Anda di halaman 1dari 55

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN POST TUR-P MENGGUNAKAN APLIKASI

TEORI MODEL TRANSCULTURAL NURSING


DALAM ASUHAN KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh Kelompok VI


Hartono
Ani Mashunatul M
Yuli Widyastuti
Woro Hapsari
M. Akhdan Anis

Kelompok VI :

Disusun Oleh
DENI IMAM MAGHFUR (20131050024)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi menyebabkan masyarakat hidup dalam suasana multikultural yang
disebabkan karena migrasi antar daerah dan negara menjadi lebih mudah. Keperawatan
transkultural menjadi komponen utama dalam kesehatan dan menjadi konstituen penting
dari perawatan, yang mengharapkan para perawat kompeten secara budaya dalam
praktek sehari-hari. Perawat yang kompeten dalam budaya memiliki pengetahuan tentang
budaya lain dan terampil dalam mengidentifikasi pola-pola budaya tertentu sehingga
dirumuskan rencana perawatan yang akan membantu memenuhi tujuan yang telah
ditetapkan untuk kesehatan pasien (Gustafson, 2005).
Selain itu, praktik keperawatan memberikan perawatan yang holistik. Pendekatan
holistik ini meliputi perawatan fisik, psikologi , emosional, dan kebutuhan rohani pasien.
Penting untuk menekankan bahwa perawat harus mengidentifikasi danmemenuhi
kebutuhan tersebut agar dapat memberikan perawatan individual, yang telah ditetapkan
sebagai hak pasien dan merupakan ciri praktek keperawatan profesional (Locsin, 2001).
Dalam rangka untuk memberikan perawatan holistik,perawat juga harus
mempertimbangkan perbedaan budaya dalam membuat rencana keperawatan. Dengan
demikian, perawat harus mempunyai kompetensi budaya dalam praktek sehari-hari
mereka agar pasien merasa dikenal dan diperhatikan sebagai individu dalam suatu sistem
kesehatan yang sangat kompleks dan beragam secara budaya. Pekerja sosial
menggambarkan kompetensi budaya sebagai suatu proses terus-menerus berusaha untuk
menyadari, menghargai keragaman, dan meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh
budaya (Bonecutter & Gleeson, 1997). Dan perawat telah mengadopsi konsep ini.
Perawat menggambarkan kompetensi budaya adalah kemampuan untuk memahami
perbedaan budaya dalam rangka untuk memberikan layanan berkualitas kepada pasien
dengan berbagai keanekaragaman budaya (Leininger, 2002). Perawat yang mempunyai
kompetensi budaya mempunyai kepekaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan
budaya, ras, etnis, gender, danorientasi seksual.
Dengan memiliki pengetahuan tentang perspektif budaya pasien memungkinkan
perawat untuk memberikan perawatan yang tepat dan efektif. Sebagai contoh, pada kasus
pasien yang menolak untuk diberikan tranfusi darah dengan alasan agama, perawat yang
mempunyai kompetensi budaya akan memahami dan mengatasi masalah pasien tersebut
dengan masalah keanekaragaman budaya. Perawat mungkin menghadapi pasien dari
berbagai budaya dalam praktek sehari-hari dan tidak mungkin perawat dapat memahami
seluruh keanekaragaman budaya. Namun, perawat dapat memperoleh pengetahuan dan
skill dalam komunikasi transkultural untuk membantu memfasilitasi perawatan
individual yang didasarkan pada praktek-praktek budaya. Perawat yang terampil dalam
komunikasi transkultural akan lebih siap untuk memberikan perawatan yang kompeten
secara budaya untuk pasien mereka.
Baru-baru ini penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masalah komunikasi adalah
alasan utama perawat tidak dapat memberikan perawatan yang kompeten dalam budaya
(Boi, 2000, Cioffi, 2003). Perawat menyampaikan bahwa mereka tidak nyaman dengan
pasien dari budaya lain selain mereka sendiri karena hambatan bahasa. Lebih penting
lagi, para perawat menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memahami isyarat-isyarat lain
yang digunakan oleh para pasien untuk berkomunikasi. Perawat menyampaikan
memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk memahami arti isyarat-isyarat komunikasi
nonverbal tertentu yang digunakan oleh kebudayaan yang berbeda, misalnya kontak
mata, sentuhan, diam, ruang dan jarak serta keyakinan terhadapkesehatan.
Kontak mata adalah alat komunikasi yang penting, juga merupakan variabel yang
paling berbeda diantara banyak budaya (Canadian Nurses Association, 2000). Perawat
Amerika diajarkan untuk mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan pasien
mereka. Berbeda dengan orang-orang Arab, yang menganggap kontak mata langsung
tidak sopan dan agresif. Demikian pula, penduduk asli Amerika Utara juga menganggap
kontak mata langsung hal yang tidak benar dalam budaya mereka, menatap lantai selama
percakapan menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan hati-hati dengan
pembicara. Hispanik menggunakan kontak mata hanya bila dianggap tepat. Hal ini
didasarkan pada usia, jenis kelamin, kedudukan sosial, statusekonomi, dan posisi
kekuasaan. Misalnya, tetua Hispanik berbicara dengan anak-anak menggunakan kontak
mata, tapi dianggap tidak pantas bagi anak-anak Hispanik untukmelihat secara langsung
pada tetua mereka ketika berbicara. Dalam lingkungan perawatan kesehatan, pasien
Hispanik berharap bahwa perawat dan penyedia layanan kesehatan lainnya langsung
memberikan kontak mata saat berinteraksi dengan mereka, tetapi tidak diharapkan bahwa
pasien Hispanik membalas dengan kontakmata langsung ketika menerima perawatan
medis dan keperawatan. Ini hanya beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa orang-
orang dari berbagai budaya kontak mata memandang berbeda. Sangat penting bahwa
perawat harus sadar bahwabeberapa makna yang dapat disertakan pada kontak mata
langsung agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien.
Oleh karena itu menjadi penting mahasiswa program megister keperawatan untuk
mempelajari lebih mendalam teori keperawatan Madeleine Leininger tentang
“Transkultural Nursing” melalui diskusi kelompok, pembuatan makalah dan presentasi
aplikasi Teori Keperawatan Madeleine Leininger “Transkultural Nursing” dalam Asuhan
Keperawatan.
BAB II
TEORI MADELEINE LEININGER

A. Sejarah Teori
Dr. Madeline Leininger, seorang perawat yang ahli antropologi, mempunyai andil
besar dalam meningkatkan riset dalam perawatan trans-kultural dan dalam merangsang
program-program studi yang erat kaitannya. Ia adalah pelopor keperawatan transkultural
dan seorang pemimpin dalam mengembangkan keperawatan transkultural serta teori
asuhan keperawatan yang berfokus pada manusia. Leininger juga adalah seorang perawat
professional pertama yang meraih pendidikan doctor dalam ilmu antropologi social dan
budaya.Madeline Leininger lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir
keperawatannya setelah tamat dari program diploma di St. Anthony·s School of Nursing
di Denver.Pada tahun 1950 ia meraih gelar sarjana dalam ilmu biologi dari ´Benedictine
College, Atchison Kansas dengan peminatan pada studi filosofi dan humanistik. Setelah
menyelesaikan pendidikan tersebut ia bekerja sebagai instruktur, staf perawatan dan
kepela perawatan pada unit medikal bedah serta membuka sebuah unit perawatan
psikiatri yang baru dimana ia menjadi seorang direktur pelayanan keperawatan pada St.
Joseph·s Hospital di Omaha. Selama waktu ini ia melanjutkan pendidikan
keperawatannya di Creigthton University di Omaha. Tahun 1954 Leininger meraihgelar
M.S.N. dalam keperawatan psikiatrik dari Chatolic University of America diWashington,
D. C. Ia kemudian bekerja pada College of Health di Univercity of Cincinnati, dimana ia
menjadi lulusan pertama (M. S. N ) pada program spesialis keperawatan psikiatrik anak .
Ia juga memimpin suatu program pendidikan keperawatan psikiatri di universitas
tersebut dan juga sebagai pimpinan dalam pusat terapi perawatan psikiatri di rumah sakit
milik universitas tersebut. Leininger bersama C. Hofling pada tahun 1960 menulis
sebuah buku yang diberi judul Basic Psiciatric Nursing Consept yang dipublikasikan ke
dalam sebelas bahasa dandigunakan secara luas di seluruh dunia. Selama bekerja pada
unit perawatan anak diCincinnati, Leininger menemukan bahwa banyak staff yang
kurang memahami mengenai faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perilaku anak-
anak. Dimana diantara anak-anak ini memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Ia mengobservasi perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam asuhan dan
penangananpsikiatri pada anak-anak tersebut. Terapi psikoanalisa dan terapi strategi
lainnya sepertinya tidak menyentuh anak-anak yang memiliki perbedaan latar belakang
budaya dan kebutuhan. Leininger melihat bahwa para perawat lain juga tidak
menampilkan suatu asuhan yang benar-benar adekuat dalam menolong anak tersebut,dan
ia dihadapkan pada berbagai pertanyaan mengenai perbedaan budaya diantara anak-anak
tersebut dan hasil terapi yang didapatkan. Ia juga menemukan hanya sedikit staff yang
memiliki perhatian dan pengetahuan mengenai faktor-faktor budaya dalam mendiagnosa
dan manangani klien. Suatu ketika, Prof. Margaret Mead berkunjung pada departemen
psikiatri University of Cincinnati dan Leiniger berdiskusi dengan Mead mengenai adanya
kemungkinan hubungan antara keperawatan dan antropologi. Meskipun ia tidak
mendapatkan bantuan langsung, dorongan, solusi dari Mead , Leininger memutuskan
untuk melanjutkan studinya ke program doktor (Ph.D) yang berfokus pada
kebudayaan,sosial, dan antropologi psikologi pada Universitas Washington. Sebagai
seorang mahasiswa program doktor, Leininger mempelajari berbagai macam kebudayaan
dan menemukan bahwa pelajaran antroplogi itu sangat menarik dan merupakan area
yangperlu diminati oleh seluruh perawat. Kemudian ia menfokuskan diri pada
masyarakat Gadsup di Eastern Highland of New Guinea, dimana ia tinggal bersama
masyarakat tersebut selama hampir dua tahun. Dia dapat mengobservasi bukan hanya
gambaran unik dari kebudayaan melainkan perbedaan antara kebudayaan masyarakat
barat dan non barat terkait dengan praktek dan asuhan keperawatan untuk
mempertahankan kesehatan. Dari studinya yang dalam dan pengalaman pertama dengan
masyarakat Gad sup, Ia terus mengembangkan teori perawatan kulturalnya dan metode
ethno nursing. Teor idan penelitiannya telah membantu mahasiswa keperawatan untuk
memahami perbedaan budaya dalam perawatan, manusia, kesehatan dan penyakit. Dia
telah menjadi pemimpin utama perawat yang mendorong banyak mahasiswa dan fakultas
untuk melanjutkan studi dalam bidang anthropologi dan menghubungkan pengetahuan
ini kedalam praktik dan pendidikan keperawatan transkultural. Antusiasme dan
perhatiannya yang mendalam terhadap pengembangan bidang perawatan transkultural
dengan fokus perawatan pada manusia telah menyokong dirinya selama 4 dekade. Tahun
1950-an sampai 1960-an, Leininger mengidentifikasi beberapa area umum dari
pengetahuan dan penelitian antara perawatan dan anthropologi: formulasi konsep
keperawatan transkultural, praktek dan prinsip teori. Bukunya yang berjudul Nursing
and anthropology : Two Words to Blend, yang merupakan buku pertama dalam
keperawatan transkultural, menjadi dasar untuk pengembangan bidang keperawatan
transkultural, dan kebudayaan yang mendasari perawatan kesehatan. Buku yang
berikutnya,Transcultural Nursing : Concepts, theories, research, and practise (1978),
mengidentifikasi konsep mayor, ide-ide teoritis, praktek dalam keperawatan
transkultural, bukti ini merupakan publikasi definitif pertama dalam praktek perawatan
treanskultural. Dalam tulisannya, dia menunjukkan bahwa perawatan transkultural dan
anthropologi bersifat saling melengkapi satu sama lain, meskipun berbeda. Teori dan
kerangka konsepnya mengenai Cultural care diversity and universality dijelaskan dalam
buku ini. Sebagai perawat profesional pertama yang melanjutkan pendidikan ke jenjang
doktor dalam bidang antropologi dan untuk memprakarsai beberapa program pendidikan
magister dan doktor, Leininger memiliki banyak bidang keahlian dan perhatian. Ia telah
memepelajari 14 kebudayaan mayor secara lebih mendalam dan telah
memilikipengalaman dengan berbagai kebudayaan. Disamping perawatan transkultural
dengan asuhan keperawatan sebagai fokus utama , bidang lain yang menjadi
perhatiannya adalah administrasi dan pendidikan komparatif, teori-teori keperawatan,
politik,dilema etik keperawatan dan perawatan kesehatan, metoda riset kualitatif,
masadepan keperawatan dan keperawatan kesehatan, serta kepemimpinan keperawatan.
Theory of Culture Care saat ini digunakan secara luas dan tumbuh secara relevan serta
penting untuk memperoleh data kebudayaan yang mendasar dari kebudayaanyang
berbeda.

