Anda di halaman 1dari 5

INTOLERANSI BERAGAMA

DI MAKASSAR

TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM

OLEH :

NAMA :

STB :

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PAULUS

MAKASSAR

2020
KASUS INTOLERANSI DI MAKASSAR

A. Latar belakang
Negara Indonesia dengan bermacam-macam agama akan selalu menghadapi
masalah perbedaan, maka bicara tentang toleransi antarumat beragama tidak akan ada
habisnya. Dalam konteks Indonesia, toleransi bahkan tidak hanya diperlukan dalam
kehidupan antarumat beragama, tetapi juga antar suku dan etnis. Indonesia sebagai
negara dengan beraneka ragam suku, etnis, budaya, bahasa dan agama, sangat
memerlukan toleransi untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan damai. Selama ini,
Indonesia disebut berhasil mewujudkan kehidupan yang aman dan damai. Paling tidak,
hal ini dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.
Namun, akhir-akhir ini banyak orang mengatakan. Toleransi antar umat beragama
menurun, seperti halnya yang terjadi di Kota Makassar. Intoleransi agama berbahaya
karena memberi peluang bagi munculnya radikalisme. Keamanan dan ketenteraman
terancam, karena para pengikut radikalisme biasanya intoleran bahkan rela membunuh
orang lain.

B. Contoh Kasus
Adapun contoh kasus Intoleransi beragama yang terjadi di Kota Makassar pada
tahun 2016 berupa terjadi aksi penyerangan dan pengepungan Gereja Toraja Klasis
Makassar Jemaat Bunturannu di Jalan Cendrawasih III dikepung oleh sejumlah massa
FPI dan masyarakat yang mengaku diri sebagai warga kompleks Patompo.
Aksi ini dipicu karena massa FPI menolak pembangunan gereja dengan alasan
IMB (Izin Mendirikan Bangunan) gereja adalah palsu. Massa memasang sejumlah poster
penolakan di pagar gereja bahkan di pintu masuk ruang ibadah gereja. Selain itu juga
merobek keterangan IMB gereja yang ditempel di dinding gereja. Tindakan ini
mengakibatkan ketakutan dari para pekerja bangunan dan jemaat yang berada di gereja.
Persoalan atas agama ini ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian
terhadap kelompok agama tertentu dan hal ini tidak lahir bgitu saja, namun merupakan
hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Di satu sisi berbagai kebijakan
formal, termasuk konstitusi dan undang-undang nasional banyak yang pro-HAM sebagai
buah gerakan reformasi. Di sisi lain, pemerintah pusat tampak gamang ketika terdapat
kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip
HAM dan kebebasan berkeyakinan.

1
C. Upaya Penanggulangan
Mengahadapi intoleransi beragama, langkah – langkah yang harus dilakukan
adalah dengan melakukan upaya penanggulangan intoleransi tersebut dengan cara :
1. Upaya Preventif
Upaya preventif (pencegahan) dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan cara –
cara sebagai berikut :
a. Pemerintah harus lebih agresif dalam menjelaskan bagaimana eksistensi
Pancasila dalam kaitannya dengan penganut agama-agama di Indonesia,
terutama penganut agama mayoritas yang toleran sebagai syarat eksistensi
negara. Dialog konstruktif perlu dibangun bersama-sama ormas-ormas yang
toleran dan inklusif.
b. Masyarakat perlu diberi pemahaman untuk mewaspadai bahwa atmosfer
kontestasi politik, seperti pilkada atau pilpres, memiliki pengaruh terhadap
munculnya ketidakrukunan. Dinamika politik menjelang perhelatan semacam
itu kerap menyalahgunakan doktrin agama untuk mendukung politik identitas
dalam rangka pemenangan.
c. Perlu peningkatan pengawasan dalam pemberian ijin pelatihan kepemudaan
yang berbasis agama dengan cara memperkuat pandangan Islam moderat
yang khas untuk Indonesia.
d. pengetahuan tentang antropologi diwajibkan kepada murid SLTA, agar
sedini mungkin dapat memahami bahwa perbedaan etnis, suku, dan ras di
Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, melainkan fakta yang sudah ada
sebelum kemerdekaan. Intoleransi berdampak mengerikan karena
menghambat kebebasan berpikir dan berdialog.

2. Upaya Represif
Selain upaya Preventif juga dapat dilakukan dengan upaya represif, dalam
artian bahwa dalam menghadapi Intoleransi, pemerintah harus tegas / berani untuk
bertindak tegas tanpa diskriminasi dalam melakukan penegakan hukum (law
enforcement), dengan cara memberikan saksi hukum yang tegas terhadap pelaku
intoleransi tersebut. Jangan seperti kasus yang terjadi pada Aksi penolakan IMB
Gereja Toraja Klasis Makassar. Dimana Dalam peristiwa itu, juga diketahui bahwa
pihak kepolisian telah mengetahui bahwa akan adanya aksi pengepungan, namun
pihak kepolisian yang berada di lokasi tak mampu melakukan apa-apa, ketika massa

2
mulai memasang poster hingga menempel paku sebuah poster di pintu masuk ruang
ibadah dan merobek lembaran Surat IMB yang ditempel di dinding gereja.
Harusnya Pemerintah secara lebih khusus aparat kepolisian yang diberi
wewenang sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat harus mengambil
langkah tegas untuk menindak dan memberikan sanksi hukum terhadap pelaku
intoleransi tersebut karena tindakan intoleransi tersebut sangat menciderai makna
Pancasila sebagai filsafah Negara dan juga UUD NRI 1945 yang mana memberikan
jaminan perlindungan terhadap semua warga negara untuk hidup bebas dari tindakan
semena-semena.
Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 jelas memberikan hak bagi
setiap warga Negara untuk memeluk agama dan kepercayaannnya masing – masing.
Selain itu dalam pasal 156 huruf (a) KUHP juga menyebutkan :
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan
maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Secara mendasar pula, Negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal


28 E Ayat (1 & 2) UUD Negara RI 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik
pembatasan terhadap hak ini masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28 J (2)
maupun melalui peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Parameter lain
yang digunakan juga adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination
of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief)
yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November
1981.
Dari ketentuan di atas, terlihat jelas bahwasanya Negara hadir dalam
memberikan perlindungan terhadap tiap – tiap warga Negara untuk memeluk
kepercayaannya sekaligus sebagai larangan untuk melakukan sikap intoleransi
terhadap agama lainnya. Olehnya itu, pemerintah harunya lebih tegas untuk
memberikan sanksi hukum bagi suatu kelompok / pihak yang melakukan tindakan
intoleransi beragama karena perbuatan tersebut sudah merupakan suatu pidana
murni, tak terkecuali kasus yang terjadi di kota Makassar di atas.

3
D. Penutup
Untuk mengantisipasi terjadinya intoleransi beragama antar warga masyarakat maka
pemerintah harusnya mengambil langkah – langkah yang maksimal dan
berkesinambungan mulai dari langkah pencegahan sampai pada langkah penegakan
hukum yang tegas bagi para pelaku intoleransi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai