Anda di halaman 1dari 28

PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI DAN

KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN KEBIDANAN


BERKESINAMBUNGAN BAYI BALITA DAN ANAK PRA SEKOLAH

Disusun oleh :

Arie Andriani P3.73.24.1.20.106


Dini Oktavia P3.73.24.1.20.115
Istiaanah Wahyuningsih P3.73.24.1.20.121
Rahmi Kurniawati L P3.73.24.1.20.129

PROGRAM SARJANA TERAPAN PROFESI BIDAN (ALIH JENJANG )


JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
TAHUN AKADEMIK 2020 - 2021
KATA PENGANTAR

Segala rasa syukur terucap hanya kepada Allah SWT, Yang Maha Mengatur segala
apa yang menjadi kehendak-Nya yang dengan ridho dan kemudahan dari-Nya makalah yang
berjudul Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan kejadian ikutan pasca imunisasi
ini dapat diselesaikan dengan lancar dan tepat waktu.
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Manajemen Kebidanan
Berkesinambungan bayi balita dan anak pra sekolah. Selain itu juga, tujuan pembuatan
makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita dalam hal imunisasi dan KIPI.
Makalah ini dibuat berdasarkan berbagai sumber dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
maupun kesalahan, untuk itu kami mengundang pembaca untuk memberi saran dan kritik
yang membangun. Kritik dan saran dari pembaca akan menyempurnakan makalah kami.
Semoga makalah ini menjadi manfaat bagi semua yang membacanya, tidak hanya
kini, tetapi juga nanti.

Jakarta, September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................................................. 1
B. Tujuan ......................................................................................................................................... 2
C. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI ...................................................................................................... 3
A. Penyakit Yang Dapat Dicegah Melalui Imunisasi (PD3I) .......................................................... 3
B. Imunisasi Dasar, Imunisasi Ulangan/Booster Dan Imunisasi Lanjutan ...................................... 5
C. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) ................................................................................... 18
D. Peran Ayah Dalam Mendukung Pemberian Imunisasi Dan Bila Terjadi Dugaan KIPI Pada
Bayi, Balita ....................................................................................................................................... 22
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 24
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................... 24
B. SARAN ..................................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian
bayi (AKB) 34/1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AKBA) 44/1000
kelahiran hidup. Hasil survei Riskesdas tahun 2013 didapatkan data cakupan
imunisasi HB-0 (79,1%), BCG (87,6%), DPT-HB-3 (75,6%), Polio-4 (77,0%), dan
imunisasi campak (82,1%). Survei ini dilakukan pada anak usia 12–23 bulan.
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 cakupan pemberian imunisasi lengkap
sebesar 59,2%, imunisasi tidak lengkap sebesar 32,1%, dan tidak pernah diimunisasi
sebesar 8,7%. Salah satu upaya meningkatkan cakupan imunisasi rutin adalah melalui
pelayanan imunisasi yang dilaksanakan oleh bidan, sesuai dengan kewenangannya
yang diatur dalam Permenkes 1464 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa kewenangan
bidan dalam pelayanan kesehatan anak, yaitu bidan berwenang dalam pemberian
imunisasi rutin sesuai dengan program pemerintah.
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan
terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I), yaitu
Tuberkolosis, Difteri, Pertusis,Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis-B, serta Pneumonia.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga
meningkat dan sebagai akibatnya reaksi simpang yang berhubungan dengan imunisasi
juga meningkat. Reaksi simpang dikenal pula dengan istilah kejadian ikutan pasca-
imunisasi (KIPI) atau adverse event following immunization (AEFI). Pada tahun 2012
diperoleh laporan sebanyak 190 kasus dari 19 provinsi (57,5%), yang terdiri dari 100
kasus KIPI serius dan 90 kasus KIPI non-serius. Dari data tersebut terlihat belum
semua provinsi melaporkan. Diperkirakan kasus KIPI lebih besar dari laporan yang
ada. (Kemenkes RI, 2013)
Sejak tahun 2012 sudah dilaksanakan upaya penguatan surveilens KIPI di 2
provinsi, yaitu Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan total
laporan KIPI sebesar 10.052 kasus. Surveilens KIPI tersebut sangat membantu
program imunisasi, khususnya memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya
imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif. (Kemenkes RI,
2013)

1
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu anatara lain agar kami selaku mahasiswa
mampu memahami mengenai materi penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi
(PD3I) dan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

C. Rumusan Masalah
a. Apa saja penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi?
b. Jelaskan mengenai imunisasi dasar, imunisasi ulangan/booster, dan imunisasi
lanjutan!
c. Jelaskan mengenai kejadian ikutan pasca imunisasi!
d. Bagaimana peran ayah dalam mendukung pemberian imunisasi dan bila terjadi
dugaan KIPI pada bayi, balita?

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Yang Dapat Dicegah Melalui Imunisasi (PD3I)


1. Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi virus menular yang menyerang organ hati dan dapat
menyebabkan kanker hati. Untuk mencegah penyakit ini, vaksin hepatitis B
disuntikkan di paha bayi baru lahir, sebelum berumur 12 jam. Hal itu dilakukan
untuk mencegah penularan virus hepatitis B dari ibu ke bayinya, karena banyak ibu
hamil di Indonesia tidak tahu bahwa di dalam darahnya terdapat virus hepatitis B.
Oleh karena itu sebaiknya ibu hamil diperiksa terhadap kemungkinan terinfeksi
hepatitis B, juga toksoplasma, rubela, sitomegali dan herpes.
2. Polio
Imunisasi polio dilakukan untuk mencegah kelumpuhan akibat serangan virus polio
liar yang menyerang sel-sel syaraf di sumsum tulang belakang. Bila menyerang
otak, maka dapat menyebabkan kelumpuhan seluruh tubuh dan kematian. Vaksin
polio diteteskan ke dalam mulut bayi baru lahir ketika akan pulang ke rumah,
dilanjutkan pada umur 2, 4, 6, 18-24 bulan dan 5 tahun.
3. TBC
Untuk mencegah penyakit tuberkulosis (TBC) berat pada paru, otak, kelenjar getah
bening dan tulang sehingga menimbulkan sakit berat, lama, kematian atau
kecacatan, maka perlu diberikan vaksin BCG. Vaksin BCG disuntikan dikulit
lengan atas kanan pada umur 1 -2 bulan.
4. Difteri, Pertusis, dan Tetanus
Imunisasi DPT atau DpaT perlu diberikan untuk mencegah 3 penyakit, yaitu
difteri, pertusis dan tetanus. Kuman difteri membentuk membran tebal yang
menyumbat jalan napas, serta mengeluarkan racun yang melumpuhkan otot
jantung, sehingga banyak menimbulkan kematian. Sementara itu, kuman pertusis
mengakibatan batuk hebat dan lama, sesak napas, radang paru sehingga banyak
menyebabkan kematian bayi. Kuman tetanus masuk melalui tali pusat, atau luka
dalam yang sempit, kemudian kuman mengeluarkan racun yang menyerang syaraf
otot, sehingga otot seluruh tubuh menjadi kaku, tidak bisa minum, makan atau
bernafas, sehingga banyak menimbulkan kematian. Vaksin DPT atau DPaT
disuntikkan di paha mulai umur 2 bulan, dilanjutkan pada umur 3-4 bulan, 4-6
3
bulan, dan 18-24 bulan, dapat digabung dengan vaksin Hepatitis B dan Hib.
Dilanjutkan lagi di lengan pada umur 5-6 tahun dengan vaksin DT, 10-12 tahun
dan 18 tahun dengan vaksin Td.
5. Radang otak, radang paru dan radang telinga tengah
Untuk mencegah serangan kuman Hib dan pneumokokus yang mengakibatkan
radang paru (pneumonia), radang telinga tengah dan radang otak (meningitis) yang
banyak menimbulkan kematian atau kecacatan, maka perlu diberikan vaksin Hib
dan Pneumokokus. Vaksin Hib dan Pneumokokus disuntikan mulai umur 2, 4, 6,
dan 15 bulan. Pemberian vaksin Hib digabung dengan vaksin DPT atau DpaT,
sementara vaksin pneumokokus terpisah. Radang paru atau radang otak karena
kuman pneumokokus, hanya bisa dicegah dengan vaksin pneumokokus dan tidak
bisa dicegah dengaan vaksin Hib-HepB-DPT. Demikian pula sebaliknya. Sehingga
kedua vaksin ini sama pentingnya.
6. Diare berat
Imunisasi rotavirus diberikan untuk mencegah diare berat yang bisa mengakibatkan
bayi muntah, mencret hebat, kekurangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit
dan asam basa, sehingga banyak menyebabkan kematian. Vaksin rotavirus di
teteskan perlahan ke mulut bayi mulai umur 2, 4 (dan 6 bulan), tergantung jenis
vaksinnya.
7. Influenza
Pemberian vaksin influenza diberikan untuk mencegah serangan virus influenza
yang mengakibatkan demam tinggi, batuk pilek hebat, sesak nafas, radang paru,
sehingga dapat menyebabkan kematian. Vaksin influenza disuntikan mulai umur
6, 7 bulan, kemudian diulang setiap tahun pada balita, usia sekolah, remaja,
dewasa bahkan usia lanjut.
8. Campak dan rubela
Untuk mencegah penyakit campak dan rubela, bayi perlu mendapat vaksi MR
(measles and rubella). Virus campak bisa mengakibatkan demam tinggi, batuk,
pilek , sesak, radang paru (pneumonia), diare, dan radang otak, sehingga banyak
mengakibatkan kematian. Sementara virus Rubela (campak Jerman) menyerang
janin sehingga mengakibatkan keguguran atau bayi kelak buta, tuli,
keterbelakangan mental dan kebocoran sekat jantung bayi. Vaksin MR disuntikkan
mulai usia 9 bulan, 18 bulan dan sebelum masuk SD atau kelas 1 SD.
9. Cacar air
4
Pemberian vaksin cacar air dilakukan untuk mencegah penyakit cacar air yang bisa
merusak kulit, mata, menimbulkan diare, kadang-kadang radang paru, dan
keguguran bila menyerang janin dalam rahim. Vaksin cacar air disuntikkan mulai
umur 1 tahun.
10. Demam tifoid
Untuk mencegah penyakit demam tifoid berat yang mengakibatkan demam tinggi
dan lama, diare, radang sampai kebocoran usus, dan dapat mengakibatkan
kematian, maka anak perlu mendapat vaksin demam tifoid. Vaksin ini disuntikan
mulai umur 2 tahun, dan diulang setiap 3 tahun.
11. Hepatitis A
Imunisasi hepatitis A dilakukan untuk mencegah kerusakan hati karena serangan
virus hepatitis A, yang dapat mengakibatkan kematian. Vaksin hepatitis A
disuntikkan mulai umur 2 tahun kemudian di ulang pada umr 2,5 – 3 tahun.
12. Kanker leher rahim karena virus HPV
Untuk mencegah kanker leher rahim karena HPV yang menyerang tanpa gejala
sejak usia remaja dan akan mengakibatkan kanker leher rahim pada dewasa, maka
anak perlu mendapat imunisasi HPV. Vaksinasi HPV disuntikan 3 kali pada remaja
perempuan mulai umur 10 tahun, dilanjutkan 1-2 bulan dan 6 bulan kemudian.