B. Konsep Teori
1. Pengertian
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang memfokuskan perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai perilaku caring dalam asuhan
keperawatan. Nilai sehat dan sakit didasarkan keyakinan, dan pola-pola prilaku
dengan tujuan untuk mengembangkan badan pengetahuan dan keilmuan untuk
memberikan praktek asuhan keperawatan pada budaya yang spesifik dan universal.
(Leininger, 2002).
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi
dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan
keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya
diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan,
masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara
umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan
bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang
universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu
tempat dengan tempat lainnya.
2. Konsep Transcultural Nursing
a. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.
b. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
c. Culture care diversity (Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan) merupakan
bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada
kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk
memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan
dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang
dan individu yang mungkin kembali lagi.
d. Cultural care universality (Kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada suatu
pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling
dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau simbol-simbol yang
dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan
pemberianbantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang
memungkinkanuntuk menolong orang lain (Terminlogy universality) tidak
digunakan padasuatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang
signifikan.
e. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang
lain.
f. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
g. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan
asal muasal manusia
h. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran
yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi
untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal
balik diantara keduanya.
i. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi
dan kualitas kehidupan manusia.
j. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
k. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung
atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam
keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
l. Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena
percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok
lain.

C. Paradigma Keperawatan Transkultural


Leininger mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang
sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan yaitu :
manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrewand Boyle, 1995).
a. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai
dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun
dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
b. Kesehatan
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi
dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang
adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
c. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan prilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga
bentuk lingkungan yaitu fisik, sosial dan simbolik (Andrew & Boyle, 1995).
Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau yang diciptakan oleh manusia seperti
daerah katulistiwa, pegunungan, pemukimam padat dan iklim. Lingkungan fisik dapat
membentuk budaya tertentu misalnya bentuk rumah di daerah panas yang banyak
lubang dengan bentuk rumah orang Eskimo hampir tertutup rapat (Andrew & Boyle,
1995). Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan
dengan sosialisasi individu atau kelompok kedalam masyarakat yang lebih luas seperti
keluarga, komunitas dan tempat ibadah. Di dalam lingkungan sosial individu harus
mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk atau symbol yang menyebabkan
individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa atau
atribut yang digunakan. Penggunaan lingkungan simbolik bermakna bahwa individu
memiliki tenggang rasa dengan kelompoknya seperti : penggunaan bahasa pengantar,
identifikasi nilai-nilai dan norma serta penggunaan atribut-atribut seperti pemakaian
ikat kepala, kalung, anting, telepon, hiasan dinding atau slogan-slogan. (Andrew &
Boyle, 1995)
d. Keperawatan
Keperawatan dipandang sebagai suatu ilmu dan kiat yang diberikan kepada
klien dengan berfokus pada prilaku, fungsi dan proses untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan atau pemulihan dari sakit (Andrew & Boyle, 1995).
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai latar belakang budayanya. Asuhan
keperawatan ditujukan memandirikan sesuai dengan budaya klien. Asuhan
keperawatan diberikan sesuai dengan karakteristik ruang lingkup keperawatan,
dikelola secara profesional dalam konteks budaya klien dan kebutuhan asuhan
keperawatan Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah
perlindungan /mempertahankan budaya, mengakomodasi/menegosiasi budaya dan
mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1984).
a. Cara 1 : Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan
diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien
sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,
misalnya budaya berolah raga setiap pagi.
b. Cara 2 : Negosiasi budaya yaitu intervensi dan implementasi keperawatan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatannya. Perawat membantu klien agar dapat memilih
dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan,
misalnya klien yang sedang hamil mempunyai pantangan makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
c. Cara 3 : Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatannya. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Seluruh
perencanaan dan implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang
budaya sehingga budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik
setiap saat. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

D. Asuhan Keperawatan Transkultural


Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada
puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk
mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruh
ikesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada
keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah
berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garisputus-
putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa
tubuh manusia tidak terpisahkan/ tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka.
Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan
tidaktampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leiningera
dalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional
lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai
yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan
tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan
suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan
yang sejalan dengan kebudayan serta penelitian ilmiah.
Gambar 1 : Model konseptual Asuhan Keperawatan Transultural
Pendekatan proses keperawatan digunakan oleh perawat pelaksana dalam
melakukan asuhan keperawatan transkultural. Pengelolaan asuhan keperawatan
transkultural dengan menggunakan proses keperawatan mulai pengkajian, menegakkan
diagnosa, intervensi dan implementasi sampai evaluasi .
a. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai latar belakang budayanya.(Alligood MR & Tomey
AN, 2006). Pengkajian dilakukan terhadap respon adaptif dan maladaptif untuk
memenuhi kebutuhan dasar yang tepat sesuai dengan latar belakang budayanya.
Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “ Leininger’s
Sunrise models” dalam teori keperawatan transkultural Leininger yaitu :
1. Faktor teknologi (technological factors)
Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan manusia untuk
memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan maka perawat
perlu mengkaji berupa : persepsi klien tentang penggunaaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari
bantuan kesehatan, persepsi sehat-sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan. Alasan klien tidak mau operasi dan klien memilih
pengobatan alternatif. Klien mengikuti tes laboratorium darah dan memahami
makna hasil tes tersebut.
2. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (religious and Philosophical factors)
Agama adalah suatu sistem symbol yang mengakibatkan pandangan dan
motivasi yang amat realistic bagi para pemeluknya. Sifat relistis merupakan ciri
khusus agama. Agama menyediakan motivasi kuat sekali untuk menempatkan
kebenarannya diatas segalanya, bahkan di atas kehidupan sendiri. Faktor agama
yang perlu dikaji perawat seperti : agama yang dianut, kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan, beriktiar untuk sembuh tanpa mengenal
putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh, status pernikahan, persepsi klien
terhadap kesehatan dan cara beradaptasi terhadap situasinya saat ini, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan penularan
kepada orang lain.
3. Faktor sosial dan keterikatan kekeluargaan ( Kinship & Social factors)
Pada faktor sosial dan kekeluargaan yang perlu dikaji oleh perawat :
nama lengkap dan nama panggilan di dalam keluarga, umur atau tempat dan
tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
anggota keluarga, hubungan klien dengan kepala keluarga, kebiasaan yang
dilakukan rutin oleh keluarga misalnya arisan keluarga, kegiatan yang dilakukan
bersama masyarakat misalnya : ikut kelompok olah raga atau pengajian.
4. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (Cultural values & Lifeways)
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai
apa yang dianggap baik apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai budaya adalah
sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap
baik atau buruk.Norma adalah aturan sosial atau patokan prilaku yang dianggap
pantas. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Hal-hal yang perlu dikaji
berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah : posisi dan jabatan
misalnya ketua adat atau direktur, bahasa yang digunakan, bahasa non verbal
yang ditunjukkan klien, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan
pantang berkaitan dengan kondisi sakit, sarana hiburan yang biasa dimanfaatkan
dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, misalnya sakit apabila
sudah tergeletak dan tidak dapat pergi ke sekolah atau ke kantor.
5. Faktor kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku (Political and
Legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dan kelompok dalam asuhan
keperawatan transkultural (Andrew & Boyle, 1995), seperti peraturan dan
kebijakan dapat berkaitan dengan jam berkunjung, klien harus memakai baju
seragam, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, hak dan kewajiban
klien yang harus dikontrakkkan oleh rumah sakit, cara pembayaran untuk klien
yang dirawat.
6. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material
yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Sumber ekonomi
yang pada umumnya dimanfaatkan klien antara lain : asuransi, biaya kantor,
tabungan dan patungan antar anggota keluarga. Faktor ekonomi yang perlu
dikaji oleh perawat antara lain seperti pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan
, kebiasaan menabung dan jumlah tabungan dalam sebulan. Faktor ekonomi
dapat ikut menentukan pasien atau keluarganya dirawat di ruang yang sesuai
dengan daya embannya.
7. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Di dalam menempuh
pendidikan formal tersebut terjadi suatu proses eksperimental. Suatu proses
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dimulai dari keluarga dan
selanjutnya dilanjutkan kepada pendidikan di luar keluarga.( Leininger, 1984 )
Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinannya harus didukung oleh
bukti-bukti ilmiah yang rasional dan dapat belajar beradaptasi terhadap budaya
yang sesuai dengan kondisi kesehatannnya. Perawat perlu mengkaji latar
belakang pendidikan klien meliputi tingkat pendidikan klien dan keluarga, jenis
pendidikannnya, serta kemampuan klien belajar secara aktif mandiri tentang
pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya
yang dapat dicegah, dirubah, atau dikurangi melalui intervensi keperawatan (Giger
& Davidhizar, 1995 ; Andrew & Boyle, 1995). Respon klien yang ditegakkan oleh
perawat dengan cara mengidentifikasi budaya yang mendukung kesehatan, budaya
yang menurut klien pantang untuk dilanggar, dan budaya yang bertentangan
dengan kesehatannya. Budaya yang mendukung kesehatan antara lain olah raga
teratur, membaca atau suka makan sayur. Budaya yang menurut klien pantang
untuk dilanggar seperti hal yang tabu dilakukan atau makanan pantang. Budaya
yang bertentangan dengan kesehatan misalnya merokok. Menurut Giger &
Davidhizar, (1995) dan Andrew & Boyle (1995) terdapat tiga diagnosa
keperawatan transkultural yang sering ditegakkan yaitu gangguan komunikasi
verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interksi sosial
berhubungan dengan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam
pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
c. Perencanaan dan Implementasi
Perencanaan dan implementasi adalah suatu proses memilih strategi yang
tepat dan melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien
(Giger & Davidhizar, 1995 ; Andrew & Boyle, 1995). Perencanaan dan
implementasi keperawatan transkultural menawarkan tiga strategi sebagai pedoman
Leininger (1984) ; Andrew & Boyle, 1995 yaitu : perlindungan/mempertahankan
budaya (Cultural care preservation/maintenance) bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan.
Cultural care preservation/maintenance
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
keperawatan
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
Cultural care accomodation /negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan kliendan standar etik.
Cultural care repartening/reonstruction
1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikandan
melaksanakannya.
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan
Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing
melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat
tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga
hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman
budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan
perawatdan klien yang bersifat terapeutik.
d. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan
klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi
budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya
baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien.
Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya klien.
BAB III

Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

A. PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan
membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun
ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli. Pembesaran
ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona
periurethra.

Gambar 1. Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang
mengalami pembesaran. Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal
pada orang dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior
dan zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

B. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI


BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur
lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–
85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah
dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di
antaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron).
Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi menjadi DHT yang
merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening.
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.
3. Teori stem cell hypotesis.
Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang
menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga
dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan
pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors.
Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya
ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor
(FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan
pembesaran prostat

C. TANDA DAN GEJALA


 Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat
teraba membesar dengan konsistensi kenyal.
 Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Gejala iritatif, terdiri
dari : sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency),
buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), sulit menahan buang air kecil
(urge incontinence). Gejala obstruksi, terdiri dari : pancaran melemah, akhir buang air
kecil belum terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan
buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air
kecil terputus-putus (intermittency), waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya
menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen

D. PATOFISIOLOGI
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran
uretra prostatika dan menyumbat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan
tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka
otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar.
Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa
: Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan penderita sebagai keluhan pada
saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak
banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata.
Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas
miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi
tidak adekuat sehingga tersisalah urin di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir,
seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan
tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia
dan haemorhoid. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urin dan terjadinya retensi urin, keadaan ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah
inkontinensia urin secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan,
sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup
menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah
ketidakmampuan otot detrusor memompa urin dan menjadi retensi urin. Retensi urin
yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal dikarenakan tekanan
pada kedua muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau
terjadinya refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan BPH adalah sebagai berikut :
a. Observasi (watchfull waiting)
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan
yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.
b. Medikamentosa
1. Alfa 1-blocker
Contohnya doxazosin, prazosin, tamsulosin dan terazosin.
Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran (relaksasi) otot-otot pada kandung
kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih.
2. Finasterid
Finasterid menyebabkan berkurangnya kadar hormon prostat sehingga memperkecil
ukuran prostat. Obat ini juga menyebabkan meningkatnya laju aliran air kemih dan
mengurangi gejala. Tetapi diperlukan waktu sekitar 3-6 bulan sampai terjadinya
perbaikan yang berarti. Efek samping dari finasterid adalah berkurangnya gairah
seksual dan impotensi.
3. Obat lainnya
Untuk mengobati prostatitis kronis, yang seringkali menyertai BPH, diberikan
antibiotik. 
c. Operasi (Pembedahan)
1. Pembedahan terbuka
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasive, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatectomy terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik
transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin)
2. Pembedahan endourology
 Transurethral resection of the prostate (TURP)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan
invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan
reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis
selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi
dengangranulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika 
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka
pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena
bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra,
ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali
8-10 tahun kemudian.
Setelah dilakukan TURP, pasien dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24
yang dilengkapi dengan balon 30 ml. Kateter ini digunakan untuk
memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kandung
kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar  bekuan darah lagi.
Kemudian kateter dibilas setiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah
3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
Pada pasien pembedahan menggunakan TURP dapat terjadi sindroma TUR
adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat gangguan
neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan
irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi
selama operasi.Sindroma TUR adalah suatu komplikasi yang paling sering dan
paling menakutkan dalam pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang
berpengalamanpun, Sindroma TUR dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas
yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom TUR merupakan suatu komplikasi
yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang melakukan operasi maupun
para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini dan melakukan
intervensi untuk mencegah kematian. Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan
TURP mengalami Sindrom TUR dari berbagai tingkat. Suatu penelitian yang
dilakukan di Filipina menunjukkan angka kekerapan sebesar 6%. Penelitian Marrero
menunjukkan frekuensi Sindrom TUR meningkat bila:
1. Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr
2. Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3. Pasien yang mengalami hiponatremi relative
4. Cairan irigasi 30 liter atau lebih
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin bahwa operasi
pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi menurut penelitian ternyata
Sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung 30 menit. Sebaliknya
risiko Sindrom TUR akan menurun bila:

1. Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik).


2. Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin.
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase perioperatif dan dapat terjadi
beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai
pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan
sebagai berikut: pusing, sakit kepala, mual, rasa tertekan di dada dan tenggorokan,
napas pendek, gelisah, bingung, nyeri perut. Tekanan sistolik dan diastolik
meningkat, nadi menurun. Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita
menjadi sianotik, hipotensif dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat
menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak
sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir
dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom
TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan
penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG
dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang U, dan
komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami sindrom TURP, pulihnya
kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat.
Berikut adalah etiologi dari syndrome TURP:

1. Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi TURP
dan hal ini terjadi melalui jaringan vena pada prostat. Menurut penelitian,
dalam 1 jam pertama dari operasi terjadi penyerapan sekitar 1 liter cairan
irigasi yang setara dengan penurunan akut kadar Na sebesar 5-8
mmol/liter. Penyerapan air di atas 1 liter menimbulkan risiko timbulnya
gejala sindrom TUR. Penyerapan air rata-rata selama TUR adalah 20
ml/menit. Dengan adanya circulatory overload, volume darah meningkat,
tekanan darah sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah
jantung.
Cairan yang diserap akan menyebabkan pengenceran kadar protein
serum, menurunnya tekanan osmotik darah. Pada saat yang sama, terjadi
peningkatan tekanan darah dan cairan di dorong dari pembuluh darah ke
dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan cerebri. Di
samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar
cairan dapat terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga
peritoneal. Setiap 100 cc cairan yang masuk ke dalam cairan interstitial
akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya pembedahan berhubungan
dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas terbukti
tinggi bila pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit. Penyerapan
cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat sedang
penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul prostat.
Circulatory overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor
penting yang berhubungan dengan kecepatan penyerapan cairan adalah
tekanan hidrostatik dalam jaringan prostat. Tekanan ini berhubungan
dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan dalam kandung
kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah 60 cm yang
dapat memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan visualisasi
yang baik .

2. Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari
keracunan air karena meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita
menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat terjadi kejang-kejang
dan koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan refleks
babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan
air terjadi bila kadar Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal(1,3).
3. Hiponatremia
Na sangat penting untuk fungsi sel jantung dan otak. Beberapa
mekanisme terjadinya hiponatremia pada pasien TUR adalah:
a. Pengenceran Na karena penyerapan cairan irigasi yang besar.
b. Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan irigasi.
c. Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di daerah
periprostat dan rongga peritoneal.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan
kejang-kejang. Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi
dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Bila kadar Na di bawah 115
meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang melebar, gelombang
ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100
meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel,
fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
Pencegahan Sindroma TUR dilakukan dengan Identifikasi gejala-
gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah manifestasi berat
dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi endoskopik.
Bila diketahui adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi terutama
pada pasien-pasien yang mendapat diuretik dan diet rendah garam harus
segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR
perlu dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai
peran penting dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk
penderita-penderita dengan penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring
CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya
operasi TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih
dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan
natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan
koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu dilakukan pemberian
furosemid profilaksis untuk mencegah overload cairan. Bila perlu
dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan PRC bukan
dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya
dengan menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C.
 Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisidibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak  kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan  di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding
cara lainnya.
 Elektrovaporasi Prostat
Cara ini sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball
yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga
mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak
banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa menginap
di rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada
prostat yang tidak terlalu besar (< 50 gram) dan membutuhkan waktu
operasi yang lebih lama.

d. Tindakan Invasif minimal


 Laser prostatectomy
Energy laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak 1986 yang dari
tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Jika dibandingkan dengan
pembedahan, pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan
komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan
dengan hasil yang kurang lebih sama. Kekurangannya adalah tidak dapat
diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi, sering menimbulkan disuria
pasca bedah yang dapat berlangsung selama 2 bulan, tidak langsung bisa
miksi spontan setelah operasi, pek flow rate lebih rendah daripada TURP, dan
membutuhkan biaya yang tinggi untuk laser fiber dan generator.
 Termoterapi
Merupakan pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-
1296 Mhz yang dipancarkan melalui antenna yang diletakkan dalam uretra.
Dengan pemanasan melebihi 440 C menyebabkan destruksi jaringan pada
zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat
dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan.
Morbiditas relative rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat
dijalani oleh pasien yang kondisinya kurang baik jika menjalani pembedahan.
Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.
 TUNA (Transurethral needle ablation of the placenta)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas sampai mencapai 1000 C, sehingga menyebabkan nekrosis pada
jaringan prostat. System ini terdiri dari kateter TUNA yang dihubungkan
dengan generator yang dapat membangkitkan energy pada frekuensi radio
490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sitoskop dengan
pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung
kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien seringkali mengeluh hematuria,
disuria, kadang-kadang retensi urin dan epididimo-orkitis.

 Intraurethral Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-
buli dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer dan
permanen. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.
 HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)
Energy panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultrasonografi dan transduser piezokeramik yang
mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. energy dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini
memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaika gejala
klinis 50-60%, efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara
tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun.
Meskipun sudah banyak modalitas yang telah ditemukan untuk
mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil
paling memuaskan adalah TURP
 TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)
TUMT merupakan tindakan invasive ringan dimana sebuah microwave
antenna ditempatkan di kateter uretra untuk memanaskan dan menghancurkan
jaringan prostat yang berlebihan. Energy dari microwave akan
menghancurkan bagian prostat yang dipilih kemudian menggunakan system
pendingin untuk melindungi uretra. Kedua prosedur ini memakan waktu
sekitar 1 jam dan dapat dilakukan tanpa general anestesi. Study yang
dilakukan secara terbatas pada pasien TUMTmenunjukkan 65% mengalami
penurunan gejala subyektif perkemihan dan 45% mengalami kemajuan secara
objektif dari aliran kencing.
 Transurethral Balloon Dilatation of the Prostate
Penggunaan prosedur ini tergolong aman dan merupakan tindakan invasive
yang ringan untuk penatalaksanaan pasien BPH. Keuntungan prosedur ini
adalah tidak mengakibatkan impotensi, ejakulasi dini, ataupun kematian.
Balon dilatasi ini tidak digunakan pada pasien dengan dekompensasi kandung
kemih, infeksi traktus urinarius, pembesaran kelenjar yang telah lama.

F. PEMERIKSAAN FISIK dan PENUNJANG


1. Pada pemeriksaan fisik
Didapatkan buli-buli yang penuh dan teraba massa kistik si daerah supra simpisis akibat
retensi urin.Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan
pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani,
pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan
yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan tengah,
simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.

Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma
prostat, konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak
simetri.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
menganggu faal ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan infeksi dan
urolithiasis. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan
infeksi dan sekaligus menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.Pemeriksaan sitologi urin digunakan untuk pemeriksaan sitopatologi sel-sel
uroteliumyang terlepas dan terikut urin. Pemeriksaan gula darah untuk mendeteksi adanya
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli. Jika dicurigai
adanya keganasan prostat perlu diperiksa penanda tumor prostat (PSA).

3. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, batu/kalkulosa
prostat atau menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda
retensi urin. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya :

• kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)


• memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter bagian distal yang berbentuk
seperti mata kail (hooked fish)
• penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-
buli
Pemeriksaan IVP tidak lagi direkomendasikan pada BPH.1 Pemeriksaan USG secara
Trans Rectal Ultra Sound (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan volume prostat ,
adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi
aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urin dan mencari kelainan lain pada buli-buli.
Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.(purnomo, de jong)

4. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur:

- residual urin, diukur dengan kateterisasi setelah miksi atau dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi
- pancaran urin (flow rate), dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya
miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan uroflowmetri.

G. PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera
ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker
prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2
pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan
berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

H. PENCEGAHAN
Berikut ini beberapa langkah untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan
laut), vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya
adalah:
a. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah
pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat
berkembang menjadi kanker prostat.
b. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
c. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan
pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.
d. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran
rangsangan ke susunan syaraf pusat.
e. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
N ASSESSMENT RASIONAL
O
1 UROLOGY IPSS dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan
BPH sehingga dapat digunakan untuk menyimpulan tidakan medis
yang akan diberikan kepada pasien dapat hanya menggunakan
medikasi atau tidakan medis pembedahan. Proses BAK dikaji secara
mendetail di dalam pengkajian IPSS. Pemeriksaan VU dilakukan
untuk melihat distensi pada VU dikarenakan urine tidak keluar
akibat pembesaran prostat, semakin besar pembesaran prostat
semakin sedikit bahkan urine tidak bisa keluar sedikitpun
( Redrigues, et al, 2004)

Foto BNO perlu dilakukan untuk melihat apakah ada batu


kadung kemih yang menyertai di dalam VU, sedangkan pembesaran
prostat dapat dilihat menggunakan metode effektif dan menghemat
biaya yaitu dengan prosedur colok dubur. Jika terjadi pembesaran
prostat pada pemeriksaan colok dubur dapat dilihat asimetris,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba, tetapi
untuk pemeriksaan maksimal sebelum dilakukan tindakan
pembedahan perlu dilakukan pemeriksaan USG secara Trans Rectal
Ultra Sound (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan
volume prostat , adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna
sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan jumlah residual urin dan mencari kelainan lain pada
buli-buli ( Anaesth., 2002)

Perlu dilakukan pengkajian urine pascaoperasi TURP


karena hasil reseksi saat operasi akan menimbulkan perdarahan pada
prostat sehingga perlu dilakukan irigasi cairan steril sampai
hematuria tidak keluar lagi, untuk pengkajian hematuria kita harus
melihat warna urine apakah ada darah atau tidak, ada darah yang
menggumpal atau tidak, sehingga perlu pemantauan irigasi yang
ketat pascaoperasi. Retensi  dapat  terjadi  bila  kateter  tersumbat 
bekuan  darah. Jika  terjadi  retensi  urin,  daerah  vesika urinari
akan terlihat   menonjol  jika   dipalpasi   dan   klien   terasa  ingin 
kencing. Selain itu perlu dilihat balance cairan pasien, antara input
dan otput harus seimbang, hal ini penting untuk mengobservasi
adanya darah yang menggumpal, ataupun adanya penyerapan
natrium di daerah periprostat dan rongga peritoneal yang berlebih
akibar syndrome TUR ( Cashman., 2002).

Nyeri pada bagian prostat pascaoperasi TURP terjadi


karena hasil reseksi saat operasi TURP, nyeri dapat menimbulkan
ganguan tidur dan berdampak pada penurunan kesehatan pasien.
Nyeri dapat dikaji menggunakan VAS scale.
Hasil laboratorium pemeriksaan urine PH, Urin acid, berat
jenis, protein, keton, bilirubin perlu dianalisa sebelum dilakukan
tindakan operasi untuk melihat penyakit penyerta selain BPH,
misalnya jika protein urin, urin acid, PH asam, ureum, kreatinin
meningkat maka dapat disimpulkan adanya kerusakan nefron pada
ginjal sehingga resiko kehilangan cairan di ekstraselular dan
perdarahan saat dilakukan operasi.

Pada post operasi TURP hari ke 4 jika sudah tidak ada


perdarahan yang keluar melalui urine maka dapat dilakukan bladder
training untuk melatih pasien melakukan BAK secara mandiri,
mempersiapkan pelepasan kateter, mengembalikan tonus otot dari
kandung kemih yang sementara waktu tidak berfungsi karena
pemasangan kateter ( Roe et al., 2006).

2 CARDIOVASKULAR Pemeriksaan TD praoperatif dilakukan untuk menilai


adanya peningkatan tekanan darah di atas normal (hipertensi) yang
berpengaruh pada kondisi hemodinamik intraoperatif dan
pascaoperatif. Setelah pembedahan, perawat harus membandingkan
frekuensi dan irama nadi dengan data yang diperoleh sebelum
operasi. Obat-obatan anestesi, perubahan dalam keseimbangan
cairan, dan stimulasi respons stres akibat pembedahan dapat
menyebabkan disnritmia jantung. Perawat mengkaji nadi perifer,
waktu pengisian kapiler dan warna serta suhu ekstremitas untuk
menentukan status sirkulasi pasien. Waktu pengisian kapiler dikaji
untuk menilai kemampuan perfusi perifer intraoperatif maupun
pasca operatif.

Perlu dilakukan observasi   Hb, dan  observasi  cairan 


(infus,  irigasi, per oral)  untuk  mengetahui adanya  perdarahan
yang berlebih, observasi tanda-tanda syok akibat perdarahan post op
TURP ( TD, N, RR, S, akral, kesadaran, keadaan umum, CRT, ada
tidaknya sianosis) , lihat natrium untuk mengetahui adanya
hiponatremi jika terjadi syndrome TUR saat operasi (Cavin., 2003).

Hiponatremi terjadi jika:

 Pengenceran Na: karena penyerapan irrigasi yang besar


(prostat dengan ukuran < 45)
 Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan
irigasi (terjadi bila menggunakan cairan irigasi isotonic)
 Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di
daerah periprostat dan rongga peritoneal (operasi
berlangsung >90 menit)

3 PERNAPASAN Sebuah tingkat pernapasan meningkat dapat dihasilkan dari


kelebihan cairan, sebagai mekanisme kompensasi untuk asidosis
metabolik, atau dari penurunan PaO2. Meskipun tidak diidentifikasi
sebagai Kussmaul pernapasan, napas dalam-dalam berhubungan
dengan asidosis metabolik terjadi sebagai mekanisme kompensasi
untuk menghilangkan karbon dioksida dalam upaya untuk
membangun kembali pH normal. Kelebihan cairan dengan kongesti
paru yang diwujudkan dalam JM oleh crackles, penurunan PaO2,
dan peningkatan frekuensi napas. Hasil asam-basa JM yang telah
dijelaskan sebelumnya. Fokus pengkajian keperawatan adalah
napas suara, laju pernapasan dan pola, dan hasil analisis gas darah
arteri. Pernafasan sangat penting dilakukan saat perioperaf pasien
TURP ( Cashman et al., 2004)

4 GASTROINTESTINAL Anasthesi menyebabkan  klien  pusing,  mual  dan  muntah.


dipengaruhi oleh agen anestesi, opioid dan faktor humoral (cth 5HT)
yang terlepas pada saat operasi. Sistem vestibular bisa menstimulasi
mual muntah sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan
telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba – tiba dari
kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular
telinga tengah, dan menambah insiden mual muntah. Pengkajian
skala nausea menggunakan Nausea Scale dengan tingkatan skor
berdasarkan kondisi pasien: 0 (tidak ada), 1 (akibat medikasi yang
diberikan), 2 (pasien melaporkan mengeluh mual, masih mentolerir
makanan + pengobatan melalui mulut), 3 (mual terus-menerus,
masih mentolerir makan), 4 (tidak ada nafsu makan tidak ada
masukan obat dan makanan melewati mulut), 5 (tidak ada yang
dikeluarkan) ( Apfel et al., 2012).
Pengkajian bising usus penting dilakukan untuk mengetahui
hilangnya dapak dari anastesi, untuk meningkatkan bising usus perlu
dilakukan mobilisasi dengan teratur pasca operasi.

