Abstrak:
banyak teori dalam ilmu komunikasi dilatarbelakangi
konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Paling tidak, ada
empat teori psikologi yang paling dominan yang dianggap sebagai
akar dari teori komunikasi, yaitu Psikoanalisis, Behaviorisme,
Psikologi Kognitif, dan Psikologi Humanistis. Pendekatan
Behaviorisme memusatkan pada pendekatan ilmiah yang objektif
sehingga dalam pendekatan ini hal-hal yang berbau subjektifitas
sama sekali diabaikan.
A. Pendahuluan
“Ilmu komunikasi ibarat oasis, yang menjadi persimpangan jalan dan
tempat perjumpaan berbagai ilmu (musafir) dalam perjalanan ke tujuan
keilmuannya masing-masing. Walaupun sebagian musafir itu sekedar
mampir sebentar, ilmu yang dikembangkannya pada saat mampir itu
membantu pertumbuhan ilmu si musafir dan memperkaya oasis tersebut“
demikian kata Wilbur Schramm, salah seorang Bapak Ilmu Komunikasi
(Dahlan, 1996). Komunikasi adalah suatu ilmu yang cakupannya luas dan
perlintasan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
linguistik, ilmu politik, dan sebagainya.
Kenyataan tersebut menyebabkan banyak teori-teori komunikasi
yang sebenarnya „dipinjam‟ dari berbagai disiplin ilmu lain. Fakta bahwa
sejauh ini ilmu komunikasi belum menghasilkan teori-teori besar (grand
theories), seperti sosiologi atau psikologi, dianggap sebagai kelemahan ilmu
komunikasi oleh sebagian pengamat. Namun, sebagian pengamat lain
menegaskan justru di situ pulalah kekuatannya (Mulyana, 1999). Kenyataan
bahwa ilmu komunikasi bersifat multidisipliner dan merupakan ilmu yang
relatif baru tidak membuat membuat „rendah diri‟ para pakar ilmu
komunikasi, karena hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang untuk
mengembangkan ilmu komunikasi sejajar dengan ilmu-ilmu sosial yang lain.
Menurut Rakhmat (2001), banyak teori dalam ilmu komunikasi
dilatarbelakangi konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Paling tidak,
ada empat teori psikologi yang paling dominan yang dianggap sebagai akar
C. Mekanisme Belajar
Secara umum terdapat tiga mekanisme yang biasa terjadi dalam
belajar. Ketiga mekanisme itu adalah :
Mekanisme belajar yang pertama adalah Asosiasi.
Anjing Pavlov belajar mengeluarkan air liur pada saat mendengar garpu
tala berbunyi karena sebelumnya disajikan daging setiap saat terdengar
bunyi. Setelah beberapa saat, anjing itu akan mengeluarkan air liur bila
mendengar bunyi garpu tala meskipun tidak disajikan daging, karena
anjing itu mengasosiasikan bel dengan daging. Kita belajar berperilaku
dengan asosiasi. Misalnya, kata “Nazi” biasanya diasosiasikan dengan
kejahatan mengerikan. Kita belajar bahwa Nazi adalah jahat karena kita
telah belajar mengasosiasikannya dengan hal yang mengerikan.
Mekanisme belajar kedua adalah reinforcement.
kejadian atau situasi tadi dapat menjawab suatu kebutuhan pada saat individu
itu melakukan respon.
Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang
memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama
seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang
(misalnya: uang, perhatian, afeksi, dan aspirasi sosial tingkat tinggi). Jadi,
prinsip yang utama adalah suatu kebutuhan atau motif harus ada pada
seseorang sebelum belajar itu terjadi; dan bahwa apa yang dipelajari itu harus
diamati oleh orang yang belajar sebagai sesuatu yang dapat mengurangi
kekuatan kebutuhannya atau memuaskan kebutuhannya.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah
adanya incentive motivation (motivasi insentif) dan drive stimulzis reduction
(pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila
besarnya hadiah (reward) berubah.
e. Teori Conectionism (Thorndike)
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap
organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan
tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta jika dalam
usaha mencoba-coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap
memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang kebetulan cocok itu
kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu
yang dipergunakan antuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama
makin efisien.
Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
1 ) trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan), dan
2) law of effect; Yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan
suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan
diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya. Sedangkan segala tingkah
laku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau
dilupakannya. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Otomatisme
dalam belajar itu dapat dilatih dengan syarat-syarat tertentu, pada
binatang juga pada manusia.
