Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Seluruh aktivitas didalam tubuh manusia diatur oleh sistem saraf. Dengan kata lain,
sistem saraf berperan dalam pengontrolan tubuh manusia. Denyut jantung, pernafasan,
pencernaan, dan urinaria dikontrol oleh sistem saraf. Sistem saraf juga mengatur aliran darah,
dan konsentrasi osmotik darah.
Tubuh manusia akan berada dalam kondisi sehat jika mampu berespon dengan tepat
terhadap perubahan-perubahan lingkungan secara terkoordinasi. Tubuh memerlukan
koordinasi yang baik. Salah satu sistem komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf.
Pengkajian system persarafan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk
dilakukan dalam rangka menentukan diagnosa keperawatan tepat dan melakukan tindakan
perawatan yang sesuai. Pada akhirnya perawat dapat mempertahankan dan meningkatkan
status kesehatan klien.
Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian yang berupa
wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien yang berhubungan dengan
system persarafan seperti riwayat hipertensi, stroke, radang otak, atau selaput otak,
penggunaan obat-obatan dan alcohol, dan penggunaan obat yang diminum secara teratur.
Tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status mental,
pemeriksaan saraf cranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan
reflex. Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan prinsip-prinsip head to toe,
chepalocaudal dan proximodistal. Harus pula diperhatikan keamanan klien dan privacy klien.

1.2 Rumusan Masalah


1) Jelaskan mengenai anamnesa yang berhubungan dengan gangguan neurosensori!
2) Jelaskan mengenai pemeriksaan fisik gangguan neurosensori!
3) Jelaskan mengenai pemeriksaan diagnostik gangguan neurosensori!
4) Jelaskan prosedur pemeriksaan fisik gangguan neurosensori!

1
1.3 Tujuan
1) Memahami tentang anamnesa yang berhubungan dengan gangguan neurosensori.
2) Memahami tentang pemeriksaan fisik gangguan neurosensori.
3) Memahami tentang pemeriksaan diagnostik gangguan neurosensori.
4) Memahami prosedur pemeriksaan fisik gangguan neurosensori.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anamnesis yang Berhubungan dengan Masalah Gangguan


Neurosensori
Wawancara atau anamnesis dalam pengkajian keperawtan pada system persarafan
merupakan hal utama yang dilaksanakan perawat.
Pengkajian neurologis dimulai saat pertemuan pertama, percakapan dengan klien dan
keluarga adalah sumber yang amat penting dari data yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi fungsi system persyarafan secara keseluruhan anamnesis secara umum
meliputi pengumpulan informasi tentnag status kesehatan klien menyeluruh mengenai
fisik, fisik, psikologi budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status
ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien.
Pengkajian umum neurologis meliputi identitas umum, keluhan utama riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu dan penyakit keluarga yang
berhubungan dengan gangguan neurologis klie. Perawat perlu memahami proses
pengkajian tersebut dengan baik/
1. Identitas klien
Identitiask klien mencakup nama, usia (Pada masalah disfungsi neurologis
kebanyakan terjadi pada usia tua) jenis kelamin, pendidikan, alamat pekerjaan
afama, suku bangsa, tanggal dna jam masuk rumah sakit.
2. Keluahan utama
Keluhan utama pada klien gangguan system persyarafan biasanya akan terlihat
bila sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan yang sering didapatkan meliputi
kelemahan anggota gerak sebelah badan bicara pelp tidak dapat berkomunikasi.
Konvulasi kejang sakit kepala yang hebat nyeri otot, kaku duduk, sakit punggung
tingkat kesadaran menurun (GCS < 15) akral dingin dan ekspresi rasa takut
3. Riwayat penyakit
Pengkajian dengan melakukan anamnesis atau wawancara untuk menggali
masalah keperawatan lainnya yang dilaksanakan perawat adalah mengkaji riwayat
kesehatan kesehatan klien

3
Riwayat yang mendukung keluhan utama perlu dikaji agar pengkajian lebih
kompherensif juga mendukung terhaap keluhan yang paling actual dirasakan klien
a. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian wawancara yang
dilakukan perawat untuk menggali permasalahan klien dari timbulnya keluhan
utama pada gangguan system persyarafan sampai pada saat pengkajian.
Pada gangguan neurologis riawayat penyakit sekarang yang mungkin
didapatkan meliputi adanya riwayat trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak,
lumpuh pada saat klien sedang melakukan aktivitas, keluhan pada
gastrointestinal seperti mual dan muntah bahklan kejang sampai tidak sadar di
gleisah, latarfi, lelah apatis, perubahan pupil, pemakaian obat-obat sedative,
antipsikotik, perangsang saraf) dan lain-lain
b. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu dalam menggali permasalah yang
mendukung masalah saat ini pada klien dengan deficit neurologi adalah sangat
pentung.
Beberapa pertanyaan yang mengarah pada riwayat penyakit dahulu dalam
pengkajian neurologi adalah
a) Apakah klien menggunakan obat-obat seperti analgesic, sedative, hipnotis,
antipsikortik, anti depresi atau perangsang system persyarafan
b) Apakah klien pernah mengeluhkan gejala sakit kepala, kejang, tremor
pusing, vertigo, kebas atau kesemutan pada bagian tubuh, kelemahan nyeti
atau perubahan dalam bicara masa lalu
c) Bila klien telah mengalami salah satu gejala diatas, gali lebih detail
d) Diskusikan dengan pasangan klien atau anggota keluarga dan teman klien
mengenai perubahan prilaku klien akhir-akhir ini
e) Perawat sebaiknya bertanya mengenai riwayat perubahan penglihatan
pendengaran, penghidu, penegcapan, perabaan
f) Riwayat trauma kepala, atau batang spinal, meningitis, kelainan congenital
penyakit neurologism atau konseling psikiatri
g) Riwayat peningkatan kadar gula darha dan tekanan darah tinggi
h) Riwayat tumor baik yang ganas, maupun jinak pada system persyarafan
perlu ditanyakan karena kemungkinan ada hubungan nya dengan keluhan

4
yang sekarang yg dapat memberikan metastasis ke system persyarafan
pusat dengan segala komplikasinya
c. Riwayat penyakit keluarga
Anamnesis akan adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes mellitus yang memberikan hubungan dengan beberapa masalah
disfungsi neurologis seperti masalah stroke haemorafik dan neuropati perifer
4. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif
dan perilaku klien
Pengkajian status emosiolan dan mental secara fisik lebih banyak termasuk
pengkajian fungsi serebral meliputi tingkat kesadaran klien, prilaku kdan
penampilan bahasa dan fungsi intelektual termasuk ingatan, pengetahuan
kemampuan berpikir abstrak asosiasi dan penilaian sebagian besar pengkajian ini
dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam
melaksanakan pengkajian lain dengan memebri pertanyaan dan tetap melakukan
pengawwasan sepanjang waktu unutk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan
pikiran
a. Kemampuan koping normal.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga sera masyarakat dan respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu seperti ktakutan
akan kecacatan rasa cemas, rasa ketidakmampuan utnuk melakukan aktivitas
secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah gangguan citra
tubuh
b. Pengkajian sosiekonomispritual
Oleh Karena klien harus menjalani rawat inap maka perawat harus mengkaji
apakah keadaan ini member dampak pada status ekonomi klien sebab biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga
melakukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan
neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah yaitu keterbatasan yang
5
diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social
klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam system dukungan individu.

2.2 Pemeriksaan Fisik Gangguan Neurosensori


Secara Umum pemeriksaan fisik pada system persarafan ditujukan terhadap area
fungsi utama berikut :
a. Pengkajian tingkat kesadaran
b. Pengkajian fungsi serebral
c. Pengkajian saraf kraniak
d. Pengkajian system motorik
e. Pengkajian respons reflex
f. Pengkajian system sensorik
1. Pengkajian tingkat kesadaran
Kesadaran mempunyai arti yang halus, kesadaran dapat didefinisikan sebagai
keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen
keseluruhan dari impuls aferen dapat disebut output susunan saraf pusat
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan yaitu aksi dan
reaksi terhadap apa yang diserap bersifat sesuai dan tepat. Keadaan saat suatu aksi
sama sekali tidak dibalas dengan suatu reaksi dikenal sebagai koma. Kesadaran
terganggu dapat menonjolnya kedua seginya yaitu unsur tingkat dan unsure
kualitasnya
Apabila terjadi gangguan sehingga tingkat kesadaran menurun sampai tingkat yg
terendah maka koma yang dihadapo dapat terjadi akibat neuron pengemban
kewaspadaan sama sekali tidakberfungsi yang disebut koma diensefalik yang
dapat bersifat supratentorial atau infantentorial (Priguna Sidartha, 1985)
Kualitas kesadaran yang menurun tidak senantiasa menurunkan juga tingkat
kesadaran. Tetapi tingkat kesadaran yang menurun senantiasa menggangu kualitas
kesadaran. Oleh karena itu fungsi mental yang ditandai oleh berbagai macam
kualitas kesadaran sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan penting
yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan.

6
Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan. Istilah-istilah seperti letargi, stupor, dan
semikomatosa adalah istilah yang umum digunakan dalam berbagai area. Dapat
dilihat pada table berikut.

Tabel 2.1. Responsivitas Tingkat Kesadaran


Tingkat Responsivitas Klinis
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya atau
sedikit bingung saat pertama kali
terjaga, tetapi berorientasi sempurna
ketika bangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti
perintah sederhana ketika dirangsang
Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak
Stupor konsisten, dapat mengikuti perintah
sederhana atau berbicara satu kata atau
frase pendek.
Gerakan bertujuan ketika dirangsang;
Semikomatosa tidak mengikuti perintah atau berbicara
koheren.
Koma Dapat berespons dengan postur secara
reflex ketika distimulasi atau dapat
tidak berespons pada setiap stimulus.
Pada keadaan perawatan sesungguhnya, ketika waktu mengumpulkan data untuk
penilaian tingkat kesadaran sangat terbatas, Skala, Glasgow (Glasgow Coma Scale
– GCS) dapat memberikan jalan pintas yang sangat berguna. Skala tersebut
memungkinkan pemeriksa membuat peringkat 3 respons utama klien terhadap
lingkungan seperti respons membuka mata, verbal dan motorik.

Pada setiap kategori respons yang terbaik mendapatkan nilai. Nilai total
maksimum untuk sadar penuh dan terjaga adalah 15. Nilai minimum 3
menandakan klien tidak memberikan respons. Nilai total 8 atau kurang

7
menandakan adanya Koma dan jika bertahan pada waktu yang lama dapat menjadi
satu predictor buruknya pemulihan fungsi.

System penilaian ini dirancang sebagai pedoman untuk mengevaluasi dengan


cepat klien yang sakit kritis atau klien yang cedera sangat berat yang status
kesehatannya dapat berubah dengan cepat.

Respon Motorik Respon verbal


Membuka mata
Terbaik terbaik
Menurut 6 Orientasi 5 Spontan 4
Terlokalisasi 5 Bingung 4
Menghindar 4 Kata tidak dimengerti 3 Terhadap Panggilan 3
Fleksi abnormal 3 Hanya suara 2
Ekstensi 2 Tidak ada 1 Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Tidak dapat 1

2. Pengkajian Fungsi Serebral


a. Status mental
Status mental merupakan keadaan kejiwaan yang dimiliki seseorang. Secara
ringkas prosedur pengkajian status mental klien dapat dilakukan meliputi:
1. Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya dengan melihat cara
berpakaian klien, kerapihan, dan kebersihan diri.
2. Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan
aktifitas motorik semua ini sering memberikan informasi penting tentang
klien.
3. Penilaian gaya bicara klien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.
4. Apakah gaya bicara klien jelas atau masuk akal ?
5. Apakah klien sadar dan berespons atau mengantuk dan stupor
Untuk melihat lebih jauh penilaian status mental bagi perawat terdapat pada
table berikut
PENILAIAN RESPONS
Perhatian Rentang perhatian ke depan dan ke belakang
Daya ingat - Jangka pendek: mengingat kembali tiga item setelah 5

8
menit
- Jangka panjang : mengingat nama depan ibunya,
mengingat kembali menu makanan pagi, kejadian pada
hari sebelumnya.
Perasaan - Amati suasana hati yang tercermin pada tubuh,
(efektif) ekspresi tubuh
- Deskripsi verbal efektif
- Verbal kongruen, indicator tubuh tentang suasana hati.
Bahasa - Isi dan kualitas ucapan spontan
- Menyebutkan benda-benda yang umum, bagian-bagian
dari suatu benda
- Pengulangan kalimat
- Kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pesan-
pesan singkat pada surat kabar, majalah.
- Kemampuan menulis secara spontan, di-dikte.
Pikiran - Informasi dasar (misalnya presiden terbaru, 3 presiden
terdahulu)
- Pengetahuan tentang kejadian-kejadian baru.
- Orientasi terhadap orang tempat dan waktu.
- Menghitung : menambahkan dua angka, mengurangi
100 dengan 7.
Persepsi - Menyalin gambar : persegi, tanda silang, kubus, tiga
dimensi.
- Menggambar bentuk jam membuat peta ruangan.
- Menunjuk ke sisi kanan dan kiri tubuh.
- Memperagakan : mengenakan jaket, meniup peluit,
menggunakan sikat gigi.

b. Fungsi Intelektual
Penilaian fungsi intelektual akan menggungkapkan banyak informasi tentang
kerusakan pada otak. Fungsi intelektual mencakup kegiatan yang mencakup
kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan memanfaatkan pengalama.
Seluruh otak ikut serta saling berhubungan dalam mengembangkan aktivitas
intelektual. Lesi serebral yang bersifat bilateral dan difusi sangat menentukan

9
pelaksanaan intelektual umum sedangkan lesi yang bersifat fokal dapat
menimbulkan aktivitas intelektual yang khusus
c. Daya Pikir
a) Apakah pikiran klien bersifat spontal, alamiah, jernih, relevan dan masuk
akal?
b) Apakah klien mempunyai kesulitan berpikir, khayalan dan keasykan
sendiri?
c) Apa yang menjadi pikiran klien?
d. Status emosional
Secara ringkas pengkajian status emosional klien yang dapat dilakukan
perawat meliputi
a) Apakah tingkah laku klien alamiah, datar peka, pemarah, cemas, apatis,
atau euphoria ?
b) Apakah alam perasaan klien berubah-ubah secara normal atau iramnya
tidak dapat diduga dari gembira menjadi sedih selama wawancara?
c) Apakah tingkah laku klien sesuai dengan kata-kata atau isus dari
pikirannya
d) Apakah komunikasi verbal klien sesuai dengan tampilan komunikasi non
verbal?
e. Kemampuan bahasa
Pengkajian fungsi serebral yang terakhir adalah kemampuan bahasa. Orang-
orang dengan fungsi neurologis normal mampu menegerti dan berkomunikasi
dalam pembicaraan dan bahasa tulisan pada pengkajian ini perawat mungkin
menemukan beberapa hal sebagai berikut :
a) Disfasia
b) Disartria
c) Disfoni

