LN Char6021 04 R0
LN Char6021 04 R0
Week 4
1
Materi ini diadaptasi dari Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004).
Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
A. PENDAHULUAN
Pesimisme dan sinisme tersebut lahir dari kenyataan bahwa hampir semua
konflik-konflik antara kelompok masyarakat bahkan antara bangsa berkaitan baik langsung
maupun tidak langsung dengan agama. Bahkan agama dapat dijadikan sebagai dasar yang
legitimate untuk berkonflik dengan yang lainnya. Konflik yang melibatkan identitas agama
tidak hanya terjadi antara kelompok agama yang satu dengan agama yang lainnya, tetapi
bahkan sangat sering konflik itu terjadi antara kelompok-kelompok dalam agama yang sama.
Tentang fenomena ini tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencari dan menemukan contoh-
contoh aktualnya. Contoh-contoh itu datang dari berbagai belahan dunia ini.
Agama seharusnya dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik,
dunia yang lebih adil, dan dunia yang damai. Hal ini disebabkan karena, agama secara
historis dan teologis lahir dari kondisi di mana manusia hidup dalam dosa. Agama dalam
konteks ini mendorong transformasi social, dari situasi dosa (konflik), ketidakberdayaan
(kemisnikan, kebodohan) menjadi situasi yang lebih baik, adil, damai, sukacita. Singkatnya,
agama menghadirkan situasi surga di dunia ini.
Selain itu, berusahalan untuk membangun dialong dengan berbagai kelompok agama
yang berbeda. Perbedaan dalam konteks ini adalah cara Tuhan memberikan pesan-Nya
kepada manusia. Tuhan tentu paling tahu bahwa otak manusia dan iman manusia tidak cukup
untuk menangkap berbagai pesan-Nya kepada manusia. Oleh karena itu, pesan-pesan itu
menjadi terkelompok dalam berbagai agama-agama. Dalam konteks ini, berdialong dengan
berbagai macam kelompok agama untuk membangun dunia yang lebih baik merupakan cara
agama untuk menemukan pesan Tuhan mengenai bagaiman perdamaian di dunia ini harus
diciptakan.
Dialog antara kelompok agama dalam konteks ini harus diterima sebagai fitrah
agama-agama. Tanpa dialog manusia tidak dapat pernah dapat mendengarkan pesan Tuhan
tentang bagiaman dunia harus dibangun.
1. Pengertian Dialog
Secara sederhana dialog dapat diartikan sebagai pembicaraan langsung antara
orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda tentang suatu hal, untuk saling tukar
informasi, sehingga memperoleh saling pengertian di antara mereka.
Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti
(Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 367), dalam bukunya Wacana Budha Dharma dinyatakan
bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi tidak setiap dialog itu cocok untuk setiap orang
dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog antar agama dibedakan sebagai berikut;
a) Mengakui perbedaan pemahaman terhadap Kitab Suci orang lain. Karena umat
Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka
juga memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan
tafsiran atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena mereka merupakan
bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi memiliki kristologi sendiri
yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen dan
Yahudi berhak memiliki islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang
berbeda antara umat Islam, Kristem dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim
(Abraham), Musa dan Isa atau Yesus.
b) Menghargai perbedaan pemahaman terhadap Kitan Suci dalam agama tertentu.
Kalangan Liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan
pewahyuan Ilahi, namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan
produk pewahyuan secara harafiah. Sedangkan kaum konvervatif tidak
sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni sebagai wahyu
ilahi, sekaligus teks dan isinya. Perbedaan pandagan seperti ini
memperlihatkan betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan
sejarah dan teologi yang berbeda tentang iman dan Kitab Suci orang atau
agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka sendiri.
c) Berdebat secara cerdas dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus
dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada
penghujatan, pengkafiran, pelabelan ‘setan’ terhadap mitra dialog, atau
theological judgment. Lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan.
