Anda di halaman 1dari 696

DR. RESTHIE | DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR.

OKTRIAN
DR. REZA | DR. CEMARA | DR. REYNALDO

OFFICE ADDRESS:

Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 20132
Tlp 021-22475872 WA/Line 082122727364
WA. 081380385694/081314412212

www.optimades.com
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
181. Kondiloma Akuminatum
• PMS akibat HPV, kelainan berupa fibroepitelioma pada
kulit dan mukosa

• Gambaran klinis
– Vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot dan
bergabung membentuk seperti kembangkol

• The incubation period after exposure ranges from three


weeks to eight months. Most infections are transient and
cleared within two year

• Pemeriksaan
– Bubuhi asam asetat  berubah putih
Kondiloma Akuminatum
• Risk factor : • Clinical manifestation
– Digital/anal, oral/anal and – Patients with a small number of
digital/vaginal contact warts are often asymptomatic.
probably can also spread – Other patients may have
the virus, as may fomites pruritus, bleeding, burning,
– The disease is also more tenderness, vaginal discharge
common in (women), or pain
immunosuppressed – Condylomata can occasionally
individuals form large exophytic masses that
can interfere with defecation,
intercourse, or vaginal delivery.
– Lesions involving the proximal
Breen E, et,al. Condyloma Acuminata (Anogenital warts).
www.uptodate.com
anal canal may also cause
stricturing.
Terapi
• Modalitas terapi utama untuk kondiloma akuminata adalah
terapi destruktif:
– Elektrokauterisasi,
– krioterapi dengan nitrogen cair,
– eksisi,
– Kemoterapi: tingtura podofilin 25%, podofilin resin, asam
trikloroasetat (TCA) 80% - 90% (CDC 2010) atau 50% (buku ajar
kulit kelamin FKUI, 5-Fluorourasil 1-5%,
– Laser karbondioksida
• Pada wanita hamil tidak semua modalitas terapi di atas
dapat digunakan, pilihan terapi yang dapat diberikan antara
lain krioterapi, elektrokauterisasi, terapi laser, dan asam
trikloroasetat.
182. Hidradenitis suppurativa
• Infeksi kelenjar apokrin

• Etiologi : Staphylococcus aureus


• Didahului oleh trauma, ex: keringat
berlebih, pemakaian deodorant, dll

• Gejala konstitusi : demam, malaise

• Ruam berupa nodus dan tanda


inflamasi (+) lalu melunak menjadi
abses, pecah membentuk fistel dan
sinus yang multiple

• Lokasi: ketiak, perineum


• Lab: leukositosis
• Terapi: antibiotik sistemik

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 61-62
182. Hidradenitis treatment
• Avoidance of moisture • Other drugs under
• Antiseptic soaps investigation:
• Dapsone
• Topical clindamycin 1% • Isotretinoin
• Oral clindamycin(300 • TNF-∝ inhibitors
mg bid) +rifampicin • Finasteride
(600 mg once a day or • infliximab
300 bid) commonly
used combination and
under investigation

Taylor & Kelly Dermatology for colored skin


183. Pioderma: Impetigo Bulosa

• Etiologi: Staphylococcus aureus.


• Lesi vesikel yang berprogresi cepat menjadi bula
kendur, awalnya bula berisi cairan serosa
kekuningan yang kemudian berubah menjadi
keruh.
• Bula batas tegas, nikolsky sign negatif.
• Pada pewarnaan Gram dapat ditemukan bakteri
kokus Gram positif berkelompok.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/
Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) :
peradangan  vesikel yang dengan cepat
berubah menjadi pustul  pecah krusta
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang
hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph.


Aureus): peradangan yang memberikan
gambaran vesikobulosa dengan lesi bula
hipopion (bula berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus):


peradangan yang menimbulkan kehilangan
jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Pioderma
• Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana: • Pemeriksaan dari apusan cairan
sekret dari dasar lesi dengan
• Jaga hygiene pewarnaan Gram
• Angkat krusta bila ada • Pemeriksaan darah rutin kadang
kadang ditemukan leukositosis
• Antibiotik topikal:
– Mupirosin 2% krim 2x sehari selama 7 hari
– Asam fusidat 2% krim 2x sehari selama 7 hari
– Retapamulin 1% salep 2x sehari selama 5 hari
– Basitrasin krim 2x sehari  namun sudah tidak direkomendasikan
• Jika lesi luas (dan ektima), tatalaksana dengan antibiotik sistemik
– Dicloxacillin 4x 250-500 mg/hari selama 5-7 hari
– Amoxicillin+klavulanat 25 mg/kg 3x sehari
– Cephalexin 4x 250-500 mg/hari
– Jika dicurigai MRSA: vankomisin 1-2 g IV selama 7 hari
• Insisi+drainase untuk lesi fluktuatif.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Topical Antibiotics for Impetigo
M E D I C AT I O N INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2%
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days;
Mupirocin 2% cream
reevaluate after three to five days if no clinical response
(Bactroban)‡
Approved for use in persons older than three months

Apply to affected skin three times daily for seven to 14 days


Mupirocin 2%
Dosing in children is same as adults
ointment‡
Approved for use in persons older than two months

Apply to affected skin twice daily for five days


Retapamulin 1% Total treatment area should not exceed 100 cm2 in adults or 2% of
ointment (Altabax) total body surface area in children
Approved for use in persons nine months or older
†—Coverage for Staphylococcus aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.
‡—Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. Mupirocin-resistant streptococcus has now been documented.6,14
§—First member of the pleuromutilin class of antibiotics. Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.19

http://www.aafp.org/afp/2014/0815/p229.html
184. Pitiriasis Rosea
• Etiologi: tidak jelas, diduga virus karena self limiting
• Gejala klinis:
1. Gatal ringan
2. Pitiriasis (skuama halus)
3. Lesi khas
Lesi yang pertama muncul:
Herald Patch
• Lokasi di badan
• Soliter
• Oval dan annular
• Diameter ± 3 cm
• Lesi eritema dan skuama halus di pinggirnya

• Gambaran lesi seperti lesi pertama


hanya lebih kecil dan semakin banyak
• Susunan sejajar costae seperti pohon
cemara terbalik
• Timbul serentak atau dalam beberapa
hari 4-10 hari setelah lesi pertama:
• Predileksi: badan, lengan atas
proksimal, dan paha atasseperti
Pohon cemara terbalik
pakaian renang wanita jaman dahulu Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
185. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis: polymicrobial clinical syndromemenyebabkan
jumlah Lactobacillus sp. (flora normal vagina) menurun dan
meningkatnya jumlah bakteri anaerob.
• Etiologi utama: Gardnerella vaginalis, lainnya: Prevotella sp.,
Mobiluncus Sp., Ureaplasma, Mycoplasma, dsb
• Faktor resiko
 BV berhubungan dengan seks multipartner
 Douching
 Jumlah lactobacillus (flora normal vagina) turun
 Semakin sering berhubungan sekssemakin
beresiko
 Semakin jarang berhubungan sekssemakin
rendah resiko

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip diagnosis
• Kriteria Amsel:
 Duh tubuh homogen putih keabuan
 Clue cells (dari pemeriksaan Terpenuhi 3 dari 4
mikroskopik)
 pH vagina >4.5
 Whiff test (+): Duh tubuh berbau
Bakterial Vaginosis
amis (fishy odor)sebelum atau
sesudah ditetesi KOH 10%

• Gold standard: Pemeriksaan Gram

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip terapi
Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC

• Terapi farmakologis direkomendasikan pada wanita


dengan gejala. Asimptomatiktidak perlu terapi
• DOC: Metronidazole
Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari
Metronidazole gel 0.75% intravaginal 1x1 selama 5 hari
Clindamycin cream 2% intravaginal sebelum tidur
selama 7 hari 1x2 gram p.o selama 2 hari
Tinidazole 1x1 gram p.o selama 5 hari
• Alternatif terapi 2x300 mg p.o selama 7 hari
100 mg intravagina sebelum tidur
Clindamycin selama 3 hari
2015 STD Treatment Guideline CDC
Diagnosis Banding

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
186. Gonorrhea
• Etiologi
– Neisseria gonnorrhoeae

• Jenis Infeksi
– Pada Pria
• Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis, prostatitis,
veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis

– Pada Wanita
• Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis, proktitis,
orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea diseminata

– Gambaran urethritis
• Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh kadang
disertai darah, nyeri saat ereksi
Urethritis GO
• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin

• Tatalaksana (based on 2015 STD Treatment Guidelines)


– Uncomplicated Gonorrhea
– DOC: Ceftriaxone 250 mg IM SD + Azitromisin 1 gr
oral SD
– Alternatif: Cefixime 400 mg oral SD + Azitromisin 1 gr
oral SD

2015 STD Treatment Guideline


187. Postinflammatory
Hyperpigmentation
• Sequelae of various
cutaneous disorders
• Infections, allergic
reactions, mechanical
injuries, reactions to
medications, phototoxic
eruptions, trauma (eg,
burns), and inflammatory
diseases (eg, acne, lichen
planus, lupus
Photo of a 42-year-old African American woman
erythematosus, atopic with macules of postinflammatory
dermatitis) hyperpigmentation on the left side of her face as
a result of acne
Treatment
Topical agent • Topical azelaic acid
– Approved for the treatment
• Hydroquinone, tretinoin of acne vulgaris
cream, glycolic acid – Useful for postinflammatory
(GA), and azelaic acid hyperpigmentation as well.
– In acne patients who are
• A combination of prone to postinflammatory
topical creams and gels, hyperpigmentation, azelaic
acid may be a good treatment
chemical peels, and option
sunscreens may be • Other treatment
necessary for significant – Fractional photothermolysis
– ablative carbon dioxide laser
improvement resurfacing
– 1064-nm Q-switched Nd:YAG laser
HQ = Hydroquinone
Nd:YAG = Neodymium: yttrium aluminum
garnet

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2921758/
188. Tinea Manuum
• It is less common than
tinea pedis
• Erythema and
hyperkeratosis of the
palms and fingers
affecting the skin diffusely
is the commonest variety,
and is unilateral in about
half the cases
• The accentuation of the
flexural creases is a
characteristic feature
• Other clinical variants
include
– crescentic, exfoliating scales
– circumscribed, vesicular
patches
– discrete, red papular and
follicular scaly patches
– erythematous, scaly sheets
on the dorsal surface of the
hand
• This forms are more likely to
be zoophilic
Gambar di Soal
http://emedicine.medscape.com/article/1081565-overview#a4

Diagnosis Banding
Erythema annulare centrifugum Erythema gyratum repens (EGR)
(EAC) • Often precedes the detection of
• Classified as one of the figurate or malignancy
gyrate erythemas • Characterized by :
• Characterized by a scaling or – Wood-grain appearance concentric
nonscaling, nonpruritic, annular or mildly scaling bands of flat-to-raised
arcuate, erythematous eruption, erythema
tends to spread peripherally while – Fairly rapid migration (up to 1 cm/d)
clearing centrally. – Intense pruritus
• The etiology – A course of rash that closely mirrors
the course of the underlying illness,
– Uncertain with clearance of rash and relief of
– It may be due to a hypersensitivity to pruritus within 6 weeks subsequent to
malignancy, infection, drugs, or resolution of underlying illness
chemicals, or it may be idiopathic – Sites of predilection that include the
trunk and extremities
Drug of Choice Dermatofita
DERMATOFITA DOC
Tinea Kapitis • Perlu terapi sistemik untuk mencapai folikel rambut
• Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum maupun Trichophyton
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton
• Griseofulvin merupakan DOC jika spesies penyebab tinea kapitis tidak
jelas

Tinea manum, Tinea • Terapi utama adalah topikal: topikal azole/ terbinafine
pedis • DOC sistemik: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol
• Griseovulfin kurang efektif dan butuh waktu yang lebih panjang
Tinea barbae • Butuh terapi sistemik untuk mencapai folikel rambut
• DOC: griseovulfin/ Terbinafin selama 2-4 minggu; alternatif:
itrakonazol, flukonazol
Tinea facialis, Tinea • Mengenai struktur kulit superfisial  terapi topikal adalah yg utama
korporis, tinea • DOC sistemik: terbinafin/ itrakonazole; alternatif
kruris griseofulvin/fluconazole
Tinea Unguium • Ringan-sedang: topikal/oral; berat: oral
• DOC: Terbinafin; alternatif itrakonazole
Terapi Tinea Korporis, Kruris, Fasialis, Pedis
• Pengobatan topikal (Tabel Terlampir)
DOC untuk tinea kruris, korporis, fasialis (selama 1-3 minggu); pedis (selama 4 minggu)
– Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep ( Salep
Whitfield)
– Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10)
– Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 2% dll
– Derivat allilamine: terbinafine (sedikit lbh efektif dibanding derivat azole)

• Pengobatan sistemik: pada tinea korporis, kruris, fasialis, pedis diberikan bila lesi luas atau bila
dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan
– Terbinafine 250 mg sehari untuk dewasa (korporis/kruris 1-2 mggu; pedis 2 minggu)
– Griseofulvin korporis/kruris microsize 500 to 1000 mg per day or griseofulvin ultramicrosize
375 to 500 mg perhari 2-4 minggu; pedis griseofulvin microsize 1000 mg per day or
griseofulvin ultramicrosize 660 or 750 mg per day 4-8 minggu
– Itraconazole korporis/kruris 1 kali 200 mg selama 1 minggu; pedis 2 kali 200 mg per hari
selama 1 minggu;
– Fluconazole 150 mg per minggu (korporis/kruris 2-4 mggu; pedis 2-6 minggu)
– Ketokonazol 200 mg per hari
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015 | Uptodate 2017
Pengobatan Topikal terutama
untuk jenis
• Tinea korporis, fasialis
• Tinea cruris
• Tinea pedis
• Tinea unguium (sebagian
kasus)
189-190. Psoriasis
• Penyakit kulit kronik yang ditandai oleh papul
dan plak eritematosa dengan skuama tebal.
Dapat timbul erupsi pustular dan
eritrodermik.
• Predileksi: kulit kepala, siku dan lutut, tangan,
kaki, batang tubuh, dan kuku. Pada kuku 
pitting nail
• Faktor pencetus: Stres, trauma, infeksi,
medikasi
• Pemeriksaan fisik:
• Fenomena Kobner: pada kulit yang sehat akan
timbul lesi jika mendapat trauma
• Fenomena auspitz: timbul bercak perdarahan jika
seluruh skuama diangkat
• Fenomena tetesan lilin: skuama digores berwarna
putih seperti lilin
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas
Tanda Penjelasan

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


Fenomena
goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya
tetesan lilin
indeks bias.

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Fenomena
papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
Auspitz
berlapis-lapis hingga habis.

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang


Fenomena
timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita
Kobner
psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena
trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari
infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain

Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan


Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
Treatment of Psoriasis
• Avoid environmental trigger: stress, alcohol, drugs.
• treatments extensive, include emollients, salicylic acid, coal tar,
anthralin, corticosteroids, methotrexate
• emollient creams, parafin, petrolatum, hydrogenated oils reduce
scaling, best applied after bathing
• Salicyclic acid is a keratinolytic, softens scales.
• Coal tar and corticisteroids are anti-inflammatory and reduce
proliferation. Used in combination with UV light (Goekerman
regimen)
Psoriasis: Tatalaksana
Biopsi dikerjakan jika secara klinis gejala
psoriasis tidak khas

Mayoritas psoriasis terbagi menjadi 3


macam, yaitu gutata,
eritroderma/pustular, dan plak kronik
(paling sering)
Guttate self limiting+spontaneous
resolution in 6-12 weeks.
Eritroderma fast acting systemic

Keterangan gambar:
Garis solidfirst line
Garis putus-putussecond line
Cyclosporin bukan first line
BB-UVB:broadband UVB
BSA: body surface area
FAE: fumaric acid ester
NB-UVB: narrowband UVB
PUVA: psoralen+UVA light

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Auspitz Sign
• appearance of small
bleeding points after
successive layers of
scale have been
removed from the
surface of psoriatic
papules or plaques
• Other than psoriasis
can be found in
• Darier's disease
• actinic keratoses
Darier’s disease
• hyperkeratotic, waxy
papules, skin coloured
plaques or minute
acanthomas on front of
chest, retroauricular
areas and central T
zone of face
Actinic Keratosis
Pre-cancer lesions of SCC
• Irritated skin
• Itching or burning
• Rough, dry, scaly patch of
skin
• Flat to slightly raised
patch or bump on the top
layer of skin
• Hard, wart-like patch
• Color ranging from pink
to red to brown or even
flesh colored
Parapsoriasis
• Poorly understood group of
plaque forming diseases
• Predilection in trunk, upper
arm, and thighs
• Less scales than psoriasis, do
not elicit Auspitz Sign
• 2 types;
• a small plaque; benign
• a large plaque;
• treatment by phototherapy or
topical corticosteroids
191-192. Pedikulosis
• Infeksi kulit/rambut pada manusia yang
disebabkan Pediculus

• 3 macam infeksi pada manusia


– Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus
var. capitis
– Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus
humanus var. corporis
– Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis kapitis
• Infeksi kulit dan rambut kepala
• Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk
• Gejala
• Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena
garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur, telur (Nits) berwarna abu-
abu/mengkilat

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis

• First line: Permethrin lotion atau shampoo 1%


• Terapi topikal diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada
hari 0 dan hari 7-10 agar dapat mengeradikasi kutu
dengan sempurna.
• Obat lainnya: Pyrethrins 0.3%-piperonyl butoxide 4%
shampoo, Malathion 0.5% lotion, Benzyl alcohol 5%
lotion, Ivermectin lotion 0.5%, gameksan shampoo
1% (not recommended as a first–line treatment)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis pubis
• Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya
• Terutama menyerang dewasa dan dapat menyerang
jenggot/kumis
• Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata
dan pada tepi batas rambut kepala
• Termasuk infeksi menular seksual
• Gejala
• Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke
abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot
pada celana dalam

2016 European Guideline for the Management of Pediculosis


Pubis
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
Prinsip Tatalaksana
Based on 2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis

• Semua lesi harus diberikan obat topikal


• Kulit harus dingin dan kering agar absorbsi maksimal
• Mencukur pubis tidak perlu, meskipun pada populasi
umum insidens turun karena tidak ada habitat bagi ptirus
pubis
• Mencuci semua pakaian di suhu 50oC atau lebih
• First line: Permethrin cream 1% dan dicuci setelah 10
menit (aman juga untuk kehamilan)termasuk juga kalau
ada lesi di bulu mata
• Second line: Malathion 0.5% dicuci setelah 12 jam
pemakaian
• Terapi lain: Ivermectin topical, Benzyl benzoate lotion 25%
2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
Pedikulosis korporis
• Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang
mencuci pakaian)
• Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk
menghisap darah
• Gejala
• Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan
• DOC: Permetrin 1%,
• Gameksan 1%,
• benzil benzoat 25%
• Malathion 0,5%
• pakaian direbus/setrika

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pengobatan Pedikulosis Korporis
• Improved hygiene and access to regular changes of clean clothes is the
only treatment needed for body lice infestations.
• A body lice infestation is treated by improving the personal hygiene of the
infested person, including assuring a regular (at least weekly) change of
clean clothes.
• Clothing, bedding, and towels used by the infested person should be
laundered using hot water (at least 54°C) and machine dried using the hot
cycle.
• Sometimes the infested person also is treated with a pediculicide;
however, a pediculicide generally is not necessary if hygiene is maintained
and items are laundered appropriately at least once a week.
• If you choose to treat, guidelines for the choice of the pediculicide are the
same as for head lice.
193. Schistosoma

• Gambar pada soal


193. Schistosoma
• Penyakit : skistosomiasis= bilharziasis
• Spesies tersering: S. japonicum dan S. haematobium

• Morfologi dan Daur Hidup


– Hidup in copula di dalam pembuluh darah vena-vena usus, vesikalis
dan prostatika.
– Di bagian ventral cacing jantan terdapat canalis gynaecophorus,
tempat cacing betina.
– Telur tidak mempunyai operkulum dan berisi mirasidium,
mempunyai duri dan letaknya tergantung spesies.
– Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di
jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kencing
– Telur menetas di dalam air mengeluarkan mirasidium
Daur Hidup Schistosoma sp.
Schistosoma Haematobium

• Tersebar terutama di Afrika dan Timur Tengah


• Ukuran telur: panjang 110-170 µm dan lebar 40-70 µm,
memiliki tonjolan spinal
• Telur mengandung mirasidium matur yang tersebar di
urin
Schistosoma japonicum
TELUR
BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG
TONJOLAN DI BAGIAN
LATERAL DEKAT KUTUB
UKURAN : 100 x 65 µm
TELUR BERISI EMBRIO
TANPA OPERKULUM
Tersebar di daerah Timur (termasuk
Indonesia)

SERKARIA
Schistosoma sp
EKOR BERCABANG
Gejala Klinis & Pemeriksaan Penunjang
– Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan
dan jumlah cacing
– Keluhan
• S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal,
hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal
• S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel
skuamosa, granuloma pada otak dan spinal
– Pada infeksi berat → Sindroma disentri
– Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali;
terjadi 6-8 bulan setelah infeksi

– Pemeriksaan Penunjang
• Mikroskopik feses: semua spesies
• Mikroskopik urin: spesies haematobium

Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
DOC Antihelmintik
JENIS CACING DOC ANTIHELMINTIK Keterangan

1. Albendazol 400 mg SD
Ascaris lumbricoides 2. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari atau 500 mg PO SD
3. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO

Cacing Tambang (ancylostoma 1. Albendazol 400 mg PO SD


Duodenale & Necator Americanus) 2. Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari (lbh efektif) atau 500 mg SD
1. Mebendazol 2x100 selama 3 hari atau 500 mg PO SD (krg efektif)
Trichuris Trichiura
2. Albendazole 1x400 mg selama 3 hari PO
Schistosoma mansoni, S. DOC: Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
hematobium, S intercalatum
Schistosoma japonicum, S. mekongi DOC: Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu
1. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Enterobius vermicularis
2. Mebendazol 100 mg PO SD
3. Albendazol 400 mg PO SD

1. Prazikuantel 5-10 mg/kg SD


Taeniasis (T. Solium & Saginata)
2. Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari

Keterangan: urutan berdasarkan skala prioritas, nomor 1 adalah DOCnya


KEY POINTS
KEY POINTS
194. Disentri Amuba
Gambar di Soal
Entamoeba Histolytica
• Kista matang dikeluarkan bersama tinja
penderita (berinti empat)  kontaminasi
pada makanan, air, atau tangan  ekskistasi
(3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4)  bermigrasi ke usus
besar. Tropozoit memperbanyak diri:
membelah diri (binary fission) & menjadi
kista (5), menumpang dalam tinja.

• Kista dapat bertahan beberapa hari -


berminggu-minggu pada keadaan luar

• Dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali


berkembang menuju lumen usus (A:
noninvasive infection) pada carier yang
asimtomatik, kista ada dalam
tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit
di dalam mukosa ususnya (B: intestinal
disease), atau, menuju aliran darah, secara
ekstra intestinal menuju hati, otak, dan paru
(C: extraintestinal disease), dengan berbagai
kelainan patologik.
Morfologi Entamoeba histolytica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoitnya
memiliki ciri-ciri morfologi :
– Ukuran 10 – 60 μm
– Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit, yang merupakan penanda
penting untuk diagnosisnya
– Terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang
terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti
– Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut
pseudopodia.
Amoebiasis: Diagnosis
• Laboratorium
– Leukositosis tanpa eosinofilia (80%)
– Peningkatan alkaline phosphatase (80%)
– Peningkatan kadar transaminase dan bilirubin
– Penurunan albumin dan anemia

• Mikroskopik  terlampir

• Feses: adanya bentuk tropozoit dan kista (lihat slide selanjutnya)

• Pewarnaan Lugol pada jaringan terinfeksi

• USG
– Abses hati amoeba: lesi bulat hipoekoik homogen soliter di aspek
posterior lobus kanan hati (70-80%)

http://emedicine.medscape.com/article/212029-workup#c7
Pemeriksaan Feses Pada Amuba
• Bentuk kista biasanya muncul • A minimum of 3 specimens on
pada feses yang padat, tetapi separate days needed to detect 85
tidak selalu muncul di feses tsb to 95% of infections (Examination
sehingga butuh pemeriksaan of a single stool sample has a
berulang selama beberapa hari sensitivity of only 33-50%).
• Bentuk trophozoit banyak • Specimens can be concentrated
ditemukan pada feses yang cair and stained with iodine to detect
• The routine diagnosis of amoebic cysts.
dysentery is still based on • To look for trophozoites, a saline
identification of wet mount and a fresh smear
erythrophagocytic trophozoites in stained with iron hematoxylin
dysenteric specimens and/or Wheatley's trichrome
(Cheesbrough, 2005). should be performed; fixation with
1. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, Oct. 2003, p. 713–729 Vol. 16, No. 4. 2003,
American Society for Microbiology
polyvinyl alcohol for delayed
2.
3.
Tropical Biomedicine 27(1): 79–88 (2010)
CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, July 2007, p. 511–532 Vol. 20, No. 3. 2007,
staining is often useful.
American Society for Microbiology. All Rights Reserved.
Amoebiasis: Stadium Trofozoit

Sel darah
merah
Amoebiasis: Stadium Kista

Uninucleated cyst Binucleated cyst

Quadrinucleated cyst
Terapi Entamoeba Hystolitica
• Invasive colitis is generally managed with metronidazole (alternative
therapies include tinidazole, ornidazole, and nitazoxanide), followed by a
luminal agent (such as paromomycin, diiodohydroxyquin, or diloxanide
furoate) to eliminate intraluminal cysts.
• Metronidazole (DOC)
– 3x500-750 mg selama 7-10 hari
– Anak: 35-50 mg/kgBB/3 dosis selama 7-10 hari
• Tinidazole
– Dewasa 2 gr / hari selama 3 hari
• Intraluminal infection can be treated with one of the following regimens:
– paromomycin (25 to 30 mg/kg/3 dosis PO for 7 days),
– diiodohydroxyquin (3x650 mg PO 20 days for adults and 30 to 40 mg/kg/ 3 dosis
for 20 days for children),
– or diloxanide furoate (3x500 mg POfor 10 days for adults and 20 mg/kg/ 3 dosis
for 10 days for children).
Uptodate.2017
195. Perioral dermatitis
• acneiform eruption of
unknown etiology,
• contributing factors:
• fluorinated topical
corticosteroids
• subclinical irritant
• contact dermatitis
• overmoisturization
• Women are affected more
than men
• eruption of discrete,
symmetrical pinpoint
papules and pustules in
clusters periorally
Treatment
• Perioral dematitis
resolves with
tetracycline (250 mg
two to three times daily
for several weeks)48 or
erythromycin
• Topical benzoyl peroxide Recommendations for treating perioral
dermatitis, roman numerals indicate level of
• Topical antibiotics are evidence.
less well tolerated and
less effective, but
remain an option for
those who cannot take
systemic antibiotics
• Topical fluorinated
corticosteroids should
be discontinued
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P
MC1472951/
196-197. Ulkus Durum
• Etiologi: Treponema Pallidum, bakteri
berbentuk spiral

