas SPSS versi 16. Uji

menggunakan alpha chronbach’s. Dalam uji reabilitas r hasil adalah alpha > r

tabel pertanyaan tersebut reliabel, begitu juga suatu instrumen dikatakan reliabel

jika memberikan nilai alpha chronbach’s > 0,60 (Surjaweni, 2014).

4.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.8.1 Lokasi penelitian

Penelitian akan dilakukan di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

Kabupaten Magetan.

4.8.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian pengumpulan data dilakukan pada bulan desember 2017

-mei 2018.

61
4.9 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah proses pendekatan kepada subjek dan proses

pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2011).

1. Setelah proposal disetujui oleh pembimbing, peneliti mengajukan surat

permohonan izin ke bagian BAAK untuk meminta surat yang ditukan ke

BAKESBANGPOL. Setelah dari BAKESBANGPOL peneliti diberi 4 surat

yang ditujukan kepada DINKES, puskesmas, kepala desa, dan mahasiswa.

Dari DINKES dan puskesmas mahasiswa akan diberi data yang diinginkan,

dan dari kepala desa mengijinkan mahasiswa untuk melakukan penelitian

didesanya.

2. Peneliti menemui calon responden secara lansung untuk mengadakan

pendekatan serta memberikan penjelasan kepada calon responden mengenai

penelitian yang akan dilakukan serta hak-hak responden.

3. Calon responden yang ditemui langsung oleh peneliti dan bersedia menjadi

responden diminta menandatangani lembar persetujuan dan mengisi

kuesioner.

4. Peneliti memberikan penjelasan mengenai cara mengisi kuesioner pada

responden dan memberikan kesempatan bagi responden untuk bertanya bila

ada informasi yang kurang jelas. Pemberian kuesioner dilakukan mandiri oleh

peneliti kepada seluruh responden.

5. Kuesioner yang telah diisi dikembalikan kepada peneliti. Apabila ada

kuesioner yang belum lengkap langsung dilengkapi saat itu juga. Semua

62
kuesioner yang telah diisi dikumpulkan oleh peneliti untuk kemudian diseleksi

dan dilakukan pengolahan data.

4.10 Teknik Pengolahan Data

Setelah data dikelompokan lalu data diolah dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Editing

Hasil dari data lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih

dahulu. Secara umum editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan

perbaikan. Apabila ada data-data yang belum lengkap, jika memungkinkan

perlu dilakukan pengambilan data ulang untuk melengkapi data-data tesebut,

tetapi apabila tidak memungkinkan maka data yang tidak lengkap tersebut

tidak diolah atau dimasukan dalam pengolahan “data mising”.

2. Coding

Koding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri dari beberapa kategori. Coding juga merupakan kegiatan

merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka (Hartono, 2011).

Coding pada variabel konsumsi air putih adalah

1 : kurang dari 1 liter

2 : lebih dari 1 liter

Coding pada variabel kejadian konstipasi

1 : tidak konstipasi

2 : konstipasi

63
3. Scoring

Scoring adalah menentukan pemberian skor terhadap jawaban dari

pertanyaan pada lembar kuesioner. Setelah pengisian kuesioner selanjutnya

akan dilakukan penilaian dengan 8 pertanyaan kuesioner.

a. Untuk variabel konsumsi air putih instrumen yang digunakan adalah

kuesioner yang berisi 1 pertanyaan.

b. Untuk variabel konstipasi instrumen yang digunakan adalah kuesioner

yang berisi dengan 8 pertanyaan dengan jawaban ya nilainya 1, tidak

nilainya 0. Kemudian dilihat apakah terdapat 3 kriteria diagnosis atau

tidak, jika tidak maka tidak konstipasi, jika iya maka konstipasi.

4. Data Entry

Data yang dalam bentuk “kode” (angka dan huruf) dimasukan ke dalam

progam atau “software” komputer. Dalam proses ini dituntut ketelitian dari

orang yang melakukan “data Entry” ini. Apabila tidak maka terjadi bias, meski

hanya memasukan data.

5. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan

adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan atau sebagainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan

data (data cleaning).

64
4.11 Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmojo, 2012). Data yang

berbentuk numerik yaitu usia dan jenis kelamin. Sedangkan data yang

berbentuk kategori yaitu pola konsumsi air, dan konstipasi di analisis

dengan pendekatan distribusi frekuensi dan table.

2. Analisa Bivariat

Analisa Bivariat yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan menggunakan

uji statistik dengan komputerisasi SPSS versi 16.0. Karena data penelitian

berbentuk kategorik berskala nominal maka uji statistik yang digunakan

adalah uji chi square dengan taraf signifikansi yaitu 𝛼 (0,05).

a. Apabila nilai p > 𝛼 (0,05) = H0 diterima, Ha ditolak berarti tidak

ada hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi.

b. Apabila p < 𝛼 (0,05) = H0 ditolak, Ha diterima berarti ada

hubungan antara konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi.

4.12 Etika Penelitian

1. Informed Consent (Lembar persetujuan responden)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti denga

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan, memberikan

lembar persetujuan menjadi responden.

65
2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk memberikan jaminan dalam penggunaan subyek penelitian

dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan

data dan atau hasil penelitian yang akan disajikan (Alimul Aziz, 2007).

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi atau masalah-masalah lainnya.

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset (Alimul Aziz, 2007).

66
BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan dari pengumpulan data

dengan kuesioner yang telah diisi oleh responden mengenai hubungan

konsumsiair putih dengan kejadian konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa

Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan pada bulan mei, dengan jumlah

responden sebanyak 55 orang lansia.

Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan pada penelitian maka hasil

berisi tentang data univariat dan data bivariat. Data univariat berisi tentang

karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin,. Sedangkan data

bivariat berisi tentang hasil hubungan konsumsi air putih dengan kejadian

konstipasi pada lansia.

5.1 Gambaran dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Pengambilan sampel data dilakukan dengan

mengambil sampel dari 10 RT Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

Kabupaten Magetan.

67
5.2 Karakteristik data umum

5.2.1 Karaketistik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.1 Disribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden di


Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten
Magetan.
]

No Jenis Kelamin Frekuensi Percent


1 Laki – laki 26 47.3
2 Perempuan 29 52.7
Total 55 100.0
Sumber : Data primer 2018

Pada tabel diatas menunjukan bahwa jumlah responden berjenis

kelamin perempuan menjadi mayoritas yaitu sebanyak 29 responden

(52,7%).

5.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia responden di Dususn


Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten .
Nomor Usia Frekuensi Presentase (%)
1 60-65 tahun 33 60
2 66-70 tahun 22 40
Jumlah 55 100
Sumber : Data primer 2018

Berdasarkan tabel 5.2 tentang usia responden diatas menunjukan

bahwa usia responden 60-65 tahun berjumlah 33 orang (60 %) dan usia

66-70 tahun berjumlah 22 orang (40%).

68
5.3 Data Khusus

5.3.1 Karakteristik konsumsi air putih

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Konsumsi Air Putih Pada Lansia Di Dusun
Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan
No Konsumsi air putih Frekuensi Percent % Rata-rata iar
yang
diminum
1 Kurang dari 1 liter 29 52,7 900 cc/ hari
2 Lebih dari 1 liter 26 47,3
Total 55 100.0
Sumber : Data primer diolah 2018

Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil, responden mayoritas

konsumsi air putihnya kurang dari 1 liter yaitu 29 responden (52,7%).

5.3.2 Karakteristik kejadian konstipasi

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi kejadian konstipasi pada lansia


No Kejadian konstipasi Frekuensi Percent %
1 Tidak konstipasi 27 49,1
2 Konstipasi 28 50.9
Total 55 100.0
Sumber : Data primer diolah 2018

Berdasarkan data tabel diatas, mayoritas responden mengalami

konstipasi yaitu sebanyak 28 responden (50,9%).