B. Imunisasi Dasar, Imunisasi Ulangan/Booster Dan Imunisasi Lanjutan


1. Jenis Imunisasi
a. Imunisasi dasar
1) Vaksin BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycrobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin),
strain paris.
2) Vaksin DPT – HB – HIB
Vaksin DTP-HB-Hib digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,
pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b
secara simultan.
3) Vaksin Hepatitis B
Vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-
infecious, berasal dari HBsAg.
4) Vaksin Polio Oral (Oral Polio Vaccine [OPV])
5
Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1, 2,
dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan.
5) Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)
Untuk pencegahan poliomyelitis pada bayi dan anak immunocompromised,
kontak di lingkungan keluarga dan pada individu di mana vaksin polio oral
menjadi kontra indikasi.
6) Vaksin Campak
Vaksin virus hidup yang dilemahkan
b. Imunisasi lanjutan
1) Vaksin DT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus
dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
2) Vaksin Td
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus
dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
3) Vaksin TT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu dalam vial gelas,
mengandung toksoid tetanus murni, terabsorpsi ke dalam aluminium fosfat.

c. Imunisasi anjuran
Setelah mempelajari tentang jenis vaksin imunisasi dasar, sekarang kita akan
mempelajari macam vaksin imunisasi anjuran yang sudah beredar di Indonesia.
Imunisasi anjuran merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang
sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari
penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR, Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis
A,Influenza, Pneumokokus, Rotavirus, Japanese Ensephalitis, dan HPV.
2. Cara penyimpanan
Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan
ketingkat berikutnya, vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan
cara penyimpanan vaksin di kelompokan seperti di bawah ini :
a. Kabupaten/kota
Vaksin Polio disimpan pada suhu -15 s.d. -25 C pada freeze room/freezer.
Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2 s.d. 8 C pada coldroom atau lemari es.

6
b. Puskesmas
Semua vaksin disimpan pada suhu 2 s.d. 8 C pada lemari es.
Khusus vaksin Hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada suhu ruangan,
terlindung dari sinar matahari langsung
Tabel Suhu Penyimpanan Jenis Vaksin
PKM/
PROFINSI KAB/ KOTA BDD/ UPK
PUSTU
VAKSIN MASA SIMPAN VAKSIN
2 BLN+ 1 1 BLN+ 1 1 BLN+ 1
1 BLN+ 1 MG
BLN BLN MG
POLIO - 15 s/d -25 Derajat Celcius
DPT-HB
DT
TT
BCG 2 s/d 8 Derajat Celcius
CAMPAK
Td
Hepatitis B suhu ruangan

Beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan,
yaitu sebagai berikut :
a. Keterpaparan Vaksin Terhadap Panas
Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan
dengan perubahan kondisi Vaksin Vial Monitor [VVM] VVM A ke kondisi B)
harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa kedaluwarsanya masih lebih
panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh digunakan.
Pernahkah Anda membaca tentang VVM? Di dalam bahan ajar ini Anda akan
mempelajari tentang VVM. Jadi, yang dimaksud dengan VVM adalah alat
pemantau paparan suhu panas. Fungsi VVM untuk memantau suhu vaksin
selama dalam perjalanan maupun dalam penyimpanan. VVM ditempelkan pada
setiap vial vaksin berupa bentuk lingkungan dengan bentuk segi empat pada
bagian dalamnya. Diameter VVM sekitar 0,7 cm (7 mm). VVM mempunyai
karakteristik yang berbeda, spesifik untuk tiap jenis vaksin. VVM untuk vaksin

7
polio tidak dapat digunakan untuk vaksin HB, begitu juga sebaliknya. Setiap
jenis vaksin mempunyai VVM tersendiri.
b. Masa Kadaluwarsa Vaksi
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek
masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO).
c. Waktu Penerimaan Vaksin (First In First Out/FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu.
Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal
mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.
d. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit, atau Praktik
Swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
1) Disimpan pada suhu 2 s.d. 8 C;
2) VVM dalam kondisi A atau B;
3) Belum kadaluwarsa;
4) Tidak terendam air selama penyimpanan;
5) Belum melampaui masa pemakaian.

Tabel Masa Pemakaian Vaksin Sisa


Masa
Jenis Vaksin
Pemakaian Keterangan
POLIO 2 minggu
TT 4 minggu
Cantumkan tanggal pertama
DT 4 minggu
vaksin digunakan
Td 4 minggu
DPT-HB-Hib 4 minggu
BCG 3 jam Cantumkan waktu vaksin
CAMPAK 6 jam dilarutkan

Vaksin sisa pelayanan dinamis (posyandu, sekolah) tidak boleh digunakan


kembali pada pelayanan berikutnya, dan harus dibuang.