• Gejala Klinis
– Stadium I: Ulkus durum
– Stadium II: Lesi sekunder di kulit
(roseola sifilitika, korona veneris,
kondiloma lata, lekoderma sifilitika)
– Stadium laten :
• Dini : bersifat menular
• Lanjut : bersifat tidak menular
– Stadium III: Gumma
– Stadium kardiovaskular dan neurosifilis
Sifilis Stadium Dini I (SI)
• Stadium dini (menular)
• Antara 10 – 90 hari (2 – 4 mgg) sth kuman msk  lesi – kulit
tempat msk kuman
• Umumnya lesi hanya 1 – AFEK PRIMER : papul yg kemudian
menjadi erosi / ulkus : ULKUS DURUM
• Umumnya lokasi afek primer – genital, jg dpt ekstra genital
• Dpt sembuh sendiri tanpa pengobatan dlm 3 – 10 mgg
• 1 mgg sth afek primer (+)  penjalaran infeksi ke kelenjar gth
bening (KGB) regional : regio inguinal medial – KGB
membesar, soliter, padat kenyal, indolen, tidak supuratif,
periadenitis (-) & dpr digerak scr bebas dr jaringan sekitarnya
 KOMPLEKS PRIMER
Sifilis Stadium I (SI)
DIAGNOSIS
• Mikroskop lapangan gelap (dark field microscope)  melihat
pergerakkan Treponema
• Pewarnaan Burri (tinta hitam)  tidak adanya pergerakan Treponema (T.
pallidum telah mati)  kuman berwarna jernih dikelilingi oleh lapangan
yang berwarna hitam.
• Serologi: VDRL, TPHA, fluorescent treponemal antibody-absorption (FTA-
ABS), Rapid plasma reagin (RPR) test, Treponemal enzyme immune assay
(EIA), T pallidum particle agglutination assay (TPPA)
• Bahan pemeriksaan diambil dari dasar ulkus atau pungsi kelenjar getah
bening
• Secara akademik : Bila hasil (-), pemeriksaan diulang 3 hari berturut-turut
Sifilis Stadium II (SII)
• Umumnya Std II (+) sth 6 – 8 mgg
• S II srg disebut : the Greatest Imitator of all the skin
diseases. Penting – tanpa rasa gatal
• Kelainan – sistemik, didahului gejala prodromal :
– Nyeri otot, sendi, suhu subfebril, sukar menelan (angina
sifilitika), malaise, anoreksi & sefalgia
– Kelainan  kulit, selaput lendir, kelenjar & organ tubuh
lain
Sifilis Stadium II (SII)
Kelainan kulit
• Makula eritem, bulat lonjong (roseola sifilitika) t u  dada, perut,
punggung, lengan, tangan  ke seluruh tubuh
• Transien dan berakhir  hipopigmentasi (leukoderma sifilitika)
• Papul - batas kulit rambut kepala (korona veneris)
– Papula arsiner, sirsiner dan polisiklik
– Papula diskret - telapak tangan dan telapak kaki
– Papula korimbiformis
– Kondiloma lata - kulit lipatan-lipatan yang lembab & hangat
dapat  alopesia sifilitika
– Papula + folikulitis yang
• Papuloskuamosa - mirip psoriasis (psoriasis sifilitika), papulokrustosa
- mirip frambusia (sifilis frambusiformis)
• Pustula, - bersifat destruktif  pd KU buruk (rupia sifilitika = lues
maligna)
Roseola sifilitika
Papul
Sifilis Stadium Dini II (SII)
• Kelainan selaput lendir
• Kelainan tubuh lain
– Mucous patch - banyak mengandung T
– Kuku : onikia, rapuh dan
pallidum, kabur
– Bentuk bulat, kemerahan  ulkus – Mata : uveitis anterior,
– Kelainan  mukosa bibir, pipi, laring, tonsil korioretinitis
dan genital. – Tulang : periostitis
• Kelainan kelenjar – Hepar : hepatomegali,
hepatitis
– Pembesaran kelenjar  seluruh tubuh
– Ginjal, meningen
(limfadenopati generalisata) - sifat = S I
– Kelenjar - kelenjar getah bening superfisialis • Diagnosis : STS – selalu
 t u suboksipital, sulkus bisipitalis & (+)
inguinal. Pada aspirasi kelenjar akan
ditemukan T. pallidum.
Sifilis Std II, makulopustula

Sifilis Std II, Papuloskuama

MDL/S/Peb/2006
Sifilis std II, Mucous patch - tongue

Sifilis II, Interstitial glossitis

MDL/S/Peb/2006
Sifilis II, Palmar

Sifilis II, Lesi Psoriasiformis

MDL/S/Peb/2006
Kondiloma lata, perianal

Kondilomata lata, perivulva / perianal

MDL/S/Peb/2006
Sifilis Stadium Laten Dini Sifilis Stadium Rekuren

• Stadium ini (+) < dari 2 • Kelainan klinis seperti


tahun setelah infeksi. kelainan stadium II,
• Tanda-tanda klinis (-), namun kelainan bersifat
bersifat menular. setempat.
• Penegakkan diagnosis  • Kadang-kadang dapat juga
STS yang positif. timbul kelainan seperti
stadium I.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular)

STADIUM LATEN LANJUT


• Disebut laten lanjut > 2 tahun setelah infeksi.
• Kelainan klinis (-) dan hanya dapat diketahui
berdasarkan hasil pemeriksaan STS yang
positif.
• Lamanya masa laten ini dapat berlangsung
bertahun-tahun, bahkan dapat berlangsung
seumur hidup.
Sifilis Stadium Lanjut (Tidak Menular)

STADIUM III STADIUM III


• Kelainan timbul 3 – 10 tahun • Guma soliter - dapat multipel
sesudah stadium I • Ukuran: milier - beberapa
• Kelainan khas – guma : infiltrat cm.
berbatas tegas, bersifat kronis,
cenderung mengalami perkejuan • Guma  di semua jaringan &
(perlunakan) & pecah  ulkus  merusak semua jenis
• Ulkus : dinding curam, dasar : jaringan : tulang rawan
jaringan nekrotik berwarna kuning hidung, palatum atau organ
keputihan (ulkus gumosum) & dalam tubuh (lambung,
bersifat destruktif & serpiginosa. hepar, lien, paru-paru, testis,
dll)
• Diagnosis pasti hasil STS.
Sifilis: Tatalaksana
• Benzatin Penicilin G:
– Primary or secondary syphilis, & Early latent syphilis - Benzathine penicillin G 2.4
million units intramuscularly (IM) in a single dose
– Tertiary, Late latent syphilis or latent syphilis of unknown duration - Benzathine
penicillin G 7.2 million units total, administered as 3 doses of 2.4 million units IM
each at 1-week intervals
• Penicilline G Procaine:
– Primary, secondary, and latent: 600,000 units IM qDay for 8 days
– Late (tertiary and latent syphilis with positive spinal fluid): 600,000 units IM qDay
for 10-15 days (total 6-9 million units)
• Neurosyphilis and Ocular Syphilis:
– Aqueous crystalline penicillin G 18–24 million units per day, administered as 3–4
million units IV every 4 hours or continuous infusion, for 10–14 days
– 2.4 million units IM qDay x10-14 days; administer with probenecid 500 mg PO QID
(penicillin G aqueous preferred)
• Alternatif: Doxicycline 2 x 100 mg/hr PO, 4 minggu
• Alternatif: Eritromisin 4 x 500 mg/hari PO, 4 minggu
• Komplikasi
• Neurosifilis, parestesia, perubahan kepribadian
CDC 2015 guideline
• Regimens of • Compliance is likely to
doxycycline 100 mg be better with
orally twice daily for 14 doxycycline than
days and tetracycline tetracycline, because
(500 mg four times tetracycline can cause
daily for 14 days) have gastrointestinal side
been used for many effects and requires
years for syphilis with more frequent dosing
penicillin allergy
198. Keganasan Pada Kulit
Karsinoma Sel Basal Karsinoma Sel Skuamosa
• Berasal dari sel epidermal • Berasal dari sel epidermis.
pluripoten. Faktor predisposisi: Etiologi: sinar matahari, genetik,
lingkungan (radiasi, arsen, paparan herediter, arsen, radiasi,
sinar matahari, trauma, ulkus hidrokarbon, ulkus sikatrik
sikatriks), genetik • Usia tersering 40-50 tahun
• Usia di atas 40 tahun • Dapat bentuk intraepidermal
• Biasanya di daerah berambut, • Dapat bentuk invasif: mula-mula
invasif, jarang metastasis berbentuk nodus keras, licin,
• Bentuk paling sering adalah kemudian berkembang menjadi
nodulus: menyerupai kutil, tidak verukosa/papiloma. Fase lanjut
berambut, berwarna coklat/hitam, tumor menjadi keras, bertambah
berkilat (pearly), bila melebar besar, invasif, dapat terjadi
pinggirannya meninggi di tengah ulserasi. Metastasis biasanya
menjadi ulkus (ulcus rodent) melalui KGB.
kadang disertai talangiektasis,
teraba keras

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Melanoma Maligna SCC

• Etiologi
• Belum pasti. Mungkin faktor
herediter atau iritasi berulang
pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun
• Bentuk: BCC
• Superfisial: Bercak dengan
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk MM
Hystology Basal Cell Carcinoma

Palisade = “pagar”
SCC: Clinical manifestations
 Various morphologies
• Papule, plaque, or nodule
• Pink, red, or skin-colored
• Exophytic (grows outward)
• Verrucous surface
• Indurated (dermal thickening, lesion feels
thick, firm)
• May present as a cutaneous horn
 Friable – may bleed with minimal trauma and
then crust
 Usually asymptomatic; may be pruritic

90
Shave biopsy reveals…

Scanning
magnification:
Normal epidermis

Dermal extension of
well-differentiated
(“keratinizing”)
keratinocytes

91
Shave biopsy reveals…

High power view:


Variably-sized keratin
“pearls”

92
Squamous Cell Carcinoma
• Proliferation of
anastomosing nests,
sheets and strands of
atypical keratinocytes
• originating in the
epidermis and
infiltrating into the
dermis
Malignant melanoma
• Predominance of single cell
melanocytes over nests of
• melanocytes along the
dermoepidermal junction
• Pagetoid (upward)
migration of single cell
melanocytes
• Confluent spread of
melanocytes
• Cellular dyscohesion
• Lack of uniform melanin
distribution
Keratosis seborrhoic
• Merupakan tumor jinak
• Disebabkan oleh peningkatan proliferasi epidermal keratosit
• Asimptomatik namun terkadang terasa gatal
• Keluhan utama lebih karena masalah kosmetik/penampilan
Actinic Keratosis
Pre-cancer lesions of SCC
• Irritated skin
• Itching or burning
• Rough, dry, scaly patch of
skin
• Flat to slightly raised
patch or bump on the top
layer of skin
• Hard, wart-like patch
• Color ranging from pink
to red to brown or even
flesh colored
199. Enterobacteriaceae (Bakteri Enterik)
• Sifat umum dari famili enterobacteriaceae
1. Gram negatif, batang pendek
2. Anaerob fakultatif Lactose fermenter
3. Diisolasi dengan agar McConkey “KECE”
4. Motilitas
Non- lactose fermenter
5. Katalase positif “ShYPS”
6. Cytochrome oxidase (-)
7. Mereduksi nitrat menjadi nitrit
8. Mengandung antigen enterobakteri
9. Memproduksi asam dari glukosa
10. Tidak butuh sodium untuk bisa bertumbuh
Enterobacteriaceae
Alur pemeriksaan
Tinja, usap dubur, darah, cairan tubuh,
sputum, pus, urin, hapusan tenggorok, dll

KALDU SELENIT

AGAR Eosin Methylene Blue (EMB)

AGAR MacCONKEY

AGAR Salmonela Shigella (SS)

• TSI (Triple Sugar Iron)


• Slant/aerobic
• Butt/anaerobic
• KIA (Kligler Iron Agar)
Media Mc Conkey Salmonella Shigella Agar (SS)
1. Gram negatif, dapat • Salmonella will not ferment lactose, but
memfermentasi laktosa produce hydrogen sulfide (H2S) gas. The
2. Gram negatif, dapat resulting bacterial colonies will appear
memfermentasi laktosa colorless with black centers.
3. Gram positiftidak tumbuh • Shigella do not ferment lactose or produce
koloni hydrogen sulfide gas, so the resulting colonies
4. Gram negatif, tidak dapat will be colorless.
memfermentasi laktosa
Enterobacteriaceae
• McConkey Agar

Non- lactose fermenter


Lactose fermenter “ShYPS”
“KECE”
Shigella
Klebsiella Yersinia
Escherichia Proteus
Citrobacter Salmonella
Enterobacter
Triple Sugar Iron (TSI) Agar

Name of the organisms Slant Butt Gas H2S

Escherichia, Klebsiella, Acid (A) Acid (A) Pos (+) Neg (-)
Enterobacter

Shigella, Serratia Alkaline (K) Acid (A) Neg (-) Neg (- )

Salmonella, Proteus Alkaline (K) Acid (A) Pos (+) Pos (+)

Pseudomonas Alkaline (K) Alkaline (K) Neg (-) Neg (-)


TSI/KIA
Citrate Utilization test

NEGATIVE: POSITIF:
-E. Coli -Klebsiella pneumonia
-Shigella spp. -Enterobacter lain
-S. typhi -Citrobacter freundii
-S. paratyphi A. -Salmonella selain S.typhi
-Morganella morganii dan S. paratyphi A
-Yersinia enterocolitica -Proteus mirabilis
-Providencia
Tes MIU (Motility, Indolase, and Urease production)

• Untuk menunjukkan adanya flagel/alat gerak bakteri, serta produksi indolase dan urease
• Sering dipakai untuk membedakan salmonella dengan shigella

Vibrio cholerae

E. coli
MOTIL

Salmonella

Klebsiella

NON MOTIL
Shigella disentriae
Indole test

POSITIF:
-E. coli
-P. vulgaris
-M. morganii
-Providenica
Methyl Red test

NEGATIF: Positif:
- Enterobacter aerogenes - E. coli
200. Profilaksis Malaria

NON FARMAKOLOGIS
• Tidur menggunakan kelambu yang sudah
dicelup pestisida
• Menggunakan obat pembunuh nyamuk
(mosquito repellant)
• Proteksi diri saat keluar dari rumah (baju
berlengan panjang, kus/stocking)
• Proteksi kamar atau ruangan menggunakan
kawat anti nyamuk
Profilaksis Malaria
FARMAKOLOGISKemoprofilaksis saat ke daerah
endemis
• Daerah sensitif klorokuin
2 tablet klorokuin (250 mg) tiap minggu sejak 1 minggu
• Ibu hamil
sebelum berangkat hingga 4 minggu setelah kembali
• Imunitas rendah

• Resisten klorokuin : doksisiklin 100 mg/hari (sejak 1-2 hari sebelum berangkat s.d. 4
minggu setelah pulang) atau meflokuin 250 mg/minggu (sejak 2 minggu sblm berangkat
hingga 4 minggu setelah kembali) atau klorokuin 2 tablet/minggu + proguanil 200 mg/hari

• Alternatif : primakuin 0.5 mg/kgBB/hari (1-2 hari sebelum berangkat hingga 1 minggu
setelah pulang)
201. Herpes Simpleks
• Infeksi, ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa di daerah dekat
mukokutan

• Predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas, predileksi HSV


tipe II di daerah pinggang ke bawah terutama genital

• Gejala klinis:
– Infeksi primer: vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab &
eritematosa, berisi cairan jernih yang kemudian seropurulen, dapat
menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi dangkal, tidak
terdapat indurasi, sering disertai gejala sistemik
– Fase laten: tidak ditemukan gejala klinis, HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif di ganglion dorsalis
– Infeksi rekuren: gejala lebih ringan dari infeksi primer, akibat HSV
yang sebelumnya tidak aktif mencpai kulit dan menimbulkan gejala
klinis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Herpes Simpleks
• Pemeriksaan
– Ditemukan pada sel dan
dibiak, antibodi, percobaan
Tzanck (ditemukan sel
datia berinti banyak dan Tipe II
badan inklusi intranuklear,
glass cell)
• Komplikasi
– Meningkatkan
morbiditas/mortalitas pada
janin dengan ibu herpes
genitalis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Herpes Simpleks
• Pemeriksaan Tipe II
– Ditemukan pada sel dan
dibiak, antibodi, percobaan
Tzanck (ditemukan sel
datia berinti banyak dan
badan inklusi intranuklear, Tipe I
glass cell)
• Komplikasi
– Meningkatkan
morbiditas/mortalitas pada
janin dengan ibu herpes
genitalis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Multinucleate giant cells
Prinsip Terapi (CDC 2015)
• Terapi yang menjadi pilihan: acyclovir, valacyclovir, dan
famcyclovir
• Valacyclovir lebih unggul dalam masalah absorbsi
• Famciclovir memiliki bioavaibilitas oral yang jauh lebih tinggi
• Terapi antiviral topikal tidak banyak bermanfaat dan tidak
disarankan
• Sediaan yang dipilih ORAL, namun jika gejala berat dipilih
sediaan acyclovir IV 5-10 mg/kgBB/8 jam selama 2-7 hari
(sampai ada perbaikan) kemudian dilanjutkan terapi oral
sampai total durasi terapi 10 hari
• Khusus ensefalitis HSV durasi acyclovir IV 21 hari
Regimen terapi (CDC 2015)
Untuk yang baru pertama kali menderita
• Acyclovir 3x400 mg/hari selama 7-10 hari, ATAU
• Acyclovir 5x200 mg/hari selama 7-10 hari, ATAU
• Valacyclovir 2x1 gram/hari selama 7-10 hari, ATAU
• Famcyclovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari

Untuk yang rekuren (syarat: hanya boleh diberikan max 1 hari setelah
onset)
• Acyclovir 3x400 mg/hari selama 5 hari, ATAU
• Acyclovir 2x800 mg/hari selama 5 hari, ATAU
• Acyclovir 3x800 mg/hari selama 2 hari, ATAU
• Valacyclovir 2x500 mg/hari selama 3 hari, ATAU
• Valacyclovir 1 gr/hari selama 5 hari, ATAU
• Famcyclovir 2x125 mg/hari selama 5 hari, ATAU
• Famcyclovir 2x1 gram/hari selama 1 hari, ATAU
• Famcyclovir 1x500 SD kemudian dilanjutkan 2x250 mg/hari selama 2hari
202-203. Stevens-Johnson syndrome (SJS)
Definition Physical Findings & Clinical Presentation
• Stevens-Johnson syndrome (SJS) is a • The cutaneous eruption generally occurs
rare, severe vesiculobullous form of within 8 wk of drug initiation and is
erythema multiforme (EM) affecting generally preceded by vague, nonspecific
the skin, mouth, eyes, and genitalia. symptoms of low-grade fever and fatigue
• SJS  <10% of body surface area (BSA). (influenza-like symptoms).
• SJS–toxic epidermal necrolysis (TEN) • Enlarging red-purple macules or papules
overlap syndrome  10% to 30% of and bullae generally occur on the
BSA, it is known as. conjunctiva, mucous membranes of the
• TEN affects  >30% of BSA. mouth nares, and genital regions.
• Corneal ulcerations may result in
Etiology blindness.
• Drugs • Ulcerative stomatitis results in
• Upper respiratory tract infections (e.g., hemorrhagic crusting.
Mycoplasma pneumoniae) and HSV
infections have also been implicated

Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic
imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
Manifestasi Klinis

A. Early eruption. Erythematous


dusky red macules (flat atypical
target lesions) that progressively
coalesce and show epidermal
detachment.

B. Early presentation with


vesicles and blisters, note the
dusky color of blister roofs,
strongly suggesting necrosis of
the epidermis.

C. Advanced eruption. Blisters


and epidermal detachment have
led to large confluent erosions.

D. Full-blown epidermal
necrolysis characterized by large
erosive areas reminiscent of
scalding.
SSJ vs TEN
Clinical Features that Distinguish SJS, SJS-TEN Overlap, and TEN

Clinical entitiy SJS SJS-TEN overlap TEN


Primary lesions • Dusky red • Dusky red • Poorly
lesion lesions delineated
• Flat • Flat atypical erythematous
atypical targets plaques
targets • Epidermal
detachment
• Dusky red
lesions
• Flat atypical
targets
Distribution • Isolated • Isolated lesions • Isolated
lesions • Confluence (++) lesions (rare)
• Confluenc on face and • Confluence
e (+) on trunk (+++) on face,
face and trunk, and
trunk elsewhere
Mucosal Yes Yes Yes
involvement
Systemic Usually Always Always
symptoms
Detachment (% < 10 10-30 >30
body surface
Harr T, French LE. Toxice Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson area)
Syndrome. Oprhanet Journal of Rare Disease. 2010.
Ilmu Kulit dan Kelamin, 2007

Management
• Hentikan Obat yang menjadi penyebab
• Nilai derajat keparahan SSJ/TEN:
• ABCBila terdapat gangguan airway, rawat ICU
• Jaga kebutuhan dan penggantian cairan secara IV
• Monitor urine output
• Treatment of associated conditions (e.g., acyclovir for HSV infection, azithromycin for
Mycoplasma infection).
• Antihistamines for pruritus.
• Treatment of the cutaneous blisters with cool, wet Burow’s compresses; kompres NaCl
0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit.
Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
• Relief of oral symptoms by frequent rinsing with lidocaine (Xylocaine Viscous).
• Liquid or soft diet with plenty of fluids to ensure proper hydration.
• Treatment of secondary infections with antibiotics.
• Corticosteroids: use remains controversial and there is a clear risk of sepsis; they should
be used only in severe cases early in the disease; when used, prednisone 20 to 30 mg bid
until new lesions no longer appear, then rapidly tapered.
– Topical steroids: may use to treat papules and plaques; however, should not be applied to eroded areas
(kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2.5% atau mometason furoat krim 0.1%
• Vitamin A: may be used for lacrimal hyposecretion.
• Consider IVIG in severe cases.
Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
204. Tuberkulosis kutis
• Penyebaran infeksi tuberkulosis ke kulit
• Etiologi utama Mycobacterium tuberculosis (91,5%)
• TB kutis diklasifikasikan berdasarkan 2 kriteria:
- Rute infeksi: eksogen, endogen, limfogen, dan heamtogen
- Banyaknya BTA: multibasiler dan pausibasiler

Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Jenis TB kutis Gambaran Klinis

TB inokulasi - Terjadi pada orang yang belum pernah terinfeksi TB


primer sebelumnya
(Tuberculous - Predileksi: wajah, tangan, dan kaki
chancre) - Lesi: papul/nodul2-3 minggu: ulkus keras, dangkal, tidak
nyeri
- Limfadenopati tidak nyerikompleks primer/Gohn
Skrofuloderma - Infeksi pada struktur di bawah kulit, terutama kelenjar limfe
superfisial
- Berawal dari limfadenitis TB
multipelberkonfluensiperlunakan (cold
abcess)pecahterbentuk fistelulkus memanjang dan
tidak teratur, sekitarnya berwarna kebiruan (livid), dinding
bergaung, dasar jaringan granulasi tertutup pus seropurulen

Tuberkulosis - Predileksi: orifisium


orifisialis - Ulkus di mulut, bibir, dan sekitarnya karena kontak langsung
dengan sputum (anus kontak dengan feses, OUE kontak
dengan urin)
- Tersering pada pasien imunodefisiensi
- Lesi: nyeri dengan tepi tidak rata (punched out), dasar
tertutup pseudomembran fibrin dan mudah berdarah,
mukosa sekitar edema dan mengalami inflamasi.

Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Jenis TB kutis Gambaran Klinis

Tuberkulosis - Lesi: makula eritema dan papul eritema multipel, ukuran kecil <5 mm
miliaris akut - Penyebaran hematogen, dapat mencapai meninges
- Pemeriksaan diaskopi: apple jelly colour
- Sering pada AIDS

TB Gumosa - Lesi: infiltrat subkutan, lunak, berbatas tegas, kronis, dan bersifat destruktif.
- Predileksi: ekstremitas dan badan karena penyebaran hematogen

TB verukosa - Reinfeksi pada individu yang pernah terinfeksi


kutis - Predileksi: daerah yang sering terkena trauma (ekstremitas)
- Lesi: plak hiperkeratosis atau plak verukosa dengan tepi inflamasi yang tidak
nyeri, permukaan kulit mengalami fisura, eksudat, dan krusta
- Tepi lesi tersusun serpiginosa, bagian tengah mengalami involusi

Lupus vulgaris - TB kutis tersering


- Penyebaran hematogen dan limfogen
- Lesi: soliter atau bisa multipel, berupa papul atau plak merah kecoklatan,
berbatas tegas.
- Pemeriksaan diaskopi: apple jelly colour
- Ulkus/nodul hiperkeratosis
Tuberkulid - Reaksi hipersensitivitas terhadap bakteri
- Terjadi pada host dengan imunitas baik, tes tuberculin (+)
- Lesi: Eritema induratum of Bazin (Nodular tuberculid), tuberkulid
papulonekrotik, Lichen Skrofulosorum

Sumber: Andriani PI. Pendekatan klinis infeksi tuberculosis pada kulit. CDK, 2014; 41(8): 584-8
Histopathology
• All Cutaneus TB composed of
– Lymphocytes
– epithelioid histiocytes
– giant cells
• The histological differences observed for each
clinical presentation result from the variation
in the host's ability to organize the
granulomatous process it can divided into 3
groups
3 Groups of Histopathology
• A - Well-formed granulomas with absence of caseous
necrosis
– Lupus vulgaris
• B - Intermediate forms: granulomas with caseous necrosis
– Tuberculosis verrucosa cutis
– Primary cutaneous tuberculosis
– Acute miliary tuberculosis
– Tuberculosis orificialis:
– Papulonecrotic tuberculid
• C - Poorly formed granulomas with intense caseous
necrosis
– Scrofuloderma
Skrofuloderma
• Penjalaran perkontinuitatum dari organ dibawah kulit yang diserang
penyakit TB (KGB, sendi, tulang)
• Lokasi
– Leher: dari tonsil atau paru
– Ketiak: dari apeks pleura
– Lipat paha: dari ekstrimitas bawa  KGB inguinal lateral
• Perjalanan Penyakit
– Awal: Limfadenitis TB (KGB membesar tanpa tanda radang akut)
– Periadenitis: Perlekatan kelenjar dengan jaringan sekitar
– Perlunakan tidak serentak  cold abses  pecah
– Fistel  memanjang, tidak teartur, sekitarnya livide, menggaung tertutup pus
seropurulen  sikatrik  skin bridge
• Diagnosis Banding
– Limfosarkoma, limfoma malignum, hidradenitis supurativa, LGV
Skrofuloderma
Histopatologi
Caseous necrosis surrounded by
granulomatous process in scrofuloderma
Periadenitis
Limfadenitis TB

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Cold Abses
Fistel Sikatrik → skin bridge

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tuberculous Chancre

• Afek primer : papul,


pustule, ulkus indolen,
menggaung,
disekitarnya livide
• Masa tunas: 2-3 minggu
Limfangitis, limfadenitis
setelah afek primer
• (tuberculin positif)
Semua di atas: komplek
primer
Ulkus dengan indurasi
TUBERKULOSIS KUTIS VERUKOSA
• Berbeda dgn skrofuloderma,
penjalaran tipe verukosa terjadi secara
eksogen
• Kuman masuk melalui kulit pada
orang yang sudah terinfeksi TB
(primer)
• Predileksi : punggung tangan, tungkai
bawah, kaki (tempat yang lebih sering
terkena trauma)
• Gambaran klinisnya khas sekali:
Bentuk bulan sabit akibat penjalaran
serpiginosa
• Papul lentikuler diatas kulit yang
eritematosa
• Dapat pula menjalar ke perifer
sehingga terbentuk sikatriks di tengah
TB Kutis Gumosa

• Secara hematogen
(dari paru) infiltrate
subkutan, batas tegas,
menahun melunak,
destruktif
• DD: guma sifilis,
frambusia, mikosis
profunda
TB Kutis Orifisialis/ ulserosa
• Di sekitar orifisium:
– TB paru ulkus di mulut, bibir
– TB saluran cerna ulkus di sekitar anus
– TB saluran kemih ulkus pada genital
• Disebabkan karena kekebalan sangat
kurang
• Didapatkan ulkus menggaung, dinding
livide
Tuberkulosis Kutis: Terapi
• Terapi tergantung status infeksi tuberkulosis pasien

• Dosis dan cara pemberian obat pada dasarnya sama dengan infeksi
tuberkulosis lain

– Pasien yang baru pertama kali terinfeksi mendapat regimen pengobatan


obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1
• Regimen ini diberikan selama enam bulan, terdiri dari dua bulan fase intensif dan
empat bulan fase lanjutan
• Pengobatan fase intensif adalah isoniazid (H), ethambutol (E), rimfapisin (R), dan
pirazinamid (Z)
• Fase lanjutan diberikan isoniazid (H) dan rifampisin (R)

– Apabila infeksi tuberkulosis merupakan kasus lama, diberikan regimen


pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 2
• Regimen itu terdiri dari tiga bulan fase intensif, ditambah injeksi streptomisin
selama dua bulan pertama
• Setelah fase intensif kemudian fase lanjutan selama lima bulan.

http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_219Pendekatan%20Klinis%20Infeksi%20Tuberkulosis%20pada%20Kulit.pdf
205. Pioderma: Erisipelas
• Penyakit infeksi akut oleh Streptococcus
beta hemolyticus, menyerang epidermis dan
dermis