Tabel 5.5 hasil kuesioner konstipasi :


Resp
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8
onde
n
55 ya % Ya % ya % ya % ya % ya % ya % Ya %

29 52,7 28 50,9 28 50,9 28 50,9 28 50,9 55 100 55 100 28 50,9

Data primer diolah 2018

69
5.3.3 Analisa hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi

5.3.3.1 Hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia
di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan

Tabel 5.6 Hasil uji hubungan konsumsi air putih dengan kejadian
konstipasi pada lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan
Karas Kabupaten Magetan
Konsumsi Kejadian konstipasi
Total %
air putih Tidak konstipasi % konstipasi %
Kurang dari
5 17,2 % 24 82,8 % 29 100 %
1 liter
Lebih dari
22 84,6 % 4 15,4 5 26 100 %
1 liter
Total 27 49,1 % 28 50,9 % 55 100 %
P value 0,000
Data primer diolah 2018

Berdasarkan tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa responden yang

konsumsi air putih kurang dari 1 liter sebanyak 29 responden (52,7%) dan

responden yang mengalami konstipasi sebanyak 28 responden (50,9%).

Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan uji statistik chi square di

dapatkan ρ value 0,000 < α = 0,05 artinya H1 diterima, sehingga ada

hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia

didusun sidorejo desa karas kecamatan karas kabupaten magetan.

5.4 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan kuesioner dan pengukuran

terhadap responden pada bulan Mei 2018 dan setelah diolah, maka penulis akan

membahas mengenai hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi

pada lansia didusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

70
5.4.1 Konsumsi Air Putih Pada Lansia Didusun Sidorejo Desa Karas
Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 dengan responden 55 orang

lansia didusun sidorejo desa karas kecamatan karas kabupaten magetan,

menunjukan bahwa lansia mengonsumsi air putih kurang dari 1 liter sebanyak 29

responden (52,7%). Kurangnya konsumsi air putih itu disebabkan oleh responden

yang lebih sering meminum kopi, teh dan minuman lain dalam jumlah hampir

sama dengan air putih yang dikonsumsi perhari. Pengukuran konsumsi air putih

pada responden melalui wawancara dan mengukur gelas yang diberi air untuk

mengetahui berapa cc perhari air yang dikonsumsi oleh responden.

Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fani

Saputra, Marlenywati dan Ismael Saleh (2014) menunjukan hasil konsumsi air

putih pada lansia diwilayah kerja puskesmas saigon kecamatan pontianak timur

pada kategori kurang yaitu (86,2%), sedangkan pada kategori cukup yaitu

sebanyak (13,8%).

Rata-rata air yang diminum lansia di dusun sidorejo desa karas kecamatan

karas kabupaten magetan adalah 900cc/hari. Faktor yang mempengaruhi konsumsi

air putih pada lansia yaitu perubahan rasa haus dan dahaga menurun, sehingga

perlunya pengawasan dalam pemenuhan kebutuhan cairan pada lansia. Karena,

pada lansia akan mengalami kemunduran biologis tubuh yang mengakibatkan

aktifitas kerjanya menurun dan kecukupan gizi yang dibutuhkan lebih rendah

dibanding pada usia remaja dan dewasa.

71
5.4.2 Kejadian Konstipasi Pada Lansia Di Dusun Sidorejo Desa Karas
Kecamatan Karas Kabupaten Magetan

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4 yang dilakukan pada 55

responden yaitu seluruh lansia Didusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas

Kabupaten Magetan, menunjukkan hasil mayoritas lansia mengalami konstipasi

(50,9%) dan lansia yang tidak konstipasi sebanyak 27 (49,1%). Pengukuran

konstipasi pada responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner

konstipasi. Didalamnya terdapat pertanyaan tentang kuantitas dan kualitas

defekasi yang dialami oleh responden selama 3 bulan terakhir.

Hasil dari tabel 5.5 dari 55 responden yang mengejan berlebihan ada 29

responden (52,7%), yang mengalami feses keras ada 28 responden (50,9%), yang

mengalami perasaan tidak puas setelah BAB ada 28 responden (50,9 %), yang

kembali ke kamar mandi untuk BAB ada 28 responden (50,9 %), yang

menggunakan obat (alami/kimia) ada 28 reponden (40,9 %).

Menurut brown (2011) Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal,

seperti kurangnya asupan serat, kurang asupan air, pengaruh obat yang

dikonsumsi, pengaruh dari penyakit yang diderita, hingga akibat kurang aktivitas

fisik. Sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amelia Dyah,

Kartika Sari, dan Bambang Wirjatmadi kota madiun (2016) menunjukan hasil

bahwa sebanyak 45 (66,2%) responden mengalami konstipasi dan 23 (33,8%)

tidak mengalami konstipasi.

Konstipasi pada lansia terjadi karena feses yang keras, perasaan tidak puas

setelah BAB, dan mengejan yang berlebihan. Konstipasi dapat diatasi dengan

memenuhi kebutuhan serat, cairan, dan aktivitas fisik yang cukup seperti olahraga.

72
5.4.3 Hubungan Konsumsi Air Putih Dengan Kejadian Konstipasi Pada
Lansia Di Dususn Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten
Magetan

Konstipasi dapat disebabkan oleh pola makan yang buruk, misalnya

kurang mengonsumsi serat atau kurang minum, kurang aktif dan jarang

melakukan olahraga, mengabaikan keinginan untuk buang air besar, rasa tidak

leluasa saat menggunakan toilet, kekurangan atau kelebihan berat badan,

gangguan mental, seperti kecemasan atau depresi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6 yang dilakukan pada 55

responden yaitu seluruh lansia di dusun sidorejo desa karas kecamatan karas

kabupaten magetan, menunjukan bahwa responden yang mengonsumsi air kurang

dari 1 liter dan tidak konstipasi ada 5 (17,2 %), konstipasi tidak terjadi karena

lansia tersebut mengonsumsi sayur dan buah lebih sering. Untuk yang

mengonsumsi air putih lebih dari 1 liter dan konstipasi ada 4 (15,4 %), konstipasi

terjadi tidak hanya karena konsumsi air putih, bisa juga karena kurang asupan

serat, kurang aktivitas fisik, gangguan mental dan penyakit. Dan untuk total

keseluruhan yang mengonsumsi air putih kurang dari 1 liter dan mengakibatkan

terjadinya konstipasi merupakan hasil tertinggi yaitu sebanyak 29 responden

(52,7%) sementara responden yang mengonsumsi air putih lebih dari 1 liter

namun tidak konstipasi sebanyak 26 responden (47,3%).

Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan uji statistik chi square di

dapatkan ρ value 0,000 < α = 0,05 artinya H1 diterima, sehingga ada hubungan

antara konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia di Dusun

Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

73
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fani

Saputra, Marlenywati dan Ismael Saleh (2014) konstipasi adalah persepsi

gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi

tidak puas buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses

yang keras. Dalam praktek sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar

kurang dari 3 kali seminggu atau 3 hari tidak buang besar atau buang air besar

diperlukan mengejan secara berlebihan. Berdasarkan risiko usia lansia yang

masuk kategori lansia yang rentan untuk terkena konstipasi sering terjadi pada

lanjut usia umur 60 tahun, sebagian besar konstipasi pada usia lanjut berhubungan

dengan motilitas kolon, berkurangnya mobilitas aktivitas fisik, rendahnya asupan

serat dan asupan cairan pada lanjut usia.

Menurut Amirta (2007) konsumsi air yang cukup akan membantu organ-

organ pencernaan seperti usus besar agar berfungsi mencegah konstipasi karena

gerakan-gerakan usus menjadi lebih lancar. Metabolisme di dalam tubuh akan

berjalan dengan sempurna dengan komsumsi air yang cukup. Selain untuk

mencegah konstipasi air putih juga memiliki manfaat lain untuk kesehatan seperti

memperlancar peredaran darah, mengatur suhu tubuh, menyehatkan dan

menghaluskan kulit tubuh, membantu pernafasan, melumasi sendi dan otot.

