Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH ISLAM DI TIMOR-TIMUR DAN KAMBOJA

A.Sejarah Timor Leste


            Timor Leste merupakan wilayah bekas koloni portugis selama 450 tahun. Negara bekas
provinsi bagian Indonesia sebalah Timur ini dulunya bernama Timor Timur, namun setelah
berhasil memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia pada 20 Mei 2002 namanya
resmi diganti menjadi Timor Leste.

B. Kedatangan Islam ke Timor Leste


            Kedatangan Islam ke Timor Leste tidak lepas dari peranan para pedagang arab dari
Hadromaut yang berdagang sekaligus myebarkan dan mengajarkan agama islam, hal ini
bersamaan dengan berkembangnya islam di Nusantara, pada beberapa artikel tidak sedikit
penduduk asli Timor Leste mengatakan Islam datang lebih awal dibandingkan Eropa dan agama
lain, namun sebagian orang mengatakan islam mauk di Timor Dili bersamaan dengan datangnya
pedagang Eropa seperti Portugal, Spanyol dan Belanda. Ketika melakukan pelayaran di
kepulauan Nusantara dan Asia Pasifik para pedagang arab senantiasa berhubungan dengan pada
pedagang Eropa. Mereka berlayar ke Pulau Timor melalui pulau Sumatra, jawa Nusa Tenggara,
Irian Barat serta kepulauan Maluku.
            Sebagian pendapat mengatakan Habib Umar Muhdlar adalah pedagang Arab hadromaut
yang pertama kali menetap di Dili, sebenarnya kapan kedatangan Islam ke Dili tidak diketahui
secara pasti namun masyarakat Timor Leste meyakini bahwa Islam lebih awal datang, hal
tersebut dapt diketahui dari sejarah ketika kedatangan kapal pertama Portugis ke Timor Timur
pada tahun 1512 mereka disambut oleh masyarakat Dili yang saat itu dipimpin oleh Abdullah
Afif yang merupakan seorang pedagang dari Hadromaut.

C. Proses Penyebaran dan Perkembangan Islam di Timor Leste


            Proses penyebaran Islam di Timor Leste yaitu melalui para pedagang dari Hadromaut
yang berdagang sekaligus menyebarkan islam, juga para muslim Indonesia yang datang ke
Timor Leste pada abad ke 19 dengan berbagai macam tujuan yang kebanyakan berdagang dan
mengikuti sanak saudara yang lebih dulu datang ke Dili.
            Perkembangan islam di Timor Leste ini mulai terlihat ketika didirikan sebuah masjid di
tengah-tengah mereka, masjid An-nur masjid yang pertama di Timor Leste mereka fungsikan
untuk pengajaran dan pembelajaran serta kajian agama Islam.
            Perkembangan pendidikan Islampun dimulai dengan adanya masjid An-nur sebagai pusat
perkumpulannya. Ddengan didirikannya masjid an-nur inilah lahir madrasah diniyah dn
belakangan ini mulai di bangun pesantren.
            Minoritas muslim di Timur Leste membuat perkembangan Islam berjalan sangat lamban
dan kondisi mereka tertindas, pada tahun 2006 ketika bulan Ramadhan 500 muslim di Dili
mendapat serangan dari umat Katolik yang jumlahnya sangat besar sehingga mereka di paksa
untuk mendapatkan perlindungan di masjid An-nur. Namun tidak selamanya minoritas itu
tertindas sebagai bukti Mari Alkatiri perdana menteri pertama di Timor Leste adalah Muslim
yang taat.
            Muslim menjadi minoritas di Timor Leste karena sangat lama menjadi koloni Portugis,
mereka berbaur menjadi satu dan mungkin saja sekarang lebih banyak masyarakatnya keturunan
Portugis daripada Pribumi asli. Muslim menjadi semakin berkurang seiring dengan lepasnya
Timor Leste dari negara kesatuan republik Indonesia yang sebagian pindah ke Indonesia.
            Kondisi masyarakat muslim Timor Leste meskipun jumlahnya semakin berkurang namun
kini menjadi lebih baik dengan adanya masjid an-nur, madrasah pendidikan islam, panti asuhan
yatim piatu serta pesantren yang kini mulai berkembang.
            Peran MUI tidak lepas dari ketetap bertahanan muslim Timor Leste, anak-anak yang
diislamisasi tidak sedikit yang difasilitasi untuk belajar dan disekolahkan bahkan dipesantrenkan
di Indonesia.