Thorndike melihat bahwa organisme itu (juga manusia) sebagai
mekanismus; hanya bergerak atau bertindak jika ada perangsang yang
mempengaruhi dirinya. Terjadinya otomatisme dalam belajar menurut
Thorndike disebabkan adanya law of effect itu. Dalam kehidupan sehari-hari
law of effect itu dapat terlihat dalam hal memberi penghargaan atau
ganjaran dan juga dalam hal memberi hukuman dalam pendidikan. Akan
tetapi menurut Thorndike yang lebih memegang peranan dalam pendidikan
ialah hal memberi penghargaan atau ganjaran dan itulah yang lebih
dianjurkan.
Karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection) atau
asosiasi antara tingkah laku reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan
hasil biaya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu
maka teori Thorndike disebut juga Connectionism.
f. Teori Belajar Sosial (Bandura)
Albert Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social
learning). la mempermasalahkan peranan, ganjaran, dan hukuman dalam
proses belajar. Banyak perilaku yang tidak dapat dijelaskan dengan
mekanisme pelaziman dan peneguhan. Bandura menyatakan bahwa belajar
terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain,
misalnya meniru bunyi yang sering didengar, adalah penyebab utama belajar.
Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor penting dalam belajar, tetapi faktor
yang penting dalam melakukan satu tindakan (performance).
Jadi menurut Bandura, bila anak selalu diganjar (dihargai) karena
mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia
dihukum atau dicela ia akan menahan diri untuk bicara walau pun ia
memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku
ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk
melakukan ditentukan oleh peniruan.
Selanjutnya Bandura menjelaskan bahwa dalam proses belajar sosial
ada empat tahapan proses, yaitu:
(1) Proses perhatian
(2) Proses pengingatan (retention)
(3) Proses reproduksi motoris
(4) Proses motivasional
2. Proses pemodelan.
Proses pemodelan atau modelling theory digunakan untuk
menggambarkan aplikasi dari teori sosial learning secara umum yang
membentuk perilaku yang baru melalui penggambaran media. Media
memberikan peluang yang membuat daya tarik besar dari pola-pola perilaku
yang dinyatakan dalam media oleh komunikator. Pelbagai kepustakaan
melukiskan bahwa anak-anak maupun orang-orang menyusun sikapnya
apakah itu kesan, emosi, gaya hidup baru akibat terpaan media dari film dan
televisi.
Pembentukan perilaku yang baru akibat terpaan komunikasi massa
dalam proses pemodalan dapat dirumuskan ke dalam beberapa proposisi :
(a) Seorang individu yang menjadi anggota khalayak media massa dapat
mengamati atau membaca perilaku model yang ditunjukkan seseorang
melalui sebagian isi media.
(b) Para pengamatan yang mengidentifikasi model-model itu percaya dan
lambat laun menyukai model, ingin menjadi seperti model itu, atau
melihat model sebagai, daya tarik yang cepat dan patut ditiru.
(c) Pengamat dapat dengan sadar menghubungkan gambaran perilaku yang
diamati dengan fungsi perilakunya. Karena seseorang menjadi lebih
percaya dan yakin bahwa gambaran perilaku melalui media dapat
membawa daya tarik yang lebih besar berhasil diimitasi orang lain
dalam sebagian situasi
(d) Pada waktu individu mengingat kembali aksi-aksi dari suatu individu dari
suatu model yang dilihatnya pada situasi yang relevan maka ia akan
mengulangi atau memperbanyak perilaku yang sesuai dengan itu
berdasarkan situasi dan kondisinya.
(e) Penampilan atau pengulangan setiap sikap perilaku dalam suatu situasi
perangsang yang cocok akan membawa seseorang semakin mendekat
pada model karena dorongan, sokongan, ganjaran, atau faktor pemuas
yang diberikan media. Media meneguhkan perilaku seseorang melalui
model yang patut ditiru.
(f) Penguatan yang positif akan meningkatkan peluang bagi seseorang dalam
menggunakan model itu untuk memperbanyak perilaku yang sama pada
situasi yang sama.
Proposisi ini dapat terlihat hasilnya dalam suatu penelitian oleh Prof.
George Comstock yang menunjukkan hubungan antara kekerasan dengan
perilaku agresif, hasilnya adalah:
(a) Film siaran kartun tentang kekerasan seakan-akan hidup sesuai dengan
kejadian aslinya dan dapat mempengaruhi sikap agresif bagi sebagian
penontonnya.
(b) Pengulangan suatu terpaan film kartun tentang kekerasan tidak dapat
menghapuskan kemungkinan terpaan berita yang baru yang juga dapat
mempengaruhi penampilan yang agresif dari seseorang.
(c) Penampilan perilaku yang agresif sama sekali tidak bebas terhadap
bentuk-bentuk frustasi lainnya meskipun peluang untuk menjadi agresif
diabaikan.