5 NEUROLOGIS Pada  daerah  kaudal  akan  mengalami  kelumpuhan (relaksasi 


otot)  dan  mati  rasa  karena  pengaruh  anasthesi regional SAB.

Nyeri masih terasa pada post TURP dan dapat menggunakan tolls 
VAS.

6 MUSKULOSKELETAL Pengkajian fungsi musculoskeletal sangat penting untuk mengetahui


dampak dari anastesi SAB pacsa TURP sehingga dapat dilakukan
latihan peningkatan pergerakan tubuh secara hati-hati pada
pascaoperatif adalah untuk memperbaiki sirkulasi, untuk mencegah
stasis vena (Muttaqin & Sari., 2011)

7 HEMATOLOGI Perdarahan arterial dapat lebih jelas dalam kasus-kasus infeksi pra
operasi atau retensi urin karena kelenjar prostat. Perdarahan vena
umumnya terjadi karena kapsul perforasi dan bukaan sinusoid
vena. Jumlah perdarahan intraoperatif tergantung pada ukuran
kelenjar prostat dan berat reseksi semakin besar ukuran prostat
maka semakin besar pula resiko terjadinya perdarahan sehingga
perlu dilakukan observasi perdarahan yaitu jumlah Hb, konjungtiva,
CRT, adanya sianosis dll yang dapat mengakibatkan syok ( Cashman
et al., 2004)
PATWAY BPH + TURP

( Proses Penuaan )

Testosteron dirubah enzim 5 α-reduktase menjadi Hidrotestoseron (HDT

Esterogen mereduktasi Sel stroma bereaksi


HDT+androgen (RA) menggunakan growth faktor
Apotosis ( kematian
sel)

Proliferasi pada inti sel Proliferase sel epitel


prostat prostat

Proliferase sel prostat meningkat

 Pemeriksaan colok dubur


 Pemeriksaan BNO

Hiperplasia prostat
Penyempitan lumen prostatika

Pemeriksaan I-PSS
(Internasional Prostat
Symtom Score)
Urine terhambat karena
pembesaran prostat

Tekanan intravesikal meningkat

Persiapan operasi: Otot detrisor dan VU berkontraksi


meningkat untuk memompa urine Persiapan operasi:
KU: baik, TTV: dalam batas normal,
keluar
pemeriksaan hematologi (Hb, Persiapan irigasi
Ureum, Kalium, Natrium) Persiapan anastesi SAB
Persiapan peralatan operasi
Persiapan medikasi

Operasi TURP
Post Op TURP

Resti syndrome TUR

Reseksi TURP untuk Kehilangan banyak Fiksasi kateter yang


menghilangkan darah karena reseksi tidak tepat
hyperplasia sel prostat saat op TURP

Kerusakan sel Kekurangan Terjadi pembekuan


prostat cairan dan darah
elektrolit
Pelepasan mediator
Obstruksi kateter
nyeri (histamine,
bradikinin,
Resiko syok
prostlagandin,
hipovolemik
serotonin)

Masuknya
bakteri

Merangsang
Resiko infeksi
Nosiseptor (reseptor
nyeri)

Merangsang Medulla
spinalis

Nyeri akut
A. PENGAKAJIAN
Nama perawat : Deni Imam Maghfur
Tgl. Masuk : 29-Nov 2014
Dx. Medis : Benigna Prostat Hiperplasia
Tindakan medis : TUR-P

IDENTITAS PASIEN
PASIEN
Nama :Tn. B
Umur :64 Tahun
Agama :Islam
Pendidikan :SD
Perkerjaan :Petani
Status Pernikahan :Menikah
Alamat : Gunung kidul
Suku : Jawa

RIWAYAT KESEHATAN

KELUHAN UTAMA
Klien mengatakan nyeri pada daerah kemaluannya karena bekas operasi

RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG


Waktu terjadinya sakit
: pasien merasakan sakit saat susah buang air kecil.
Proses terjadinya sakit
: Pasien merasa susah untuk BAK, setelah Bak maupun Bab diakhiri dengan kencing yang
sangat sakit terasa panas seperti anyang-anyangen.saat nyeri muncul pasien sering
mengguyurnya dengan air hangat, nafas dalam dan meningkatkan istirahat
Upaya yang telah dilakukan
: pasien berobat ke dokter, diberikan obat dan nyeri hilang, namun sejak 3 bulan yang lalu nyeri
tersebut kambuh kembali
Hasil pemeriksaan sekarang
: TD : 160/80 mmHg, SH : 37 C, RR : 28, Nadi : 98 x/ menit, klien mengatakan dada
berdebar-debar, nyeri dada sebelah kiri menyebar ketengah dan sampai lengan kiri, klien
mengatakan nafas terasa berat, terlihat bibir dan wajah pucat.pasien merasakan nyeri pada
daerah post operasi, nyeri skala 6,terasa seperti ditusuk-tusuk,nyeri muncul apabila pasien
bergerak
RIWAYAT KESEHATAN DAHULU
Penyakit dahulu : keluhan pertama dirasakan sejak 2013 dan berobat ke dokter lalu sembuh
setelah diberi obat
Di rawat di RS :Belum pernah dirawat dirumah sakit
Alergi :Klien mengatakan tidak memiliki alergi

RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


 Hipertensi  Penyakit pembuluh darah
 Diabetes Militus  Penyakit Darah
 Lain-lain

MADELEINE LEININGER

TECHNOLOGICAL FACTOR
Klien mengatakan nyeri saat Bak terjadi
Persepsi sehat sakit sejak tahun 2013 nyeri juga terjadi saat
selesai Bab terasa panas seperti anyang
anyangen
Klien mengatakan biasa berobat hanya
membeli obat yang di jual di warung
Kebiasaan berobat/mengatasi masalah
terdekat, melakukan kerikan pada punggung
kesehatan
namun karena sakitnya tidak kunjung
sembuh klien baru pergi ke dokter
Klien mengatakan nyeri saat kencing makin
Alasan mencari bantuan kesehatan
berat, berobat agar sembuh
Klien mengatakan usaha yang dilakukan
sebelumnya berhasil namun sekarang
Alasan klien memilih pengobatan
kambuh lagi dengan rasa sakit yang lebih
parah sehingga klien berobat ke dokter
Klien mengatakan sangat percaya dengan
Persepsi klien tentang penggunaan dan
pengobatan dokter saat ini yang dimulai
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
ketika awal terjadinya gejala nyeri Bak,klien
masalah kesehatan
berobat ke dokter dan sembuh
FAKTOR AGAMA DAN FALSAFAH HIDUP (RELIGIOUS AND PHILOSOPHICAL
FACTORS
Kesulitan mematuhi keyakinan beragama Klien mengatakan bisa melaksanakan ajaran
dari keyakinan yang dianutnya dengan
semampunya. Klien juga memiliki keyakinan
bahwa sakitnya merupakan cobaan hidup,
agar klien beristirahat di rumah
Mengungkapkan kekurangan harapan Klien berusaha untuk sembuh tanpa
mengenal putus asa, mengatakan tujuan
hidup utamanya untuk menjalani kehidupan
yang baik dengan anak istrinya setelah
Mengungkapkan kekurangan makna hidup sembuh

klien memandang bahwa segala sesuatu


yang menimpa dirinya diakibatkan kurang
menjaga kesehatan karena terlalu sibuk
Mengungkapkan kekurangan tujuan hidup bekerja

Klien mengatakan menikmati kehidupan


yang ada sekarang .
Kesulitan mematuhi ritual keagamaan Klien mengatakan susah untuk beribadah
dengan baik karena kondisi penyakitnya,
namun klien berusaha untuk neribadah sesuai
dengan kemampuannya.
Menolak interaksi dengan pemimpin spiritual Klien mengatakan jarang berkomunikasi
dengan tokoh masyarakat karena waktunya
sebagian besar digunakan untuk bekerja,
hanya pada waktu waktu tertentu
Mengungkapkan marah terhadap tuhan Klien mengatakan sakit yang dideritanya
selama ini karena cobaan dari Tuhan.
Ketidakmampuan berpartisipasi dalam Klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan
aktivitas keagamaan keagamaan didesanya.

Ketidakmampuan berdoa Klien mengatakan mampu melakukan


akitivitas keagamaan walaupun sedang sakit
Perubahan yang tiba-tiba dalam praktik Klien mengatakan setelah sakit yang
spiritual dideritanya tidak sembuh-sembuh, klien juga
mengalami perubahan dalam praktik
spiritual.