• Gejala: eritema berwarna merah cerah,


berbatas tegas. Predileksi: tungkai bawah
• Gejala konstitusi: demam, malaise

• Terdapat keterlibatan limfatik dan juga


limfadenopati, jika sering residif dapat
menjadi elefantiasis

• Pengobatan
• Elevasi tungkai
• Antibiotik sistemik
• Diuretik (bila edema)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin,


5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
More severe
infections may
exhibit
numerous
vesicles and
bullae along
with petechiae
and even frank
necrosis.
Algoritma
Tatalaksana ¶ Five days of antibiotic
therapy is generally sufficient;

Erisipelas extension up to 14 days may


be warranted for slow
response to therapy.
§ Penicillin and amoxicillin are
Uptodate. 2017 preferred for erysipelas. For
patients with a penicillin
allergy, cephalexin (depending
on the allergy), clindamycin,
and trimethoprim-
sulfamethoxazole are
alternatives.
Pioderma: Selulitis
• Etiologi
• Staphylococcus, streptococcus, atau infeksi
jamur (jarang)
• Gejala dan Tanda
– Infiltrat difus kemerahan dengan batas tidak
tegas
• Cellulitis and erysipelas are nearly always
unilateral, and the lower extremities are
the most common site of involvement.
• Cellulitis involves the deeper dermis and
subcutaneous fat
• Cellulitis may present with or without
purulence
• Pasien dengan selulitis cenderung
memiliki perjalanan yang lebih lamban
dengan perkembangan gejala lokal
selama beberapa hari..
Algoritma
Tatalaksana
Selulitis
Uptodate. 2017
Erisipelas vs Selulitis

ERISIPELAS SELULITIS
• Infeksi akut oleh Streptococcus • Infeksi akut terutama oleh
• Menyerang lapisan kulit atas (superfisial): Staphylococcus
dermis atas dan limfatik superfisial
• Tanpa purulensi
• Menyerang lapisan kulit yang lebih
dalam deeper dermis dan lapisan
• cenderung memiliki onset akut gejala dengan
manifestasi sistemik termasuk demam dan subkutan
menggigil • Bisa dengan atau tanpa purulensi
• Eritema merah cerah, batas tegas, pinggirnya • cenderung memiliki perjalanan yang
meninggi, tanda inflamasi (+) lebih lamban dengan perkembangan
• Predileksi: tungkai bawah gejala lokal selama beberapa hari.
• Lab: leukositosis • Infiltrat difus (batas tidak tegas) di
• Jika sering residif dapat terjadi elefantiasis subkutan, tanda inflamasi (+)
• Predileksi: tungkai bawah
• Lab: leukositosis
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61
https://www.icgp.ie/assets/75/73F75322-D310-AFE8-B27BF2BFD39E293F_document/derma.pdf
Selulitis

Erisipelas
ILMU
P E N YA K I T
DALAM
206. Kolesistitis
• Cholecystitis is inflammation of the gallbladder that occurs
most commonly because of an obstruction of the cystic
duct by gallstones arising from the gallbladder
(cholelithiasis).
• Clinical symptoms of acute cholecystitis include abdominal
pain (right upper abdominal pain), nausea, vomiting, and
fever
• Jaundice may be noted in approximately 15% of patients
• Murphy’s sign are the characteristic findings of acute
cholecystitis.
• A positive Murphy’s sign has a specificity of 79%–96% for
acute cholecystitis.
Kolesistitis
• Diagnosis kolesistitis:
– Murphy sign atau nyeri tekan
abdomen kanan atas
– Demam, leukositosis, atau
peningkatan CRP
– USG: ditemukan batu (90-95%
kasus), tanda inflamasi kandung
empedu (penebalan
dinding/double rim cairan
perikolesistik, dilatasi duktus
biliaris)

• Temuan lab lainnya:


– aminotransferase meningkat
sedang (biasanya <5 kali batas atas)
– Bilirubin meningkat ringan (<5
mg/dL), bila tinggi kemungkinan
koledokolitiasis

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. McGraw-Hill


Pocket medicine. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Kolesistitis
• Temuan USG kolesistitis:
– Sonographic Murphy sign
(nyeri tekan timbul ketika
probe USG ditekan ke arah
kandung empedu)
– Penebalan dinding kandung
empedu (>4 mm)
– Pembesaran kandung
empedu (long axis diameter
>8 cm, short axis diameter
>4 cm)
– Impacted stone,
pericholecystic fluid
collection
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Murphy sign
Kolesistitis
Kolesistitis
• Terapi Medik
– Puasa, NGT, tatalaksana cairan & elektrolit
– NSAID untuk analgesik karena lebih sedikit menimbulkan
spasme sfingter Oddi daripada morfin.
– Antibiotik IV: piperacillin, ampicillin sulbactam,
ciprofloxacin, moxifloxacin, & sefalosporin generasi 3.
• Terapi Bedah
– Waktu optimal untuk operasi tergantung kestabilan pasien.
– Kolesistektomi dini (dalam 72 jam) merupakan terapi
pilihan pada sebagian besar pasien kolesistitis akut.
207. Syok
• Definisi
• Syok  kumpulan gejala akibat perfusi selular tidak mencukupi dan
asupan O2 tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolic
– Perfusi yang inadekuat
– Gangguan hemodinamik
– Disfungsi organ
• Klinis
• Manifestasi klinis tergantung penyakit dasar dan mekanisme
kompensasi yang terjadi, misalnya:
– Peningkatan tahanan vaskular perifer: kulit pucat dan dingin, oliguria
– Tonus saraf adrenergik meningkat menyebabkan takikardia, keringat
banyak, cemas, mual, muntah, atau diare
– Hipoperfusi organ vital berupa iskemi miokard ditandai dengan nyeri
dada atau sesak nafas, insufisiensi serebral ditandai dengan
perubahan status mental
Jenis Syok
HIPOVOLEMIK KARDIOGENIK DISTRIBUTIF OBSTRUKTIF
• Hemoragik • Gagal pompa • Sepsis • Tamponade
• Trauma • Infark miokard akut • Anafilaksis perikard
• Perdarahan GI • Kardiomiopati • Neurogenik • Emboli pulmonal
• Ruptur aneurisma • Myokarditis • Toksin masif
aorta • Ruptur kordae • Sianida • Tension
• Ruptur diseksi aorta tendinae • Karbon monoksida pneumotoraks
• Perdarahan akibat • Ruptur septum • Hipotensi berat • Dapat
kehamilan ventrikel memanjang dimanifestasikan
• Dehidrasi berat • Disfungsi otot sebagai pulseless
• Gastroenteritis papilar electrical activity
• Krisis adrenal • Disfungsi katup
• Luka bakar prostetik
• Insufisiensi aorta
kronik
• Toksin
• Kontusi miokard
• Masalah Irama
• Bradikardia
• Takikardia
Syok hipovolemik
• Menyebabkan penurunan
preload
Etiologi: Perdarahan:
trauma, perdarahan
intraabdomen, rupture
aorta. Kehilangan cairan :
diare berat
Tatalaksana Syok
• Hipovolemi : resusitasi cairan dan control
perdarahan
• Kardiogenik : perbaiki tekanan darah lewat
volume dan kontraksi (ada di algoritma edema
paru akut)
• Distributive: epinefrin (jika anafilaksis),
resusitasi cairan, vasokonstriktor, antibiotic
jika disebabkan infeksi
208. Gastritis

Definisi
• Inflammation in the stomach.
• Endoscopically, gastritis refers to a number of
abnormal features such as erythema, erosions,
and subepithelial hemorrhages.
Etiologi
• Erosive and hemorrhagic gastritis is most commonly
seen in patients taking nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs), alcoholics, and critically ill patients
(usually on ventilator support).
• H. pylori infection with gastritis is believed to be
present in 30% to 50% of the population; however, the
majority are asymptomatic.
• The prevalence of H. pylori infection increases with age
from <10% in whites <40 yr to >50% in patients >50 y
Manifestasi Klinis
• Patients with gastritis generally present with
nonspecific clinical signs and symptoms (e.g.,
epigastric pain, abdominal tenderness, bloating,
anorexia, nausea [with or without vomiting]).
Symptoms may be aggravated by eating.
• Epigastric tenderness in acute alcoholic gastritis
(may be absent in chronic gastritis).
• Foul-smelling breath.
• Hematemesis (“coffee grounds” emesis)
Еrosive gastritis
The typical case of erosive
gastritis is characterized
grossly by widespread
petechial hemorrhages
in any portion of the
stomach or regions of
confluent mucosal or
submucosal bleeding.
Endoskopi
• Erosions vary in size from 1 to 25 mm across and
appear occasionally as sharply punched-out ulcers.
• Microscopically, patchy mucosal necrosis extending
to the submucosa is visualized adjacent to normal
mucosa.
Tatalaksana
• Proton pump inhibitor in patients receiving
long-term NSAIDs.
• Avoidance of alcohol, tobacco, and prolonged
NSAID or corticosteroid use.
209. Gastrointestinal Stromal Tumor
(GIST)
• Stromal or mesenchymal tumors of the GI tract are
divided into two groups:
– 1. Those identical to tumors of the soft tissue arising in the
rest of the body (Lipomas, Schwannomas, Hemangiomas,
Usual Leiomyomas, etc.)
– 2. Stromal tumors arising from the smooth muscle of the
alimentary tract: GIST
• The term “GIST” was applied by Mazur and Clark in 1983 to define
intra-abdominal tumors that were not carcinomas .
EPIDEMIOLOGY
• Most common non epithelial benign neoplasm of the GI tract .
• GIST represents a form of sarcoma that comprises approx. 1%
to 3% of all malignant GI tumors.
• GIST occurs predominantly in adults .
• The incidence has been slightly higher in men than women.
• Small asymptomatic GISTs are found at autopsy in more than
50 % of individuals over the age of 50
• GIST treatment trials estimate an annual incidence of 4,500 –
6,000 new cases
MOLECULAR PATHOBIOLOGY GIST
• GIST represents a form of sarcoma.
• GISTs originally thought to derive from smooth muscle,
but only rarely showed clear-cut features of complete
muscle differentiation.
• Work in the 1990s: Some tumors classified as GIST
were truly myogenic, some neural, others bidirectional
and some had the ‘null’ phenotype
• Up to two-thirds were CD34 positive
• Unfortunately, Schwannomas and a proportion of true
smooth muscle tumors were also CD 34 positive
GIST and C-kit
• The c-kit receptor is one of many membrane tyrosine
kinase receptors involved in cellular signaling
pathways.
• CD117 molecule (or antigen) is part of the c-kit
receptor, a membrane tyrosine kinase.
• The c-kit receptor is a product of the c-kit or KIT
protooncogene.
• The CD117 antigen is expressed by almost all GISTs in
contrast to other spindle-cell tumors of the GI tract.
GISTs are identified by:
• Either c-kit immunoreactivity (detection of the CD117
antigen) or
• The presence of activating mutations in KIT or PDGFRa
210. Dispepsia
• Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.

• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.

• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
– Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
– Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


KLASIFIKASI DISPEPSIA FUNGSIONAL (ROMA III)

Epigastric pain syndrome Post prandial distress


syndrome
• Dispepsia fungsional dengan gejala • Dispepsia fungsional dengan gejala
predominan nyeri epigastrium predominan gejala ketidaknyaman
• Diagnostic criteria* Must include all pada perut
of the following: • Diagnostic criteria (Must include one
– Pain or burning localized to the or both of the following):
epigastrium of at least moderate – Bothersome postprandial fullness,
severity, at least once per week occurring after ordinary-sized meals, at
least several times per week
– The pain is intermittent
– Early satiation that prevents finishing a
– Not generalized or localized to other regular meal, at least several times per
abdominal or chest regions week
– Not relieved by defecation or passage * Criteria fulfilled for the last 3 months with
of flatus symptom onset at least 6 months prior to
– Not fulfilling criteria for gallbladder diagnosis
and sphincter of Oddi disorders • Supportive criteria
* Criteria fulfilled for the last 3 months – Upper abdominal bloating or
with symptom onset at least 6 months postprandial nausea or excessive
prior to diagnosis belching can be present
– Epigastric pain syndrome may coexist
Ya Tidak
Dispepsia
• Gejala predominan
– Nyeri epigastrium
 PPI
(omeprazole,
lansoprazole, dll)
– Cepat kenyang,
mual, muntah 
Agen prokinetik
(contoh:
metoklopramid,
domperidon)
• Dapat
dikombinasikan
antara PPI dan agen
prokinetik
211. Ulkus Peptikum
Duodenal Ulcer Gastric Ulcer
• May present < age 40 • Usually seen in
• Rarely associated with 50-60 year olds
NSAID use • Strong relationship to NSAID
• Pain often on empty use
stomach, better with food • Pain usually worse after meals
or antacids • H. pylori in 70% to 90%
• H. pylori in 90% to 100%
Both
• most common symptom: diffuse epigastric pain
• may be pain free
• may be associated with dyspeptic symptoms
• can lead to bleeding, perforation, or obstruction
Pemeriksaan Ulkus Peptikum
• Comprehensive history and physical exam to
exclude other diagnoses.
• Diagnostic modalities include endoscopy or
upper GI series.
• Endoscopy is preferred and remains the gold
standard for diagnosis of PUD. The presence
of a mucosal break ≥5 mm in the stomach or
duodenum confirms the diagnosis.
TATALAKSANA
• Medikamentosa:
ANTACID H2R Antagonis PPI SITOPROTEKTIF

• Memperingan • Antagonis • Inhibisi • Sukralfat:


gejala nyeri ulu reseptor H2, H+/K+ATPase. sebagai
hati/dyspepsia. sehingga • Bekerja amat protektan
• Paling umum menurunkan poten dalam • Membentuk
digunakan : sekresi asam menghambat lapisan
gabungan lambung. asam lambung pelindung yang
Al(OH)3 dan • Contoh: • Onset dalam 26 melapisi
Mg(OH)2 cimetidine, jam dengan mukosa
• Bekerja dengan ranitidine, durasi aksi 72- • Meningkatkan
menetralisir famotidine, 96 jam. proliferasi serta
asam lambung nizatidine. • Contoh obat: meningkatkan
berlebihan omeprazole, sintesis
lansoprazole, prostaglandin.
esomeprazole,
pantoprazole.
Sumber: Fauci, A.S. et al (2012) Harrison Principles of Internal Medicine. 18th Ed
Terapi Dietetik: Terapi Pembedahan:
• Perubahan pola makan, menjauhi Tatalaksana bedah dilakukan dengan
makanan yang memicu gejala indikasi:
dyspepsia harus dilakukan, antar • Penyakit yang tidak respon
lain: dengan pengobatan
– Menghindari makanan pedas medikamentosa
– Menghindari kopi, karena kopi • Bedah cito bila terdapat
dapat menyebabkan peningkatan perforasi, karena meningkatkan
sekresi asam lambung serta resiko peritonitis dan sepsis.
dihubungkan denganresiko infeksi
H. pylori Bedah elektif:
– Menghindari konsumsi alkohol • Vagotomy dan drainase
– Diet tinggi serat (pyloroplasty,
• Pola makan teratur dengan gastroduodenotomy,
selingan makanan gastrojejunotomy)
• Highly selective vagotomy
• Vagotomy dengan antrectomy
212. ABSES HEPAR AMOEBA
• Riwayat disentri sebelumnya
• Demam
• Nyeri abdomen kanan atas,
dapat menjalar ke bahu atau
lengan kanan
• Mual muntah
• Hepatomegali
• Ludwig sign (+): menekan sela
iga ke-6 setentang linea axilaris
anterior, terdapat nyeri tekan
212. Abses hepar
• USG Abdomen
– Liver abscesses are typically poorly demarcated
with a variable appearance, ranging from
predominantly hypoechoic (still with some
internal echoes however) to hyperechoic.
– Gas bubbles may also be seen
– Colour Doppler will demonstrate absence of
central perfusion.
• Liver cyst  round or ovoid anechoic lesion,
but almost asymptomatic
212. Tatalaksana Abses Hepar Amebik
• Medical management is the cornerstone of therapy in
amebic liver abscess.
• Aspiration of hepatic amebic abscesses is not required
unless there is no response to treatment or a pyogenic
cause is being considered.
• Antibiotic coverage for amebic liver abscesses includes:
 Tissue agent: metronidazole 750 mg PO tid for 10 days
 Luminal agent: after therapy with tissue agent treatment
with any luminal agent is required even if the stool is
negative, such as paromomycin for 10 days or
diiodohydroxyquin for 20 days.
Indikasi Aspirasi dan Operasi Abses
Amebik
• Consider therapeutic aspiration of amebic liver abscess
in the following situations:
 high risk of abscess rupture, as defined by cavity size
greater than 5 cm;
 left lobe liver abscess, which is associated with higher
mortality and frequency of peritoneal leak or rupture into
the pericardium;
 failure to observe a clinical medical response to therapy
within 5-7 days; and
 cannot differentiate from a pyogenic liver abscess
• Consider open surgical drainage when the abscess is
inaccessible to needle drainage or a response to
therapy has not occurred in 5-7 days.
213. Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Hepatitis B clinical course
214. Intoksikasi Opioid
• Umumnya kelompok opiat digunakan untuk
mengatasi nyeri melalui mekanisme efek
depresi pada otak {depressant effect on the
brain).
• Morfin yang merupakan bagian dari kelompok ini
sering digunakan {untuk medis) pada chest pain
(nyeri dada), edema paru (sembab paru) dan
untuk mengatasi rasa sakit yang berlebihan pada
keganasan.
• Akan tetapi dalam perkembangannya sering
disalahgunakan.
Mekanisme Kerja
• Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putaw) di dalam tubuh
akan dihidrolisa oleh hati (6 — 10 menit) menjadi 6 monoasetil
morfin dan setelah itu akan diubah menjadi morfin.
• Yang selanjutnya diubah menjadi Mo 3 monoglukoronid dan M0 6
monoglukoronid yang Iarut di dalam air. Bentuk metabolit ini yang
dapat di tes di daiam urin.
• Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan
tersebut (60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu yang cepat.
• Pada umumnya kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk
menstimulasi (merangsang) SSP melalui aktivasi reseptornya yang
akan menyebakan efek sedasi (mengantuk) dan depresi napas
(pernapasan yang pelan). Kematian umumnya terjadi karena apneu
(henti napas) atau masuknya cairan lambung kedalam paru,
sedangkan reaksi edema pulmoner yang akut (non-kardiogenik)
mekanismenya masih belumjelas.
Tatalaksana
Penanganan kegawatan
1. Bebaskan jalan napas
2. Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan
3. Pasang infus D5% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan koloid bila diperlukan

Pemberian antidotum nalokson.


1. Tanpa hipoventilasi : Dosis awal diberikan 0,4 mg iv. (Pelan pelan/diencerkan)
2. Dengan hipoventilasi : Dosis awal diberikan 1-2 mg iv.(Pelan pelan /diencerkan)
3. Bila tidak ada respon dalam 5 menit,diberikan nalokson 1-2 mg iv(pelan
pelan/diencerkan) hingga timbul respon perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi
pernapasan, dilatasi pupil atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tidak
ada respons lapor konsulen Tim Narkoba.
4. Efek nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis
kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda-tanda penurunan kesadaran,
pernapasan dan perubahan pada pupil serta tanda vital lainnya selama 24 jam. Untuk
pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 cc D5% atau NaCl 0,9%
diberikan dalam 4 - 6 jam.
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks.
6. Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheai tube) bila:
– Pernapasan tidak adekuat
– Oksigenasi kurang meski ventilasl cukup
– Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson ke — 2
7. Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik
215. Hipoglikemia
• Hipoglikemia 
menurunnya kadar glukosa
darah < 70 mg/dL dengan
atau tanpa gejala otonom
• Whipple triad
– Gejala hipoglikemia
– Kadar glukosa darah rendah
– Gejala berkurang dengan
pengobatan
• Penurunan kesadaran pada
DM harus dipikirkan
hipoglikemia terutama yang
sedang dalam pengobatan
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
Hipoglikemia
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened
paresthesia, palpitasi, Tremulousness pulse pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,
confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur, diplopia

• Probable hipoglikemia  gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS


• Hipoglikemia relatif  GDS>70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia asimtomatik  GDS<70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia simtomatik  GDS<70mg/dL dengan gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia berat  pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
administrasi karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya

Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015


Hipoglikemia
Hipoglikemia ringan Hipoglikemia berat
• Konsumsi makanan tinggi • Terdapat gejala
karbohidrat neuroglikopenik 
• Gula murni dextrose 20% sebanyak 50
• Glukosa 15-20 g (2-3 sdm) cc (jika tidak ada bisa
dilarutkan dalam air diberikan dextrose 40% 25
cc), diikuti infus D5% atau
• Pemeriksaan glukosa darah
D10%
dengan glukometer setelah 15
menit upaya terapi • Periksa GD 15 menit, jika
• Kadar gula darah normal, pasien belum mencapai target
diminta untuk makan atau dapat diulang
konsumsi snack untuk mencegah • Monitoring GD tiap 1-2 jam
berulangnya hipoglikemia.
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
216. Diabetes Mellitus
• Hyperglycemic hyperosmolar state
– The prototypical patient is an elderly individual with type 2
DM, with a several-week history of polyuria, weight loss, and
diminished oral intake that culminates in mental confusion,
lethargy, or coma.
– The physical examination reflects profound dehydration and
hyperosmolality and reveals hypotension, tachycardia, and
altered mental status.
– Notably absent are symptoms of nausea, vomiting, and
abdominal pain and the Kussmaul respirations characteristic of
DKA.
– HHS is often precipitated by a serious, concurrent illness such as
myocardial infarction or stroke. Sepsis, pneumonia, and other
serious infections are frequent precipitants and should be
sought.

Harrison’s principles of internal medicine


217. Hipertiroidisme

• Tirotoksikosis:
manifestasi
peningkatan
hormon tiroid
dalam sirkulasi.
• Hipertiroidisme:
tirotoksikosis
yang disebabkan
oleh kelenjar
tiroid hiperaktif.

Kumar and Clark Clinical Medicine


Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Graves’ disease(penyebab Manifestasi klinis hipertiroid
hipertiroid terbanyak) • Apathetic thyrotoxicosis
• Pr:Lk5–10:1, usia terbanyak – dpt terjadi pada org tua dengan
40 - 60 thn satu2nya gejala berupa letargi

• Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII • Thyroid storm/krisis


(+pada 80%), anti-TPO, tiroid(mengancam jiwa,
antithyroglobulin; ANA mortalitas 20–50%):
• Manifestasi klinis yaitu gejala – delirium, demam, takikardia,
hipertiroid ditambah: – hipertensisistolik dengan tekanan
nadi melebar &↓MAP, gejala
– Goiter
pencernaan;
• diffusa, tdk nyeri, terdengar
bruit
– ophthalmopati: 90% kasus
• Edema periorbital, retraksi
kelopak, proptosis
– myxedema pretibial (3%):
• edema di tungkai bawah akibat
dermopati infiltratif
Pemeriksaan penunjang • Hipertiroid Subklinis
• ↑FT4 &FT3; ↓TSH (↑ pada sebab
sekunder) – ↓TSH ringan &free T4
• RAIU scan utk menentukan normal,tanpa gejala klinis
penyebab – 15%  hipertiroid dlm 2 thn;
• Tidak perlu periksa autoantibodi ↑resiko AF & osteoporosis
kecuali pada kehamilan (resiko fetal
Graves)
• Dapat terjadi hipercalciuria,
hipercalcemia, anemia
• Indeks Wayne
– Skor>19 hipertiroid
– Skor<11 eutiroid
– Antara 11-19 equivocal
Pemeriksaan
Tatalaksana
• βblocker:
– dosis 40 – 200 mg dalam 4 dosis, mengontrol takikardia (propranolol juga↓
konversi T4 T3)
• Methimazole:
– dosis awal 20 – 30 mg / hari.
– 70% rekuren setelah 1 thn
– ES: pruritus,rash, arthralgia, demam, &agranulocytosis pd 0.5% kasus
– DOC untuk pasien dewasa, anak-anak dan ibu hamil trimester kedua dan ketiga
• PTU:
– resiko ↑nekrosis hepatosellular; efek lebih lambat
– dosis awal 300 – 600 mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari
– Evaluasi: fx hepar, DPL, dan TSH sebelum terapi dan saat follow-up
– DOC pada ibu hamil trimester pertama
• Radioactive iodine (RAI):
– Premedikasi psn dgn obat antitiroid utk mencegah tirotoksikosis, hentikan 3 hari
sebelum terapi agar RAIbisa di uptake
– 75% pasisen setelah terapi radioaktif menjadi hipotiroid dan siap operasi
Tatalaksana
• Awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu eutiroid, pemantauan setiap 3-6
bulan
– memantau klinis, FT4/T4/T3 dan TSHs.
• Obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih
memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan
– Setelah 12-24 bln, dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi
– Remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid
• Tindakan bedah
– usia muda dengan struma besar tidak respons dengan antitiroid
– hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
– Alergi antitiroid
– tidak dapat menerima yodium radioaktif
– Adenoma toksik, struma multinodosa toksik, Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
• Radioablasi
– ≥35 tahun
– kambuh setelah dioperasi
– Gagal remisi
– Tidak mampu atau tidak mau obat antitiroid
– Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
218. HHS

American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus.


Diabetes care, Vol 24, No 1, January 2001
219. Poliuria
• Definisi
 Ekskresi urin ≥ 3 liter/hari

• Patofisiologi
 Central diabetes insipidus  rendahnya sekresi ADH
(vasopresin) oleh pituitari posterior
 Nephrogenic diabetes inspidus  Sekresi ADH normal tp
tubulus tidak respon thd ADH
 Transient diabetes insipidus  pd kehamilan terjadi
peningkatan metabolisme ADH
 Primary polidipsia (psychogenic)  intake cairan terlalu
banyak sehingga BAK akan sering (respon fisiologis)
Neurogenic Diabetes Insipidus
• Idiopathic (Autoimmune hypophysitis)
• Malignancy: Neoplasms of brain or pituitary fossa
(craniopharyngiomas, metastatic neoplasms from breast or lung)
• Posttherapeutic neurosurgical procedures (e.g., hypophysectomy)
• Head trauma (e.g., basal skull fracture)
• Granulomatous disorders (sarcoidosis, granulomatosis with
polyangiitis, or tuberculosis)
• Histiocytosis (Hand-Schüller-Christian disease, eosinophilic
granuloma)
• Familial (autosomal dominant); some cases autosomal recessive
• Other: interventricular hemorrhage, aneurysms, meningitis,
postencephalitis, multiple sclerosis, Guillain-Barré syndrome, IgG4-
• related disease, lymphocytic hypophysitis
Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus
• Poliuria
 Frekuensi berkemih 
 Enuresis,
 Nokturia  mengganggu tidur  lelah pada siang hari atau
somnolen
• Peningkatan osmolaritas plasma
 Haus  polidipsia
• Tanda klinis dehidrasi
 Tanda yang jelas jarang ditemukan kecuali pada pasien dengan
asupan air yang terganggu.

