Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH GERIATRI

Di susun oleh:

Vaysa Astelia 2018-16-097


Yogi Kartawijaya 2018-16-098
Zikrima Shafarinsa 2018-16-099
Lulu Salsabilla 2018-16-100
Ghoziah Maya Lubis 2018-16-101

Pembimbing:

Drg. Margaretha Herawati, M. Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

JAKARTA

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan banyaknya

penduduk yang berusia lansia, kondisi tersebut akan meningkatkan kebutuhan

akan pembuatan gigi tiruan akibat besarnya risiko kehilangan gigi. Hilangnya

seluruh gigi atau sebagian mempunyai efek yang sama terhadap kecacatan hidup.

Lanjut usia adalah seseorang yang berumur lebih dari 60 tahun atau lebih. Seiring

dengan proses menua, terjadi perubahan struktur dan fungsi, baik yang disebabkan

secara fisiologis maupun patologis, yang kadang kala sulit dibedakan. 1 Lansia

merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu

yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari.

Seseorang tergolong lansia apabila telah mencapai usia 60 tahun ke atas. 2 Proses

menua adalah proses yang fisiologis yang akan dialami pada setiap orang.

Dampak dari proses menua ini adalah kemunduran fisik yang akan menimbulkan

masalah kesehatan umum yang akan mengganggu kualitas hidup lansia. Secara

individu pengaruh proses penuaan dapat menimbulkan berbagai macam masalah

baik secara fisik, biologis, mental, dan sosial ekonomi. Proses penuaan

berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan yang menyebabkan terjadinya

perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada jaringan dan organ tubuh. Hal

ini sangat mempengaruhi keadaan dan fungsi tubuh secara keseluruhan.Semakin

bertambahnya usia, fungsi tubuh juga mengalami kemunduran sehingga lansia

lebih mudah terganggu kesehatanya, baik kesehatan fisik maupun kesehatan jiwa.3

Salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering ditemukan pada

lansia adalah kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya. Hal ini disebabkan
adanya perubahan-perubahan fisiologis dalam rongga mulut. Hilangnya gigi dapat

menimbulkan efek pada rongga mulut. Akan tetapi, kesadaran yang muncul untuk

melakukan perawatan atau kunjungan ke dokter gigi seseorang terhambat dengan

adanya faktor-faktor lain seperti ketersediaan waktu, ketidaknyamanan dan

kecemasan saat berada di praktek dokter gigi, dan pertimbangan biaya. Faktor-

faktor tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi frekuensi kunjungan

dan alasan datang ke dokter gigi.1

Dampak negatif dari kondisi oral buruk umumnya sangat signifikan

terutamai individu yang edentulous. Kehilangan gigi yang luas mengurangi

kinerja pengunyahan dan memengaruhi pilihan makanan. Misalnya, orang dengan

kondisi edentulous cenderung hindari makanan berserat dan lebih suka makanan

yang kaya lemak jenuh dan kolesterol. Apalagi kesehatan mulut dan kesehatan

umum yang buruk saling terkaitan terutama karena faktor risiko umum.

Contohnya, penyakit periodontal yang parah dikaitkan dengan diabetes mellitus,

penyakit jantung iskemik dan penyakit pernapasan kronis. Kehilangan gigi juga

dikaitkan dengan peningkatan risiko iskemik stroke.4,5


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Geriatri

Geriatri berasal dari kata dalam bahasa Yunani, geron,  yang

berarti orang tua, dan  iatreia  yang berarti penanganan terhadap penyakit.

Dalam dunia kesehatan, geriatri adalah cabang ilmu kesehatan yang

berfokus pada diagnosis, penanganan, serta pencegahan penyakit dan

gangguan kesehatan tertentu akibat penuaan.2 Pasien geriatri adalah pasien

usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta mempunyai ciri khas

multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan faali

menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Penderita geriatri

berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep

kesehatan maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda

penyakitnya sehingga, tatacara diagnosis pada penderita geriatri berbeda

dengan populasi lainnya.6

2.2 Klasifikasi Lansia

Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :7

1. Pralansia (prasenelis) adalah seseorang yang berusia antara 45−59

tahun.

2. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Lansia Resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih

dan memiliki masalah kesehatan seperti menderita rematik, demensia,

mengalami kelemahan dan lain-lain.

4. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan


dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

5. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.3 Karakteristik Geriatri: 8


1. Multipatologi,yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif.

2. Karakteristik kedua adalah daya cadangan faal menurun karena

menurunnya fungsi organ akibat proses menua.

3. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak

khas. Tampilan gejala yang tidak khas sering kali mengaburkan

penyakit yang diderita pasien.

4. Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang

merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-

hari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien geriatri berada

pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang

lain.

5. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia

ialah malnutrisi. Setiati dkk, melaporkan malnutrisi merupakan

sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang dirawat

(42,6%) di rumah sakit.

2.4 Etiologi Sindrom Geriatri

A. Imobilisasi

Berbagai faktor fisik, psikologis,dan lingkungan dapat menyebabkan

imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya

rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah

psikologis, depresi atau demensia.9,10 Beberapa informasi penting


meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan imobilisasi,

penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian

obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang

menyebabkan imobilisasi.9

B. Instabilitas

Instabilitas dipengaruhi oleh faktor intrinsik (faktor risiko yang ada

pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di

lingkungan). Faktor intrinsik contohnya adalah kekakuan sendi,

kelemahan otot, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan,

gangguan keseimbangan, penyakit misalnya hipertensi (yang dapat

menyebabkan timbulnya nyeri kepala), diabetes mellitus, penyakit

jantung, dll. Faktor risiko ekstrinsik contohnya adalah alas kaki tidak

sesuai, lantai licin, jalan tidak rata, penerangan kurang, benda-benda

dilantai yang membuat terpeleset, dll.9,10 Akibat yang ditimbulkan

akibat jatuh berupa cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai patah

tulang yang bisa menimbulkan imobilisasi.10

C. Inkontinensia

Inkontinesia urin dibedakan atas; tipe urgensi yaitu keinginan

berkemih yang tidak bisa ditahan penyebanya overaktifitas/kerja otot

detrusor karena hilangnya kontrol neurologis; tipe stres karena

kegagalan mekanisme sfingter/katup saluran kencing untuk menutup

ketika ada peningkatan tekanan intra abdomen mendadak seperti

bersin, batuk, tertawa; tipe overflow yaitu menggelembungnya


kandung kemih melebihi volume normal, post void residu > 100 cc

terapi tergantung penyebab misalnya atasi sumbatan/retensi urin.10

D. Insomnia

Insomnia dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang

menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa

penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus

dan gangguan kelenjar thyroid, gangguan di otak juga dapat

menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat

menjadi penyebabnya. Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering

dilaporkan oleh lansia yaitu sulit untuk masuk kedalam proses tidur,

tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, jika terbangun sulit untuk

tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi hari.10

E. Depresi

Penyebab utama depresi pada lanjut usia adalah kehilangan seseorang

yang disayangi, baik itu pasangan hidup, anak, bahkan binatang

peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari

lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi.

Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan

menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi.

Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang

berkepajangan.10

F. Infeksi
Pada lanjut usia terdapat beberapa penyakit sekaligus, menurunnya

daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi

pada lanjut usia sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal

tanda infeksi secara dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi

biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini

sering tidak dijumpai pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah

lebih sering dijumpai.10

G. Defisiensi Imun

Daya tahan tubuh menurun bisa disebabkan oleh proses menua disertai

penurunan fungsi organ tubuh, juga disebabkan penyakit yang diderita,

penggunaan obat-obatan,keadaan gizi yang menurun.10

H. Gangguan pendengaran dan penglihatan

Pada dasarnya, etiologi gangguan pendengaran sama untuk semua

umur, kecuali ditambah presbikusis untuk kelompok geriatri.

Otosklerosis biasanya ditemui pada usia dewasa muda, ditandai

dengan terjadinya remodeling tulang di kapsul otik menyebabkan

gangguan pendengaran konduktif, dan jika penyakit menyebar ke

telinga bagian dalam, juga dapat menimbulkan gangguan

sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga bagian dalam

yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan

pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh

energi akustik yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen

pada sel-sel rambut. Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan

pada geriatri disebabkan oleh degenerasi dari organ korti, dan ditandai
gangguan pendengaran dengan frekuensi tinggi. Pada pasien juga

ditemui adanyagangguan pendengaran sehingga sulit untuk diajak

berkomunikasi.

I. Gangguan intelektual

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat

yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan

gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah pada

memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk

mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu

dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan

terganggunya aktivitas.9

J. Impaction

Faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya gerak fisik, makanan

yang kurang mengandung serat, kurang minum, akibat obat-obat

tertentu dan lain-lain. Akibatnya pengosongan usus menjadi sulit atau

isi usus menjadi tertahan, kotoran dalam usus menjadi keras dan kering

dan pada keadaan yang berat dapat terjadi penyumbatan didalam usus

dan perut menjadi sakit.10

K. Impecunity (Tidak punya penghasilan)

Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan

mental akan berkurang secara berlahan-lahan, yang menyebabkan

ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan

pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan penghasilan. Usia pensiun


dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan

hari tuanya. Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan

teman sejawat, berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan

seorang lansia mengalami depresi.10

L. Impotensi (Gangguan Seksual)

Impotensi/ ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia

lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan

hormon, syaraf, dan pembuluh darah dan juga depresi.10

2.5 Penatalaksanaan Sindrom Geriatri

A. Imobilisasi

Penatalaksanaan untuk imobilisasi adalah dengan latihan fisik,

perubahan posisi secara teratur, menggunakan kasur anti dekubitus,

monitor asupan cairan dan makanan yang berserat.10

B. Instabilitas

Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan

riwayat jatuh adalah dengan mengobati berbagai kondisi yang

mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan

penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,

sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih

aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak

licin.6,10

C. Inkotinensia

Inkontinensia urin akut terjadi secara mendadak dapat diobati bila

penyakit yang mendasarinya diatasi misalnya infeksi saluran kemih,


gangguan kesadaran, obat-obatan, masalah psikologik dan skibala.

Pada inkontinensia urin, untuk menghindari sering mengompol, pasien

sering mengurangi minum. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya

dehidrasi.10

D. Insomnia

Penatalaksanaan agar bisa tidur adalah dengan menghindari olahraga

3-4 jam sebelum tidur, santai mendekati waktu tidur, , hindari minum

minuman berkafein saat sore hari, batasi asupan cairan setelah jam

makan malam, batasi tidur siang 30 menit atau kurang, hindari

menggunakan tempat tidur untuk menonton tv, menulis tagihan dan

membaca.10

E. Depresi

Depresi sangat penting dideteksi pada pasien lansia dan ditangani,

karena gejalanya akan memperparah penyakit fisiknya, menambah

penarikan diri, tidak patuh pengobatan dan keputusasaan serta

kematian dini. Penanganan depresi pada lansia meliputi biologis

dengan memberikan antidepresan; psikologis dengan melakukan

psikoterapi; lingkungan sosial, dan spiritual. Secara spiritual, perlu

mendapat perhatian pada individu lansia yang depresi. Ini

berhubungan dengan dengan makna kehidupan dan akhir pengabdian

dari kehidupannya.11

F. Infeksi & Defisiensi Imun

Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh lansia dapat dicegah atau

diturunkan tingkat keparahannya melalui upaya-upaya perbaikan


nutrisi karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Jika fungsi imun

lansia dapat diperbaiki, maka kualitas hidup individu dapat

meningkat.12

G. Gamgguan pendengaran dan penglihatan

Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri adalah

dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan

bedah berupa implantasi koklea. Penatalaksanaan untuk gangguan

penglihatan adalah dengan memakai alat bantu kacamata atan dengan

operasi pada katarak.10

H. Gangguan Intelektual

Dibutuhkan peran keluarga sebagai support system dalam menjaga dan

memenuhi kebutuhan dasar pada lansia dengan demensia. Bagi

keluarga sebaikya membantu serta memberikan dukungan kepada

lansia agar masing-masing kebutuhan dapat terpenuhi.13

I. Impaction (sulit buang air besar)

Penelitian yang dilakukan Chu dkk (2014) menjelaskan bahwa ada

beberapa faktor penyebab sulit buang air besar, salah satunya adalah

aktivitas fisik yang rendah. Aktivitas fisik dapat mempengaruhi kinerja

tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma. Maka dari itu, penting bagi

lansia untuk membiasakan diri melakukan aktivitas fisik karena ketika

otot sudah mengalami penurunan fungsi, maka fungsi otot akan sulit

dikembalikan seperti semula.14

J. Impecunity (Tidak punya penghasilan)


Hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan

konseling karena lansia yang mengalami impecunity cenderung akan

mudah stres dan depresi. Selain itu, mengadakan pelatihan atau terapi

okupasi dapat dilakukan. Terapi okupasi dapat meningkatkan persepsi

kebermaknaan hidup, mengurangi stres, meningkatkan keterampilan,

dan meningkatkan produktivitas lansia.15

2.6 Pencegahan Sindrom Geriatri16,17

1. Promosi

Merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk

meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Merupakan

proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien,

tenaga profesinal dan masyarakt terhadap praktik kesehatan yang

positif menjadi norma-norma sosial. Untuk membantu organ-organ

mengubah gaya hidup mereka dan bergerak ke arah kesehatan yang

optimal serta mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat

pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka. Upaya

perlindungan kesehatan bagi lansia:

a. Mengurangi cedera, dilakukan dnegan tujuan mengurangi

kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah

b. Meningkatkan keamanan ditempat kerja bertujuan untuk

mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia

c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk

bertujuan untuk mengurangi penggunaan semprotan bahan-

bahan kimia, mengurangi radiasi dirumah


d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang

bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memlihahara

kebersihan gigi dan mulut

2. Pencegahan preventif

a. Melakukan pencegahan primer meliputi: pencegahan pada

lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan

promosi kesehatan. Jenisnya: program imunisasi, konseling,

berhenti merokok, dan minum beralkohol, dukungan nutrisi,

keamanan di dalam dan sekitar rumah, menejemen stres

b. Melakukan pencegahan sekunder melputi : pemeriksaan

terhadap penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi

gejala penyakit belum tampak secara klinis dan mengidap faktor

resiko. Jenisnya: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan

kanker, screening, pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut

c. Melakukan pencegahan tersier : dilakukan sebelum terdapat

gejala penyakit dan cacat, mencegah cacat bertambah dan

ketergantungan serta perawatan dengan perawatan dirumah

sakit, rehabilitasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka

panjang.