Pentingnya agama/spritualitas Klien mengatakan keyakinan yang dianutnya


merupakan petunjuk hidup yang membawa
kedamaian dan ketenangan hidup
Dampak masalah kesehatan pada spiritualitas Ketika sakit klien mengatakan masih
menunaikan kewajibannya dalam beribadah
dengan berdoa sesuai kemampuan
Cara pandang klien terhadap penyebab Klien mengatakan sakit yang dideritanya itu
penyakit merupakan cobaan dari Tuhan karena kurang
memperhatikan kesehatannya
Cara pengobatan dan kebiasaan agama yang Klien saat sakit biasa membeli obat eceran di
berdampak positif atau negative warung atau apotik, apabila tidak sembuh
klien datang ke dokter.
Persepsi klien dalam beradaptasi terhadap Klien merasa tidak nyaman dan tidak
sakit melakukan aktivas seperti biasanya, dan
ingin segera sehat serta bisa menjalankan
aktivitas seperti biasa
FAKTOR SOSIAL DAN KETERIKATAN KEKELUARGAAN ( KINSHIP & SOCIAL
FACTORS)
Hubungan dengan orang lain Klien mengatakan hubungan klien dengan
masyarakat sekitar cukup baik sehingga salah
satu bentuk perhatian masyarakat yang
ditunjukan berupa kunjungan bersama
dengan warga masyarakat yg lain
Kendala komunikasi Klien mengatakan sering menggunakan
bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari,
komunikasi terhadap masyarakat dan tokoh
agama baik.
Kendala lingkungan Klien mengatakan jarak rumah tetangga
dengan jarak rumahnya agak berjauhan
sehingga kegiatan sosial masyarakat
didesanya berjalan kurang maksimal
Ketidaksesuain sosiokultural Klien merasa dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya dengan baik
Tipe keluarga Nuclear family
Pengambilan keputusan dalam keluarga Ia adalah kepala keluarga dan sebagai
pengambil keputusan
Hubungan klien dengan kepala keluarga Kepala keluarga
Kebiasan yang dilakukan rutin oleh keluarga Saat malam sering berkumpul bersama di
rumah
FAKTOR NILAI-NILAI BUDAYA, KEYANKINAN DAN GAYA HIDUP
(CULTURAL VALUES & LIFEWAYS)
Kemampuan mematuhi norma yang ada Klien mengatakan mengikuti dan
melaksanakan peraturan peraturan adat yang
berlaku di desanya.
Keyakinan kesehatan Klien mengatakan jika ia sakit selalu berdoa
kepada Allah untuk meminta kesembuhan
Persepsi keyakinan seseorang yang dianggap Klien sering melakukan pengobatan ke
penting dokter apabila istirahat dan minum obat
bebas tidak mengurangi sakitnya.
Gaya hidup Klien mengatakan dalam kehidupan sehari-
harinya menerapkan ajaran dari pembawa
agama dan melakasanakan perintah dan
menjahui larangan apa yang menjadi aturan
dalam agamnya.
Pengaruh kebudayaan Dalam kehidupan sehari-hari klien
mengatakan bahwa dirinya percaya dengan
juga mengikuti kegiatan adat istiadat yang
berlaku di desanya.
Posisi dan jabatan Anggota masyarakat
Bahasa yang digunakan Bahasa jawa
Kebiasaan membersihkan diri Mandi sehari dua kali, gosok gigi
Kebiasaan makan dirumah Makan sehari 3 kali dengan kebiasaan
mengkonsumsi jeroan dan goreng-gorengan
serta mengkonsumsi kopi hitam, dan klien
juga mengatakan kalau tidak sehari minum
kopi rasanya pusing
Pantangan makan dalam kondisi sakit Klien mengatakan diberikan makanan dari rs
tiga kali sehari, makan habis setengah piring
Minum habis dari yang disediakan rumah
sakit dan 1,5 botol aqua tanggung (900ml)
Klien disarankan untuk banyak makan.
Sarana hiburan yang biasa dimanfaatkan Klien mengatakan sarana hiburan yang bisa
dimanfaat di rumah sakit adalah berbicara
dengan keluarga dan tenaga kesehatan.
Pasien mengatakan nyeri pada bagian bekas
operasi, terasa panas dengan skala nyeri
assesment VAS skala 6
Mobilisasi klien berhati-hati, wajah tampak
menahan nyeri, sering bernafas panjang
ketika nyeri datang.
Persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas Klien mengatakan sementara aktivitas
sehari-hari kegiatan sehari-hari dirumah berhenti dan
telah digantikan oleh saudaranya, apabila
sakit klien mencoba mengurangi nyeri
tersebut dengan bernafas dalam, mengguyur
dengan air hangat dan mengalihkan
pikirannya ke hal – hal lain.
FAKTOR KEBIJAKAN DAN PERATURAN YANG BERLAKU (POLITICAL AND
LEGAL FACTORS)
Konflik kebudayaan Rumah sakit memiliki peraturan jam kunjung
rumah sakit sehingga tetangga dan kerabat
tidak leluasa untuk menjenguk
Konflik diantara pembuat keputusan Klien mengatakan mematuhi aturan rumah
sakit, tidak terjadi pertentangan konflik
antara keluarga klien dengan keamanan
rumah sakit.
Keputusan moral Klien dan kerabat patuh terhadap peraturan
ketertiban dalam rumah sakit.
Pelaksanaan aturan moral Klien selalu mematuhi aturan moral yang ada
di rumah sakit.
Kredibilitas dan aturan pelayanan kesehatan Klien mengatakan dalam pelayanan
kesehatan, pemberi pelayanan memberikan
pelayanan sesuai dengan yang diharapkan
oleh klien
FAKTOR EKONOMI (ECONOMICAL FACTORS)
Biaya Klien mengatakan biaya di tanggung sendiri

Financial Klien mengatakan keuangan dalam


keluarganya cukup baik karena hasil panen
kebun 2 bulan terakir menghasilkan hasil
yang memuaskan serta mendapat bantuan
dari keluarganya
Asuransi kesehatan individu Klien tidak mempunyai asuransi kesehatan

Penggantian pembayaran penyedia layanan Tidak ada biaya yang sebagian dari rumah
kesehatan sakit semua di tanggung individu

Kebiasaan menabung Tiap kali masa panen

FAKTOR PENDIDIKAN (EDUCATIONAL FACTORS)


Pengetahuan status kesehatan Klien mengetahui bahwa dirinya telah
dioperasi namun tidak mengetahui
mekanisme operasi seperti apa yang pasien
jalani
Faktor resiko berhubungan dengan kesehatan Terpasang dower kateter ukuran 18, post
operasi TURP hari 1, Leukosit : 8,8
Hb 15,4
Status Nutrisi: pasien makan 3x sehari habis ½
porsi, diit TKTP, IMT:22,05 (gizi baik), turgor
kulit elastis.
jenis urine post turp TURP :
Terpasang DC dengan irigasi 60 tpm, warna:
kuning jernih, bau: kas urin, tidak menyengat
terdapat bekuan darah pada selang kateter
Perlindungan kesehatan Klien mengatakan mendapatkan diit dari
rumah sakit, habis setengah porsi
Perilaku mengatasi kesehatan Selalu pergi ke dokter apabila sakit tidak
kunjung sembuh.
Promosi kesehatan Klien mengatakan jarang mendapatkan
penyuluhan kesehatan di daerahnya,
informasi penyakit didapat dari tetangga
sekitar
Pengalaman sebelumnya terhadap sakit Ketika sakit hanya beli obat-obatan di sekitar
rumah, sakitnya kadang sembuh dengan
sendirinya

PEMERIKSAAN FISIK
PENAMPAKAN UMUM
Keadaan umum

Kesadaran Compos mentis

GCS 15

TD :160/80 mmHg Suhu: 37 C RR : 19 x/menit Nadi :98 x/menit

Berat badan 60 Tinggi Badan 165

IMT 22,05

HEAD TO TOE
KEPALA DAN LEHER
Rambut :

Rambut agak keriting, warna hitam ada uban, tidak romtok, dan tidak ada ketombe, tidak ada
nyeri tekan , tidak ada massa, dan tidak ada luka pada kulit kepala

Mata :

Bentuk kiri dan kanan sama (bulat), sclera berwarna kuning, pupil isokor, konjungtiva agak
pucat, iris berwarna kecoklatan, kornea coklat, gerakan bola mata baik, lapang pandang mata
baik.
Tidak ada benjolan.

Telinga anggota tubuh yang lainnya, tidak ada lesi, tidak ada kotoran di lubang telinga bagian
dalam.

Hidung :
Bentuk agak mengembang, serasi dengan warna kulit lainnya (kuning langsat), tidak ada
pendarahan dan tidak terdapat lender/ secret, tidak terdapat masa benjolan lubang hidung.

Mulut :

Bibir agak pucat dan kering, tidak sumbing, tidak ada lesi dan tidak ada stomatitis dan
kemerahan, tidak ada lesi pada gusi dan tidak ada pembengkakan

Gigi :

Gigi bersih , banyak plak, terdalam lubang gigi pada gigi geraham bawah

Leher :

Warna sama dengan warna anggota tubuh lainnya (kuning langsat), tidak ada lesi, gerakan
flexi dan rotasi rentang baik (normal) Tidak ada massa dan tidak ada nyeri tekan

DADA

Inspeksi :

Bentuk simetris, tidak menggunakan otot tambahan ketika bernafas, warna kulit sama dengan
anggota tubuh lainnya, tidak ada benjolan dan tidak ada lesi.

Palpasi :

Tidak ada teraba benjolan, tidak terdapat nyeri tekan pada dada, ekspansi dada simetris, tidak
ada fraktur kosta, taktil fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi :

Sonor di kanan thorax, redup di kiri thorax

Auskultasi :

Tidak ada suara nafas tambahan , suara nafas vesikuler di area lapang paru

JANTUNG

Inspeksi :

Tidak rerlihat ictus cordis di intracosta ke 5 mid clavicula sinistra.

Palpasi :

Tidak ada nyeri tekan, teraba ictus cordis di intracosta ke 5 mid clavicula sinistra.

Perkusi :

Terdengar dulnees/pekak

Auskultasi :
Terdengan suara S1 dan S2, tidak ada bising aorta, tidak murmur tidak ada suara tambahan s3
s4

ABDOMEN
Inspeksi :

Abdomen agak buncit, contur permukaan kulit baik, tidak ada lesi, tidak ada benjolan, warna
sama dengan anggota tubuh lainnya (sawo matang).

Auskultasi :

Peristaltic usus 19 x per menit.

Perkusi :

Terdengar bunyi timpani dan tidak ada penumpukan cairan

Palpasi :

Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan baik pada daerah kuadran perut, turgor kulit perut
baik kurang dari 2 detik

INGUINAL & GENETALIA


Inspeksi : Terpasang kateter irigasi dengan ukuran 18 fr, warna urine kuning jernih, tidak
tercium bau menyengat, bau khas urine, aliran irigasi dialirkan dengan terbuka penuh

Palpasi : Tidak terkaji

ELIMINASI
Eliminasi alvi : pasien belum BAB sejak post operasi, bising usus 19x/menit

Eliminasi uri : terpasang kateter dengan ukuran 18 fr, warna urine kuning jernih, tidak tercium
bau menyengat, bau khas urine, aliran irigasi dialirkan dengan terbuka penuh. Spooling pada
hari ke 1 60 tpm dengan sterile water, terdapat bekuan darah pada selang kateter.

INTEGUMEN & MUSKULOSKELETAL

Inspeksi : tidak terdapat atrofi apada Kekuatan otot.


ekstremitas, terpasang infus pada ekstremitas
kiri atas, tidak ada lesi, Lengan atas kanan dan kiri dengan skala 5555

Ektrimitas bawah/kaki kanan dan kiri skala


5555

Palpasi :
Ektrimitas teraba hangat, capilari refiil 2 detik baru kembali, tidak ada edema,

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tgl dan Jenis Hasil Pemeriksaan


Jam pemeriksaan

30 Nov Kimia darah Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


2014 normal

Gula darah 98 Mg/dL < 144


sewaktu

Ureum 30 Mg/dL 10 -50

Creatinin 0,9 mg/dL 0,6 -1,1

Leukosit 8,8 4-10

Eosinofil 0 0-5

Netrofil 60 50-70

Limfosit 30 25-40

Monosit 10 2-8

Ppt 13,1 11-15

Aptt 30

Erotrosit 5,23 4,4-5,9

HB 15,4 12-17

Trombosit 27,9 150-450

30-Nov Pemeriksaan Pulmo dan COR Normal


2014 thorax

30-Nov Usg terdapat pembesaran prostat ki 4,21x3,74x4,41 cm dengan


2014 perkiraan berat prostat 46,9 gr dengan chostruktur homogeny

Obat-obatan
Ceftriaxon golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang membunuh
bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri

Ketorolax analgetik penurun nyeri

ANALISA DATA KASUS

NO DATA ETIOLOGI DIAGNOSA

1 DS:

 Pasien mengatakan terasa nyeri


di bagian post operasi prostat,
nyeri terasa panas dengan skala
nyeri assesment VAS scale 6 Post Op TURP Gangguan cultural
 Pengalaman nyeri: saat pasien
nyeri dibagian prostat, nyeri values dan
akan hilang dengan mengguyur lifeways
air hangat saat mandi, nafas
dalam dan mengalihkan pikiran Merangsang reseptor nyeri
ke hal – hal lain
DO:

 Mobilisasi klien berhati-hati


Nyeri akut
 Ekspresi wajah sesekali tampak
menahan nyeri
 Sering bernafas panjang ketika
nyeri datang
 TD: 160/80 mmHg
 N : 98 x/ menit
 RR: 19x/ menit
2 DS: Post Op TURP

 Usia pasien 64 tahun Gangguan


 Pasien mengatakan terdapat
darah dari saluran kencing educational factor
Perawatan kateter yang
DO: kurang, spooling tidak

 TD: 160/80 mm Hg lancar


 N: 98 x/ menit
 S: 37 derajat celcius
 RR: 19 x/ menit Masuknya bakteri
 Leukosit : 8,8 pathogen dan
Hb 15,4
Status Nutrisi: pasien makan 3x perdarahan
sehari habis ½ porsi, diit TKTP,
IMT:22,05 (gizi baik), turgor
kulit elastis. Resiko Infeksi
 jenis urine post turp TURP :
Terpasang DC dengan irigasi
60 tpm, warna: kuning jernih,
bau: kas urin, tidak menyengat
terdapat bekuan darah pada
selang kateter

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan cultural values dan lifeways berhubungan dengan tindakan


post operasi
2. Gangguan educational factor berhubungan dengan resiko infeksi
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Risiko infeksi pos NOC : NIC :


TURP behubungan
dengan pemasangan  Status imunologi  Observasi tanda-tanda infeksi pada saluran kemih dengan memeriksa
kateter  Infeksi terkontrol kateter dan karakteristik urine (warna, bau, konsistensi), awasi
perdarahan yang terjadi pada out put urine dan dan obeservasi bekuan
Setelah dilakukan darah yang mengendap di selang kateter yang dapat menimbulkan infeksi
tindakan keperawatan jika tidak segera dibersihkan dengan irigasi spooling yang lancar.
DS: selama 30 menit pasien Berikut adalah observasi yang perlu diperhatikan saat irigasi :
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
tidak mengalami infeksi
 Usia pasien 74 tahun  Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
dengan kriteria hasil:  Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Paien mengatakan
masih keluar darah  Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Klien bebas dari  Hari ke 4 post operasi diklem
dari saluran kencing
tanda dan gejala  Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi dan dilakukan bleder
DO:
infeksi pada saluran training bila tidak ada masalah (urin dalam kateter bening)
kemih  Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
 TD: 115/90 mm Hg  Status imun
 N: 68 x/ menit  Lakukan perawatan kateter dengan menggunakan teknik steril
membaik: tanda-tanda menghilangkan plak/ bekuan darah yang ada pada kateter
 S: 37 derajat celcius vital ( N, S, TD, RR
 RR: 21 x/ menit  Observasi tanda-tanda vital ( N, S, TD, RR dalam batas normal), awasi
normal), jumlah adanya hipotermi, takikardi, hipotensi mendadak yang merupakan tanda-
 Leukosit : 6,8 leukosit dalam batas
 Status imunologi: tanda infeksi pada perubaha fisik pasien
normal, Hb normal  Observasi jumlah leukosit darah
Hb 11,1  rentang normal  Tingkatkan intake nutrisi dan cairan. Intake nutrisi dan cairan yang
Albumin:- TTV Dewasa Tua: adekuat akan meningkatkan daya imunitas tubuh sehingga infeksi dapat
Trombosit:-
Status Nutrisi: nafsu dicegah seminimal mungkin. Observasi kebutuhan nutrisi, intake nutrisi
TD: 130/150- dan cairan yang dikonsumsi pasien, motivasi pasien untuk makan dan
makan (+), diit
TKTP, IMT:22,4 80/90mmHg minum secara terjadwal
(gizi baik), ( Kevin., 2003)
muntah(-),turgor kulit N: 70-80 x/ menit
elastis.  Kolaborasi pemberian antibiotik ceftriaxone yaitu kelompok obat yang
 Karakteristik Urin RR: 16-20 x/ menit disebut cephalosporin antibiotics. Ceftriaxone bekerja dengan cara
pos TURP: mematikan bakteri dalam tubuh termasuk dalam infeksi saluran kemih.
Terpasang DC Leukosit: 4,8-10,8
dengan spooling (103/µl)
water steri ke 45,
warna: kuning jernih, Hb: (13.5-18.0
bau: kas urin, terdapat gram/dL)
bekuan darah pada
selang kateter
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC :
Kolaborasi pemberian obat pencahar yaitu untuk
Konstipasi berhubungan dengan  Bowl Elimination
mengurangi absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan
o Fungsi:kelemahan otot abdominal post osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan
anasteri regioanal SAB, Aktivitas fisik Setelah dilakukan tindakan hidrostatik dalam usus, obat ini mengubah kolon yang
tidak mencukupi, perubahan keperawatan konstipasi pasien normalnya merupakan organ tempat terjadinya
lingkungan teratasi dengan kriteria hasil: penyerapan cairan menadi organ yang mensekresikan
o Toileting tidak adekuat: posisi air dan elektrolit sehingga feses dapat mudah
defekasi, privasi  Pola BAB dalam batas dikeluarkan (Dipiro et al., 2005). Obat pencahar terdiri
normal dari 3 golongan yaitu:
 Cairan dan serat adekuat
DS:  Aktivitas adekuat 1. Pencahar yang melunakkan feses dalam waktu 1-
 Hidrasi adekuat 3 hari: pencahar bulk-forming, docusates, dan
 Perut terasa penuh dan sebah laktulosa
 Perasaan tekanan pada rektum 2. Pencahar yang mampu menghasilkan feses yang
 Defekasi dengan nyeri lunak atau semi cair dalam waktu 6-12 jam:
 Pasien takut BAB karena merasa nyeri deriviat antrakuinon
di bagian prostat pos TURP 3. Pencahar yang mampu menghasilkan
 Banyak makan karohidrat, sedikit pengeluaran feses yang cair dalam waktu 1-6
makan sayur dan buah saat di RS jam: minyak castor, larutan elektrolit
DO: polietilenglikol

 Perubahan pola BAB


 7 hari tidak BAB Manajemen konstipasi
 Distensi abdomen
 Perkusi tumpul  Jelaskan penyebab dan rasional jika pasien
 Sering flatus takut dan tidak mau BAB maka perut akan terasa
 Bising usus: 15 x/menit penuh, sebah dan dapat menekan daerah
perkemihan.
 Fasilitasi pasien saat BAB, memberikan
lingkungan yang nyaman untuk BAB
 Motivasi pasien untuk mengkonsumsi
makanan tinggi serat 10-12 gram perhari dan
konsumsi vitamin sehingga saat pasien merasakan
ingin BAB pasien tidak perlu merasa takut untuk
BAB karena feses yang lunak, menghindari
mengejan yang dapat berefek pada nyeri bagian
prostat.
 Motivasi pasien untuk melakukan aktivitas
olahraga ringan di rumah.
 Jika konstipasi tidak teratasi maka kolaborasi
dengan tim dokter untuk menggunakan obat
pencahar.
( Fitriani., 2011)
NURSING CARE PLAN

NO DATA DX KEPERAWATAN NOC NIC

DS : Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan keperawatan Cardiac Care : Acute
Klien mengatakan dada berdebar-debar, berhubungan dengan selama 3x24 jam penurunan curah Environmet management
nyeri dada sebelah kiri menyebar perubahan irama jantung jantung dapat lebih baik dari
ketengah dan sampai lengan kiri, klien sebelumnya dengan perubahan skala Maintenance
mengatakan nafas terasa berat. dari 2 ke skala 3 dengan kriteria :  Evaluasi nyeri dada (intensitas, lokasi,
Klien mengatakan hubungan klien dengan Cardiopulmonary Status durasi, penyebaran, dan factor
masyarakat sekitar cukup baik sehingga  Tekanan darah sistolik presipitasi dan factor memperingan
salah satu bentuk perhatian masyarakat  Tekanan darah diastolic nyeri dan pengalaman nyeri)
yang ditunjukan berupa kunjungan  Denyut nadi perifer  Monitor frekuensi dan irama jantung
bersama dengan warga masyarakat yg  Frekuensi apek jantung  Auskultasi suara jantung
lain dalam jumlah banyak.  Irama jantung  Auskultasi suara paru akan adannya
Klien mengatakan makan sehari 3 kali  Frekuensi pernafasan crakles/ronki atau suara nafas tambahan
dengan kebiasaan mengkonsumsi jeroan lainnya
 Irama pernafasan
dan goreng-gorengan serta  Monitor status neurologi
 Kedalaman inspirasi
mengkonsumsi kopi hitam, dank lien juga  Monitor intake/output, urin output, dan
mengatakan kalau tidak sehari minum  Ekspirasi udara
berat badan harian
kopi rasanya pusing  Out put urin
 Monitor fungsi ginjal (BUN dan
DO :  Indeks jantung
kreatinin)
TD : 150/90 mmHg, SH : 37 C, RR : 28,  Saturasi oksigen
 Monitor fungsi hati
Nadi : 110 x/ menit, terlihat bibir dan  Sianosis, pucat
 Monitor nilai laboratorium elektrolit
wajah pucat. Capillary refill lambat 3  Intoleransi aktivitas yang mungkin meningkatkan resiko
detik, ektrimitas dingin dan pucat, denyut Skala : disritmia (serum potassium dan
nadi perifer lemah dan cepat magnesium)
5 : Rentang normal
EKG : ST elevasi, HR : 110 , takikardi, Q 4 : ada deviasi tingkat ringan dari  Monitor tekanan darah dan parameter
rentang normal hemodinamik terbaru (tekanan vena
patologis, irama irreguler
3 : ada deviasi tingkat sedang dari central dan kapilari paru atau tekanan
rentang normal arteri)
2 : ada deviasi tingkat berat dari rentang  Monitor keefektifan terapi oksigen
normal  Monitor dampak pemberian terapi
1 : ada deviasi tingkat sangat berat dari oksigen (PaO2 dan tingkat hemoglobin
rentang normal dan curah jantung
 Pasang lead EKG untuk monitoring
berkelanjutan
 Rekam EKG 12 lead
 Pastikan tingkat serum CK, LDH, dan
AST

