Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia organisasi semakin maju menuntut semua anggota di dalamnya

untuk aktif berkembang sesuai dengan kebutuhan yang di butuhkan .

kemajuan dan pola pikir manusia kerap menaikkan tuntutan pelayanan yang

harus disediakan oleh organisasi kepada para penikmat pelayanan yang tak

lain adalah para konsumen .Perkembangan internet merupakan perubahan

paling signifikan yang membuka jalan bagi manusia untuk mendapatkan

berbagai keuntungan dan kemudahan dalam kehidupan , dalam dunia kerja

manfaat dalam mendukung kegiatan proses bisnis untuk mencapai tujuan

perusahaan . Saat ini adalah abad postmodern, abad ini ditandai semakin

pesatnya kemajuan teknologi yang semakin canggih .Dimana definisi

teknologi selalu berubah sesuai zamannya. Jika dahulu teknologi

didefinisikan dengan penciptaan suatu alat, maka belakangan ini, di zaman

informasi teknologi dikaitkan dengan komputer informasi dan komunikasi

teknologi informasi, (informationtechnology/IT) adalah istilah umum yang

menjelaskan teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat,

mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan atau menyebarkan informasi

(Aditya PA &Meily M , 2013).

Hasil riset kerja sama antara Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia (APJII) dengan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia

menunjukkan pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia terus

1
meningkat, terutama dibandingkan dengan hasil riset APJII mengenai hal

yang sama di tahun 2012. Dalam penelitian mengenai profil pengguna

internet di Indonesia tahun 2012, APJII melaporkan penetrasi penggunaan

internet di Indonesia adalah 24,23% (APJII, 2015). Selain itu mayoritas

pengguna internet di Indonesia bekerja sebagai pegawai/karyawan dengan

menunjukkan hampir 65%. (APJII, 2015).

Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara

Jaringan InternetIndonesia (APJII) mengungkap bahwa lebih dari setengah

penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Survei yang dilakukan

sepanjang 2017 itu menemukan bahwa 143.26% juta orang Indonesia telah

terhubung ke internet atau sekitar 54.68 % dari total jumlah penduduk di

Indonesia. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 262 juta orang.

Pengguna internet terbanyak ada di pulau Jawa dengan total pengguna sekitar

58.08% dari total pengguna internet. Sedangkan di urutan ke dua ada di pulau

Sumatra dengan total pengguna sekitar 19% dari total pengguna internet.

Data pengguna internet berdasarkan pekerjaan menurut Asosiasi

Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII). Dilihat dari layanan yang

paling banyak diakses adalah aplikasi chatting mencapai 89,35 persen, disusul

oleh sosial media yang mencapai 87,13 persen dan sisanya diikuti oleh search

engine seperti google dan wikipedia, melihat berbagai gambar dan foto,

membaca artikel, mendownload video, melakukan pendaftaran online,

mengunduh gambar serta menggunakan e-mail. Perangkat yang digunakan

untuk mengakses internet paling banyak yaitu smartphone sebesar 44.16%.

Sedangkan untuk tingkat profesi terbanyak adalah sebagai pekerja atau

2
wiraswasta sebesar atau 62 % dari total pengguna internet di Indonesia

(APJII, 2017).

Survei yang dilakukan Greengard pada tahun 2012, bahwa 56%

karyawan pernah menggunakan internet untuk alasan pribadi. Tahun 2013,

59% penggunaan internet bertujuan untuk non-pekerjaan. Sedangkan pada

tahun 2013, cyberloafing, menjadi hal yang paling umum dilakukan karyawan

dalam membuang waktu di tempat kerja.

Berdasarkan hasil laporan social media agency ,we are social dalam J

Seno aditya utama dkk 2016, saat ini pengguna internet di indonesia

mencapai lebih dari 88 juta orang dari 259 juta penduduk indonesia .Beberapa

penelitian membuktikan bahwa jumlah waktu yang mereka gunakan

cyberloafing kian meningkat, yakni 3 jam perminggu menjadi 2,5 jam

perhari. Beberapa contoh perilaku cyberloafing pegawai adalah belanja

online, browsing situs-situs hiburan, terlibat dalam jejaring media sosial,

mencari pekerjaan, mengirim dan menerima email pribadi, serta mengunduh

file (berkas) yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Greenfield & Davis,

dalam N ardilasari,A firmanto, 2017). Sejumlah studi di Indonesia

menunjukkan rata-rata karyawan menghabiskan waktu hingga satu jam per

hari untuk akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Aktivitas

yang dilakukan ini seperti browsing facebook atau Kaskus. Hal ini berarti

dalam waktu sebulan seorang pegawai bisa mengkorupsi waktu kerjanya

hingga 20 jam lebih (1 jam x 20 hari kerja), atau sama dengan 2,5 hari kerja

penuh (Antariksa, 2012).

3
Cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku kerja yang

countraproductive oleh beberapa penelitian (Lim, 2002). Maka dari itu,

cyberloafing juga menjadi penyebab penurunan produktivitas pada

perusahaan karena penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan

pekerjaan serta penundaan pekerjaan. Sebagai contoh, pegawai lebih memilih

menghabiskan waktu kerja dengan browsing situs hiburan dibandingkan

menyelesaikan tugas yang diberikan organisasi sesuai dengan standar

performa yang ditentukan (N ardilasari,A firmanto, 2017).

Perilaku cyberloafing dapat memberikan efek negatif kepada

perusahaan maupun karyawan yang melakukannya, Begitu pula yang terjadi

pada karyawan di PT Cogindo Daya Bersama ,Terbaginya konsentrasi

karyawan dari pekerjaan saat melakukan cyberloafing dapat menganggu

produktivitas, yang mana dapat berimbas pada hasil kerja. Suatu penelitian

menjelaskan akibat dari penggunaan internet untuk keperluan pribadi di jam

kerja dapat menyebabkan produktivitas karyawan menurun. Karyawan

menggunakan waktu kerja untuk aktivitas menjelajah berbagai situs di

internet, mengirim dan menerima pesan elektronik pribadi, yang mana

mengurangi sumber daya kognitif untuk mengerjakan kewajibannya

(Greenfield, dalam N ardilasari,A firmanto, 2017).

Internet telah membuat dampak yang signifikan dalam pekerjaan dan

kehidupan individu seluruh dunia. Saat ini internet sudah menjadi bagian dari

suatu pekerjaan sebagian karyawan dan pegawai di Indonesia. Di era zaman

modern saat ini banyak perusahaan, organisasi dan bahkan instansi di

Indonesia telah menggunakan internet sebagai akses dalam menggerakkan

4
berbagai sektor, seperti sektor pelayanan atau sektor ekonomi dalam

mengunakan sistem yang berbasis internet untuk memenuhi tantangan yang

ada di era modern seperti sekarang. Perkembangan teknologi yang paling

dirasakan oleh individu saat iniadalah penggunaan perangkat komputer dan

handphone dimana media tersebut bisa membantu pekerjaan kantormenjadi

lebih mudah, mendapatkan banyak informasi, dan juga bisa menjadi gaya

hidup seorang pekerja modern (Harsono, Pantow, & Marentek, 2014).

Hal ini tidak terlepas dari fungsi internet itu sendiri yang memberikan

dampak positif baik bagi perusahaan, organisasi ataupun instansi seperti

mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi suatu instansi dengan berbagai

cara. Pertama, internet mempermudah proses komunikasi yang dapat

memudahkan para pegawai dalam melakukan aktivitasnya sehingga dari

masing-masing fungsi di dalam suatu instansi tercipta hubungan yang erat

karena adanya koneksi satu sama lain. Kedua, internet meningkatkan

tersedianya berbagai sistem yang membantu dalam pengkategorian suatu

instansi seperti adanya sistem informasi, sistem keuangan, sistem pengaduan

dan pelayanan, ataupun sistem sumber daya manusia. Kemudahan dan

kecepatan database telah meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses-proses

kerja yang terkait dengan database tersebut. Dengan kata lain internet mampu

mengubah cara individu bekerja dalam suatu organisasi ataupun sebuah

instansi (Handoyo, 2016).

Kemudahan akses internet selain memberikan dampak positif juga

memberikan dampak yang negatif terhadap organisasi. Salah satunya,

penggunaan akses internet ketika berada di kantor, seringkali didapati banyak

5
pegawai yang hanya menggunakan internet lebih kepada kepentingan pribadi

mereka. Dari mulai belanja online, membuka media sosial baik twitter,

ataupun forum-forum pertemanan, menonton video di youtube, bermain game

online, dan browsing mengenai informasi dan lain-lain sampai melihat-lihat

foto liburan di facebook dan ternyata ada istilah khusus untuk aktivitas online

yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor (Calverley & Grieve,

2017) perilaku individu yang melakukan aktivitas mengakses internet tanpa

ada keterkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan disebut dengan istilah

cyberloafing.

Secara harfiah kata loafing berarti tindakan menghabiskan waktu

untuk menghindari pekerjaan seperti jam makan siang melebihi waktu

istirahat yang sudah ditentukan, pergi ke toilet dengan waktu yang lama.

Perkembangan internet memunculkan perilaku lain dengan niat yang sama

yang disebut cyberloafing (Handoyo, 2016). Perilaku cyberloafing biasanya

terjadi apabila individu memiliki akses internet di tempat kerja, hal inilah

yang menyebabkan munculnya perilaku tersebut.

Menurut Lim dalam (Kurniawan, 2018) Cyberloafing merupakan

salah satu perilaku menyimpang di tempat kerja yang menggunakan status

pegawainya untuk mengakses internet dan media sosial selama jam kerja

untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, dengan melakukan

penggunaan internet secara sengaja untuk kepentingan pribadi yang dilakukan

selama jam kerja sedang berlangsung. Dalam perilaku cyberloafing terdapat

faktor penyebab dan mekanisme yang diduga mendasari perilaku

cyberloafing. Menurut Ozler & Polat 2012) salah satunya yaitu faktor

6
individual, faktor yang mencakup banyak hal yaitu persepsi dan sikap

pegawai seperti habbits (kebiasaan), faktor demografis, dan trait (sifat)

individu pegawai seperti shyness (perasaan malu), loneliness (kesepian),

isolation (isolasi), self control (kontrol diri), harga diri, dan locus of control.

Faktor-faktor tersebut menjadi mekanisme dalam memunculkan perilaku

cyberloafing di dalam suatu instansi.

Cyberloafing yang terjadi di lingkungan tempat kerja tidak terlepas

dari perilaku individu pegawai dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari

pada dasarnya individu memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri

terhadap lingkungan disekitarnya. Menurut Sirikulchayanonta dalam (Patty,

Wijono, & Setiawan, 2016) kemampuan individu untuk mengambil tindakan,

berpikir, dan berperilaku yang akan menghasilkan perbaikan diri yang disebut

kontrol diri.

Menurut (Kartono, 2011) bahwa kontrol diri merupakan kemampuan

untuk membimbing tingkah laku sendiri. Salah satu faktor individual berupa

kontrol diri yang dianggap kuat dalam mempengaruhi terjadinya perilaku

cyberloafing. Individu untuk menggunakan internet untuk tujuan rekreasional

memiliki peran untuk mengakomodasi individu untuk memperoleh rasa

senang saat menggunakan internet.

Kemampuan untuk mengubah pikiran, emosi dan perilaku atau untuk

mengesampingkan impuls dan kebiasaan, memungkinkan seseorang untuk

memantau dan mengatur dirinya sendiri untuk memenuhi harapan menurut

Maranges, Vohs, & Baumister (Kurniawan, 2018) disebut kontrol diri.

Harapan ini dapat dikenakan oleh masyarakat atau oleh diri sendiri, dan

7
termasuk hukum, norma, cita-cita, tujuan, dan standar lainnya. Kontrol diri

memungkinkan dalam membentuk suatu perilaku individu yang Menurut

Whitty & McLaughlin dalam (Rahardjo, Furida Citra, & Damariyanti, 2017)

Dengan cara yang berhubungan dengan internet, hal ini tentunya akan

berpengaruh dalam menuntaskan suatu pekerjaan baik dalam memberikan

pelayanan yang professional kepada masyarakat atupun kepada instansi itu

sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai yang bekerja di salah

satu perusahaan mengatakan zaman sekarang sudah semua berbasis online

jadi tidak ada salahnya memanfaatkan fasilitas yang sudah ada untuk di

gunakan, “R” mengatakan bahwa dirinya menggunakan internet untuk

browsing berita terbaru dan melakukan streaming tayangan pertandingan

sepakbola dan terkadang melakukan taruhan bola dengan teman kantornya,

terkadang saya melakukan di waktu jam kerja. Kemudian hasil wawancara

dengan subjek berjenis kelamin perempuan yang berinisial “Y”, bahwa

subjek sering membuka situs youtube saat sedang bekerja karena subjek ingin

mencari yang sedang “booming” atau melihat tutorial memasak dan merasa

takut ketinggalan informasi. Subjek juga mengatakan sering membuka

roomchat atau melihat onlineshop.

Berdasarkan uraian maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Apakah Ada Hubungan antara Kontrol Diri dengan Perilaku

Cyberloafing pada karyawan PT. Teluk Luas Padang tahun 2020 ”

8
B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku

cyberloafing pada karyawan PT. Teluk Luas Padang tahun 2020.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri

dengan perilaku cyberloafing pada PT. Teluk Luas Padang.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi

dalam kajian ilmu psikologi khususnya dalam bidang cyberpsychology,

Psikologi Sosial dan Psikologi Industri dan Organisasi serta, dapat

digunakan sebagai pemahaman mengenai kontrol diri dan perilaku

cyberloafing

2. Manfaat Praktis

a) Manfaat Bagi Intansi Pemerintahan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sebuah informasi dan

rujukan bagi perusahaan atau instansi mengenai adanya perilaku

cyberloafing.

b) Manfaat Bagi Penelitian Lain Hasil

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal ilmu dan memberikan

kontribusi bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk penelitian

selanjutnya.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Karyawan

Menurut Jackson dkk (2010) pegawai merupakan kelompok

pemangku kepentingan utama lainnya. Kelompok ini adalah semua pegawai

yang memiliki jabatan dalam perusahaan, termasuk CEO dan eksekutif tingkat

atas, manajer dan pengawas, pakar dan spesialis administratif, pegawai lini,

pegawai paruh waktu, dan sebagainya.dikarenakan mereka adalah kelompok

pemangku kepentingan yang berbeda, mereka juga memiliki berbagai

permintaan. Namun, sebagian besar anggota kelompok ini memilki

permintaan yang sama yaitu gaji dan tunjangan, kualitas kehidupan kerja, dan

jaminan pekerjaan.

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,

karyawan dapat diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan

dari tempat ia bekerja dan memiliki hubungan kerja dengan adanya perjanjian

kerja antarapengusaha dan pekerja/karyawan. Sedangkan menurut Manulang

(dalam Tiara Ha 2016) karyawan adalah penduduk dalam usia kerja (berusia

15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang

memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka,

dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.Berdasarkan

penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa karyawan adalah seseorang yang

bekerja dan memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya dan imbalannya ialah

gaji dan tunjangan dari tempat seseorang itu berkerja

10
B. Pengertian Cyberloafing

Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang

bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet di bidang

pemerintahan atau perusahaan. Tak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing

menjadi salah satu fokus perhatian pihak instansi pemerintahan karena

dampaknya terhadap produktivitas pegawai.

1. Pengertian Cyberloafing

Lim, dan Teo(2002) menyebutkan segala tindakan disengaja

karyawan menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk

browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan untuk tujuan pribadi

dan aktivitas memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi

sebagai penyalahgunaan internet. Segala aktivitas tersebut disebut dengan

istilah cyberloafing. Kedua aktivitas itu (seperti browsing atau memeriksa

email) merupakan penggunaan waktu yang tidak produktif karena

menurunkan kinerja karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama

pekerjaan.cyberloafing diartikan sebagai tindakan yang sengaja

Cyberloafing didefinisikan sebagai penggunaan e-mail dan internet

organisasi untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama

jam kerja (Blanchard and Henle, 2008).

Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam

kerja dengan menggunakan internet organisasi. Namun cyberloafing tidak

hanya menggunakan internet milik organisasi tetapi juga milik pribadi.

Definisi ini dikemukakan oleh Henle dan Kedharnath,2012(dalam N

ardilasari,A firmanto, 2017) yaitu penggunaan teknologi dilakukan

11
karyawan untuk menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja

untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya internet selama

jam kerja untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi

yang disediakan perusahaan dan juga miliki pribadi yang dibawa

karyawan selama bekerja (misalnya, smartphone, iPad).

Berdasarkan pengertian- pengertian diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa cyberloafing merupakan perilaku cyberloafing adalah

perilaku menyimpang karyawan yang menggunakan akses internet

perusahaan maupun pribadi untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan

pekerjaan selama jam kerja, seperti hiburan, belanja online, internet

messaging, memposting ke newsgroups dan mengunduh file yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan sehingga dapat menurunkan kinerja

karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama pekerjaan.

2. Bentuk-bentuk prilaku Cyberloafing

Menurut Mahatanankoon,Anandarajan,Igbaria (dalam JS aditya utama dkk

2016) bentuk prilaku cyberloafing spesifik yang umumnya dilakukan

karyawan adalah :

a) Mengakses situs yang terkait dengan olahraga

b) Mengakses situs yang terkait dengan investasi

c) Mengakses situs yang terkait dengan hiburan

d) Mengakses situs berita umum

e) Mengakses situs yang tidak terkait dengan pekerjaan

f) Mengunduh informasi yang tidak terkait dengan pekerjaan

12
g) Berbelanja untuk kepentingan pribadi

h) Mengakses situs dewasa

i) Memeriksa dan mengirim surat elektronik yang tidak terkait dengan

pekerjaan

j) Bermain dan mengunduh game online

k) Memposting pesan yang tidak terkait dengan pekerjaan

l) Menggunakan internet untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

3. Aspek –Aspek Cyberloafing

a) Emailing Activities (Aktivitas Email )

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email

yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja .

Contoh dari prilaku cyberloafing ini adalah memeriksa , membaca

maupun menerima email pribadi

b) Browsing Activities (Aktivitas Browsing )

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses

internet perusahaan maupun pribadi untuk browsing situs yang tidak

berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh dari prilaku

cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga ,situs berita, maupun

situs khusus dewasa. Blanchard & Henle (2008) mengemukakan

bahwa terdapat dua aspek dari cyberloafing yakni :

c) Minor Cyberloafing

Minor Cyberloafing meliputi penggunaan email dan internet pada saat

kerja. Contohnya mengirim dan menerima pesan pribadi atau

13
mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Dengan demikian

minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak sesuai

dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Dapat dikatakan bahwa

minor cyberloafing memiliki dampak yang tidak terlalu merugikan

bagi organsisasi khususnya karena penggunaan waktu yang tidak lama.

d) Serius Cyberloafing

Serius Cyberloafing merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri

dari bentuk-bentuk cyberloafing yang lebih serius. Perilaku ini dapat

menimbulkan masalah karena pengunaan waktu yang lama ,

mengurangi produktivitas dan dapat memnyebabkan organisasi terkena

persoalan hukum bentuk prilakunya antara lain melakukan hal-hal

yang tidak sah seperi perjudian on line, mengunduh lagu, membuka

situs-situs dewasa dan berbelanja online .

Karyawan yang melakukan minor cyberloafing biasanya tidak

percaya bahwa mereka melakukan hal yang menyimpang. Sementara itu

karyawan yang melakukan serious cyberloafing menyadari bahwa

perbuatannya menyimpang dan mungkin tidak akan dimaafkan dan

diterima di tempat kerja (Blanchard&Henle, 2008).

4. Faktor-Faktor Cyberloafing

Menurut Ozler & Polat (2012), terdapat tiga faktor munculnya perilaku

cyberloafing yaitu:

14
a) Faktor Individual

Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain persepsi dan

sikap, sifat pribadi yang meliputi shyness, loneliness, isolation, self

control, harga diri dan locus of control, kebiasaan dan adiksi internet,

faktor demografis, keinginan untuk terlibat, norma sosial dan kode etik

personal.

1) Persepsi dan Sikap

Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih

mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi.

Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung

terhadap cyberloafing dengan perilaku cyberloafing

(Liberman,2015).

2) Sifat Pribadi

Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai

motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi

seperti shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation

(isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin

dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk

penggunaan internet yang dimaksud adalah kecenderungan

individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet.

3) Kebiasaan dan Adiksi Internet Kebiasaan mengacu pada

serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa

disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyarat-isyarat

15
khusus di lingkungan . Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan

merupakan sebuah kebiasaan.

4) Faktor Demografis Beberapa faktor demografis seperti status

pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji,

pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari

cyberloafing .

5) Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal

Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing

berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu

sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan

keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu,

keyakinan normatif individu (misalnya, cyberloafing itu tidak

benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam

perilaku cyberloafing .

b. Faktor Organisasi

Faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan

pegawai untuk melakukan cyberloafing, Beberapa faktor organisasi

tersebut yaitu :

1) Pembatasan Penggunaan Internet

Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja

melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan

teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan

karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi.

16
2) Hasil yang Diharapkan

Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja,

ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi

kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari

konsekuensi negatif .

3) Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja

tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut

malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan

pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai

sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet,

sehingga memunculkan perilaku cyberloafing.

4) Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing

Karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model (panutan)

dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari

dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan

organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga

melakukan cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan

cyberloafing

5) Sikap Kerja Karyawan

Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan

terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga

dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih

17
mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki

sikap kerja yang tidak menyenangkan . Seperti

ketidakadilan,komitmen kerja,kepuasan kerja dan karakteristik

pekerjaan.

c. Faktor Situasional

Perilaku menyimpang internet biasanya terjadi ketika pegawai

memiliki akses terhadap internet di tempat kerja sehingga hal ini

sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku

ini. (Weatherbee, 2010). Salah satu faktor situasional adalah kedekatan

jarak (seperti jarak ruangan pegawai) dengan atasan. Kedekatan jarak

dengan atasan di kantor secara tidak langsung akan mempengaruhi

cyberloafing. Hal ini tergantung pada persepsi pegawai mengenai

kontrol instansi terhadap perilakunya, termasuk ada atau tidaknya

sanksi dan peraturan instansi.

5. Dampak Cyberloafing

Menurut Blanchard & Henle (dalam dalam Noratika ardilasari,Ari

firmanto, 2017) perilaku cyberloafing di tempat kerja terdapat beberapa

dampak, yakni:

a. Kreativitas yang meningkat.

b. Mengurangi produktivitas dapat membuat pegawai menggunakan

metode lain dalam melalaikan tugas dengan teknologi modern tanpa

18
harus terlihat keluar masuk ruangan, dan terlihat aktif sepanjang jam

kerja di depan komputer.

c. Degradasi kinerja sistem komputer dan jaringan internet instansi yang

berlebihan dapat menyebabkan kelebihan sumberdaya komputasi dan

efek selanjutnya adalah menurunkan badwidth atau kecepatan akses

internet.

d. Cyberloafing berpotensi untuk memunculkan masalah kriminal hukum

lainnya seperti pelecehan (misalnya, email lelucon seorang pegawai

yang mengandung seks atau rasis), pelanggaran hak cipta (misalnya

pegawai menggunakan seorang pekerja yang memberitakan

kebohongan tentang seorang atasan di chat room), dan melalaikan

pekerjaan (Blanchard & Henle, 2008).

C. Kontrol Diri

1. Pengertian kontrol diri

Goldfried & Marbaum (dalam Liliyana Sari 2013) menyatakan

bahwa kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun,

membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat

membawa ke arah konsekuensi positif. kontrol diri sebagai kemampuan

untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan

situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai

dengan yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh

hal lainnya (Kopp dalam Liliyana Sari 2013 ).

Sedangkan teori lain mendefinisikan kontrol diri sebagai

pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau

19
dengan kata lain sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya

sendiri sebagai individu(Calhoun dan Acocella, dalam MN Ghufron 2010).

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan

atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi,

afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu.

Gottfredson dan Hirschi juga menyatakan bahwa individu yang

memiliki kontrol diri rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki

orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara

fisik daripada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktivitas

berbahaya, kurang sensitif dengan kebutuhan orang lain, lebih memilih

jalan pintas dibandingkan dengan hal-hal kompleks, serta memiliki

toleransi yang rendah terhadap sumber-sumber frustasi.

Sedangkan menurut Bauimester (dalam Liliyana Sari 2013),

kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah atau mengarahkan

respon individu, termasuk pikiran, emosi, dan tindakan secara sadar,

terutama mengendalikan impuls dan melawan godaan. Dari beberapa

definisi kontrol diri tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan

mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan

lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan

godaan tertentu.

20
2. Aspek – aspek Kontrol Diri

Averill (dalam MN Ghufron & R Risnawati 2010) menyebut kontrol diri

sebagai personal control (kontrol personal). Berdasarkan konsep Averill,

terdapat tiga jenis kontrol diri, yaitu behaviour control (kontrol perilaku),

cognitive control (kontrol kognitif), dan decisional control (mengontrol

keputusan) (Averill, dalam MN Ghufron & R Risnawati 2010).

a) Kontrol perilaku (Behavioral control )

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons

tindakan yang dapat secara langsung mempengaruhi atau

memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan . Kemampuan

mengontrol perilaku ini di perinci dua komponen yaitu kemampuan

mengatur pelaksanaan dan kemampuan mengatur stimulus.

Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu

untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi apakah dirinya

sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya.

Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk

mengetahui bagaimana suatu stimulus yang tidak dikendaki dihadapi.

b) Kontrol kognitif ( Cognitive control )

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi,

menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka

kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.

Aspek ini terbagi atas dua komponen yaitu :

21
1) Memperoleh informasi (information gain). Dengan informasi yang

dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut

dengan berbagai pertimbangan .

2) Melakukan penilaian (appraisal) berarti individu berusaha menilai

dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara

memperhatikan segi segi positif secara subjektif

c) Kontrol keputusan (Decisional control)

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih

tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diinginkannya atau setuju

dengan tindakan yang harus diambilnya. Kontrol diri dalam

menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk

memilih berbagai kemungkinan tindakan. Selain aspek –aspek diatas

Menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), terdapat 5 aspek

selfcontrol yang dapat diukur, yaitu:

1) Self-Discipline

Menilai tentang kedisiplinan diri dalam individu saat melakukan

suatu. Hal ini berarti individu memfokuskan dalam tugas. Individu

yang memiliki self discipline mampu menahan dirinya dari hal-hal

lain yang dapat mengganggu konsentrasinya.

22
2) Deliberate/Non-Impulsive

Menilai kecenderungan individu dalam melakukan suatu tindakan

yang impulsive dengan pertimbangan yang baik, bersifat hati-hati,

dan tidak tergesagesa dalam pengambilan keputusan atau

bertindak.

3) Healthy Habits

Mengatur tentang kebiasaan atau pola hidup sehat bagi individu.

Individu cenderung dengan healthy habits akan mampu menolak

sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya

meskipun hal tersebut menyenangkan bagi dirinya. Individu

dengan healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang

memberikan dampak positif bagi dirinya meski dampak tersebut

tidak diterima secara langsung

4) Work Ethic Menilai tentang regulasi diri dari etika individu dalam

melakukan suatu aktivitas sehari-hari. Individu yang memili work

ethics akan mampu menyelesaikan tugasnya tanpa dipengaruhi hal-

hal yang ada diluar tugasnya.

5) Reliability Aspek yang terkait dengan penilaian individu terhadap

dirinya dalam pelaksanaan rencana jangka panjang dalam

pencapaian tertentu.individu ini secara konsisten akan mengatur

perilakunya untuk mewujudkan setiap perencanaanya.

23
3. Faktor- faktor yang mempengruhi kontrol diri

MN Ghufron & R Risnawati (2010) mengemukakan bahwa faktor – faktor

yang mempengaruhi kontrol diri terdiri dari faktor internal yaitu dalam diri

individu dan faktor eksternal yaitu lingkungan individu :

a) Faktor internal Faktor internal yang ikut berperan terhadap kontrol diri

adalah usia , semakin bertambah usia seseorang , maka semakin baik

kemampuan kontrol dirinya

b) Faktor eksternal Faktor eksternal meliputi keluarga dalam lingkungan

keluarga terutama orang tua akan menentukan bagaimana kemampuan

mengontrol diri seseorang.

4. Jenis-jenis kualitas Kontrol Diri

Menurut Block and Block (dalam MN Ghufron & R Risnawati

2010) ada tiga jenis kontrol diri yaitu:

a) Over control Over control yaitu kontrol yang berlebihan dan

menyebabkan seseorang banyak mengontrol dan menahan diri untuk

bereaksi terhadap suatu stimulus.

b) Under control Under control yaitu kecenderungan untuk melepaskan

implus yang bebas tanpa perhitungan yang masak.

c) Approprite control Approprite control yaitu kontrol yang

memungkinkan individu mengendalikan implusnya secara tepat.

24
D. Hubungan Kontrol Diri dengan Cyberloafing pada Karyawan

Salah satu fenomena yang muncul sebagai akibat dari kemajuan

teknologi dan penggunaan akses internet yang tidak terbatas adalah

cyberloafing. Perilaku Cyberloafing adalah perilaku menyimpang karyawan

yang menggunakan akses internet instansi maupun pribadi untuk tujuan yang

tidak berhubungan dengan pekerjaan selama jam kerja, seperti hiburan,

belanja online, internet messaging, memposting ke newsgroups dan

mengunduh file yang tidak berhubungan dengan pekerjaan sehingga dapat

menurunkan kinerja pegawai untuk menyelesaikan tugas-tugas utama

pekerjaan (Blanchard & Henle, 2008).

Perilaku cyberloafing merupakan perilaku kerja karyawan yang

bersifat counterproduuctive dan dapat merugikan perusahaan. Permasalahan

tersebut disebabkan karena perilaku cyberloafing membuat banyaknya

pekerjaan yang tertunda dan tidak optimalnya kinerja karyawan dalam

menyelesaikan tugastugasnya disebabkan oleh fasilitas internet dari

perusahaan yang tidak terbatas sehingga menggunakan fasilitas internet untuk

kepentingan pribadi di saat jam kerja sedang berlangsung ( N ardilasari,A

firmanto, 2017). Salah satu faktor yang paling berhubungan dengan

munculnya perilaku cyberloafing adalah faktor internal pada individu yaitu

sifat personal, salah satunya adalah kontrol diri. Kontrol diri adalah

kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan

perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan maupun melawan godaan tertentu (Bauimester, dalam

Liliyana Sari 2013).

25
Menurut penelitian terdahulu Jika dikaitkan melalui kontrol diri,

karyawan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam

perilaku menyimpang di tempat kerja adalah pegawai yang memiliki kontrol

diri rendah (Restubog dkk, dalam Liliyana Sari 2013). Menurut Goldfried &

Marbaum (dalam Zulkarnain, 2002), kontrol diri diartikan sebagai

kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan

mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi

positif. Kontrol diri antara satu individu dengan individu yang lain berbeda-

beda. Ada individu yang memiliki kontrol diri tinggi, sedang, atau bahkan

rendah.

Nagin dan Paternoster (1993) mengindikasikan bahwa individu

dengan kontrol diri rendah adalah individu yang merasa memiliki keperluan

lebih kuat terhadap perilaku terlarang karena akan mendapat reward (hadiah)

langsung, serta memiliki conscience (hati nurani) yang kurang berkembang.

Sehingga mereka menemukan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh terhadap

niat individu untuk melakukan berbagai perilaku terlarang saat bekerja (Nagin

& Paternoster, dalam Liliyana Sari 2013). Setiap individu memiliki suatu

mekanisme yang dapat membantu dirinya dalam mengatur dan mengarahkan

perilaku, yang disebut dengan kontrol diri( N ardilasari,A firmanto, 2017).

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri

merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan

kognisi, afektif, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu

individu. Dalam teori low self control yang mereka kembangkan, mereka

mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah

26
dikarakteristikkan dengan enam elemen yaitu impulsiveness, prefernce for

physical activity, risk-seeking orientation, selfcenteredness, preference for

simple tasks, dan short-tempered (Gottfredson dan Hirschi, 1990). keenam

elemen low self control dari Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan

bahwa pegawai yang memiliki kontrol diri yang rendah cenderung implusif,

lebih suka melakukan aktivitas fisik yang tidak membutuhkan skill tertentu,

suka melakukan aktivitas beresiko, hanya fokus pada kebutuhan diri sendiri,

rentan mengalami frustasi dan temperamental, serta menghindari pekerjaan

sulit yang membutuhkan pemikiran kognitif.

Oleh karena itu karyawan yang memiliki kontrol diri rendah

cenderung lebih mungkin melakukan perilaku cyberloafing di tempat kerja.

Sedangkan karyawan yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung

mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukan, berhati-

hati dalam bekerja, lebih suka melakukan aktivitas mental, peka terhadap

kebutuhan orang lain, mampu mengatur emosinya, serta gigih dan tekun

dalam bekerja. Oleh sebab itu, karyawan yang memiliki kontrol diri tinggi

cenderung lebih jarang melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja,

seperti cyberloafing( N ardilasari,A firmanto, 2017).

Dalam penggunaan jejaring sosial ini orang yang rendah kemampuan

dalam mengontrol diri cenderung akan terbawa hanyut ke dalam situasi yang

sulit, artinya kebanyakan orang yang memiliki kontrol diri rendah tidak bisa

menempatkan diri dengan baik dalam penggunaan jejaring sosial sekalipun

mereka dalam jam kerja sedangkan orang yang tinggi kemampuan dalam

mengontrol diri akan cenderung proaktif, mereka cenderung akan lebih

27
mengutamakan ataupun memanfaatkan jam kerja dan menyelesaikan

pekerjaanya dengan baik dari pada mengakses internet yang bukan untuk

keperluan pekerjaan.

Penelitian terdahulu telah dilakukan untuk melihat hubungan kontrol

diri dengan cyberloafing oleh Noratika ardilasari (2016) pada 90 orang

Pegawai negeri sipil di kota malang dengan melalui analisis kuantitatif

korelasinal yang ditemukan bahwa adanya hubungan negatif antara self

control dengan cyberloafing dengan nilai korelasi (r = -0,206 dan p= 0,049) .

Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan kesimpulan bahwa semakin

rendah self control maka semakin tinggi cyberloafing . Hal ini berarti bahwa

kontrol diri berhubungan dengan perilaku cyberloafing pada seorang

karyawan .

E. Kerangka Konseptual

Karyawan

Kontrol diri (Averill : MN


Ghufron & R Risnawati 2010)
Cyberloafing (Blanchard &
Aspek-aspek Henle 2008)
a. Behavior Control (kontrol
perilaku) Aspek-Aspek
b. Cognitive control (Kontrol a. Minor Cyberloafing
kognitif) b. Serious cyberloafing
c. Decisional control (kontrol
keputusan)

28
F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah adanya hubungan antara self control dengan

perilaku cyberloafing pada karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin rendah

self control yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi perilaku

cyberloafing yang dilakukan.

29
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2014) variabel penelitian adalah segala sesuatu

yang berbentukapa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya.Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variable bebas. Variabel

bebas (independent variable) adalah suatu variabel yang mempengaruhi

variabel lain atau yang menjadi sebab perubahan nya atau timbulnya variabl

terikat.

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Dependen(Y) : Cyberloafing

2. Variabel Independen(X) : Self Control (Kontrol Diri)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu defenisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel yang dapat

diamati. Suatu konsep mengenai variabel yang sama dapat saja memiliki

definisi operasional yang lebih dari satu dan berbeda-beda antara penelitian

yang satu dan yang lainnya (Azwar, 2014). Definisi operasional yang

ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

30
1. Cyberloafing

Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang

bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet di bidang

pemerintahan atau perusahaan. Tak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing

menjadi salah satu fokus perhatian pihak instansi pemerintahan karena

dampaknya terhadap produktivitas pegawai.

Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam

kerja dengan menggunakan internet organisasi. Namun cyberloafing tidak

hanya menggunakan internet milik organisasi tetapi juga milik pribadi.

Definisi ini dikemukakan oleh Henle dan Kedharnath,2012(dalam N

ardilasari,A firmanto, 2017) yaitu penggunaan teknologi dilakukan

karyawan untuk menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja

untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya internet selama

jam kerja untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi

yang disediakan perusahaan dan juga miliki pribadi yang dibawa

karyawan selama bekerja (misalnya, smartphone, iPad).

2. Self Control (Kontrol Diri)

Goldfried & Marbaum (dalam Liliyana Sari 2013) menyatakan

bahwa kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun,

membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat

membawa ke arah konsekuensi positif. kontrol diri sebagai kemampuan

untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan

situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai

31
dengan yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh

hal lainnya (Kopp dalam Liliyana Sari 2013 ).

Sedangkan teori lain mendefinisikan kontrol diri sebagai

pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau

dengan kata lain sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya

sendiri sebagai individu(Calhoun dan Acocella, dalam MN Ghufron 2010).

Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan

atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi,

afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2014).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Karyawan yang ada

di PT. Teluk Luas Padang yaitu sebanyak 142 orang

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian

dengan tujuan agar sampel yang diambil dari populasinya representatif

atau mewakili sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup untuk

mengestimasi populasinya (Sugiyono, 2014). Teknik pengambilan sampel

32
dalam penelitian ini adalah purposive sampling yakni teknik pengambilan

sampel berdasarkan kategori atau karakteristik yang diperlukan penelitian.

Adapun karakteristiknya sebagai berikut : Karyawan yang ada di PT.

Teluk Luas Padang

Berdasarkan uraian diatas, maka jumlah sampel yang memenuhi

karakteristik tersebut adalah 60 siswa. Inilah yang nantinya akan menjadi

subjek dalam penelitian ini

D. Metode Alat Pengumpulan Data

1. Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

kontrol diri dan skala kenakalan remaja. Menurut Azwar (2012), skala

adalah perangkat pertanyaan yang disusun untuk mengungkapkan atribut

tertentu melalui respon terhadap pertanyaan tersebut. Skala dalam

penelitian ini memiliki format respon dengan empat alternatif jawaban.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan format respon

jawaban model Likert. Menurut Sugiyono (2014) skala Likert digunakan

untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok

orang tentang fenomena sosial.

Format respon jawaban skala kontrol diri dan skala kenakalan

remaja berdasarkan empat pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju),S

(Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Peneliti tidak

menggunakan pilihan jawaban tengah ”N” (Netral), sebagaimana menurut

Azwar (2012) apabila pilihan jawaban tengah disediakan, maka subjek

33
akan cenderung memilih jawaban tengah, sehingga data mengenai

perbedaan di antara subjek menjadi kurang informatif dan sikap subjek

yang sebenarnya tidak dapat diketahui secara jelas. Kriteria pemberian

skor untuk skala kontrol diri dan skala kenakakan remaja dilakukan

dengan ketentuan sebagai berikut:

Tabel 3.1
Kriteria Pemberian Skor

Pernyataan SS S TS STS
Baik 4 3 2 1
Kurang Baik 1 2 3 4

2. Instrumen Pengumpulan Data

a) Kontrol Diri

Skala yang digunakan untuk mengukur kontrol diri dalam

penelitian ini adalah skala kontrol diri yang dikonstruksi oleh penulis

berdasarkan teori kontrol diri menurut Averill (dalam Ghufron dan

Risnawita, 2012). Skala ini terdiri dari 36 item yang terbagi menjadi 18

item favorable dan 18 item unfavorable. Blue print skala kontrol diri

seperti terlihat pada tabel 3.2 di bawah ini:

Tabel 3.2
Blue Print Skala Kontrol Diri
Averill (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012)

No Aspek Aitem Jumlah


Baik Kurang Baik
1 Behavior control 1,7,13,19,25, 4,10,16,22,28 10
(kontrol perilaku)
2 Cognitive control 2,8,14 20,26 5,11,17,23,29 10
(kontrol kognitif)
3 Decision control 3,9,15,21,27 6,12,18,24,30 10
(kontrol keputusan)
Total 15 15 30

34
b) Cyberloafing

Skala cyberloafing dibuat dengan mengadosi teori aktivitas cyberloafing

Li dan Chung (2006), dimana aktifitas cyberloafing dikategorikan pada

penggunaan internet untuk aktifitas social, aktifitas informasi, aktifitas

kenikmatan, dan aktifitas emosi virtual.

Tabel 3.3
Blue Print Skala Cyberloafing

Aitem
Variabel Indikator Baik Kurang Jumlah
Baik
Aktivitas sosial 1,2,3,4 5 5
Aktifitas Informasi 6,7,8,9 10 5
Cyberloafing Aktifitas Kenikmatan 11,12,13,1 16 5
4
Aktifitas Emosi Virtual 5
Total 23 9 20

3. Uji Coba Alat Ukur Penelitian

a) Uji Validitas

Validasi berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh

mana ketetepan dan kecermatan suatu alat ukut dalam melakukan

fungus ukurnya. Suatu tes atau instrument pengukur dapat dikatakan

mempunyai validasi yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan

fungsi ukurnya. Atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan

maksud dilakukannya pengukuran tersebut.

Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan

pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah

(Azwar,2014). Berdasarkan uji validitas pada penelitian dengan

35
menggunakan korelasi produk moment didapatkan hasil yang berbeda-

beda dari 2 variabel yang diteliti.

b) Uji Reliabilitas

Releabilitas merupakan sejauh mana hasil pengukuran dapat

dipercaya bila pengukuran pada subyek yang sama di waktu yang

berbeda menunjukkan hasil yang relative sama. (azwar,2014)

mengungkapkan bahwa releabilitas sebenarnya mengacu pada

konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna

kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliable akan

menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor

yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh factor eror

(kesalahan) dari pada factor perbedaan yang sesungguhnya. Uji

reliabelitas penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi dengan

teknik reliabilitas Alpha Cronbach.

Pengujian relibialitas dilakukan dengan mengolah data pada

program IBM SPSS. Relibalitias ini dinyatakan dalam koefisien

reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00.

Semakin tinggi koefisien reliabiltas mendekati angka 1,00 maka

semakin tinggi reliabiltas alat ukut tersebut. Sebaliknya semakin

koefisien reliabilitas mendekati angka 0, maka semakin rendah

reliabilitas alat ukurnya.

36
E. Teknik Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakan data dalam

penelitian ini sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi

normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji normalitas

dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran suatu data tersebut normal

atau tidak. Uji normalitas sebaran pada penelitian ini dilakukan untuk

membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor-skor yang

diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Uji

normalitas dalam penelitian ini menggunakan one sample test dari

Kolmogorov Smirnov dengan bantuan IBM SPSS 21.0 (Priyatno, 2013).

2. Uji Liniearitas

Uji linearitas bertujuan untuk membuktikan apakah variabel

bebas mempunyai hubungan yang linear dengan variabel terikat. Model

statistik yang digunakan untuk melihat linearitas kedua variabel tersebut

menggunakan test for linearity dengan bantuan program IBM SPSS 21.0

for windows (Priyatno, 2008).

3. Uji Hipotesis

a) Koefisien Determinan

Koefisien determinasi (R2) adalah pengujian untuk mengukur

kemampuan model dalam menerengkan variable dependen. Nilai yang

mendekati suatu berattu variable independen memberikan hamper

37
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variable

dependen (Ghozali,2013).

b) Uji signifikansi parameter individual (Uji t)

Uji signifikansi parameter individual menunjukkan seberaoa jauh

pengaruh masing-masing variable bebas secara individu dalam

menerangkan variasi variable terikat. Uji signifikansi parameter

individual, nilai t hitung akan dibadningkan dengan nilai t table, cara

yang adan dilakukan sebagai berikut :

1) Apabila t hitung > table atau profitabilitas < tingkat signifikansi sig

< 0,05 maka H1 diterima dan H0 ditolak, variable bebas

berpengaruh terhadap variabel terikat.

2) Apabila t hitung < t table atau profitabilitas > tingkat signifikansi

(sig>0,05), maka Ha ditolak dan Ho diterima, variabel bebas tidak

berpengaruh terhadap variabel terikat (Suharyadi dan

Purwantoro,2009)

38

Anda mungkin juga menyukai