 Harrison’s principles of internal medicine


219. Poliuria
219. Poliuria
220. Penyulit DM
Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
• Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang
sering terjadi pada penyandang DM. Gejala tipikal yang
biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala.
Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita.
• Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke
hemoragik
220. Penyulit DM
Mikroangiopati
• Retinopati diabetik
• Nefropati diabetik  Kendali glukosa dan
tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi nefropati
• Neuropati  Pada neuropati perifer, hilangnya
sensasi distal merupakan faktor penting yang
berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
yang meningkatkan risiko amputasi.
221. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
 Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
 Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


 Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
 Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
 Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
 Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
 Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


221. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
221. ACS
221. ACS
D

222. Penyakit katup Jantung


222. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


222. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
222. Terapi UAP/NSTEMI
• Anti iskemia
Beta blocker
Nitrat
CCB
• Antiplatelet  dual antiplatelet therapy
• Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
• Antikoagulan
• Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor
Angiotensin
• Statin

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


223. Edema Paru Akut
• Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan
dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau
melalui saluran limfatik.
Klinis
• Sianosis sentral
• Sesak nafas dengan bunyi napas melalui mukus berbuih
• Ronkhi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi
hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang disertai
ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut asma kardial
• Takikardia dengan gallop S3
• Murmur bila ada kelainan katup
• Kerley B=distended interlobular septa
• Location and appearance Bases
• 1-2cmlong
• Horizontal in direction
• Perpendicular to pleural surface
• Kerley A = connective
tissue near
bronchoarterial bundle
distends
• Location and appearance
Near hilum
• Run obliquely
• Longer than B lines
• Kerley C = reticular
network of lines
• C Lines probably
don’texist
Edema paru

• In pulmonary alveolar edema, fluid presumably spills over from the


interstitium to the air spaces of the lung producing a fluffy, confluent “bat-
wing” like pattern of disease.
Penanganan Edem Paru
• Posisi ½ duduk.
• Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila
perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2
tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi
cairan edema secara adekuat), maka dilakukan
intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
• Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor
EKG, oksimetri bila ada.
Penanganan Edem Paru
• Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin
peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan
darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
• Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit,
total dosis 15 mg> pemberian ini bertujuan untuk
menenangkan pasien
• Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus.
• Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) :
Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik
224. ACS
224. ACS
225. Efek Samping Nitrat
Cardiovascular
• Common (1% to 10%): Decrease in blood
pressure and/or orthostatic hypotension with
reflex tachycardia and symptoms/signs of
cerebral ischemia (including drowsiness and
dizziness and weakness) with first time use
and when the dose is increased.
225. Pemberian Nitrat Pada ACS
• Nitroglycerin is a vasodilator that should be
administered to relieve chest discomfort in all ACS
patients. It can be administered sublingually at first, up
to 3 doses, followed by intravenous administration if
symptoms persist. In the setting of an inferior STEMI,
• it is wise to rule out a right ventricular (RV) infarct with
a right-sided ECG before the administration of
nitroglycerin. This is because RV infarcts are preload
dependent and nitroglycerin decreases preload
through venodilation, which leads to hypotension in
this setting.
226. Fibrilasi Ventrikel
227. Penanganan Edem Paru
• Posisi ½ duduk.
• Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila
perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2
tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi
cairan edema secara adekuat), maka dilakukan
intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
• Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor
EKG, oksimetri bila ada.
Penanganan Edem Paru
• Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin
peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan
darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
• Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit,
total dosis 15 mg> pemberian ini bertujuan untuk
menenangkan pasien
• Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus.
• Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) :
Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik
228. Abses Paru
• Abses Paru
– Proses supuratif lokal yang ditandai oleh nekrosis jaringan paru.

• Etiologi dan patogenesis


– Aspirasi materi infektif: alkoholisme akut, koma, anestesia, sinusitis,
gingivodental sepsis.
– Kelanjutan infeksi paru: abses post-pneumonic, biasanya oleh S.
aureus, K. pneumoniae, dan type 3 pneumococcus.
– Emboli septik
– Neoplasia: infeksi sekunder akibat obstruksi bronkopulmonar.
– Lain-lain: trauma langsung, perluasan infeksi dari organ sekitar
(supurasi esofagus, vertebra, ruang subfrenik, ruang pleura),
hematogen.
228.
Pulmonologi
• Sebagian besar
diagnosis ditegakkan
dari roentgen toraks.

• Kavitas abses memiliki


dinding yang terlihat
jelas mengelilingi
daerah lusen atau
adanya air fluid level
di area pneumonia.
229. Pembagian kasus TB
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
 Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
 Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
Tuberkulosis
OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 
– Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
– Pasien TB paru terdiagnosis klinis
– Pasien TB ekstra paru

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) 


– Pasien kambuh
– Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
– Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


230. Acute Mountain Sickness

J Korean Med Assoc. 2007 Nov;50(11):1005-1015. Korean.


• AMS:
• insomnia, fatigue, dizziness, anorexia, and nausea.
• High altitude cerebral edema (HACE):
• impaired mental capacity, drowsiness, stupor, & ataxia
J Korean Med Assoc. 2007 Nov;50(11):1005-1015. Korean.
230. Acute Mountain Sickness

http://pharmaceuticalintelligence.com/tag/acute-high-altitude-sickness/
230. Acute Mountain Sickness
• Patogenesis:
– Atmosfer yang lebih tinggi tekanan barometrik ↓ Tiap
1x nafas: O2 menjadi lebih sedikit di setiap ketinggian 
Nafas lebih cepat & dalam  menyebabkan ↓ CO2
darah rangsangan untuk bernafas <<

• Proses aklimatisasi:
– Proses di mana tubuh seseorang menyesuaikan dengan
ketersediaan oksigen yang menurun di daerah dataran
tinggi. Seseorang yang akan pergi ke dataran tinggi
dianjurkan untuk pelan-pelan menapaki ketinggiannya,
bukan langsung mendarat di ketinggian tertentu sehingga
membuat badan kaget gejala AMS.
http://www.alma.nrao.edu/memos/html-memos/alma162/memo162.html#4
http://www.webmd.com/a-to-z-guides/altitude-sickness-topic-overview?page=2
http://www.traveldoctor.co.uk/altitude.htm
230. Acute Mountain Sickness
• High altitude: 1500 – 3500 meter di atas
permukaan air laut.
• Very high altitude: 3500 – 5500 meter di atas
permukaan air laut.
• Extremely high altitude: >5500 meter di atas
permukaan air laut.
231. SLE
• Merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis  peradangan pada
kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf dan organ tubuh lainnya
• Kebanyakan mengenai
– wanita : pria 9-14:1
– usia reproduksi, 20 sampai 30 tahun
– kelompok kulit hitam dan Asia.
• Predisposisi yang ada pemicu kacaunya sistem toleransi
imunologis sehingga respon imun melawan antigen diri sendiri.
– Faktor genetik
– imunologik
– hormonal serta
– Lingkungan
PATOFISIOLOGI

(Mok CC, Lau C S. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J


Clin Pathol. 2003)
TANDA DAN GEJALA
• Kompleks imun beredar dan menimbulkan kerusakan pada berbagai target
organ:
– Muskuloskeletal: sering dijumpai nyeri pada sendi,
– Kulit : reaksi fotosensitifitas, diskoid LE, subacute cutaneus lupus
erythematosus, lupus profundus, telangiektasia, fenomena raynaud.
– Paru : pneumonitis lupus dengan gejala sesak, batuk kering, ronki di basal
– Kardiologi : perikarditis, miokarditis, lesi katup endokarditis Libman- Sacks dan
penyakit jantung koroner.
– Renal : kerusakan ginjal disertai proteinuria.
– Gastrointestinal : gejalanya tidak khas ; dispepsia, vaskulitis mesentrik dapat
menyebabkan perforasi, IBD, pankreatitis, hepatomegali.
– Neuropsikiatri : masih belum diketahui dengan pasti; mikroinfark serebral
– Hemik-limfatik: limfadenopati splenonegali, anemia.
Tatalaksana SLE
• Pilar Pengobatan SLE:
– Edukasi dan konseling
– Program rehabilitasi
• Istirahat
• Terapi fisik
• Terapi dengan modalitas
• Ortotik, dll

– Pengobatan medikamentosa
• OAINS
• Antimalaria
• Steroid
• Imunosupresan/sitotoksik
• Terapi lain
Algoritma pengobatan penyakit Lupus

TR: tidak respon, RS: respon sebagian, RP: respon penuh


KS: kortikosteroid, MP: metilprednisolon, AZA: azatioprin, OAINS:
obat antiinflamasi steroid, CYC: siklofosfamid, NPSLE:
neuropsikiatri SLE. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan
Reumatologi Indonesia.2011.)
232. Reaksi hipersensitivitas
232. Reaksi hipersensitivitas
233. Renal Cell Carcinoma
• primary carcinoma originating in the renal
parenchyma from the malignant
transformation of proximal renal tubular
epithelial cells.
• Most renal cell cancers are of clear cell type;
papillary tumors comprise 15% of renal
cancers, and chromophobe cancers make up
10%.
Manifestasi Klinis
• Patients are often asymptomatic until they
have advanced disease.
• The classic presentation of RCC includes the
triad of flank pain, hematuria, and a palpable
abdominal mass
Pemeriksaan
Laboratorium
• Urinalysis: hematuria.
• Complete blood count: anemia or erythrocytosis.
• Nonmetastatic hepatic dysfunction with elevated
alkaline phosphatase, prolonged prothrombin
time, and hypoalbuminemia.
• Hypercalcemia (caused by parathyroid-related
protein).
Pemeriksaan
Imaging
• Nearly 50% of renal cancers are now detected because a
renal mass is incidentally detected on radiographic
evaluation.
• Renal ultrasound.
• Abdominal CT scan with contrast (Fig. 1R-13 and Fig. 1R-
14); CT-guided biopsy is generally not necessary for
diagnosis of solid masses >4 cm (high likelihood of cancer).
• MRI.
• Renal arteriogram.
• Intravenous pyelography
234. α- Adrenergic Blocker Therapy
and Coexisting Hypertension
• The α- Adrenergic blockers: Prazosin, terazosin
and doxazosin are established agents for the
treatment of hypertension.
• Approximately 30% of men treated for bPh
also have hypertension and it is convenient to
use α- adrenergic blockers as the treatment of
choice for men with hypertension and bPh.

RP Mathur*, Sumanlata Nayak**, R Sivaramakrishnan***, Vikas Jain. Role of Alpha Blockers in Hypertension
with Benign Prostatic Hyperplasia. 2014.
235. SLE
• Merupakan
penyakit
inflamasi
autoimun kronis
 peradangan
pada kulit, sendi,
ginjal, paru-paru,
sistem saraf dan
organ tubuh
lainnya
235. SLE
Pemeriksaan Serologi pada SLE
• Tes imunologik awalyang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA.
• Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tesANA yang positif
sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunyaigambaran klinis menyerupai
SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya
Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
• Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis
yang mencurigakan.
• Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tesANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP , Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.
236. JNC VIII
237. Malaria
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis
plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat
menimbulkan berbagai gejala antara lain:
– Plasmodium vivax  malaria tertian benigna/malaria
vivax
– Plasmodium falciparum  malaria tertiana maligna/
malaria Tropicana
– Plasmodium malariae  malaria kuartana
– Plasmodium ovale  malaria tertian benigna ovale
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria the disease

• 9-14 day incubation


period
• Fever, chills, headache,
back and joint pain
• Gastrointestinal
symptoms (nausea,
vomiting, etc.)
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale

• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix
(Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT
– Dosis primakuin hari pertama 0.75 mg/kgBB
– Hari 2-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
238. Sepsis Guideline 2016

• SOFA Criteria > 2 define as organ dysfunction


Sepsis 2016
Perbedaan kriteria sepsis lama dan
baru

Terminologi Sepsis Kriteria Lama Sepsis 2016


Sepsis SIRS disertai dengan Disfungsi organ akibat
infeksi fokal infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi Tidak ada
organ
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang
walaupun dengan membutuhkan
pemberian cairan adekuat vasopressor untuk
mempertahankan
MAP>65 dan laktat >2
mmol/L
239. Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


Absorbsi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan
asam folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut


mengakibatkan kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat
memberi gambaran pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
Defisiensi vitamin B12

• Penurunan asam lambung dapat


menghambat absorbsi vitamin B12

Clinical laboratory hematology. 3rd ed.


240. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek
pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri
dari komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala
klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang
mayoritas ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc
/patient-site/alpha-thalassemia-

Pewarisan Genetik Thalassemia-β


carrier-screening/genetics-of-alpha-
thalassemia.html?6AC396EC1151986D
584C6C02B56BBCC0

Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait

NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
PATHOPHYSIOLOGY OF THALASSEMIA 
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali • Splenektomi  jika memenuhi
jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan
dengan jarak 2 minggu • Splenomegali masif
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
cooley, gangguan tumbuh kembang ml/kg/tahun
• Transfusi darah selanjutnya jika hb<8
g/dL SAMPAI kadar Hb 10-11 g/dL • Transplantasi (sumsum tulang,
(dlm bentuk PRC rendah Leukosit) darah umbilikal)
• Medikamentosa • Fetal hemoglobin inducer
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari (meningkatkan Hgb F yg
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe membawa O2 lebih baik dari Hgb
bebas dan me<<< deposit hemosiderin).
Dilakukan Jika Ferritin level > 1000 A2)
ng/ul, atau 10-20xtransfusi, atau
menerima 5 L darah. • Terapi gen
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
pemecahan eritrosit  stress oksidatif
>>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi
denga n deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
241. Polisitemia vera
• Polisitemia vera adalah kelainan mieloproliferatif
dengan ciri profilerasi sel pendahulu eritroid yang tidak
terkendali. Penyakit ini merupakan penyakit kronik
profresif dan sebagian penderita penyakitnya
berkembang menjadi leukemia akut dan sisanya
menjadi fibrosis sumsumtulang dan metaplasia
mieloid.
• Etiologi polisitemia terletak pada sel induk sedangkan
pada polisitemia sekunder etiologi oleh karena
stimulasi eritropoietin berlebihan dan respon tubuh
terhadap oksigenasi jaringan yang berkurang.
• Sering terjadi leukositosis dan trombositosis
241. DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA

http://www.aafp.org/afp/2004/0501/p2139.html
Gejala klinis polisitemia vera:
- Gejala yang tidak khas:
• Akibat gangguan oksigenasi ringan seperti nyeri kepala, vertigo, tinnitus, gangguan penglihatan,
dan angina.
• Terjadi trombosis vena atau arteritromboemboli
• Tanda perdarahan dari petekiae hingga perdarahan saluran cerna.
• Gatal karena lepasnya granulosit histamin
- Neuropati perifer akibat degenerasi akson saraf.
- Pemeriksaan fisis didapatkan splenomegali, hepatolmegali, hipertensi, dan facial plethora
Kriteria Diagnosis polisitemia vera
Kriteria A:
• Red Cell Mass pria lebih dari 36 ml/kgBB dan perempuan lebih dari 32 ml/kgBB
• Saturasi oksigen lebih dari 92%
• Splenomegali
Kriteria B:
• Trombositosis lebih dari 400.000 sel/mm3
• Leukositosis lebih dari 12.000 sel/mm3 tanpa tanda infeksi
• LAP score lebih dari 100 tanpa tanda infeksi
• Vitamin B12 serum lebih dari 900 pg/ml atau unsaturated B12 binding capacity meningkat
lebih dari 2200 pg/ml
• Diagnosis ditegakkan bila: Semua kriteria A terpenuhi atau 2 kriteria A + 2 kriteria B
241. Polisitemia vera
• Tatalaksana polisitemia vera adalah dengan
flebotomi 250-500 cc seminggu sekali hingga
Hb dan PCV mendekati normal namun harus
dipertimbangkan karena dapat mengurangi
kadar besi, fosfor radioaktif, dan kemoterapi
dengan busulfan.
• Komplikasi dapat terjadi tromboemboli,
perdarahan, tukak lambung, leukemia akut,
dan keganasan.
242. Gagal Ginjal Akut
• Definisi Gangguan ginjal • Klinis
akut (GGA) adalah kondisi • Pre-renal: akibat hipoperfusi
penurunan mendadak faal ginjal (dehidrasi, perdarahan,
ginjal dalam 48 jam berupa penurunan curah jantung dan
kenaikan kadar kreatinin hipotensi oleh sebab lain)
serum ≥0,3 mg/dl (≥26,4 • Renal: akibat kerusakan akut
µmol/l), ataupresentasi parenkim ginjal (obat, zat
kenaikan kreatinin serum kimia/toksin, iskemi ginjal,
≥50% (1,5 kali kenaikan dari penyakit glomerular)
nilai dasar), atau pengurangan
produksi urin (oligouria yang • Post-renal: akibat obstruksi
tercatat ≤0,5 ml/kg/jam dalam akut traktus urinarius (batu
waktu lebih dari 6 jam). saluran kemih, hipertrofi
prostat, keganasan
ginekologis)
• Klasifikasi
Klasifikasi interdisipliner
internasional yang
pertama kali untuk GGA
adalah kriteria RIFLE yang
diajukan oleh The Acute
Dialysis Quality Initiative
(ADQI).
• Fase: anuria (produksi urin
<100 mg/24 jam), oliguria
(produksi urin 100 - 400
ml/24 jam), poliuria
(produksi urin >3.500
ml/24 jam)
243. Cor Pulmonale
Definisi Manifestasi Klinis
• Cor pulmonale  kelainan jantung • Sesak napas, sianosis,
kanan berupa hipertrofi dan dilatasi bendungan vena leher, barrel
ventrikel kanan sekunder karena chest,
hipertensi pulmonal sebagai akibat
penyakit parenkim atau vaskuler • Kelainan pemeriksaan fisis
paru sesuai dengan kelainan paru
dan jantung.
Etiologi
• Penyakit obstruktif paru kronis. Pemeriksaan
• Hipoventilasi kronis. • Pemeriksaan EKG didapatkan
• Kelainan pembuluh darah paru. RAD/RVH, artimia
• Kelainan parenkim paru. supraventrikular/ventrikular.
• Dapat didapatkan polisitemia
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan darah
Peningkatan hematoktrit ( polisitemia sekunder)
Def alpha 1-antitrypsin
ANA positif jika etiologi penyakit kolagen vaskular
Hiperkoagulasi (peningkatan protein S dan C.
antitrombin III, faktor V Leyden, anticardiolipin
antibodies, homosistein).
Gambaran Radiologis Cor Pulmonale

• Didapatkan
dilatasi arteri
pulmonal sentral
dan hipertrofi
ventrikel kanan.
(From Crawford MH et al
[eds]:Cardiology,ed 2, St Louis, 2004,
Mosby.
Pemeriksaan Penunjang

• Gambaran EKG :
 Deviasi aksis ke kanan
 Hipertrofi ventrikel kanan
 P-pulmonale yg tampak pd lead II, III, aVF
 RBBB
 Low voltage QRS
243. Cor Pulmonale
Tatalaksana
• Tatalaksana penyakit yg mendasari  penyakit paru.
• Memperbaiki oksigenasi.
 Diberikan jika saturasi oksigen >88%, dengan target
saturasi oksigen 88%.
• Tatalaksana terhadap jantung dan hipertensi pulmonal
 Tirah baring
 Diet rendah garam
 Diuretika
 Digitalis
 Vasodilator (inhibitor fosfodiesterase)
Tatalaksana Medikamentosa
• Diuretik
Menurun load jantung
• Calcium channel blocker, terutama slow release
nifedipine dan diltiazem
Vasodilatasi arteri pulmonal
• PDE-5 Inhibitor (sildenafil)
Melepaskan nitric oxide yang berfungsi untuk
vasodilatasi
• Antikoagulan (warfarin)
Mencegah trombosis yg sering terjadi pd pasien cor
pulmonal.
244. Penyakit Endokrin
20.
Radioactive Iodine
245. Trombosis Vena Dalam
• Trombosis vena dalam (DVT) ditandai dengan
adanya bekuan darah pada vena, paling sering
terjadi pada ekstremitas bawah
• Anamnesis:
– Kram (kaku otot) betis yang menetap selama
beberapa hari dan menyebabkan tidak nyaman
– Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
– Riwayat trombosis sebelumnya
– Riwayat trombosis dalam keluarga

Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru Yayasan Pengembangan Hematologi Onkologi Indonesia 2015
245. Trombosis Vena Dalam
Faktor Risiko Didapat Trombofilia Herediter
• Usia lanjut (>40 thn) • Activated protein C
• Riwayat tromboemboli sebelumnya
resistance
• Pasca operasi, pasca trauma
• Imobilisasi lama • Protrombin G20210A
• Gagal jantung kongestif • Defisiensi antitrombin
• Pasca MCI
• Paralisis tungkai bawah • Defisiensi protein C
• Penggunaan estrogen • Defisiensi protein S
• Kehamilan atau pasca melahirkan
• disfibrinogenemia
• Varises
• Obesitas
• Sindrom antibodi antifosfolipid
• hiperhomosisteinemia

Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru Yayasan Pengembangan Hematologi Onkologi Indonesia 2015
245. Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor 2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi
– 1-2: risiko sedang
– < 0: risiko rendah

Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru Yayasan Pengembangan Hematologi Onkologi Indonesia 2015
245. Trombosis Vena Dalam
• Pemeriksaan Fisik
– Rasa tidak nyaman saat palpasi ringan betis bagian bawah
– Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
pembuluh darah superfisial teraba, distensi vena,
diskolorasi, sianosis
• Pemeriksaan penunjang
– Lab : kadar FDP meningkat, titer D dimer meningkat
– Radiologis: ultrasonografi kompresi, CT scan dengan injeksi
kontras, venografi

Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru Yayasan Pengembangan Hematologi Onkologi Indonesia 2015
Tatalaksana DVT
Antikoagulasi parenteral segera
Unfractionated heparin bolus dan infus kontinu untuk mencapat aPTT 2-3x batas
atas laboratorium normal, atau
Enoxaparin 2z1 mg/kg dengan fungsi ginjal normal, atau Dalteparin 1x200 U/kg
atau 2 x100 U/kg dengan fungsi ginjal normal, atau Tinzaparin 1x175 U/kg dengan
fungsi ginjal normal
Warfarin
Dosis awal 5 mg, titrasi hingga INR 2-3
Lanjutkan antikoagulasi parenteral selama minimal 5 hari dan hasil INR mencapai
target selama 2 kali pemeriksaan berturut-turut (interval 1 hari) tercapai

Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru Yayasan Pengembangan Hematologi Onkologi Indonesia 2015
Complication of DVT
• Pulmonary embolism
– Most serious complication of DVT.
• Chronic venous insufficiency
– Long-term DVT can degenerate the venous valve.
• Post-phlebitic syndrome
– Long term complication which occurs due to
damage and scarring to the vein  swelling,
discomfort and skin pigmentation.
246. Hepatitis
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for
hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15–
160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).

• The prodromal symptoms


– Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias,
myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of
jaundice by 1–2 weeks.
– Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the
onset of clinical jaundice.

• The clinical jaundice


– The constitutional prodromal symptoms usually diminish.
– The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain
and discomfort. Spleen may enlarge.

• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some
liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
246. Hepatitis
247. Syok Anafilaksis
• Anafilaksis adalah reaksi tipe segera yang dimediasi
oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat
pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi
tersebut akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis
yaitu gejala sistemik.
• Susah dibedakan dengan reaksi anafilaktoid namun
anafilaktoid secara mekanisme tidak melibatkan IgE.
• Manifestasi klinis yang timbul meliputi gejala pada
kulit, pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan
gejala pada sistem organ lain seperti rinitis,
konjungtivitis.
Syok Anafilaksis
• Tatalaksana anafilaksis
– Segera berikan suntikan epinefrin 1:1000 0,3 ml i.m di daerah
deltoid atau vastus lateralis. Dapat diulang 15-20 mg bila
diperlukan
– Hentikan infus media kontras, antibiotika, dan zat lain yang
dicurigai sebagai alergen.
– Berikan difenhidramin 50 mg intravena, ranitidin 50 mg atau
cimetidin 300 mg intravena, oksigen, infus cairan garam,
metilprednisolon 125 mg intravena
– Intubasi bila diperlukan
– Bila terdapat hipotensi segera berikan rehidrasi dan dopamin
atau norepinefrine.
– Bila terdapat sesak napas berikan salbutamol inhalasi dan
oksigen
Anaphylactic Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary
Anaphylactic
Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary
248. Clostridium Botulinum
Botulism
• Botulism is a rare disease with 4 naturally occurring syndromes:
– foodborne botulism is caused by ingestion of foods contaminated with
botulinum toxin,
– wound botulism is caused by Clostridium botulinum colonization of a
wound and in situ toxin production,
– infant botulism is caused by intestinal colonization and toxin
production,
– adult intestinal toxemia botulism is an even rarer form of intestinal
colonization and toxin production in adults.
• The clinical syndrome of botulism is highly distinctive, consisting of
symmetrical cranial nerve palsies, followed by symmetrical
descending flaccid paralysis that may progress to respiratory arrest
• Nausea, vomiting, and diarrhea often precede or accompany
neurologic manifestations; constipation typically follows after
neurologic signs have appeared.
• GI symptoms are more prominent in food-borne botulism and much
less pronounced in cases of wound botulism.
Botulism
249. Demam Berdarah Dengue
• Definisi : Penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk DBD
• dicurigai apabila ditemukan demam tinggi (40°C)
diikuti 2 dari gejala berikut:
– nyeri kepala,
– nyeri dibelakang mata,
– nyeri otot dan sendi,
– mual, muntah, atau timbul bintik merah.
• Gejala ini muncul selama 2-7 hari setelah 4-10 hari dari
pertama gigitan nyamuk yang terinfeksi.
INFEKSI DENGUE
250. Anemia Defisiensi Besi
• Kegagalan pembentukan hb akibat defisiensi besi yang
berperan dalam pembentukan heme.
Anemia Mikrositik Hipokrom

MCV & MCH ↓

GDT

Besi serum

Besi serum ↑ Besi serum N/↑ Besi serum ↓

Besi sumsum tulang  Pemeriksaan Hb F/A2 Kadar ferritin

Ferritin↓ Ferritin N/↑

Anemia sideroblastik Talasemia, Kelainan Hb Defisiensi besi penyakit kronik


250. Anemia Defisiensi besi

Harrison’s principles of internal medicine.


251. Kolangitis
• Definisi
– Obstruction duktus koledokus biliar  infeksi
sisi proximal dari obstruksi

• Etiologi:
– Batu duktus bilier/ koledokolitiasia (85%)
– Keganasan (biliar, pancreas) atau striktur jinak
– Infiltrasi cacing (Clonorchis sinensis,
Opisthorchis viverrini)

• Klinis
– Charcot’s triad: nyeri perut kanan atas, ikterik,
demam/menggigil; 70%
– Reynold’s pentad: Charcot’s triad + shock dan
gangguan kesadaran;15%

• Tata laksana
– Antibiotik (broad spectrum) :ampicillin +
gentamicin (atau levofloxacin) + MNZ (jika
berat); carbapenems; pip/tazo
– 20% butuh dekompresi bilier cito via ERCP
(papillotomy, extraksi, stent).
252. Tiroiditis
• Merupakan penyakit inflamasi pada tiroid.
• It is a multifaceted disease with various
etiologies, different clinical characteristics
(depending on the stage), and distinct
histopathology.
Tiroiditis
Sinonim
 Hashimoto’s thyroiditis: chronic lymphocytic thyroiditis,
chronic autoimmune thyroiditis, lymphadenoid goiter
 Painful subacute thyroiditis: subacute thyroiditis, giant cell
thyroiditis, de Quervain’s thyroiditis, subacute
granulomatous thyroiditis, pseudogranulomatous thyroiditis
 Painless postpartum thyroiditis: subacute lymphocytic
thyroiditis, postpartum thyroiditis
 Painless sporadic thyroiditis: silent sporadic thyroiditis,
subacute lymphocytic thyroiditis
 Infectious thyroiditis: acute suppurative thyroiditis, bacterial
thyroiditis, microbial inflammatory thyroiditis, pyogenic
thyroiditis
 Riedel’s thyroiditis: fibrous thyroiditis
Etiologi Tiroiditis
Thyroiditis - Pathophysiology
• Hashimoto’s
– autoimmune disorder that presents as an asymptomatic diffuse goiter

• Subacute painful
– follows upper respiratory tract viral infection

• Subacute painless
– autoimmune disorder

• Acute suppurative
– microbial infection of the thyroid

• Riedel’s
– fibrous infiltration of the thyroid gland of unknown origin

333
Thyroiditis - Signs and Symptoms
• Hashimoto’s
– moderately sized goiter, rubbery and firm in consistency, moveable, hypothyroidism
• Subacute painful
– enlarged, painful, tender gland with signs and symptoms of hyperthyroidism
• Subacute painless
– present with signs and symptoms of hyperthyroidism without thyroid pain or
tenderness or fever
• Acute suppurative
– severe neck pain, fever, focal thyroid tenderness and erythema of overlying skin
• Riedel’s
– slowly enlarging stony neck mass which may extend beyond the thyroid gland causing
compressive symptoms such as dyspnea, dysphagia, hoarseness and a sensation of
choking

334
Tiroiditis
Manifestasi Klinis dan PF
 Hashimoto’s: tanda hyperthyroidism (tachycardia, diaphoresis,
palpitations, weight loss) or hypothyroidism (fatigue, weight gain, delayed
reflexes) depending on the stage of the disease. Terdapat pembesaran
difuse kelenjar tiroid, firm enlargement of the thyroid gland; the gland may
also be of normal size (atrophic form with clinically manifested
hypothyroidism).
 Painful subacute: terdapat nyeri, pembesaran tiroid, demam; signs of
hyperthyroidism are initially present; signs of hypothyroidism can
subsequently develop.
 Painless thyroiditis: clinical features are similar to subacute thyroiditis
except for the absence of tenderness of the thyroid gland.
 Suppurative: patient is febrile with severe neck pain, focal tenderness of
the involved portion of the thyroid, erythema of the overlying skin.
 Riedel’s: slowly enlarging hard mass in the anterior neck; often mistaken
for thyroid cancer; signs of hypothyroidism occur in advanced stages.
252. Tiroiditis
Tatalaksana
 The duration of the thyrotoxic phase of thyroiditis is usually 3 to
6 wk. This phase is followed by a hypothyroid phase typically
lasting up to 12 wk.
 Treat hypothyroid phase with levothyroxine 25 to 50 mcg/day
initially and monitor serum thyroid-stimulating hormone initially
every 6 to 8 wk.
 Control symptoms of hyperthyroidism with beta-blockers (e.g.,
propranolol 20-40 mg PO q6h).
 Control pain in patients with subacute thyroiditis with
nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Prednisone 20 to 40 mg
qd may be used if nonsteroidals are insufficient, but it should be
gradually tapered off over several weeks.
 Use IV antibiotics and drain abscess (if present) in patients with
suppurative thyroiditis.
253. Anemia Defisiensi Besi
(Tatalaksana)
• Suplemen Besi (Ferrous Sulfat)
– 300 mg/hari selama 6-12 bulan Atau sampai Hb
normal + 8 minggu (WHO)
– dapat ditambah suplemen vitamin C untuk
menambah penyerapan besi
• Transfusi PRC dibutuhkan
– bila Hb < 6g/dl atau
– Hb > 6g/dl dengan penyerta (dehidrasi, persiapan
operasi, infeksi berat, gagal jantung dan distress
pernapasan)
254. Dislipidemia
Klasifikasi kadar kolesterol
• Definisi : Kelainan
LDL Klasifikasi
fraksi lipid
– ↑kolesterol total < 100 mg/dL Optimal
– ↑ trigliserid 100 – 129 mg/dL Mendekati optimal
– ↓kolesterol HDL. 130 – 159 mg/dL Batas tinggi
160 – 189 mg/dL Tinggi
 190 mg/dL Sangat tinggi

Klasifikasi trigliserida Kolesterol Total Klasifikasi

Trigliserida Klasifikasi < 200 mg/dL Yang diinginkan


200 – 239 mg/dL Batas tinggi
< 150 mg/dL Normal  240 mg/dL Tinggi
150 – 199 mg/dL Batas tinggi HDL Klasifikasi
200 – 499 mg/dL Tinggi
 500 mg/dL Sangat tinggi < 40 mg/dL Rendah
 60 mg/dL Tinggi
Guideline AHA Dislipidemia

• ASCVDAtherosclerotic
Cardiovascular disease
Modifikasi Gaya Hidup Untuk Dislipidemia

Pedoman Tatalaksana Dislipidemia, PERKI, 2013.


