Anda di halaman 1dari 143

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

INSTRUKSIONAL I
( SEDIMENTASI, ALIRAN FLUIDA, HEAT EXCHANGER, MIXING )

Oleh

1. Aris Setiawan (1415041007)

2. Nina Boenga (1415041040)

3. Sabdo Agung Darmawan (1415041055)

4. Siska Oktorina Simbolon (1415041057)

Laboratorium Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Bandar Lampung

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya


akhirnya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum instruksional I ini
dengan tepat waktu. Untuk kesempatan kali ini, kami mempersembahkan
sebuah laporan praktikum instruksional I yang berjudul “ Sedimentasi, Aliran
Fluida, Heat Exchanger, dan Mixing ”.
Semoga laporan praktikum instruksional I ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca. Kami menyadari dalam
pembuatan laporan praktikum instruksional I ini masih banyak kekurangan.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu, pengetahuan dan wawasan yang
ada pada kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan laporan ini ke depannya.
Atas kritik dan saran yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, Juli 2017

penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
SEDIMENTASI.................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................4
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN....................................................................14
BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN..........................................16
BAB III KESIMPULAN..............................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................31
LAMPIRAN PERHITUNGAN....................................................................................33
LAMPIRAN DOKUMENTASI...................................................................................36
ALIRAN FLUIDA...........................................................................................................38
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................41
BAB III PROSEDUR PERCOBAAN..........................................................................55
BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN..........................................58
BAB V KESIMPULAN...............................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................65
LAMPIRAN PERHITUNGAN....................................................................................67
LAMPIRAN DOKUMENTASI...................................................................................79
HEAT EXCHANGER......................................................................................................81
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................82
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................84
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN....................................................................92
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................94
BAB V KESIMPULAN...............................................................................................99
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................100
LAMPIRAN PERHITUNGAN..................................................................................102
LAMPIRAN DOKUMENTASI.................................................................................111
MIXING.........................................................................................................................113

iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................114
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................116
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN..................................................................122
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................124
BAB V SIMPULAN..................................................................................................129
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................130
LAMPIRAN PERHITUNGAN..................................................................................132
LAMPIRAN DOKUMENTASI.................................................................................136

iv
SEDIMENTASI
(Laporan Akhir Praktikum Operasi Teknik Kimia I)

Oleh

1. Aris Setiawan (1415041007)

2. Nina Boenga (1415041040)

3. Sabdo Agung Darmawan (1415041055)

4. Siska Oktorina Simbolon (1415041057)

Laboratorium Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Bandar Lampung

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sedimentasi merupakan salah satu cara pemisahan antara komponen atau


partikel berdasarkan perbedaan densitasnya melalui medium alir. Oleh karena itu,
biasanya pemisahan tersebut berlangsung lama, terutama jika perbedaan densitas
antar komponen tersebut tidak berbeda jauh. Secara visual, sedimentasi
merupakan pemisahan suspensi menjadi dua fraksi yaitu fraksi supernatan (fraksi
yang jernih) dan fraksi padat pada konsentrasi yang lebih tinggi. Dalam praktek,
sedimentasi dapat dilakukan secara batch (terputus-putus untuk setiap satuan
volume atau berat bahan yang akan dipisahkan per satuan waktu) atau secara
kontinyu (terus menerus). Proses batch sering dipergunakan dalam skala
laboratorium yang menggambarkan proses sedimentasi sederhana, sedangkan
proses continue dipergunakan dalam skala komersial dengan mempertimbangkan
kecepatan pengendapan terminal dari partikel-partikelnya.
Percobaan skala laboratorium dilakukan pada suhu uniform untuk
menghindari gerakan fluida atau konveksi karena perbedaan densitas yang
dihasilkan dari perbedaan suhu. Uji pengendapan secara batch dilakukan untuk
menggambarkan mekanisme pengendapan dan metode penentuan kecepatan
pengendapan.
Kecepatan pengendapan (sedimentation rate) dapat ditentukan dengan
mengamati tinggi interface (antar fase) sebagai fungsi waktu yang diberikan dan
menggambarkan tangen pada kurva yang diperoleh dari perhitungan.
Untuk mempermudah proses selanjutnya dalam suatu pengolahan perlu
dilakukan pemisahan komponen-komponen  dari suatu campuran menjadi fraksi-
fraksi individual. Dalam praktek pemisahan mekanis dapat diakukan dengan cara
sedimentasi (pengendapan), sentrifugsasi (pemusingan), filtrasi (penyaringan) dan
lain sebagainya. Pada sedimentasi antara partikel dipisahkan berdasarkan

2
perbedaan densitas melalui suatu medium alir, pada sentrifugasi pemisahan antar
partikel padat-cair terjadi karena perbedaan ukuran partikel yang dilewatkan
melalui medium berpori.
Di dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai proses sedimentasi
(pengendapan) yang diterapkan pada proses pengolahan air minum. Dimana air
yang berasal dari sumber air sebelum langsung digunakan, air tersebut terlebih
dahulu ditampung untuk disaring dan untuk mengendapkan partikel-partikel yang
masih ada dalam air. Biasanya keberadaan partikel-partikel tersebut dapat
menurunkan tingkat kebersihan dari air tersebut.

1.2 Tujuan Praktikum

Adapun Tujuan Praktikum Sedimentasi ini adalah :


1. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan sedimentasi
2. Lama waktu pengendapan dengan diberikan nya slurry dengan berbagai
variasi berat
3. Menentukan fenomena pengendapan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Dasar Teori
Banyak metoda pemisahan secara mekanik didasarkan pada pergerakan
partikel solid atau tetesan liquid dalam fluida. Fluida ialah zat yang tidak dapat
menahan perubahan bentuk (distorsi) secara permanen, dapat berupa gas atau
cairan baik dalam keadaan diam ataupun bergerak. Bila kita mencoba mengubah
bentuk suatu massa fluida, maka didalam fluida itu akan terbentuk lapisan-lapisan
dimana lapisan yang satu meluncur diatas yang lain hingga mencapai bentuk yang
baru. Selama perubahan bentuk itu terdapat tegangan geser (shear stress) yang
besarnya bergantung pada viskositas fluida dan laju luncur. Tetapi bila fluida itu
sudah mendapatkan bentuk akhirnya, semua tegangan geser itu akan hilang.
Fluida yang dalam keseimbangan itu bebas dari segala tegangan geser. Pada suatu
suhu dan tekanan tertentu setiap fluida mempunyai densitas atau rapatan (density)
tertentu yang dalam praktek keteknikan biasanya diukur dalam pound per cubic
foot atau dalam kilogram per meter kubik.
(Geankoplis,1980)

2.2 Pengertian sedimentasi


Sedimentasi merupakan proses pemisahan larutan suspensi menjadi fluida
jernihsupernatant dan slurry yang mengandung konsentrasi padatan lebih tinggi.
Larutan suspensi terdiri dari campuran fase cair dan fase padat yang
bersifat settleable, dapat diendapkan karena perbedaan densitas antar fasenya.
Proses sedimentasi dapat dilakukan neraca batchdan continue. Proses batch sering
dipergunakan untuk skala laboratorium yang menggambarkan proses sedimentasi
sederhana, sedangkan proses  continue dipergunakan dalam skala komersial
dengan mempertimbangkan kecepatan pengendapan terminal dari partikel-
partikelnya. Percobaan skala laboratorium dilakukan pada suhu uniform untuk

4
menghindari gerakan fluida atau konveksi karena perbedaan densitasnya yang
dihasilkan dari perbedaan suhu.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan pengendapan


1. Konsentrasi
Dengan semakin besarnya konsentrasi, gaya gesek yang dialami partikel
karena partikel lain semakin besar sehingga drag force-nya pun semakin besar.
Hal ini disebabkan karena dengan semakin besarnya konsentrasi berarti semakin
banyak jumlah partikel dalam suatu suspensi yang menyebabkan bertambahnya
gaya gesek antara suatu partikel dengan partikel yang lain. Drag force atau gaya
seret ini bekerja pada arah yang berlawanan dengan gerakan partikel dalam fluida.
Dalam hal ini gaya drag ke arah atas dan gerakan partikel ke bawah. Gaya seret ini
disebabkan oleh adanya transfer momentum yang arahnya tegak lurus permukaan
partikel dalam bentuk gesekan. Maka, dengan adanya drag force yang arahnya
berlawanan dengan arah partikel ini akan menyebabkan gerakan partikel menjadi
lambat karena semakin kecilnya gaya total ke bawah sehingga kecepatan
pengendapan semakin turun.

2. Ukuran partikel
Ukuran partikel berpengaruh langsung terhadap diameter partikel. Jika
ukuran partikel semakin besar maka semakin besar pula permukaan dan
volumenya. Luas permukaan partikel berbanding lurus dengan gaya drag dam
volume partikelnya berbanding lurus dengan gaya apungnya. Hal ini disebabkamn
gaya ke atas (gaya drag dan gaya apung) semakin besar sehingga gaya total untuk
mengendapkan partikel semakin kecil sehingga kecepatan pengendapan semakin
menurun.

3. Jenis partikel
Jenis partikel berhubungan dengan densitas partikel yang berpengaruh
terhadap gaya apung dan gaya gravitasi yang dapat mempengaruhi kecepatan
pengendapan suatu partikel dalam suatu fluida yang statis. Densitas partikel yang
semakin besar akan menyebabkan gaya apung semakin kecil sedangkan gaya

5
gravitasi semakin besar, sehingga resultan gaya ke bawah yang merupakan
penjumlahan dari gaya drag, gaya apung dan gaya gravitasi akan semakin besar
pula. Ini berarti kecepatan pengendapannya akan semakin besar.

2.4  Gaya yang bekerja pada partikel yang dalam keadaan bergerak di dalam


fluida :
a. Gaya luar, gravitasi atau sentrifugal
b. Gaya apung (buoyant force), yang bekerja sejajar dengan gaya luar, tetapi pada
arah yang berlawanan.
c. Gaya seret, yang selalu terdapat bilamana ada gerakan relatif antara partikel dan
fluida. Gaya seret itu bekerja melawan gerakan sejajar dengan arah gerakan
partikel tetapi berlawanan arah.

2.5  Fluida
Fluida adalah sub-himpunan dari fase benda, termasuk cairan, gas,
plasma dan padat plastik. Fluida memiliki sifat tidak menolak terhadap perubahan
bentuk dan kemampuan untuk mengalir (atau umumnya kemampuannya untuk
mengambil bentuk dari wadah mereka). Sifat ini biasanya dikarenakan sebuah
fungsi dari ketidakmampuan mereka mengadakan  tegangan geser (shear stress)
dalam ekuilibrum statik. Konsekuensi dari sifat ini adalah Hukum Pascal yang
menekankan pentingnya  tekanan dalam mengarakterisasi bentuk fluid. Dapat
disimpulkan bahwa fluida adalah zat atau entitas yang terdeformasi secara
berkesinambungan apabila diberi tegangan geser walau sekecil apapun tegangan
geser itu. Fluida dapat dikarakterisasikan sebagai berikut : 

1. Fluida newtonian
Fluida Newtonian(istilah yang diperoleh dari nama Isaac Newton) adalah
suatu  fluida yang memiliki kurva  tegangan/regangan yang linear. Contoh umum
dari fluida yang memiliki karakteristik ini adalah air . Keunikan dari fluida
newtonian adalah fluida ini akan terus mengalir sekalipun terdapat gaya yang
bekerja pada fluida. Hal ini disebabkan karena viskositas dari suatu fluida

6
newtonian tidak berubah ketika terdapat gaya yang bekerja pada fluida. Viskositas
dari suatu fluida newtonian hanya bergantung pada temperatur dan tekanan.

2. Fluida Non Newtonian


Fluida non-Newtonian adalah suatu fluida yang akan mengalami
perubahan viskositas ketika terdapat gaya yang bekerja pada fluida tersebut. Hal
ini menyebabkan fluida non-Newtonian tidak memiliki viskositasyang konstan.
Berkebalikan dengan fluida non-Newtonian, pada fluida non-Newtonian
viskositas bernilai konstan sekalipun terdapat gaya yang bekerja pada
fluida.Fluida yang tegangan gesernya tidak berhubungan secara linear terhadap
regangan disebut sebagai fluida non-newtonian. Campuran antara bubuk jagung,
ketika ditempatkan pada tempat yang rata, mengalir mejadi menipis. Namun
ketika campuran diganggu dengan acak, terlihat seperti kerusakan dan bersifat
seperti zat padat. Campuran merupakan tegangan geser non-
newtonian menipiskan fluida dan menjadikan lebih kental pada saat tegangan
geser meningkat melalui aksi sendok yang acak.   

Sebaliknya, bila fluida non-Newtonian diaduk, akan tersisa suatu lubang.


Lubang ini akan terisi seiring dengan berjalannya waktu. Sifat seperti ini dapat
teramati pada material-material seperti puding. Peristiwa lain yang terjadi saat
fluida non-Newtonian diaduk adalah penurunan viskositas yang menyebabkan
fluida tampak “lebih tipis” (dapat dilihat pada cat). Ada banyak tipe fluida non-
Newtonian yang kesemuanya memiliki properti tertentu yang beberikut contoh
cairan non-newtonian. Suatu cairan non-newtonian disebut bersifat dilatant,
apabila hambatan akan membesar ketika Tegangan-Geser yang bekerja padanya
makin besar, atau cairan menjadi seolah-olah makin kental jika teraduk. dilatant,
bukan-newtonian : campuran pigmen, zat pewarna, tinta, pengental seperti
kanji/tapioka, silicone, pasta-PVC, drilling fluid, mud, dll.

Suatu cairan non-newtonian disebut bersifat pseudoplastic, apabila


hambatan akan berkurang ketika Tegangan-Geser yang bekerja padanya makin

7
besar, atau cairan menjadi seolah-olah makin encer jika teraduk. Selain itu
terdapat perilaku aneh lain dari fluida non newtonian.

1.Sifat plastic, misal permen karet 


2.Ideal bingham, misal odol dan emulsi
3.Thixotrop, misal pasir apung, daging giling, pasta ikan
4. Rheopex, misal epoxyrubah pada keadaan tertentu

2.6 Proses Sedimentasi
Berdasarkan ada tidaknya pengaruh terhadap jatuhnya suatu partikel yang
akan mengendap, proses sedimentasi terbagi menjadi dua yaitu :

1. Free Settling
Peristiwa ini terjadi jika jumlah partikel dalam pengendapan cukup sedikit,
partikel cukup jauh dari dinding dan jarak antara partikel satu dengan partikel
yang lain cukup jauh, sehingga jatuhnya partikel dalam suatu fluida tidak
dipengaruhi oleh dinding dan faktor benturan dengan partikel lain, maka laju
pengendapan akan semakin cepat. Gaya total yang terdapat dalam partikel adalah
sebagai berikut :

F = Fg – Fb – Fd
Keterangan :
F           : Gaya total dalam partikel (N)
Fg         : Gaya gravitasi efektif (N)
Fb         : Gaya friksi antara dinding dan partikel (N)
Fd         : Gaya tarik (N)

Gaya total ini sama dengan gaya yang bekerja pada partikel, yang
mempercepat partikel. Persamaan diatas menjadi :

m. (dv/dt ) = Fg – Fb – Fd
8
Keterangan :
m         : Massa (g)
dv/dt   : Percepatan partikel (m/dt2)
Fg         : Gaya gravitasi efektif (N)
Fb         : Gaya friksi antara dinding dan partikel (N)
Fd         : Gaya tarik (N)

2. Hindered settling
Hindered terjadi apabila konsentrasi padatan itu tinggi, maka pertikel tidak
dapat mengendap secara bebas, karena aliran pertikel yang satu akan
mempengaruhi aliran disekitar partikel yang lain. Karena jumlah partikel cukup
banyak, maka partikel yang satu dengan partikel yang lain akan saling berdesakan,
sehingga kecepatan pengendapan partikel akan semakain kecil.

Dalam pengamatan di laboratorium, kondisi seperti ini dapat terjadi jika


digunakan peralatan dengan diameter kecil, maka partikel yang mengendap
tersebut dipengaruhi oleh halangan (hindered).

3. Kompresi.
ada zona ini partikel-partikel berada dalam keadaan yang sangat dekat
dengan partikel-partikel lainnya. Liquid yang berada diantara partikel-partikel
tersebut akan dikeluarkan menuju ke zona liquid yang jernih yang berada di
atasnya, dari proses ini akan diperoleh endapan yang diharapkan.
Campuran padat-cair sering disebut dengan suspensi atau slurry. Tujuan
dari pemisahan campuran heterogen antara lain :
1. Mengambil padatan dari cairannya
2. Mengambil cairan dari padatannya
3. Mengambil kedua-duanya
4. Keduanya tidak dimanfaatkan, tetapi dilakukan untuk tujuan pencegahan
terhadap pencemaran

9
Perbedaan antara proses filtrasi dengan sedimentasi ialah bila pada
sedimentasi cairannya ditahan, sedangkan padatannya akan bebas bergerak. Bila
pada filtrasi padatannya akan ditahan, sedangkan cairannya akan bergerak bebas.
Sehungga sedimentasi merupakan suatu operasi pemisahan campuran padatan dan
cairan (slurry) menjadi cairan yang bening dan sludge (slurry yang lebih pekat
kosentrasinya), pemisahan dapat berlangsung kaena adanya gaya grvitasi yang
terjadi pada butiran tersebut.
(Purnavita, 2008)

Bak pengendap mempunyai beberapa tipe yang secara garis besar bisa dibagi
dalam 3 tipe yaitu ;
1. Conventional Settling Basin
Conventional settling basin dipakai untuk detention time lebih dari 2 jam.
Panjang standar straight flow settling basin ditentukan oleh kecepatan
aliran yang diperkenankan dari detention time yang diperlukan. Penting
diperhatikan agar pemasukan dan pengeluaran dari air diatur agar merata
dan menghindari short cicuiting yang biasanya memakai distribution
baffle atau check board opening. Pada bagian pengeluaran harus
diusahakan sepanjang weir menerima volume air yang sama. Endapan
yang terjadiharus dibersihkan secara kontinu atau periodik untuk
mengurangi kapasitas penampunagn lumpur dan mencegah dekomposisi
zat-zat organik yang mengurangi kemampuan penjernihan.

2. Rapid FlowTreatment Tank


Ada dua macam rapid flow treatment tank yaitu ;

1. Solid Ccontact Classifier


Air dan larutan koagulan dicampur pada daerah sentral reaksi dan
diaduk secara mekanis atau hidrolis selama kira-kira 10 menit dan
akhirnya dikeluarkan melalui endapan yang sudah terbentuk. Air
mengalir ke atas melalui sludge blanket di mana kekeruhan
dihilangkan dengan cara adsorpsi pada partikel-partikel floc yang
membentuk sludge bed. Sludge blanket mengandung endapan-
endapan dipertahankan dalam suspensi oleh pengadukan mekanis

10
dan aliran hidrolis. Karena penampang pada sludge filter zone
makin besar, maka kecepatan aliran ke atas dari air jernih makin
kecil, sehingga partikel-partikel terpisah dan meninggalkan bagian
atas yang jernih.

2. Accelerator
Di dalam accelerator koagulan/flokulan bersama-sama dengan air
ditambahkan langsung kepada endapan yang sebelumnya sudah
ada. Maksud penambahan ini bukan untuk membentuk partikel
baru akan tetapi membesarkan partikel yang sudah ada. Pada
accelerator terdapat daerah pencampuran yang pertama di mana air
akan didorong ke atas menuju daerah pencampuran yang terakhir
dengan membawa dengan konsentrasi yang tinggi dan tersuspensi
karena pengadukan cepat. Air tadi akan ke bawah alirannya akan
berubah menjadi laminar memasuki daerah yang diameternya lebih
besar. Air bersih akan naik ke atas sedangkan floc akan turun ke
bawah dan dikeluarkan melalui concentrator compartement.

3. Tube settler
Salah satu cara pengendapan yang sekarang cukup terkenal ialah tube
settler. Floc-floc yang terbentuk di dalam flocculator diusahakan
mengendap di dalam tube-tube (pipa-pipa) yang dipasang miring dengan
sudut tertentu. Air yang banyak mengandung floc diusahakan naik di
dalam tube-tube. Akibat berat floc dan adanya gaya grafitasi bumi maka
floc akan mengendap di bagian bawah tube dan akan turun di bagian
bawah (penampang) limpur. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
kemiringan untuk tube adalah 60o dan panjang tube adalah 80 cm. Dengan
memakai tube settler ternyata hasilnya lebih dibandingkan dengan bak
pengendapan.

(Iryani, 2009)

11
Pada mekanisme sedimentasi hindered settling, kosentrasi padatan tinggi
sehingga pengaruh antar partikel tidak dapat diabaikan. Kecepatan pengendapan
dipengaruhi oleh sifat fluida, sifat fisis padatan, dan kosentrasi,
V =f ( μ , ℓs , ℓf , g , D , ϕ , c )

Bila jenis slurry tertentu dengan nilai μ,ℓs,ℓf ,g, D ,ϕ tetap maka

kecepatan sedimentasi hanya merupakan fungsi dari kosentrasi V =f (C ) . Ada


dua macam proses sedimentasi yaitu,
1. Secara Batch

Gambar 1. Mekanisme Sedimentasi secara Batch

12
dengan A : Cairan Bening

B : Zona Kosentrasi Seragam

C : Zona Transisi

D : Zona dengan Partikel Padat Terendapkan

pada bagian (a) : zona B daerah dengan kosentrasi awal, semua partikel

mengendap secara free-settling

pada bagian (b) : mulai terbentuk zona A yaitu fluida jernih dengan z

merupakan tinggi batas daerah yang mengandung

padatan

: zona D mulai terbentuk, berupa partikel-partikel yang

mengendap di dasar tabung

: zona C adalah lapisan transisi dari partikel padatan

antara B dan D

pada bagian (c) : pada waktu tertentu zona B dan C hilang dan hanya ada

dua zona yaitu, A dan D yang merupakan fluida jernih

dan padatan (critical point)

Critical point adalah keadaan dimana tepat terjadi dua daerah kosentransi

2. Secara Kontinyu atau Sinambung

13
Gambar 2. Thickener Kontinyu

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa F, L,V merupakan volume


campuran per waktu, sedangkan Cf, Cu, Cv merupakan masa padatan per satuan
volume campuran. Dengan neraca volum ialah
F=V + L

Neraca masa padatan ialah

F .C F=V . CV +L .C U , bila cairan bening tidak mengandung padatan

maka
CV =0 , maka persamaan diatas menjadi

F .C F=L .C U

(Brown, 1956)

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai
berikut :
1. CaCO3
2. Air sebagai media untuk membuat slurry
3. Gelas ukur 1000 ml
4. Neraca digital
5. Piknometer bervolume 50 ml
6. Stopwatch
7. Sendok
8. Pengaduk
9. Beakker glass 5000 ml

14
3.2 Prosedur Percobaan
Adapun prosedur yang dilakukan dalam percobaan ini adalah :

CaCO3 ditimbang dengan berat 140 g

Masukan kedalam beakker glass


kemudian masukan air 1 liter

Slurry diaduk hingga homogen

Masukan kedalam gelas ukur

Amati proses pengendapan yang terjadi

Catat ketinggian slurry setiap 3 menit sekali sampai ketinggiannya


konstan (tidak berubah)

Setelah ketinggian konstan buang air yang ada di gelas ukur, dan ambil
endapannya

Masukan endapan slurry kedalam botol piknometer

Timbang massa slurry di dalam piknometer


15
Ulangi langkah-langkah diatas dengan berat CaCO3 yang berbeda
yaitu 120 gram dan 100 gram

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Adapun data hasil percobaan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :

a. Data percobaan 1 dengan konsentrasi CaCO3 140 g/l


Volume air = 1 liter
Massa CaCO3 = 140 g/l
Massa piknometer = 31,12 g
Volume piknometer = 50 ml
Massa padatan terendapkan + massa piknometer = 105,73 g
Densitas padatan terendapkan = 1,49 g/ml

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm)
No pengendapan
(sekon) (konsentrasi CaCO3 140
16
g/l)
1 0 31,7
2 180 29,7
3 360 28,4
4 540 26,9
5 720 25,4
6 900 24,1
7 1080 22,9
8 1260 21,6
9 1440 20,5
10 1620 19,3
11 1800 18,2
12 1980 17,1
13 2160 16,1
14 2340 15,1
15 2520 14,2
16 2700 13,6
17 2880 13,1
18 3060 12,6
19 3240 11,9
20 3420 11,4
21 3600 11,0
22 3780 10,5
23 3960 10,0
24 4140 9,7
25 4320 9,3
26 4500 9,0
27 4680 8,6
28 4860 8,2
29 5040 7,9
30 5220 7,6
31 5400 7,2
32 5580 6,9
33 5760 6,7
34 5940 6,5
35 6120 6,4
36 6300 6,3
37 6480 6,2
38 6660 6,1
39 6840 6,1
40 7020 6,1
41 7200 6,1

17
b. Data percobaan 2 dengan konsentrasi CaCO3 120 g/l
Volume air = 1 liter
Massa CaCO3 = 120 g/l
Massa piknometer = 31,12 g
Volume piknometer = 50 ml
Massa padatan terendapkan + massa piknometer = 99,59 g
Densitas padatan terendapkan = 1,37 g/ml

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm)
pengendapan
No
(konsentrasi CaCO3 120
(sekon)
g/l)
1 0 31,5
2 180 29,5
3 360 27,5
4 540 26,0
5 720 24,2
6 900 22,6
7 1080 21,0
8 1260 19,4
9 1440 17,9
10 1620 16,4
11 1800 14,9
12 1980 13,5
13 2160 12,4
14 2340 11,5
15 2520 10,7
16 2700 10,0
17 2880 9,4
18 3060 8,8
19 3240 8,3
20 3420 7,8
21 3600 7,4
22 3780 7,0
23 3960 6,6
24 4140 6,2
25 4320 5,9
26 4500 5,6
27 4680 5,5
28 4860 5,4
29 5040 5,4

18
30 5220 5,3
31 5400 5,3
32 5580 5,2
33 5760 5,2
34 5940 5,2

c. Data percobaan 3 dengan konsentrasi CaCO3 100 g/l


Volume air = 1 liter
Massa CaCO3 = 100 g/l
Massa piknometer = 31,12 g
Volume piknometer = 50 ml
Massa padatan terendapkan + massa piknometer = 98,32 g
Densitas padatan terendapkan = 1,34 g/ml

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm)
pengendapan
No
(konsentrasi CaCO3 100
(sekon)
g/l)
1 0 31,4
2 180 28,7
3 360 25,9
4 540 23,3
5 720 20,8
6 900 18,2
7 1080 15,6
8 1260 13,6
9 1440 11,5
10 1620 10,2
11 1800 9,3
12 1980 8,1
13 2160 7,5
14 2340 6,9
15 2520 6,3
16 2700 5,8
17 2880 5,4
18 3060 5,0
19 3240 4,7
20 3420 4,6

19
21 3600 4,5
22 3780 4,4
23 3960 4,3
24 4140 4,3
25 4320 4,3

4.2 Hasil Perhitungan


a. Untuk Konsentrasi 140 g/L

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm) Vl
pengendapan
No (cm/menit Zi (cm) Cl (g/l)
(konsentrasi CaCO3 140
(menit) )
g/l)
1 0 31,7 0,000000 31,700000 140,000000
2 3 29,7 0,011111 29,733333 149,260090
3 6 28,4 0,009167 28,455000 155,965560
4 9 26,9 0,008889 26,980000 164,492216
5 12 25,4 0,008750 25,505000 174,005097
6 15 24,1 0,008444 24,226667 183,186571
7 18 22,9 0,008148 23,046667 192,565809
8 21 21,6 0,008016 21,768333 203,874129
9 24 20,5 0,007778 20,686667 214,534322
10 27 19,3 0,007654 19,506667 227,511962
11 30 18,2 0,007500 18,425000 240,868385
12 33 17,1 0,007374 17,343333 255,890832
13 36 16,1 0,007222 16,360000 271,271394
14 39 15,1 0,007094 15,376667 288,619120
15 42 14,2 0,006944 14,491667 306,244968
16 45 13,6 0,006704 13,901667 319,242297
17 48 13,1 0,006458 13,410000 330,947054
18 51 12,6 0,006242 12,918333 343,542769
19 54 11,9 0,006111 12,230000 362,878168
20 57 11,4 0,005936 11,738333 378,077524
21 60 11 0,005750 11,345000 391,185544
22 63 10,5 0,005608 10,853333 408,906634
23 66 10 0,005480 10,361667 428,309474
24 69 9,7 0,005314 10,066667 440,860927
25 72 9,3 0,005185 9,673333 458,787043
26 75 9 0,005044 9,378333 473,218411
27 78 8,6 0,004936 8,985000 493,934335
28 81 8,2 0,004835 8,591667 516,547042
20
29 84 7,9 0,004722 8,296667 534,913620
30 87 7,6 0,004617 8,001667 554,634451
31 90 7,2 0,004537 7,608333 583,307777
32 93 6,9 0,004444 7,313333 606,836828
33 96 6,7 0,004340 7,116667 623,606557
34 99 6,5 0,004242 6,920000 641,329480
35 102 6,4 0,004134 6,821667 650,574151
36 105 6,3 0,004032 6,723333 660,089241
37 108 6,2 0,003935 6,625000 669,886792
38 111 6,1 0,003844 6,526667 679,979571
39 114 6,1 0,003743 6,526667 679,979571
40 117 8,1 0,003362 8,493333 522,527473
41 120 6,1 0,003556 6,526667 679,979571

b. Untuk Konsentrasi 120 g/L

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm) Vl
pengendapan
No (cm/menit Zi (cm) Cl (g/l)
(konsentrasi CaCO3 120
(menit) )
g/l)
1 0 31,5 0,000000 31,500000 120,000000
2 3 29,5 0,011111 29,533333 127,990971
3 6 27,5 0,011111 27,566667 137,122128
4 9 26 0,010185 26,091667 144,873842
5 12 24,2 0,010139 24,321667 155,416981
6 15 22,6 0,009889 22,748333 166,166019
7 18 21 0,009722 21,175000 178,512397
8 21 19,4 0,009603 19,601667 192,840745
9 24 17,9 0,009444 18,126667 208,532549
10 27 16,4 0,009321 16,651667 227,004304
11 30 14,9 0,009222 15,176667 249,066550
12 33 13,5 0,009091 13,800000 273,913043
13 36 12,4 0,008843 12,718333 297,208754
14 39 11,5 0,008547 11,833333 319,436620
15 42 10,7 0,008254 11,046667 342,184671
16 45 10 0,007963 10,358333 364,923572
17 48 9,4 0,007674 9,768333 386,964682
18 51 8,8 0,007418 9,178333 411,839477
19 54 8,3 0,007160 8,686667 435,149655
20 57 7,8 0,006930 8,195000 461,256864
21 60 7,4 0,006694 7,801667 484,511856
22 63 7 0,006481 7,408333 510,236220
23 66 6,6 0,006288 7,015000 538,845331
21
24 69 6,2 0,006111 6,621667 570,853260
25 72 5,9 0,005926 6,326667 597,471022
26 75 5,6 0,005756 6,031667 626,692456
27 78 5,5 0,005556 5,933333 637,078652
28 81 5,4 0,005370 5,835000 647,814910
29 84 5,4 0,005179 5,835000 647,814910
30 87 5,3 0,005019 5,736667 658,919233
31 90 5,3 0,004852 5,736667 658,919233
32 93 5,2 0,004713 5,638333 670,410878
33 96 5,2 0,004566 5,638333 670,410878
34 99 5,2 0,004428 5,638333 670,410878

c. Untuk Konsentrasi 100 g/L

Ө waktu
Ketinggian padatan (cm) Vl
pengendapan
No (cm/menit Zi (cm) Cl (g/l)
(konsentrasi CaCO3 100
(sekon) )
g/l)
1 0 31,4 0,000000 31,400000 100,000000
2 3 28,7 0,015000 28,745000 109,236389
3 6 25,9 0,015278 25,991667 120,807951
4 9 23,3 0,015000 23,435000 133,987625
5 12 20,8 0,014722 20,976667 149,690132
6 15 18,2 0,014667 18,420000 170,466884
7 18 15,6 0,014630 15,863333 197,940744
8 21 13,6 0,014127 13,896667 225,953466
9 24 11,5 0,013819 11,831667 265,389491
10 27 10,2 0,013086 10,553333 297,536323
11 30 9,3 0,012278 9,668333 324,771591
12 33 8,1 0,011768 8,488333 369,919497
13 36 7,5 0,011065 7,898333 397,552226
14 39 6,9 0,010470 7,308333 429,646522
15 42 6,3 0,009960 6,718333 467,377822
16 45 5,8 0,009481 6,226667 504,282655
17 48 5,4 0,009028 5,833333 538,285714
18 51 5 0,008627 5,440000 577,205882
19 54 4,7 0,008241 5,145000 610,301263
20 57 4,6 0,007836 5,046667 622,192867
21 60 4,5 0,007472 4,948333 634,557090
22 63 4,4 0,007143 4,850000 647,422680
23 66 4,3 0,006843 4,751667 660,820765
24 69 4,3 0,006546 4,751667 660,820765
25 72 4,3 0,006273 4,751667 660,820765
22
4.3 Pembahasan

Sedimentasi adalah proses pemisahan atau pengendapan partikel-partikel


padatan didalam fluida secara gravitasi, sehingga diperoleh cairan beningan dan
sludge (slurry yang pekat konsentrasinya). Slurry adalah campuran antara padatan
dengan zat cair yang berbentuk lumpur. Proses sedimentasi sendiri hanya dapat
dilakukan untuk sistem koloid dan suspensi, sedangkan pada sistem larutan tidak
dapat dipisahkan dengan cara sedimentasi karena partikel pada larutan sangat
kecil dan homogen, sehingga partikel tidak mampu mengendap. Jika partikelnya
berbentuk koloid maka perlu adanya koagulan dan flokulan yang harus
ditambahkan, karena partikel-partikel koloid yang memiliki ukuran sangat kecil
memiliki muatan negatif, interaksi antar partikel saling tolak-menolak karena
memiliki muatan yang sama sehingga partikel koloid menyebar, maka dengan
penambahan senyawa koagulan dan flokulan ion flokulan yang ditambahkan akan
melepaskan (discharge) ion positif yang dapat mengikat partikel-partikel koloid
sehingga membentuk gumpalan yang lebih besar, dengan demikian proses
sedimentasi akan terjadi dengan cepat.
Pada pelaksanaan praktikum yang telah kami lakukan, kami melakukan 3
kali percobaan dengan konsentrasi CaCO3 yang divariasikan, yaitu 140 g/l, 120
g/l, dan 100 g/l. CaCO3 terlebih dahulu ditimbang sesuai dengan konsentrasi yang
ditentukan tadi, kemudian dilarutkan dengan menggunakan 1 liter air didalam
bekker glass berukuran 5000 ml, lalu diaduk hingga CaCO3 bercampur secara
merata dengan air. Setelah itu masukan slurry yang telah dihomogenkan tadi
kedalam gelas ukur. Kemudian amati proses pengendapan yang terjadi dan catat
tinggi slurry setiap 3 menit sekali, lakukan terus sampai diperoleh ketinggian
slurry konstan. Setelah itu ukur massa jenis slurry yang terendap tadi dengan
menggunakan piknometer. Ulangi percobaan tersebut sesuai dengan variasi
konsentrasi yang telah ditentukan.
Dari percobaan yang telah dilakukan, kecepatan pengendapan atau
sedimentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu : konsentrasi

23
slurry, massa jenis slurry, massa jenis fluida, viskositas fluida, dimensi tangki
pengendapan, waktu tinggal padatan, dan lain-lain. Hubungan antara Zl
(ketinggian fluida) vs Ө (Waktu dalam menit) dan hubungan antara Cl (g/L) vs Vl
(cm/menit) dari percobaan yang telah kami lakukan dengan konsentrasi CaCO 3
yang divariasikan ditunjukan dalam grafik sebagai berikut :

Dari grafik terlihat bahwa ketinggian padatan menurun seiring dengan


bertambahnya waktu yang digunakan untuk proses sedimentasi dan pada waktu
tertentu akan konstan tidak mengalami penurunan lagi dikarenakan slug hasil
sedimentasi sudah mengendap semua dibagian bawah. Sedangkan kecepatan
sedimentasi semakin menurun seiring dengan konsentrasi CaCO3 pada slug yang
24
bertambah, hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi yang semakin tinggi
partikel-partikel padatan CaCO3 akan semakin sering bertabrakan antara satu
partikel dengan partikel lain sehingga menyebabkan semakin menurunnya
kecepatan sedimentasi yang terjadi yang mengakibatkan semakin lama waktu
yang dibutuhkan untuk mengendap.

Dari hasil pengamatan yang kami lakukanpun didapatkan bahwa, jika


konsentrasi dan massa jenis slurry semakin besar maka jumlah partikel yang ada
pada slurry akan semakin banyak dan waktu yang dibutuhkan dalam proses
sedimentasi semakin lambat, dan jika viskositas atau kekentalan zat cair semakin
tinggi partikel-partikel yang akan mengendap sulit bergerak karena kerapatan
molekul zat cair yang sangat rapat sehingga menyebabkan proses sedimentasi
akan semakin lambat. Selain itu dimensi tangki dan waktu tinggal padatan pun
berpengaruh terhadap kecepatan pengendapan, semakin dalam tangki sedimentasi
maka waktu yang dibutuhkan untuk pengendapan pun semakin lama, hal tersebut
disebabkan karena jarak partikel-pertikel yang akan mengendap terhadap dasar
tangki semakin jauh yang menyebabkan partikel akan semakin lama mengendap
didasar tangki.