D. Sejarah Berdirinya Masjid Di Timor Timur


Keadaan jumlah penduduk muslim di Timor Leste mengalami perkembangan yang
signifikan, dikatakan bahwa jumlah Muslim pada tahun 1990-an mencapai 31579  jiwa, dimana
terdapat 13 Mesjid, 30 Mushala, 21 Madrasah, 20 Lembaga Islam dan 116 Ustazd. Namun
perbedaan terjadi disaat Timor Leste berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
jumlah Muslim Mengalami penurunan yang amat drastis, dianataranya 5.011 Muslim, 3 Mesjid,
5 Mushala, 5 Madrasah, 7 Lembaga Islam dan 21 Ustadz.
Perkembangan umat Islam di Timor Leste saat bergabungnya dengan Indonesia dapat di
lihat dari pembangunan istitusi Islam, Madrasah, maupun Mesjid yang ada di Timor Leste. Salah
satu Mesjid yang dibangun dan menjadi Icon dari Islam Timor Leste adalah Masjid An'nur yang
sempat hancur disaat terjadi serangan Jepang pada Perang Dunia II dan di bangun kembali
setelahnya.
Semangat Keislaman tetap tumbuh di Timor Leste, walaupun sudah tidak bergabung
kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Muslim Timor Leste tetap berusaha
meraih hak-hak warga negara di tengah kehidupan negara yang baru pada masa sebelum masa
campur tangan PBB. Melalui UNTAET Muslim Timor Leste telah mempersiapakan diri  dengan
membentuk Lembaga Islam Timor Leste dengan nama CENCISTIL.
CENCISTIL adalah singkatan dari Centro da Comunidade Islâmica de Timor-Leste. Dalam
bahasa Indonesianya adalah Pusat Komunitas Islam Timor-Leste. Lebih kurang Islamic Centre of
Timor-Leste dalam bahasa Inggris. CENCISTIL didirikan pada tanggal 10 Desember 2000
(sebelum masa UNTAET) di Dili, Timor-Leste.
Tujuan utama pendirian CENCISTIL adalah sebagai sebuah wadah pengayomi Umat
sebagai satu-satunya corong Suara Komunitas Islam Timor-Leste. Untuk usaha menjawab
kesulitan Umat paska kemerdekaan ketika itu, kini dan akan datang. Dengan Misi Utama
Menegakkan prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW disamping
Memperhatikan undang-undang Negara setempat (Konstitusi Republik Demokrasi Timor Leste).
Dalam rangka mengakomodir Kepentingan Umat Islam Timor Leste baik Internal maupun
Ekternal.

VISI CENCISTIL

1.        Ingin melahirkan pribadi-pribadi Muslim yang berakhlaqul karimah seperti Nabi Muhammad
SAW, cakap, tangguh dan mapan di seluruh aspek kehidupan beragama dan bernegara.
2.        Menjadikan umat Islam layaknya nahl (kehidupan lebah) yang telah diterangkan dalam alQur'an.
3.        CENCISTIL adalah Lembaga Legal umat Islam Timor Leste
4.        CENCISTIL adalah Lembaga Tertinggi Umat Islam Timor Leste
5.        CENCISTIL adalah payung bagi seluruh umat Islam Timor Leste
6.        CENCISTIL adalah payung bagi seluruh ORMAS Islam TimorLeste
7.        CENCISTIL adalah suara umat Islam Timor Leste

MISI CENCISTIL

1.        Berjuang merealisasikan kepentingan untuk Umat Islam Timor Leste


2.        Berinteraksi aktif dan intenstif ke Grass Root dan pemerintah
3.        Merealisasikan beasiswa, pemberdayaan ekonomi umat, berjuang menyediakan fasilitas
pelatihan-pelatihan, mengsponsor ibadah haji, membela dan meringankan beban kaum lemah,
fakir, miskin, yatim, piatu, yatim-piatu, janda, duda, jompo, cacat, dan pesakit
4.        Membawa suara umat Islam Timor Leste ke Nasional dan Internasional
5.        Berdialog dan berinteraksi secara konstruktif dan positif ke non-muslim
6.        Menyediakan semua dokumen resmi Umat Islam Timor Leste
7.        Membantu menyelesaikan masalah umat Timor Leste
8.        Menyediakan kantor dan fasilitas bagi umat Islam di Distrik
9.        Mendeteksi dan mendata jumlah umat Islam Timor Leste, fasilitas Islam dan aset-aset potensial
umat Timor-Leste
10.    Mengajak investor Islam menanam modal di Timor Leste
11.    Berdiplomasi aktif dengan luar negeri
12.    Menanamkan kesadaran tentang prinsip dasar Islam kepada seluruh Umat Islam Timor Leste.