8
e. Monitoring Vaksin dan Logistik
Setiap akhir bulan, atasan langsung pengelola vaksin melakukan monitoring
administrasi dan fisik vaksin serta logistik lainnya. Hasil monitoring dicatat
pada kartu stok dan dilaporkan secara berjenjang bersamaan dengan laporan
cakupan imunisasi.
f. Sarana Penyimpanan
1) Kamar Dingin dan Kamar Beku
2) Lemari Es dan Freezer
3) Alat Pembawa Vaksin
4) Alat untuk Mempertahankan Suhu
5) Penempatan lemari es (LE)
6) Pemeliharaan Sarana Cold Chain
3. Dosis dan cara pemberian vaksin
a. Vaksin BCG
1) Dosis pemberian: 0,05 ml, sebanyak 1 kali.
2) Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertio musculus
deltoideus), dengan menggunakan ADS 0,05 ml.
b. Vaksin DPT – HB – HIB
1) Vaksin harus disuntikkan secara intramuskular pada anterolateral paha atas.
Satu dosis anak adalah 0,5 ml.
c. Vaksin Hepatitis B
1) Dosis 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, secara intramuskuler, sebaiknya pada
anterolateral paha.
2) Pemberian sebanyak 3 dosis.
3) Dosis pertama usia 0–7 hari, dosis berikutnya interval minimum 4 minggu (1
bulan).
d. Vaksin Polio Oral (Oral Polio Vaccine [OPV])
1) Secara oral (melalui mulut), 1 dosis (dua tetes) sebanyak 4 kali (dosis)
pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
e. Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)
1) Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis
pemberian 0,5 ml.
2) Dari usia 2 bulan, 3 suntikan berturut-turut 0,5 ml harus diberikan pada
interval satu atau dua bulan.
9
3) IPV dapat diberikan setelah usia bayi 6, 10, dan 14, sesuai dengan
rekomendasi dari WHO.
4) Bagi orang dewasa yang belum diimunisasi diberikan 2 suntikan berturut-
turut dengan interval satu atau dua bulan.
f. Vaksin Campak
1) Disuntikkan 0,5 ml secara subkutan pada lengan kiri atas atau anterolateral
paha, pada usia 9–11 bulan.
g. Vaksin DT
1) Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml. Dianjurkan
untuk anak usia di bawah 8 tahun.
h. Vaksin Td
1) Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis
pemberian 0,5 ml
i. Vaksin TT
1) secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml.
4. Jadwal pemberian vaksin

10
5. Indikasi dan kontra indikasi
a. Vaksin BCG
1) Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosis.
2) Kontra Indikasi : Pasien dengan gangguan sistem imun termasuk pasien HIV,
terdapat bukti adanya infeksi tuberkulosis aktif atau golongan anti
tuberkulosis (Misalnya Kusta), infkeksi saluran kemih, riwayat infeksi BCG
sebelumnya, pasien luka bakar, adanya demam
b. Vaksin DPT – HB – HIB
1) Indikasi : vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,
pertussis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi haemophilus influenzae tipe B
secara simultan
2) Kontra indikasi: Kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau
kelainan saraf serius .
c. Vaksin Hepatitis B
1) Indikasi : Pencegahan penyakit hepatitis B dalam bentuk formulasi dari bayi
baru lahir sampai dewasa
2) Kontra indikasi: Penderita infeksi berat yang disertai kejang.
d. Vaksin Polio Oral (Oral Polio Vaccine [OPV])
1) Indikasi: Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
2) Kontra indikasi: Pada individu yang menderita immune deficiency tidak ada
efek berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang
sakit.
e. Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)
1) Indikasi: Untuk pencegahan poliomyelitis pada bayi dan anak
immunocompromised, kontak di lingkungan keluarga dan pada individu di
mana vaksin polio oral menjadi kontra indikasi.
2) Kontra indikasi: Sedang menderita demam, penyakit akut atau penyakit
kronis progresif, Hipersensitif pada saat pemberian vaksin ini sebelumnya,
Penyakit demam akibat infeksi akut: tunggu sampai sembuh, Alergi terhadap
Streptomycin.
f. Vaksin Campak
1) Indikasi: Pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.

11
2) Kontra indikasi: Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau
individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia,
limfoma.
g. Vaksin DT
1) Indikasi: Pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus pada
anak-anak.
2) Kontra indikasi: Hipersensitif terhadap komponen dari vaksin.
h. Vaksin Td
1) Indikasi: Imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai
usia 7 tahun.
2) Kontra indikasi: Individu yang menderita reaksi berat terhadap dosis
sebelumnya.
i. Vaksin TT
1) Indikasi: Perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada wanita usia subur.
2) Kontra indikasi: Gejala-gejala berat karena dosis TT sebelumnya,
Hipersensitif terhadap komponen vaksin, Demam atau infeksi akut.
6. Rantai dingin
Rantai Dingin Vaksin atau Vaccine Cold chain adalah sistem penyimpanan dan
pendistribusian vaksin pada kisaran suhu yang direkomendasikan dari proses
pembuatan hingga penggunaan vaksin. Dilakukan bertujuan untuk memberikan
vaksin ampuh dan efektif agar manfaat vaksin bisa optimal maka diperlukan
infrastruktur rantai dingin. harus memiliki sebuah jaringan penyimpanan vaksin,
Walk-in-cooler (WIC), Walk-in-freezer (WIF), Deep Freezer (DF ), Ice lined
Refrigerators (ILR), truk pendingin, mobil van vaksin untuk mendistribusi vaksin,
cold boxes, vaccine carriers dan icepacks. Vaksin diangkut dari produsen melalui
transportasi udara di bawah kisaran suhu +2C sampai dengan +8C ke
penyimpanan vaksin primer atau disebut GMSDs (Government Medical Store
Depots) atau State head quarter.
a. Sistem Rantai Dingin atau Cold Chain
Produk Rantai Dingin (cold chain) , terdapat persyaratan khusus yang harus
dipenuhi sebagai standar selain yang dipersyaratkan dalam CDOB Tahun 2012,
antara lain meliputi aturan yang berkaitan dengan masalah suhu pada saat
penerimaan, penyimpanan dan pengiriman. Hubungan yang paling penting pada

12
imunisasi adalah cold chain atau rantai dingin. Bagaimanapun vaksin tersebut
memiliki potensi, jika rantai dingin tidak dikelola dengan baik maka potensi
vaksin akan hilang. Mulai dari unit pembuatan sampai ke lokasi pemberian
vaksin, peraturan harus diikuti sesuai dengan yang telah direkomendasikan
untuk menghindari kerusakan rantai dingin. Selalu ukur suhu dengan
termometer dua 12 kali sehari untuk mengecek ada tidaknya kerusakan pada
peralatan dan konsekuensi dari kerusakan pada rantai dingin. Vaksin tidak
hanya akan kehilangan potensi tapi juga terjadi ketidak percayaan masyarakat
terhadap program imunisasi. Rantai dingin dimulai dari unit penyimpanan di
pabrik pembuat vaksin, kemudian vaksin dikirim ke distributor dan dikirim ke
fasilitas kesehatan dan disimpan, berakhir dengan pemberian vaksin kepada
pasien. penyimpanan dan penanganan kondisi yang sesuai harus dipertahankan
pada setiap link dalam rantai dingin. Sebuah rantai dingin yang efektif
bergantung pada tiga unsur utama yaitu seorang staf terlatih, penyimpanan dan
pemantauan suhu peralatan yang terpercaya, dan manajemen persediaan vaksin
yang akurat. Stabilitas vaksin sangat bergantung pada sistem cold chain, jika
cold chain rusak maka akan mengakibatkan ketidakstabilan vaksin.
Cold chain bergantung pada parameter berikut :
1) Parameter distribusi
a) Batas waktu distribusi yang terbatas
b) Batas waktu distribusi yang terbatas pada kasus perjalanan (ekskursi)
c) Monitoring suhu terus menerus : suhu maksimal dan minimal serta suhu
rata-rata
d) Jumlah dan tempat
e) Jumlah dan posisi cooling packs
2) Parameter produk
a) Tampilan umum produk
b) Kondisi fisik kemasan
c) Pengecekan kimia
d) Pengecekan mikrobiologi jika dibutuhkan
3) Masalah selama distribusi
a) Cuaca
b) Keterlambatan yang tidak terduga
c) Kemacetan
13
d) Kerusakan
e) Masalah listrik
f) Kendaraan mogok.
Penyusunan vaksin saat penyimpanan dalam freezer dan chiller didasarkan atas
prinsip FEFO. Penyusunan akan mempermudah saat vaksin akan digunakan,
penggunaan vaksin didasarkan atas prinsip FIFO, prinsip FEFO, dan kondisi
VVM. FIFO artinya yang lebih dahulu masuk harus dikeluarkan atau digunakan
lebih dahulu. FEFO artinya yang leih dahulu expired harus dikeluarkan atau
digunakan lebih dahulu. Masa kadaluwarsa lebih awal atau diterima lebih awal
harus digunakan lebih awal sebab umumnya yang diterima lebih awal biasanya
juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan masa
kedaluwarsanya mungkin lebih awal. Kondisi VVM juga diperhatikan saat akan
mengeluarkan vaksin, jika kondisi VVM telah berubah (kondisi A ke B) maka
akan digunakan terlebih dahulu. Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka
digunakan vaksin yang lebih pendek masa kedaluwarsanya.
b. Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan
pengiriman obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis
dan jumlah dari instalasi farmasi secara merata dan teratur untuk memenuhi
kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Pemerintah bertanggung jawab
dalam pendistribusian logistik sampai ke tingkat provinsi. Pendistribusian
selanjutnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah secara berjenjang
dengan mekanisme diantar oleh level yang Provinsi lebih atas atau diambil
oleh level yang lebih bawah, tergantung dengan kebijakan masing-masing
daerah. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013,
prosedur distribusi rantai dingin vaksin dari puskesmas ke tempat pelayanan
ialah vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang diisi cool
pack dengan jumlah yang sesuai. Prosedur distribusi rantai dingin vaksin dari
kabupaten/kota ke puskesmas ialah :
1) Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh
puskesmas.
2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan
mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung penyimpanan
vaksin.
14
3) Menggunakan cold box atau vaccine carrier yang disertai dengan cool
pack.
4) Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) dan Vaccine Arrival Report (VAR)
5) Pada setiap cold box atau vaccine carrier disertai dengan indicator
pembekuan.
Vaksin yang akan digunakan harus dikirimkan langsung ke fasilitas kesehatan.
Jika tidak dimungkinkan, transportasi vaksin harus dilakukan dengan
menggunakan kulkas vaksin portabel dengan perangkat pemantauan suhu. Jika
ini tidak tersedia, wadah yang memenuhi kualifikasi dan cool pack dapat
digunakan dengan perangkat pemantauan suhu. Total waktu untuk transportasi
dan hari kerja harus maksimal 8 jam. Jika harus mengangkut vaksin di
kendaraan non-komersial maka harus menggunakan bagian penumpang bukan
ruang bagasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian vaksin :
1) Pendistribusian vaksin harus meperhatikan kondisi VVM, tanggal
kadaluwarsa (FEFO) dan urutan masuk vaksin (FIFO).
2) Setiap distribusi menggunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool
pack) untuk vaksin TT, DT, hepatitis B PID dan DPT/HB, serta kotak beku
(cold pack) untuk vaksin BCG, Campak dan Polio.
3) Apabila pendistribusian vaksin dalam jumlah kecil, dimana vaksin sensitive
beku dicampur dengan sensitif panas maka digunakan cold box berisi kotak
dingin cair (cool pack).
4) Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indicator
pembekuan.
c. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan
dilakukan untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai
disitribusikan ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus disimpan
pada suhu yang telah ditetapkan. Menurut pedoman CDOB Tahun 2012,
prosedur penyimpanan produk rantai dingin vaksin harus dipastikan disimpan
dalam ruangan dengan suhu terjaga, cold room/chiller (2C sampai dengan
15
8C), freezer room /freezer (-25°C sampai dengan -15°C). Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, Vaksin polio disimpan pada suhu -5°C sampai dengan -25°C pada
freezer. Sedangkan vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C sampai dengan
8°C pada cold room atau lemari es. Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu
2°C sampai dengan 8°C atau pada suhu ruang terhindar dari sinar matahari
langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu 2°C sampai
dengan 8°C.
d. Sarana Distribusi dan Penyimpanan
Peralatan cold chain merupakan bagian dari sistem manajemen cold chain,
tanpa peralatan cold chain maka penanganan rantai dingin vaksin tidak dapat
dilakukan. Peralatan untuk menyimpan vaksin harus dapat menyimpan
vaksin pada suhu yang direkomendasikan sepanjang tahun. Kapasitas
peralatan penyimpanan berbeda setiap tingkatan. Sebagian peralatan
bergantung pada pasokan listrik untuk mempertahankan suhu yang
direkomendasikan, beberapa peralatan dapat memepertahankan suhu
penyimpanan tanpa adanya pasokan listrik untuk janga waktu tertentu.
Sarana distribusi dan penyimpanan rantai dingin vaksin menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 adalah :
1) Kamar dingin dan kamar beku
a) Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3 ) sampai
dengan 100.000 liter (100 m3 ). Suhu bagian dalamnya mempunyai
kisaran Antara 2°C sampai dengan 8°C. Kamar dingin ini berfungsi
untuk menyimpan vaksin BCG, campak, DPT, TT, DT, hepatitis B dan
DPT-HB.
b) Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3 ) sampai
dengan 100.000 liter (100 M3 ), suhu bagian dalamnya mempunyai
kisaran Antara -15°C sampai dengan -25°C. Kamar beku utamanya
berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.

16
2) Lemari es dan freezer
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis
B,Campak dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan yaitu 2°C
sampai dengan 8°C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin
cair (cool pack).
Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan
antara -15°C sampai dengan -25°C atau membuat kotak es beku (cold
pack).
Bentuk pintu lemari es atau freezer
a) Bentuk buka dari depan (front opening) Lemari es atau freezer dengan
bentuk pintu buka dari depan banyak digunakan dalam rumah tangga
atau pertokoan, seperti : untuk menyimpan makanan, minuman, buah-
buahan yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk ini tidak
dianjurkan untuk penyimpanan vaksin. Kelemahan jenis ini adalah
suhu tidak stabil, bila listrik padam relatif tidak dapat bertahan lama,
dan jumlah vaksin yang dapat ditampung sedikit. Kelebihan jenis ini
adalah susunan vaksin menjadi mudah dan vaksin terlihat jelas dari
samping depan.
b) Bentuk buka dari atas (top opening) Bentuk top opening pada
umumnya adalah freezer yang biasanya digunakan untuk menyimpan
bahan makanan, ice cream, daging atau lemari es untuk penyimpanan
vaksin. Salah satu bentuk lemari es top opening adalah ILR (Ice Lined
Refrigerator) yaitu : freezer yang dimodifikasi menjadi lemari es
dengan suhu bagian dalam 2°C sampai dengan 8°C, hal ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada
lemari es. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan kotak dingin cair
(cool pack) pada sekeliling bagian dalam freezer sebagai penahan
dingin dan diberi pembatas berupa alumunium atau multiplex atau
acrylic plastic. Kelemahan jenis ini adalah penyusunan vaksin agak
sulit karena vaksin bertumpuk. Kelebihan jenis ini adalah suhu lebih
stabil, bila listrik padam relatif suhu dapat bertahan lama, dan jumlah
vaksin yang dapat ditampung lebih banyak. Bagian yang sangat penting
dari lemari es/freezer adalah thermostat. Thermostat berfungsi untuk
mengatur suhu bagian dalam pada lemari es atau freezer.
17
3) Alat pembawa vaksin
a) Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa
vaksin. Umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak
dingin (cold box) ada 2 macam yaitu terbuat dari plastik atau kardus
dengan insulasi poliuretan.
b) Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari
puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang
dapat mempertahankan suhu 2°C sampai dengan 8°C.
4) Alat untuk mempertahankan suhu
a) Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi
empat yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu
-15°C sampai dengan -25°C selama minimal 24 jam.
b) Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi
empat yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam lemari es
dengan suhu 2°C sampai dengan 8°C selama minimal 24 jam.

C. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


1. Pengertian
KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
KIPI bisa berupa efek simpang yang sangat ringan sekali sampai dengan efek
simpang yang lebih berat. KIPI dapat menyebabkan keraguan masyarakat terhadap
keamanan vaksin. Agar dapat memahami KIPI yang mungkin terjadi dan dapat
mengantisipasi serta menanggapi secara tepat,
KIPI serius merupakan kejadian medis setelah imunisasi yang tak diinginkan yang
menyebabkan rawat inap atau perpanjangan rawat inap, kecacatan yang menetap
atau signifikan dan kematian, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.
(Kemenkes, 2013)
2. Penyebab
Berdasarkan telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of
Medicine (IOM) United State of America (USA), menyatakan bahwa sebagian
besar Kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) terjadi secara kebetulan saja

18
(koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors). (Akib, 2011)
Menurut WHO KIPI dikelompokkan dalam 5 kategori :
a. Kesalahan Prosedur (Program)/Teknik Pelaksanaan (Programmatic Error)
Sebagian besar KIPI berhubungan dengan kesalahan prosedur yang meliputi
kesalahan prosedur penyimpanan, pengeloalaan dan tata laksana pemberian
vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi. Misalnya, dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara
penyuntikan, sterilisasi syringe dan jarum suntik, jarum bekas pakai, tindakan
aseptik dan antiseptik, kontaminasi vaksin dan peralatan suntik, penyimpanan
vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, tidak
memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dan
lain-lain).
b. Reaksi Suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik, baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung, meliputi rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat
suntikan. Adapun reaksi tidak langsung, meliputi rasa takut, pusing, mual,
sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, yang sering terjadi pada vaksinasi massal. Pencegahan reaksi KIPI
akibat reaksi suntikan bisa dilakukan dengan menerapkan teknik penyuntikan
yang benar, membuat suasana tempat penyuntikan yang tenang dan mengatasi
rasa takut pada anak.
c. Induksi Vaksin (Reaksi Vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian, dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Pencegahan terhadap reaksi vaksin,
di antaranya perhatikan indikasi kontra, tidak memberikan vaksin hidup kepada
anak defisiensi imunitas, ajari orangtua menangani reaksi vaksin yang ringan
dan anjurkan untuk segera kembali apabila ada reaksi yang mencemaskan
(paracetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan
rasa nyeri), kenali dan atasi reaksi anafilaksis, siapkan rujukan ke rumah sakit
dengan fasilitas lengkap.
19
Reaksi vaksin sendiri diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu reaksi ringan
dan rekasi berat :
1) Reaksi ringan
a) Biasanya terjadi beberapa jam setelah pemberian imunisasi
b) Biasanya reaksi hilang dalam waktu singkat dan tidak berbahaya
c) Reaksi lokal (termasuk nyeri, bengkak atau kemerahan di lokasi suntikan)
d) Reaksi sistemik (seperti demam, nyeri otot seluruh tubuh, badan lemah,
pusing, nafsu makan turun).
2) Reaksi berat
a) Biasanya tidak menimbulkan masalah jangka panjang
b) Dapat menimbulkan kecacatan
c) Jarang mengancam jiwa
d) Termasuk kejang dan reaksi alergi yang timbul sebagai akibat reaksi
tubuh terhadap komponen tertentu yang ada didalam vaksin.
d. Faktor Kebetulan (Koinsiden)
Salah satu indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian
yang sama pada saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan
karakteristik serupa, tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab Tidak Diketahui
Apabila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke
dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini. Biasanya, dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
3. Kelompok resiko tinggi KIPI
Hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI yaitu apakah
resipien termasuk dalam kelompok risiko. Kelompok risiko adalah anak yang
mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu dan bayi berat lahir rendah.
Jadwal imunisasi bayi pada bayi kurang bulan harus memperhatikan: titer imunitas
pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup bulan, apabila
berat badan bayi kecil (<1.000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi
mencapai berat 2.000 gram atau berumur 2 bulan; kecuali untuk imunisasi hepatitis
B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.
4. Evaluasi kejadian KIPI
Evaluasi yang dilakukan terdiri dari evaluasi rutin dan tahunan.
20
a. Evaluasi rutin dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinkes provinsi minimal 6 bulan
sekali. Evaluasi rutin untuk menilai efektivitas pemantauan KIPI.
b. Evaluasi Tahunan
Evaluasi tahunan dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Provinsi
untuk tingkat provinsi dan Komnas PP-KIPI/sub-direktorat Imunisasi untuk
tingkat nasional. Perkembangan KIPI dapat dinilai dari data laporan tahunan di
tingkat propinsi dan nasional.
5. Penanggulangan KIPI
a. Pencegahan primer
1 Tempat Ruangan khusus untuk penanggulangan KIPI, misalnya
ruang UKS atau ruangan lainnya.
2 Alat dan obat Tensimeter, infus set, alat suntik steril. Adrenalin
1:10.000, deksametason suntik, cairan infus NaCl 0,9%.
3 Fasilitas rujukan Fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta yang
sudah dikoordinasikan dalam jejaring fasilitas kesehatan
4 Penerima vaksin Perhatikan kontra-indikasi dan hal-hal khusus terhadap
imunisasi tertentu.
5 Mengenal gejala Gejala lokal dan sistemis serta reaksi lainnya. Makin
klinik KIPI cepat
terjadinya KIPI, makin berat gejalanya.
6 Prosedur pelayanan Mencuci tangan sebelum dan sesudah penyuntikan,
imunisasi membersihkan kulit di daerah suntikan dengan air
matang, jika kotor harus menggunakan alkohol 70%,
bacalah label pada botol vaksin, kocoklah vaksin jika
terdapat perubahan warna atau gumpalan, gantilah
dengan vaksin lain, tempat suntikan yang dianjurkan
pada bayi: bagian paha sebelah luar (di antara garis
tengah bagian depan paha dan tepi paha), pada anak: di
lengan kanan atas di daerah pertengahan muskulus
deltoideus, observasi pasca-imunisasi minimal 30 menit.
7 Pelaksana Tenaga kesehatan yang terlatih dan ditunjuk oleh kepala
puskesmas serta dibekali surat tugas

b. Pencegahan medis
Penanggulangan kasus ringan dapat diselesaikan oleh puskesmas dan memberikan
pengobatan segera, Komda PP-KIPI hanya perlu diberikan laporan. Jika kasus

21
tergolong berat harus segera dirujuk. Kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan
gejala sisa, atau meninggal, perlu dilakukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan
Komda PP-KIPI segera dilibatkan.

D. Peran Ayah Dalam Mendukung Pemberian Imunisasi Dan Bila Terjadi Dugaan
KIPI Pada Bayi, Balita
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk mencapai millennium development goals
(MDGs) yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian anak. Angka kematian
bayi merupakan indikator utama yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan
masyarakat. Imunisasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
pada masa bayi. Kebutuhan dasar anak secara alamiah harus di penuhi oleh orang tua,
orang tua merupakan kunci dalam menjaga dan merawat anak. Anak dapat tumbuh
dan berkembang secara sehat baik secara fisik maupun mental tergantung pada orang
tua. Untuk mewujudkannya tentu orang tua harus selalu memperhatikan, mengawasi,
dan merawat anak terutama di awal kehidupan anak khususnya pada masa bayi.
Imunisasi merupakan tanggung jawab kedua orang tua.

Peran ayah selain sebagai kepala keluarga dan berperan sebagai pencari nafkah,
juga berperan sebagai pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, dan sebagai
penentu pengambil keputusan dalam sebuah keluarga termasuk kaitannya dengan
kesehatan anak salah satunya dengan keikutsertaan anak dalam imunisasi. Ayah
memiliki peran penting dalam memastikan anak diimunisasi, dan memiliki pengaruh
terhadap kelengkapan imunisasi dasar yang di berikan ke anaknya. Tidak sebatas itu,
ayah juga berperan membantu ibu jika anak rewel dan demam setelah imunisasi, ayah
dan ibu harus saling mendukung dan menyokong dalam hal anak. Ayah mempunyai
kewajiban penting dalam memastikan anak tumbuh sehat, mendapat gizi yang cukup,
memberikan perlindungan dan lingkungan yang layak sehingga anak dapat tumbuh
dan berkembang mencapai potensi maksimalnya di masa depan.

Peran ayah dalam mendukung pemberian imunisasi dan bila terjadi dugaan kipi
pada bayi dan balita, yaitu :

1. Mendukung dalam pemberian imunisasi


2. Memastikan anak mendapat imunisasi dasar secara lengkap
3. Memotivasi ibu untuk patuh dan teratur memberikan imunisasi anaknya
4. Ikut terlibat dan mendampingi pada saat anak akan diberi imunisasi

22
5. Mengingatkan jadwal pemberian imunisasi anaknya
6. Membantu dan saling bekerjasama dengan ibu pada saat anak diduga mengalami
KIPI dengan reaksi lokal yang ringan
7. Membantu mengingatkan ibu bahwa demam merupakan suatu reaksi imunisasi
yang tidak membahayakan anak dan bukan merupakan kontra indikasi untuk
melakukan imunisasi selanjutnya.
8. Menenangkan ibu dan mengantar anaknya ke fasilitas kesehatan jika terjadi dugaan
KIPI dengan reaksi lokal yang berat

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang
pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan. Terdapat
banyak penyakit menular di Indonesia yang dapat dicegah dengan imunisasi yang
disebut dengan Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) diantaranya
adalah Tuberkolosis, Difteri, Pertusis,Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis-B, serta
Pneumonia.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga
meningkat dan sebagai akibatnya reaksi simpang yang berhubungan dengan imunisasi
juga meningkat. Reaksi simpang dikenal pula dengan istilah kejadian ikutan pasca-
imunisasi (KIPI) atau adverse event following immunization (AEFI).
Imunisasi merupakan kebutuhan dasar pada anak yang harus dipenuhi sehingga
dalam hal ini orang tua memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan imunisasi.
B. SARAN
Dengan disusun nya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu
pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi serta
dapat memahami seperti apa kejadian ikutan pada imunisasi. Penulis menyadari jika
makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk
memprebaiki makalah tersebut penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca.

24
DAFTAR PUSTAKA

Akib P.A., Purwanti A. 2011. Kejadian Ikutan pasca Imunisasi (KIPI) Adverse Events Following
Imumunization (AEFI). Dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi keempat.
Penyunting: Ranuh Gde, Suyitno H, Hadinegoro S.R.S, Kartasasmita C.B, Ismoedijanto
dkk. Jakarta: IDAI.
Hadianti D.N., dkk. 2014. Buku ajar imunisasi. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan
Kemenkes RI. 2013. Peraturan Pemerintah Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
Sri winarsih, Fransiska imavike, dkk. November 2013. E-jurnal : hubungan peran orang
tua dalam pemberian imunisasi dasar dengan status imunisasi bayi di desa
wilayah kerja puskesmas dringu kabupaten probolinggo. Jawa Timur. Di akses 6
september 2020 : https://jik.ub.ac.id/index.php/jik/article/download/22/41

25

Anda mungkin juga menyukai