2.7 Kondisi Kesehatan Rongga Mulut pada Lansia

Kondisi gigi pada lansia dapat mengalami perubahan, diantaranya

gigi karies, gigi goyang sampai kehilangan gigi. Kondisi mukosa mulut
lansia juga dapat mengalami suatu kelainan. Perubahan-perubahan yang

terjadi seperti kehilangan gigi dan indra pengecap menurun. Hal ini

memberikan dampak pada lansia, dimana sel epitel pada mukosa mulut

mengalami penipisan, berkurangnya kapiler dan suplai darah, penebalan

serabut kolagen pada lamina propria (selaput lender atau membrane

mukosa). Akibat secara klinis mukosa mulut memperlihatkan kondisi yang

menjadi lebih pucat, tipis kering, dengan proses penyembuhan yang

lambat. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi sesuai

perubahan pada gingiva lansia. Beberapa kondisi berikut dilaporkan sering

ditemukan pada lansia, yaitu denture stomatitis, angular stomatitis,

karsinoma, herpes zoster, post-herpetic neuralgia, liken planus, mucous

membrane pemphigoid, lesi premalignan, sindrom Sjögren, dan trigeminal

neuralgia.18, 19
Lansia berisiko terhadap masalah kesehatan mulut karena

kurangnya pengetahuan tentang oral hygiene, ketidakmampuan melakukan

perawatan mulut, atau perubahan integritas gigi dan mukosa akibat

penyakit. Kondisi oral hygiene pada lansia semakin buruk karena lansia

pada umumnya tidak memiliki gigi (edentulous), dan gigi yang masih

tersisa umumnya memiliki penyakit atau telah busuk, dan membran

periodontal yang melemah membuatnya rentan infeksi, dan penyakit

kronis seperti diabetes meningkatkan resiko lansia terhadap penyakit

periodontal, gigi palsu yang terkadang tidak terpasang dengan baik

sehingga menimbulkan nyeri yang dapat mempengaruhi proses

pencernaan, penurunan saliva yang terkait usia dan pengobatan seperti anti

hipertensi menyebabkan mulut kering.19


Resesi gingiva adalah terbukanya permukaan akar gigi akibat

migrasi gingival margin dan junctional epithelium ke apikal. Secara klinis

ditandai dengan gingival margin berada apikal dari cemeto-enamel

junction (CEJ). Resesi gingiva sering merupakan masalah, umumnya

penderita mengeluh giginya terlihat lebih panjang. Hal ini terjadi karena

posisi marginal gingiva menjauhi cement enamel junction (CEJ), sehingga

permukaan akar yang semula tertutup menjadi terbuka. Resesi gingiva

meningkat insidennya antara usia penderita dan keparahan yang terjadi.

Demikian pula dengan standar kebersihan rongga mulut penderita yang

tinggi dan rendah dapat juga mengalami resesi gingival. Resesi gingiva

juga dapat menyebabkan hipersensitivitas dentin akibat terbukanya

permukaan akar yang semula tertutup oleh gingiva. Permukaan akar yang

terbuka juga memudahkan terjadinya erosi maupun abrasi pada sementum

maupun dentin akibat lingkungan rongga mulut maupun akibat aktifitas

menyikat gigi.20, 21 Beberapa faktor yang dapat menimbulkan resesi seperti

destruksi jaringan periodontal, sikat gigi yang berlebihan atau kurang

membersihkan gigi, malposisi gigi, kurangnya tulang alveolar, tingginya

perlekatan frenulum dan trauma oklusi, faktor iatrogenik, merokok.

Namun bakteri di dalam plak merupakan etiologi penting dalam resesi

gingiva.22

Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email,

dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktifitas suatu jasad renik

dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Karies gigi yang disebut

juga lubang gigi merupakan suatu penyakit dimana bakteri merusak


struktur jaringan gigi yaitu enamel, dentin dan sementum. Jaringan

tersebut rusak dan menyebabkan lubang pada gigi.23 Karies gigi bersama

dengan periodontitis pada lansia menjadi penyebab utama kehilangan gigi,

di mana keduanya memiliki prevalensi yang tinggi di antara lansia.

Penurunan jumlah gigi ini akan memengaruhi kemampuan untuk

mengunyah dan dengan demikian juga akan memengaruhi pemilihan jenis

makanan tertentu.24 (Berdasarkan penelitian blabla tentang karies)

Penonjolan tulang (eksostosis) adalah suatu pertumbuhan benigna

jaringan tulang yang keluar dari permukaan tulang. Secara khas keadaan

ini ditandai dengan tertutupnya tonjolan tersebut oleh kartilago. Eksostosis

adalah pertumbuhan berlebih perifer yang terlokalisasi pada tulang, yang

dasarnya adalah kontinu dengan tulang asli. Secara klinis berupa tonjolan

nodular, datar atau bertangkai yang terletak di permukaan alveolar tulang

rahang. Etiologi eksostosis tulang oral masih belum diketahui secara pasti

tetapi ada beberapa faktor yang menyebabkan eksostosis diantaranya

adalah faktor genetik, faktor lingkungan, hiperfungsi pengunyahan, dan

pertumbuhan yang berkelanjutan. Etiologi lain yaitu ras, faktor dominan

autosomal, gesekan gigi, dan bahkan faktor nutrisi telah diduga memiliki

pengaruh. Eksostosis harus dibedakan dari osteoma, sebuah temuan yang

tidak biasa yang menghasilkan gambaran klinis, radiografi, dan histologis

yang serupa. Osteoma adalah jinak, perkembangan neoplasma yang

menginduksi proliferasi tulang kanselus yang padat, padat atau kasar,

biasanya di lokasi endosteal atau periosteal.25


Bedah prepostetik merupakan tindakan bedah yang bertujuan

memperbaiki keadaan tulang rahang agar dapat jadi lebih baik untuk

penempatan gigi tiruan. Tujuan dilakukan bedah prepostetik adalah

mendapatkan protesa dengan retensi, stabilisasi, estetik, dan fungsi yang

lebih baik. Macam-macam bedah prostetik antara lain torektomi,

alveoplasti, alveolektomi yang disebabkan karena adanya penonjolan

tulang atau eksostosis.26

Eksostosis pada bagian bukal signifikan berkaitan dengan

prostodontik karena dapat mengganggu insersi gigi tiruan. Eksostosis

bukal dapat mengalami trauma dan mengganggu prosedur kebersihan

mulut. Eksostosis lain seperti mandibular dan palatal mungkin

memerlukan pengangkatan melalui pembedahan karena alasan prostetik.

Penyebab dari pertumbuhan osseous umum ini mungkin multifaktorial,

termasuk faktor lingkungan dan faktor genetik. 25 Untuk meningkatkan

estetik salah satu metode yang dapat digunakan dalam kasus eksostosis

adalah pembedahan periodontal dengan pembukaan flap mucoperiosteal

dengan osteektomi dan osteoplastic, untuk mendapatkan kontur tulang

yang baik. Lesi diambil dengan melakukan reseksi tulang menggunakan

pemotongan tulang atau file tulang.27 Eksostosis harus dihilangkan untuk

persiapan pemakaian gigi tiruan, hal ini disebabkan eksostosis dapat

mengganggu retensi, stabilitas dan kenyamanan pasien pengguna gigi

tiruan, maka perlu dilakukan pengambilan pada eksostosis tersebut.

Pembedahan yang digunakan untuk mengambil eksostosis yaitu dengan

alveolektomi. Alveolektomi adalah salah satu bedah prepostetik. Bedah


prepostetik merupakan tindakan bedah minor yang bertujuan memperbaiki

keadaan tulang alveolar rahang agar dapat jadi lebih baik untuk

penempatan gigi tiruan.26

Diagnosis eksostosis bukal didasarkan pada pemeriksaan klinis

bersama dengan interpretasi radiografi. Diagnosis banding eksostosis

adalah osteoma, osteosarcoma dan hyperostosis. Secara klinis, torus dapat

muncul sebagai protruberanes bulat banyak atau lobulus multipel yang

terkalsifikasi, sedangkan eksostosis adalah massa tunggal berbasis luas

yang halus, mungkin memiliki tonjolan tajam, tonjolan runcing yang

menghasilkan kelembutan tepat di bawah mukosa. Lesi dapat perlahan-

lahan membesar hingga 3-4 cm dengan diameter terbesar, tetapi tidak

memiliki keganasan potensi transformasi. Eksostosis bukal biasanya hanya

ditemukan pada permukaan wajah tulang alveolar rahang atas, terutama di

segmen posterior. Secara radiografi, eksostosis tampak sebagai struktur

kalsifikasi bulat atau oval yang terdefinisi dengan baik pada akar gigi.

Gambaran histologis tori dan eksostosis identik. Eksostosis sangat kecil

dan tori seluruhnya terdiri dari tulang padat tetapi ketika besar dan

nodular, terdiri dari tulang kanselus dikelilingi oleh tulang kortikal. Biopsi

harus dilakukan jika ada dilema terkait diagnosis.28

Pada kasus-kasus tertentu, sebelum pembuatan gigi tiruan perlu

dilakukan alveolektomi agar plat gigi tiruan dapat menempel dengan kuat.

Tidak semua pasien yang ingin memasang gigi tiruan perlu dilakukan

alveolektomi. Oleh karena itu, perlu diketahui berbagai indikasi dan

kontraindikasi dilakukannya alveolektomi. Selain itu, prosedur


pembedahan alveolektomi merupakan hal penting yang perlu diketahui

sebagai seorang dokter gigi. Dengan mengetahui prosedur pembedahan

yang benar dapat menghindari berbagai komplikasi yang mungkin terjadi.

Medikasi yang diperlukan selama proses alveolektomi juga penting untuk

diketahui agar dapat menghindari kondisi kegawatdaruratan dan

mempercepat penyembuhan luka bedah.26,29

Diagnosis eksostosis bukal didasarkan pada pemeriksaan klinis

bersama dengan interpretasi radiografi. Diagnosis banding eksostosis

adalah osteoma, osteosarcoma dan hyperostosis. Secara klinis, torus dapat

muncul sebagai protruberanes bulat banyak atau lobulus multipel yang

terkalsifikasi, sedangkan eksostosis adalah massa tunggal berbasis luas

yang halus, mungkin memiliki tonjolan tajam, tonjolan runcing yang

menghasilkan kelembutan tepat di bawah mukosa. Lesi dapat perlahan-

lahan membesar hingga 3-4 cm dengan diameter terbesar, tetapi tidak

memiliki keganasan potensi transformasi. Eksostosis bukal biasanya hanya

ditemukan pada permukaan wajah tulang alveolar rahang atas, terutama di

segmen posterior. Secara radiografi, eksostosis tampak sebagai struktur

kalsifikasi bulat atau oval yang terdefinisi dengan baik pada akar gigi.

Gambaran histologis tori dan eksostosis identik. Eksostosis sangat kecil

dan tori seluruhnya terdiri dari tulang padat tetapi ketika besar dan

nodular, terdiri dari tulang kanselus dikelilingi oleh tulang kortikal. Biopsi

harus dilakukan jika ada dilema terkait diagnosis.28

Eksostosis bukal terjadi sebagai bilateral, pertumbuhan tulang

halus di sepanjang aspek wajah alveolus rahang atas dan / atau rahang
bawah. Umumnya ditemukan muncul di daerah molar. Pada palpasi,

eksostosis adalah massa bertulang keras. Mukosa di atasnya tampak lebih

lebar tetapi warnanya utuh dan normal. Ulserasi dapat dilihat sebagai

akibat dari trauma atau cedera pada mukosa. Mereka cenderung

berkembang selama masa remaja dan secara bertahap membesar selama

bertahun-tahun. Mereka biasanya sembuh sendiri dan tidak menyakitkan.

Ukurannya dapat meningkat hingga beberapa sentimeter sehingga

berkontribusi terhadap penyakit periodontal dari gigi yang berdampingan

dengan mempertahankan makanan selama mengunyah. Biasanya tidak

diperlukan perawatan, tetapi bagi mereka yang mungkin mempengaruhi

kondisi periodontal, atau ketika protruberances menyebabkan rasa sakit

atau ketidaknyamanan bagi pasien, atau ketika pembesaran tulang ini

menyebabkan pembengkakan semu di bibir, menganggu penempatan gigi

palsu, atau menyebabkan ulserasi traumatis berulang, maka eksisi bedah

konservatif dapat dilakukan.28 (Berdaasarkan penelitian blabla tentang

eksostosis)

Produksi air liur dengan berbagai enzim yang dikandungnya juga

mengalami penurunan, sebagai akibatnya dapat menimbulkan mulut

kering, kemampuan mengecap makanan berkurang, dan kemungkinan

mempercepat terjadinya penimbunan karang gigi. Faktor-faktor penting

yang dapat mempengaruhi kesehatan gigi pada lansia di antaranya adalah

kurangnya produksi saliva serta kebiasaan membersihkan gigi dan mulut.

Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama

kehilangan gigi pada lansia.30


Gigi berubah seiring waktu tergantung penggunaannya, sementum

perlahan-lahan menjadi lebih tebal dan pulpa berubah, termasuk jumlah

sel dan peningkatan jaringan fibrosa. Salah satu masalah yang muncul

pada lansia adalah karies pada akar gigi, yang kebanyakan disebabkan

karena resesi gingiva, yang membuat ak ar gigi terekspos oleh bakteri.31

2.8 Hubungan Kesehatan Mulut dengan Kualitas Hidup Lansia

Lansia merupakan kelompok usia dengan berbagai masalah

kesehatan, baik secara umum maupun rongga mulut. Masalah kesehatan

rongga mulut yang paling sering diderita lansia adalah karies, kehilangan

gigi dan penyakit periodontal. Keadaan tersebut menunjukan tingginya

kebutuhan perawatan gigi dan mulut pada lansia. 32 Menurut World Health

Organization Quality Of Life (WHOQOL)–BREF yang mencakup kualitas

hidup lansia merupakan suatu komponen yang kompleks, mencakup usia

harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikis dan mental,

fungsi kognitif, kesehatan dan fungsi fisik, pendapatan, kondisi tempat

tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial. Hasil penelitian Ratmini dan

Arifin menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kesehatan mulut

lansia dengan kualitas hidup, karena lansia menganggap kesehatan

mulutnya yang buruk adalah wajar sehubungan dengan usianya. 3

Hasil penelitian Nidyawati, Wicaksono, dan Soewantoro 34 yang

menjelaskan status kebersihan mulut yang buruk dapat dipengaruhi oleh

pengetahuan tentang kebersihan mulut individu itu sendiri. Cara hidup

sehat dalam memelihara kesehatan mulut terbentuk dari pengetahuan yang

baik, maka status kebersihan mulut juga akan menjadi baik. Sebaliknya,
bila pengetahuan memelihara kebersihan mulut kurang baik, maka status

kebersihan mulut juga akan menjadi buruk sehingga cenderung berisiko

mudah terserang karies dan penyakit mulut. Hasil Wangsarahardja

Dharmawan dan Kasim35 menyebutkan bahwa penyakit mulut merupakan

salah satu kondisi kronik yang paling banyak dijumpai pada lansia. Salah

satu alasan yang paling menonjol adalah bahwa orang tua menganggap

disfungsi oral merupakan bagian dari proses alamiah dan konsekuensi usia

lanjut sehingga para lansia menerima saja kondisi menurunnya kualitas

hidup tersebut tanpa berupaya untuk mendapatkan pertolongan. Para lansia

merasakan akibat dari edentulisme, karies, penyakit-penyakit periodontal,

ditambah dengan akibat ko-morbiditas seperti diabetes dan xerostomia,

dapat memberikan dampak yang bermakna terhadap fisiknya, ekonomis

dan psikologis. Akibat dari penyakit oral yang memberikan dampak

kepada kualitas hidup lansia meliputi berbagai keadaan termasuk

mengunyah, makan dan bicara. Selanjutnya dapat memberikan dampak

berupa menurunnya interaksi sosial, rasa sejahtera, harga diri dan perasaan

berguna.35

Beberapa penelitian menunjukkan semakin baik kesehatan mulut

semakin baik pula kualitas hidupnya. Hal ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan Lolita, Michael, dan Hubert menyebutkan bahwa ada

hubungan yang kuat antara kesehatan mulut dengan kualitas hidup pada

lansia. Penelitian oleh Herliyanti, Siagian, Wowor menyatakan bahwa

semakin bertambahnya usia seseorang, maka status kesehatan gigi dan

mulut juga menurun dan organ tubuh juga semakin rentan terhadap
kerusakan oleh karena lebih banyak digunakan atau difungsikan.

Sedangkan penelitian oleh Dahl, Wan, Holst, dan Ohrm dengan hasil

kondisi kesehatan mulut merupakan ancaman terhadap kualitas hidup

lansia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu perilaku hidup

sehat utamanya kesehatan gigi tidak kalah perannya mengenai cara

pandang lansia tentang pengaruh kesehatan mulut terhadap kualitas hidup.


BAB III

TATA LAKSANA KASUS

Tanggal: 22 – 09 – 2019 No. Kartu: 47.22.19

Nama Mahasiswa (NIRM) :

1. Vaysa Astelia (2018-16-097)

2. Yogi Kartawijaya (2018-16-098)

3. Zikrima Shafarina (2018-16-099)

4. Lulu Salsabilla (2018-16-100)

5. Ghoziah Maya Lubis (2018-16-101)

6. Yunita Sri Astuti (2017-16-179)

Dosen Pembimbing : drg. Margaretha Herawati, M.Biomed

Nama Pasien : O.R


Tanggal Lahir/Usia : 22 November 1951 / 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Komp. Deppen blok. GG no. 7, Harjamukti, Cimanggis,
Depok

I. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan rasa tidak nyaman yang disebabkan oleh

karena gigi tiruan longgar. Gigi tiruan tersebut di tukang gigi kurang lebih

1 tahun yang lalu setelah 1 minggu pencabutan di dokter gigi. Pasien

memiliki kebiasaan buruk memakai gigi tiruan di malam hari ketika tidur

dan melapisi gigi tiruan dengan pasta gigi di bagian dasar sebelum
menggunakannya. Pasien memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi karena

gigi tiruan longgar. Pasien menyikat gigi sebelum dan sesudah bangun

tidur, saat mandi dan sebelum solat. Pasien kadang merasa hilang rasa

pada lidah. Pasien memiliki riwayat obat antalgin.

2. Penilaian Risiko Jatuh Pasien Geriatri Berdasarkan Skala Risiko


Jatuh Ontario Modified Stratify

Keterangan
Parameter Skrinning Jawaban Skor
Nilai
Apakah pasien datang ke
Tidak
rumah sakit karena jatuh?
Riwayat Salah satu
Jika tidak, apakah pasien 0
Jatuh jawaban ya = 6
mengalami jatuh dalam 2 Tidak
bulan terakhir ini?
Apakah pasien delirium?
(tidak dapat membuat
keputusan, pola piker tidak Tidak
terorganisir, gangguan daya
Salah satu
ingat)
Status Mental Apakah pasien disorientasi? jawaban 14
(salah menyebutkan waktu, Tidak ya = 14
tempat, atau orang)
Apakah pasien mengalami
agitasi? (ketakutan, gelisah, Ya
dan cemas)
Apakah pasien memakai
Ya
kacamata?
Apakah pasien mengeluh ada
Ya Salah satu
Penglihatan penglihatan buram? 1
Apakah pasien mempunyai jawaban ya = 1

katarak, glukoma, degenerasi Tidak


makula?
Apakah terdapat perubahan
Kebiasaan perilaku berkemih?
Tidak Ya = 2 0
Berkemih (frekuensi, urgensi,
inkontinensia, nokturia)
Transfer (dari Mandiri (boleh menggunakan Jumlahkan nilai
tempat tidur alat bantu jalan) transfer dan
ke kursi dan 0 mobilitas. Jika
kembali ke nilai total 0-3
0
tempat tidur) maka skor = 0
Mandiri (boleh menggunakan
Jika nilai total
Mobilitas alat bantu jalan) 0 4-6 maka skor
=7
Total Skor 15

Skor Risiko
0–5 Rendah
6 – 16 Sedang
17 – 30 Tinggi

Kesimpulan:

Berdasarkan skala risiko jatuh Ontario Modified Stratify pasien atas nama Onih

Rohani memiliki skor risiko jatuh sedang, oleh karena total skor yang diperoleh

adalah 15.

3. Penilaian Adl (Activity Daily Leaning)


Ketergantungan
(skor 0) Mandiri
Aktifitas Dengan bantuan, arahan, (skor 1)
No. Skor
Skor : 0 atau 1 asisten pribadi atau Tanpa bantuan, arahan
dirawat total oleh orang atau asisten pribadi
lain
Mandiri atau
Membutuhkan bantuan
membutuhkan bantuan
lebih dari satu bagian
hanya sedikit bagian
1. Mandi tubuh, dibantu untuk 1
seperti membersihkan
keluar masuk kamar
punggung, areagenital
mandi. Total dimandikan
atau hambatan eksternitas
2. Berpakaian Membutuhkan bantuan Mengambil pakaian dari 1
untuk berpakaian sebagian lemari dan memakaikan
ke diri sendiri. Butuh
atau total dipakaikan. bantuan untuk memakai
sepatu.
Membutuhkan bantuan
untuk berkemih, Berkemih, membersihkan
3. Ke toilet membersihkan area area genital secara 1
genital atau menggunakan mandiir.
pispot.
Membutuhkan bantuan Berpindah tempat tidur-
untuk berpindah dari kurdi-tempat tidur secara
4. Berpindah tempat tidur ke kursi atau mendiri atau dengan 1
butuh bantuan oran lain menggunakan alat
dalam segala aktifitas. bantuan.
Sebagian atau total tidak
Dapat mengendalikan
5. BAB & BAK dapat mengendalikan 1
BAB & BAK
BAB atau BAK.
Mengambil makanan dari
Membutuhkan bantuan
piring dan disuapi ke
skor 0sebagian atau total
6. Makan mulut tanpa bantuan. 1
untuk menyuapi diri atau
Persiapan makanan dapat
diberikan secara parental.
dilakukan oleh orang lain
Skor
0 – 2: lansia bergantung penuh dengan orang lain Total
3 – 4: lansia ringkih skor:
5 – 6: lansia mandiri 6

Kesimpulan :

Berdasarkan Penilaian ADL (Activity Daily Learning) pasien atas nama Onih

Rohani memiliki skor penilaian ADL adalah lansia mandiri, oleh karena total skor

yang diperoleh adalah 6.

II. PEMERIKSAAN OBYEKTIF


1. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu : 36,5oC
b. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
2. Pemeriksaan Ekstra Oral
a. Wajah : Simetris
b. Sirkum Oral : TAK
c. Pipi : TAK
d. Bibir : TAK
e. Kelenjar limfe :
- Servikal kanan : Tidak teraba, tidak sakit, lunak
- Servikal kiri : Tidak teraba, tidak sakit, lunak
- Submandibula kanan : Tidak teraba, tidak sakit, lunak
- Submandibula kiri : Tidak teraba, tidak sakit, lunak
- Submental : Tidak teraba, tidak sakit, lunak
f. Sendi temporomandibular:
- Sendi Kanan : Tidak sakit
- Sendi Kiri : Tidak sakit
g. Lain-lain :-
3. Pemeriksaan Intra Oral
a. Kebersihan mulut : Sedang (CI=1,7; PI=0,8)
b. Mukosa labial :-
c. Mukosa bukal : Garis putih pada bukal regio kanan
d. Gingiva : Kemerahan pada daerah sisa akar regio 23
& 37
e. Palatum durum : Eritema pada permukaan yang tertutup plat
akrilik
f. Palatum mole :-
g. Lidah : Pendalaman fisur pada midline
h. Dasar mulut : Perlekatan dasar mulut rendah
i. Lainnya :-
4. Odontogram

11 Distolabio versi Distolabio versi 21


12 Atrisi Missing 22
13 Atrisi Sisa akar 23
14 Missing Missing 24
15 Missing Missing 25
16 Missing Resesi klas 1 26
17 Missing Missing 27
18 Missing TAK 28

48 Missing Mesioproksimal karies dentin S(+) 38


CE(+)
47 Missing Sisa akar 37
46 Missing Missing 36
45 Resesi klas 1 Resesi klas 2 35
44 TAK Linguoversi, resesi klas 2 34
43 Atrisi, Resesi klas 1 Atrisi 33
42 Atrisi, Resesi klas 1, Mesiolabio Atrisi, resesi klas 2 32
versi
41 Atrisi, Resesi klas 1, Linguo versi Atrisi, resesi klas 1, distolabio versi 31
a. Oklusi : Tidak ada
b. Diastema : Tidak ada
c. Gigi Anomali : Tidak ada
d. Lain – lain : Kalkulus RA dan RB
D:4 M : 13 F : 1

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Interpretasi Radiologi
- Panoramik :
- Terdapat kerusakan tulang secara horizontal pada seluruh
regio RA dan RB
- Terdapat radiolusensi pada sekeliling akar gigi 23 dan 37

2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


- MCH (37 pg/sel) melebihi nilai normal (28-34 pg/sel):
Hiperkromatik
- MCHC (40 g/dL) melebihi nilai normal (32-36 g/dL):
Hiperkromatik

IV. RUJUKAN
Periodonsia ( 3 )
Penyakit mulut ( 1 )
Bedah mulut ( 2 )
Konservasi ( 4 )
Prostodonsia ( 5 )
Lain-lain : - ( - )

V. RENCANA PERAWATAN
Pasien dirujuk ke bagian periodonsia untuk dilakukan pembersihan

karang gigi. Lalu dirujuk ke bagian bedah mulut untuk dilakukan

pencabutan sisa akar gigi 23,37. Lalu dirujuk ke bagian penyakit mulut

untuk mengobati Denture Stomatitis. Lalu dirujuk ke bagian konservasi


gigi untuk dilakukan penambalan gigi 38. Lalu dirujuk ke bagian

prostodonsia untuk dilakukan pembuatan gigi tiruan baru. Serta tidak lupa

untuk mengedukasi pasien untuk meningkatkan kebersihan rongga mulut

dan penggunaan gigi tiruan yang baik dan benar.

OSCAR
Faktor Penilaian Alat ukur
Kondisi kesehatan rongga mulut
pasien geriatri :
 Gigi geligi: Missing teeth
gigi 18, 17, 16, 15, 14, 22,
24, 25, 27, 36, 46, 47, 48;
sisa akar gigi 23 dan 37; dan
karies dentin gigi 38.
 Protesa : pasien pernah
memakai gigi tiruan, saat ini
terasa longgar
 Periodonsium : terdapat
- Pemeriksaan intra
resesi gingiva pada regio
oral
O Oral 26, 35, 34, 32, 31, 41, 42,
- Pemeriksaan
43, 45.
radiografi
 Mukosa oral tampak
eritema pada mukosa
palatum durum yang
tertutup oleh plat akrilik.
 Kalkulus pada RA dan RB
 Resesi gingiva kelas III
pada RA dan RB
 Crowding gigi anterior RB
 Saliva hiposalivasi (laju
saliva tidak terstimulasi ->
0.2ml/menit)
S Systemic - Pasien tidak memiliki riwayat - Anamnesis
penyakit sistemik. - Pemeriksaan
- Saat ini pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat-obatan yang penunjang
rutin.
- Berdasarkan penilaian ADL
pasien termasuk lansia mandiri
dan mampu merawat diri
sendiri.
- Pada penilaian risiko jatuh
termasuk tingkat risiko jatuh - Pemeriksaan ADL
C Capability sedang. - Pemeriksaan
- Kebersihan rongga mulut pasien risiko jatuh
sedang karena hasil
pemeriksaan intra oral masih
terdapat kalkulus pada RA dan
RB dan terdapat sisa akar gigi
23 dan 37.
Pasien mampu mengambil
keputusan untuk menentukan
A Autonomy alternatif perawatan yang akan Wawancara
dilakukan.

Secara pemeriksaan keseluruhan


pasien sudah dapat dilakukan
perawatan karena kondisi rongga
mulut (OH) sedang, secara sistemik
pasien memiliki tekanan darah yang
terkontrol dan tidak memiliki
R Reality Status pasien geriatri
riwayat penyakit sistemik lainnya,
secara ekonomi baik, dan pasien
kooperatif serta memiliki kondisi
yang memungkinkan untuk
dilakukan perawatan gigi
selanjutnya.
BAB IV

PEMBAHASAN
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke

atas.10 Lansia merupakan kelompok usia dengan berbagai masalah kesehatan, baik

secara umum maupun rongga mulut.32 Pasien lanjut usia mempunyai ciri-ciri:

memiliki beberapa penyakit kronis/menahun, gejala penyakitnya tidak khas,

fungsi organ yang menurun, tingkat kemandirian berkurang, sering disertai

masalah nutrisi.10

Pada laporan kasus, pasien geriatri perempuan berusia 67 tahun datang ke

Klinik Integrasi I Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Moestopo (Beragama) datang dengan keluhan rasa tidak nyaman yang

disebabkan oleh karena gigi tiruan longgar. Gigi tiruan tersebut di tukang gigi

kurang lebih 1 tahun yang lalu setelah 1 minggu pencabutan di dokter gigi. Pasien

memiliki kebiasaan buruk memakai gigi tiruan di malam hari ketika tidur dan

melapisi gigi tiruan dengan pasta gigi di bagian dasar sebelum menggunakannya.

Pasien memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi karena gigi tiruan longgar. Pasien

menyikat gigi sebelum dan sesudah bangun tidur, saat mandi dan sebelum solat.

Pasien kadang merasa hilang rasa pada lidah. Pasien memiliki riwayat obat

antalgin. Didapati hasil pemeriksaan darah pasien bahwa MCH 37 pg/sel

(hiperkromatik) yang melebihi nilai normal, dan MCHC 40g/dL (hiperkromatik)

yang melebihi nilai normal.

Dari hasil penilaian OSCAR pada pasien ini, keadaan oral pada pasien ini

menunjukkan bahwa pasien memiliki kebersihan rongga mulut yang sedang. Hasil

pemeriksaan klinis rongga mulut pasien terdapat kehilangan gigi 18, 17, 16, 15,

14, 22, 24, 25, 27, 36, 46, 47, 48; sisa akar gigi 23 dan 37; dan karies dentin gigi

38. Pasien pernah memakai gigi tiruan namun saat ini terasa longgar. Terdapat
resesi gingiva pada regio 26, 35, 34, 32, 31, 41, 42, 43, 45. Mukosa oral tampak

eritema pada mukosa palatum durum yang tertutup oleh plat akrilik. Kalkulus

pada RA dan RB, crowding gigi anterior RB serta laju aliran saliva normal.

Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi sesuai

perubahan pada gingiva lansia. Beberapa kondisi berikut dilaporkan sering

ditemukan pada lansia, yaitu denture stomatitis, angular stomatitis, karsinoma,

herpes zoster, post-herpetic neuralgia, liken planus, mucous membrane

pemphigoid, lesi premalignan, sindrom Sjögren, dan trigeminal neuralgia. 18, 19

Lansia berisiko terhadap masalah kesehatan mulut karena kurangnya pengetahuan

tentang oral hygiene, ketidakmampuan melakukan perawatan mulut, atau

perubahan integritas gigi dan mukosa akibat penyakit. Kondisi oral hygiene pada

lansia semakin buruk karena lansia pada umumnya tidak memiliki gigi

(edentulous), dan gigi yang masih tersisa umumnya memiliki penyakit atau telah

busuk, dan membran periodontal yang melemah membuatnya rentan infeksi gigi

palsu yang terkadang tidak terpasang dengan baik sehingga menimbulkan nyeri

yang dapat mempengaruhi proses pencernaan.19

Selain itu, resesi gingiva meningkat insidennya antara usia penderita dan

keparahan yang terjadi. Demikian pula dengan standar kebersihan rongga mulut

penderita yang tinggi dan rendah dapat juga mengalami resesi gingival. Resesi

gingiva juga dapat menyebabkan hipersensitivitas dentin akibat terbukanya

permukaan akar yang semula tertutup oleh gingiva. Permukaan akar yang terbuka

juga memudahkan terjadinya erosi maupun abrasi pada sementum maupun dentin

akibat lingkungan rongga mulut maupun akibat aktifitas menyikat gigi.20, 21


Hasil penelitian Ratmini dan Arifin menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara kesehatan mulut lansia dengan kualitas hidup, karena lansia

menganggap kesehatan mulutnya yang buruk adalah wajar sehubungan dengan

usianya.3 Status kebersihan mulut yang buruk dapat dipengaruhi oleh pengetahuan

tentang kebersihan mulut individu itu sendiri. Cara hidup sehat dalam memelihara

kesehatan mulut terbentuk dari pengetahuan yang baik, maka status kebersihan

mulut juga akan menjadi baik. Sebaliknya, bila pengetahuan memelihara

kebersihan mulut kurang baik, maka status kebersihan mulut juga akan menjadi

buruk sehingga cenderung berisiko mudah terserang karies dan penyakit mulut.

Akibat dari penyakit oral yang memberikan dampak kepada kualitas hidup

lansia meliputi berbagai keadaan termasuk mengunyah, makan dan bicara.

Selanjutnya dapat memberikan dampak berupa menurunnya interaksi sosial, rasa

sejahtera, harga diri dan perasaan berguna.34 Penelitian oleh Herliyanti, Siagian,

Wowor menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka status

kesehatan gigi dan mulut juga menurun dan organ tubuh juga semakin rentan

terhadap kerusakan oleh karena lebih banyak digunakan atau difungsikan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien

lansia belum mendapatkan gigi tiruan yang nyaman.