Keberadaan CENCISTIL lahir sebagai mitra pemerintah dalam pengurusan mengenai


kepentingan Umat Islam, sejak didirikan CENCISTIL mendapat subsidi dari pemerintah, namun
sejak tahun 2009 subsidi tersebut tidak lagi cair. Dalam urusan keamanan badan aparatur Negara
seperti polisi dan intel bekerja sama dengan CENCISTIL dalam mencegah gangguan yang
datang dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dalam hal tempat ibadah
misalnya pemerintah menolong CENCISTIL dengan mengawasi pro-kontra pembangunan
gedung TPA di Maliana.
Presiden dan Wakil Perdana Menteri Republik Demokrasi Timor Leste sangat
memerhatikan keberadaan umat Islam di negaranya, terutama dalam hal urusan sosial. Melalui
pemerintah, pasal 12 dan 45 dalam Konstitusi Republik Demokrasi Timor Leste menjamin
kebebasan beragama di Timor Leste. Selain itu, pemerintah juga menghormati Muslim dengan
menjadikan hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur Nasional.
Sedangkan untuk hari besar Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan 1 Muharram masih diperjuangkan,
termasuk waktu istirahat pekerja Muslim pada hari Jumat untuk melaksanakan shalat Jumat.
Perkembangan Muallaf di Timor Leste pada 2011 kemudian tercatat bertambah 500 orang.
Jumlah ini terhitung mengingat sedikitnya tenaga Dakwah, 'Alim Ulama, dan Ustadz yang
memberikan pembinaan kepada para Muallaf. Meskipun demikian, lembaga-lembaga keislaman
dan ahli agama di Timor Leste terus menyebarkan Islam melalui kegiatan-kegiatan di bawah
CENCISTIL yang berbentuk kesosialan. Di samping itu, sekolah-sekolah dan sarana belajar
lainnya yang berbasis Islam terus didirikan dan dikembangkan demi bertahan dan
berkembangnya Islam di negeri ini.
Meski sedikit, umat Islam di Timor Leste ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka
terus berdakwah dan menegakkan syariat Islam meski menjadi minoritas. Walaupun menghadapi
tantangan berat karena fasilitas dan jumlah Muslim yang semakin berkurang, semangat untuk
menjalankan syariat Islam tidak pernah pudar.

E. Perkembangan Pendidikan Islam Di Timor-Timur


Sejak tahun 1977 sampai 1979, Madrasah Diniyah An-Nur mulai menunjukan
perkembangan karena hanya Madrasah An-Nurlah satu-satunya Madrasah tempat menggodok
generasi muda di timor Leste, dengan demikian fasilitas dari umat Islam Dili selalu mengalir,
anak didik sering mendapatkan bantuan alat-alat tulis dari beberapa pihak, dalam tahap
perkembangan selanjutnya dari awal berdirinya madrasah ini pada tahun 1976, kebanyakan
pengurus-pengurus madrasah An-Nur ini adalah orang-orang dari Sulawesi Utara, hal ini ada
sedikit informasi mengenai beberapa tokoh dari Sulawesi Utara yang pernah menjadi pejabat di
madrasah ini, diantaranya:

·           Usman Huwole ( Kepala Madrasah An-nur)


·           Salman Maspeke ( Kepala Madrasah An-Nur 1979)
·           Muhsin Kanon ( pernah menjadi Kepala Madrasah An-Nur)
·           Rustam Timole ( Guru Madrasah An-Nur)
·           Piris Iko (Guru Madrasah An-Nur)
·           Gafar Kioana (pernah menjadi Kepala Madrasah An-Nur)

F. Selintas Tentang Sejarah Di Timor-Timur


Timor Timur adalah bekas koloni Portugis yang kemudian bergabung dengan Indonesia.
Integrasi itu diresmikan pada 17 Juli 1976. Timor Timur pun menjadi provinsi ke-27 alias
provinsi termuda RI. Setelah 22 tahun di bawah rezim Soeharto, Presiden RI ke-2 yang pernah
menjadi mertua Prabowo, sebagian rakyat Timor Timur berkeinginan lepas dari NKRI. Setelah
melalui penentuan pendapat rakyat tanggal 30 Oktober 1999, NKRI kehilangan Timor Timur
yang kemudian resmi menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002.
19 Desember 1998 Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat kepada
Presiden B.J. Habibie. Howard mengusulkan agar pemerintah RI meninjau ulang pelaksanaan
hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur.
25 Januari 1999 Digelar rapat untuk membahas surat Howard. “Tolong dipelajari. Apakah
setelah 22 tahun bergabung dengan Indonesia, masyarakat Timtim masih merasa belum cukup
bersatu dengan kita. Bagaimana kalau kita pisah baik-baik saja melalui Sidang Umum MPR?”
kata Presiden Habibie waktu itu.
27 Januari 1999 Ali Alatas selaku Menteri Luar Negeri RI mengumumkan menawarkan
opsi otonomi khusus yang sangat diperluas kepada Timor Timur. Jika ditolak, maka pemerintah
Indonesia akan merelakan Timor Timur. Sempat terjadi pro-kontra di internal kabinet saat itu.
Maret-April 1999 Terjadi serangkaian peristiwa menegangkan di Timor Timur, antara lain
eksodus massal warga pendatang, kekerasan di Gereja Liquica yang menyebabkan ratusan orang
harus mengungsi, hingga kerusuhan besar di Dili yang menelan korban jiwa.