Semakin tubuh kekurangan air, gerak kolon akan semakin lambat agar

tersedia lebih banyak waktu untuk penyerapan ulang pada sisa metabolisme.

Untuk itu perlunya peningkatan konsumsi air putih pada lansia agar kejadian

konstipasi bisa menurun.

74
5.5 Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti tidak meneliti faktor lain penyebab konstipasi seperti

konsumsi serat, aktivitas fisik, dan penyakit yang diderita

responden.

75
BAB 6

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Beradasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian yang berjudul

hubungan konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada lansia di Dusun

Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan, penulis dapat

memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Konsumsi air putih pada lansia mayoritas kurang dari 1 liter (52,7%) di

Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

2. Kejadian konstipasi pada lansia mayoritas adalah terjadi konstipasi 50,9%

di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten Magetan.

3. Ada hubungan antara konsumsi air putih dengan kejadian konstipasi pada

lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas Kecamatan Karas Kabupaten

Magetan dengan taraf signifikasi p value 0,000 < 0,05.

6.2. Saran

1. Bagi Responden

Lansia perlu pemenuhan cairan kurang lebih 1000cc-1500cc perhari,

cairan tersebut dapat diperoleh dari air putih, teh, kopi, kuah sayur dan

buah-buahan agar tidak terjadi konstipasi.

76
2. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada

tenaga kesehatan untuk menjadi contoh untuk lansia tentang pentingnya

konsumsi air putih.

3. Bagi Peneliti yang selanjutnya

Diharapkan dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai referensi

untuk meneliti lebih lanjut tentang konsumsi air putih dengan kejadian

konstipasi pada lansia dengan menambah variabel lain.

77
DAFTAR PUSTAKA

AKG. 2013. Permenkes Ri Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi
Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Menteri kesehatan R1. Jakarta.

Alimul, Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan & Tehnik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika.

Almatsier, S. 2010. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Amirta , Yolanda. 2007. Sehat Murah Dengan Air. Purwokerto : Keluarga Dokter.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka


Cipta

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.

Azizah, Lilik Ma’ Rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Aziz, Alimul Hidayat. 2008. Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik


Analisisndata. Jakarta : Salemba Medika.

Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Batmanghelidj. 2007. Air : Untuk Menjaga Kesehatan, Penyembuhan &


Kehidupan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Berman, Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb.
Jakarta : EGC.

Brown, J. E. 2011. Nutrition Through The Life Cycle. 4th Edition. Usa :
Wadsworth Cengage Learning.

Darmojo & Martono. 2004. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ).
Jakarta: FKUI

Devi, N. 2010. Nutrition And Food. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara

Drossman Da, Dumitrascu Dl.2006. Rome III : New Standard For Functional
Gastrointestinal Disorders. J Gastrointestin Liver Dis.

Guyton, A. C, Dan Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC. P 208-212, 219-223, 277-282, 285-287.
Hardinsyah, Hadi. 2010. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Dan
Karbohidrat. Jakarta : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi
Viii.

Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi Pertama.


Jakarta : Salemba Medika.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas. Jakarta : Balitbang


Kemenkes RI

Kusharto C. 2006. Serat Makanan Dan Peranannya Bagi Kesehatan. Jurnal Gizi
Dan Pangan.

Lueckenotte, A.G. 2000. Gerontologic Nursing. (2nd Ed.). Missouri : Mosby.

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Ed.3. Jakarta :


EGC.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

___________, S. 2003. Metodologi Penelitian Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.

___________, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta

___________, S. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka


Cipta

Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis


Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika.