Gambar 2. Mekanisme Proses Sedimentasi

Keterangan :
A = Zona discrete settling
B = Zona free settling
C = Zona hindered settling
D = Zona compression settling

25
Pada proses sedimentasi, mekanismenya yaitu mula-mula partikel
mempunyai konsentrasi seragam akan mengendap secara free settling (bebas)
dalam suatu slurry pada zona B dimana partikel padatan bergerak turun hanya
karena gaya gravitasi secara individual dan tidak ada interaksi antar-partikel.
Kemudian partikel-partikel yang berada pada zona B akan mengendap dengan
kecepatan pengendapan yang konstan. Kecepatan yang konstan ini disebabkan
oleh konsentrasi di lapisan batas yang relatif masih kecil, sehingga pengaruh gaya
tarik-menarik antar partikel, gaya gesek dan gaya tumbukan antar partikel dapat
diabaikan. Partikel yang berukuran besar akan turun lebih cepat, menyebabkan
tekanan ke atas oleh cairan bertambah, sehingga mengurangi kecepatan turunnya
padatan yang lebih besar. Hal ini membuat kecepatan penurunan semua partikel
(baik yang kecil maupun yang besar) relatif sama atau konstan. Semakin banyak
partikel yang mengendap, konsentrasi menjadi tidak seragam diikuti bagian bawah
slurry menjadi lebih pekat. Konsentrasi pada bagian batas bertambah, gerak
partikel semakin sukar dan kecepatan turunnya partikel berkurang, kondisi ini
disebut hindered settling yaitu terdapat pada zona C. Pada zona C terjadi interaksi
antar-partikel dimana kecepatan jatuhnya partikel akan semakin menurun.
Dikarenakan adanya gaya friksi yang bekerja antara partikel satu dengan yang
lainnya. Pada waktu yang bersamaan mulai terbentuk zona A yang bebas padatan
dan zona D yang banyak mengandung padatan. Kemudian pada zona D
(compression settling) terjadi pemampatan partikel (kompresi) yang telah
mengendap yang terjadi karena berat partikel. Proses sedimentasi terus
berlangsung hingga pada akhirnya semua patikel mengendap dan hanya ada zona
akhir, yaitu zona A yang bebas partikel dan zona D dengan slurry yang pekat
konsentrasinya. Keadaan dimana tepat terjadinya dua zona akhir yaitu A dan D di
sebut critical point yaitu saat terbentuknya batas tunggal antara cairan bening dan
endapan. Selama proses sedimentasi berlangsung ketinggian interface zona akan
berubah-ubah, dimana zona A dan D akan bertambah seiring bertambahnya
waktu, sementara zona B dan C akan semakin berkurang dan kemudian
menghilang. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel yang bergerak di dalam fluida
adalah gaya dorong ke atas, gaya gravitasi, dan gaya gesek antar partikel padat
dengan fluida. Ketiga gaya tersebut mempengaruhi waktu pengendapan.

26
Nilai ketinggian yang kami dapatkan sewaktu percobaan terdapat
perbedaan antara konsentrasi yang satu dengan yang lain dengan volume yang
sama, hal tersebut mungkin dikarenakan kurang ketelitian kami dalam mengukur
ketinggian padatan yang mengendap, selain itu bentuk gelas ukur yang kami
gunakan pada praktikum yang telah kami laksanakan terdapat perbedaan antara
yang satu dengan yang lain, dimana pada salah satu gelas ukur yaitu gelas ukur
yang digunakan pada konsentrasi 140 g/l, pada dasar gelas ukur tidak rata tetapi
miring, hal tersebutlah yang membuat kurangnya ketelitian dalam mengukur
ketinggian padatan yang terendapkan.
Konsentrasi dari slurry sangat menentukan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk proses pengendapan, hal tersebut terlihat dari percobaan kami
dimana zat kapur dengan konsentrasi yang lebih tinggi memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mengendap, karena semakin besar konsentrasi slurry maka jarak
antar partikel padatan pada slurry semakin kecil, akibatnya gaya gesek antar
partikel semakin besar, sehingga memperlambat kecepatan partikel turun ke
bawah.
Kecepatan pengendapan yang terjadi disetiap titik, seiring dengan
bertambahnya waktu menunjukan hasil yang cenderung berkurang atau melambat,
hal tersebut dikarenakan dengan bertambahnya waktu partikel-partikel padatan
yang mengendap tidak hanya dipengaruhi gaya gravitasi bumi, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh gaya gesek dari partikel-partikel itu sendiri yang menyebabkan
hambatan partikel untuk melakukan pengendapan semakin besar dan pada
akhirnya kecepatan pengendapanpun menjadi berkurang.

27
BAB III
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari hasil percobaan ini adalah sebagai
berikut
1. kecepatan pengendapan atau sedimentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu : konsentrasi slurry, bentuk partikel padatan, massa jenis
slurry, massa jenis fluida, viskositas fluida, dimensi tangki pengendapan,
dan waktu tinggal padatan.
2. Pada partikel koloid perlu ditambahkan senyawa koagulan dan flokulan
agar ukuran partikel membentuk gumpalan yang lebih besar, sehingga
proses sedimentasi lebih cepat berlangsung
3. Pada awal proses sedimentasi, yaitu pada ke adaan free settling kecepatan
pengendapan tinggi, hal ini disebabkan oleh konsentrasi di lapisan batas
yang relatif masih kecil, sehingga pengaruh gaya tarik-menarik antar
partikel, gaya gesek dan gaya tumbukan antar partikel dapat diabaikan

28
4. Semakin besar konsentrasi waktu pengendapan menjadi lebih lama, karena
semakin besar konsentrasi slurry maka jarak antar partikel padatan pada
slurry semakin kecil, akibatnya gaya gesek antar partikel semakin besar,
sehingga memperlambat kecepatan partikel turun ke bawah.

DAFTAR PUSTAKA

Foust, A.S.1980. Principles of Unit Operation 2nd edition. New York :John Willey
and Sons Inc.

Geankoplis,C.J. 1993. Transport Process and Unit Operations 3nd edition.


Singapore : Allyn and Bacon inc.

Mc.Cabe, and Smith.1993.Unit Operation of Chemical Engineering. New York:


Mc.Graw Hill Book,inc.

Tim instruktur Laboratorium OTK. Penuntun Praktikum Intruksional I.Lampung :


Universitas Lampung

29
LAMPIRAN
30
LAMPIRAN PERHITUNGAN

Untuk menghitung nilai Vl bisa dengan cara mengeplotkan data antara Zl


(ketinggian slurry) dengan Өl (waktu pengendapan slurry) atau dengan
menggunakan persamaan yaitu :

Hi− Hl
Vl = .
tl

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh data ketinggian slurry


setiap 3 menit sekali. Sehingga dari data tersebut digunakan untuk mencari nilai
Vl sendiri.

a. Untuk konsentrasi CaCO3 140 g/l


Diketahui :
Co = 140 g/l
Zo = 30,7 cm
misal pada t = 6 menit
31
- Menghitung nilai Vl (kecepatan sedimentasi pada waktu tertentu)

Hi− Hl (30,7 cm −28,4 cm)


Vl = = = 0,009167 cm/sekon
tl 6 x 60 sekon

- Menghitung nilai Zi pada waktu tertentu


Zi = ZL + (vL . θL)
= 28,8 + (0,009167*6))
= 28,455 cm

- Menghitung nilai Cl pada waktu tertentu


Co. Zo
CL =
Zi
140. 31,7
=
28,455
= 155,9655556 g/l

b. Untuk konsentrasi CaCO3 120 g/l


Diketahui :
Co = 120 g/l
Zo = 31,5 cm
misal pada t = 6 menit

- Menghitung nilai Vl (kecepatan sedimentasi pada waktu tertentu)

Hi− Hl (31,5 cm− 27,5 cm)


Vl = = = 0,011111 cm/sekon
tl 6 x 60 sekon

- Menghitung nilai Zi pada waktu tertentu


Zi = ZL + (vL . θL)
= 27,5 + (0,01111*6)

32
= 27,56667 cm

- Menghitung nilai Cl pada waktu tertentu


Co. Zo
CL =
Zi
120 .31,5
=
27,56667
= 137,122128 g/l

c. Untuk konsentrasi CaCO3 100 g/l


Diketahui :
Co = 100 g/l
Zo = 31,4 cm
misal pada t = 6 menit

- Menghitung nilai Vl (kecepatan sedimentasi pada waktu tertentu)

Hi− Hl (31,4 cm−25,9 cm)


Vl = = = 0,015278cm/sekon
tl 6 x 60 sekon

- Menghitung nilai Zi pada waktu tertentu


Zi = ZL + (vL . θL)
= 25,9 + (0,015278*6)
= 25,991667 cm

- Menghitung nilai Cl pada waktu tertentu


Co. Zo
CL =
Zi
100 .31,4
=
25,991667
= 120,807951 g/l

33
LAMPIRAN DOKUMENTASI
NO Gambar Keterangan
1.
Gelas ukur
Digunakan untuk mengukur air yang
digunakan untuk melarutkan slurry

2.
Slurry
Dimana slurry yang digunakan pada
praktikum sedimentasi ini adalah
CaCO3

34
3.
Proses pengukuran slurry

4.
Beaker Glass
Digunakan sebagai wadah pengadukan
slurry dengan 1000ml air

5.
Pengaduk

6.
Stopwatch
Digunakan untuk menghitung waktu
pengendapan

7.
Proses Sedimentasi

8.
Piknometer
Digunakan untuk menghitung densitas
dari slurry
35
ALIRAN FLUIDA
(Laporan Akhir Praktikum Operasi Teknik Kimia I)

Oleh

1. Aris Setiawan (1415041007)

2. Nina Boenga (1415041040)

3. Sabdo Agung Darmawan (1415041055)

4. Siska Oktorina Simbolon (1415041057)

36
Laboratorium Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Bandar Lampung

2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fluida adalah zat yang tidak dapat menahan perubahan bentuk secara
permanen. Perilaku zat cair yang mengalir sangat bergantung pada kenyataan
apakah fluida itu berada di bawah pengaruhbidang batas padat atau tidak. Aliran
dalam pipa  telah banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
proses–proses industri. Dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut dapat dilihat
pada aliran di saluran pembuangan, aliran semen dan pasir di pipa dan lain-lain.
Cara memindahkan zat–zat tersebut dalam industri banyak macamnya. Pada aliran

37
air dan udara yang mengalir dalam pipa, kecepatan dan kapasitasnya dapat
berubah–ubah. (Warren L. Mc Cabe,Julian C.Smith,Peter Harriout.1986)

Dunia industri banyak sekali menggunakan pipa dalam pendistribusian


fluida cair dalam melakukan proses produksi. Oleh karena itu efesiensi
pendistribusian dalam industri harus diperhatikan. Dengan efesiensi yang baik,
maka biaya produksi dapat ditekan sehingga harga jual produk atau barang
tersebut lebih kompetitif. Dalam berbagai industri sebagian besar fluidanya
mengalir pada pipa–pipa saluran tertutup (closed conduit flow). Masalah utama
yang muncul antara lain: Terjadinya gesekan pada dinding pipa, Terjadinya
turbulensi karena gerakan relative dalam molekul fluida yang  dipengaruhi oleh
viskositas fluida itu sendiri dan bentuk pipa,Terjadinya kapasitas aliran yang
semakin kecil pada daerah yang jauh dari sumber karena hambatan gesek pada
aliran yang semakin membesar.

Pengukuran laju aliran fluida adalah salah satu yang terpenting dalam
proses flow control. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui berapa kapasitas
fluida yang dialirkan untuk mendapatkan harga pengukurannya (measurement
variable). ( Soetedjo.1986)

1.2 Tujuan Praktikum

Adapun Tujuan dari praktikum Aliran Fluida ini adalah untuk


menentukan:

1. Karakteristik alat ukur laju alir (Venturimeter dan Orifficemeter)


2. Karakteristik pada sistem perpipaan (pipa dan gate valve)
3. Hilang tekan akibat gesekan antara fluida dengan alat transportasi
4. Jenis aliran dalam pipa berdasarkan bilangan Reynold
5. Koefisien gesekan

38
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fluida


Aliran fluida atau zat cair (termasuk uap air dan gas) dibedakan dari benda
padat karena kemampuannya untuk mengalir. Fluida lebih mudah mengalir
karena ikatan molekul dalam fluida jauh lebih kecil dari ikatan molekul dalam zat
padat, akibatnya fluida mempunyai hambatan yang relatif kecil pada perubahan
bentuk karena gesekan. Zat padat mempertahankan suatu bentuk dan ukuran yang
39
tetap, sekalipun suatu gaya yang besar diberikan pada zat padat tersebut, zat padat
tidak mudah berubah bentuk maupun volumenya, sedangkan zat cair dan gas, zat
cair tidak mempertahankan bentuk yang tetap, zat cair mengikuti bentuk
wadahnya dan volumenya dapat diubah hanya jika diberikan padanya gaya yang
sangat besar.

Gas tidak mempunyai bentuk maupun volume yang tetap,gas


akan berkembang mengisi seluruh wadah. Karena fase cair dan gas tidak
mempertahankan suatu bentuk yang tetap, keduanya mempunyai kemampuan
untuk mengalir. Dengan demikian kedua – duanya sering secara kolektif disebut
sebagai fluida (Olson, 1990).

2.2 Sifat-Sifat Fluida


Untuk mengerti aliran fluida maka harus mengetahui beberapa sifat
dasar fluida. Adapun sifat – sifat dasar fluida yaitu: kerapatan (density) ρ,
(specific gravity) (s.g), tekanan (pressure) P, kekentalan (viscosity) µ.

1. Kerapatan (Density)
Kerapatan (density) ρ suatu zat adalah ukuran untuk konsentrasi zat
tersebut dan dinyatakan dalam massa per satuan volume. Sifat ini ditentukan
dengan cara menghitung perbandingan massa zat yang terkandung dalam
suatu bagian tertentu terhadap volume bagian tersebut.

m
ρ=
v
3
Dimana: v = volume fluida (m )
m = massa fluida (kg)
3
ρ = rapat massa (kg/m )
Volume jenis (v) adalah volume yang ditempati oleh sebuah satuan massa
zat dan karena itu merupakan kebalikan dari kerapatan:

1
v=
ρ

40
berat jenis γ adalah gaya gravitasi terhadap massa yang terkandung
dalam sebuah satuan volume zat, maka:

γ = ρ.g
Dimana: ρ = rapat massa (kg/m3)
2
g = p e r c e p a t a n g r a v i t a s i ( 9 , 8 1 m/s )

Spesific grafity (s.g) adalah sifat yang digunakan untuk


memperbandingkan kerapatan suatu zat dengan kerapatan air. Karena kerapatan
semua zat cair bergantung pada temperatur serta tekanan, maka temperatur zat
cair yang dipertanyakan, serta temperatur air yang dijadikan acuan, harus
dinyatakan untuk mendapatkan harga-harga gravitasi jenis yang tepat (Olson,
1990).

ρ
s . g=
ρw
Dimana: s.g = spesifik grafity
3
ρ = rapat massa (kg/m )

3
ρw = kerapatan air (kg/m )

2. Laju Aliran Massa


Laju aliran massa yang mengalir dapat diketahui dengan persamaan
dibawah ini:

V .A
m=
v

Dimana: ṁ = laju aliran massa (kg/s)

V = kecepatan aliran fluida (m/s)

3
v = volume jenis (m /kg)
41
2
A = luas penampang pipa (m )

Laju aliran adalah volume fluida yang dikeluarkan tiap detiknya. Laju
aliran dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut:

Q=V.A

Dimana: Q = debit aliran


3
(m /s)
V = kecepatan

aliran (m/s) A =

Luas Penampang

2
(m ) D = diameter

pipa (m)

laju aliran melalui A1 dan A2 harus sama, dengan


demikian:
ρ1 . A1 . V1 = ρ2 .
A2. V2

disebut persamaan kontinuitas. Jika ρ1 = ρ2, maka persamaan


kontinuitas menjadi:

A1 . V1 = A2 . V2

42
Gambar 1.
Kontinuitas.

3. Viskositas

Viskositas adalah ukuran ketahanan sebuah fluida terhadap deformasi atau


perubahan-perubahan bentuk. Viskositas zat cair cenderung menurun dengan
seiring bertambahnya kenaikan temperatur, hal ini disebabkan gaya-gaya kohesi
pada zat cair bila dipanaskan akan mengalami penurunan dengan semakin
bertambahnya temperatur pada zat cair yang menyebabkan berturunnya viskositas
dari zat cair tersebut. Viskositas dibagi menjadi dua yaitu :

a. Viskositas dinamik atau viskositas mutlak atau absolute


viscosity.

Viskositas dinamik adalah sifat fluida yang menghubungkan

tegangan geser dengan gerakan fluida. Viskositas dinamik

tampaknya sama dengan ratio tegangan geser terhadap gradien

kecepatan.
r
μ=
du / dy

Dimana: µ = viskositas dinamik (kg/m.s)


2
τ = tegangan geser (N/m )

du /dy = gradien kecepatan ((m/s)/m)

43
b. Viskositas kinematik

Viskositas kinematik adalah perbandingan antara viskositas

dinamik dengan kerapatan fluida.


μ
υ=
ρ
2
Dimana: υ = viskositas kinematik (m /s)
µ = viskositas dinamik (kg/m.s)
3
ρ = kerapatan fluida (kg/m )

2.3 SALURAN TAK BUNDAR


Banyak saluran yang dibuat untuk memindahkan fluida berpenampang
tidak bundar. Detil aliran pada saluran berpenampang persegi tergantung pada
bentuk penampang yang sebenarnya dan banyak hasil dari pipa bundar dapat
diterapkan pada aliran di dalam saluran dengan bentuk-bentuk yang lain.

Gambar 2. Penampang diameter hidrolik, Dh


(Fauzan,2008).
Tanpa mempedulikan bentuk penampangnya, digunakanlah pendekatan
diameter hidrolik untuk mengetahui diameter penampang selain bundar. Diameter

44
hidrolik adalah empat kali rasio dari luas penampang aliran dibagi dengan keliling
terbasahi (P) dari pipa. Diameter hidrolik mewakili suatu panjang karakteristik
yang mendefinisikan ukuran sebuah penampang dari bentuk yang ditentukan.
Faktor 4 ditambahkan dalam definisi Dh. Sehingga diameter hidrolik pipa
berpenampang persegi sama dengan diameter pipa berpenampang bundar.
Diameter hidrolik dapat didefinisikan sebagai (Fox dan Mc. Donald,1995):

Dimana:

Dh = diameter hidrolik

D = diameter
A = luas penampang
P = keliling basah

2.4 Aliran Fluida


1. Klasifikasi aliran
Secara garis besar jenis aliran dapat dibedakan atau dikelompokkan
sebagai berikut (Olson, 1990):

a) Aliran Tunak (steady)


Suatu aliran dimana kecepatannya tidak terpengaruh oleh

perubahan waktu sehingga kecepatan konstan pada setiap

titik (tidak mempunyai percepatan).

b) Aliran Tidak Tunak (unsteady)


Suatu aliran dimana terjadi perubahan kecepatan terhadap
waktu.

2. Tipe-tipe aliran

45
Bilangan Reynolds merupakan bilangan yang tak berdimensi

yang dapat membedakan suatu aliran dinamakan laminer, transisi

dan turbulen.
V Dp
ℜ=
μ
Dimana: V = kecepatan fluida (m/s)

D = diameter dalam pipa (m)


3
ρ = rapat massa fluida (kg/m )
2
µ = viskositas dinamik fluida (kg/ms) atau (N.s/m )
a)

a) Aliran Laminar

Aliran laminar didefinisikan sebagai aliran dengan fluida

yang bergerak dalam lapisan–lapisan atau lamina–lamina

dengan satu lapisan meluncur secara lancar. Aliran laminar ini

mempunyai nilai bilangan Reynoldsnya kurang dari 2300 (Re

< 2300).

Gambar 3. Aliran Laminar

46
b) Aliran transisi merupakan aliran peralihan dari aliran

laminer ke aliran turbulen. Keadaan peralihan ini

tergantung pada viskositas fluida, kecepatan dan lain-lain

yang menyangkut geometri aliran dimana nilai bilangan

Reynoldsnya antara 2300 sampai dengan 4000

(2300<Re<4000) .

Gambar 4. Aliran

Transisi c) Aliran Turbulen

Aliran turbulen didefinisikan sebagai aliran yang dimana

pergerakan dari partikel-partikel fluida sangat tidak menentu

karena mengalami percampuran serta putaran partikel

antar lapisan, yang

mengakibatkan saling tukar momentum dari satu bagian

fluida ke bagian fluida yang lain dalam skala yang besar.

Dimana nilai bilangan Renoldsnya lebih besar dari 4000

(Re>4000).

47
Gambar 5. Aliran
Turbulen.

2.5 Persamaan Bernoulli


Persamaan Bernouli ideal adalah alirannya konstan sepanjang lintasan
dan mengabaikan segala kerugian yang terjadi dalam lintasan fluida.

Gambar 7. Persamaan
Bernoulli

Persamaan untuk dua titik pada suatu garis aliran adalah:

Namun kenyataannya pada siring atau lintasan fluida terjadi


kerugian gesekan. hL adalah kerugian gesek didalam saluran.
48
2.6 Tekanan Statik, Tekanan Stagnasi dan Tekanan Dinamik
Tekanan statik atau tekanan thermodinamika pada persamaan
Bernoulli adalah tekanan fluida yang diukur oleh alat yang bergerak bersama
dengan fluida. Kondisi ini sangat sulit diwujudkan, namun dengan kenyataan
bahwa tidak ada variasi tekanan pada arah penampang tegak lurus aliran, maka
tekanan statik dapat diukur dengan membuat lubang kecil pada dinding aliran
sedemikian rupa sehingga sumbunya tegak lurus dinding aliran (wall pressure
tap). Cara lain adalah dengan memasang probe atau tabung pitot pada aliran
fluida jauh dari dinding aliran Gambar 6. Pengukuran tekanan statis dilakukan
oleh lubang kecil di bagian bawah dinding tabung.

Gambar 6. Pengukuran tekanan. (A). Tekanan dinamik,(B)


Tekanan statik. (Fox dan Mc. Donald,1995)

Tekanan Stagnasi adalah tekanan fluida yang diukur pada aliran fluida
yang diperlambat sampai diam, V = 0 dengan kondisi aliran tanpa gesekan.
Pengukuran tekanan stagnasi pada tabung pitot diukur oleh lubang kecil di mulut
tabung yang akan tepat tegak lurus terhadap garis arus dari aliran. Untuk
aliran tak mampu mampat dapat diterapkan persamaan Bernoulli pada kondisi
tanpa perubahan ketinggian. Jika P adalah tekanan statik pada penampang
dengan kecepatan fluida adalah V dan Po adalah tekanan stagnasi dimana
kecepatan stagnasi aliran fluida Vo adalah 0, maka dapat dihitung:

v2
Po=P+ ρ
2

49
2
Suku kedua, ρ V /2 adalah tekanan dinamik yaitu tekanan akibat
kecepatan fluida, yakni selisih antara tekanan statik dengan tekanan stagnasi.
maka pengukuran tekanan statis dan tekanan stagnasi dengan tabung pitot
dapat juga sekaligus mengukur tekanan dinamisnya. Penerapan yang lain dari
persamaan ini adalah perubahan tekanan dinamis menjadi kecepatan fluida
dengan kondisi aliran tak mampu mampat. Dengan demikian tabung pitot dapat
juga dipergunakan sebagai alat ukur kapasitas aliran.

2.7 Kerugian Tekanan Aliran Dalam Pipa (Head Loss)

Head loss (HL) merupakan suatu kerugian yang dialami aliran fluida
selama mengalir dimana kerugian itu tergantung pada geometri penampang
saluran dan parameter-parameter fluida serta aliran itu sendiri. Kerugian tinggi
tekan (head loss) dapat dibedakan atas kerugian gesekan dalam saluran (major
loss) dan (minor loses).

1. Kerugian Mayor (mayor


losses)
Kerugian dalam pipa atau mayor losses merupakan kerugian yang

disebabkan oleh gesekan aliran dengan pipa sepanjang lintasan.

Kerugian gesekan untuk perhitungan aliran didalam pipa pada

umumnya dipakai persamaan (Fox dan Mc. Donald,1995)

50
Dimana: hL = kerugian gesek
dalam pipa (m)
f = Faktor gesekan
L = jarak pressure tube (m)
D = diameter dalam pipa (m)
V = kecepatan aliran fluida (m/s)
2
g = percepatan gravitasi (m/s )

2. Kerugian Minor (minor losses)


Merupakan kerugian yang akan terjadi apabila ukuran saluran,

bentuk penampang atau aliran berubah. Secara umum

kerugian ini dapat

dihitung dengan persamaan berikut:

v2
ℎ Lminor =k
2.g

Dimana: hL = kerugian gesek dalam


pipa (m)
k = koefisien kerugian
L = panjang (m)
V = kecepatan aliran fluida (m/s)
2
g = percepatan gravitasi (m/s )

2.8 Koefisiensi Gesek (f)


Parameter kekasaran pipa sering dipresentasikan sebagai faktor gesekan
(friction factor). Koefisien gesek dipengaruhi oleh kecepatan, karena
didistribusi kecepatan pada aliran laminar dan aliran turbulen berbeda. Untuk
rumus koefisiensi geseknya ditinjau dengan persamaan:

51
Gambar 8. Diagram Moody (Fox dan Mc. Donald,1995)

Diagram Moody digunakan untuk menunjukkan ketergantungan


fungsional faktor gesekan (f) pada bilangan Reynolds (Re) dan kekasaran relatif
(ε/D). Perlu diperhatikan bahwa nilai ε/D tidak perlu selalu bersesuaian dengan
nilai aktual yang diperoleh melalui suatu penentuan mikroskopik dari ketinggian
rata-rata kekasaran permukaan.

52
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan

Alat alat yang digunakan yaitu:

1. Serangkaian sistem perpipaan lengkap dengan tee,valve dan elbow


2. Satu buah stopwatch
3. Satu buah Gelas ukur
4. Alat tampung air (ember)

Bahan bahan yang digunakan yaitu:

1. Air

Gambar 1. Skema Sistem Perpipaan

3.2 Prosedur Percobaan

53
Menyiapkan alat dan bahan seperti,ember,stopwatch, gelas ukur,dan
tangki yang terisi penuh dengan air

Menunggu air di tangki hingga penuh

Menghidupkan saklar pompa

Menentukan valve yang akan dibuka dan valve yang akan ditutup

Menentukan bukaan valve yang akan dipakai

Memvariasikan bukaan valve untuk 30%, 60% dan 100%

Pada pipa ukuran 1 inch

Menampung air yang keluar dari pipa dengan gelas ukur dan
mencatat waktu yang diperlukan untuk memperoleh volume air
tersebut

Mengamati perubahan delta H untuk masing-masing


bukaan valve

54
Mencatat volume air yang ditampung oleh gelas ukur
dan mencatat waktu yang diperlukan untuk memperoleh
volume air tersebut

Melakukan pengulangan percobaan dengan variasi yang


telah ditentukan

55
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


a. Berdasarkan persamaan dalam buku penuntun praktikum instruksional 1

Tabel 1. Putaran 100 %

No. V (cm3) t (s) Δh (cm) Q (cm3/s) f (gram/cm3)


1 720 16,55 3,5 43,5045317 0,043968833
2 560 12,48 3,5 44,8717949 0,041330156
3 490 10,85 3,5 45,1612903 0,040801981
rata-rata 590 13,2933333 3,5 44,512539 0,041999991

Tabel 2. Putaran 60 %

No. V (cm3) t (s) Δh (cm) Q (cm3/s) f (gram/cm3)


1 650 15,8 3,1 41,1392405 0,04355069
2 610 14,91 3,1 40,9121395 0,044035527
3 680 16,53 3,1 41,1373261 0,043554744
rata-rata 646,666667 15,7466667 3,1 41,062902 0,043712768

Tabel 3. Putaran 30 %

No. V (cm3) t (s) Δh (cm) Q (cm3/s) f (gram/cm3)


1 680 17,61 2,9 38,6144236 0,046242869
2 690 18,36 2,9 37,5816993 0,048819245
3 800 21,61 2,9 37,0198982 0,050312216
rata-rata 723,333333 19,1933333 2,9 37,7386737 0,048413961

b. Berdasarkan persamaan dalam buku Transport Processes and Unit


Operations ( Christie J Geankoplis)

56
Tabel 4. Putaran 100 %

V Δh
No. 3
t (s) Q (cm3/s) v (m/s) Nre f (gram/cm3)
(cm ) (cm)
43,504531 3925,0842
1 720 16,55 3,5 0,222033 0,039973689
7 4
44,871794 4048,4420
2 560 12,48 3,5 0,229011 0,039665643
9 4
45,161290 4074,5610
3 490 10,85 3,5 0,230488 0,039601922
3 2
rata-rata 590 13,2933 3,5 44,512539 0,227177 4016,0291 0,039745436

Tabel 5. Putaran 60 %

Δh
V
No. 3
t (s) (cm Q (cm3/s) v (m/s) Nre f (gram/cm3)
(cm )
)
41,139240 0,20996 3711,6819
1 650 15,8 3,1 0,04053627
5 1 4
40,912139 0,20880 3691,1923 0,04059240
2 610 14,91 3,1
5 2 4 7
41,137326 0,20995 3711,5092 0,04053674
3 680 16,53 3,1
1 1 1 2
646,6 15,746 0,20957 0,04055509
rata-rata 3,1 41,062902 3704,7945
7 7 1 7

Tabel 6. Putaran 30 %

Δh
V
No. t (s) (cm Q (cm3/s) v (m/s) Nre f (gram/cm3)
(cm3)
)
38,614423 0,19707 3483,8868 0,04118323
1 680 17,61 2,9
6 5 4 6
37,581699 0,19180 3390,7119 0,04146328
2 690 18,36 2,9
3 4 6 9
37,019898 0,18893
3 800 21,61 2,9 3340,0249 0,04161971
2 7
rata-rata 723,3 19,193 2,9 37,738673 0,19260 3404,8745 0,04142010

57
3 3 7 6 7 5

4.2 Pembahasan

Fluida adalah zat yang bentuknya dapat berubah secara kontinyu akibat
gaya geser, betapapun kecilnya tegangan geser tersebut. Jadi fluida adalah zat
yang tidak dapat menahan bentuk secara permanen. Contoh dari fluida yaitu zat
cair dan gas. Pada praktikum ini digunakan air sebagai fluida kerja. Fluida
dibedakan atas fluida statis dan fluida dinamis. Fluida setatis adalah fluida dalam
keadaan diam, sedangkan fluida dinamis adalah fluida dalam keadaan bergerak
atau mengalir. Syarat bagi fluida untuk dapat mengalir adalah adanya perbedaan
besar gaya antara dua titik yang dilalui oleh fluida tersebut. Fliuda bergerak dari
tekanan tinggi ke tekanan rendah atau dari gaya yang besar ke gaya yang lebih
kecil. Adapun alat untuk menambahkan tekanan kedalam fluida tersebut yaitu
pompa. Sistematika kerja pompa yaitu: Motor listrik atau penggerak lainnya
memutar poros pompa, pompa tersebut kemudian membawa energi kinetik dan
meneruskannya ke fluida, sehingga tekanan fluida naik dan fluida dapat mengalir.
Dengan demikian bila pada suatu sitem ditambahkan pompa, maka pompa
tersebut akan menambahkan energi ke fluida.

Fluida dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain melalui pipa dan
saluran terbuka. Sistem perpipaan terdiri dari komponen – komponen berupa
valve, tee, elbow, alat ukur (vanturimeter atau orificemeter), dan pipa. Fluida
dapat mengalir dari komponen – komponen tersebut karena adanya gaya dari luar
sistem yang diterimanya yaitu gaya mekanik berupa tekanan. Reaksi terhadap
gaya ini muncul dalam bentuk gerakan dan gesekan antara fluida dengan dinding
pipa dan komponen lain yang dinyatakan dengan faktor gesekan atau koefisien
gesekan, yang dapat menyebabkan kerugian-kerugian seperti kerugian energi dan
tekanan. Perubahan tekanan antara dua titik dalam sistem perpipaan dapat diukur
dengan alat manometer. Distribusi gaya pada fluida mengalir di dalam sistem
perpipaan berpengaruh terhadap laju alir atau kecepatan fluida.

58
Pada benda yang bergerak dapat terjadi gaya gesekan dengan lingkungan
yang dilintasinya. Gaya gesekan adalah gaya yang timbul antara dua permukaan
(misal benda dan lantai) yang saling bersinggungan dan arahnya dan arahnya
selalu berlawanan dengan kecenderungan arah gerak benda, seperti yang
ditunjukkan gambar di bawah ini.

Sehingga besarnya gaya gesek kinetik yang bekerja pada benda bergerak
besarnya tetap dan memenuhi persaman:

fk = µk.N

fk = µk m.g

Sama halnya pada benda yang bergerak pada umumnya, proses aliran air
juga mengalami gaya gesek. Gaya gesek ini terjadi antara aliran air yang bergerak
terhadap dinding pipa, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Besarnya gaya gesek pada air yang mengalir dalam pipa memenuhi
persamaan :

Fs = f . fv

Fs = f . 2πrL . τrx

Fs = f . 2πrL . ΔP .r

2L
59
Fs = f (ΔPπr2)

Fs = f (ΔP.A)

Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa gaya gesek dipengaruhi oleh
besarmya koefisien gesek, besarnya beda tekanan, serta luas penampang pipa
tersebut.

Faktor gesekan (fanning factor) dapat ditentukan dengan menggunakan


rumus sebagai berikut:

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

Dimana : Laju alir (Q) ditentukan dengan persamaan berikut:

V
Q=
t

Dengan adanya gaya gesek ini menyebabkan berkurangnya kecepatan


aliran air dalam pipa. Jadi, kecepatan fluida dari garis pusat pipa menuju dinding
pipa akan semakin berkurang akibat makin besar gaya viskosnya yang
menyebabkan makin besar pula gaya gesek yang terjadi antara aliran air dengan
dinding pipa.

Pada praktikum ini, kami menggunakan pipa berukuran ½ inchi dengan


panjang pipa yang diukur dari N5 (nozzle nomor 5) sampai N7 (nozzle nomor 7),
yaitu 125 cm dan diameter pipa dalamnya adalah 0,622 inchi atau 1,57988 cm.
Praktikum ini kami lakukan dengan bukaan valve yang bervariasi, yaitu bukaan
valve 30%, 60% dan 100%. Bukaan valve yang bervariasi tersebut bertujuan
untuk memvariasikan laju alir fluida yang mengalir. Untuk masing-masing bukaan
valve, dilakukan pengulangan pengukuran sebanyak tiga kali, seperti pengambilan
volume fluida yang mengalir disepanjang pipa pada waktu tertentu dan beda
ketinggian (Δh) yang terukur pada manometer.

60
Dari hasil perhitungan laju alir rata-rata yang terdapat pada lampiran 2,
terlihat bahwa besarnya bukaan valve dapat mempengaruhi besarnya laju alir
fluida yang mengalir. Jika semakin besar bukaan valve yang di lalui fluida, maka
semakin besar pula laju alir yang dihasilkan. Pada bukaan valve 100% laju alir
rata-ratanya adalah 44,512539 cm3/s, pada bukaan 60% laju alir rata-ratanya
adalah 41,062902 cm3/s, sedangkan pada bukaan 30% laju alir rata-ratanya adalah
37,7386737 cm3/s.

Berdasarkan teori, semakin besar bukaan valve akan membuat laju alir
fluida semakin besar, sehingga beda ketinggian fluida yang terukur pada
manometer juga akan semakin besar. Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara laju alir dengan beda ketinggian fluida pada manometer
yang didapatkan sesuai dengan teori yang ada.

Sedangkan hubungan antara laju alir fluida dengan faktor gesekan yaitu
semakin besar laju alir fluida maka faktor gesekan yang ditimbulkan fluida
tersebut akan semakin kecil, hal tersebut terlihat dari data yang kami dapatkan
dalam praktikum yang kemudian digunakan untuk melakukan perhitungan,
misalnya pada bukaan valve 100% laju alir rata-rata fluidanya sebesar 44,512539
cm3/s dengan faktor gesekannya sebesar 0,041999991 gram/cm3, dan untuk
bukaan valve 60 % laju alir rata rata fluidanya sebesar 41,062902 cm 3/s dengan
faktor gesekannya sebesar 0,043712768 gram/cm3, sedangkan pada bukaan valve
40 % laju alir rata-rata nya sebesar 37,7386737 cm 3/s dengan faktor gesekan
sebesar 0,048413961 gram/cm3.

61
BAB V
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Fluida bergerak atau mengalir karena adanya perbedaan besar gaya


(tekanan) antara dua titik yang dijalani oleh fluida tersebut.
2. Laju alir fluida dipengaruhi oleh driving force (tekanan, gaya, dan kerja)
serta hambatan / ressistance (viskositas dan gaya gesek).
3. Bukaan valve akan mempengaruhi besarnya laju alir volumetric (Q),
semakin besar bukaan valve akan membuat laju alir fluida semakin besar,
sehingga beda ketinggian fluida yang terukur pada manometer juga akan
semakin besar, demikian pula sebaliknya.
4. Gaya gesek adalah gaya yang timbul karena dua permukaan (dalam hal ini
fluida dan pipa) yang saling bersinggunuan dan arahnya saling berlawanan
dengan kecenderungan arah gerak benda (fluida).
5. Nilai koefisien gesek dapat ditentukan harganya melalui percobaan.
6. Luas permukaan pipa (bukaan valve) mempengaruhi nilai hambatan dan
laju alir fluida.
7. Dari percobaan kami semakin besar laju alir fluida maka faktor gesekan
yang ditimbulkan fluida tersebut akan semakin kecil, hal tersebut karena
dipengaruhi oleh beda ketinggian fluida yang terukur, dimana pada laju
alir yang besar beda ketinggian fluida pada manometer juga akan semakin
besar

62
DAFTAR PUSTAKA

Geankoplis,C.J. 1993. Transport Process and Unit Operations 3nd edition.


Singapore : Allyn and Bacon inc.

Mc.Cabe, and Smith.1993.Unit Operation of Chemical Engineering. New York:


Mc.Graw Hill Book,inc.