G. Sejarah Masuknya Islam Di Kamboja


Beberapa sejarawan beranggapan bahwa Islam sampai di Kamboja pada abad ke-11
Masehi. Ketika itu kaum Muslimin berperan penting dalam pemerintahan kerajaan Campa.
Setelah kerajaan itu runtuh, kaum Muslim memisahkan diri. Sebagian sampai di Kamboja.
Muslim Cham yakin garis keturunan mereka terhubung hingga ayah mertua Rasulullah
SAW, Jahsy bin Ri'ab yang merupakan ayah dari Zainab, salah satu istri Raulullah. Hal itu
dikaitkan dengan arus kedatangan para sahabat di Indo-Cina pada 617-618 dari Abyssinia
melalui jalur laut.

H. Perkembangan dan Nasib Muslim Kamboja

Menurut data Pew Research Center , jumlah Muslim di Cambodia pada 2009 mencapai
236 ribu atau 1,6 persen dari total populasi. Namun, menurut Ketua Senat Mahasiswa Muslim
Kamboja, Sles Alfin, populasi Muslim di negaranya diperkirakan mencapai lima persen.
Kebanyakan merupakan etnis Cham dan Melayu yang merupakan kelompok minoritas di
Kamboja.

Pada 2008, Muslim di Kamboja mencapai 321 ribu jiwa. Mayoritas Muslim di Kamboja
adalah Sunni bermazhab Syafi'i yang kebanyakan tinggal di Provinsi Kampong Cham. Provinsi
dengan luas wilayah 9.799 km2 itu ditinggali 1.680.694 jiwa (2008).

Sebelum kemenangan Khmer Merah pada 1975, komunitas Muslim Kamboja sebenarnya
terdiri dari kaum Cham dari bekas kerajaan Champa di Vietnam yang runtuh pada 1470 M.
Kaum Cham pada mulanya diislamkan oleh para pedagang dan pengrajin dari Arab dan India.
Kaum tersebut berimigrasi dalam jumlah besar ke Kamboja pada abad ke-15.

Selain kaum etnis Cham, Muslim Melayu dari Indonesia dan kawasan yang sekarang
bernama Malaysia juga memasuki Kamboja pada abad yang sama. Kaum Arab, kaum imigran
dari Anak Benua India, dan pribumi yang masuk Islam juga menjadi bagian dari komunitas
Muslim di Kamboja saat ini.

Mereka tersebar di seluruh wilayah Kamboja, terutama di sepanjang Mekong, dekat Ibu
Kota Phnom Penh, dan di Kompot, Tonle Sap, Kompong, serta Battambang. Muslim Kamboja
rata-rata bekerja di bidang perdagang an, pertanian, dan perikanan.
Pada 1975, sebelum pembantaian Khmer Merah, terdapat antara 113 dan 120 masjid
dengan sekitar 300 guru agama dan 300 khatib. Banyak di antara guru-guru tersebut yang belajar
di Malaysia dan universitas-universitas Islam di Kairo, India, atau Madinah.

Perkembangan Islam dan komunitas Muslim di Kamboja tidak terlepas dari peran negara-
negara Islam lain. Keberadaan para Salafi dan Wahabi di sana misalnya, seperti ditulis Bjorn
Blengsli, adalah hasil dari pendanaan yang dilakukan Islamic Development Bank yang berlokasi
di Jeddah, Liga Muslim Dunia (Rabithah al-Alam al-Islamiy), serta sejumlah organisasi di Arab
Saudi dan Kuwait yang mendanai pendirian sekolahsekolah Islam di Kamboja.

Alat penting dalam menanamkan pemahaman agama di Kamboja adalah pengembangan


sekolah. Kebanyakan sekolah baru di sana adalah madrasah, beberapa di antaranya
menggunakan konsep pesantren dengan pembelajaran yang lebih jauh dan mendalam tentang
teks-teks Islam. Hingga 2005, jumlah pemukiman Muslim di Kamboja telah mencapai 417 desa,
dengan rata-rata tiga hingga tujuh sekolah Islam di setiap desa.

Anda mungkin juga menyukai