___________. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

___________. 2011. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

___________. 2013. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

PDPERSI, Pusat Data Dan Informasi. 2013. Www.Pdpersi.Co.Id (22 Februari


2018)

Price S A & Wilson L M,. 2002.Pathophysiology : Clinical Concept Of Disease


Process. 3th Edition. Alih Bahasa : Anugerah, P. Jakarta : EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini. 2003. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC.

Ramkumar D. Efficacy And Safety Of Traditional Medical Therapies For Chronic


Constipation : Sytematic Review. Am J Gastroenterol. 2005.

Sastroasmoro, Sudigdo Dan Sofyan Ismael. 1995. Dasar-Dasar Metodologi


Penelitian Klinis. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Sharma S, Agarwal Bb. 2012. Scoring System In Evaluation Of Constipation And


Obstructed Defecation Syndrome (Ods). Jimsa.

Simadibrata Mk. 2006. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Didalam : Sudoyo


Aru W Et Al, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Stanley, Mickey. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta :EGC.

Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Jakarta : Alfabeta.

________. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung :


Alfabeta

________. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung :


Alfabeta

Smeltzer, Suzane C., And Bare, Brenda G. 2008. Buku Ajar Kesehatan Medical
Bedah, Volume 2, Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Supariasa, I.D.N. 2004. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Surjaweni, V. Wiratna. 2014. Metode Penelitian : Lengkap, Praktis, Dan Mudah


Dipahami. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi Fisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Tanber, S & Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan


Asuhan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan


Intervensi Nic Dan Kriteria Hasil Noc. Jakarta : EGC.

Wirakusumah. 2003. Menopause. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,
Saya sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun,
Nama : Mirna Ayu Dwi Saputri
Nim : 201402091
Bermaksud melakukan penelitian tentang “Hubungan Konsumsi Air Putih
Dengan Kejadian Konstipasi Pada Lansia Di Dusun Sidorejo Desa Karas
Kecamatan Karas Kabupaten Magetan”. Sehubung dengan ini, saya mohon
kesediaan saudara untuk bersedia menjadi responden dalam penelitian yang akan
saya lakukan. Kerahasiaan data pribadi saudara akan sangat kami jaga dan
informasi yang akan saya gunakan untuk kepentingan penelitian.
Demikian permohonan saya, atas perhatian dan kesediaan saudara saya
ucapkan terima kasih.

Madiun, April 2018


Peneliti

Mirna Ayu Dwi Saputri


Lampiran 6

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,
Saya sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun,
Nama : Mirna Ayu Dwi Saputri
Nim : 201402091
Bermaksud melakukan penelitian tentang “Hubungan Konsumsi Air Putih
Dengan Kejadian Konstipasi Pada Lansia Di Dusun Sidorejo Desa Karas
Kecamatan Karas Kabupaten Magetan”.
Adapun informasi yang saudara berikan akan dijamin kerahasiaanya saya
tanggung jawab apabila informasi yang diberikan merugikan saudara.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila saudara setuju ikut serta dalam
penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom yang telah disediakan.
Untuk kesedian dan kerjasamanya saya mengucapkan terima kasih.

Madiun, April 2018


Peneliti Responden,

Mirna Ayu Dwi Saputri ( )


201402091
Lampiran 7

Nama :

Usia :

Jenis kelamin :

Kuesioner Konsumsi Air Putih

1. Berapa gelas per hari air putih yang anda konsumsi ?

Kuesioner Konstipasi

Kuesioner konstipasi baku diambil dari jurnal Agarwal Sharma dengan jumlah
item 8 soal.

Kriterian penilaian :
- Untuk pertanyaan A nilainya 1

- Untuk pertanyaan nomor B nilainyan 1

- Untuk pertanyaan nomor C nilainya 1

- Dikatakan konstipasi jika semua kriteria terpenuhi dan total nilainya 3

- Dan dikatan tidak konstipasi jika semua kriteria tidak terpenuhi dan

nilainya 0

No Item penilaian Ya Tidak


A Harus ada 2 gejala
1 Mengejan saat BAB
2 Kesulitan untuk BAB ( feses keras)
3 Perasaan BAB yang tidak puas
4 Kembali ke kamar mandi untuk BAB
5 Pengobatan untuk membantu BAB
(dengan obat atau tanpa obat)
6 Frekuensi BAB
B Lama berlangsungnya proses BAB
C Riwayat konstipasi dalam 3 bulan
terakhir
Lampiran 8
LEMBAR TABULASI KONSUMSI AIR PUTIH

KONSUMSI
NO NAMA USIA KODE Ket
AIR
1 Tn. W 68 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
2 Tn. S 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
3 Ny. P 60 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
4 Ny. W 60 850 cc 1 Kurang dari 1 liter
5 Ny. S 60 1200 cc 2 Lebih dari 1 liter
6 Ny. P 61 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
7 Tn. P 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
8 Tn. S 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
9 Ny. M 62 1150 cc 2 Lebih dari 1 liter
10 Ny. K 65 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
11 Tn. L 68 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
12 Ny. M 70 800 cc 1 Kurang dari 1 liter
13 Ny. W 70 1050 cc 2 Lebih dari 1 liter
14 Ny. W 68 1200 cc 2 Lebih dari 1 liter
15 Ny. B 65 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
16 Ny. J 66 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
17 Ny. M 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
18 Tn. N 62 1250 cc 2 Lebih dari 1 liter
19 Tn. K 67 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
20 Ny. U 67 1050 cc 2 Lebih dari 1 liter
21 Tn. M 64 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
22 Ny. S 69 1050 cc 2 Lebih dari 1 liter
23 Ny. K 70 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
24 Tn. H 65 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
25 Ny. W 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
26 Tn. J 60 1150 cc 2 Lebih dari 1 liter
27 Tn. S 60 1250 cc 2 Lebih dari 1 liter
28 Ny. T 61 850 cc 1 Kurang dari 1 liter
29 Ny. U 61 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
30 Tn. D 62 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
31 Tn. A 62 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
32 Ny. D 65 1050 cc 2 Lebih dari 1 liter
33 Ny. P 70 800 cc 1 Kurang dari 1 liter
34 Tn. S 70 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
35 Ny. M 60 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
36 Tn. K 60 1250 cc 2 Lebih dari 1 liter
37 Tn. Z 63 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
38 Ny. T 66 850 cc 1 Kurang dari 1 liter
KONSUMSI
NO NAMA USIA KODE Ket
AIR
39 Tn. S 65 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
40 Tn. B 70 1150 cc 2 Lebih dari 1 liter
41 Tn. D 60 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
42 Ny. E 65 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
43 Ny. M 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
44 Tn. S 63 1100 cc 2 Lebih dari 1 liter
45 Ny. F 69 1250 cc 2 Lebih dari 1 liter
46 Ny. L 70 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
47 Ny. R 70 1050 cc 2 Lebih dari 1 liter
48 Ny. L 60 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
49 Tn. Y 68 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
50 Tn. S 70 1150 cc 2 Lebih dari 1 liter
51 Tn. K 65 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
52 Ny. M 62 1200 cc 2 Lebih dari 1 liter
53 Ny. P 67 1250 cc 2 Lebih dari 1 liter
54 Tn. B 69 950 cc 1 Kurang dari 1 liter
55 Tn. E 69 900 cc 1 Kurang dari 1 liter
Lampiran 9

LEMBAR TABULASI KUESIONER KONSTIPASI

Kuesioner
Nomor Skor Kode Ket
1 2 3 4 5 6 7 8
1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
2 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
3 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
4 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
5 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
6 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
7 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
8 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
9 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
10 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
11 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
12 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
13 0 0 0 0 0 1 1 0 3 1 Tidak Konstipasi
14 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
15 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
16 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
17 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
18 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
19 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
20 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
21 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
22 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
23 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
24 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
25 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
26 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
27 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
28 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
29 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
30 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
31 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
32 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
33 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
34 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 Tidak konstipasi
35 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
36 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
37 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
38 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
Nomor Kuesioner Skor Kode Ket
39 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
40 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
41 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
42 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
43 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
44 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
45 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
46 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
47 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
48 1 0 0 0 0 1 1 0 3 1 Tidak konstipasi
49 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
50 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
51 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 Konstipasi
52 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
53 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
54 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 Tidak konstipasi
55 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 konstipasi
Lampiran 10

