LABORATORIUM GEOFISIKA
DEPARTEMEN GEOFISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
MODUL-3
BATUAN METAMORF
Rabu, 23 September 2020
I. TUJUAN
- Praktikan mampu mengetahui pengertian dan cara pembentukan batuan
metamorf.
- Praktikan mampu mengetahui jenis-jenis batuan metamorf.
- Praktikan mampu mengidentifikasi batuan metamorf.
4. Derajat Metamofosa
Berdasarkan tekanan dan temperatur yang berada diatas kondisi
diagenesa, maka ada 3 tingkat derajat metamorfosa yang dapat dikenal,
yaitu derajat metomorfosa rendah, sedang dan tinggi. Adapun batas
antara metamorfosa dan peleburan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan
dan jumlah air yang terdapat dalam batuan. Pada gambar 4
diperlihatkan hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T),
Kedalaman (D) dan Tipe/Jenis Metamorfosa. Metamorfosa Burial
dicirikan oleh tekanan, temperatur, yang rendah dan kedalaman yang
relatif dangkal. Tipe metamorfosa akan meningkat seiring dengan
meningkatnya tekanan, temperatur, dan kedalaman, yaitu dari Burial
Metamorfosa berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat Rendah
dan kemudian dengan semakin meningkatnya tekanan, temperatur dan
kedalaman Metamorfosa Regional Derajat Rendah dapat berubah
menjadi Metamorfosa Regional Derajat Tinggi, sedangkan pada
kedalaman (D > 20 km), Tekanan (P > 7 kilobars), dan Temperatur (T
> 700° C ) batuan akan mengalami peleburan (mencair) menjadi
magma.
7. Metamorfosa Retrogresif
Batuan yang berada jauh didalam perut bumi dapat mengalami
penurunan tekanan dan temperatur apabila mengalami erosi sebagai
akibat dari pengangkatan secara tektonik. Peristiwa tersingkapnya
batuan akibat erosi ini memungkinan batuan mengalami pembalikan
proses metamorfosa, yaitu batuan kembali pada kondisi awal sebelum
mengalami metamorfosa. Pembalikan proses metamorfosa seperti ini
dikenal dengan istilah metamorfosa retrogresif. Apabila proses
metamorfosa retrogresif merupakan sesuatu yang bersifat umum, maka
batuan jenis ini seharusnya juga umum dijumpai dipermukaan bumi,
namun demikian kenyataannya bahwa batuan metamorfosa retrogresif
jarang dijumpai tersingkap dipermukaan bumi. Alasan alasan mengapa
batuan retrogresif tidak umum dijumpai adalah:
1. Reaksi kimia akan melambat seiring dengan menurunnya
temperatur.
2. Selama proses metamorfosa retrogresif, larutan fluida seperti
H2O dan CO2 menjadi bersifat pasif, padahal fluida diperlukan
dalam pembentukan mineral-mineral hydrous yang bersifat
stabil di permukaan bumi.
3. Reaksi kimia juga akan dipercepat dengan hadirnya fluida, tetapi
jika fluida tidak berfungsi sebagai pendorong pada proses
metamorfosa retrogresif, maka percepatan reaksi kimia tidak
terjadi selama proses metamorfosa retrogresif berlangsung.
3) Fasa Fluida
Keberadaan setiap rongga antar butir dalam suatu batuan
menjadi potensi untuk diisi oleh larutan fluida, dan umumnya
larutan fluida yang paling dominan adalah H2O, tetapi berisi
material mineral. Fase fluida adalah fase yang penting karena
rekasi kimia yang melibatkan sau mineral padat berubah
menjadi mineral padat lainnya hanya dapat dipercepat oleh
adanya fluida yang berfungsi sebagai pembawa ion-ion terlarut.
Dengan naiknya tekanan pada proses metamorfosa, maka ruang
antar butir tempat fluida mengalir menjadi berkurang dan
dengan demikian fluida menjadi tidak berfungsi sebagai
penggerak reaksi. Dengan demikian tidak ada larutan fluida
ketika temperatur dan tekanan berkurang sehingga metamorfosa
retrogresif menjadi sulit terjadi.
4) Waktu
Reaksi kimia yang terlibat dalam metamorfosa, selama
re-kristalisasi, dan pertumbuhan mineral-mineral baru terjadi
pada waktu yang sangat lambat. Hasil uji laboratorium
mendukung hal tersebut dimana dibutuhkan waktu yang lama
dalam proses metamorfosa untuk membentuk butiran butiran
mineral yang ukurannya cukup besar. Jadi, batuan metamorf
yang berbutir kasar akan memerlukan waktu yang lama,
diperkirakan membutuhkan waktu hingga jutaan tahun.
9. Fasies Metamorfosa
Hasil pengamatan batuan metamorf diberbagai tempat di bumi
memperlihatkan bahwa komposisi kimia batuan metamorf hanya sedikit
terubah oleh proses metamorfisme. Perubahan utama yang terjadi
adalah bertambah atau berkurangnya volatile, H2O dan CO2, tetapi
bahan utamanya, seperti SiO2, Al2O3 dan CaO tidak berubah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa himpunan mineral batuan metamorf dari
batuan sedimen atau batuan beku ditentukan oleh suhu dan tekanan saat
metamorfisme berlangsung. Berdasarkan kesimpulan ini, Pennti Eskola
dari Finlandia (1915), mengusulkan konsep fasies metamorfisme.
Yang intinya menyatakan bahwa dari komposisi batuan tertentu,
himpunan mineral yang mencapai keseimbangan selama metamorfisme
dibawah kisaran kondisi fisik tertentu, termasuk dalam fasies
metamorfisme yang sama.
a. Slaty Cleavage
Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir
sangat halus (mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya
bidang-bidang belah planar yang sangat rapat, teratur dan
sejajar. Batuannya disebut slate (batusabak).
b. Phylitic
Struktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage
tetapi terlihat rekristalisasi yang lebih besar dan mulai
terlihat pemisahan mineral pipih dengan mineral granular.
Batuannya disebut phyllite (filit)
d. Gneiss
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran
mineral yang mempunyai bentuk berbeda, umumnya antara
mineral-mineral granuler (feldspar dan kuarsa) dengan
mineral-mineral tabular atau prismatic (mioneral
ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya tidak
menerus melainkan terputus-putus. Batuannya disebut
gneiss.
b. Kataklastik
Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau mineral
berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan
breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat metamorfosa
kataklastik. Batuannya disebut cataclasite (kataklasit).
c. Milonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada
metamorfosa kataklastik. Cirri struktur ini adalah
mineralnya berbutir halus, menunjukkan kenampakan
goresan-goresan searah dan belum terjadi rekristalisasi
mineral-mineral primer. Batiannya disebut mylonite
(milonit).
d. Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur
milonitik tetapi umumnya telah terjadi rekristalisasi. Cirri
lainnya adlah kenampakan kilap sutera pada batuan yang
,mempunyai struktur ini. Batuannya disebut phyllonite
(filonit).
2) Berfoliasi Lemah
yaitu yang berfoliasi tetapi tidak mudah/tidak dapat pecah melalui
bidang foliasi. Orientasi mineral-mineral pipih berselingan dengan
mineral-mineral yang tidak pipih yang berbutir sama besar.
Butirannya antara lain: Gneiss (Gneis), bersifat fanerik, berbutir
sedang sampai kasar. Komposisi yang utama: Kuarsa, Feldspar,
Mika, dan kadang-kadang Hornblende.
3) Berfoliasi sangat lemah sampai nonfoliasi:
Batuan didominasi oleh mineral-mineral berbentuk kubus,
mineral-mineral pipih bila ada orientasinya acak. Batuan ada yang
granular atau berlineasi. Batuannya antara lain:
1. Quartzite (Kuarsit).
Komposisinya yang sangat utama adalah Kuarsa, bila
pecah tak rata dan tidak mengelilingi butiran, nonfoliasi.
2. Marble (Marmer).
Berkomposisi utama Kalsit, warna abu-abu (biasanya)
karena Grafit (bereaksi positif dengan HCl).
3. Hornfels.
Bersifat afanitik sampai fanerik halus, berkomposisi
Kuarsa, Feldspar, Mika (diketahui dari pengamatan
lapangan).
4. Granofels.
Bersifat fanerik kasar, nonfoliasi, berkomposisi Kuarsa
dan Feldspar (yang berbentuk kubus).
5. Granulite.
Bersifat fanerik kasar, nonfoliasi, berkomposisi Piroksin
dan Garnet disamping Kuarsa dan Feldspar.
6. Serpentinite.
Nonfoliasi sampai lineasi, berwarna hijau, hijau sampai
kuning pucat. Komposisi utamanya Serpentin.