Table 2.4. Pengkajian Klien Disfasia / Afasia


Bicara Lancar Bicara tidak lancer
10
(Disfasia Reseptif, Konduktif (Afasie Ekspresif
atau Nominal)
Menyebut nama-nama benda. Menyebutkan nama-nama benda
Klien dengan afasia nominal, sulit dilakukan tetapi lebih baik
konduktif atau reseptif sulit dari pada bicara spontan
menyebutkan nama-nama benda

Repetisi klien dengan afasia Repetisis mungkind dapat


konduktif dan resptif tidak dapat dilakukan dengan usaha yang
mengulangi pesan bahasa keras repetisi frasa kurang baik

Komprehensi. Hanya klien Komprehensi normal (perintah


dengan afasia reseptif yang tidak tertulis dan verbal dapat diikuti )
dapat mengikuti perintah (verbal
dan tertulis)

Membaca. Klien dengan lesi Tulisan, disgrafia dapat


posterior dan area wernickle ditemukan
menderita disleksia

Menulis klien afasia konduktif Hemiparesis lengan lebih sering


sulit menulis (Disgrafia) terkena dari pada tungkai
sedangkan klein dengan afasia
reseptif isi tulisannya abnormal
klien dengan lesi lobus frontal
dominan dapat juga menderita
disgrafai
3. Pengkajian Saraf Kranial
Pemeriksaan saraf cranial dimuali dengan mengatur posisi klien sehingga duduk
ditepi tempat tidur bila memungkinkan perhatian kepala wajah dan leher klien.
Catat apakah terdapat hidrosefalus (kepala dan wajah menyerupai segitifa terbalik)
atau akromegali.
a. Saraf cranial I
b. Saraf Kranial II

11
a) Tes ketajaman Fisik
b) Tes konfrontosi
c) Pemeriksaan Fundus
c. Saraf III dan IV
d. Saraf Kranial V
e. Saraf Kranial VII
f. Saraf cranial VIII
g. Saraf cranial IX dan X
h. Saraf cranial XI
i. Saraf cranial XII
4. Pengkajian Sistem Motorik
Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik meliputi inspeksi umum (postur,
ukuran otot, gerakan abnormal, dan kulit), fasikulasi, tonus otot, kekuatan otot,
reflex koordinasi dan keseimbangan. Pada peemriksaan system sensorik nilai
persepsi nyeri, temeperatur, vibrasi dan motorik halus.

Inspeksi umum
perawat mundur sebentar dan perhatikan adanya postur yang abnormal
misalnya pada klien dengan hemiplegia akibat stroke pada pemeriksaan ini
anggita badan atas dalam posisi refleksi dan lengan dalam posisi aduksi dan
pronasi sedangkan anggota badan bawah dalam posisi ekstensi kemudian
indentifikasi artrofi otot yang menunjukan adanya denervasi otot, penyakit otot
primer atau kelainan atrofi.
Anggota badan atas
Secara umum pemeriksaan dimulai dari jabat tangan dengan klien dan
perkenalan diri anda. Klein yang tidak dapat melepaskan genggaman tangannya
merupakan tanda-tanda menderita miotonia, penyebab dari kelainan penyakit otot
yang peling sering ini adalah distrofia miotonika. Setelah memelepaskan tangan
dari genggaman klien dan setelah melakukan inspensi umum sekilas sangat
penting, klien diminat melepaskan pakaianya sehingga lengan dan gelang bahu
terbuka selurhnya
Fasikulasi
Kelainan ini merupakan kontraksi bagian-bagian kecil dari otot yang tidak
regular yang tidak mempunyai pila yang ritmis. Fasikulasi dapat bersifat kasar
12
atau halus dan terlihat pada waktu isitirahat, tetapi tidak terjadi selama gerakan
volunteer. Jika tidak ditemukan fasikulasi. Ketuk otot brakiordialisis dan biseps
dengan palu reflex dan amati lagi. Tindakan ini dapat menstimulasi fasikulasi. Jika
fasikulasi terjadi bersama-sama dengan kelumpuhan dan atrofi maka fasikulasi
menunjukan degenerasi dari LMN. Penyebab=peneyebab fasikulasi meliputi
penyakit saraf mototrik, kompresi radiks motorik, neuropati mototrik (Misalnya
keganasan), miopati auisita (misalnya polimiositis, tirotoksikosis)
Tonus Otot
Pada waktu lengan bawah digerak-gerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-
otot ekstensordan fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit
tahanan wajar. Jika semua unsure saraf disingkirkan dari otot (Denervasi) maka
tahanan tersebut sama sekali lenyao. Tahanan itu disebut sebagai tonus otot yang
merupakan manifestari dari resultan gaya saraf (baik motorik maupun sensorik)
yang berada di otot dalam keadaan sehat
Kekuatan otot
Kekeuatan otot dinilai dari perbandingan antara kemampuan pemeriksa
dengan kemampuan untuk melawan tahanan otot volunteer secara penuh dari
klien untuk menentukan apakah kekuata normal, maka umum klien, jenis kelamin,
dan bentuk tubuh harus dipertimbangkan.
Fungsi otot atau kelompok otot klien dievaluasi dengan cara menempatkan
otot pada keadaan yang tidak menguntukngkan. Sebagai contoh otot kuadrisep
adalah otot yang secara penuh bertanggung jawab untuk meluruskan kaki pada
saat kaki dalam keadaan lurus, pengkaji sulit sekali membuat fleksi pada lutu
sebaiknya jika lutut dalam keadaan fleksi dan klien diperintahkan untuk
meluruskan kaki dengan diberi tahanan, maka akan menghasilkan
ketidakmampuan unutk meluruskan kakinya. Walaupun kurang sensitive
pembagian kekuatan otot berdasarkan tingkat dapat dijadikan panduan bagi
perawat untuk melakukan penelitian.

5. Pengkajian Refleks
Refleks adalah respons terhadap suatu rangsang. Gerakan yang timbul disebut
gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan gerakan yang bangkit
untuk menyesuaikan diri baik untuk menjamin ketangkasan gerakan volunteer
maupun untuk membela diri. Gerakan reflektorik tidak saja dilaksanakan oleh
13
anggota gerak akan tetapi setiap otot lurik dapat melakukan gerakan reflektorik.
Selain itu rangsangan tidak saja terdapat di permukaan tubuh, akan tetapi semua
impuls perseptif dapat merangsang gerakan reflektorik, termasuk impuls panca
indra. Setiap suatu rangsangan yang direspons dengan gerakan, menandakan
bahwa antara daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak secara reflektorik itu
terdapat hubungan. Lintasan yang rnenghubungkan reseptor dan efektor
itu.dikenal sebagai busur refleks.
Reseptor di kulit mendapat perangsangan. Suatu impuls dicetuskan dan
Jikirim melalui serabut radiks dorsalis ke sebuah saraf di substansia grisea medula
spinalis. Atas kedatangan impuls tersebut, neuron itu merangsang saraf motorik di
kornu anterioq yang pada gilirannya menstimulasi serabut otot untuk berkontraksi.
Reseptor serabut aferen, interneuron di substansia grisea, saraf motorik, serta
aksonnya berikut otot yang dipersarafinya merupakan busur refleks yang
segmental. Sebagian besar refleks spinal adalah refleks segmental.
Refleks-refleks yang melibatkan kegiatan pancaindra dan kebanyakan reflex
superfisial terjadi dengan perantara busur refleks segmental yang dilengkapi juga
dengan iintasan suprasegmental. Refleks-refleks yang dibangkitkan dalam
pemeriksaan klinis dapat bersifat refleks profunda dan refleks superfisial. Refleks
profunda berarti refleks'terjadi sebagai respons atas perangsangan terhadap otot,
sedangkan refleks superfisial adalah refleks vang terjadi akibat perangsangan
permukaan kulit atau mukosa.
Tendon rerpengaruh langsung dengan palu refleks atau secara tidak langsung
melalui benturan pada ibu jari penguji yang ditempatkan merekat pada tendon. uji
refleks ini nremungkinkan orang yang menguji dapat rnengkaji lengkung refleks
yang tidak disadarri, yang bergantung pada adanya reseptor bagian aferen. sinaps
signal, serabut eferen motorik, dan adanya beberapa pengaruh perubahan yang
bervariasi pada tingkat yang lebih tinggi.

a. Pemeriksaan Refleks Profunda


Gerakan reflekrorik yang timbul akibat perangsangan terhadap otot
dapat dilakukan dengan melakukan ketukan pada tendon, ligamentum atau
periosreum. Oleh karena itu, refleks profunda disebut juga refleks tendon dan
refleks periosteum. Hasil pemeriksaan refleks tersebut merupakan informasi
14
penting yang sangar nrenentukan. Oleh karena itu, rangsangan dan penilaian
yang dilakukan harus repar. Penilaian ini selalu berarti penilaian secara
banding antara sisi kiri dan sisi kanan. Respons terhadap suatu rangsang
bergantung pada intensitas pengerukan.
Oleh karena itu, refleks tendon atau periosteunl kecuali bagian tubuh
yang dapat dibandingkan harus merupakan hasil perangsangan yang
berintensitas sama. Selain itu, posisi anggota gerak yang sepadan pada saat
perangsangan dilakukan harus sama. Oleh karena itu teknik untuk
membangkitkan refleks tendon harus sempurna. Pokok-pokok yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut.
b. Teknik Pengetukan.
Palu refleks tidak boleh dipegang secara keras. Gagang palu refleks
dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk sedemikian rupa sehingga palu
dapat diayun secara bebas. Pengetukan tidak boleh dilakukan seperti gerakan
memotong atau menebas kayu, melainkan menjatuhkan secara terarah kepala
palu refleks ke tendon atau periosteum (Gambar 2.1,9). Dalam hal ini, gerakan
pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan tangan. Tanganlah yang
mengangkat palu refleks, bukan lengan. Kemudian tangan menjatuhkan kepala
palu refleks dengan tepat ke tendon atau periosteum. Refleks tendon harus
benar-benar berarti bahwa yang diketuk adalah tendon. Untuk menjamin hal
itu. pengetukan hendaknya dilakukan secara tidak langsung ,yang berarti
bahwa yang diketuk oleh palu refleks adalah jari pemeriksa .vang ditempatkan
di tendon yang bersangkutan.
Metode perkusi tidak langsung ini dilakukan jika tendon yang
bersangkutan tidak ditopang pada topangan yang cukup keras. Dalam hal ini,
respons terhadap pengetukan pada tendon yang tidak ditopang pada topangan
yang keras adalah lemah atau kurang nyata, sehingga metode tersebut dipakai
untuk merangsang refleks tendon biseps brakialis dan femoris.

c. Pemeriksaan Refleks Patologis


Refleks superfisial adalah gerakan reflektorik yang timbul sebagai respons
atas stimulasi terhadap kulit atau mukosa. Berbeda dengan refleks profunda, reflex
supervisulal tidak saja mempunyai busur refleks yang segmental, melainkan
mempunvai komponen supraspinal juga. Oleh karena itu, refleks superficial dapat
15
menurun atau hilang jika terdapat lesi di busur refleks segmentalnya atau jika
komponen supraspinal mengalami kerusakan.
d. Pemeriksaan Refleks Patologis
Refeks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-orang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defensif atau postural yang jika pada orang dewasa yang sehat
diatur dan ditekan oleh aktivitas susunan piramidal.
Anak kecil berusia antara 4-5 tahun masih belum memiliki susunan
piramidal yang bermielinisasi sempurna, sehingga aktivitas susunan piramidalnya
masih belum sernpurna. Oleh karena itu, gerakan reflektorik yang dinilai sebagai
refleks patologis pada orang dewasa, tidak selamanya patologis jika diiumpai pada
anak-anak kecil. Akan tetapi pada orang dewasa refleks patologis selalu
merupakan tanda terjadinya lesi UMN.
Refleks-refleks patologis sebagian bersifat refleks profunda dan sebagian
lainnva bersifat refleks superfisial. Reaksi yang diperlihatkan oleh reflex parologis
itu sebagian besar adalah sama, akan tetapi mendapat julukan yang bermacam-
macam, karena cara membangkitkannya berbeda-beda.
e. Refleks Plantar.
Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan plantar fleksi kaki
dan fleksi semua jari kaki pada kebanyakan orang yang sehat. Respons yang
abnormal terdiri atas ekstensi serta pengembangan jari-jari kaki dan elevasi ibu
jari kaki. Respons ini disebut respons ekstensor plantar yang lebih dikenal dengan
refleks Babinski positif
Respons patologis ini merupakan salah satu tanda yang menunjukkan terjadinya
lesi di susunan piramidal.

f. Gerakan Sekutu.
Gerakan sekutu (associated ntouements) adalah gerakan tidak volunter dan
reflekrorik yang selalu timbul pada setiap gerakan volunter. Gerakan-gerakan
tersebut mengatur sikap dan mengiringi gerakan voluntet agar ketangkasan dan
efektivitas gerakan volunter lebih terjamin. Dalam keadaan patologis, gerakan
16
sekutu bisa hilang atau bangkit secara berlebihan. Gerakan sekutu lenyap pada
penyakit ekstrapiramidal. Oleh karena adanya proses patologis di susunan
piramidal, gerakan sekutu tidak akan ditemukan pada orang-orang sehat.
Oleh karena itu, gerakan sekutu disebut gerakan sekutu abnormal atau
patologis. Jika sebelurn mengalami kerusakan, gerakan sekuru fisiologis tidak
hilang, akan tetapi sinkronisasinya dengan gerakan volunter hilang, sehingga
gerakan volunter memperlihatkan kejanggalan. Gerakan volunter yang terganggu
ini dikenal sebagai gerakan tidak koordinatif. Gerakan sekutu patologis dapat
timbul pada anggota gerak yang paretic sewaktu gerakan volunter teftentu
dilakukan. Dengan demikian, gerakan sekutu patologis dapat dianggap sebagai
gerakan reflektorik pada anggota gerak paretic yang timbul akibat stimulasi otot-
otot tertentu yang normal secara volunter. Gerakan Tidak Volunter (Involunter).
Gerakan involunter merupakan gerakan yang tidak sesuai dengan kemauan, ddak
dikehendaki, dan tidak bertujuan. adapun gerakan involunter yang sering
dijumpai, meliputi gerakan tremotis spasmus, serta diskinesia dan distonia.
g. Tremor.
Tremor rnerupakan suatu gerarkan yang tidak dikehendaki dan tidak bertujuan
yang terdiri atas satu seri gerakan bolak balik secara ritmik sebagai manifestasi
kontraksi berselingan kelompok otot yang fungsinya berlawanan. Istilah awam
,yang terkenal adalah gemetar. Tremor dapat diklasifikasikan menurut frekuensi
tremor (tremor cepat atau lambat), menurut amplitr.rdonya (tremor halus atau
kasar), merurut sikap bagian tubuh yang memperlihatkan tremor (tremor posturai,
statik, dan intensional), dan seterusnya. Akan tetapi pembagian tremor dengan
rujukan praktik klinik adalah sesuai dengan klasifikasi tremor menurut
penyebabnya, meliputi: tremor fisiologis, tremor esensial heredofamilial tremor
penyakit Parkinson, tremor iatrogenic dan tremor metabolic.

h. Tic.
'Tic' adalah istilah Prancis yang telah sesuai dengan standar
internasional. 'Tic'merupakan suatu gerakan otot involunter yang berupa kontraksi
otot setempat, sejenak, namun berkali-kali, dan kadang kala selalu serupa atau
berbentuk majemuk. Menurut gerakan otot involunter yang timbul. pengqolongan
17
'ric' diberi tambahan sesuai lokasi kontraksi otot serempat. Dengan demikian
dikenal 'tic' fasialts, yang mengenai otot pror wajah, 'tic'orbikularis oris, dan'tic'
orbikularis okuli. Dalam hal ini. otot yang berkontraksi secara involunter adalah
otot orbikularis oris, orbikularis okuli, dan zigomatikus mayor, atau otot fasial
lainnya.
i. Spasme.
Spasme adalah kejang otot setempat yang mengenai sekelompok atau
beberapa kelornpok otot, yang timbul secara involunter. Adanya kejang otot
disebabkan oleh gangguan otot atau karena gangguan saraf
Gangguan pada sistem persarafan bisa terjadi di tingkat perifer atau di pusat.
Dalam klinik dikenal keiang otot yang dinamakan (1) kram muskulorum, (2)
spasme tetani, (3) spasme fasialis, (4) krisis okulogirik, (5) singultus, dan (6)
spasme profesi di antaranya yang paling sering di jumpai adalah writer cramp.
Kram muskulorum pada otot betis pernah dialami oleh semua orang yang telah
mengeluarkan banyak tenaga, seperti berenang, lari-lari, main tennis, dan
sebagainya. Pemberian garam seperti kalsium glukonat, KCI, atau NaCl dapat
rnencegah timbulnya kembali kram muskulorum pada orot betis, otot latisimus
dorsi, atau otot-otot jari.
Spasme tetani merupakan spasme akibat tetanus. Hipokalsemia dan
alkalosis sering kali menimbulkan spasme tetanik. Spasme tetanik paling sering
dijumpai pada jari-jari tangan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda trousseau.
Juga pada keadaan hipoksemia otot wajah mudah mengalami kejang jika saraf
diketuk-ketuk pada bagian yang berada didaerah glandula parotis. Fenomena
tersebut dikenal sebagai tanda chevostek
Krisis okulogirik terjadi apabila kedua bola mata melirik ke salah satu sisi
biasanya selama beberapa menit, tetapi adakalanya dapat berlangsung sarnpai
beberapa jam. Selama krisis, klien berada dalam keadaan tegang karena mendapat
seperti menghadapi maut atau berhalusinasi menakutkan. Krisis okulogirik hanya
timbul pada penderita Parkinson akibat efensilitas. Tetapi sekarang, banyak orang
non parkinsonism mengalami kritis tersebut akibat efek obat psikotropik
Spasme profesi, sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dalam melakukan
pekerjaan. Bila spasme tersebut tirnbui pada otot-otot jari atau otot lengan, nutka
bergantung pada pekerjaan, spasmus tersebut dapat dicabut spasmus iuru ketik,
spasmus penulis, atau spasmus tukang separu,dan lain sebagainya. Diskinesia dan
18
distonia. Diskinesia dan distonia merupakan suatu gerakan involunter yang
menunjukan gerakan yang berbelit-belit dengan tonus otot meningkat dan
menurun secara tidak teratur
6. Pengkajian Sistem Sensorik
Sistem sensorik lebih kompleks dari sistem motorik karena model dari system
sensorik mempunyai perbedaan traktus,lokasi pada medula spinalis. Pengkajian
sensorik merupakan pengkajian subjektif, luas, serta membutuhkan kerja sama
klien. Penguji dianjurkan mengenali penyebaran saraf perifer yang berasal dari
medula spinalis. Di dalam praktik klinis, ada lima jenis sensibilitas (sensori) yang
perlu diketahui perawat dan menjiadi objek pemeriksaan. Adapun kelima jenis
sensasi
itu adalah:
1) Sensasi kbusus atar sensasi pancaindra, seperti sensasi penciuman atau sensasi
olfaktorik, sensasi visual, perasaan auditorik, pengecapan gustatorik, dan
sebagainya.
2) Sensasi eksteroseptif atau sensasi protopatik.
a. Sensasi raba
Hilangnya sensasi raba disebut anestesia. Menurunnya sensasi raba dikenal
sebagai hipestesia. Sensasi raba secara berlebihan disebut hiperestesia.
b. Sensasi nyeri
Hilangnya sensasi nyeri disebut aralgesla. Berkurangnya sensasi nyeri disebut
hipalgesia. Sensasi nyeri secara berlebihan disebur hiperalgesia.
c. Sensasi suhu
Hilangnya sensasi suhu disebut termoanetesia, berkurangnya sensasi suhu
disebut termohipestesia, terasanya sensasi suhu secara berlebihan disebut
termohiperestesia
d. Sensasi abnormal di permukaan rubuh
Kesemutan disebut juga parestesia. Nyeri-panas-dingin yang terus menerus
disebut sebagai disestesia-hiperpasia.
3) Sensasi propriosefsi,yaitu sensasi gerak, getar, sikap, dan tekan. Perasaan
eksteroseptif dan proprioseptif sering diklasifikasikan juga sebagai somastesia,
yaitu sensasi yang bangkit akibat rangsangan sensasi di jaringan yang berasal dari
somatopleura. Sensasi gerak dikenal juga sebagai kinestesia, sensasi sikap dikenal

19
juga sebagai state tesia sensasi getar dikenal juga sebagai palestesra, sensasi tekan
dikenal juga sebagai barestesia.
4) Sensasi interoseptif atau uiseroestesia, yaitu sensasi yang bangkit akibat rangsang
sensasi di iaringan yang berasal dari viseropleura (usus, paru, limpa, dan
sebagainya).
5) Sensasi diskriminatif atau sensasi multintodalitas, yaitu sensasi yang
sekaligus memberikan pengenalan secara banding.
Penurunan sensorik yangada merupakan akibat dari neuropati perifer dan sesuai
dengan keadaan anatomi yang rerganggu. Kerusakan otak akibar lesi yang luas
mencakup hilangnya sensasi, yang mempengaruhi seluruh sisi tubuh lain neuropati
berhubungan dengan penggunaan alkohol dengan penyebaran seperti sarung tangan
dan kaos kaki. Pengkajian sistem sensori mencakup tes sensasi raba, nyeri superfisial,
ian posisi rasa (propriosepsi).
Keseluruhan pengkaiian sensori dilakukan dengan mata klien terturup. jikaa sama
klien didukung dengan petuniuk sederhana dan dengan menenangkan klien bahwa
penguji tidak menyakiti dan mengejutkan klien. Sensasi taktil dikaji dengan
menventuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing sisi tubuh. Sensitivitas
ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan bagian distal. Sensasi nyeri dan
suhu ditransmisikan bersama di bagian lateral medulla spinalis. Sehingga, tidak perlu
menguji sensasi suhu dalam keadaan ini. Nyeri superfisial dapat dikaji dengan
menentukan sensitivitas klien terhadap objek yang tajam. Klien diinstruksikan
memejamkan mata dan membedakan antara ujung yang tajam dan tumpul dengan
menggunakan lidi kapas yang dipatahkan arau spatel lidah. Demi keamanan, hindari
penggunaan peniti karena dapat mcnrsak integritas kulit. Kedua sisi objek tajanm dan
tumpul digunakan dengan inrensitas yang salah pada semua pelaksanaan dan kedua
sisi diuji dengan simetris.

2.3 Pemeriksaan Diagnostik Gangguan Neurosensori


Pemeriksaan diagnostik pada sistem persarafan dilakukan untuk melengkapi
pengkajian setelah melakukan pengkajian umum dan perneriksaan fisik system
persarafan. Perkembangan teknologi ,yang begitu cepat dengan semakin modernnya
jenis-jenis alat pemeriksaan dalam penegakan diagnosis perlu disikapi oleh perarwat
dengan turut mengenal jenis pemeriksaan terbaru dan menilai seberapa jauh implikasi

20
keperawatan yang akan diberikan pada klien' Beberapa jenis pemeriksaan diagnostik
untuk menilai gangguan pada system persarafan memerlukan persiapan dan
memberikan implikasi keperawatan yang perlu dipersiapkan oleh perawat. Perarvat
harus mempertimbangkan kondisi klien dengan perlunya jenis pemeriksaan yang akan
dilakukan. Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan untuk penegakan diagnostik
sistem persarafan tersebut, meliputi foto rontgen, CT Scan, PET, MRI, angiografi
serebral, EEG, mielografi, elekrroensefalografi, lumbal pungsi dan pemeriksaan
cairan serebrospinal, serta pemeriksaan laboratorium klinik,
1. Foto Rontgien
Foto rontgen polos tengkorak dan medula spinalis sering kali digunakan untuk
mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya,
terurama dalam penatalaksanaan trauma akut. Selain itu, foto rontgen polos
mungkin menjadi diagnostik bila kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan
letak terlihat pada hasil foro rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang
adanya SOL (space occupring lesion) Adanya udara dalam tulang tengkorak juga
merupakan suatu indikasi adanya fraktur kepala terbuka, seperti fraktur tengkorak
frontal atau basilar, yang mungkin tidak tampak secara jelas dari luar. Foto
rontgen polos kepala juga dapat memperlihatkan adanya infeksi atau neoplasma
yang ditandai oleh perubahan kepadatan tulang atau kalsifikasi inrrakranial
lainnya. Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medula spinalis mengharuskan
klien dalam yang cermat dan secara relatif tidak menimbulkan nyeri. Peran
perawat mencakup pemantauan klien dan peralatan yang digunakan selama
prosedur dan selalu waspada terhadap komplikasiyang berhubungan dengan posisi
klien dan lamanya prosedur.
Pemeriksaan foto rontgen di tempat lainnya iuga diperlukan jika terdapat
kelainan pada pemeriksaan fisik, seperti adanya masalah pada system pernapasan,
yang memerlukan Pemeriksaan rontgen torak atau jika ada trauma pada
ekstremitas, pemeriksaan foto rontgen di lokasi tempat trauma harus dilakukan.

2. Computed Temography
Computed tomography (CT) merupakan suatu teknik diagnostik dengan
digunakan sinar sempit dari sinar-x untuk memindai kepala dalam lapisan
berurutan. Bayangan yang dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari
otak, dengan membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang kepala,
21
korteks, struktur subkortikal, dan ventrikel. Gambaran yang jelas masing-masing
bagian atau "irisan" otak, pada bayangan akhir merupakan proporsi dari derajar
sinar-x diabsorpsi. Bayangan ditunjukkan pada osiloskop atau monitor TV dan
difoto.
Lesi pada otak terlihat sebagai variasi kepadatan jaringan yang berbeda dari
jaringan otak normal sekitarnya. Jaringan abnormal sebagai indikasi kemungkinan
adanya masa tumor, infark otak perpindahan ventrikel, dan atrofi kortikal. CT
scan keseluruhan tubuh memberikan gambaran bagian dari medulla spinalis.
Pennyuntikan zat kontras iodin ke dalam ruang subaraknoid melalui fungsi dapat
memperbaiki visualisasi isispinaldan intrakranial sebagai prosedur diagnostik
untuk mendiagnosis hernia diskus lumbal.
CT scan selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras dan jika dengan zat
kontras. maka zar kontras dimasukkan melalui intravena. Klien berbaring ditas
meja yang dapat disesuaikan dengan kepala pada posisi terfiksasi, sementara
pemindaian berputar di sekitar kepala klien, (klien diam sebagai pusat dan mesin,
yang berputar sekitar pusat, yang menghasilkan gambaran potongan melintang)
Klien harus dibaringkan dengan kepala pada posisi yang sangat mantap dan
dengan hati-hati unruk tidak bicara dan menggerakkan wajah, karena gerakan
kepala menyebabkan penyimpangan pada bayangan.
CT scan dilakukan noninvasif, tidak nyeri, dan memiliki derajat sensitivitas
untuk mendeteksi lesi atau luka. Kemudian jenis pemindaian yang baru
berkembang dan semakin banyaknya orang-orang yang berpengalaman
menginterpretasi hasil pemindaian CT sehingga iumlah penyakit dan cedera yang
lain dapat didiagnosis serta kebutuhan prosedur diagnostik invasif berkurang.
3. PET
Possitron emissiontomograplry PET) adalah teknik pencitraan nuklir
berdasarkan komputer yangdapat menghasilkan bayangan fungsi organ secara
aktual. Klien menghirup gas radioaktif atau diinjeksi dengan zat radioaktif yang
memberikan partikel bermuatan positif. Bila positron ini berkombinasi dengan
elektronelektron bermuatan negatif (normalnya didapat dalam sel-sel tubuh),
resultan sinar gama dapat dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat pemindai,
detektor tersusun dalam sebuah cincin dan seri-seri yang dihasilkan berupa
gambar dua dimensi pada berbagai tingkatan otak. Informasi ini terintegrasi oleh
komputer dan memberikan sebuah komposisi bayangan kerja otak.
22
4. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan medan magnetik untuk
mendapatkan gambaran daerah yang berbeda pada tubuh. Foto magnetic (nukleus
hidrogen) di dalam tubuh seperti magnet-magnet kecil di dalam medan magnet.
Setelah pemberian getaran radiofrekuensi, foto memancarkan Sinyal-sinyal, yang
diubah menjadi bayangan. MRI mempunyai potensial untuk mengidentifikasi
keadaan abnormalserebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes diagnostik
lainnva. MRI dapat memberikan informasi tentang perubahan kimia dalam sel,
juga memberikan informasi kepada dokter dalam memantau respons tumor
terhadap pengobatan. Pemindaian MRI tidak menyebabkan radiasi ion.
Pemindaian MRI memberikan gambaran grafik dari struktur tulang, cairan, dan
jaringan lunak. MRI ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang detail
anatomi dan dapat membantu seseorang mendiagnosis tumor yang kecil atau
sindrom infrak dini.
Implikasi Keperawatan
1) Pemeriksaan ini merupakan kontraindikasi pada klien yang sebelumnya
menjalani tindakan pembedahan yaitu tertanam klip hemostatik atau
aneurisme. Medan magnet yang sangat kuat menyebabkan klip seperti ini
berubah posisinya, sehingga membuat klien berisiko mengalami hemoragik
atau perdarahan.
2) Beritahukan kepada klien bahwa prosedur tersebut sangat bising.
3) Lakukan tindakan kewaspadaan bila klien nrengalami klaustrofobi.
4) Kontraindikasi lainnya pada klien dengan pemakaian benda logam dalam
tubuh seperti alat pacu jantung, katup jantung buatan, fragmen bullet,
pinortopedik, alat intrauterin.
5) Klien (dan setiap pemberi asuhan keperawatan di ruang tersebut) harus
menyingkirkan semua benda-benda dengan karakteristik magnetic 1 misalnya
gunting, stestoskop).
6) Sebelum klien dimasukkan ke dalam ruang MRI, semua benda-benda Logam
(anting, cincin kawin, jam tangan, jepitan rambut, dan lain-lain) dilepaskan,
demikian pula kartu kredit (medan magnet dapat menghapus data dalam kartu
kredit).

23
7) Benda-benda ini harus dibuka. Benda tersebut bila dibiarkan terpasang dapat
menyebabkan gangguan fungsi, dapat keluar atau menjadi panas karena
mengabsorpsi energi.
5. Angiografi Serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-x
terdap sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikkan ke dalam arteri yang
angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk menyelidiki penyakit
menular, aneurisma, dan malformasi arteriovena. Hal ini sering dilakukan sebelum
klien menjalani kraniotomi sehingga arteri dan vena serebral terlihat untuk dan
menentukan letak, ukuran, dan proses patologis. Digunakan untuk rnengkaji
keadaan yang baik dan adekuarnya sirkulasiserebral' Angiografi merupakan
pilihan terakhir iika dengan pemeriksaan CT scan dan MRI, didiagnosis masih
belum bisa ditegakkan
Kebanyakan angiografi serebral dilakukan dengan memasukan kateter:
melalui arteri femoralis di antara sela paha dan masuk menuju pembuluh darah
bagian atas. Prosedur ini juga dikerjakan dengan tusukan langsung pada arteri
karotis atau arteri vertebral atau dengan suntikan mundur ke dalam arteri brakialis
dengan zat kontras. Metode pemeriksaan dengan memasukkan zat warna kontras
ke struktur sirkulasi serebral. Jaras pembuluh diperiksa untuk mengetahui
kepatenan, penyempitan, oklusi, dan abnormalitas struktur (aneurisma),
pergeseran pembuluh (tumor dan edema), dan perubahan aliran darah (tumor,
malformasi AV).
6. Mielogram
Mielogram adalah sinar-x yang digunakan untuk melihat ruang subarknoid
spinal dengan menyuntikkan zat kontras atau udara ke ruang subaraknoid spinal '
melalui fungsi spinal. Mielogram menggambarkan ruang subaraknoid spinal dan
menunjukkan adanyapenyimpangan medula spinalis dan sakus dural spinal yang
disebabkan oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.
Implikasi keperawatan
Banyak klien mempunyai kesalahpahaman tentang prosedur ini, perawat harus
dapat menjarvab pertanyaan dan mengklarifikasi penjelasan yang diberikan
dokter. Klien harus diberi tahu bahwa meja sinar-x dapat dimiringkan dalam
beberapa variasi posisi selama tindakan. Makanan yang dapat dimakan sebelum

24
prosedur berupa makanan normal. Sedatif dapat dipertimbangkan untuk
membantu klien menjalani pengujian yang cukup lama.
7. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak, dengan
meletakkan elektroda pada area kulit kepala atau dengan menempatkan
mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini memberikan pengkajian
fisiologis aktivitas serebral. EEG adalah uji yang bermanfaat untuk mendiagnosis
gangguan kejang seperti epilepsi dan merupakan prosedur pemindaian untuk klien
koma arau mengalami sindrom otak organik. EEG juga bertindak sebagai
indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut otak, bekuan darah, dan
infeksi dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan.
8. Lumbal Fungsi Dan Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Lumbal pungsi dilakukan dengan memasukkan jarum ke dalam ruang
subaraknoid untuk mengeluarkan CSS yang berfungsi untuk diagnostik atau
pengobatan. Tujuan memperoleh CSS adalah menguji, mengukur, dan
menurunkan tekanan CSS: menentukan ada atau tidak adanya darah di dalam CSS
mendeteksi sumbatan subarakanoid spinal dan pemberian antibiotik intratekal
yaitu ke dalam kanal spinal pada kasus infeksi. Jarum biasanya dimasukkan ke
dalam ruang subaraknoid di antara tulang belakang area lumbal ketiga dan
keempat atau antara lumbal keempat dan kelima Oleh karena medula spinalis
terbagi dalam sebuah berkas saraf pada tulang belakang bagian lumbal yang
pertama, iarum ditusukkan di bawah tingkat ketiga tulang belakang daerah lumbal,
untuk mencegah medula spinalis tertusuk
Lumbal pungsi yang berhasil. memerlukan klien dalam keadaan rileks. kecemasan
yang memrbuat klien tegang dan peningkatan kecemasan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan pada saat hasil identifikasi. Jarak normal tekanan cairan
spinal dengan posisi rekumben adalah 70 sampai 200 mmHr tekanan sampai 200
mmH. dikatakan abnormal. Lumbal pungsi sangar berbahaya jika dilakukan pada
lesi intrakranial, karena tekanan intracranial ditentukan melalui pengeluaran CSS,
herniasi otak akan sampai tentorium dan foramen magnum normalnya, tekanan
CSS meningkat dengan cepat akibat penenkanan pada vena jugularis dan menurun
cepat sampai normal jika penekanan dikurangi. Penurunan tekanan merupakan
indikasi adanya hambatan sebagian perubahan penekanan sebuah lesi pada jalur
25
subarakhnoid spinal. Jika tidak ada perubahan tekanan, hal ini merupakan indikasi
adanya hambatan total. Tes ini digunakan jika dicurigai ada lesi intrakranial.
Implikasi Keperawatan
Tes Ini merupakan kontraindikasi pada klien dengan dugaan peningkatan tekanan
intrakranial karena reduksi mendadak tekanan dari bawah dapat menyebabkan
struktur otak, menyebabkan kematian. Dalam mempersiapkan pemeriksaan ini,
baringkan klien dengan posisi miring, dan lutut serta kepala fleksi. Jelaskan
kepada klien bahwa sebagian tekanan mungkin teraba bersamaan dengan jarum yg
dimasukan dan jangan bergerak atau batuk mendadak. Setelah prosedur ini,
pertahankan klien tetap berbaring datar selama 8 sampai 10 jam untuk mencegah
sakit kepala dan dianjurkan untuk memperbanyak asupan cairan
9. Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Pemeriksaan laboratorium klinik merupakan hal yang rutin untuk dilaksanakan
sebagai media utuk menonton reaksi pengobatan dan dampak klinis yang
memerlukan penanganan lanjut. Tujuan pemeriksaan laboratorium klinik .sebagai
berikut.
1) Membantu menegakkan diagnosis berbagai macam penyakit serebral.
2) Melakukan kontrol untuk klien yang mempunyai risiko tinggi mengalami
penyakit serebral (misalnya pemeriksaan kolesterol darah).
3) Mengukur abnormalitas kimia darah yang dapat memengaruhi prognosis klien
gangguan serebral.
4) Mengkaii derajat proses inflamasi.
5) Mengkaji kadar serum obat.
6) Mengkaii efek pengobatan (misalnya efek diuretik osmotik seperti manitol).
7) Menetapkan data dasar klien sebelum intervensi terapeutik.
8) Skrining terhadap setiap abnormalitas. Oleh karena terdapat berbagai metode
pengukuran yang berbeda, maka nilai normal dapat berbeda antara satu tes
laboratorium dengan tes lainnya.
9) Menentukan hal-hal yang dapat memengaruhi upaya intervensi (misalnya
diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit)

2.4 Prosedur Pemeriksaan Fisik Gangguan Neurosensoris


Persiapan alat :

26
- Snelen cart
- Bahan untuk penciuman seperti kopi, gula dan the
- Tong spatel
- Reflek hamer
- Garpu tala dan penlight
- Lidi dan kapas
Langkah-langkah :

a) Pemeriksaan Tanda-Tanda Perangsangan Selaput Meningen


 Tanda kaku kuduk. Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan,
sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada —- kaku kuduk positif (+).
 Tanda kerniq. Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai
bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350
terhadap tungkai atas. Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan
rasa sakit terhadap hambatan.
 Tanda laseque. Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan
menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.
 Tanda Brudzinski I. Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien
dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian
kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila
kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
 Tanda Brudzinski II. Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien
pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada
sendi panggul dan lutut.

b) Menguji tingkat kesadaran


1. ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

27
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Menilai mata ( E )

Respon membuka mata ( E = Eye )

Spontan ( 4 )

Dengan perintah ( 3 )

Dengan nyeri ( 2 )

Tidak berespon ( 1 )

Menilai verbal ( V )

Respon Verbal ( V= Verbal )

Berorientasi (5)

Bicara membingungkan (4)

Kata-kata tidak tepat (3)

Suara tidak dapat dimengerti (2)

Tidak ada respons (1)

Menilai motorik  ( M )

Respon Motorik (M= Motorik )

Dengan perintah (6)

Melokalisasi nyeri (5)

28
Menarik area yang nyeri (4)

Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi (3)

Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)

Tidak berespon (1)

c) Pemeriksaan syaraf cranial


1. Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman
• Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang
baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
• Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
2. Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
• Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris
di koran, ulangi untuk satunya.
• Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien
memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah,
gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung
memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
• Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan
senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi
klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil
kena sinar.
• Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60
cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya
deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
• Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan
tanpa menengok.
4. Test nervus V (Trigeminus)

29
Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata
atas dan bawah.
• Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
• Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata
klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan
palpasi pada otot temporal dan masseter.
5. Test nervus VII (Facialis)
• Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam,
manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan
kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan
merangsang pula sisi yang sehat.
• Otonom, lakrimasi dan salivasi
• Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :
tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa
berusaha membukanya
6. Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :
• Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa
berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
• Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus,
apakah dapat melakukan atau tidak.

7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)


• N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi
bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian
parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
• N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan
tertarik keatas.
30
Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong
spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
8. Test nervus XI (Accessorius)
• Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi
kekuatannya.
• Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test
otot trapezius.
9. Nervus XII (Hypoglosus)
• Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
• Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
• Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan
minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

d) Pemeriksaan kekuatan otot


Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.

1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi


2. Tonus otot :
Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif.

Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang


dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan
pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas
maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.

Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada
tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan
otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi
extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test
untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi
pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal
dan halus.

31
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara
aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji
biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot
dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)

0 = tidak ada kontraksi sama sekali.

1 = gerakan kontraksi.

2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

e) Aktifitas refleks
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan
refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = tidak ada respon

1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )

2 = normal ( ++ )

3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )

4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih
300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul
dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
2. Refleks biceps

32
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan
pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks
hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas
sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
5. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau
digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang
digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi
bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan
dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi
plantar semua jari kaki.

f) Fungsi sensorik

33
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :Jangka,
untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
6. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
7. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

Sikap

- Teliti
- Respon terhadap keluhan klien
- Komunikasi therapeutik
- Sopan

34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem syaraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan dan
aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakan tangan, mengunyah, makan, dan lain-
lainnya. Apabila sistem syaraf kita mengalami hal-hal yang tidak normal seperti biasanya, itu
menandakan terdapat gangguan pada sistem saraf kita dalam mengatur semua kegiatan dan
aktivitas tubuh kita. Untuk mengetahui apa yang terjadi dengan sistem syaraf kita,kita perlu
melakukan beberapa langkah.

Sebagai perawat kita harus memiliki ilmu dan keterampilan dalam menangani
gangguan-gangguan yang terjadi khususnya pada sistem persyarafan ini. Perawat harus
mampu memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang baik kepada setiap pasien. Kita
mengawali setiap tindakan kita dengan melakukan pengkajian melalui metode anamnesis.
Setelah selesai melakukan anamnesis kepada pasien, kita bisa melakukan pemeriksaan
terhadap pasien untuk mengetahui gangguan yang diderita pasien (pemeriksaan fisik
neurosensori). Dari pemeriksaan fisik tersebut akan didapatkan beberapa hasil yang akan
menunjang diagnosa apa yang tepat mengenai gangguan pada pasien.

Setelah mendapatkan hasil dan menemukan diagnosa, dilakukan pemeriksaan lanjutan


berupa pemeriksa diagnostik. Pemeriksaa diagnostik ini dilakukan sebagai ranngkaian poses
untuk mendukung hasil dari pemeriksaan fisik yang sudah di lakukan sebelumnya.
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan untuk penegakan diagnostik sistem persarafan
tersebut, meliputi foto rontgen, CT Scan, PET, MRI, angiografi serebral, EEG, mielografi,
elekrroensefalografi, lumbal pungsi dan pemeriksaan cairan serebrospinal, serta pemeriksaan
laboratorium klinik. Setiap pemeriksaan mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, itu dilakukan sesuai dengan keteteapan atau prosedur yang ada.

35
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8


vol.3.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
https://id.scribd.com/doc/154484144/Prosedur-Pemeriksaan-Fisik-Sistem-Persyarafan
http://nirwan33.blogspot.com/2013/05/pemeriksaan-fisik-sistem-saraf.html
https://www.slideshare.net/septianraha/makalah-sistem-persarafan

36

Anda mungkin juga menyukai