1. Data Umum Responden

Statistics

usia jenis_kelamin

N Valid 55 55

Missing 0 0

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

jenis_kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid laki-laki 26 47.3 47.3 47.3

Perempuan 29 52.7 52.7 100.0

Total 55 100.0 100.0

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 60-65 tahun 33 60.0 60.0 60.0

66-70 tahun 22 40.0 40.0 100.0

Total 55 100.0 100.0


2. Data Khusus

Statistics

konsumsi_air_pu kejadian_konstip
tih asi

N Valid 55 55

Missing 0 0

a. Konsumsi Air Putih

konsumsi_air_putih

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kurang dari 1 liter 29 52.7 52.7 52.7

lebih dari 1 liter 26 47.3 47.3 100.0

Total 55 100.0 100.0

Frekuensi air putih yang diminum perhari :


Statistics
konsumsi_air_putih

N Valid 55

Missing 0
Mean 1015.45
Median 950.00
Mode 900
Std. Deviation 130.835
Range 450
Minimum 800
Maximum 1250
Sum 55850
konsumsi_air_putih

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 800 2 3.6 3.6 3.6

850 3 5.5 5.5 9.1

900 14 25.5 25.5 34.5

950 10 18.2 18.2 52.7

1050 5 9.1 9.1 61.8

1100 9 16.4 16.4 78.2

1150 4 7.3 7.3 85.5

1200 3 5.5 5.5 90.9

1250 5 9.1 9.1 100.0

Total 55 100.0 100.0

b. Kejadian Konstipasi

kejadian_konstipasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak konstipasi 27 49.1 49.1 49.1

Konstipasi 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0

c. Kuesioner konstipasi

Statistics

s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7 s8

N Valid 55 55 55 55 55 55 55 55

Missi
0 0 0 0 0 0 0 0
ng
s1

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 26 47.3 47.3 47.3

Ya 29 52.7 52.7 100.0

Total 55 100.0 100.0

s2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 49.1 49.1 49.1

Ya 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0

s3

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 49.1 49.1 49.1

Ya 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0

s4

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 49.1 49.1 49.1

Ya 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0


s5

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 49.1 49.1 49.1

Ya 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0

s6

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 55 100.0 100.0 100.0

s7

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 55 100.0 100.0 100.0

s8

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 49.1 49.1 49.1

Ya 28 50.9 50.9 100.0

Total 55 100.0 100.0


d. Analisis Hubungan Konsumsi Air Putih Dengan Kejadian Konstipasi

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

konsumsi_air_putih *
55 100.0% 0 .0% 55 100.0%
kejadian_konstipasi

konsumsi_air_putih * kejadian_konstipasi Crosstabulation

kejadian_konstipasi

tidak
konstipasi konstipasi Total

konsumsi_air_putih kurang dari 1 liter Count 5 24 29

Expected
14.2 14.8 29.0
Count

% within
konsumsi_air 17.2% 82.8% 100.0%
_putih

lebih dari 1 liter Count 22 4 26

Expected
12.8 13.2 26.0
Count

% within
konsumsi_air 84.6% 15.4% 100.0%
_putih

Total Count 27 28 55

Expected
27.0 28.0 55.0
Count

% within
konsumsi_air 49.1% 50.9% 100.0%
_putih
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 24.900a 1 .000

Continuity Correctionb 22.277 1 .000

Likelihood Ratio 27.241 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 24.447 1 .000

N of Valid Casesb 55

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,76.

b. Computed only for a 2x2 table


DOKUMENTASI
LEMBAR KONSUL
Lembar Revisi Skripsi

Anda mungkin juga menyukai