(d) Meskipun efek yang diteliti pada setiap eksperimen itu menunjukkan
seseorang “lebih agresif” namun tidak diperoleh kesan bahwa seseorang
menjadi anti Sosial.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya tidak semua sikap anti sosial berasal
dari siaran kekerasan di televisi.
(e) Secara sederhana sebenarnya faktor-faktor yang memungkinkan semakin
meningkatnya sikap agresif seseorang juga adalah sugesti. Dengan
sugesti dimaksudkan bahwa seseorang semakin agresif karena ia
menerima sesuatu contoh cara dari orang-orang yang lain tanpa bersikap
kritis terlebih dahulu. Perilaku agresif seolah-olah membenarkan suatu
kenyataan sosial, suatu kondisi yang semrawut, atau dimotivasi oleh rasa
benci, balas dendam yang dilakukan seseorang. Perilaku-perilaku ini
pada kelompok anak muda lebih mirip dengan apa yang ditontonnya
sehingga lingkungan menganggapnya hanya diakibatkan. oleh pesan
media massa.
Namun demikian tidak ada alasan yang mendasar bagi kita bahwa
pengulangan terpaan pesan kekerasan yang pernah dilihat sekelompok
remaja bisa membuat mereka menjadi lebih kebal, yang bisa dicurigai malah
akibat terpaan dari televisi justru merangsang anak-anak itu kembali cepat
merasakan kekerasan dalam lingkungannya.
Dapat disimpulkan babwa kekerasan di televisi membuat kita harus
ingat bahwa sebagian besar issu yang menjadi tema kekerasan itu dapat
mempengaruhi keputusan setiap orang bagi masa depannya melalui
pesan-pesan yang disosialisasikannya.
H. Kesimpulan
Berdasar pada pembahasan sebelumnya maka pada akhir tulisan ini
dapat kami simpulkan bebarapa hal yang dianggap penting, antara lain:
(1) Pendekatan Behaviorisme memusatkan pada pendekatan ilmiah yang
objektif sehingga dalam pendekatan ini hal-hal yang berbau
subjektifitas sama sekali diabaikan. Dalam pendekatan yang dilakukan
kaum behaviorisme menekankan pada kekuatan-kekuatan luar yang
berasal dari lingkungannya.
(2) Penganut paham behavior sangat percaya bahwa segala tingkah laku
manusia. juga tidak lain adalah hasil daripada proses pembelajaran.
Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan bereaksi
terhadap syarat-syarat atau perangsangan-perangsangan tertentu yang
dialaminya di dalam kehidupannya. Untuk menjadikan seseorang itu
belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting
dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan
yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang
terjadi secara otomatis.
(3) Demikian pula dalam konteks komunikasi baik komunikasi interpersonal,
kelompok maupun komunikasi massa teori-teori yang dikembangkan
tidak lepas dari asumsi dasar bahwa manusia belajar dari lingkungannya
(S-R) dengan demikian teori komunikasi menitik beratkan pada kondisi
dan situasi lingkungan yang mempengaruhi komunikan kita.
Daftar Pustaka
Ahmad Zain Sarnoto, Pengantar Ilmu Komunikasi, Pustaka Faza AManah,
Bekasi, 2009
Depari, Edward dan Collin Mac Andrews, 1991, Peranan Komunikasi
Massa Dalam Pembangunan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Fisher, B.Aubrey, 1990, Teori-Teori Komunikasi Massa, Remadja Karya,
Bandung.
Griffin EM, 2002, A First Look At Communication Theory, Fifth Edition,
Mc. Graw Hill, Boston.
Goldberg A Alvin, Carl E Larson, (diterjemahkan Koesdarini Soemiati dan
Garry Jusuf), 1985, Komunikasi Kelompok, Proses-Proses Diskusi
dan Penerapannya, edisi pertama, UI Press, Jakarta.
Hardy, Malcom, (diterjemahkan Soenardji), 1988, Pengantar Psikologi,
Erlangga, Jakarta.
Liliweri, Alo, 1991, Memahami Peran Komunikasi Dalam Masyarakat,
Citra Aditya Bakti, Bandung
Matson, Floyd, 1966, The Broken Image, Doubleday, New York.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Psikologi Komunikasi, Remadja Karya,
Bandung,
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1986. Berkenalan dengan Alirah Aliran dan
Tokoh-Tokoh Psikologi, Bulan Bintang: Jakarta.
Sears, O.David, Jonathan L Freedman dan L. Anne Peplau, 1992, Psikologi
Sosial, edisi lima, Erlangga, Jakarta