Tim instruktur Laboratorium OTK. Penuntun Praktikum Intruksional I.Lampung :


Universitas Lampung

63
LAMPIRAN

64
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Data-data primer:

Panjang pipa (L) = 125 cm

Diameter dalam pipa untuk ukuran 1 inci (D1) = 0,622 inci = 1,57988 cm

Massa jenis air (ρair) = 1 gram/cm3

Tetapan gravitasi (g) = 980 cm/s2

1
Luas lingkar pipa bagian dalam (A) = π D 21 = 1,959376339
4
cm2

µ (kg/m.s) = 0,0008937

Faktor gesekan (fanning factor) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

Dimana : Laju alir (Q) ditentukan dengan persamaan berikut:

V
Q=
t

2. Data Perhitungan:

Data-data yang diambil selama percobaan berlangsung dan data hasil


perhitungan dengan menggunakan pipa ukuran 1/2 inci dari tiga variasi putaran
valve adalah sebagai berikut:

65
a. Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan
dalam buku Penuntun Praktikum Operasi Teknik Kimia I dengan
putaran valve 100%
1) Perhitungan data pertama
V
Q=
t

720 cm3
¿
16,55 s

= 43,5045317 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 3,5 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,043968833 gram/cm3

2) Perhitungan data kedua


V
Q=
t

560 cm3
¿
12,48 s

= 44,8717949cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 3,5 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,041330156 gram/cm3

66
3) Perhitungan data ketiga
V
Q=
t

490 cm3
¿
10,85 s

= 45,1612903 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 3,5 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,040801981 gram/cm3

Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan


dalam buku Transport Processes and Unit Operations ( Christie J
Geankoplis) dengan putaran valve 100%.

1) Perhitungan data pertama

V = Q/A

= 43,5045317 cm3/s

1,959376339 cm2

= 43,5045317 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,222033 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) (0,222033 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

67
= 3925,08424 Aliran Transisi karena
2100 >NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3925,08424 )1/4

= 0,039973689 (g/cm3)

2) Perhitungan data kedua

V = Q/A

= 44,8717949 cm3/s

1,959376339 cm2

= 44,8717949 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,229011 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) 0,229011 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 4048,44204 Aliran Turbulen karena


NRe > 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(4048,44204)1/4

68
= 0,039665643 (g/cm3)

3) Perhitungan data ketiga

V = Q/A

= 45,1612903 cm3/s

1,959376339 cm2

= 45,1612903 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,230488 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) (0,230488 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 4074,56102 Aliran Turbulen karena


NRe > 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(4074,56102)1/4

= 0,039601922 (g/cm3)

b. Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan


dalam buku Penuntun Praktikum Operasi Teknik Kimia I dengan
putaran valve 60%
1) Perhitungan data pertama
V
Q=
t

69
650 cm3
¿
15,8 s

= 41,1392405 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 3,1 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,04355069 gram/cm3

2) Perhitungan data kedua


V
Q=
t

610 cm3
¿
14,91 s

= 40,9121395 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 3,1 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,044035527 gram/cm3

3) Perhitungan data ketiga


V
Q=
t

680 cm3
¿
16,53 s

= 41,1373261 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

70
cm gram
(
= 2 980
s 2). ( 3,1 cm ) . 1
( cm3).¿ ¿

= 0,043554744 gram/cm3

Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan


dalam buku Transport Processes and Unit Operations ( Christie J
Geankoplis) dengan putaran valve 60%.

1) Perhitungan data pertama

V = Q/A

= 41,1392405 cm3/s

1,959376339 cm2

= 41,1392405 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,209961 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) (0,209961 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3711,68194 Aliran Transisi


karena2100 > NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3711,68194)1/4

= 0,04053627 (g/cm3)

71
2) Perhitungan data kedua

V = Q/A

= 40,9121395 cm3/s

1,959376339 cm2

= 40,9121395 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,208802 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) (0,208802 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3691,19234 Aliran Transisi karena


2100 > NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3691,19234)1/4

= 0,040592407 (g/cm3)

3) Perhitungan data ketiga

V = Q/A

= 41,1373261 cm3/s

1,959376339 cm2

= 41,1373261 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

72
= 0,209951 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m) (0,209951 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3711,50921 Aliran Transisi karena


2100 >NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3711,50921)1/4

= 0,040536742 (g/cm3)

c. Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan


dalam buku Penuntun Praktikum Operasi Teknik Kimia I dengan
putaran valve 30%
1) Perhitungan data pertama
V
Q=
t

680 cm3
¿
17,61 s

= 38,6144236 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
=2 980
s 2 )
. ( 2,9 cm ) . 1
(
cm3 )
.¿ ¿

= 0,046242869 gram/cm3

73
2) Perhitungan data kedua
V
Q=
t

690 cm3
¿
18,36 s

= 37,5816993 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
=2 980
s 2 ) (
. ( 2,9 cm ) . 1
cm3).¿ ¿

= 0,048819245 gram/cm3

3) Perhitungan data ketiga


V
Q=
t

800 cm3
¿
21,61 s

= 37,0198982 cm3/s

2 g . ∆ h . ρ . A2
f=
L
4 ( )Q2
D1

cm gram
(
= 2 980
s 2 ) (
. ( 2,9 cm ) . 1
)
cm3
.¿ ¿

= 0,050312216 gram/cm3

Data perhitungan nilai koefisien gesekan (f) berdasarkan persamaan


dalam buku Transport Processes and Unit Operations ( Christie J
Geankoplis) dengan putaran valve 30%.

1) Perhitungan data pertama

V = Q/A

74
= 38,6144236 cm3/s

1,959376339 cm2

= 38,6144236 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,197075 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) 0,197075 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3483,88684 Aliran Transisi karena


2100 > NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3483,88684)1/4

= 0,041183236 (g/cm3)

2) Perhitungan data kedua

V = Q/A

= 37,5816993 cm3/s

1,959376339 cm2

= 37,5816993 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,191804 m/s

NRe = D V 

75
µ

= (0,0157988 m ) (0,191804 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3390,71196 Aliran Transisi karena


2100 > NRe < 4000

f = 0,3164

NRe1/4

= 0,3164

(3390,71196)1/4

= 0,041463289 (g/cm3)

3) Perhitungan data ketiga

V = Q/A

= 37,0198982 cm3/s

1,959376339 cm2

= 37,0198982 x 10-6 m3/s

1,959376339 x 10-4 m2

= 0,188937 m/s

NRe = D V 

= (0,0157988 m ) (0,188937 m/s ) ( 1000 Kg/m3 )

(0,8937 x 10-3 Kg/ms)

= 3340,0249 Aliran Transisi karena


2100 > NRe < 4000

f = 0,3164

76
NRe1/4

= 0,3164

(3340,0249)1/4

= 0,04161971 (g/cm3)

LAMPIRAN DOKUMENTASI
N Gambar Keterangan
O
1.
Serangkaian sistem perpipaan

2.
Gelas Ukur

3.
Stopwatch

77
4.
Penampungan air yang keluar dari
pipa untuk menentukan debit air

5.
Mengamati perubahan delta H

6.
Pengukuran volume air pada gelas
ukur dan mencatat waktu yang di
perlukan untuk memperoleh
volume tersebut

78
HEAT EXCHANGER
(Laporan Akhir Praktikum Operasi Teknik Kimia I)

Oleh

1. Aris Setiawan (1415041007)

2. Nina Boenga (1415041040)

3. Sabdo Agung Darmawan (1415041055)

4. Siska Oktorina Simbolon (1415041057)

79
Laboratorium Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Bandar Lampung

2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fin dan tube merupakan suatu jenis heat exchanger yang banyak


digunakan pada berbagai bidang industri yang diantaranyaberkerja pada sistem
refrigerasi dan tata udara karena bentuknya yang ringkas (compact) dan ringan.
Pada umumnya fluida cair mengalir sepanjang pipa dan gas mengalir pada saluran
diantara fin. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam heat
exchanger adalah perpindahan panasnya pada sisi udara. Untuk mendapatkan
effisiensi fin yang tinggi perlu diperhatikan bahan dan geometri dari fin tersebut.
Bentuk fin yang umum digunakan adalah plain (datar) dan wavy (bergelombang).

80
Bentuk wavy banyak digunakan karena pola tersebut dapat
memperpanjang aliran udara di dalam heat exchanger dan memperbaiki plate Heat
Exchanger (HE) adalah alat penukar panas yang bertujuan
memanfaatkan mixing (pencampuran) dari aliran udara jika dibandingkan
dengan panas suatu fluida untuk pemanasan aliran fluida yang lain. Dalam hal ini
terjadi 2 fungsi sekaligus yaitu :  

- Memanaskan fluida yang dingin


- Mendinginkan fluida yang panas

Defenisi panas adalah energy yang ditransfer akibat daripada perbedaan


temperatur. Pengertian diatas adalah berdasarkan prinsip termodinamika.
Walaupun hukum termodinamika menelaah transfer energy, metode ini hanya
dapat menganalisa suatu sistem yang dalam keadaan setimbang. Sehingga dapat
diperhitungkan jumlah energy yang diperlukan untuk merubah suatu sistem dari
suatu keadaan kesetimbangan ke kesetimbangan lain, tetapi hukum
termodinamika tidak dapat menganalisa bagaimana kecepatan perubahan itu
terjadi.

Pemanasan batangan baja dalam air panas. Hukum termodinamika dapat


digunakan untuk menentukan temperature akhir sesudah kedua sistem mencapai
kesetimbangan dan jumlah energy yang ditransfer dapat dihitung dari keadaan
mula-mula dan pada keadaan akhir kesetimbangan, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana kecepatan panas itu ditransfer dan tidak dapat menjelaskan berapa
lama waktu yang diperlukan untuk mencapai temperature tertentu yang diinginkan
?

Untuk analisa transfer panas yang sempurna, maka perlu memahami tiga
mekanisme transfer panas yaitu :

1. Konduksi
2. Konveksi
3.  Radiasi

81
Konduksi adalah suatu metode transfer panas hanya dengan media padat.
Bila pada suatu benda terdapat Gradien Temperatur, maka panas akan ditransfer
dari daerah temperature yang lebih tinggi ke daerah temperature yang lebih
rendah. Bila suatu fluida berkontak dengan permukaan zat padat pada temperature
yang berbeda, maka hasil dari proses pertukaran energy termis itu disebut transfer
panas secara konveksi.

Kebanyakan masalah transfer panas sangat kompleks, maka praktis tidak


mungkin memperhitungkan seluruh factor-faktor seperti : diameter pipa,
kecepatan fluida, densitas, viscositas, konduktifitas thermal, kapasitas panas dan
lain-lain.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun Tujuan Praktikum Heat Exchanger ini adalah :
1. Mempelajari laju perpindahan panas
2. Mempelajari koefisien overall transfer panas
3. Mempelajari efektivitas HE

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Heat Excganger (HE) atau alat penukar panas adalah peralatan untuk
memindahkan panas dari satu fluida ke fluida yang lebih dingin. Perpindahan
panas antara dua fluida ini dengan melewati bidang batas. Bidang batas tersebut
berupa pipa yang terbuat dari berbagai jenis logam sesuai dengan penggunaan dari
alat tersebut. Perpindahan panas dari fluida panas ke dinding pipa melalui

82
konveksi, sedangkan menembus dinding melalui proses konduksi, selanjutnya ke
fluida dingin melalui konveksi.

Jenis alat penukar panas yang paling banyak digunakan di industri adalah
tipe penukar panas yang tidak saling kontak langsung. Ada tiga jenis alat penukar
panas yang banyak digunakan pada industri proses seperti alat penukar panas tipe
pipa ganda (double pipe exchanger), tipe selubung dan tabung (shell and tube
exchanger), dan tipe pelat (plate and frame exchanger).

2.1 Double-pipe Heat Exchanger

Terdiri dari satu buah pipa yang diletakkan di dalam sebuah pipa lainnya
yang berdiameter lebih besar secara konsentris. Fluida yang satu mengalir di
dalam pipa kecil sedangkan fluida yang lain mengalir di bagian luarnya. Pada
bagian luar pipa kecil biasanya dipasang fin atau sirip memanjang, hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan permukaan perpindahan panas yang lebih luas.
Double pipe ini dapat digunakan untuk memanaskan atau mendinginkan fluida
hasil proses yang membutuhkan area perpindahan panas yang kecil (biasanya
hanya mencapai 50 m2).

Kelebihan double-pipe heat exchanger :

a. Dapat digunakan untuk fluida yang memiliki tekanan tinggi.


b. Mudah dibersihkan pada bagian fitting
c. Fleksibel dalam berbagai aplikasi dan pengaturan pipa
d. Dapat dipasang secara seri ataupun paralel
e. Dapat diatur sedimikian rupa agar diperoleh batas pressure drop dan LMTD
sesuai dengan keperluan
f. Mudah bila kita ingin menambahkan luas permukaannya
g. Kalkulasi design mudah dibuat dan akurat

Kekurangan double-pipe heat exchanger :

83
a. Relatif mahal
b. Terbatas untuk fluida yang membutuhkan area perpindahan kalor kecil (<50
m2)
c. Biasanya hanya digunakan untuk sejumlah kecil fluida yang akan
dipanaskan atau dikondensasikan.

2.2 Shell and Tube Heat Exchanger

Jenis ini terdiri dari shell yang didalamnya terdapat rangkaian pipa kecil
yang disebut tube bundle. Perpindahan panas terjadi antara fluida yang mengalir
di dalam tube dan fluida yang mengalir di luar tube (pada shell side). Shell and
tube ini merupakan Heat exchanger yang paling banyak digunakan dalam proses-
proses industri.

Keuntungan Shell and Tube Heat exchanger merupakan Heat exchanger


yang paling banyak digunakan di proses-proses industri karena mampu
memberikan ratio area perpindahan panas dengan volume dan massa fluida yang
cukup kecil. Selain itu juga dapat mengakomodasi ekspansi termal, mudah untuk
dibersihkan, dan konstruksinya juga paling murah di antara yang lain. Untuk
menjamin bahwa fluida pada shell-side mengalir melintasi tabung dan dengan
demikian menyebabkan perpindahan kalor yang lebih tinggi, maka di dalam shell
tersebut dipasangkan sekat/penghalang (baffles).

2.3 Plate and Frame Heat Exchanger

Jenis ini terdiri dari bingkai-bingkai dan plat-plat yang disusun rapat,
permukaan plat mempunyai alur-alur yang berpasangan sehingga jika dirangkai
mempunyai dua aliran. Heat exchanger ini digunakan untuk temperatur dan
tekanan rendah seperti mendinginkan cooling water.

2.4 Pembagian Heat Exchanger Berdasarkan Arah Aliran

1. Tipe aliran parallel (Paralel Flow)

84
Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah.
Kedua fluida memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan
temperatur yang besar akan berkurang seiring dengan semakin besarnya x,
jarak pada HE. Temperatur keluaran dari fluida dingin tidak akan melebihi
temperatur fluida panas.

2. Tipe aliran berlawanan (Counter Current Flow)

Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam HE
masuk dari arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin ini
suhunya mendekati suhu dari masukan fluida panas sehingga hasil suhu yang
didapat lebih efektif dari paralel flow.

3. Tipe aliran silang (Cross Flow)

Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa dipakai
untuk aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem kondensor uap (tube
and shell Heat exchanger), di mana uap memasuki shell, air pendingin
mengalir di dalam tube dan menyerap panas dari uap sehingga uap menjadi
cair.

2.5 Parameter Heat Exchanger

1. Logaritmic Mean Temperature Difference (LMTD)

Adanya perubahan temperatur pada fluida panas atau fluida dingin


menunjukkan adanya transfer panas pada sistem. Aliran dingin pada HE akan
melewati tube, sedangkan aliran panas selalu melewati shell. Pendekatan suhu
untuk aliran counter-current adalah :

Thin – Tcout = ∆T2 dan Thout – Tcin = ∆T1

Pendekatan suhu untuk aliran parallel atau searah adalah :

Thout – Tcout = ∆T2 dan Thin – Tcin = ∆T1

Karena perubahan suhu sepanjang HE sulit diukur, maka untuk mengurangi


kesalahan dilakukan apa yang disebut dengan LMTD (Logaritmic Mean

85
Temperature Difference) dan bila didefinisikan pada aliran counter-current
adalah sebagai berikut :

∆ T 1 −∆ T 2
∆TLMTD = ∆T 1
ln
∆T 2

2. Laju perpindahan panas

Untuk keadaan aliran yang stasioner (steady flow), laju perpindahan panas (q)
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

Laju perpindahan panas untuk aliran panas :

qh = mh . Cph . (Thi – Tho)

Laju perpindahan panas untuk aliran dingin :

qc = mh . Cpc (Tco – Tci)

Total heat :

qc = qh

dimana : Cp = panas jenis fluida, diambil pada temperatur rata-rata antara T i


dan To

∆T = beda temperatur antara fluida pada saat masuk dan keluar alat

(subskrip i dan o adalah singkatan in dan out)

3. Koefisien perpindahan kalot keseluruhan U (overall coefficient of heat transfer)

Koefisien perpindahan kalor keseluruhan (U), terdiri dari dua macam yaitu:

a. UC adalah koefisien perpindahan kalor keseluruhan pada saat alat penukar


kalor masih baru

b. UD adalah koefisien perpindahan kalor keseluruhan pada saat alat penukar


kalor sudah kotor.

Secara umum kedua koefisien itu dirumuskan sebagai:

86
Di dalam tabung dapat diperkirakan bahwa fluks panas (laju perpindahan panas
per satuan luas) sebanding dengan gaya dorong, yaitu ∆T. ∆T akan berubah-
ubah dari satu titik ke titik lain di dalam tabung, demikian pula dengan fluks
panas. Pada suatu luas diferensial dA dimana mengalir suatu aliran panas
sebesar dq karena adanya perbedaan temperatur sebesar ∆T, maka fluks
lokalnya dapat dinyatakan sebagai berikut :

dq
=U ∆ T =U (Th− Tc )
dA

Besaran U yang didefinisikan oleh persamaan di atas merupakan faktor


proporsionalitas antara dq/d Adan ∆T, selanjutnya dinamakan koefisien
perpindahan panas keseluruhan (overall). Jika A diambil sebagai luas
permukaan luar tabung demikian pula jika menggunakan Ai (luas permukaan
dalam tabung) sebagai dasar. Sedangkan dq dan ∆T tidak bergantung pada
pemilihan luas, sehingga :

Uo dAi di
= =
Ui dAo do

Dimana di dan do adalah diameter dalam dan luar tabung. Bila persamaan di
atas selanjutnya diintegralkan, akan didapatkan dua persamaan yang
diturunkan berdasarkan luas permukaan luar dan dalam, yaitu :

a. Berdasarkan luas permukaan dalam :


q
Ui ( exp ) =
Ai . ∆ T LMTD
Ai=π . di. L
b. Berdasarkan luas permukaan luar :

87
q
Uo ( exp )=
Ao . ∆ TLMTD
Ao=π . do . L

4. Koefisien perpindahan panas overall (Utheo)

Suatu hal yang penting dalam perpindahan panas adalah adanya aliran panas
dalam aliran fluida berupa aliran turbulen yang terjadi di dalam saluran yang
tertutup (pipa). Sifat turbulen terjadi bila bilangan Reynolds lebih besar dari
2100, dan oleh karena laju perpindahan panas dalam aliran turbulen lebih besar
dari aliran laminar, maka persamaan koefisien perpindahan panas menjadi :

hi = 0,023 (Nre)0,8 (Npr L)0,33 (k/di)

Di . vρ
NRe=
μ

hi = 0,023 (Nre)0,8 (Npr L)0,33 (k/deq)

Deq . vρ
NRe=
μ

dimana : NRe = bilangan Reynolds

Npr = bilangan Prandl

k = konduktifitas panas

L = panjang HE

ρ = densitas (fungsi temperatur)

μ = viskositas zat (fungsi temperatur)

Di2 −do 2
Deq=
do

do −di
dL=
do
ln( )
di

88
Berdasarkan persamaan di atas, persamaan koefisien perpindahan panas
overall menjadi :

1
Ui ( tℎeo )=
1 Xw di di 1
+ + +
ℎi K dL do ℎo

1
Uo (tℎeo ) =
1 Xw do do 1
+ + +
ℎo K dL di ℎi

5. Fouling Resistance

Jika sebuah pipa baru saja digunakan, maka keadaannya masih normal dan
bersih sehingga tidak mengganggu proses perpindahan kalor. Namun pada
suatu saat fluida yang terus menerus mengalir dalam pipa akan membentuk
seperti sebuah lapisan yang akan mengganggu aliran kalor. Hal inilah yang
disebut dengan fouling resistance. Untuk menghitung fouling resistance dapat
digunakan rumus berikut ini :

1 1
Rd ≡ −
U D UC

6. Efektifitas HE

a. Efektifitas untuk aliran paralel (co-current)

mℎ. Cℎ. ( Tℎ 1−Tℎ 2 ) Tℎ1 −Tℎ 2


∈= =
mc . Cc . ( Tℎ1 −Tc 1 ) Tℎ1 −Tc 1

b. Efektifitas untuk aliran berlawanan (counter-current)

mℎ. Cℎ. ( Tℎ 1−Tℎ 2 ) Tℎ1 −Tℎ 2


∈= =
mc . Cc . (Tℎ 1 −Tc 2 ) Tℎ1 −Tc 2

89
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain :


1. Double pipe Heat Exchangers
2. Termometer

90
3. Manometer
4. Gelas Ukur 1000 ml
5. Stopwatch
6. Penggaris
7. Kompor gas dan lpg

Bahan-bahan yang digunakan antara lain :

1. Air

3.2 Prosedur Percobaan


1. Pelaksanaan Percobaan

Periksa Setiap Bagian Pada Alat yang akan


digunakan

Temperature fluida panas dan fluida dingin diatur sesuai dengan


yang ditugaskan

Laju alir fluida panas dan fluida dingin diatur sehingga


didapatkan nilai laju alir tertentu

Fluida panas dan fluida dingin dialirkan secara counter current


dengan tetap menjaga temperature masuk fluida panas.

Perubahan temperature masing-masing fluida dicatat

91
Ukur nilai delta h fluida panas dan fluida dingin pada
manometer U

Setelah praktikum selesai, bersihkan dan rapikan kembali alat-


alat yang digunakan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Data Laju aliran

Fluida Panas

92
∆h (cm) t (s) V (ml) Q (ml/s) Qav
6,01 490 81,5308
1,9 6,96 580 83,3333 82,1779
5,51 4500 81,6697
Fluida Dingin
∆h (cm) t (s) V (ml) Q (ml/s) Qav
6,54 350 53,5168
1,2 6,91 370 53,5456 53,0403
6,91 360 52,0584

4.1.2 Data Hasil Perhitungan

Berikut data hasil perhitungan yang didapatkan :

Th av (0C) 46 Npro 3,8726


wh (g/s) 81,33147 Npri 6,07645
Th av (0C) 25,5 hi (W/m2.K) 1835,497
wc (g/s) 52,8706 ho (W/m2.K) 134,2021
T Lmtd (0C) 293,4997 Utheo (W/m2.K) 153,8751
qh (J/s) 2721,0256 Effisiensi % 27,60
qc (J/s) 1547,6599 Efektifitas 1,7581
Uexp (W/m2.K) 75,7661 Uc (W/m2.K) 125,0585
Nreo 5272,2305 Rd (m2.K/W) 0,05202
Nrei 9575,944

Tabel 1. Distribusi temperatur terhadap panjang pipa

L T' t'
(panjang pipa (fluida panas (fluida dingin
0 0
cm) C) C)
0 50 22
0,1 49,8960686 22,10611163
0,2 49,7921372 22,21222326
0,3 49,68820581 22,31833489
0,4 49,58427441 22,42444652
0,5 49,48034301 22,53055815
0,6 49,37641161 22,63666978
0,7 49,27248022 22,7427814
0,8 49,16854882 22,84889303
0,9 49,06461742 22,95500466
1 48,96068602 23,06111629

93
1,1 48,85675463 23,16722792
1,2 48,75282323 23,27333955
1,3 48,64889183 23,37945118
1,4 48,54496043 23,48556281
1,5 48,44102904 23,59167444
1,6 48,33709764 23,69778607
1,7 48,23316624 23,8038977
1,8 48,12923484 23,91000933
1,9 48,02530345 24,01612096
2 47,92137205 24,12223259

4.2 Pembahasan

Heat Exchanger adalah alat yang berfungsi untuk menukarkan panas dari
suatu fluida ke fluida lain dengan driving force berupa perbedaan temperatur yaitu
dari fluida yang bersuhu lebih tinggi ke fluida yang bersuhu lebih rendah. Dalam
praktikum ini digunakan jenis heat exchanger berupa Double Pipe Heat
Exchanger (DPHE) dengan panjang 2 meter. Prinsip alat ini adalah memindahkan
panas dari fluida yang bersuhu tinggi ke fluida yang bersuhu rendah tanpa adanya
kontak langsung antar kedua fluida dimaksudkan agar kedua fluida tidak
bercampur. fluida mengalir secara counter current, yaitu tipe aliran dimana kedua
fluida mengalir berlawanan arah.

Fluida yang digunakan dalam percobaan ini yaitu air. Suhu fluida yang
panas yaitu 50°C sedangkan suhu fluida yang dingin yang digunakan yaitu 22°C .
Fluida panas dialirkan pada bagian annulus (pipa bagian luar) dan fluida dingin
dialirkan di dalam pipa bagian dalam. Penempatan fluida panas di bagian annulus
dikarenakan air panas bersifat korosif dan dapat menyebabkan fouling atau
scaling (pembentukan kerak) bila ditempatkan di pipa bagian dalam. Untuk fluida
yang memiliki laju alir yang lebih besar sebaiknya diletakkan di dalam annulus
karena bila ditempatkan di pipa bagian dalam akan menimbulkan pressure drop
(∆P) yang semakin besar.
Pada praktikum HE yang kami lakukan kami menggunakan alat HE yang
memiliki aliran counter-current dan laju alir rata-rata fluida yang keluar dari HE

94
adalah 82,1779 ml/s untuk fluida panas dan 53,0403 ml/s untuk fluida dingin.
Selanjutnya adalah mengukur Tho (Temperatur fluida panas keluar) dan Tco
(Temperatur fluida dingin keluar). Untuk Thi (Temperatur fluida panas masuk)
adalah sebesar 50oC dan Tci (Temperatur fluida dingin masuk) adalah sebesar 22oC
yang dijaga konstan. Kemudian dilakukan pengambilan data untuk melihat
perubahan temperatur yang terjadi. Setelah didapatkan data Tco dan Tho,
selanjutnya dilakukan pengolahan data. Dari data pengamatan terlihat adanya
perbedaan suhu pada masing-masing fluida dari suhu awal ke suhu akhirnya.
Fluida dingin yang awalnya 22°C dengan laju alir dan ΔH tetap, suhunya berubah
menjadi 29°C . Demikian pula pada fluida panas dengan suhu awal 50°C berubah
menjadi 42°C. perbedaan suhu inilah yang menandakan terjadinya peristiwa
transfer panas di dalam Heat Exchanger double pipe, yaitu panas berpindah dari
fluida satu ke fluida lain. Secara teoritis, jumlah panas yang diterima oleh fluida
dingin seharusnya sama dengan panas yang dilepaskan oleh fluida panas. Akan
tetapi pada hasil praktikum yang kami lakukan perubahan temperatur pada fluida
pans tidak terlalu signifikan seperti pada fluida dingin, hal tersebut dikarenakan
pada saat melakukan proses transfer panas didalam double pipe kompor untuk
memanaskan fluida panas masih hidup, yang menyebabkan temperatur air fluida
panas cenderung semakin tinggi.
Peristiwa transfer panas pada double pipe terjadi secara konveksi dan
konduksi. Proses Konveksi terjadi antara fluida itu sendiri sampai ke dinding pipa,
konveksi ini memindahkan panas dengan molekulnya ikut berpindah. Sedangkan
proses konduksi, transfer panasnya terjadi antara dinding pipa bagian dalam ke
dinding pipa bagian luar di sepanjang pipa tersebut, tetapi molekulnya tidak ikut
berpindah. Perpindahan panas juga dipengaruhi oleh sifat-sifat fluida, seperti
densitas, viskositas, kapasitas panas, dan konduktifitas panas dari fluida. Sifat-
sifat tersebut bergantung pada suhu fluida (fungsi temperatur). Perpindahan panas
yang terjadi di sepanjang Double Pipe Heat Exchanger memberikan perbedaan
suhu disetiap titik. Perbedaan temperatur di setiap bagian tidak sama, sehingga
dalam menentukan besarnya transfer panas digunakan ∆TLMTD yaitu Logaritmic
Mean Temperature Difference (Temperatur Rata-rata Logaritmik). Sedangkan

95
panas yang dikandung oleh fluida bergantung pada temperatur awal dan
temperatur akhir.
Nilai bilangin Reynold (NRe) yang diperoleh dari perhitungan seluruhnya
lebih dari 4000. Dengan demikian, aliran yang dihasilkan fluida tersebut adalah
aliran turbulen. Nilai NRe ini dapat mempengaruhi koefisien perpindahan panas
overall. Dimana semakin besar NRe, semakin besar koefisien perpindahan panas
overall. Perpindahan panas juga dipengaruhi oleh nilai dari bilangan Prandl (NPr).
Berdasarkan hasil perhitungan niali koefisien perpindahan panas overall
eksperimen lebih kecil dibandingkan dengan nilai dari koefisien perpindahan
panas overall teoritisnya. Dari perhitungan diperoleh nilai U eksperimen sebesar
75,7661 W/m2K, sedangkan nilai U teoritis sebesar 274,5136 W/m2K. Untuk
memperoleh nilai efisiensi dilakukan pembandingan antara nilai U exp terhadap
nilai U teoritis dan diperoleh nilai efisiensi yaitu η = 27,6 %. Kemampuan HE
ternyata sangat lebih kecil dibandingkan dengan yang seharusnya (efisiensi), hal
ini menunjukan adanya penurunan kinerja HE. Hal ini dapat terjadi karena pada
perhitungan teori tidak mempertimbangkan nilai fouling factor atau pengotor yang
berada didalam HE. Fouling factor yang terdapat didalam HE ini mengakibatkan
tahanan heat transfer dan kehilangan energi, semakin kecil fouling factornya
maka semakin besar koefisien perpindahan panas overall eksperimen, begitupun
sebaliknya. Selain itu fouling factor juga mempengaruhi nilai dari efektivitas Heat
Exchanger. Besarnya nilai Rd berdasarkan hitungan data pengamatan kami yaitu
sebesar 0,05202 m2.K/W. Dengan demikian semakin sedikit zat pengotor yang
berada didalam alat heat exchanger, maka akan membuat efisiensi dan efektivitas
heat exchanger semakin meningkat. Sehingga perlu dilakukan pembersihan agar
zat pengotor seperti korosi dan kerak yang berada didalam heat exchanger
menjadi hilang.
Distribusi temperatur fluida di sepanjang pipa dapat dihitung dengan
persamaan matematis yang dapat dilihat pada bagian perhitungan. Dengan
menggunakan persamaan neraca panas, temperatur disepanjang pipa dapat
dihitung dengan menggunakan temperatur awal dari kedua fluida. Nilainya
tergantung pada koefisien overall perpindahan panasnya. Dari hasil perhitungan
tersebut dapat dilihat distribusi temperaturnya pada Tabel 1. Temperatur kedua

96
fluida yang didapat pada tabel tersebut diplotkan terhadap panjang pipa kemudian
menghasilkan grafik pada gambar berikut ini :

Grafik Distribusi Temperatur terhadap Panjang Pipa


60

50
L (panjang pipa m)

40

30

20

10

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5

T' (fluida panas 0C) Linear (T' (fluida panas 0C))


Linear (T' (fluida panas 0C)) t' (fluida dingin 0C)

Gambar 1. Grafik distribusi temperatur terhadap panjang pipa

BAB V
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari hasil percobaan ini adalah sebagai
berikut :

1. Heat Exchanger adalah alat yang berfungsi untuk menukarkan panas dari
suatu fluida ke fluida lain dengan driving force berupa perbedaan
temperatur
2. Semakin besar nilai ∆h maka semakin besar laju alir volumetrik (Q)
3. Peristiwa transfer panas pada heat exchanger double pipe terjadi secara
konveksi dan konduksi
4. Proses transfer panas sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fluida, seperti
densitas, viskositas, kapasitas panas, dan konduktifitas panas dari fluida.
Sifat-sifat tersebut bergantung pada suhu fluida (fungsi temperatur).
5. Bilangan Reynold menyatakan jenis aliran, dalam praktikum ini nilai Nre
> 4000, maka termasuk aliran turbulen

97
6. Nilai Fouling factor mempengaruhi laju perpindahan panas, koefisien
perpindahan panas, serta efektivitas heat exchanger
7. Semakin kecil nilai fouling factor maka laju perpindahan panas, efisiensi,
dan efektivitas heat exchanger semakin besar
8. Efesiensi dan efektivitas heat exchanger dapat meningkat dengan cara
membersihkan heat exchanger tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Faisal, Ahmad dkk. 2012. Laporan Praktikum : Heat Exchanger (online).


Tersedia http://dokumen.tips/documents/laporan-praktikum-heat-
exchanger.html. Diakses pada 10 mei 2017

Geankoplis,C.J. 1993. Transport Process and Unit Operations 3nd edition.


Singapore : Allyn and Bacon inc.

Mc.Cabe, and Smith.1993.Unit Operation of Chemical Engineering. New York:


Mc.Graw Hill Book,inc.

Tim instruktur Laboratorium OTK. Penuntun Praktikum Intruksional I.Lampung :


Universitas Lampung

98
LAMPIRAN

99
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Menghitung Laju Alir Masa (w) pada fluida panas dan fluida dingin
a. Pada fluida Panas
∆h = 1,9
Thi = 50oC
Tho = 42 oC
T ℎi + T ℎo 50+42
T ℎ av = = = 46oC
2 2
Q1+Q 2+Q 3
Q rata − rata=
3
81,5308+83,3333+81,6697
Q rata − rata= =82,1779 ml/ s
3
w ℎ=Qrata − rata . ρ ℎ
Data ρ dapat diperoleh dari Appendix A.2-3 di buku Geankoplis.
Dimana dengan Th av = 46oC nilai ρℎ = 0,9897 g/cm3
w ℎ=82,1779 ml /s . 0,9897 g/¿cm3
w ℎ=81,33147 g/ s
b. Pada fluida Dingin
∆h = 1,2

100
Thi = 22oC
Tho = 30 oC
T ℎi +T ℎo 22+ 29
T c av= = = 25,5oC
2 2
Q1+Q 2+Q 3
Q rata − rata=
3
53,5168+53,5456+52,0584
Q rata − rata= =53,0403 ml /s
3
w c =Qrata − rata . ρc
Data ρ dapat diperoleh dari Appendix A.2-3 di buku Geankoplis.
Dimana dengan Th av = 25,5oC nilai ρℎ = 0,9968 g/cm3
w c =53,0403 ml/ s . 0,9968 g /¿cm3
w c =52,8706 g/s

2. Menghitung ∆TLMTD
Pada praktikum yang telah kami lakukan, kami menggunakan HE Double Pipe
dengan aliran coenter current.
Untuk aliran counter current, ∆TLMTD dapat dihitung dengan persamaan:

∆ T 1 −∆ T 2
∆ T LMTD =
∆ T1
ln ⁡[ ]
∆ T2
Dimana : ∆T1 = Tho - Tci
∆T2 = Thi - Tco
Maka :
∆T1 = (42 – 22) oC = 20 oC = 293 K
∆T2 = (50 – 29) oC = 21 oC = 294 K
Maka nilai ∆TLMTD adalah:
(293 −294)
∆ T LMTD = =293,4997 K
293
ln
294

3. Menghitung Laju Perpindahan Panas

101
Untuk menghitung laju perpindahan panas, dapat digunakan persamaan
berikut:
Laju perpindahan panas untuk aliran fluida panas :
q ℎ=mℎ Cpℎ ( T ℎi − T ℎo )
Laju perpindahan panas untuk aliran fluida dingin :
q c =m c Cp c ( T co − T ci )
Data Cp dapat diperoleh dari Appendix A.2-5 di buku Geankoplis. Nilai Cp
didapat menggunakan data Th av dan Tc av.
a. Laju perpindahan panas pada fluida panas
q ℎ=w ℎ .Cp ℎ . ( T ℎi − T ℎo)
q ℎ=( 81,33147 g/ s ) ( 4,182 j / g . k ) (323 − 315 ) K
qℎ=¿2721,0256 J/s
b. Laju perpindahan panas pada fluida dingin
q c =w c . Cp c. ( T co − T ci )
q c =( 52,8706 g /s )( 4,1818 j/ g . k )( 302 −295 ) K
qc=¿1547,6599 J/s

4. Menghitung nilai koefisien perpindahan panas overall Uo(exp) dan Ui(exp)


qℎ
Uo ( exp )=
Ao . ∆ T LMTD
qc
Ui ( exp ) =
Ai . ∆ T LMTD
dimana: di = 1,049 in = 0,0266 m
do = 1,315 in = 0,0334 m
Di = 3,5 in = 0,0889 m
Do = 3,068 in = 0,0779 m
L=2m
dL = diameter rata-rata logaritmik
d o − di 0,0334 − 0,0266
d L= = =0,02987 m
do 0,0334
ln ln
di 0,0266

maka: Ai=π d i L=( 3,14 )( 0,0266 ) ( 2 )=0,167048m 2

102
Ao =π d o L= (3,14 ) ( 0,0334 ) ( 2 )=0,209752 m2
Sehingga :
qℎ
Uo ( exp )=
A o × ∆T LMTD
2721,0256 J /s
Uo ( exp )= 2
=44,1996W /m2 K
0,209752 m x 293,4997 K

qc
Ui ( exp ) =
Ai × ∆ T LMTD
1547,6599 kJ /s
Ui ( exp ) = 2
=31,5665W /m 2 K
0,167048 m × 293,4997 K
Maka, diperoleh nilai U(exp) = Uo (exp) + Ui (exp)
= 44,1996 W/m2K + 31,5665 W/m2K
= 75,7661 W/m2K

5. Menghitung Nilai NRei dan N ℜ o

NRe (bilangan Reynold) dapat dihitung menggunakan persamaan:


Qℎ
Deq . V . ρ Deq .( ) ρ
Nℜ = = ao
o
μℎ
μℎ
Qc
d i .V . ρ Deq .( ) ρ
N ℜ= = ai
i
μc
μc
Dimana :

( D i2 − d o2) (0,08892 −0,0334 2)


Deq= = =0,20322 m
do 0,0334
π ( D i2 − d o2) 3,14(0,0889 2 −0,0334 2) 2
a o= = =0,005328305 m
4 4
π ( di2 ) 3,14 ( 0,0266 2 )
a i= = =0,00055543 m2
4 4
Sehingga :
Qℎ Qℎ
Deq . V . ρ Deq .( ) ρ Deq .( ) ρ
Nℜ = = ao = ao
o
μℎ
μℎ μℎ

103
Data µ dapat diperoleh dari Appendix A.2-4 di buku Geankoplis. Nilai μ didapat
menggunakan data Th av dan Tc av.
82,1779ml / s
( 0,2032 m ) ( ) ( 0,9897 g /cm3 )
0,005328305m2
Nℜ = =5272,2305
o
0,5883 g/m . s

Qc
d i .V . ρ Deq .( ) ρ
N ℜ= = ai
i
μc
μc
53,0403 ml /s
( 0,0889 m ) ( ) ( 0,9968 g /cm3 )
0,00055543 m 2
N ℜ= =9575,9435
i
0,8837 g/m. s

6. Menghitung Nilai NPri dan NPro


NPr (bilangan Prandl) dapat dihitung menggunakan persamaan:
Cpc . μ c
N Pr =
i
kc
Cpℎ . μ ℎ
N Pr =
o
kℎ
Data k dapat diperoleh dari Appendix A.2-6 di buku Geankoplis. Nilai k
didapat menggunakan data Th av dan Tc av.