V.2. Saran

Dari hasil pemeriksaan yang diperoleh, selanjutnya dikemukakan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Rekan sejawat maupun tenaga kesehatan dapat menjelaskan tentang

tindakan yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelainan jaringan

lunak kepada pasien lansia, namun tetap menghargai keputusan akhir

pasien lansia.

2. Rekan sejawat maupun tenaga kesehatan dapat memberikan alternatif

tindakan kepada pasien lansia dengan kelainan jaringan lunak sehingga

pasien dapat menggunakan gigi tiruan yang nyaman dan stabil.

3. Anjuran kepada pasien lansia pengguna gigi tiruan agar sebaiknya

mengetahui informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut dengan cara

melepaskan gigi tiruan pada malam hari serta membersihkannya serta rajin

memeriksakan ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wijayanti W. Perbedaan Kualitas Hidup Pasien Geriatri di RSUP Dr.

Kariadi Semarang yang Mendapat Perawatan Gigi dan Tidak Mendapat

Perawatan Gigi. Fakultas Kedokteran, [Skripsi]. Jakarta: Universitas

Diponegoro; 2014.

2. Pudjiastuti. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta. EGC; 2003.

3. Ratmini, Ni Ketut dan Arifin. 2011. Hubungan Kesehatan Mulut dengan

Kualitas Hidup Lansia. Jurnal Ilmu Gizi, Volume 2 Nomor 2, Agustus

2011 : 139 – 147.

4. Razak PA, Richard KM, Thankachan RP, Hafiz KA, Kumar KN, Sameer KM.

Geriatric oral health: a review article. J Int Oral Health. 2014;6(6):110–116.

5. Petersen PE, Yamamoto T. Improving the oral health of older people: the

approach of the WHO Global Oral Health Programme. Community Dent Oral

Epidemiol. 2005; 33: 81–92.

6. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty dan Kualitas Hidup Pasien

Usia Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan

Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2-13 : 1(3) : 234-242

7. Departemen Kesehatan Indonesia. (2013). Buletin Lansia :

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-

lansia.pdf

8. Setiati, siti. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty dan Kualitas Hidup

PasienUsia Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan, Penelitian

danPelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2013; 1 (3): 234-242.

9. Dini AA. Sindrom geriatri (imobilitas, instabilitas, gangguan intelektual,

inkontinensia, infeksi, malnutrisi, gangguan pendengaran). Medula

Unila.2013;1(3):117-125
10. Safitri N. Masalah Kesehatan pada Lansia. (2018).

http://yankes.kemkes.go.id/read-masalah-kesehatan-pada-lansia-4884.html

11. Maramis MM. Depresi Pada Lanjut Usia. Jurnal Widya Medika Surabaya. 2014;

2(1): 39-50.

12. Fatmah. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.

Makara Kesehatan. 2006; 10(1):47-53.

13. Kartikasari D, Handayani F. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Pada Lansia

Demensia oleh Keluarganya. Jurnal Nursing Studies. 2012; 1(1): 175-182.

14. Sari ADK, Wirjatmadi B. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Konstipasi

Pada Lansia di Kota Madiun. Media Gizi Indonesia. 2016; 11(1): 40-47.

15. Handoyo L. Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Impecunity. [Skripsi].

Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Surabaya, 2018.

16. Suryanto. 2008. Konsep Lansia.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/4/jtptunimus-gdl-s1-2008-suyantog2a-184-

3-bab2.pdf diakses pada tanggal 7 november 2019

17. Vina. 2015. LP Geriatric Syndrome. http://docslide.us/document/lp-geriatric-

syndrome-vina.html diakses pada tanggal 7 november 2019

18. Nur’aenyNanan, Sari Kartika Indah. Profil Lesi Mulut pada Kelompok

Lanjut Usia di Panti Sosial Wreda Senjarawi Bandung. Majalah

Kedokteran Gigi Indonesia. 2016; 2(2): 74-79.

19. Poernomo DewiIka Sari H, Yosafat Damara. Gambaran Oral Hygiene di

Posyandu Lansia RW 01 Kelurahan Bangsal Kota Kediri. JurnalStikes.

2016; 9: 44.

20. Krismariono Agung. Prinsip Dasar PerawatanResesi Gingiva. Dentika.

2014; 18(1): 96-100.


21. Ulfah Noer, Augustina Eka Fitria. Perawatan Resesi Gingiva dengan

Bedah dan Non Bedah. Dentofasial. 2010; 9(1): 29-33.

22. MaulaniChaerita, NurwantiKhaerina. Tingkat Resesi Gingiva

MenggunakanBulu Sikat Gigi Lembut dan Sedang Pada Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. Jurnal Kedokteran YARSI. 2017;

25(1): 1-9.

23. Bebe Ziyaan Azdzahiy, Susanto Henry Setyawan, Martini. Faktor Risiko

Kejadian Karies pada Gigi Orang Dewasa Usia 20-39 Tahun di Kelurahan

Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Jurnal

Kesehatan Masyarakat (e-Jurnal). 2018; 6(1): 365-374.

24. MangaweHastuty, Djuartina Tena, GraciaIsadora. Studi Awal Gambaran

Karies Gigi Pada Lanjut Usia (Lansia) dengan Hipertensi.Damianus

Journal of Medicine). 2015; 14(3): 186-193

25. Smitha K, Smitha GP. Alveolar Exostosis-revisited: A Narrative Review Of The

Literature. The Saudi Journal for Dental Research 2015; 6: 67-72.

26. Kurtzman GM, Silverstein LH. A Technique for surgical mandibular

exostosis removal. Compendium 2006; 27(10):520-5.

27. Citra lestari, Bali Medical Journal (Bali Med J) 2018; 7(3): 736-740.

28. Medsinge SV, Kohad R, Burdhiraja H. Buccal Exostosis: A Rare Entity.

Journal of International Oral Health 2015; 7(5): 62-64

29. Sawair FA, Shayyab MH. Prevalence and clinical characteristics of tori

and jaw exostoses in a teaching hospital in Jordan. J Saudi Med (2009);

30(12): 1557-1562.

30. Senjaya Asep Arifin. Gigi Lansia. Jurnal Skala Husada. 2016; 13: 73
31. Pedersen Poul Holm, Walls Angus W, Ship Jonathan A. Textbook of

Geriatric Dentistry. 3rd ed. Chichester: Wiley Blackwell. 2015; 65-197.

32. Herwanda,dkk. Gambaran Kebutuhan Perawatan Gigi dan Mulut pada

Pasien di Posyandu Lansia Puskesmas. Cakradonya Dent J 2014; 6(1):619-

677.

33. Nidyawati, Niyan, Wicaksono, Dinar A. dan Soewantoro, Joenda S. 2013.

Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Kebersihan Mulut Pada Masyarakat

Lanjut Usia di Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur. Jurnal

Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret 2013, hlm. 169-

174.

34. Wangsarahardja, Kartika, Dharmawan, Olly V, dan Kasim, Eddy. 2007.

Hubungan Antara Status Kesehatan Mulut dan Kualitas Hidup Pada Lanjut

Usia. Universa Medicina, Vol. 26 No.4, hal 186-193.

Anda mungkin juga menyukai