Negotiation
 Kenali frustasi dan ketakutan
menyebabkan ketidakmampuan untuk
berkomunikasi
 Atur lingkungan senyaman mungkin
(jumlah pengunjung, lingkngan fisik)

reconstruction
 Berikan makanan kecil dengan teratur
 Batasi konsumsi cafein, garam/sodium,
kolesterol, makanan kaya lemak
 Atur lingkungan yang kondusif
 Instrusikan pada pasien untuk
menghindari aktivitas yang
mengakibatkan valsafa maneuver
(mengejan)

DS: Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pain Management
Klien mengatakan dada berdebar-debar, dengan agen cedera selama 1x4 jam nyeri akut dapat lebih
nyeri dada sebelah kiri menyebar biologi (berkurangnya baik dari sebelumnya dengan perubahan Maintenance
ketengah dan sampai lengan kiri, klien suplya oksigen keotot skala dari 2 ke skal 4 dengan kriteria :  Kaji lokasi nyeri, karakteristik nyeri,
mengatakan nafas terasa berat, Skala dan kualitas serta pengalaman nyeri
nyeri 8 jantung) Pain Level, Comfort pasien
 Observasi tanda non verbal terhadap
Klien mengatakan untuk mengurangi  Melaporkan nyeri berkurang/ ketidak nyamanan
nyerinya klien melakukan kerikan dan hilang.  Kaji dampak nyeri terhadap kualitas
pliriti pada dada dan punggungnya yang  Lama episode nyeri berkurang/ hidup.
sakit hilang.  Monitor kepuasan pasien terhadap
 Ekspresi wajah nyeri rileks. managemen nyeri yang ditetapkan.
DO :  Posisi proteksi terhadap tubuh
150/90 mmHg, SH : 37 C, RR : 28, Nadi : tidak ada Negotiation
110 x/ menit
 Tidak gelisah  Bantu keluarga untuk memberikan
 Otot tidak kencang support.
 Tidak ada perubahan respirasi,  Berikan alternatif terapi non
denyut nadi, tensi darah. farmakologi untuk mengurangi
 Tidak berkeringat nyerinya
 Tidak kehilangan selera
reconstruction
Skala
5 : Selalu menunjukkan  Berikan informasi tentang nyeri,
4 : Sering menunjukkan penyebab, dan rencana antisipasi
3 : kadang menunjukkan  Pertimbangkan type dan sumber nyeri
2 : Jarang menunjukkan ketika memilih strategi pertolongan /
1 : tidak pernah menunjukkan pembebasan nyeri
 Kontrol faktor lingkungan terhadap
respon ketidak nyamanan
 Kurangi / hilangkan faktor precipitasi
atau peningkatan kejadian nyeri
(ketakutan, lelah, kekurangan
pengetahuan)
 Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologi (relaksasi, guided imagery,
distaction, hot/cold application,
masage)
 Berikan pertolongan / pembebasan
nyeri dengan analgesik yang
diresepkan.
 Tingkatkan kedekuatan istirahat / tidur.
 Dorong klien untuk mendiskusikan
pengalaman nyeri
 Berikan informasi yang akurat untuk
meningkatkan pengetahuan keluarga
dalam merespon pengalaman nyeri.

Analgesik administration:

Maintenance
 Kaji lokasi nyeri, karakteristik nyeri,
kualitas dan tingkat nyeri sebelum
pengobatan.
 Evaluasi efektifitas analgesik dan efek
sampingnya.
 Dokumentasikan respon klien terhadap
analgesik.

Negotiation
 Cek program pemberian analgesik;
jenis, dosis dan frekwensi.

reconstruction
 Ajarkan tentang penggunaan analgesik,
strategi menurunkan efek samping.

DS : Ketidak efektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Health system guidance


manajemen kesehatan diri selama 3x24 jam ketidak efektifan
 Klien mengatakan biasa berobat berhubungan dengan pola manajemen kesehatan diri dapat lebih Maintenance
hanya membeli obat yang di jual di perawatan kesehatan baik dari sebelumnya dengan perubahan  Monitor keadekuatan pelayanan
warung terdekat, melakukan kerikan keluarga skala dari 2 ke skal 4 dengan kriteria : kesehatan
pada dan terrkandang mengunjungi
orang yang dianggap pintar untuk Adherence Behavior Negotiation
mendapatkan pengobatan untuk  Jelaskan system pelayanan kesehatan,
 Bertanya pertanyaan bagaimana prosedur dan apa yang
mengatasi sakit yang dideritanya ini berhubungan dengan kesehatan pasien dan keluarga dapat lakukan
 Mencari sumber informasi dari  Bantu pasien atau keluarga untuk
 Klien mengatakan masih sangat berbagai sumber informasi berkomunikasi dan berkoordinasi
percaya dengan pengobatan  Mengevaluasi kebenaran dari dengan tenaga kesahatan
tradisional kerikan dan mengunjungi sumber informasi pillihan  Bantu pasien atau keluarga untuk
orang pintar untuk deberikan doa  Menggunakan informasi yang memilih tenaga kesehatan yang
doa dan jenis obat yang telah sesuai untuk mengembangakan professional yang dibutuhkan
didoakan strategi  Informasikan pada pasien tentang
 Resiko tinggi dan keuntungan perbedaan dari tipe pelayanan fasilitas
 Klien mengatakan usaha yang perilaku keseahan kesehatan (rumah sakit umum, rumah
dilakukan sebelumnya tidak berhasil  Memberikan alasan yang sakit kusus)
untuk mengatasi sakit yang rasional terhadap perilaku  Informasikan kepada pasien sumber
kesehatan yang diambil informasi dan kontak person yang
dideritanya saat ini
 Menggunakan strategi untuk dibutuhkan
 Klien mengatakan sakit yang menghilangkan perilaku yang  Informasikan pada pasien bagaimana
tidak sehat menggunakan pelayanan akses
dideritanya itu merupakan hokum
 Menggunakan pelayanan darurat/emergensi dengan telfon atau
karma dan guna-guna dari orang lain kesehatan yang sesuai dengan ambulance
kebutuhan  Identifikasi dan fasilitasi komunikasi
 Klien sering melakukan pengobatan
 Menunjukkan instropeksi diri diantara pemberi pelayanan kesehatan
yang didapatkan dari ajaran agama  Menjelaskan rasional dari dan pasien ataupun keluarga pasien
yaitu dengan bekam, minum madu, penyimpangan manajemen  Diskusikan hasil dari kunjungan dari
jintan hitam dan jampi-jampi yang kesehatan pemberi kesehatan yang lain
diberikan orang pintar yang ada di  Melakukan monitoring diri
desanya. terhadap status kesehatan reconstruction
 Sarankan konsultasi dengan pemberi
 Klien mengatkan jarang Skala pelayanan kesehatan professional
mendapatkan penyuluhan kesehatan 5 : Selalu menunjukkan
di daerahnya 4 : Sering menunjukkan
3 : kadang menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
1 : tidak pernah menunjukkan
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori keperawatan Madelai Leininger menghubungkan berbagai perawatan
individu, hubungan secara universal, social cultural, dan dimensi lain, dan mencakup
perawatan individu berbeda maupun sama, dalam mempertahankan atau meningkatkan
kesejahteraan, kesehatan dan dalam menghadapi kematian. Leininger percaya bahwa
dalam hal tersebut tetap akan dipengaruhi oleh culture atau budaya.
1. Teori ini dapat digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
mempertimbangkan aspek budaya, nilai–nilai, norma dan agama.
2. Teori ini dapat digunakan untuk melengkapi teori konseptual yang lain dalam praktik
asuhan keperawatan.
3. Aplikasi teori ini dapat dilakukan pada berbagai bidang peminatan dalam
keperawatan, namun demikian lebih tepat manakala digunakan pada area keperawatan
komunitas

B. Saran
1. Penerapan teori Leinienger diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu
antropologi agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik.
2. Pelaksanaan teori Leinienger memerlukan penggabungan dari teori keperawatan yang
lain yang terkait, seperti teori adaptasi, self care dan lain-lain.
3. Seorang perawat yang baik harus memiliki bekal dalam memahami karakteristik
budaya dari setiap pasien sehingga akan tercapai interaksi yang optimal dan
terwujudkan tujuan perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, MR & Tomey AN. (2006) Nursing Theorist and Their Work, Sixth Edition, St.
Louis Mosby
Andrews, M & Boyle, J.S. (1995) Transcultural Concepts in Nursing Care,Second edition,
Philadelphia, J.B Lippincot Company.
Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2009-2011/editor, T.Heather Herdmen ; alih
bahasa, Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Estu Tiar ; editor edisi bahasa Indonesia,
Monica Ester.—Jakarta : EGC, 2010
Fitzpatrick,J.J & Whall, A.L. (1998) Conceptual Models Of Nursing : Analysis and
Application, Normalk : Appleton & Lange.
Geiger & Davidhizar, (1995) Transcultural Nursing Assessment and Intervension, Second
edition, St Louis Mosby.
Johnson, M., & Maas,M (eds).(2004) Nursing Outcomes Classification (NOC) (4nd ed.). St.
Louis: Mosby
Leininger, M. & Mcfarland,M.R (2002). Transcultural Nursing : Concepts, Theories,
Research, and Practier, McGraw-Hill.
McCloskey, J.C., & Bulechek, M.C (Eds.).(2004). Nursing Intervention Classification (NIC)
(4nd ed.). St. Louis: Mosby
Nusring theories : the base for professional nursing practice/editor, Julia B.George.-4 th ed.
1995 Appleton & Lange
Potter, Patricia A, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : konsep, proses, dan
praktik/Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry, alih bahasa, Yasmin Asih...(et al); editor
edisi bahasa indonesia, Devi Yulianti. Monica.---Ed.4—Jakarta : EGC
Leininger, M. 2002. Journal of transcultural nursing. http//tcm.sagepub.com

Anda mungkin juga menyukai