Cpℎ μ ℎ ( 4,182 j / g . K ) (0,5883 g /m. s)


N Pr = = =3,8726
o
kℎ 0,6353 W /m . K
Cp c μc ( 4,1818 j/g . K ) (0,8837 kg/m . s)
N Pr = = =6,07645
i
kc 0,60816 W /m . K

7. Menghitung Nilai hi dan ho


kc
ℎi =0,023 ( N ℜ ) i
0,8
( N Pr L )
i
0,33
( )
di

kℎ
ℎ o=0,023 ( N ℜ ) o
0,8
( N Pr L )
o
0,33
( )
D eq

104
ℎi =0,023 ( 9575,9435 )0,8 ( 6,07645× 2 )0,33 ( 0,60816
0,0266 )
W
hi = 1835,4970
m2 . K
0,6353
ℎ o=0,023 ( 5272,2305 )0,8 ( 3,8726× 2 )0,33 ( 0,2032 )
W
ho = 134,2021
m2 . K

8. Menghitung Nilai Koefisien Perpindahan Panas Overall Ui (theo) dan Uo


(theo)
Persamaan yang digunakan yaitu:
1
U i (tℎeo) =
1 x w d i di 1
+( . )+( . )
ℎi k dL do ℎo
1
U o (tℎeo)=
1 xw do do 1
+( . )+( . )
ℎo k dL d i ℎi
Dimana nilai xw dan dL yaitu :
x w =d o − d i=0,0344 − 0,0266=0,0068 m
d o − di 0,0334 − 0,0266
d L= = =0,02987 m
do 0,0334
ln ln
di 0,0266
U ( tℎeo )=U i (tℎeo )+U o(tℎeo)
Untuk mencari nilai Ui (theo) dan Uo (theo) dicari terlebih dahulu nilai k steel
1% karbon menggunakan tabel appendix A.3-16 di buku Geankoplis dengan
menggunakan data Th av dan Tc av.
1
U i (tℎeo )=
1 ( 0,0078 × 0,0266 ) 0,0266
( 1835,497 )(
+
( 45,272 x 0,02987 )
+ )(
0,0334 x 134,202 )
U i (tℎeo )=153,8751 W/m2.K

1
U o ( tℎeo )=
1 ( 0,0078 × 0,0334 ) 0,0334
( 134,202 )(
+
( 45,197 x 0,02987 )
+ )(
0,0266 x 1835,497 )
105
U o ( tℎeo )=120,6385W/m2.K
W
U ( tℎeo )=153,8751+120,6385=274,5136
m2 . K

9. Menghitung Efisiensi dan Efektifitas HE


U (exp )
η= x 100 %
U (tℎeo)
wℎ Cpℎ (T ℎi −T ℎo) qℎ
ϵ= =
w c Cpc (T ℎi −T co ) mc Cpc (T ℎi −T co )

75,7661
η= x 100 %=27,6 %
274,5136
(81,33147 × 4,182× ( 323− 315 ) )
ϵ= =1,7581
(52,8706 × 4,1818× ( 302− 295 ) )

1. Menghitung Rd (Fouling Factor)

(Uc −Uo )
Rd=
(Uc ×Uo )

Untuk menghitung Uc

ℎ i. ℎo
Uc=
ℎ i+ ℎo
1835,4970 ×134,2021
Uc=
1835,4970+134,2021

Uc=125,0585 W/m2K

Untuk nilai Uo = nilai U (exp) = 75,7661 W/m2.K

Sehingga,

(125,0585 −75,7661)
Rd=
(125,0585 ×75,7661)

Rd=0,05202 m2 K /W

106
Neraca energy untuk fluida panas

Panas masuk – panas keluar + panas teregenarasi – panas yang hilang = panas
akumulasi

Qin |L – (Qout| L+ΔL + Q) + 0– 0 = 0

mh.Cph.T|L – (mh.Cph. + T|L+ ΔL) + U.A.(T-T’) = 0

mh.Cph.T|L – (mh.Cph.T|L+ΔL) = U.A.(T-T’)

A = π . do.ΔL

mh.Cph.T|L – (mh.Cph.T|L+ΔL) = U.A.(T-T’)

mh.Cph.T|L – (mh.Cph.T|L+ΔL) = π . do.ΔL . (T-T’)

M h . Cph . T '∨L – ( mh . Cph . T ' ∨L+ ΔL)


lim ΔL 0 =¿U. π. Do. (T-T’)
ΔL

-mh.Cph. dT’/dL = U. π. Do. (T-T’)

U . π . Do .(T − T ' )
dT’/dL =
mh. Cph

U . π . Do
dT’/(T-T’) = x dL
mh. Cph

U . π . Do
ln (T-T’) = x (L1-L0)
mh. Cph

U . π . Do
T’ =T - e ^ x (L1-L0)
mh. Cph

Neraca energy untuk fluida dingin

Panas masuk – panas keluar + panas teregenarasi – panas yang hilang = panas
akumulasi

Qin |L – (Qout| L+ΔL + Q) + 0– 0 = 0

mc.Cpc.T|L – (mc.Cpc. + T|L+ ΔL) + U.A.(T’-T) = 0

107
mc.Cpc.T|L – (mc.Cpc.T|L+ΔL) = U.A.(T’-T)

A = π . do.ΔL

mc.Cpc.T|L – (mc.Cpc.T|L+ΔL) = U.A.(T’-T)

mc.Cph.T|L – (mc.Cpc.T|L+ΔL) = π . do.ΔL .(T’-T)

M c .Cp c .T '∨L – (mc . Cpc .T '∨L+ ΔL)


lim ΔL 0 =¿U. π. Do. (T’-T)
ΔL

-mc.Cp. dT’/dL = U. π. Do. (T’-T)

U . π . Do .(T ’ − T )
dT’/dL =
mc .Cpc

U . π . Do
dT’/(T’-T) = x dL
mc. Cpc

U . π . Do
ln (T’-T) = x (L1-L0)
mc. Cpc

U . π . Do
T’ =e^ x (L1-L0) + T
mc. Cpc

Tabel Distribusi temperatur terhadap panjang pipa

L T' t'
(panjang pipa (fluida panas (fluida dingin
0 0
cm) C) C)
0 50 22
0,1 49,8960686 22,10611163
0,2 49,7921372 22,21222326
0,3 49,68820581 22,31833489
0,4 49,58427441 22,42444652
0,5 49,48034301 22,53055815
0,6 49,37641161 22,63666978
0,7 49,27248022 22,7427814
0,8 49,16854882 22,84889303
0,9 49,06461742 22,95500466
1 48,96068602 23,06111629
1,1 48,85675463 23,16722792

108
1,2 48,75282323 23,27333955
1,3 48,64889183 23,37945118
1,4 48,54496043 23,48556281
1,5 48,44102904 23,59167444
1,6 48,33709764 23,69778607
1,7 48,23316624 23,8038977
1,8 48,12923484 23,91000933
1,9 48,02530345 24,01612096
2 47,92137205 24,12223259

LAMPIRAN DOKUMENTASI
NO Gambar Keterangan
1. Alat Heat Exchanger

109
2.
Gelas Ukur
Digunakan untuk mengukur
debit air/fluida yang keluar.
Baik fluida panas ataupun
fluida dingin

3. Termometer
Digunakan untuk mengukur
Temperature atau suhu dari
fluida panas dan dingin

4.
Stopwatch
Mengukur waktu pada saat
pengambilan data untuk debit
fluida

5.
Es batu
Digunakan untuk fluida dingin

6.
Korek Gas
Digunakan untuk
menghidupkan pemanas untuk

110
memanaskan fluida panas

MIXING
(Laporan Akhir Praktikum Operasi Teknik Kimia I)

Oleh

1. Aris Setiawan (1415041007)

2. Nina Boenga (1415041040)

111
3. Sabdo Agung Darmawan (1415041055)

4. Siska Oktorina Simbolon (1415041057)

Laboratorium Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Bandar Lampung

2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

112
Pengadukan (agitation) adalah pemberian gerakan tertentu sehingga
menimbulkan reduksi gerakan pada bahan, biasanya terjadi pada suatu tempat
seperti bejana. Gerakan hasil reduksi tersebut mempunyai pola sirkulasi. Akibat
yang ditimbulkan dari operasi pengadukan adalah terjadinya pencampuran
(mixing) dari satu atau lebih komponen yang teraduk.
Adapun proses pencampuran  bertujuan untuk menggabungkan bahan
menjadi suatu campuran yang menyebar secara sempurna. Secara fisik bahan –
bahan yang ada dialam terdiri dari berbagai bentuk dan fase, oleh karena itu
proses pencampuranpun terdiri dari berbagai variasi sesuai dengan jenis bahan
yang akan dicampur.
Jenis atau bentuk bahan yang akan dicampur menentukan jenis blade atau
impeler yang akan digunakan. Ada bermacam-macam blade dengan bentuk yang
beragam sesuai bentuk bahan. Pengadukan bahan cair pada umumnya dilakukan
dalam suatu bejana, biasa berbentuk silinder yang memiliki sumbu vertikal.
Bagian atas dari bejana dapat terbuka terhadap udara atau boleh juga ditutup.
Selain dari bentuk bejana tersebut, perlu ditambahkan perlengkapan-perlengkapan
yang mendukung proses pengadukan, seperti impler dimana ada bermacam-
macam impler dengan bentuk yang beraneka ragam sesuai dengan pola
pengadukan yang dibutuhkan.
Dalam praktikum ini kami melakukan percobaan pencampuran untuk
mengetahui kecepatan rotasi mesin permenit.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun Tujuan dari Praktikum Mixing ini adalah :
1. Mempelajari fenomena pengadukan yaitu berupa aliran aksial, radial dan
tangensial di dalam tangki berpengaduk
2. Membuat grafik hubungan antara Reynold Number dengan Power Number
untuk pengaduk tertentu dengan referensi pengaduk yang lazim. Grafik
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi daya yang dibutuhkan oleh
mekanisme penggerak pengaduk.

113
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pengadukan

Pengadukan adalah operasi yang menciptakan terjadinya gerakan di dalam


bahan yang diaduk. Tujuan utama dari operasi pengadukan adalah terjadinya

114
pencampuran yang homogen. Pencampuran merupakan suatu operasi yang
bertujuan untuk mengurangi ketidaksamaan komposisi, suhu atau sifat lain yang
terdapat dalam suatu bahan. Pencampuran dapat terjadi dengan cara menimbulkan
gerakan di dalam bahan itu yang menyebabkan bagian-bagian bahan bergerak satu
dengan yang lainnya, sehingga operasi pengadukan hanya salah satu caranya.
Pencampuran fasa cair merupakan hal yang penting dalam berbagai proses kimia.
Pencampuran fasa cair dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu :

1. Pencampuran antara cairan yang saling tercampur (miscible).


2. Pencampuran antara cairan yang tidak saling tercampur (immiscible).

Pencampuran fasa cair dikenal pula pencampuran fasa cair yang pekat
(lelehan, dsb), pencampuran fasa padat (bubuk kering), pencampuran fasa gas dan
pencampuran antar fasa.

Tujuan pengadukan adalah :

1. Untuk mencampur zat cair yang mampu bercampur.


2. Menghasilkan turbulensi yang cukup sehingga terjadi transfer massa antar
fasa.
3. Agar terjadi transfer panas yang baik antara zat cair dengan mantel panas.
4. Untuk menyebarkan zat cair yang tidak bercampur dengan zat cair lainnya,
sehingga membentuk emulsi atau suspensi butiran halus.

Pemilihan pengaduk yang tepat menjadi salah satu factor penting dalam
menghasilkan pencampuran yang efektif.

2.2 Tangki Pengaduk

Proses pencampuran dalam fase cair dilandasi oleh mekanisme


perpindahan momentum di dalam aliran turbulen, pencampuran terjadi dalam
skala yang berbeda, yaitu :

1. Pencampuran sebagai akibat aliran cairan secara keseluruhan (bulk flow)


disebut mekanisme konvektif.

115
2. Pencampuran karena adanya gumpalan-gumpalan fluida yang terbentuk
dan tercampurkan di dalam medan aliran yang dikenal “eddies”,
mekanisme pencampuran ini disebut juga “eddy diffusion”.
3. Pencampuran karena gerak molekuler, merupakan mekanisme
pencampuran-pencampuran yang dikenal juga sebagai “difusi”.

Salah satu sarana untuk pencampuran fasa cair adalah tangki pengaduk.

 Bentuk : pada umumnya digunakan bentuk silinder dan bagian


bawahnya cekung
 Ukuran : yaitu diameter dan tinggi tangki
 Kelengkapan :
a. Ada tidaknya baffle
b.Jaket atau coil pendingin dan pemanas yang bersifat pengendali suhu

Gambar 1. Tangki Berpengaduk

Keterangan :
E : Ketinggian pengaduk dari dasar tangki
Dt : Diameter tangki
Da : Diameter pengaduk
J : Lebar sekat (baffle)
H : Ketinggian air dalam tangki pengaduk
W : Lebar impeller (pengaduk)
L : Panjang impeller (pengaduk)

116
2.3 Macam-Macam Pengaduk

Menurut aliran yang dihasilkan, pengaduk dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Pengaduk aliran aksial yang akan menimbulkan aliran sejajar denga


sumbu putar.
2. Pengaduk aliran radial yang akan menimbulkan aliran yang berarah
tangensial dan radial terhadap bidang rotasi pengaduk. Komponen aliran
tangensial menyebabkan timbulnya vortex dan terjadinya pusaran, dan
dapat dihilangkan dengan pemasangan baffle.
3. Pengaduk aliran campuran yang merupakan gabungan dari kedua jenis
pengaduk di atas.

Menurut bentuknya, pengaduk dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Propeller
Jenis pengaduk ini bisa digunakan untuk kecepatan pengadukan tinggi
dengan aliran viskositas rendah.

Gambar 2. Pengaduk Propeller


2. Turbine
Turbine adalah pengaduk dengan sudu tegak datar dan bersudut konstan.
Pengaduk jenis ini digunakan untuk fluida viskositas rendah, seperti pada
pengaduk jenis propeller. Pengaduk turbine memberikan arah radial dan
tangensial. Di sekitar turbine terjadi daerah turbulensi yang kuat, arus, dan
gesekan yang kuat dari fluida.

117
Gambar 3. Pengaduk Turbine

3. Paddles
Bentuk pengaduk ini memiliki minimum dua sudu, horizontal atau
vertikal, dengan nilai D/T yang tinggi. Paddle digunakan pada aliran
fluida laminar, transisi atau turbulen tanpa baffle. Pengaduk ini
memberikan aliran arah radial dan tangensial dan hamper tanpa gerak
vertikal sama sekali. Bila digunakan pada kecepatan tinggi akan terjadi
pusaran saja tanpa terjadi agitasi.

Gambar 4. Pengaduk Paddle

4. Baffle
Sekat (baffle) adalah lembaran vertikal datar yang ditempel pada dinding
tangki. Tujuannya adalah mencegah terjadinya pusaran saat pengadukan
dan pencampuran. Namun, pada saat pemakaian sekat akan menambah
beban pengadukan yang berakibat pada bertambahnya daya pengadukan.

118
Gambar 5. Baffle

2.4 Waktu Homogenitas

Waktu homogenitas adalah waktu yang dibutuhkan sehingga diperoleh


keadaan yang homogeny untuk menghasilkan campuran/produk dengan kualitas
yang telah ditentukan. Sedangkan laju pencampuran berlangsung hingga mencapai
kondisi akhir. Dalam operasi pencampuran dalam tangki pengaduk, waktu
pencampuran ini dipengaruhi oleh :

 Ada tidaknya baffle


 Bentuk atau jenis pengaduk
 Ukuran pengaduk (diameter, tinggi)
 Laju putaran pengaduk
 Kedudukan pengaduk pada tangki
 Jumlah daun pengaduk
 Perbandingan kecepatan atau densitas cairan yang diaduk
 Jumlah kedua cairan yang diaduk
 Jenis cairan yang diaduk

2.5 Vortex

Vortex merupakan hal yang dihindari dalam proses pencampuran (mixing),


karena dapat menyebabkan pengumpulan fluida. Hal ini dapat menyebabkan
waktu untuk mencapai homogenitas lebih lama.
Dalam desain agitator vessel, faktor yang penting adalah daya yang
diperlukan untuk menggerakkan impeller. Karena daya yang diperlukan untuk
sistem tertentu tidak dapat diprediksi secara teoritis, dapat dikorelasikan dengan
impeller bilangan Reynolds.

Da 2 N ρ
N ℜ=
μ

dengan

119
NRe : bilangan Reynold

Da2 : diameter pengaduk (m)

N : kecepatan putar pengaduk (rpm)

ρ : densitas campuran (kg/m3)

μ : viskositas campuran (kg/m.s)

Dalam tangki, aliran laminar untuk NRe < 10 dan aliran turbulen NRe > 104,
dan untuk range antara 10 sampai 104 alirannya adalah transisi.

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai
berikut :

120
1) Tangki tanpa buffle (beaker glass 5000 ml)
2) Adaptor
3) Impeller marine propeler
4) Voltmeter
5) Multitester
6) Motor dan stuffing box
7) Penggaris
8) Stopwatch
9) Piknometer ukuran 10 ml
10) Neraca digital
11) Air
12) Kapur

3.2 Prosedur Percobaan

Siapkan alat dan bahan tersebut di atas

Lalu rangkai adaptor, resistor, multitester, dan voltmeter. Kemudian


sambungkan ke motor dan suffing box

Isilah tangki dengan air sampai batas sesuai penugasan

Pasang marine propeller ke stuffing box, lalu pasang tangki yang


sudah diisi air dan posisikan ketinggian impeller dari dasar tangki
sesuai yang ditugaskan

Lakukan pengaturan tahanan

121
Mulailah percobaan dengan cara menaikan voltase secara perlahan
sampai batas-batas yang sudah ditentukan.

Catat waktu per 10 putaran impeller dan ketinggian vortex


setiap voltnya, serta amati pola alirannya

Lakukan percobaan kembali dengan perlakuan yang sama,


terhadap air + kapur sebagai bahan yang akan
dihomogenkan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

4.1.1 Untuk fluida air

N R V I r t N P Nre Npo

122
(ohm (volt (ampere (putaran (waktu (Daya
o (rps)
) ) ) ) ) )
2889,20 729,754
1 50 4 0,08 10 10,47
0,95511 0,32 7 2
0,352 3218,08 582,235
2 50 4,2 0,084 10 9,4
1,06383 8 5 5
1,28700 0,387 3893,17 360,898
3 50 4,4 0,088 10 7,77
1 2 9 4
1,49031 0,423 4508,19 254,038
4 50 4,6 0,092 10 6,71
3 2 7 6
1,50602 0,460 4555,72 268,042
5 50 4,8 0,096 10 6,64
4 8 3 3
1,65016 4991,74 221,092
6 50 5 0,1 10 6,06
5 0,5 9 7
1,80831 0,540 5470,16 181,718
7 50 5,2 0,104 10 5,53
8 8 3 3
1,96078 0,583 5931,37 153,714
8 50 5,4 0,108 10 5,1
4 2 3 4
1,96463 0,627 5943,02
9 50 5,6 0,112 10 5,09
7 2 6 164,341

4.1.2 Untuk fluida air + kapur 1%

R V I r t N P
N
(ohm (volt (ampere (putaran (Daya Nre Npo
o (s) (rps)
) ) ) ) )
0,66533 2007,18 2125,66
1 50 4 0,08 10 15,03
6 0,32 7 6
0,352 2543,67 1151,46
2 50 4,2 0,084 10 11,86
0,84317 8 7 5
0,95419 0,387 2878,62 871,941
3 50 4,4 0,088 10 10,48
8 2 7 5
1,08577 0,423 3275,57 646,833
4 50 4,6 0,092 10 9,21
6 2 2 8
1,29701 0,460 3912,84 413,184
5 50 4,8 0,096 10 7,71
7 8 2 2
1,58982 4796,18
6 50 5 0,1 10 6,29
5 0,5 7 243,439

123
1,68634 0,540 5087,35 220,632
7 50 5,2 0,104 10 5,93
1 8 5 2
1,91204 0,583 5768,26 163,226
8 50 5,4 0,108 10 5,23
6 2 3 5
1,96078 0,627 5915,29 162,773
9 50 5,6 0,112 10 5,1
4 2 7 9

4.2 Pembahasan

Mixing adalah suatu proses penyebaran bahan dengan pola sirkulasi


tertentu. Proses mixing dilakukan dengan tujuan untuk menghomogenkan
beberapa campuran zat cair. Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mempelajari
fenomena pengadukan berupa aliran aksial, radial, dan tangensial didalam tangki
berpengaduk. Serta membuat grafik hubungan antara Reynold Number dengan
Power Number untuk pengaduk tertentu.

Adapun fluida yang digunakan dalam praktikum ini adalah air dan air +
kapur. Proses mixing dilakukan didalam sebuah tangki (bekker glass) tanpa baffle
dengan ketinggian fluida didalam tangki yaitu 10,5 cm, dan impeller berada pada
3,5 cm dari dasar tangki. Impeller yang digunakan pada praktikum ini yaitu
impeller jenis marine type, dimana setelah dilakukan pengamatan ternyata pola
sirkulasi pengadukan yang dihasilkan oleh impeller tipe marine adalah aksial. Pola
aliran aksial yaitu pola aliran yang bekerja pada arah paralel (sejajar) dengan
poros. Aliran aksial di operasikan pada kecepatan putaran yang tinggi sehingga
sangat cocok untuk suatu cairan yang memiliki viskositas rendah.

Percobaan pertama menggunakan fluida air, hambatan yang digunakan


dalam praktikum ini disetting sebesar 50 ohm, dan voltase divariasikan mulai dari
4 s/d 5,6 volt. Dari hasil percobaan ternyata semakin tinggi voltasenya, waktu
yang dibutuhkan untuk 10x putaran semakin sedikit atau semakin cepat. Hal
tersebut disebabkan oleh meningkatnya kecepatan impeller untuk bergerak seiring
dengan kenaikan voltasenya. Berdasarkan hasil percobaan yang telah kami

124
lakukan ternyata terdapat kesesuaian dengan teori yaitu semakin tinggi kecepatan
pengaduk maka semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan untuk mengaduk.
Kecepatan berputar impeller tersebut mempengaruhi nilai Nre, dimana semakin
cepatnya impeller berputar maka semakin besar nilai Nre yang dihasilkan.
Sedangkan Nilai Nre sangat mempengaruhi nilai Npo. berdasarkan analisa dari
grafik fungsi Nre terhadap Npo didapatkan semakin besar nilai Nre maka semakin
kecil nilai Npo nya. Sehingga semakin cepat impeller berputar maka semakin
kecil pula nilai Npo nya.

Selain mempengaruhi nilai Nre dan Npo, kecepatan berputar suatu


impeller pun berpengaruh terhadap kedalaman vorteks yaitu semakin cepat
impeller berputar maka vorteks yang terbentuk semakin dalam. Vortex adalah
putaran air yang membentuk aliran yang bergerak secara tangensial. Vortex pada
permukaan zat cair ini terjadi karena adanya sirkulasi aliran laminer cenderung
membentuk stratifikasi pada berbagai lapisan tanpa adanya aliran longitudinal
antara lapisan-lapisan itu. Vortex merupakan hal yang harus dihindari dalam
proses pencampuran (mixing), karena dapat menyebabkan penggumpulan fluida,
sehingga dapat menyebabkan waktu untuk mencapai homogenitas lebih lama.
Namun dalam percobaan yang kami lakukan tidak dihasilkan vorteks, karena
hambatan yang kami gunakan besar sehingga kecepatan berputar impeller tidak
terlalu cepat. Selain itu, viskositas dari fluida itu sendiri pun mempengaruhi
kecepatan pengadukan semakin tinggi viskositas suatu fluida maka semakin besar
hambatan impeller untuk berputar, sehingga kecepatan putaran pengaduk menjadi
berkurang begitupun sebaliknya. Berikut adalah grafik nilai Nre Vs Npo
berdasarkan percobaan yang telah kami lakukan.

125
Gambar 1. Grafik hubungan antara Nre terhadap Npo pada fluida air

Pada gambar diatas menjelaskan hubungan antara Nre terhadap Npo,


dimana berdasarkan gambar semakin besar nilai Nre maka nilai Npo semakin
kecil, karena nilai Nre berbanding lurus dengan kecepatan rotasi, sedangkan nilai
Npo kecepatan rotasi berbanding terbalik dengan nilai Npo yang dihasilkan. Hal
tersebutlah yang menyebabkan semakin besar nilai Nre maka nilai Npo semakin
kecil.

Pada percobaan kedua yaitu menggunakan fluida air + slurry, slurry yang
kami gunakan dalam percobaan ini adalah kapur sebanyak 1 % dari volume air.
Dalam percobaan kedua ini hambatan yang kami gunakan sama dengan percobaan
yang pertama yaitu 50 ohm, dan pengaduk yang digunakanpun sama yaitu marine
type. Pada percobaan kedua ini didapatkan perbedaan kecepatan impeller, dimana
pada percobaan ini waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 putaran dengan
kondisi hambatan dan tegangan yang sama lebih lama daripada waktu pada
percobaan pertama, hal tersebut mungkin disebabkan karena hambatan yang
dihasilkan oleh fluida menjadi bertambah tinggi dengan adanya penambahan
slurry berupa kapur sebanyak 1%, dan daya yang dihasilkan motor pengaduk
mungkin lebih kecil daripada daya yang dibutuhkan oleh pengaduk untuk dapat
berputar. Namun dalam percobaan kedua ini kami juga tidak mendapatkan
vorteks, hal tersebut karena hambatan yang digunakan terlalu besar, sama dengan
percobaan pertama. Berikut grafik hubungan antara Nre dengan Npo pada
percobaan kedua.

126
Gambar 2. Grafik hubungan antara Nre terhadap Npo pada larutan kapur 1%

Dari gambar 2. Grafik hubungan antara Nre terhadap Npo pada fluida air
+ kapur 1% tersebut terlihat bahwa semakin besar nilai Nre maka nilai Npo
semakin kecil, hal tersebut memiliki kesesuaian dengan teori. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, nilai Nre dan Npo tergantung dari kecepatan rotasi impeller
yang digunakan.

Pada praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa faktor-


faktor yang mempengaruhi Nre dan Npo adalah jenis impeller, kecepatan
pengaduk, massa jenis zat, daya, dan viskositas. Jenis impeller sangat
mempengaruhi nilai Nre dan Npo karena masing-masing impeller memiliki
diameter yang berbeda-beda dan aliran yang dihasilkan pun berbeda-beda pula.
Kemudian faktor selanjutnya yaitu kecepatan pengaduk, semakin cepat pengaduk
berputar maka waktu yang dibutuhkan untuk menghomogenkan suatu fluida
semakin cepat pula. Semakin cepat rotasi impeller maka dapat menimbulkan
vorteks sehingga untuk menghindari terjadinya vorteks maka hal yang perlu
dilakukan yaitu menambahkan baffle pada dinding tangki ataupun menempatkan
pengaduk tidak tepat di tengah tangki yaitu di tempatkan dipinggir tangki. Selain
itu semakin tinggi massa jenis suatu suatu fluida maka semakin lambat kecepatan
putarannya dan waktu yang dihasilkan pun semakin lama, begitu juga dengan
viskositas atau kekentalan suatu zat. Daya pun berpengaruh terhadap kecepatan
putaran impeller dimana semakin besar daya yang dihasilkan maka semakin besar
kecepatannya dan nilai Nre akan lebih besar sehingga nilai Npo nya kecil.

127
BAB V
SIMPULAN
Adapun kesimpulan yang didapat dari hasil percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. Pengadukan dengan menggunakan impeller tipe marine menghasilkan pola


aliran aksial
2. Semakin besar voltase yang disuplai maka semakin cepat waktu
pengadukan yang dihasilkan
3. Semakin besar nilai bilangan Reynold maka semakin kecil nilai Power
number yang dihasilkan
4. Faktor yang mempengaruhi nilai bilangan reynold yaitu : jenis impeller,
kecepatan pengaduk, massa jenis zat, daya, dan viskositas
5. Posisi pengaduk dipusat tangki dapat mengakibatkan terbentuknya
vorteks, agar tidak terjadi vorteks maka dinding tangki perlu ditambahkan
baffle atau memasang impeller tidak dipusat tangki

128
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Dasar Teori mixing (online). Tersedia


http://document.tips/documents/dasar-teori-mixing.html. Diakses pada 22
mei 2017.

Geankoplis,C.J. 1993. Transport Process and Unit Operations 3nd edition.


Singapore : Allyn and Bacon inc.

Mc.Cabe, and Smith.1993.Unit Operation of Chemical Engineering. New York:


Mc.Graw Hill Book,inc.

Tim instruktur Laboratorium OTK. Penuntun Praktikum Intruksional I.Lampung :


Universitas Lampung

129
LAMPIRAN

130
LAMPIRAN PERHITUNGAN

a. Untuk Fluida Air


 Data 1
V 4 Volt
 I = = = 0,08 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,32 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (0,95511 rps )(1000 kg /m 3)
 Nre = = = 2889,207
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,32 N .m/ s ¿ ¿
= 729,7542
( 5,5 cm ) ( 0,95511 cm)3 (1000 kg /m3)
5

 Data 2
V 4,2 Volt
 I = = = 0,084 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,2 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,3528 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,06383 rps)(1000 kg/m3)
 Nre = = = 3218,085
µ 0,001 Pa . s

131
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,3528 N . m/ s ¿ ¿
= 582,2355
( 5,5 cm ) ( 1,06383cm )3 (1000 kg /m3)
5

 Data 3
V 4,4 Volt
 I = = = 0,088 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,3872 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,287001 rps)(1000 kg /m3)
 Nre = = = 3893,179
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,3872 N . m/s ¿ ¿
= 360,8984
( 5,5 cm ) ( 1,287001 cm )3 (1000 kg/m 3)
5

 Data 4
V 4,6 Volt
 I = = = 0,092 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,6 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,4232 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,490313 rps)(1000 kg/m3)
 Nre = = = 4508,197
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,4232 N . m/s ¿ ¿
= 254,0386
( 5,5 cm ) ( 1,490313 cm )3 (1000 kg /m3)
5

 Data 5
V 4,8 Volt
 I = = = 0,096 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,8 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,4608 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,506024 rps)(1000 kg /m 3)
 Nre = = = 4555,723
µ 0,001 Pa. s

132
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,4608 N . m/ s ¿ ¿
= 268,0423
( 5,5 cm ) ( 1,506024 cm )3( 1000 kg/m3)
5

 Data 6
V 5Volt
 I = = = 0,1 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,650165 rps)(1000 kg/m3)
 Nre = = = 4991,749
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5 N . m/ s ¿ ¿
= 221,0927
( 5,5 cm ) ( 1,650165cm )3 (1000 kg /m3)
5

 Data 7
V 5,2Volt
 I = = = 0,104 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,2 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5408 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,808318 rps)(1000 kg/m3)
 Nre = = = 5470,163
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5408 N . m/ s ¿ ¿
= 181,7183
( 5,5 cm ) ( 1,808318cm )3 (1000 kg /m3)
5

 Data 8
V 5,4 Volt
 I = = = 0,108 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5832 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,960784 rps)(1000 kg /m 3)
 Nre = = = 5931,373
µ 0,001 Pa. s

133
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5832 N . m/s ¿ ¿
= 153,7144
( 5,5 cm ) ( 1,960784 cm)3 (1000 kg /m3)
5

 Data 9
V 5,6Volt
 I = = = 0,112 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,6 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,6272 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,964637 rps)(1000 kg/m3)
 Nre = = = 5943,026
µ 0,001 Pa . s
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,6272 N . m/s ¿ ¿
= 164,341
( 5,5 cm ) ( 1,964637 cm )3 (1000 kg /m3)
5

b. Untuk Fluida Air + kapur 1 %


Densitas fluida air + kapur 1% = 1015,59 kg/m3
μ larutan kapur (Pa.s) = 0,00101835 Pa.s
 Data 1
V 4 Volt
 I = = = 0,08 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,32 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (0,665336 rps )(1015,59 kg/m 3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
2007,187
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,32 N .m/ s ¿ ¿
= 2125,666
( 5,5 cm )5 ( 0,665336 cm)3 (1015,59 kg /m3)
 Data 2
V 4,2 Volt
 I = = = 0,084 Ampere
R 50 ohm

134
V 2 ( 4,2 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,3528 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (0,84317 rps)(1015,59 kg/m 3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
2543,677
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,3528 N . m/ s ¿ ¿
= 1151,465
( 5,5 cm ) ( 0,84317 cm )3(1015,59 kg/m3)
5

 Data 3
V 4,4 Volt
 I = = = 0,088 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,3872 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (0,954198 rps)(1015,59 kg/m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
2878,627
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,3872 N . m/s ¿ ¿
= 871,9415
( 5,5 cm ) ( 0,954198 cm )3 (1015,59 kg /m3)
5

 Data 4
V 4,6 Volt
 I = = = 0,092 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,6 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,4232 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,085776 rps)(1015,59 kg/m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
3275,572
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,4232 N . m/s ¿ ¿
= 646,8338
( 5,5 cm ) ( 1,085776 cm )3 (1015,59 kg /m3)
5

 Data 5

135
V 4,8 Volt
 I = = = 0,096 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 4,8 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,4608 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,297017 rps)(1015,59 kg/m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
3912,842
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,4608 N . m/ s ¿ ¿
= 413,1842
( 5,5 cm ) ( 1,297017 cm)3 (1015,59 kg /m3)
5

 Data 6
V 5Volt
 I = = = 0,1 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,589825 rps)(1015,59 kg /m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa . s
4796,187
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5 N . m/ s ¿ ¿
= 243,439
( 5,5 cm ) ( 1,589825cm )3 (1015,59 kg /m3)
5

 Data 7
V 5,2Volt
 I = = = 0,104 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,2 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5408 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,686341 rps)(1015,59 kg /m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa . s
5087,355
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5408 N . m/ s ¿ ¿
= 220,6322
( 5,5 cm ) ( 1,686341cm )3 (1015,59 kg /m 3)
5

136
 Data 8
V 5,4 Volt
 I = = = 0,108 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,4 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,5832 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,912046 rps)(1015,59 kg/m3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
5768,263
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,5832 N . m/s ¿ ¿
= 163,2265
( 5,5 cm ) ( 1,912046 cm )3 (1015,59 kg /m3)
5

 Data 9
V 5,6Volt
 I = = = 0,112 Ampere
R 50 ohm
V 2 ( 5,6 )2 Volt
 P(motor) = = = 0,6272 N.m/s
R 50 ohm
Da2 N ρ ( 5,5 cm)2 (1,960784 rps)(1015,59 kg/m 3)
 Nre = = =
µ 0,00101835 Pa. s
5915,297
P
 Npo = =
Da N 3 ρ
5

0,6272 N . m/s ¿ ¿
= 162,7739
( 5,5 cm ) ( 1,960784 cm)3 (1015,59 kg /m3)
5

LAMPIRAN DOKUMENTASI
NO Gambar Keterangan
1.
Alat proses mixing

137
2.
Gelas Beaker
Digunakan untuk proses Mixing

3.
Stopwatch
Digunakan untuk menghitung waktu
setiap rotasi

4.
Slurry
Slurry yang digunakan adalah CaCO3

5.
Pengaduk
Jenis pengaduk yang kami gunakan
adalah Maryne Type Propeller

6.
DC Adaptor
Digunakan untuk mengubah aliran
listrik menjadi tegangan

7.
Voltmeter
Digunakan untuk mengukur besar
tegangan listrik pada proses mixing

8.

138
Dimmer
Digunakan untuk mengatur
kecepatan dari impeler nya

9.
Piknometer
Digunakan untuk menghitung
densitas

10.
Proses mixing saat ditambahkan
slurry

139

Anda mungkin juga menyukai