Persoalan siapa yang masuk surge dan siapa yang masuk neraka bukanlah
persoalan sesame manusia. Itu Pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan
dan menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalah
pencarian kebenaran secara tulus dan bertanggung jawab. Seorang Muslim
Muncul kritik bahwa teologi cenderung melangit, jauh dari kenyataan dan urgensi
kemanusiaan. Teologi juga cenderung tekstual dan dogmatis sekali. Agama dibatasi lebih
sebagai kepercayaan teologis dan filosofis, dan tidak dikontekstualisasikan dalam sejarah
perjuangan hidup riil manusia. Padahal teologi adalah cara memahami pesan Tuhan dalam
konteks yang berbeda-beda. Teologi sebaiknya dikembangkan secara kritis dalam situasi
yang serba majemuk dan multi kompleks sekarang ini adalah teologi yang mampu
melahirkan pencerahan dan pembebasan dari berbagai belenggu keterikatan dan
ketertinggalan. Kita membutuhkan teologi yang membumi, teologi yang kontekstual, teologi
yang mampu menjawab masalah-masalah dasar kemanusiaan, serta dapat menjadi pegangan
dalam menggumuli berbagai praksis hidup dengan tantangannya.
Dalam ajaran agama Islam, nilai pembebasan menuju keadilan juga sangat
ditekankan. Nabi Muhammad SAW, nabinya orang Islam, juga sangat concern terhadap
pembebasan orang-orang yang lemah, seperti menganjurkan pembebasan para budak, karena
hal itu bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan. Doa
orang-orang yang tertindas akan sangat ampuh, jika mereka berdoa akan didengar oleh
Tuhan. Bagitu juga kerja keras dalam rangka menegakkan kebaikan dan mencegah atau
melawan keburukan, adalah nilai luhur yang ditekankan oleh Islam. Wacana kebebasan
manusia dan takdir sesungguhnya bermuara pada pemahaman bahwa manusia bebas memilih
perbuatanya sendiri. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih dan
menentukan pilihannya sendiri di antara sekian banyak kemungkinan. Sesungguhnya Allah
tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, atau suatu kaum, kecuali orang atau kaum itu
mau mengubah nasibnya sendiri (Quran 13:11).
Islam telah memberikan suatu kode hak asasi manusia yang ideal kepada umat manusia.
Tujuan dari hak-hak itu adalah untuk memberikan kehormatan dan harga diri kepada
manusia, serta untuk menghapuskan eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan.
1. Pentingnya Kerjasama
Untuk lebih efektif menjalankan perannya sebagai sebuah kekuatan pembebas,
maka agama-agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan koeksistensinya yang paling tinggi,
yaitu kerjasama. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran
akan pentingnya kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling
berhasil dalam suatu kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerja sama antar
kelompok yang berbeda sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme
kolaboratif sedang dibangun. Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan
mengatasi masalah-masalah akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan
disitegrasi nasional. Baik keterasingan budaya maupun asimilasi budaya dapat membawa
masalah apabila kerja sama tidak dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai
a) Penegakan keadilan
Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita
ketidakadilan. Di berbagai sektor kehidupan berlangusng perlakuan yang tidak
sama, baik terhadap individu maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah,
gender, agama, status dan sebagainya). Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan
cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupn, tanpa ada yang sungguh-sungguh
peduli denga itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk memainkan peran
pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-sama
mengambil langkah-langkah sgtrategis untuk mengurangi bahkan memberantas
praktek yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup
lama itu.
c) Perbaikan akhlak
Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan
moral yang terkandung didalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas
bagi umatnya. Di sini peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen
agama sendiri sangat diharapkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut
untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan iman zaman ini, yang menyarakan
kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan keselamatan umat
manusia. Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi
tumbuh kembang iklim keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi
persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan harus berefleksi kambali apakah sudah
memainkan peran yang tepat dalam menumbuh-kembangkan iklim keagamaan
yang kondusif di Indonesia. Juga dapat manyakan pada dirinya apakah sudah
menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah
dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Pertanyaan kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau
melakukan kejatahan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu
mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya. Bukan agama yang gagal melainkan
tokoh dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara
tidak benar. Kesalehan indivud nampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan
Agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah
peran menciptakan perdamaian dunia. Agama semestinya bukan hanya masalah hubungan
pribadi dengan Tuhan, bukan juga hanya urusan menyangkut para pengikut agama masing-
masing. Kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya agama-agama, dengan berbagai ajaran suci
di dalamnya, memiliki visi dan misi yang sama, semua memuat pesan kebaikan, cinta kasih,
keadilan, yang mengarahkan umatnya untuk hidup semakin baik, dan menjadikan dunia ini
menjadi hunian yang semakin baik bagi manusia. Melihat visi, misi, dan pesan-pesan itu,
maka agama-agama memiliki peluang besar untuk memainkan peran penting bagi
terciptanya perdamaian dunia, memiliki pengaruh besar mendorong terciptanya hubungan
yang semakin baik antar antar sesama manusia, entah apapun latar belakangnya.
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo