Anda di halaman 1dari 7

PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN DESICCATED COCONUT

(KELAPA PARUT KERING)

Steivie Karouw, Rindengan Barlina dan Patrik M. Pasang


BALAI PENELITIAN TANAMAN KELAPA DAN PALMA LAIN

PENDAHULUAN

Desiccated coconut (kelapa parut kering) merupakan salah satu produk yang
menggunakan daging buah kelapa sebagai bahan baku. Dibandingkan dengan
produk-produk lain dari kelapa seperti kopra dan minyak kelapa, maka desiccated
coconut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sampai bulan Mei 2003 harga
desiccated coconut mencapai US $ 716/ton, sedangkan minyak kelapa dan kopra
masing-masing hanya sebesar US $ 434/ton dan US $ 270/ton (Anonim, 2003).
Desiccated coconut memiliki pasaran yang luas baik untuk pasar domestik dan
ekspor. Pasar ekspor utama adalah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Timur
Tengah, Amerika Latin Bagian Utara dan negara-negara Afrika. Di pasar
internasional, di antara produk yang berkaitan dengan kelapa, desiccated coconut
mengalami pertumbuhan konsumsi yang paling pesat yaitu 3.36% per tahun. Volume
ekspor produk desiccated coconut Indonesia mengalami peningkatan dari 2.774 ton
pada tahun 1990 menjadi 24.150 ton pada tahun 1996 (Supriyono et al, 1997). Bahkan
pada tahun 2000 volume ekspor desiccated coconut meningkat menjadi 31.373 ton
dengan nilai ekspor sebesar US $ 21,952 juta (Budianto dan Allorerung, 2002). Ini
memberikan indikasi bahwa industri desiccated coconut di Indonesia memiliki
prospek yang cerah.
Oleh karena itu cara-cara pengolahan perlu mendapat perhatian demi menjamin
keamanan produk sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun
internasional. Upaya peningkatan daya saing dapat dicapai melalui peningkatan
stabilitas produk serta kemasan yang menarik sehingga akan menjamin daya simpan.
Apabila proses pengolahannya terkontrol produk akan terhindar dari kontaminasi
sehingga akan dihasilkan produk bermutu, selain itu faktor pengemasan dan kondisi
penyimpanan perlu diperhatikan secara serius demi menjamin mutu produk untuk
jangka waktu tertentu sehingga aman dikonsumsi oleh konsumen.

DESKRIPSI PRODUK DAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN

Deskripsi

Desiccated coconut berwarna putih, memiliki rasa dan bau khas kelapa.
Penamaan produk desiccated coconut berhubungan erat dengan ukuran partikel yaitu
extra fine, fine (macaroon), medium, coarse, shreds and treads dan sliced (Banzon dan
Velasco, 1982). Namun yang paling umum diperdagangkan adalah medium, macaroon
dan extra fine. Untuk lebih jelasnya spesifikasi desiccated coconut disajikan pada
Tabel 1.

MONOGRAF PASCA PANEN KELAPA 35


Steivie Karouw, Rindengan Barlina, dan Patrik M. Pasang

Tabel 1. Spesifikasi desiccated coconut

Woodroof, 1979 Banzon & Velasco, 1982 Anonim, 1999


Kadar Lemak 67 – 71% 66% 65% minimun
Kadar Asam lemak bebas 0.15% 0.3% 0.3% minimum
Bakteri (Salmonella) Negatif Negatif Negatif
Warna Putih Putih Putih
Kadar air 4.0% 2.5% 3.5% maximum

Desiccated coconut dimanfaatkan secara luas pada industri konveksionari (candy)


sebagai bahan penambah aroma dalam pembuatan coklat batangan atau sebagai
pengisi produk berbasis kacang-kacangan, industri pengolahan kue (bakery), industri
es krim (frozen food) dan konsumsi rumah tangga (ready to cook mix).

Teknologi Pengolahan

Proses pengolahan produk desiccated coconut prinsipnya mengeringkan daging


buah kelapa pada kondisi yang sangat higiEnis (Rindengan et al, 1996). Tahap-tahap
pengolahan desiccated coconut meliputi seleksi bahan baku, pengeluaran tempurung
dan kulit ari, pencucian dan stabilisasi, penggilingan/pemarutan, pengeringan,
pendinginan dan pengemasan (Gambar 1). Secara rinci tahapan pengolahan desiccated
coconut diuraikan sebagai berikut :

1. Seleksi bahan baku

Seleksi bahan baku sangat penting untuk dilakukan, karena dalam pengolahan
desiccated coconut kualitas bahan baku yang digunakan menentukan mutu produk
akhir yang akan dihasilkan. Butiran kelapa tanpa sabut yang layak dijadikan bahan
baku berdiameter antara 11.5 – 13.5 cm dengan berat rata-rata 850 g/butir (Karouw
et al, 2001). Syarat bahan baku kelapa yang digunakan yaitu kelapa Dalam umur
buah 10 bulan, segar dan tidak pecah (Banzon dan Velasco, 1982; Woodroof, 1979).
Apabila akan menggunakan kelapa Hibrida, sebaiknya buah berumur 11 – 12 bulan,
karena kalau umur buah 10 bulan kandungan galaktomanan dan fosfolipida masih
cukup tinggi sehingga akan menghasilkan produk dengan warna kecoklatan dan agak
menggumpal (Rindengan et al, 1996).

2. Pengeluaran tempurung dan kulit ari

Pengeluaran tempurung dan kulit ari dapat dilakukan secara manual ataupun
mekanis yang dijalankan oleh operator. Pada industri pengolahan desiccated coconut
pengeluaran tempurung biasanya dilakukan oleh tenaga kerja pria menggunakan
pisau khusus yang disebut shelling knife ataupun mesin pengupas tempurung (shelling
machine), sedangkan pengeluaran kulit ari (paring) dilakukan oleh tenaga kerja wanita
menggunakan pisau khusus yang disebut paring knife. Pengeluaran tempurung
dilakukan oleh tenaga kerja yang trampil sehingga dapat diperoleh buah kelapa tanpa
tempurung yang utuh/tidak pecah. Selanjutnya paring yang dipisahkan dari daging
buah kelapa dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi minyak kelapa. Penelitian

36 PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)


PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)

yang dilakukan di India sekitar tahun 1950-an diperoleh minyak kelapa yang diolah
dari paring (testa) memiliki kandungan asam lemak omega 9 dan omega 6 yang lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak dari daging buah kelapa (tanpa paring/testa).
Kedua asam lemak tersebut berperan dalam proses pembentukan otak dan
kecerdasan serta kesehatan. Asam lemak omega 9 sangat penting untuk pematangan
fungsi sel-sel syaraf otak yang sebagian besar terjadi sejak lahir hingga usia keempat.
Sedangkan omega 6 merupakan asam lemak esensial yang sangat diperlukan sejak
masa konsepsi sampai dua tahun pertama usia anak. Untuk kesehatan, asam lemak
omega 9 bermanfaat untuk menjaga kadar HDL – cholestrol (High Density Lipoprotein)
atau kolestrol baik di dalam darah (Rindengan, et al, 2003).

3. Pencucian dan stabilisasi

Pencucian dilakukan selama kurang lebih 5 menit dalam tanki yang telah diberi
klorin dengan kandungan 3 – 5 ppm khlor. Selanjutnya dilakukan stabilisasi atau
sulfurisasi. Stabilisasi dalam pengolahan desiccated coconut bertujuan untuk mencegah
proses pencoklatan, memperbaiki warna produk, cita rasa dan mencegah
pertumbuhan mikroba. Proses ini berperan untuk pemutihan produk dan mencegah
kerja enzim dalam bahan yang diproses (Baramuli dan Lay, 1997) . Stabilisasi daging
buah dapat dilakukan dengan menggunakan pengawet di antaranya sulfit dioksida
dan senyawa-senyawa sulfit seperti kalsium sulfit, natrium bisulfit, kalium bisulfit,
natrium metabisulfit dan kalium metabisulfit (Frazier dan Westhoff, 1988).

4. Penggilingan/pemarutan dan pengeringan

Penggilingan daging buah kelapa dilakukan sesuai ukuran partikel yang


diinginkan. Selanjutnya daging kelapa yang telah digiling dikeringkan. Agar proses
pengeringannya seragam, tebal lapisan berkisar 1.5 – 2.0 inci. Pengeringan dilakukan
secara bertahap dengan suhu menurun. Penggunaan suhu untuk pengeringan tahap
A berturut-turut 85, 83 dan 820C, tahap B suhu 80 dan 750C dan tahap C suhu 75 dan
720C. Waktu pengeringan yang dibutuhkan pada masing-masing tahap berlangsung
selama 10 menit (Baramuli dan Lay, 1997). Pada proses pengeringan panas yang
digunakan berasal dari tanur pembakaran yang dihembuskan dengan blower ke ruang
pengering melalui pipa penghembus, sehingga tidak ada kontak langsung antara
udara panas hasil pembakaran dengan bahan yang dikeringkan sehingga bahan yang
dikeringkan bebas asap dan bau yang berasal dari hasil pembakaran.

5. Pendinginan dan pengemasan

Pendinginan produk dilakukan agar desiccated coconut yang akan dikemas


mengandung uap air yang relatif kecil. Jika produk yang dikemas masih
mengandung uap air yang cukup besar, maka uap air akan diserap oleh produk
sehingga akan meningkatkan kadar air desiccated coconut. Kadar air yang tinggi akan
mempercepat kerusakan sehingga mempersingkat masa simpan produk. Setelah
proses pendinginan dilanjutkan dengan pengemasan. Pengemasan produk akhir
didisain sedemikian rupa agar produk yang dihasilkan higienis sehingga akan
memiliki masa simpan yang cukup lama.

MONOGRAF PASCA PANEN KELAPA 37


Steivie Karouw, Rindengan Barlina, dan Patrik M. Pasang

Seleksi bahan baku

Pengeluaran tempurung dan kulit ari

Pencucian

Stabilisasi

Penggilingan/pemarutan

Pengeringan

Pendinginan

Pengemasan

Desiccated
Coconut

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan desiccated coconut

PENYIMPANAN

Perubahan Mutu

Pengemasan produk biasanya menggunakan kemasan kertas sebanyak empat


lapis dan pada lapisan dalam yang berkontak langsung dengan produk menggunakan
kemasan plastik (Baramuli dan Lay, 1997). Di negara produsen seperti Sri Lanka,
pengemasan menggunakan plastik jenis low density polyethylene (LDPE) dengan
ketebalan 85 mikron dan 4 lapis kemasan kertas pada bagian luar (Samarajeewa dan
Illeperuma, 1985).
Pengemasan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan pasca
produksi, karena meskipun produk yang dihasilkan sudah higienis namun
pengemasannya kurang tepat maka akan mempengaruhi mutu produk. Selanjutnya
kondisi penyimpanan turut pula mempengaruhi mutu produk. Pengemasan dan
penyimpanan yang kurang tepat akan menyebabkan perubahan mutu desiccated

38 PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)


PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)

coconut yaitu mempengaruhi kadar air bahan olahan sehingga terjadi peningkatan
kadar air yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas,
warna menjadi berubah dan bau menjadi tengik.
Suatu penelitian yang pernah dilakukan untuk mengetahui jenis bahan
pengemas yang sesuai untuk mempertahankan mutu desiccated coconut telah
dilaporkan oleh Samarajeewa dan Illeperuma (1985). Desiccated coconut jenis macaroon
(fine) dengan kadar air awal 2.7% dikemas menggunakan 6 jenis bahan pengemas,
yaitu 1) double layer low density polyethylene tebal 60 mikron, high density polyethyle tebal
40 mikron, low density polyethylene tebal 85 mikron, double laminated
aluminium/polyethylene tebal 50 mikron, polypropylene tebal 50 mikron dan triple
laminated polyester/aluminium/polyethylene tebal 81 mikron. Kemudian disimpan
pada kondisi kelembaban yang berbeda yaitu 33%, 70%, 80%, 100% dan 73 – 83%
(tekanan atmosfer). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa desiccated coconut yang
disimpan menggunakan kemasan double laminated aluminium/polyethylene dan triple
laminated polyester/aluminium/polyethylene dapat tahan simpan sampai 3 bulan (90
hari) pada tekanan atmosfer di mana kadar air masing-masing sebesar 3.1% dan 3.4%.
Sedangkan dengan kemasan lainnya kadar air telah mencapai 4.0 – 4.3% yang berarti
melebihi titik kritis desiccated coconut yaitu sebesar 3.5%. Pada kelembaban (RH) 33%
untuk semua jenis kemasan sampai 90 hari penyimpanan mutu desiccated coconut
relatif baik dengan kadar air berkisar 1.8 – 2.6%. Pada kelembaban 80% setelah
disimpan 90 hari, kadar air desiccated coconut meningkat dari 2.7% menjadi 6.1–9.5%
kecuali yang menggunakan kemasan double laminated aluminium/polyethylene dan
triple laminated polyester/aluminium/polyethylene menjadi 3.1 – 3.5%.
Hasil penelitian yang dilaporkan Karouw et al, (2001), pengolahan desiccated
coconut menggunakan kelapa hibrida GKN x WAT dengan kadar air awal 2.25%
setelah disimpan selama 2 bulan kadar airnya meningkat menjadi 3.47% yang berarti
masih berada di bawah titik kritis kelapa parut kering yaitu 3.5%.
Kadar air yang tinggi akan memungkinkan berkembangnya mikroorganisme
seperti bakteri coliform, jamur serta kapang sehingga akan menyebabkan menurunnya
kualitas dengan terbentuknya bau tengik. Jamur merupakan mikroba potensial
penghasil aflatoxin. Aflatoxin adalah racun akut yang bersifat karsinogenik dan dapat
menyebabkan kanker hati pada manusia serta kematian mendadak pada berbagai jenis
ternak (Lay dan Rindengan 1994). Aflatoxin diproduksi oleh Aspergillus flavus, A.
parasiticus dan Penicillium sp. Samarajeewa dan Arseculeratne (1983) melaporkan
bahwa produk-produk kelapa seperti kopra giling, bungkil kopra, minyak kelapa dan
bungkil testa berpeluang terkontaminasi aflatoxin lebih tinggi dibandingkan dengan
desiccated coconut.

Pengendalian Mutu Produk

Distribusi ke konsumen membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga untuk


menjamin mutu produk desiccated coconut, maka pengendalian mutu sebaiknya
dimulai dari proses persiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan dan
penyimpanan produk. Bahan baku yang digunakan haruslah buah kelapa yang segar,
utuh dan tidak pecah serta produk yang dihasilkan diupayakan berkadar air rendah.
Demikian pula dengan bahan pengemas, paling baik menggunakan jenis double
laminated aluminium/polyethylene (Samarajeewa dan Illeperuma, 1985). Sedangkan

MONOGRAF PASCA PANEN KELAPA 39


Steivie Karouw, Rindengan Barlina, dan Patrik M. Pasang

kondisi ruang penyimpanan yaitu menggunakan sistem ventilasi yang baik sehingga
dapat dihindari meningkatnya kelembaban udara dalam ruang penyimpanan (Lay
dan Rindengan, 1994). Kondisi ideal ruang penyimpanan yaitu pada kelembaban
(RH) 33% di mana produk desiccated coconut dapat tahan dalam jangka waktu yang
cukup lama tanpa terjadi perubahan warna, ketengikan dan tumbuhnya
mikroorganisme seperti bakteri Coliform, jamur serta kapang (Samarajeewa dan
Illeperuma, 1985).

PENUTUP

Desiccated coconut berwarna putih, rasa khas kelapa dan manis yang telah
dimanfaatkan secara luas pada industri konveksionari (candy) sebagai bahan
penambah aroma dalam pembuatan coklat batangan atau sebagai pengisi produk
berbasis kacang-kacangan, industri pengolahan kue (bakery), industri es krim (frozen
food) dan konsumsi rumah tangga (ready to cook mix). Untuk menjamin mutu produk
desiccated coconut, maka pengendalian mutu sebaiknya dimulai dari proses persiapan
bahan baku, pengolahan, pengemasan dan penyimpanan produk. Bahan pengemas
untuk desiccated coconut paling baik menggunakan jenis double laminated
aluminium/polyethylene, pada kondisi ideal ruang penyimpanan dengan kelembaban
(RH) 33 %.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Desiccated coconut spesification. C.J. Petrow and Co., Johanesburg,
South Africa. 3 p.
Anonim. 2003. Prices of coconut products and selected oils. The Cocomunity XXXIII
(6):3-4.
Banzon, J.A. & J.R. Velasco. 1982. Coconut production and utilization. PCRDF, Manila.
351 p.
Budianto, J. dan D. Allorerung. 2002. Kelembagaan perkelapaan di Indonesia.
Prosiding KNK V. Tembilahan-Indragiri Hilir, 22-24 Oktober 2002.
Baramuli, A.N. dan A. Lay. 1997. Pengembangan industri kelapa parut kering PT.
Unicotin di Sulawesi Utara. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. Buku
II. Manado, 6-8 Januari 1997. hal. 48-56
Frazier, W.C., and D.C. Westhoff. 1988. Food microbiology fourth edition. Mc Graw
Hill Book Company, New York. 539 p.
Karouw, S., B. Rindengan dan P.M. Pasang. 2001. Penggunaan 2 kultivar kelapa
hibrida pada pengolahan kelapa parut kering (desiccated coconut). Buletin Balitka
No. 27. Balitka, manado hal 27-31.
Lay, A. dan B. Rindengan. 1994. Aflatoxin pada produk kelapa. Buletin Balitka No.
21.Balitka Manado. hal 1–7.
Rindengan, B., A. Lay, H. Novarianto, dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh jenis dan
umur buah terhadap sifat fisikokimia daging buah kelapa hibrida dan
pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6): 263-277.

40 PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)


PENGOLAHAN DAN PENYIIMPANAN DESICCATED COCONUT (KELAPA PARUT KERING)

Rindengan, B., S. Karouw, dan P.M. Pasang. 2003. Kualitas minyak kelapa dari daging
buah dengan dan tanpa testa. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri 9(2):12-14.
Samarajeewa, U. & S.N. Arceluleratne. 1983. A survey of Aflatoxin contamination of
coconut products in Sri Lanka; Incidence, origin and recomendations. J. Natn.
Sci. Count. Sri Lanka, 11 (2) :225-235
Samarajeewa, U & D.K.C. Illeperuma. 1985. Moisture adsorption through packaging
materials used for desiccated coconuts. J. Natn. Sci .Coun. Sri Lanka, 13 (1) :45-
52.
Supriyono, A. W.R. Susila, B. Dradjat dan Amrizal. 1997. Pemberdayaan industri
kelapa Sulut berbasis ekonomi rakyat. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan
Nasional. Buku II. Manado, 6-8 Januari 1997.
Woodroof, J.G. 1979. Coconut production processing product. Second edition. AVI
Publising Company, Inc. Westport, Connecticut. 307 p.

MONOGRAF PASCA PANEN KELAPA 41

Anda mungkin juga menyukai