Intensitas Statin
Low intensity statin Moderate-intensity statin High-intensity statin

Simvastatin 10 mg Atorvastatin 10 (20)mg Atorvastatin 40 -80mg


Pravastatin 10-20mg Rosuvastatin 5(10)mg Rosuvastatin 20(40)mg
Lovastatin 20mg Simvastatin 20-40mg
Fluvastatin 20-40mg Pravastatin 40(80)mg
Pitavastatin 1mg Lovastatin 40mg
Fluvastatin XL 80mg
Fluvastatin 40 mg bid
Pitavastatin 2-4mg
255. Diabetes Mellitus
• Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria
normal atau DM digolongkan ke dalam
prediabetes (TGT & GDPT):
– Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
• GDP 100-125 mg/dL, dan
• TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT):
• Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan
• Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
– Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Alur Diagnosis
DM 2011
256. Osteoartritis
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi  fungsi bantalan menghilang 
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrison’s principles of internal medicine.


Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrison’s principles of internal medicine.


Tatalaksana OA
• Terapi Non farmakologi
– Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
– Program penatalaksanaan mandiri (self-management
programs):modifikasi gaya hidup. (Level of evidence: II)
– Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan
berat badan, minimal penurunan 5% dari berat badan,
dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
– Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness
exercises). Level of Evidence: I)
– Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi,
penguatan otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat
bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation): pakai
tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
– Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk
aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)
• Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila
dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi)
• Pendekatan terapi awal
– Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang,
dapat diberikan salah satu obat berikut ini, bila tidak
terdapat kontraindikasi pemberian obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence:
II)
– Paracetamol 4x500mg,
– Ibuprofen 3x 600-800 mg
– Na Diclofenac 50 mg t.i.d, Piroksikam 20 mg o.d, Meloksikam 7.5
mg o.d
Tatalaksana OA
• Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki
risiko pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit
komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat
perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan
atau antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
– Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
– Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
– Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
– Cyclooxygenase-2 inhibitor.
• Terapi pembedahan
– Artroskopi, Menisektomi, Artroplasti
Prinsip Tatalaksana Osteoartritis

Osteoarthritis: Diagnosis and Treatment.Am Fam Physician. 2012 Jan 1;85(1):49-56.


257. Hepatitis
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for
hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15–
160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).

• The prodromal symptoms


– Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias,
myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of
jaundice by 1–2 weeks.
– Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the
onset of clinical jaundice.

• The clinical jaundice


– The constitutional prodromal symptoms usually diminish.
– The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain
and discomfort. Spleen may enlarge.

• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some
liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
257. Hepatitis
258. Gastropati NSAID
• Patogenesis gastropati NSAID
– inhibisi enzim COX-1 dan prostaglandin yang
merupakan gastroprotektif  menghambat produksi
mukus pada gaster
– permeabilisasi membran  disrupsi pertahanan
epitelial
– produksi mediator proinflamatorik

• Gejala dapat berupa dispepsia atau dapat


bermanifestasi sebagai ulkus peptikum
258. Gastropati NSAID
258. Gastropati NSAID

• Obat antinyeri dapat menyebabkan efek samping pada


gastrointestinal.
• Sehingga pada pasien dengan risiko tinggi efek samping
GI lebih dipilih pemberian COX-2 inhibitor atau COX-2
inhibitor ditambah PPI.
• Namun COX-2 inhibitor memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian kardiovaskular
Pemeriksaan
• Diagnostic workup includes a comprehensive
history and endoscopy with biopsy
259. Akromegali
Definisi
• Peningkatan Growth hormone
(GH) levels pada orang dewasa,
paling sering akibat benign
pituitary GI-l-secreting adenoma
• Anak-anak dengan peningkatan
GH  gigantisme.
259. Akromegali
Anamnesis dan PF
• Pembesaran kepala, tangan, and dan kaki serta
penebalan pd tulang-tulang wajah.
• Berkaitan dgn peningkatan kejadian carpal
tunnel syndrome, obstructive sleep apnea, type
2 DM, heart disease (diastolic dysfunction), hy-
pertension, and arthritis.
• Bitemporal hemianopsia  compression of the
optic chiasm by a pituitary adenoma .
• Excess GH may also lead to glucose intolerance
or diabetes.
259. Akromegali
259. Akromegali
Diagnosis
Labs: Measure insulin-like growth factor 1 (IGF-
1) levels (meningkat with acromegaly); confirm
the diagnosis with an oral glucose suppression
test (GH levels will remain elevated despite
glucose administration). Baseline GH is not a
reliable test.
Imaging: MRI shows a sellar lesion.
260. Takikardi Supraventrikular
261. NSTEMI & STEMI
Non-STEMI (NSTEMI, Subendocardial Myocard Infark)
– Myocardial nekrosis tanpa ST segmen elevasi atau Q wave
abnormal
– Ada peningkatan dari enzim jantung
STEMI (Transmural Myocard Infark)
– Nekrosis myocard dengan ST segmen elevasi
– Tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat
sublingual
– Lama > 30 menit
– Infark mengenai seluruh dinding ventrikel
– Ada peningkatan dari enzim jantung
Pemeriksaan NSTEMI/STEMI
• EKG
• Laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit,
Natrium, Kalium, Ureum, Kreatinin, Gula darah
sewaktu, SGOT, SGPT, CK-MB, dan Troponin I
atau Troponin T
• Rontgen Thoraks AP
• Ekokardiografi
262. Gagal Jantung
• disfungsi jantung berkurangnya aliran darah dan suplai
oksigen ke jaringan  tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh
• Pembagian:
– Gagal jantung kanan (terjadi pada hipertensi pulmonal primer,
tromboemboli), dengan gejala kongesti cairan sistemik dan
Gagal jantung kiri (akibat kelemahan ventrikel kiri) berakibat
pada penurunan perfusi sistemik.
– Low Output Heart Failure (biasanya terjadi akibat hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katub)dan High Output Heart
Failure (ditemukan pada penurunan resistensi vaskular
sistemik, seperti hipertiroid, anemia dan kehamilan)
Gagal Jantung Kongestif
Gagal Jantung Kongestif

• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai


• Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai
Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms
Terapi Non Farmakologi
1. Monitoring BB : Target IMT 18 – 25. Bila kenaikan BB > 2 kg dalam
3 hari  waspadai telah terjadi retensi cairan, intake garam
berlebih atau dosis diuretik yang kurang
2. Intake Na : restriksi garam < 2 gr/hari t.u Fungsional Class III-IV
dan bila ada edema perifer
3. Intake Cairan : Pada CHF max 1,5 – 2 lt/hr ttp pertimbangkan k.u
px
4. Hnetikan Merokok
5. Aktivitas Fisik dan seksual : keadaan akut  tirah baring stlh
tertangani  aktif. FC. II-II aktvitas sehari2 biasa slm tdk
mencetuskan gejala. OR yg bersifat isometrik (mendorong,
menarik) & kompetitif hrs dihindari. Max HR : 220 – Umur X 60 %.
FC.III-IV  penggunaan sildanafil atau fosfodiesterase inhibitor
lainnya tidak dianjurkan pada CHF apalagi bg yg masih dalam
therapi dg NITRAT
• MR antagonist
• mineralocorticoid antagonist
or aldosteron antagonist (eg.
Spironolactone)
• CRT-D
• cardiac resynchronization
therapy-defibrillator
• CRT-P
• cardiac resynchronization
therapy-pacemaker
• ICD
• implantable cardioverter
defibrillator
• LVAD
• left ventricular assisting
device
• Ivabradine
• selective heart rate-lowering
agent in If current (sodium
and potassium current) in
pacemaker cells
ESC.2013
263. Sinus Bradikardi
264. Obat Sitoprotektif
• Cytoprotective agents stimulate mucus production and
enhance blood flow throughout the lining of the
gastrointestinal tract. These agents also work by forming a
coating that protects the ulcerated tissue.

• Examples of cytoprotective agents include:


– Misoprostol
– Sucralfate
– Bismuth

https://emedicine.medscape.com/article/181753-medication
Pilihan Jawaban Lainnya
• Omeprazole  golongan proton pump
inhibitor
• Ranitidin  golongan H2-blocker
• Cimetidin  golongan H2-blocker
• Domperidon  golongan prokinetik
265. Tatalaksana
Infeksi Helicobacter
Pylori
Source and Diagnosis and
Causative Agents Symptoms
Clinical Features Treatment
Improperly stored foods Intense vomiting and
with high salt or sugar watery diarrhea start 1-4 h
Staphylococci Symptomatic treatment
content favors growth of after ingestion and last as
staphylococci. long as 24-48 h
Vomiting and cramps.
Mainly vomiting after 1-6
h and mainly diarrhea
B cereus Contaminated fried rice Symptomatic treatment
after 8-16 h after
ingestion; lasts as long as
1d
Acute onset of abdominal
cramps with diarrhea
Culture of clostridia in
Inadequately cooked starts 8-24 h after
C perfringens food and stool
meat, poultry, or legumes. ingestion.
Symptomatic treatment
Vomiting is rare. It lasts
less than 1 d.
Descending weakness and Toxin present in food,
Canned foods (eg, smoked paralysis start 1-4 d after serum, and stool.
C botulinum fish, mushrooms, ingestion, followed by Respiratory support
vegetables, honey) constipation. Mortality is Intravenous trivalent
high. antitoxin from CDC

266. FOOD POISONING


Raw and pasteurized milk, soft Systemic disease associated
CSF or blood culture
cheeses, raw vegetables, with bacteremia; Intestinal
Listeria monocytogenes Must treat with antibiotics if
shrimp. symptoms precede systemic
bacteremic
disease.
Acute-onset watery diarrhea
starts 24-48 h after ingestion
Enterotoxic E coli(eg, Contaminated water and food Supportive treatment
Concomitant vomiting and
traveler's diarrhea) (eg, salad, cheese, meat) No antibiotics
abdominal cramps may be
present. It lasts for 1-2 d.
Usually progresses from
watery to bloody diarrhea. It
lasts for 3-8 d; May be Diagnosis with stool culture
Enterohemorrhagic E Improperly cooked hamburger
complicated by hemolytic- Supportive treatment
coli (eg, E coliO157:H7) meat and previously spinach.
uremic syndrome or No antibiotics
thrombotic thrombocytopenic
purpura
Contaminated imported Usually watery diarrhea (some Supportive treatment
Enteroinvasive E coli
cheese. may present with dysentery). No antibiotics
Implicated in traveler's Ciprofloxacin may shorten
Enteroaggregative E coli diarrhea in developing Can cause bloody diarrhea duration and eradicate the
countries organism
Prompt replacement of fluids
and electrolytes (oral
Large amount of nonbloody
rehydration solution)
V cholera Contaminated water and food. diarrhea starts 8-24 h after
Tetracycline (or
ingestion. It lasts for 3-5 d.
fluoroquinolones) shortens the
duration of symptoms
267. Pneumonia
• Diagnosis pneumonia komunitas:
Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala:
1. Batuk progresif
2. Perubahan karakter dahak/purulen
3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam
4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi
5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500

• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia
268. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS
Reduced oestrogen production
results in increased receptor
activator of nuclear factor-κB ligand
(RANKL) levels, which leads to
osteoclast activation and
increased bone resorption.
Furthermore, production of
osteoprotegerin (OPG), an
osteoclast inhibitor, by osteoblasts is
decreased. These changes may be
compounded by general age-related
changes in bone metabolism and
remodelling, including disturbed
vitamin D and calcium homeostasis,
secondary hyperparathyroidism and
less mechanical stimulation of bone
turnover.

https://www.nature.com/articles/nrdp20154/figures/4
269. SINDROM NEFROTIK DAN NEFRITIK

• Pada sind nefrotik, jelas glomerular terutama berdampak pada peningkatan permeabilitas
kapiler terhadap protein.

• Sedangkan pada sindrom nefritik, terdapat inflamasi glomerular yang mengakibatkan


penurunan LFG, proteinuria non-nefrotik, edema & hipertensi (sekunder akibat retensi
natrium), & hematuria dengan silinder eritrosit.
Sindrom nefrotik
• Definisi • Membranous nephropathy (30%)
• penyakit glomerular dengan – idiopathic, infeksi (HBV, HCV, syphilis),
proteinuria >3,5 gram/hari, autoimun (SLE), Ca, obat (NSAID,
penicillamine)
hipoalbuminemia<3,5 g/hari, disertai
hiperlipid. • Minimal change disease (20%, lebih
sering pada anak)
• Klinis
– idiopathic, NSAID, Hodgkin’s disease,
• bengkak seluruh tubuh, BAK keruh penyakit lymphoproliferatif
• edema anasarka, asites • Membranoproliferative GN (5%,
• Lab: proteinuria masif >3,5 gram/24 campuran gejala nephrotic/nephritic)
jam/1,73 m2, lipiduria, – Type I: infeksi (HCV, HBV, infeksi kronis),
hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl), imunkomplex SLE, cryos, Sjögren’s), penyakit
lymphoproliferatif, idiopathic
dislipidemia
– Type II: sangat jarang; C3 nephritic factor
Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal
• Fibrillary-immunotactoid glomerulopathy
• Focal segmental glomerulosclerosis (1%)
(40%)
• Mesangial proliferative GN (5%)
– idiopathic, HIV, pamidronate, heroin,
kongenital, obesitas, reflux vesicoureteral
270. SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing
(hiperadrenokortikalism/hiperkortisolism)
– Kondisi klinis yang disebabkan oleh
pajanan kronik glukokortikoid
berlebih karena sebab apapun.

• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)

Silbernagl S, et al. Color atlas of pathophysiology. Thieme; 2000.


McPhee SJ, et al. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed.
McGraw-Hill; 2006.
PATOFISIOLOGI
• Terjadi sekresi ACTH dan produksi kortisol berlebih.

Wondisford F E. A new medical therapy for Cushing disease? J Clin Invest. 2011)
TANDA DAN GEJALA
Tanda/gejala Frekuensi (%)
Obesitas batang tubuh 97
Muka bulan 89
Hipertensi 76
Atrofi kulit dan memar 75
Diabetes atau intoleransi glukosa 70
Disfungsi gonad 69
Kelemahan otot 68
Hirsutisme, jerawat 56
Gangguan mood 55
Osteoporosis 40
Edema 15
Polidipsi/poliuria 10
Infeksi jamur 8
(Boscaro M, Amaldi G. Approach to the Patient with Possible Cushing’s Syndrome.
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2009)
Etiologi Pemeriksaan penunjang
• Primer (gangguan adrenokorteksAddison’s • Pengukuran kortisol pagi: <3 µg/dL diagnostik;
disease) ≥18µg/dL menyingkirkan diagnosis
– autoimun • Kelainan lainnya: hipoglikemia, eosinophilia,
– infeksi: TB, CMV, histoplasmosis lymphocytosis,± neutropenia
– vaskular:perdarahan, trombosis, trauma • ACTH:↑pada kelainan primer, ↓ atau normal
– metastasis pada kelainan sekunder
– deposit: hemochromatosis, amyloidosis, • Pemeriksaan radiologi: MRI hipofisis, CT adrenal
sarcoidosis Hipo Adrenal dengan penyakit kritis
– obat: ketoconazole, etomidate, rifampin, • Berikan stimulasi ACTH secepatnya pada pasien
antikejang hipotensi yang diduga insuf adrenal.
• Sekunder kegagalan hipofisis mensekresi • Berikan kortikosteroids dini:
ACTH (tapi aldosteron tidak terganggu – dexamethasone 2–4 mg IV q6jam +
karena RAA)terapi glukokortikoid, fludrocortisone 50 µgsetiap hari
megestrol (progestin dgn efek supresi – ganti ke hydrocortisone 50–100 mg IV q6–
8jamsetelah tes ACTH.
glucocorticoid)
Tatalaksana
• Akut : resusitasi volume dengan NaCl 0,9%+
Manifestasi klinis hydrocortisone IV
• Primer atau sekunder:mudah lelah(99%), • Kronik
anorexia (99%), – Hydrocortison: 20–30 mg PO qhari (2⁄3 pagi 1⁄3
siang.) atau prednison5 mg PO
hipotensiorthostatic(90%),
mual(86%),muntah (75%), hiponatremia
(88%)
– Primer: hipotensi orthostatic,
hiperpigmentasi, hiperkalemia
– Sekunder: + gejala ↓hormon hipofisis lain
271. Insufisiensi
Adrenal
Insufisiensi Adrenal
• Klasifikasi klinis insufisiensi
adrenal:
– Insufisiensi adrenal primer
(Addison’s disease):
gangguan pada korteks
adrenal
– Insufisiensi adrenal sekunder:
sekresi ACTH menurun.
– Insufisiensi adrenal tersier:
sekresi CRH menurun.
Addison Disease
• Addison disease (or Addison's
disease) is adrenocortical
insufficiency due to the destruction
or dysfunction of the entire adrenal
cortex.
• Sign and symptoms:
– Hyperpigmentation of the skin and
mucous membranes
– Dizziness
– Myalgias and flaccid muscle paralysis
– Impotence and decreased libido
– progressive weakness, fatigue, poor
appetite, and weight loss
• Defisiensi kortisol  penurunan
umpan balik pada aksis
hipotalamus-pituitary
meningkatkan kadar ACTH plasma
• Defisiensi mineralokortikoid
produksi renin meningkat oleh sel
juxtaglomerular di ginjal
Hiperpigmentasi daerah
friksi

Hiperpigmentasi mukosa
• 90% disebabkan oleh autoimun
• Penyebab lain: tuberkulosis, adrenalektomi, neoplasia, genetik,
iatrogenik, obat (eg. Etomidadinhibisi sintesis kortisol)
272.
TAKIKARDI
A (ACLS)
273. Pemeriksaan Penunjang Angina
Pektoris Stabil
• Exercise stress test (jika memungkinkan dan EKG
dapat diinterpretasi).
• Pemeriksaan imaging (jika exercise test tidak
memungkinan)
– Echocardiography stress test
– Stress test perfusion scanning
– MSCT (Multislice CT scan)
• Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan
terapi yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi (CCS3-4)
Gagal jantung akut disfungsi jantung yang 1. Terapi Oksigen (O2 nasal 2-4L/menit. Bila
berlangsung cepat dan diperlukan, O2 dapat diberikan dengan masker
singkat (dalam beberapa nonrebreathing atau rebreathing bila tidak
jam dan atau hari ) membaik dalam waktu 1/2 jam)
2. Furosemid intravena, bolus 40 mg
3. Nitrogliserin infus, dimulai dari 5 mcg/menit, bila
tekanan darah sistolik >110 mmHg, atau ada
kecurigaan sindroma koroner akut.
4. Morphin Sulfat injeksi, 2 sd4 mg bila masih
takipnoe
5. Dobutamin mulai 5 mcg/kgBB/menit bila tekanan
darah <90 mmHg
6. Dopamine mulai dari 5 mcg/kgbb/menit bila TDs
7. <80 mmHg
8. Noradrenaline mulai dari 0.02 mcg/kgbb/mnt bila
TDs <70 mmHg
9. Digoksin IV 0,5 mg bolus bila fibrilasi atrium respon
cepat, bias diulang tiap 4 jam hingga maksimal 1
mg
10. Captopril mulai dari 6.25mg bila fase akut telah
teratasi.

274. Tatalaksana Gagal Jantung Akut


275. EMPAT PILAR PENATALAKSANAAN
DIABETES MELITUS
• Pilar 1 : Edukasi
• Pilar 2 : Manajemen diet
• Pilar 3 : Aktivitas fisik
• Pilar 4 : Obat-obatan
• Edukasi
• Perencanaan Makan :
– Karbohidrat45 – 65 %, Protein15 – 20 %, Lemak20 – 25 %
– Jumlah kandungan kolesterol: < 300 mg/hari
• Lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid)
• Membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh
– Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.
– Jumlah kalori basal per hari
• Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman, Wanita : 25 kal/kg BB idaman
– Penyesuaian (terhadap kalori basal / hari):
• Status gizi:BB gemuk ( - 20 %), BB lebih ( - 10 %), BB kurang (+ 20 %)
• Umur > 40 tahun : (- 5 %)
• Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)
• Aktifitas:Ringan (+ 10 %), Sedang (+ 20 %), Berat (+ 30 %)
• Hamil:trimester I, II (+ 300 kal), trimester III / laktasi (+ 500 kal)
– Rumus Broca:Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %(Pria < 160
cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi)
• Latihan Jasmani:
– Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit).
• Intervensi Farmakologis
– Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) :
• Sulfonilurea (glibenklamid 2,5-5 mg PO qHari max 20 mg)
• Glinid
– Penambah sensitivitas terhadap insulin :
• Metformin (500 mg PO q8-12jam max 2500 mg)
• Tiazolidindion
– Penghambat absorpsi glukosa :
• Penghambat glukosidase alfa
• Insulin:
– Indikasi:
• DM tipe 1
• ↓berat badan yang cepat
• KAD, SHH, Hiperglikemia dgn asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi atau alergi OHO
276. ABSES
PARU
Inpatient care is advisable in
patients with lung abscess:
• Evaluation and
management of patient's
respiratory status
• Administration of
intravenous antibiotics
• Drainage of the abscess
or empyema as needed
Antibiotic for Lung Abscess
• Clindamycin • Ampicillin-Sulbactam
• Cefoxitin • Linezolid
• Penicillin G • Vancomycin
• Metronidazole • Imipenem/ Cilastatin
• Trimetoprim- • Amikacin
Sulfamethoxazole • Meropenem
• Ciprofloxacin • Doripenem
• Moxifloxacin • Levofloxacin

https://emedicine.medscape.com/article/299425-medication#2
277.Guideline
AHA
Dislipidemia

• ASCVDAtherosclerotic
Cardiovascular disease
278. PANKREATITIS AKUT
DEFINISI
• Reaksi peradangan pankreas yang akut

KLINIS
• Dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai gangguan kesadaran
• Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus menurun (
ileus paralitik)
• Pankreatitis akut berat dapat mengalami sesak napas karena inflamasi diafragma
akibat pankreatitis, efusi pleura, atau adult respiratory distress syndrome.
• Pemeriksaan fisik: Nyeri tekan abdomen, defans, tanda perdarahan retroperitoneal
(Cullens – periumbilical, Grey Turners – pinggang) jarang terlihat

PENEGAKAN DIAGNOSIS
• Amylase & lipase ↑
– Amilase meningkat pada 6-12 jam dari onset pankreatitis. Lipase meningkat pada 24 jam-14 hari
dari onset pankreatitis.
• MRI
• MRCP (bila terdapat dugaan bahwa pankreatitis disebabkan oleh koledokolithiasis)

https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-acute-pancreatitis
279. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION
(DIC)
• Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) is a
syndrome characterized by
massive activation and
consumption of coagulation
proteins, fibrinolytic proteins
and platelets.

• Not a primary disease, but a


disorder secondary to
numerous triggering events
such as bacterial, viral,
rickettsial, protozoal, parasitic
diseases, heat stroke, burns,
neoplasia and severe trauma.
DIC
• Coagulation disorders are characterized by
spontaneous hemorrhage and/or excessive
bleeding after surgery or trauma. Other signs
include shock, petechiae and ecchymoses of the
skin and mucous membranes.

• Laboratory diagnosis is usually based on the triad


of prolonged prothrombin time (PT),
thrombocytopenia, and hypofibrino-genemia.
280. KLASIFIKASI ASMA (GINA)
Symptoms/Day Symptoms/Night PEF or FEV1 PEF variability

STEP 1 < 1 time a week </= 2 times a >/= 80% < 20%
Intermittent month
Asymptomatic and
normal PEF between
attacks
STEP 2 > 1 time a week but > 2 times a month >/= 80% 20-30%
Mild < 1 time a day
Persistent
Attacks may affect
activity

STEP 3 Daily > 1 time a week 60%-80% > 30%


Moderate Per
sistent Attacks affect activity
STEP 4 Continuous Frequent </= 60% > 30%
Severe
Persistent Limited physical
activity
281. Komplikasi DM
• Akut:
– Ketoasidosis diabetic
– Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia

• Kronik:
– Makroangiopati:Pembuluh koroner, Vaskular perifer, Vaskular otak
– Mikroangiopati:Kapiler retina (dot blot hemorrhage, cotton wool
spot), Kapiler renal (microalbuminuriaproteinuriasindrom
nefrotikgagal ginjal), Neuropati
– Gabungan: Kardiopati: PJK, kardiomiopati,Rentan infeksi, Kaki diabetic,
Disfungsi ereksi
282. Diabetes Insipidus
• Antidiuretic hormone (ADH)
atau vasopressin merupakan
hormon yang dikeluarkan oleh
hipofisis posterior, berfungsi
agar ginjal meretensi air.

• Diabetes insipidus merupakan


penyakit yang disebabkan
karena kekurangan ADH.

• Kriteria diagnosis:
– Volume urine >3 liter per hari
– Osmolaritas urin <300
mOsm/kg
Jenis Diabetes Insipidus (DI)
DI tipe sentral
• Karena kurangnya sekresi ADH dari hipofisis posterior
• Etiologi: idiopatik, trauma, infeksi hipofisis karena TB atau jamur,
operasi hipofisis.

DI tipe nefrogenik
• Karena resistensi ginjal terhadap ADH
• Etiologi: efek samping obat (lithium, amfoterisin B), hipokalemia berat

Harus juga dibedakan dengan polidipsi psikogenik, yaitu perilaku minum air dalam jumlah berlebihan
tanpa adanya stimulus dari otak untuk minum. Biasanya kondisi ini berkaitan dengan gangguan
psikiatri, seperti skizofrenia dan skizoafektif.
Penegakan Diagnosis Diabetes Insipidus

Water deprivation test


dilakukan dengan cara
meminta pasien untuk
tidak minum sama sekali
selama beberapa jam-
satu hari, setelah itu
dinilai osmolaritas urin.
283. Artritis Gout
• Tujuan penanganan serangan akut untuk meredakan nyeri dengan cepat.
– NSAID indometasin 150-200 mg/hari, 2-3 hari, atau naproxen 2 x 500 mg,
atau sulindac 2 x 200 mg.
– Colchicine (dalam 36 jam (ACR); dalam 12 jam (EULAR): 1,2 (ACR)/1 (EULAR)
mg, dilanjutkan 0,6 (ACR)/0,5 mg (EULAR) mg 1 jam kemudian, diikuti dengan
2 x 0,6 mg 12 jam kemudian sampai serangan gout menghilang.
– Kortikosteroid, jika NSAID dan kolkisin kontraindikasi.

• Pencegahan serangan dengan menurunkan asam urat:


– Allopurinol (lini 1): 300 mg/hari, maksimal 800 mg dosis terbagi
– Probenecid: 2x250 mg/hari minggu pertama, selanjutnya 2x500 mg, maksimal
2-3 g/hari.

• Agen penurun asam urat tidak diberikan saat serangan akut, kecuali sudah rutin
diminum dari sebelum serangan.

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV.


Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Physician drug handbook.
284. Stable Angina Pectoris
• Terjadi saat aktivitas
• Hilang dengan istirahat atau dengan
pemberian nitrat sublingual
• Lama sekitar 5-10 menit
• Nyeri dada yang menjalar ke lengan, bahu,
punggung dan rahang
285. GERD
• Definition:
– Suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu.

• Symptoms:
– Heartburn; midline retrosternal burning sensation
that radiates to the throat, occasionally to the
intrascapular region.
– Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of
excessive saliva.

GI-Liver secrets
GERD
Clinical Presentation of GERD
Typikal Ektraesofageal
• Heartburn
• Laryngitis
• Regurgitation
• Asthma

Atypikal • Sinusitis
• Chronic cough
• Chest pain
• Aspiration pneumonia
• Nausea
• Dental erosion
• Vomiting
• Bronchospasm
• Bloating
• Sore throat
• Dyspepsia
• Epigastric pain

Badillo R, et al. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2014.


Richter JE. Gastroenterol Clin North Am. 2007.
286. Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
– Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
– Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
– Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
– Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
– Terapi steroid topikal jangka panjang
– Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Ulkus Kornea Jamur
• Indolen, disertai infiltrat kelabu, sering dgn hipopion,
peradangan nyata bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi satelit.
• The most common pathogens are Fusarium and Aspergillus
(filamentous fungi) in warmer climates and Candida (a yeast) in
cooler climates.

Tabel 1. Pengobatan Keratitis Fungal


Organisme Rute obat Pilihan pertama Pilihan kedua Alternatif
Organisme Topikal Natamycin Amphotericin B Nystatin
mirip ragi = Subkonjungtiva Natamycin Miconazole -
Candida sp Sistemik Flycytosine Ketoconazole -
Organisme Topikal Natamycin Amphotericin B Miconazole
mirip hifa = Subkonjungtiva Amphotericin B Miconazole -
ulkus fungi Sistemik Fluconazole Ketoconazole -

Sources: Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
– Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


Management of
Supurative Keratitis
at the secondary
level of eye care
287. Ocular Foreign body
• An ocular foreign body :
– common condition, in which a small particle (such as a
piece of grit or small rust particle) becomes stuck on eye.
• Corneal foreign body  CA stuck on the eye ;
• sub-tarsal foreign body  the object is stuck under your lid
scratches to the surface of your cornea.
– Symptoms
• painful, red, watery and light sensitive and ↓ vision
• Subconjunctival hemorrhage
• Corneal laceration and abrasion  heal within 48 hours after
removal
• if CA is metal, a small ring of rust may form around it  a dark
spot on the white of eye and can cause a scar that may affect
vision
288. Kalazion
• Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
• Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul berminggu-
minggu.
• Dapat diawali oleh hordeolum, dibedakan dari hordeolum oleh
ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut.
• Pada pemeriksaan histologik ditemukan proliferasi endotel asinus
dan peradangan granullomatosa kelenjar Meibom
• Tanda dan gejala:
– Benjolan tidak nyeri pada bagian dalam kelopak mata. Kebanyakan
kalazion menonjol ke arah permukaan konjungtiva, bisa sedikit merah.
Jika sangat besar, dapat menekan bola mata, menyebabkan
astigmatisma.
• Tatalaksana: steroid intralesi (bisa membuat remisi terutama untuk
kalazion lesi kecil), Insisi dan kuretase untuk lesi kecil; eksisi
(pengangkatan granuloma untuk lesi yang besar)

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia:
McGraw-Hill, 2007.
Teknik Bedah Definisi

Insisi Sayatan yang dilakukan pada jaringan dengan instrumen


yang tajam tanpa melakukan pengangkatan organ atau
jaringan tersebut

Eksisi Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor atau


pengangkatan sebagian dari jaringan dari organ dalam
tubuh.
Eksisi luas Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor disertai
pengangkatan jaringan sehat di sekitarnya

Ekstirpasi Tindakan pengangkatan seluruh massa tumor beserta


kapsulnya atau pengangkatan seluruh jaringan atau organ
yang rusak.
Biopsi Prosedur medis yang dilakukan dengan mengambil contoh
jaringan dari suatu massa tumor atau organ untuk diperiksa
di bawah mikroskop

http://www.peralatankedokteran.com/2012/01/definisi-teknik-bedah-minor.html
289. Episcleritis
Simple episcleritis
• This common condition is a • Clinical features
– Sudden onset of mild discomfort, tearing ±
benign, recurrent photophobia; may be recurrent.
inflammation of the episclera – Sectoral (occasionally diffuse) redness that
blanches with topical vasoconstrictor (e.g.,
• it is most common in young phenylephrine 10%); globe nontender;
spontaneous resolution 1–2 weeks.
women. • Treatment
– Supportive: reassurance ± cold
• Episcleritis is usually self- compresses.
limiting and may require little – Artificial tears
– Topical: consider lubricants ± NSAID (e.g.,
or no treatment. ketorolac 0.3% 3x/day; uncertain benefit).

• It is not usually associated Although disease improves with topical
steroids, there may be rebound
with any systemic disease, –
inflammation on withdrawal.
Systemic: if severe or recurrent disease,
although around 10% may consider oral NSAID (e.g., flurbiprofen 100
mg 3x/day for acute disease).
have a connective tissue
disease.
Nodular episcleritis • Treatment
• Clinical features – Treat as for simple episcleritis, but
– Sudden onset of FB sensation, there is a greater role for ocular
discomfort, tearing ± photophobia. lubricants.
It may be recurrent. – Patients with severe or prolonged
– Red nodule arising from the episodes may require artificial
episclera tears and/or topical
corticosteroids.
– can be moved separately from the
sclera (cf. nodular scleritis) and – Nodular episcleritis is more
conjunctiva indolent and may require local
corticosteroid drops or anti-
– blanches with topical inflammatory agents.
vasoconstrictor (e.g.,
phenylephrine 10%) – Topical ophthalmic 0.5%
prednisolone, 0.1%
– does not stain with fluorescein; dexamethasone, or 0.1%
– globe nontender betamethasone daily may be used.
– Spontaneous resolution occurs in
5–6 weeks.
Applied anatomy of vascular coats
Normal Episcleritis Scleritis

• Radial superficial episcleral • Maximal congestion • Maximal congestion of


vessels of episcleral vessels deep vascular plexus
• Deep vascular plexus • Slight congestion of
adjacent to sclera episcleral vessels
290. Eyelid trauma
• Eyelid is specialized tissue • Eyelid margin has slightly
characterized by skin on rounded anterior edge and
anterior surface and mucous sharp posterior edge.
membrane – tarsal conjunctiva – Mucocutaneous junction
on its posterior. – Meibomian gland orifices
• Eyelid skin is thinnest in the – Gray line
body. – Eyelash follicles
• It has loose attachment and
absence of fat in corium.
• Lid contains muscle, glands,
blood vessels and nerves.
• The firmness to the lid is
provided with tarsus which is
dense fibrous tissue and not a
cartilage

Vichare N. Management of Eyelid Lacerations. DOS Times - Vol. 20, No. 8 February, 2015
Repair of eyelid trauma

• Repairing of eyelid injuries • Preoperative evaluation


requires knowledge and – Detailed history is obtained to determine
time, course and circumstances of injury.
meticulous approach.
– Management of ocular injury starts after
• Gentle tissue handling and proper traumatized patient is stabilized and life
alignment should be done. threatening injuries are addressed
– Detailed ocular examination includes visual
• Aim should be to achieve best acuity, ocular movements, intra ocular
possible functional and cosmetic pressure, pupillary reactions and posterior
outcome segment examination.
– Eyelid trauma can be associated with
• Timing of repair hyphema, angle recession or retinal
– Every effort must be made to detachment.
reconstruct the injured – Globe injuries should be attended before lid
injuries.
tissues as soon as possible. – Systemic antibiotics should be started. 
– Primary repair can be done Intravenous antibiotics are preferable for
severely contaminated wounds.
even after 24 -48 hrs after the
– Wounds are irrigated thoroughly to remove
patient is stabilized. all debris.
– Tetanus toxoid must be given to non-
immunized patients.
291. KONJUNGTIVITIS NEONATAL
• Bacterial conjunctivitis contracted by newborns during delivery
• Cause:
– Neisseria gonorrhoeae ( inkubasi 2-7 hari)
– Chlamydia trachomatis (inkubasi 5-14 hari)
– S. Aureus (inkubasi nongonokokal dan nonklamidial 5-14 hari)
• Mucopurulent discharge
• Chlamydial  less inflamed  eyelid swelling, chemosis, and
pseudomembrane formation
• Complication in chlamydia infection  pneumonia (10-20% kasus)
• Blindness in chlamydia rare and much slower to manifes than
gonococcal  caused by eyelid scarring and pannus
• Terapi konj. Klamidial  oral erythromycin (50 mg/kg/d divided qid)
for 14 days (because of the significant risk for life-threatening
pneumonia)

http://emedicine.medscape.com/article
Neisseria gonorrhoeae Chlamydia trachomatis
• manifests in the first five days of life • 5 to 12 days after birth
• marked bilateral purulent • Mucopurulent discharge
• discharge • less inflamed  eyelid swelling,
• local inflammation  palpebral chemosis, and
• edema • pseudomembrane formation
• Complication  diffuse epithelial
• Complication  pneumonitis
edema and ulceration, perforation of
the cornea and endophthalmitis (range 2 weeks – 19 weeks after
• Gram-negative intracellular
delivery)
diplococci on Gram stain • Blindness rare and much
• Culture  Thayer-Martin agar slower to menifest caused by
eyelid scarring and pannus
Microscopic Findings

Etiology Findings
Chemical PMNs, few lymphocytes
Chlamydia PMNs, lymphocytes, plasma cells, Leber
cells, intracytoplasmic basophilic
inclusions
Bacteria PMNs, bacteria
Virus Lymphocytes, plasma cells,
multinucleated giant cells, intranuclear
eosinophilic inclusion

http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/pages/v4/v4c006.html
KONJUNGTIVITIS GO
• Neisseria gonorrhoeae Gram-negative intracellular
diplococci on Gram stain
• Masa inkubasi: 1-7 hari
• manifests in the first five days of life
• Marked bilateral purulent discharge
• local inflammation  palpebral edema
• Complication  diffuse epithelial edema and ulceration,
perforation of the cornea and endophthalmitis  kebutaan
• Culture  Thayer-Martin agar
• Topical erythromycin/tetrasiklin ointment and IV or IM
third-generation cephalosporin
Non-Infectious • Nasolacrimal duct obstruction may cause ‘sticky’ eyes.
• Corneal abrasion following trauma at delivery.
• Glaucoma (watch for corneal clouding or proptosis, is associated with portwine stains in the ophthalmic
region).
• Foreign body.

Infectious Organism Age of Onset Clinical Features Therapy


# Uncommon,
potential for serious
consequences - severe
keratitis and Staphylococcus aureus 2-5 days Unilateral, crusted purulent Topical soframycin drops qds for 5
endophthalmitis.
Requires early Streptococcus discharge days
recognition and
treatment. Needs pneumoniae,
blood and CSF culture.
Consider concomitant Haemophilus spp,
chlamydial infection if
poor response to Enterococci
cephalosporin.
Parents require
investigation and Neisseria gonorrhoeae # 3 days to 3 Bilateral, hyperaemic, Ceftriaxone 50mg/kg IV/IM as a
screening.
+ Risk of rapid Infants who are positive weeks chemosis, copious thick single dose (maximum 125mg),
progression from
purulent discharge to need to be evaluated for white discharge Saline irrigations hourly until exudate
denuding of corneal
epithelium, and disseminated infections resolves.
perforation of cornea.
The anterior chamber
can fill with fibrinous
exudate, iris can
Pseudomonas 5-18 days Oedema and erthyema of lid, IV anti-pseudomonal antibiotics.
adhere to cornea and
later blood vessel
aeruginosa + purulent discharge.
invasion. The late Topical Gentamicin.
ophthalmic
complications can be
followed by Chlamydia trachomatis * 5-14 days Unilateral or bilateral, mild PO erythromycin 50mg/kg/day x 14d
bacteraemia and
septic foci. conjunctivitis, copious (qid)Alternative, 5 days Azithromycin
* Most common
pathogen, 20-50% of purulent discharge. syrup
exposed infants will
develop chlamydia (= pertussis dosing 10mg/kg/day and
conjunctivitis, 10-20%
will develop 5mg/kg day 2-5)
pneumonia. If relapse
occurs repeat course
of erythromycin for Herpes simplex Conjunctivitis with vesicles Acyclovir 30mg/kg/day IV tid x 14-
further 14 days.
Parents require elsewhere 21d.
treatment.
Need ophthalmology review
within 24 hours. Topical acyclovir 3% 5 times daily.
http://www.adhb.govt.nz/newborn/guidelines/infection/neonatalconjunctivitis.htm
292. HIPERMETROPIA
• Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina (di belakang
makula lutea)
• Etiologi :
– sumbu mata pendek (hipermetropiaaksial),
– kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia
kurvatur),
– indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia
refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala,
silau, rasa juling atau diplopia

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar– teknik Pemeriksaandalam IlmuPenyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA
• Pengobatan : Pemberian lensasferis
positif akan meningkatkan kekuatan
refraksi mata sehingga bayangan
akan jatuhdi retina
• koreksi dimana tanpa siklopegia
didapatkan ukuran lensa positif
maksimal yangmemberikan tajam
penglihatan normal (6/6), hal ini
untuk memberikan istirahat pada
mata.
• Jika diberikan dioptri yg lebih kecil,
berkas cahaya berkonvergen namun
tidak cukup kuat sehingga bayangan
msh jatuh dibelakangretina,
akibatnya lensa mata harus
berakomodasi agar bayangan jatuh
tepat di retina.
• Contoh bila pasien dengan +3.0 atau
dengan +3.25 memberikan tajam
penglihatan 6/6, maka diberikan
kacamata +3.25
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA
• Hipermetropia total = laten + manifest
– Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif
– Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6
– Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif
– Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut :
– “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi
dengan akomodasi
– Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah
yang memberikan visus 6/6

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


BENTUK HIPERMETROPIA

• Hipermetropia fakultatif :
– Dimana kelainan hipermetropia dapatdiimbangi sepenuhnya dengan
akomodasi
– Bisa juga dikoreksi olehlensa
– Dapat dihitungdengan mengurangi nilai hipermetrop manifes – hipermetrop
absolut
• Hipermetropia laten:
– Hipermetropia yang hanya dapatdiukur bila diberikan siklopegia
– bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris
– Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa.
– Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan
terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadifakultatif
dan kemudia menjadiabsolut

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual ofocular diagnosis andtherapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam penglihatan
OD 6/20
– Dikoreksi dengan sferis +2.00  tajam penglihatan OD 6/6
– Dikoreksi dengan sferis +2.50  tajam penglihatan OD 6/6
– Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00  tajam penglihatan
OD 6/6
ARTINYA pasien memiliki:
– Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi)
– Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi)
– Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50
– Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
293. Presbiopia
• Merupakan keadaan berkurangnya daya akomodasi
pada usia lanjut
• Penyebab:
– Kelemahan otot akomodasi
– Lensa mata tdk kenyal / berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa
• Diperlukan kacamata baca atau adisi :
– + 1.0 D : 40 thn
– + 1.5 D : 45 thn
– + 2.0 D : 50 thn
– + 2.5 D : 55 thn
– + 3 .0 D : 60 thn
Sumber: Ilmu Penyakit Mata. Sidarta Ilyas. 2000.
Presbiopia
Pemeriksaan dengan
kartu Jaeger untuk
melihat ketajaman
penglihatan jarak
dekat.
– The card is held 14
inches (356 mm) from
the persons's eye for
• Koreksi→ lensa positif untuk menambah
kekuatan lensa yang berkurang sesuai usia the test. A result of
• Kekuatan lensa yang biasa digunakan: 14/20 means that the
+ 1.0 D → usia 40 tahun person can read at 14
+ 1.5 D → usia 45 tahun inches what someone
+ 2.0 D → usia 50 tahun with normal vision can
+ 2.5 D → usia 55 tahun read at 20 inches.
+ 3.0 D → usia 60 tahun
http://www.ivo.gr/files/items/1/145/51044.jpg
294. Astigmatisme
• SIMPLE ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused on the retina and
the other is not focused on the retina (with accommodation
relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus simpleks
• astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM
– When both principal meridians are focused either in front or
behind the retina (with accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus kompositus
• astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused in front of the
retina and the other is focused behind the retina (with
accommodation relaxed)
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

• Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui
jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di
retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z


• Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada,
nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi
C (silinder) ± .… x …..°
atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
• Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau
plus
• Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama.
Cara transposisi:
• To convert plus cyl to minus cyl:
– Add the cylinder power to the sphere power
– Change the sign of the cyl from + to –
– Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is
greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl:
– add the cylinder power to the sphere
– Change the sign of the cylinder to from - to +
– Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang


jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder
notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
• OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan
lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900
artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan


lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan
Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00
C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180
adalah -6,00 D
295. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal
dan asam retinoat. Provitamin A adalah semua
karotenoid yang memiliki aktivitas biologi β-
karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu &
produk derivat, kuning telur, margarin, sayuran
hijau, buah & sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi,
kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan
plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet.
Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara
drastis bisa ditemukan pada xerosis
konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
– Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis
konjungtiva & kornea, keratomalasia, bercak Bitot,
hiperkeratosis folikular, fotofobia
– Retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
anemia, hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :
XN : night blindness (hemeralopia)
X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia
XN. NIGHT BLINDNESS
• Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin
production, impair rod function, and result in
night blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND
BITOT’S SPOT
• The epithelium of the • Conjunctival xerosis first
conjunctiva in vitamin A appears billateraly, in the
deficiency is transformed temporal quadrant, as an
from the normal columnar isolated oval or triangular
to the stratified squamous, patch adjacent to the
with loss of goblet cells, limbus in the interpalpebral
formation of a granular cell fissure.
layer, and keratinization of
the surface.
• Clinically, these changes are
expressed as marked
dryness or unwettability,
the affected area appears
roughened, with fine
droplets or bubbles on the
surface.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND
BITOT’S SPOT
• In some individuals, keratin • Conjunctival xerosis and
and saprophytic bacilli Bitot’s spots begin to
accumulate on the xerotic resolve within 2—5 days,
surface, giving it a foamy or most will disappear within 2
cheesy appearance, known weeks.
as Bitot’s spots and they’re
easily wiped off)
• Generalized conjunctival
xerosis, involving the
inferior and/or superior
quadrants, suggests
advanced vitamin A
deficiency.
X2 CORNEAL XEROSIS
• Corneal changes begin early in • Clinically, the cornea develops
vitamin A deficiency, long before classical xerosis, with a hazy,
they can be seen with the naked lustreless, dry appearance, first
eye which characteristic are observable near the inferior
superficial punctate lesions of the limbus
inferior—nasal aspects of the • Corneal xerosis responds within
cornea, which stain brightly with 2—5 days to vitamin A therapy,
fluorescein with the cornea regaining its
• Early in the disease the lesions normal appearance in 1—2 weeks
are visible only through a slit-
lamp biomicroscope
• With more severe disease the
punctate lesions become more
numerous, spreading upwards
over the central cornea, and the
corneal stroma becomes
oedematous
X3A, X3B. Corneal
ulceration/keratomalacia
• Ulceration/keratomalacia • Superficial ulcers heal
indicates permanent with little scarring,
destruction of a part or all
of the corneal stroma, deeper ulcers,
resulting in permanent especially perforations,
structural alteration form dense peripheral
• Ulcers are classically adherent leukomas.
round or oval “punched- • Localized keratomalacia
out” defects
is a rapidly progressive
• The ulceration may be
shallow, but is commonly condition affecting the
deep full thickness of the
cornea
XS. SCARS XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS
•The small white retinal lesions
• Healed sequelae of prior described in some cases of vitamin
corneal disease related to A deficiency
vitamin A deficiency include •They may be accompanied by
opacities or scars of varying constriction of the visual fields and
will largely disappear within 2—4
density (nebula, macula, months in response to vitamin A
leukoma), weakening and therapy
outpouching of the •Gambaran funduskopi “ fenomena
remaining corneal layers cendol”
(staphyloma, and
descemetocele), and
phthisis bulbi.
Pemeriksaan Penunjang
• A serum retinol study is a costly • The serum retinol level may be
but direct measure using high- low during infection because of a
performance liquid transient decrease in the RBP.
chromatography. • A zinc level is useful because zinc
– A value of less than 0.7 mg/L in deficiency interferes with RBP
children younger than 12 years is production.
considered low.
• A serum RBP study • An iron panel is useful because
iron deficiency can affect the
– easier to perform and less metabolism of vitamin A.
expensive than a serum retinol
study, because RBP is a protein and • Albumin levels are indirect
can be detected by an measures of vitamin A levels.
immunologic assay.
• Obtain a complete blood count
– RBP is also a more stable (CBC) with differential if anemia,
compound than retinol
– However, RBP levels are less
infection, or sepsis is a possibility.
accurate, because they are
affected by serum protein
concentrations and because types
of RBP cannot be differentiated.
Therapy & Prevention
• Therapy :
- Day 1 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 2 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 14 / worsened / before discharge :
200.000 IU im / oral

• Prevention (every 6 months):


– < 6 months : 50.000 IU oral
– 6 – 12 months : 100.000 IU oral
– > 1 year : 200.000 IU oral
296. HIPERMETROPIA
• Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina (di belakang
makula lutea)
• Etiologi :
– sumbu mata pendek (hipermetropiaaksial),
– kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia
kurvatur),
– indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia
refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala,
silau, rasa juling atau diplopia

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar– teknik Pemeriksaandalam IlmuPenyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA
• Pengobatan : Pemberian lensasferis
positif akan meningkatkan kekuatan
refraksi mata sehingga bayangan
akan jatuhdi retina
• koreksi dimana tanpa siklopegia
didapatkan ukuran lensa positif
maksimal yangmemberikan tajam
penglihatan normal (6/6), hal ini
untuk memberikan istirahat pada
mata.
• Jika diberikan dioptri yg lebih kecil,
berkas cahaya berkonvergen namun
tidak cukup kuat sehingga bayangan
msh jatuh dibelakangretina,
akibatnya lensa mata harus
berakomodasi agar bayangan jatuh
tepat di retina.
• Contoh bila pasien dengan +3.0 atau
dengan +3.25 memberikan tajam
penglihatan 6/6, maka diberikan
kacamata +3.25
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA
• Hipermetropia total = laten + manifest
– Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif
– Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6
– Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif
– Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut :
– “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi
dengan akomodasi
– Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah
yang memberikan visus 6/6

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


BENTUK HIPERMETROPIA

• Hipermetropia fakultatif :
– Dimana kelainan hipermetropia dapatdiimbangi sepenuhnya dengan
akomodasi
– Bisa juga dikoreksi olehlensa
– Dapat dihitungdengan mengurangi nilai hipermetrop manifes – hipermetrop
absolut
• Hipermetropia laten:
– Hipermetropia yang hanya dapatdiukur bila diberikan siklopegia
– bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris
– Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa.
– Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan
terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadifakultatif
dan kemudia menjadiabsolut

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual ofocular diagnosis andtherapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam penglihatan
OD 6/20
– Dikoreksi dengan sferis +2.00  tajam penglihatan OD 6/6
– Dikoreksi dengan sferis +2.50  tajam penglihatan OD 6/6
– Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00  tajam penglihatan
OD 6/6
ARTINYA pasien memiliki:
– Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi)
– Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi)
– Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50
– Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
297. DAKRIOSISTITIS
• Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
• Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
• Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
• Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
298. Uveitis
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


MATA TENANG VISUS
VISUS NORMAL VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
• Trakoma karena obat (misalnya
• Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
UVEITIS
Radang uvea:
• mengenai bagian
depan atau
selaput pelangi
(iris) iritis
• mengenai bagian
tengah (badan
silier) siklitis
• mengenai
selaput hitam
bagian belakang
mata koroiditis
• Biasanya iritis
disertai dengan
siklitis = uveitis
anterior/iridosikl
itis
UVEITIS
• Dibedakan dalam bentuk
granulomatosa akut-kronis dan
• Tanda :
non-granulomatosa akut- kronis – pupil kecil akibat rangsangan
proses radang pada otot
• Bersifat idiopatik, ataupun terkait sfingter pupil
penyakit autoimun, atau terkait
penyakit sistemik – edema iris
• Biasanya berjalan 6-8 minggu – Terdapat flare atau efek tindal
di dalam bilik mata depan
• Dapat kambuh dan atau menjadi
menahun – Bila sangat akut dapat terlihat
hifema atau hipopion
• Gejala akut:
– mata sakit
– Presipitat halus pada kornea
– Merah
– Fotofobia
– penglihatan turun ringan
– mata berair

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop
(slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).

Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006


Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14

299. Ablasio Retina


Funduskopi : adanya robekan
• Gejala & Tanda: retina, retina yang terangkat
– Fotopsia (kilatan cahaya) berwarna keabu-abuan, biasanya
 gejala awal yang ada fibrosis vitreous atau fibrosis
sering preretinal bila ada traksi.
– Defek lapang pandang
 bertambah seiring
waktu
– Floaters

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17 th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Etiologi Ablasio Retina
• Rhegmatogenosa: • Serosa / hemoragik:
– Miopia – Hipertensi
– Trauma okular – Oklusi vena retina
– Afakia sentral
– Degenerasi lattice – Vaskulitis
• Traksi: – Papilledema
– Retinopati DM – Tumor intraokular
proliferatif
– Vitreoretinopati
proliferatif
– Retinopati prematuritas
– Trauma okular
Ablasio
Rhegmatogenosa

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology


17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
300. Entropion
• Merupakan pelipatan palpebra ke arah dalam
• Penyebab: infeksi (ditandai dengan adanya jaringan parut),
faktor usia, kongenital
• Klasifikasi
– Enteropion involusional
• yang paling sering dan terjadi akibat proses penuaan
• Mengenai palpebra inferior, karena kelemahan otot palpebra
– Enteropion sikatrikal
• Mengenai palpebral inferior/ superior
• Akibat jaringan parut tarsal
• Biasanya akibat peradangan kronik seperti trakoma
– Enteropion congenital
• Terjadi disgenesis retraktor kelopak mata bawa  palpebra tertarik ke
dalam
– Enteropion spastik akut
• Terjadi penutupan kelopak mata secara spastik  terjadi penarikan oleh
m.orbikularis okuli  entropion
301. Scleritis

• Inflamasi pada sclera yang dapat disertai nyeri


dengan/tanpa penurunan penglihatan
• Terdapat 2 bentuk:
1. Skleritis anterior (paling sering)
2. Skleritis posterior (paling jarang)

Sumber: AAO. 2015


Scleritis anterior
• Bentuk yang paling umum ditemui
• Terdapat 3 bentuk, yaitu
1. Difus, gejala klinis berupa edema sklera disertai injeksi
sclera
2. Nodular, gejala klinis berupa gambaran nodul
berwarna merah gelap-hitam, dapat soliter dan
multipel
3. Necrotizing, merupakan bentuk paling parah, yaitu
terdapat nyeri berat dan edema sklera luas
4. Scleromalasia perforans, seperti tipe necrotizing
namun tidak ada peradangan dan hilangnya gambaran
vaskularisasi episklera
Sumber: AAO. 2015
Episcleritis vs scleritis

• Episcleritis  pembuluh darah superfisial dan


tidak ada edema  tidak ada gangguan
penglihatan
• Scleritis  pembuluh yang lebih dalam + edema
 gangguan penglihatan
• Pada slit lamp:
- episcleritis: injeksi berwarna lebih kemerahan
dan tidak ada edema
- Scleritis: injeksi lebih berwarna gelap dan
terdapat edema

Sumber: AAO. 2015


Prinsip tatalaksana

• Pilihan terapi adalah terapi sistemik dengan


NSAID
• DOC: flurbiprofen 3x100 mg/hari atau
ibuprofen 3x25-50 mg/hari
• Steroid digunakan jika flurbiprofen atau
ibuprofen tidak efektif, dosis 1 mg/kgBB/hari
302. Herpes Simplex oftalmikus
• HSV-1 infection occurs by direct contact of skin or
mucous membrane with virus-laden lesions or
secretions
• Occurs most commonly in the mucocutaneous
distribution of the trigeminal nerve
• After the primary infection, the virus travels in
retrograde fashion from the infected epithelial cells to
nearby sensory nerve endings and is transported along
the nerve axon to the cell body located in the
trigeminal ganglion, entering into a latent state.
• Interneuronal spread of HSV within the ganglion allows
patients to develop subsequent ocular disease without
ever having had primary ocular HSV infection
Ocular Manifestation of HSV
• Periocular herpes simplex
• Blepharitis
• Conjunctivitis
• Scleritis
• Keratitis
• Iridocyclitis
• Retinitis
Herpes Simplex Keratitis
Keratitis Herpes Simpleks

• Herpes simpleks virus (HSV) keratitis, sama dengan penyakit herpes simpleks
lainnya dapat ditemukan dalam dua bentuk: primer atau rekuren.
• Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan oleh HSV tipe 1, namun
pada balita dan orang dewasa, dapat juga disebabkan oleh HSV tipe 2. Lesi
kornea yang disebabkan kedua virus tersebut tidak dapat dibedakan.
• Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV mengandung sel-sel raksasa berinti
banyak.
• Virus dapat dibiakkan di dalam membran khorioallantoik embrio telur ayam
dan di dalam jaringan seperti sel-sel HeLa .
• Identifikasi akurat virus dilakukan menggunakan metode PCR

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tanda dan gejala:
– Infeksi primer biasanya berbentuk
blefarokonjungtivitis vesikular, kadang disertai
keterlibatan kornea. Umumnya self-limmited tanpa
menyebabkan kerusakan mata yang signifikan.
– Iritasi, fotofobia, peningkatan produksi air mata,
penurunan penglihatan, anestesi pada kornea,
demam.
– Kebanyakan unilateral, namun pada 4-6% kasus dapat
bilateral
– Lesi: Superficial punctate keratitis -- stellate erosion --
dendritic ulcer -- Geographic ulcer
• Dendritic ulcer: Lesi yang paling khas pd keratitis HSV.
Berbentuk linear, bercabang, tepi menonjol, dan memiliki
tonjolan di ujungnya (terminal bulbs), dapat dilihat dengan
tes flurosensi.
• Geographic ulcer. Lesi defek epitel kornea berbentuk spt
amuba
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tatalaksana:
– Dokter umum: RUJUK SEGERA
– Debridement
– Antivirus topikal,
kortikosteroid (pertimbangan
khusus)
• Topical antiviral: trifluridine 1%
8x/day (watch for epithelial
toxicity after 1 week fo therapy),
acyclovir 3% drops initially
5x/day gradually tapering down
but continued for at least 3 days
after complete healing; if
resistant, consider ganciclovir
0.15% gel initially 5x/day.
– Bedah
– Mengontrol reaktivasi HSV:
hindari demam, pajanan sinar
matahari berlebihan,
imunosupresi, dll
Keratitis herpes zoster
• Bentuk rekuren dari keratitis Varicella
• Lesi pseudodenditik: lesi epitel yang menonjol dengan ujung
mengerucut, sedikit tonjolan pada ujungnya (terminal bulbs)

Keratitis varicella
• Bentuk infeksi primer pada mata dari virus Varicella
• Ciri khas: lesi pseudodendritik disertai lesi pada stroma kornea
dan uveitis

Keratitis marginal
• Keratitis non infeksius, sekunder setelah konjungtivitis bakteri, terutama Staphylococcus
• Keratitis ini merupakan hasil dari sensitisasi tubuh terhadap produk bakteri. Antibodi dari
pembuluh darah di limbus bereaksi dgn antigen yang terdifusi ke dalam epitel kornea

Keratitis bakteri
• Biasanya unilateral, terjadi pd org dengan penyakit mata sebelumnya atau mata
org yang menggunakan kontak lens
• Infiltrat stroma berwarna putih, edema stroma, pembentukan hipopion
Herpes Zooster Ophtalmicus
• First described by Hutchinson in 1865
• Involves the reactivation of VZV in the
trigeminal ganglia with ophthalmic
involvement
• Accounts for 10%-25% of zoster episodes
– Nasociliary branch of the ophthalmic nerve
innervates the skin of the eyelids, conjunctiva,
sclera, cornea, iris, choroid, and the tip of the
nose
• Hutchinson’s sign Signs
– Presence of vesicles at the • External
side of the tip of the nose
– Lid edema and vesicles
– Indicator of nasociliary – Conjunctival hyperemia
involvement
– Episcleritis and scleritis
– Associated with a 50-76%
chance of ocular – Cornea
complications • Punctate epithelial keratitis
• Pseudodendrites
– The risk lowers to 34%
• Anterior stromal infiltrates
without nasociliary
• Keratouveitis
involvement
• Uveitis
Figure 1A

Shaikh S, Cristopher N. Evaluation and Management of Herpes zooster ophtalmicus. (Am Fam Physician 2002;66:1723-30,1732.
303. KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh
– seasonal conjunctivitis
– warm weather conjunctivitis
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10
tahun sejak awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir
tidak ada)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat, dapat
disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa berpermukaan
rata pada konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons (sekret
menyerupai benang &
pseudomembran fibrinosa
halus pada tarsal atas, pada • Komplikasi:
pajanan thdp panas) • Blefaritis & konjungtivitis
– Bercak Trantas (bercak stafilokokus
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana
• Self-limiting • Jangka panjang & prevensi
• Akut: sekunder:
• Steroid topikal (+sistemik bila • Antihistamin topikal
perlu), jangka pendek  • Stabilisator sel mast Sodium
mengurangi gatal (waspada kromolin 4%: sebagai
efek samping: glaukoma, pengganti steroid bila gejala
katarak, dll.) sudah dapat dikontrol
• Tidur di ruangan yang sejuk
• Vasokonstriktor topikal dengan AC
• Kompres dingin & ice pack • Siklosporin 2% topikal (kasus
berat & tidak responsif)
• Desensitisasi thdp antigen
(belum menunjukkan hasil
baik)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


304. HORDEOLUM
• Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
• Infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea
• Gejala: kelopak bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal,
merah, nyeri bila ditekan, ada pseudoptosis/ptosis akibat
bertambah berat kelopak
• Gejala
– nampak adanya benjolan pada kelopak mata bagian atas atau
bawah
– berwarna kemerahan.
– Pada hordeolum interna, benjolan akan nampak lebih jelas
dengan membuka kelopak mata.
– Rasa mengganjal pada kelopak mata
– Nyeri takan dan makin nyeri saat menunduk.
– Kadang mata berair dan peka terhadap sinar.
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• 2 bentuk :
 Hordeolum internum: infeksi kelenjar Meibom di dalam
tarsus. Tampak penonjolan ke daerah kulit kelopak, pus
dapat keluar dari pangkal rambut
 Hordeolum eksternum: infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.
Penonjolan terutama ke daerah konjungtiva tarsal

http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/htxt/Hordeolum.htm

Hordeolum Eksterna Hordeolum Interna


Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• Pengobatan
– Self-limited dlm 1-2 mingu
– Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4x/hari
– Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya:
Gentamycin, Neomycin, Polimyxin B,
Chloramphenicol
– Jika tidak menunjukkan perbaikan : Antibiotika oral
(diminum), misalnya: Ampisilin, Amoksisilin,
Eritromisin, Doxycyclin
– Insisi bila pus tidak dapat keluar
• Pada hordeolum interna, insisi vertikal terhadap margo
palpebra supaya tidak memotong kelenjar meibom lainnya
• Pada hordeolum eksterna, insisi horizontal supaya kosmetik
tetap baik
Diagnosis Banding
• Kalazion
– Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
– Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul
berminggu-minggu.
– Dibedakan dari hordeolum oleh ketiadaan tanda-tanda inflamasi
akut
– Jika sangat besar, kalazion dapat menekan bola mata,
menyebabkan astigmatisma
• Blefaritis
– Radang kronik pada kelopak mata, disebabkan peradangan
kronik tepi kelopak mata (blefaritis anterior) atau peradangan
kronik kelenjar Meibom (blefaritis posterior)
– Gejala: kelopak mata merah, edema, nyeri, eksudat lengket,
epiforia, dapat disertai konjungtivitis dan keratitis
• Selulitis palpebra
– Infiltrat difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut,
biasanya disebabkan infeksi Streptococcus.
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
305. Blefarospasme
• Distonia akut fokal yang ditandai dengan
kontraksi repetitif dan teratur dari otot
orbikularis okuli dan frontalis
• Gejala klinis:
1. Gerakan menutup mata involunter yang
diperburuk dengan cahaya terang, debu,
rokok, dan stresemosional
2. Dapat mengganggu aktivitas sehari-hari
seperti membaca, menonton, dsb
• Etiologi: belum diketahui, diduga karena disfungsi
ganglia basalis
306. Retinopathy Of Prematurity
• Retinopathy of prematurity (ROP) :
– a disorder of the developing retina of low birth weight
preterm infants that potentially leads to blindness in a
small but significant percentage of those infants

• In preterm infants
– the development of the retina, which proceeds from
the optic nerve head anteriorly during the course of
gestation, is incomplete
– extent of the immaturity of the retina depending
mainly on the degree of prematurity at birth

American Academy of Pediatrics. Screening Examination of Premature Infants for Retinopathy of Prematurity. Pediatrics Volume 131, Number 1,
January 2013.
Patofisiologi
• Vaskularisasi retina yang normal berawal dari diskus
optikus menuju ke perifer dan terbentuk sempurna
pada sisi nasal pada usia kehamilan 36 minggu dan
pada sisi temporal pada kehamilan 40 minggu.
• Diduga kuat bahwa jaringan mesenkim bakal pembuluh
darah yang tumbuh dari sentral ke perifer retina adalah
jaringan yang sensitif terhadap sitotoksisitas sampai
terbentuk menjadi pembuluh darah yang matur.
• Paparan terhadap oksigen yang berlebihan pada
periode ini bisa menimbulkan obliterasi dan
menghambat vaskularisasi lebih lanjut, sehingga bagian
depan retina tidak mendapatkan aliran darah.
Faktor Risiko
1. Low birth weight 8. small for gestational
2. gestational age age (SGA)
3. prolonged 9. multiple blood
supplemental oxygen transfusions
4. sepsis 10. unstable oxygen
5. respiratory distress saturation levels
6. apneu • Hanya nomor 1,2, dan
3 yang konsisten
7. asphyxia mempengaruhi
kejadian ROP
Screening recomendation
• Retinal screening examinations
– Infants with a birth weight of ≤1500 g or gestational age of 30
weeks or less (as defined by the attending neonatologist)
– Selected infants with a birth weight between 1500 and 2000 g
or gestational age of >30 weeks with an unstable clinical course,
including
• requiring cardiorespiratory support
• who are believed by their attending pediatrician or neonatologist to
be at high risk for ROP,

• Retinal screening performed after pupillary dilation by


using binocular indirect ophthalmoscopy with a lid
speculum and scleral depression (as needed) to detect ROP.

• Retinal examinations in preterm infants should be


performed by an ophthalmologist
Siapa yg harus diskrining?
Memenuhi salah satu kriteria berikut
Guideline
Usia Gestasi Berat Lahir
Canadian Pediatric Society(1998): ≤ 30 minggu ≤ 1500gr
American Association of Pediatric ≤ 30 minggu ≤ 1500gr
(2013) atau atau
> 30 minggu dgn keadaan 1500-2000 gr dgn keadaan
klinis tidak stabil (perlu klinis tidak stabil (perlu
bantuan kardiopulmoner/ bantuan kardiopulmoner/
risiko tinggi ROP seperti risiko tinggi ROP seperti
penggunaan suplemen penggunaan suplemen
oksigen) oksigen)
UK <31 minggu <1251 gr
India < 35 minggu < 2000 gr
(Rohsiswatmo, Rinawati: 2005). Saran:
<34 minggu <1600 gr
atau atau
< 36 minggu dengan 1600 - < 2100 gr dengan
keadaan klinis parah suplemen oksigen
atau
< 2200 gr dengan keadaan
klinis parah
• The initiation of acute-
phase ROP screening
should be based on the
infant’s postmenstrual
age (gestational age at
birth plus chronologic
age) than with
postnatal age
http://www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm
Tatalaksana
• Cryopexy circumferential: upaya untuk mencegah
progresifitas penyakit dengan cara
menghancurkan sel-sel yang melepas faktor
angiogenik.
• Fotokoagulasi laser: data menunjukkan teknik ini
sangat efektif dan lebih aman dari cryopexy.
• Pemberian vitamin E (masih kontroversial).
• Mengurangi intensitas cahaya: efeknya terhadap
insiden RPP masih dipertanyakan.
• Operasi retina yang lepas (ablasio retina)
307. Ocular Foreign body
• An ocular foreign body :
– common condition, in which a small particle (such as a
piece of grit or small rust particle) becomes stuck on eye.
• Corneal foreign body  CA stuck on the eye ;
• sub-tarsal foreign body  the object is stuck under your lid
scratches to the surface of your cornea.
– Symptoms
• painful, red, watery and light sensitive and ↓ vision
• Subconjunctival hemorrhage
• Corneal laceration and abrasion  heal within 48 hours after
removal
• if CA is metal, a small ring of rust may form around it  a dark
spot on the white of eye and can cause a scar that may affect
vision
Management
• First aid
– Wash the eye with water or saline. Do not try to
remove a foreign body yourself.  Go straight to
doctor
• Emergency departement
1. Local anaesthetic eye drops to numb the eye  pain
may return after the anaesthetic drops wear off, 20
to 60 minutes.
2. Remove the foreign body with a cotton bud or a
small sterile needle
3. Painkiller  PCT or ibuprofen
4. Antibiotic drops or oinment to prevent infection

www.moorfields.nhs.uk
Benda Asing di Konjungtiva
• Penatalaksanaan (menurut buku panduan
• Gejala yang ditimbulkan berupa layanan primer IDI & emedicine)
nyeri, mata merah dan berair, sensasi – Berikan tetes mata pantokain 2%
sebanyak 1-2 tetes pada mata yang
benda asing, dan fotofobia. terkena benda asing.
• Faktor Risiko: Pekerja di bidang – Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
industri yang tidak memakai pengangkatan benda asing.
kacamata pelindung, seperti: pekerja – Periksa lokasi benda asing dengan
meminta pasien melihat ke atas, ke bawah,
gerinda, pekerja las, pemotong kiri, dan kanan
keramik, pekerja yang terkait dengan – Periksa inferior conjunctival cul-de-sac
bahan-bahan kimia (asam-basa), dll. dengan meminta pasien melihat ke atas
ketika pemeriksa membuka kelopak mata
• Pemeriksaan Fisik bawah
– Biasanya visus normal; – Untuk memeriksa superior conjunctival
cul-de-sac, lakukan eversi kelopak mata
– Ditemukan injeksi konjungtiva atas dengan kapas lidi atau paper clip
tarsal dan/atau bulbi (seperti gambar)
– Pada konjungtiva tarsal superior – Angkat benda asing dengan menggunakan
lidi kapas yang lembab atau jarum suntik
ukuran 23G.
– Arah pengambilan benda asing dilakukan
dari tengah ke tepi.
– Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan
betadin pada tempat bekas benda asing.
– Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep
atau tetes mata) seperti kloramfenikol
tetes mata, 1 gtt setiap 2 jam selama 2
hari.
Corneal Foreign Body
• If a corneal foreign body is discovered, it must be
removed to prevent permanent scarring and
vision loss. Saline irrigation is often successful.
• If irrigation is unsuccessful, a topical anesthetic
should be administered and a cotton swab gently
swept over the cornea.
• If the foreign body is superficial, irrigate the eye
to moisten the cornea and attempt to remove the
foreign body by using a gentle rolling motion with
a wetted cotton-tipped applicator.
– Take care not to apply pressure, which may push
the foreign body deeper into the cornea, or scrape,
which may create a large corneal abrasion.
• If swabbing is unsuccessful, foreign body removal
using an eye spud or 25-gauge needle should be
done by a trained, experienced physician.

Emedicine & AAFP


308. Episcleritis
• This common condition is a benign, recurrent
inflammation of the episclera
• it is most common in young women.
• Episcleritis is usually self-limiting and may
require little or no treatment. It is not usually
associated with any systemic disease,
although around 10% may have a connective
tissue disease.
• Simple episcleritis
Clinical features
• Sudden onset of mild discomfort, tearing ±
• photophobia; may be recurrent.
• Sectoral(occasionally diffuse) redness thatblanches with topical
vasoconstrictor (e.g.,phenylephrine 10%); globe nontender;
• spontaneous resolution 1–2 weeks.
• Treatment
- Supportive: reassurance ± cold compresses.
- Artificial tears
- Topical: consider lubricants ± NSAID (e.g.,ketorolac 0.3% 3x/day; uncertain
benefit).
- Although disease improves with topical steroids, there may be rebound
inflammation on withdrawal.
- Systemic: if severe or recurrent disease, consider oral NSAID (e.g.,
flurbiprofen 100 mg 3x/day for acute disease).
• Nodular episcleritis

Clinical features
• Sudden onset of FB sensation, discomfort, tearing ± photophobia. It may be
recurrent.
• Red nodule arising from the episclera
• can be moved separately from the sclera (cf. nodular scleritis) and conjunctiva
• blanches with topical vasoconstrictor (e.g., phenylephrine 10%)
• does not stain with fluorescein;
• globe nontender
• Spontaneous resolution occurs in 5–6 weeks.
Treatment

– Treat as for simple episcleritis, but there is a greater role for ocular lubricants.
– Patients with severe or prolonged episodes may require artificial tears and/or topical
corticosteroids.
– Nodular episcleritis is more, indolent and may require local corticosteroid drops or
anti-inflammatory agents.
– Topical ophthalmic 0.5%, prednisolone, 0.1% ,dexamethasone, or 0.1%,
betamethasone daily may be used.
309. Perdarahan subkonjungtiva
• Perdarahan subkonjungtiva • Perdarahan
adalah perdarahan akibat subkonjungtiva akan
rupturnya pembuluh darah hilang atau diabsorpsi
dibawah lapisan dalam 1- 2 minggu tanpa
konjungtiva yaitu diobati.
pembuluh darah • Pengobatan penyakit
konjungtivalis atau yang mendasari bila ada.
episklera.
• Dapat terjadi secara
spontan atau akibat
trauma.
Subconjunctival hemorrhage
• Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival
haemorrhage) also known as hyposphagma, is bleeding
underneath the conjunctiva.
• A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-red
underneath the transparent conjunctiva.
• Later, the hemorrhage may spread and become green or
yellow, like a bruise.
• In general a subconjunctival hemorrhage is a painless and
harmless condition
• however, it may be associated with high blood pressure,
trauma to the eye, or a base of skull fracture if there is no
posterior border of the hemorrhage visible.
Subconjunctival hemorrhage
Causes Management
• Eye trauma • Self-limiting that requires
• Whooping cough or other no treatment in the absence
extreme sneezing or coughing
• Severe hypertension of infection or significant
• Postoperative subconjunctival trauma.
bleeding • Artificial tears may be
• Acute hemorrhagic applied four to six times a
conjunctivitis (picornavirus)
• Leptospirosis day.
• Increased venous pressure • Cold compress in the 1st
(straining, vomiting, choking, hour may stop the bleeding
or coughing)
310. Tractus opticus
RCL +/-

RCTL -/-

-Very easy-
311. TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Tabel Uji Hipotesis
312. KECELAKAAN LALU LINTAS PADA
PESERTA BPJS KETENAGAKERJAAN
• Jika kecelakaan lalu lintas terjadi saat perjalanan ke
tempat kerja atau dari tempat kerja menuju ke rumah,
maka hal tersebut ditanggung BPJS ketenagakerjaan
karena termasuk dalam kecelakaan kerja.

• Selain itu, bila kecelakaan terjadi bukan karena


kesalahan sendiri, maka kecelakaan tersebut juga akan
mendapat santunan dari Jasa Raharja.

• Di luar kedua situasi tersebut, maka biayanya akan


ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
JAMINAN BPJS KETENAGAKERJAAN
313. Ketentuan Untuk Peserta BPJS Yang
Mengalami PHK Dan Kecacatan Total
• Peserta yang mengalami PHK tetap memperoleh
hak manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6
(enam) bulan sejak di PHK tanpa membayar
iuran.

• Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan yang


mengalami cacat total tetap dan tidak mampu,
berhak menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan
– Penetapan cacat total tetap, dilakukan oleh dokter
yang berwenang.

Pasal 7 & 8 Perpres No 12 Tahun 2013


314. FIMOSIS
• Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia tahun 2013, tingkat kompetensi
untuk fimosis adalah 4A (mampu
menatalaksana secara mandiri dan tuntas).

• Oleh karena itu, penanganannya dapat


dilakukan di layanan primer, seperti di
puskesmas.
315. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
316. Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
1. Planning:
• menentukan serangkaian tindakan untuk
mencapai suatu hasil sesuai target.

2. Organizing:
• mengelompokkan orang-orang serta penetapan
tugas, fungsi, wewenang, serta tanggung jawab
masing-masing supaya aktivitas berdaya guna dan
berhasil guna.
Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
3. Actuating
• menggerakkan semua anggota kelompok untuk bekerja agar
mencapai tujuan organisasi.
• Actuating membuat urutan rencana menjadi tindakan nyata.
• Kegiatan dalam Fungsi Pengarahan dan Implementasi antara lain :
– Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan
pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara
efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan.
– Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai pekerjaan dan
menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.
Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
4. Controlling
• Agar pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan visi, misi,
aturan serta program kerja maka dibutuhkan pengontrolan.
• Baik itu dalam bentuk supervisi, pengawasan, inspeksi
sampai audit.
• Agar sejak dini dapat diketahui penyimpangan-
penyimpangan atau kesalahan yang terjadi, baik itu dalam
tahap perencanaan, pelaksanaan ataupun
pengorganisasian.
• Sehingga dapat segera dilakukan antisipasi, koreksi, serta
penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan situasi.
317. ODDS RATIO
Hidrosefalus (+) Hidrosefalus (-)
Toxoplasmosis (+) 60 40 100
Toxoplasmosis (-) 40 60 100
100 100 200

OR = ad/bc = (60 x 60) / (40 x40) = 36/16 = 9/4


318. JENIS RUJUKAN
• Interval referral: pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter
konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka
waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya.
• Collateral referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu
masalah kedokteran khusus saja.
• Cross referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada
dokter lain untuk selamanya.
• Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab
penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa
dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan
wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi
rujukan tidak ikut campur.
319. VARIABEL DEPENDEN DAN INDEPENDEN
320-321. BEBERAPA JENIS BIAS
• Instrument bias — This occurs when the measuring instrument is not properly
calibrated. A scale may be biased to give a higher reading than actual, or lower
than actual. The other possibility is inadequacy of an instrument to provide
complete picture such as endoscope not reaching to the site of interest and giving
false information from a distance.

• Interviewer bias or observer bias — Interviewer bias occurs when one is able to
elicit better response from one kind of patients (say, those who are educated)
relative to the other kind (such as illiterates). Observer bias occurs when the
observer unwittingly (or even intentionally) exercises more care about one type of
responses or measurements such as those supporting a particular hypothesis than
those opposing this hypothesis. Observer bias can also occur if he is, for example,
not fully alert in hearing Korotkoff.

• Recall bias — There are two types of recall bias. One, arising from better recall of
recent events than those occurring long time ago. Also, serious episodes are easy
to recall than the mild episodes. Two, cases suffering from disease are able to
recall events much more easily than the controls if they are currently healthy
subjects.
Bias
• Tidak ada istilah subjective bias dan selective
bias.

• Yang ada adalah subject bias dan selection


bias.
322. AMBANG BISING
• National Institute for Occupational Safety and
Health (NIOSH) dan Indonesia menetapkan nilai ambang
batas (NAB) bising di tempat kerja sebesar 85 dBA.
– Bila NAB ini dilampaui terus menerus dalam waktu lama maka
dapat menimbulkan noise induced hearing loss (NHIL).

• Diperlukan Program Konservasi Pendengaran (PKP):


– Identifikasi dan analisis sumber bising pada lingkungan dengan
alat sound level meter (SLM) atau Noise dosimeter pada pekerja.
– Kontrol kebisingan dan kontrol administrasi
– Pemeriksaan audiometri berkala pada pekerja yang terpajan
bising
– Penggunaan alat pelindung diri
323-324. MANAJEMEN PEMBIAYAAN
BPJS KESEHATAN
Collection  Pooling  Purchasing
• Fungsi pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan
dalam Program JKN dilaksanakan oleh Peserta, BPJS
Kesehatan, dan Pemerintah. Fungsi pembiayaan
mencakup pendaftaran dan pembayaran iuran,
pengumpulan iuran, penggabungan seluruh iuran di BPJS
Kesehatan, dan pengelolaan dana yang terkumpul untuk
pembelian dan pembayaran Fasilitas Kesehatan,
pencadangan dana, serta pengembangan aset dan
investasi.

• BPJS Kesehatan secara aktif mengumpulkan iuran dari


Peserta (collecting) kemudian menggabungkan seluruh
iuran Peserta (pooling) dan mengelolanya (purchasing
and investing) dengan cermat, hati-hati, transparan,
efisien dan efektif untuk sebesar-besarnya kepentingan
perlindungan kesehatan Peserta.

http://jkn.jamsosindonesia.com/home/cetak/36/Pusat%20Informasi%20JKN%20%3E%20Mekanisme%20Penyelenggaraan
325. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
326. Pengecualian Rujukan Berjenjang
• Terjadi keadaan gawat darurat (Kondisi kegawatdaruratan mengikuti
ketentuan yang berlaku);

• Bencana (Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan


atau Pemerintah Daerah);

• Kekhususan permasalahan kesehatan pasien (untuk kasus yang


sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya
dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan);

• Pertimbangan geografis;

• Pertimbangan ketersediaan fasilitas

Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang, BPJS Kesehatan, 2016


327. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
328. JAMINAN KESEHATAN
• Jaminan kesehatan yang digunakan adalah BPJS
kesehatan.

• Peserta BPJS yang sudah pensiun dari tempat


kerjanya dihitung sebagai peserta non-PBI yang
bukan pekerja.

• Jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, dll


merupakan jaminan yang disediakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan.
329. Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
330. PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
331. ATTACK RATE
• Attack rate = jumlah kasus baru
jumlah populasi berisiko

Kasus baru = 1 + 2 anak = 3 anak


Populasi berisiko campak = jumlah seluruh anak
= 5 anak
• Attack rate = 3/5 = 60%
332. ASFIKSIA
• Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan
berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan
berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2)
secara bersamaan dalam darah dan jaringan
tubuh akibat gangguan pertukaran antara
oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler
paru-paru.
Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Luka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan)
yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada
HbO2.

• Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran
kapiler darah setempat.

• Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena


terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya
fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar
CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih
gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi
pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat
tubuh & sianotik.
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih
cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan.
• Edema paru.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti
fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada
luka.
333. Yang Berhak Memberikan Informed
Consent
• Pasien yang telah dewasa (≥21 tahun atau
sudah menikah, menurut KUHP) dan dalam
keadaan sadar.
• Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat
diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan:
– Suami/ istri
– Orang tua (pada pasien anak)
– Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa)
– Saudara kandung
• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass,
battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan
tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi


sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran
adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana
dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak
bisa menghadapi situasi dirinya.
334. PEMBIAYAAN KECELAKAAN LALU
LINTAS
• Pasien di atas mengalami kecelakaan tunggal 
tidak bisa ditanggung oleh Jasa Raharja

• Pasien bekerja di toko kelontong dan tidak


dicantumkan informasi apakah pasien merupakan
peserta BPJS kesehatan  tidak bisa ditanggung
BPJS Kesehatan.

• Maka pembiayaannya dengan pembiayaan


pribadi.
335. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN

Pasien tidak
cedera
NEAR MISS

Medical
Error
PREVENTABLE
• Kesalahan nakes
Pasien cedera ADVERSE MALPRAKTIK
• Dapat dicegah
• Karena berbuat (commission) EVENT
• Karena tdk berbuat
(ommision)
Acceptable
Risk

Process of UNPREVENTABLE Unforseeable


care Pasien cedera Risk
(Non error) ADVERSE EVENT
Complication
of Disease
336. HUKUM PIDANA VS PERDATA
HUKUM PIDANA HUKUM PERDATA

Publik Privat

Kepentingan umum Kepentingan individu

Dipertahankan oleh negara Dipertahankan oleh


perorangan
Dituntut oleh jaksa Dituntut oleh penggugat

Tidak ada usaha perdamaian Ada usaha perdamaian

Sanksi berupa kurungan Sanksi berupa ganti rugi


337. SURAT KEMATIAN
• Surat keterangan kematian adalah surat yang
menyatakan bahwa seseorang sudah meninggal.
• Surat keterangan kematian dibuat atas dasar
pemeriksaan jenazah, minimal pemeriksaan luar.
• Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak pidana
tertentu, pastikan bahwa prosedur hukum telah
dilakukan sebelum dikeluarkan surat keterangan
kematian.
• Surat keterangan kematian tidak boleh dibuat bila
seseorang yang mati diduga akibat suatu peristiwa
pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forensik
terlebih dahulu.
Dasar Hukum Surat Kematian
• Bab I pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan
keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya”.

• Bab II pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan


segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien
bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”.

• Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan


palsu.

• Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi


pengadilan, keterangan yang akan diberikan didahului
dengan sumpah jabatan atau janji.
Manfaat Surat Kematian
• Untuk kepentingan pemakaman jenazah
• Kepentingan pengurusan asuransi, warisan,
hutang,dll
• Untuk tujuan hukum, pengembangan kasus kematian
tidak wajar
• Salah satu cara pengumpulan data statistik
penentuan tren penyakit dan tren penyebab
kematian pada masyarakat
• Sumber data untuk penelitian biomedis maupun
sosiomedis
338. PEMBUNUHAN BAYI
• Pada soal disebutkan bahwa bahwa di lambung bayi
terdapat susu. Hal ini menunjukkan bahwa bayi lahir hidup
dan sudah dirawat.

• Hasil pemeriksaan menunjukkan tanda kekerasan.

• Maka dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut meninggal


karena pembunuhan.

• Tidak dipilih infantisida karena bayi sudah ada tanda


perawatan (diberi susu, verniks kaseosa sudah tidak ada).
339. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
340. KELUARGA TIDAK MENYETUJUI
OTOPSI
• Pasal 134 ayat (1) KUHAP mengatur: Dalam hal sangat
diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban.

• Pasal 222 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja


mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
341. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
 Kontak seksual
 Riwayat penyakit menular seksual
 Multiple sexual partners
 IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi

• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID

• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard

• Gejala dan Tanda


– Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah,
nyeri goyang serviks

• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis

• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal

http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
342. Persalinan dengan Alat Bantu: Forceps
• Janin dilahirkan dengan tarikan cunam/ forceps di kepalanya
• Forceps/cunam: Logam, terdiri dari sepasang sendok (kanan-kiri)

INDIKASI KONTRA INDIKASI


• Ibu • Ibu
– Sama dengan ekstraksi vakum, – Sama seperti pada ekstraksi
hanya ibu sudah tidak mampu vakum
mengejan/ his tidak adekuat

• Janin • Janin
– Adanya gawat janin – Sama seperti pada ekstraksi
vakum
• Waktu
– Nullipara: 3 jam dengan anelgesi
lokal, 2 jam tanpa anelgesi lokal
– Multipara: 2 jam dengan anelgesi
lokal, 1 jam tanpa anelgesi lokal
EKSTRAKSI VAKUM VS EKSTRAKSI FORCEPS

KEUNGGULAN VAKUM KERUGIAN VAKUM

• Tehnik pelaksanaan relatif lebih • Proses persalinan


mudah membutuhkan waktu yang
• Tidak memerlukan anaesthesia lebih lama
general • Tenaga traksi pada ekstraktor
• Ukuran yang akan melewati vakum tidak sekuat ekstraksi
jalan lahir tidak bertambah cunam
(cawan penghisap tidak • Pemeliharaan instrumen
menambah ukuran besar ekstraktor vakum lebih rumit
bagian anak yang akan melwati • Ekstraktor vakum lebih sering
jalan lahir) menyebabkan icterus
• Trauma pada kepala janin relatif neonatorum
rendah
343. Jenis Abortus
344. Infeksi Puerpurium
• Merujuk kepada infeksi traktus genitalis setelah
melahirkan
• Puerperalis = periode 42 hari setelah kelahiran janin &
ekspulsi plasenta
• Mencakup:
– Endometritis, parametritis, salpingo-ooforitis, tromboflebitis
pelvis, peritonitis, selulitis perineum/vagina, hematoma
terinfeksi, dan abses luka
• Morbiditas nifas (demam saat nifas)  peningkatan suhu
oral hingga 38 C/lebih selama 2 hari dari 10 hari pertama
postpartum, terpisah dari 24 jam pertama
Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, EGC hal 364
Infeksi Puerpuralis: Perbandingan Klinis
TIPE C A K U PA N PEMERIKSAAN
Endometritis Infeksi pada endometrium dan kelenjar glandular Demam, lokia berbau, nyeri
perut bawah & pinggang

Metritis Infeksi pada endometrium + kelenjar glandular + Akut: serupa endometritis


Kronik: >> jaringan ikat 
lapisan otot uterus membesar
Parametritis Inflamasi pada parametrium (selulitis Nyeri unilateral, defans
muskular, infiltrat keras di
pelvika/ligamentum latum) dinding panggul, uterus
terdorong ke bagian sehat
Perimetritis Inflamasi pada lapisan serosa uterus (perimetrial) Pelveoperitonitis  gejala
salpingitis dll
345. PEB
346. Kehamilan Gemelli

• Kehamilan dengan
dua janin atau lebih

• Faktor yang
mempengaruhi:
– Faktor obat-obat
konduksi ovulasi,
faktor keturunan,
faktor yang lain belum
diketahui.
Kehamilan Gemelli: Diagnosis
Anamnesis
• Ibu mengatakan perut tampak lebih buncit dari seharusnya
umur kehamilan
• Gerakan janin lebih banyak dirasakan ibu hamil
• Uterus terasa lebih cepat membesar
• Pernah hamil kembar atau terdapat riwayat keturunan

Pemeriksaan Inspeksi dan Palpasi


• Kesan uterus lebih besar dan cepat tumbuhnya dari biasa
• Teraba gerakan-gerakan janin lebih banyak
• Banyak bagian-bagian kecil teraba
• Teraba 3 bagian besar janin
• Teraba 2 balotemen
Kehamilan Gemelli: Diagnosis
Pemeriksaan Auskultasi
• Terdengar dua denyut jantung janin pada 2
tempat yang agak berjauhan dengan perbedaan
kecepatan sedikitnya 10 denyut per menit

Ultrasonografi
• Terlihat 2 janin pada triwulan II, 2 jantung yang
berdenyut telah dapat ditentukan pada triwulan I
347. Superimposed Preeklamsia

Superimposed preeklampsia
- Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia
kandungan <20 minggu
- Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia
kehamilan <20 minggu

Eklampsia
- Kejang umum dan/atau koma
- Ada tanda preeklampsia
- Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi,
perdarahan subarachnoid, atau meningitis

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
348.
Kriteria teriminasi kehamilan pada PEB
349-350. Kista Pada Alat Reproduksi
Wanita
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah
vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara
kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula) Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks
diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit
menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai,
ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai
menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip
mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi
dan perdarahan.
Karsinoma Serviks Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-
benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal
menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami
nekrosis dan ulserasi.
Polip Serviks
• Tumor dari endoserviks  tumbuh berlebihan dan
bertangkai, ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh
• Tangkai dapat memanjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus
• Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan
polip mengalami peradangan
dengan metaplasia skuamosa
atau ulserasi dan perdarahan
• Tatalaksana: ekstirpasi massa
351. Korioamnionitis
• Etiologi dan Faktor Risiko
– Infeksi ascending dari vagina (IMS, BV)
– serviks pendek
– Persalinan prematur
– Persalinan lama
– Ketuban pecah lama
– Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang
– Alkohol
– Rokok
• Gejala dan Tanda
– Demam > 38 C (paling sering), takikardia ibu > 100 bpm, takikardia janin >
160 bpm, cairan ketuban/keputihan purulen atau berbau, nyeri fundus
saat tidak berkontraksi, leukositosis ibu > 15.000
• Bila terdapat 2 atau lebih gejala dan tanda diatas  risiko sepsis
neonatal >>>
http://emedicine.medscape.com/article/973237-medication
Korioamnionitis: Tatalaksana

• Bila diagnosis tegak  pikirkan terminasi


kehamilan

• Antibiotik  terutama yang dapat mencegah


GBS (Guillain-Barre Syndrome)

• Kortikosteroid pada kehamilan < 34 minggu

http://emedicine.medscape.com/article/973237-medication
Tatalaksana

• Rujuk pasien ke rumah sakit.


• Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g I tiap 6 jam
ditambah gentamisin 5 mg/kgBB I setiap 24 jam.
• Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara
persalinan:
– Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin
– Jika serviks belum matang: matangkan dengan prostaglandin
dan infus oksitosin, atau lakukan seksio sesarea
• Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika
setelah persalinan. Jika persalinan dilakukan dengan seksio
sesarea, lanjutkan antibiotika dan tambahkan metronidazol
500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam selama 48 jam.
352. Gangguan Proses Menyusui:
Inverted Nipple
• Suatu kondisi dimana putting
tertarik ke dalam payudara.
Pada beberapa kasus, puting
dapat muncul keluar bila di
stimulasi, namun pada kasus-
kasus lain, retraksi ini
menetap.

• Etiologi: kongenital
(pendeknya duktus laktiferus)

• Terapi:
– Massage dengan minyak zaitun
– Tarik perlahan dan jepit dengan
jari selama beberapa detik
– Menggunakan nipple shield
saaat menyusui
Diagnosis
• Grade 1
– Puting tampak datar atau masuk ke dalam
– Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola.
– Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
– Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.

• Grade 2
– Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas
– Terdapat kesulitan menyusui.
– Terdapat fibrosis derajat sedang.
– Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.
– Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos.

• Grade 3
– Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untuk
dikeluarkan.
– Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
– Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
– Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah
353. Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
•Kuretase dengan kuret tumpul 
seluruh jaringan hasil kerokan di
PA
•7-10 hari sesudahnya  kerokan
ulangan dengan kuret tajam, agar
ada kepastian bahwa uterus
betul-betul kosong dan untuk
memeriksa tingkat proliferasi sisa-
sisa trofoblas yang dapat
ditemukan
354. Atonia uteri
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion

355.Abortus
Tatalaksana
Abortus Inkomplit Abortus Komplit
• Evakuasi isi uterus (dengan jari atau • Tidak diperlukan evakuasi lagi.
AVM)
• Kehamilan > 16 minggu  infus 40 IU • Konseling untuk memberikan
oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau dukungan emosional dan
RL dengan kecepatan 40 tpm untuk
membantu pengeluaran hasil menawarkan KB pasca
konsepsi. keguguran.
• Evaluasi tanda vital pasca tindakan
setiap 30 menit selama 2 jam. Bila • Observasi keadaan ibu.
kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke
ruang rawat. • Apabila terdapat anemia
• Pemeriksaan PA jaringan sedang, berikan tablet sulfas
• Evaluasi tanda vital, perdarahan ferosus 600 mg/hari selama 2
pervaginam, tanda akut abdomen,
dan produksi urin/6 jam selama 24 minggu, jika anemia berat
jam. Periksa kadar hemoglobin setelah berikan transfusi darah.
24 jam. BIla hasil pemantauan baik
dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat • Evaluasi keadaan ibu setelah 2
diperbolehkan pulang.
minggu.
356. Ruptur uteri
• Ruptura uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat
terlampauinya daya regang miometrium. Pada bekas seksio sesarea,
risiko terjadinya ruptura uteri lebih tinggi.
• Diagnosis
– Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan
pervaginam
– Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah ruptura terjadi)
– Syok atau takikardia
– Adanya cairan bebas intraabdominal
– Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
– Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
– Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandl’s ring)
– Nyeri raba/tekan dinding perut
– Bagian-bagian janin mudah dipalpasi
Ruptur Uteri: Gejala & Penemuan Klinis
– Anamnesis & Inspeksi: Kesakitan, napas
dangkal & cepat,takikardia, muntah ec
rangsangan peritoneum, syok, kontraksi
uterus hilang, defans muskular

– Palpasi: Krepitasi pada kulit perut


(emfisema subkutan), teraba bagian
janin langsung dibawah kulit perut, nyeri
tekan perut, Ligamentum rotundum
teraba seperti kawat listrik

– Auskultasi: DJJ sulit terdengar/ tidak


terdengar

– Pemeriksaan Dalam: Robekan dinding


rahim teraba  teraba organ
Tatalaksana Umum
– Berikan oksigen.
– Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena
(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.
– Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan
plasenta.

Tatalaksana Khusus
– Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada
histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus
(histerorafi) . Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan
menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.
– Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin
diperlukan
357. PCOS
• Etiologi
– hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin

• Gejala PCOS
– Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur
– Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit
hamil (subfertile)
– Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota
badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme)
– Banyak jerawat
– kegemukan (obesitas)
– Pada USG ditemukan banyak kista
di ovarium
PCOS: Pemeriksaan
• Diagnosis USG
– Gambaran seperti roda
pedati
– 12 atau lebih folikel
terlihat jelas di satu
ovarium
– Ukuran satu atau
kedua ovarium
membesar
358. Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Amniotomy
• If the membranes are intact, there is a great
temptation, even during normal labor, to perform
amniotomy.
• The presumed benefits are more rapid labor, earlier
detection of meconium-stained amnionic fluid, and
the opportunity to apply an electrode to the fetus or
insert a pressure catheter into the uterine cavity for
monitoring.
• Importantly, the fetal head must be well applied to the
cervix and not be dislodged from the pelvis during the
procedure to avert umbilical cord prolapse
359. Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
360. Pelvic organ prolapse (POP)
• The herniation of the pelvic organs to or beyond the vaginal walls.Commonly used
terms to describe specific sites of female genital prolapse include:
• Anterior compartment prolapse – Hernia of anterior vaginal wall often associated
with descent of the bladder (cystocele)
• Posterior compartment prolapse – Hernia of the posterior vaginal segment often
associated with descent of the rectum (rectocele)
• Enterocele – Hernia of the intestines to or through the vaginal wall.
• Apical compartment prolapse (uterine prolapse, vaginal vault prolapse) – Descent
of the apex of the vagina into the lower vagina, to the hymen, or beyond the
vaginal introitus
– The apex can be either the uterus and cervix, cervix alone, or vaginal vault,
depending upon whether the woman has undergone hysterectomy. Apical
prolapse is often associated with enterocele.
• ●Uterine procidentia — Hernia of all three compartments through the vaginal
introitus.

• The terms anterior vaginal wall prolapse and posterior vaginal wall prolapse are
preferred to cystocele and rectocele because vaginal topography does not reliably
predict the location of the associated viscera in POP
POP
• Risk Factor :
– Advance age
– Parity
– Obesity
– Hysterectomy
– Family history
– Race and ethnicity
Cystocele
Symptoms
• In mild cases of anterior prolapse, you may not notice any
signs or symptoms. When signs and symptoms occur, they
may include:
• A feeling of fullness or pressure in your pelvis and vagina
• Increased discomfort when you strain, cough, bear down or
lift
• A feeling that you haven't completely emptied your bladder
after urinating
• Repeated bladder infections
• Pain or urinary leakage during sexual intercourse
• In severe cases, a bulge of tissue that protrudes through your
vaginal opening and may feel like sitting on an egg
Rectocele
• Posterior vaginal defects may be associated with:
– Rectocele (anterior protrusion of the rectum)
– Sigmoidocele (protrusion of the sigmoid colon)
– Enterocele (protrusion of the small bowel)
• risk factors:
– vaginal childbirth,
– advancing age, and
– increasing body mass index.
chronically elevated intra-abdominal pressure and collagen
vascular disease.
– The role of hysterectomy is unclear for posterior vaginal
defects, but may be involved in apical prolapse.
• Symptoms commonly associated with
posterior POP include:
– splinting,
– pelvic pressure,
– constipation,
– sexual dysfunction,
– fecal incontinence, and
– defecatory dysfunction
361. Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
•Kuretase dengan kuret tumpul 
seluruh jaringan hasil kerokan di
PA
•7-10 hari sesudahnya  kerokan
ulangan dengan kuret tajam, agar
ada kepastian bahwa uterus
betul-betul kosong dan untuk
memeriksa tingkat proliferasi sisa-
sisa trofoblas yang dapat
ditemukan
362. Pelvimetri klinis
• Tulang panggul terdiri atas:
– Os koksa (Os innominata, fusi dari
os ilium, ischium, dan os pubis)
– Os sakrum
– Os koksigis
• Secara fungsional, panggul terdiri
atas 2 bagian:
– Pelvis mayor (false pelvis)→
terletak diatas linea terminalis
– Pelvis minor (true pelvis) →
terletak di bawah linea terminalis.
Memiliki peran penting dalam
obstetri.
• Pintu atas panggung (PAP)
• Ruang panggul
• Pintu bawah panggul (PBP)
Pintu Atas Panggul
• PAP dibentuk oleh promontorium
korpus vertebrae sakral 1, linea
innominata (linea terminalis, dan
pinggir atas simfisis.
• 4 diameter pada PAP:
– Diameter anteroposterior/ true
conjugate/ konjungata vera→
diukur dari pinggir atas simfisis
pubis ke promontorium, ± 11cm
– Diameter transversa→ jarak
terjauh garis melintang pada PAP ±
12,5-13 cm
– 2 diameter oblikus→ garis dari
artikulasio sakro-iliaka ke titik
persekutuan antara diameter
transversa dan konjugata vera dan
diteruskan ke linea innominata
• Konjungata vera→ tidak dapat
diukur langsung dengan jari,
pengukuran dilakukan secara
tidak langsung (mengukur
konjugata diagonalis dengan jari
dimasukkan ke dalam vagina)
• Konjungata vera = konjungata
diagonalis - 1,5 cm
• Konjungata diagonalis→ jarak
bagian bawah simfisis sampai
promontorium
• Konjungata obstetrika→ jarak
tengah simfisis bagian dalam ke
promontorium. K. Obstetrika yang
paling (perbedaan dn K. Vera
sedikit sekali)
Ruang Panggul
• Ruang panggul dibawah PAP ukurannya paling
luas
• Di panggul tengah mengalami penyempitan
ukuran melintang setinggi spina ichiadika →
janin akan mengalami putaran paksi dalam
(untuk menyesuaikan diri)
• Jarak antara kedua spinia ischiadika ± 10 cm
363. Meconium in Amniotic Fluid
• Meconium is a thick, black-green, odorless material first
demonstrable in the fetal intestine during the third month of
gestation.
• Meconium results from the accumulation of debris, including
desquamated cells from the intestine and skin, gastrointestinal
mucin, lanugo hair, fatty material from the vernix caseosa, amniotic
fluid, and intestinal secretions.
• It contains blood group-specific glycoproteins and a small amount
of lipid and protein that decreases during gestation
• The black-green color results from bile pigments.
• Meconium is sterile  when aspirated into the lung, it may
stimulate the release of cytokines and other vasoactive substances
that lead to cardiovascular and inflammatory responses in the fetus
and newborn
Meconium passage
• Passage of meconium occurs early in the first trimester of pregnancy
• Fetal defecation slows after 16 weeks gestation and becomes infrequent
by 20 weeks, concurrent with innervation of the anal sphincter
• From approximately 20 to 34 weeks, fetal passage of meconium remains
infrequent
• Almost all fetuses and newborn infants who pass meconium are at term or
postterm gestation.
• Meconium passage may be caused by :
– increased peristalsis and relaxation of the anal sphincter due to increased
vagal outflow associated with umbilical cord compression or increased
sympathetic inflow during hypoxia
– In one study, fetuses that passed meconium prior to birth had higher motilin
levels in cord blood compared to those who did not  The higher levels of
motilin, a regulatory intestinal peptide, were thought to be related to
increased parasympathetic tone due to fetal hypoxia
364. Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis
yang selalu ada Kadang-kadang ada kemungkinan

•Uterus tidak berkontraksi dan lembek •Syok Atonia uteri


•Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

•Perdarahan segera •Pucat Robekan jalan


•Darah segar yang mengalir segera setelah bayi •Lemah lahir
lahir •Menggigil
•Uterus kontraksi baik
•Plasenta lengkap

•Plasenta belum lahir setelah 30 menit •Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
•Perdarahan segera (P3) berlebihan
•Uterus kontraksi baik •Inversio uteri akibat tarikan
•Perdarahan lanjutan

•Plasenta atau sebagian selaput (mengandung •Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap fundus tidak berkurang sebagian plasenta
•Perdarahan segera (kontraksi hilang-timbul)
365. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
Jenis Abortus
366. KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7
• Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba
sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka
inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen
& labia minora di dinding lateral trauma
posterior vagina
• Kebanyakan asimptomatik
367. Kehamilan Postterm (Serotinus)
• Definisi: kehamilan lewat waktu sebagai kehamilan usia ≥ 42 minggu
penuh (294 hari) terhitung sejak hari pertama haid terakhir. (WHO)
– Namun penelitian terkini menganjurkan tatalaksana lebih awal.

• Diagnosis :
– USG di trimester pertama (usia kehamilan antara 11-14 minggu) sebaiknya ditawarkan kepada
semua ibu hamil untuk menentukan usia kehamilan degan tepat
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 5 hari berdasarkan perhitugan hari pertama
haid terakhir dan USG, trimester pertama, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 10 hari berdasarkan perhitungan hari
pertama haid terakhir dan USG, trimester kedua, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Ketika terdapat hasil USG trimester pertama dan kedua, usia kehamilan ditentukan
berdasarkan hasil USG yang paling awal
– Jika tidak ada USG, lakukan anamnesis yang baik untukmenentukan hari
pertama haid terakhir, waktu DJJ pertama terdeteksi, dan waktu
gerakan janin pertama dirasakan Faktor predisposisi Riwayat kehamilan lewat waktu
sebelumnya
• 3-10 % kehamilan akan menjadi kehamilan
postterm.
• Kondisi ini terkait dengan resiko makrosomia,
oligohidroamnion, aspirasi mekonium, IUFD dan
sindrom dismaturitas.
• Etiologi :
– Kesalahan perhitungan usia kehamilan
– Overweight dan obesitas pada ibu
• Diagnosis :
– Penentuan HPHT yang tepat, USG rutin pada trimester
1 dan 2 kehamilan

Callahan T, Caughey A. Blueprints : obstetric and Gynecology 6th ed. Lipincot william wilkins 2013.
Tatalaksana Umum
• Sedapat mungkin rujuk pasien ke rumah sakit.
• Apabila memungkinkan, tawarkan pilihan membrane
sweeping antara usia kehamilan 38-41 minggu
setelah berdiskusi mengenai risiko dan
keuntungannya.
• Tawaran induksi persalinan mulai dari usia kehamilan
41 minggu.
• Pemeriksaan antenatal untuk mengawasi kehamilan
usia 41-42 minggu sebaiknya meliputi non-stress test
dan pemeriksaan volume cairan amnion.
• Bila usia kehamilan telah mencapai 42 minggu, lahirkan
bayi
Kehamilan usia terlalu tua
368. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
369
370. Makrosomia
• Definisi : bayi baru lahir dengan BB> 4000 g

• Diagnosis:
– Dengan taksiran berat janin baik dengan rumus
johnson ataupun USG
– Rumus Johnson untuk taksiran berat janin :
• BB janin (g) = tinggi fundus (cm) – n x 155
• n = 12 bila verteks belum lewat spina ischiadica
• n = 11 bila verteks lewat spina ischiadica
• Bila BB pasien > 91 kg, kurang 1 cm dari TFU
• Faktor predisposis • Tatalaksana
– Riwayat makrosomia – Untuk persalinan rujuk ibu ke
sebelumnya fasilitas yang dapat melakukan
– Orang tua bertubuh besar, SC
terutama obesitas pada ibu – Persalinan pervaginam dapat
– Multiparitas dicoba bila taksiran BB janin
– Kehamilan post term hingga 5000 g dengan ibu non
DM
– Usia ibu sudah tua – SC dipertimbangkan pada BBJ >
– Janin laki – laki 5000 g pada ibu non DM dan >
– Ras dan suku 4500 g pada ibu dengan DM
– SC diindikasikan bila taksiran
BBJ > 4500 g dan terjadi
perpanjangan kala II persalinan
atau terhentinya penurunan
janin di kala II persalinan
371. Prolaps Uteri
Definisi
•Penurunan uterus dari posisi anatomis yang seharusnya

•Insidens: meningkat dengan bertambahnya usia

Gejala dan Tanda


•Manifestasi klinis yang sering didapatkan adalah keluarnya massa dari
vagina dan adanya gangguan buang air kecil hingga disertai hidronefrosis
•Sitokel (BAK sedikit-sedikit, tidak tuntas, stres inkontinensia), rektokel
(konstipasi), koitus terganggu, leukorea (ec jongesti daerah serviks), luka
gesek pada portio, enterokel (rasa berat dan penuh pada panggul),
servisitis (bisa menyebabkan infertilitas), menoragia ec bendungan

Komplikasi
•Keratinasi mukosa vagina dan portio, ulkus dekubitus, hipertrofi serviks,
gangguan miksi & stres inkontinensia, ISK, infertilitas, gangguan partus,
hemoroid, inkarserasi usus
Classification of
Genitourinary Prolapse
• The Pelvic Organ Prolapse Quantification
(POPQ)by The international continence society. It
is based on the position of the most distal portion
of the prolapse during straining
– Stage O: no prolapse
– Satge 1 : more than 1 cm above the hymen
– Stage 2 : witihin 1 cm proximal or distal to the plane
of the hymen
– Stage 3 : more than 1 cm below the plane of the
hymen but protrudes no further than 2 cm less than
the total length of vagina
– Stage 4: there is complete eversion of the vagina
Treatment
• Treatment is indicated for women with symptoms of
prolapse or associated conditions (urinary, bowel, or
sexual dysfunction).
• Obstructed urination or defecation or hydronephrosis
from chronic ureteral kinking are all indications for
treatment, regardless of degree of prolapse .
• Treatment is generally not indicated for women with
asymptomatic prolapse
• atment is individualized according to each patient’s
symptoms and their impact on her quality of life
• Women with symptomatic prolapse can be managed expectantly,
or treated with conservative or surgical therapy.
• Both conservative and surgical treatment options should be
offered. There are no high quality data comparing these two
approaches.
1. Expectant management — Expectant management is a viable
option for women who can tolerate their symptoms and prefer to
avoid treatment.
2. Conservative management — Conservative therapy is the first
line option for all women with POP, since surgical treatment incurs
the risk of complications and recurrence:
– Pessarium, pelvic floor muscle excercise, esterogen therapy
3. Surgical treatment — Surgical candidates include women with
symptomatic prolapse who have failed or declined conservative
management of their prolapse. There are numerous surgeries for
prolapse including vaginal and abdominal approaches with and
without graft materials
372. Hemorrhagia Post Partum

Etiologi (4T dan I) • Palpasi uterus


• Tone (tonus) – atonia – Bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
uteri • Memeriksa plasenta dan ketuban:
• Trauma – trauma – lengkap atau tidak.
traktus genital • Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk
• Tissue (jaringan)- mencari :
– Sisa plasenta dan ketuban.
retensi plasenta
– Robekan rahim.
• Thrombin – – Plasenta suksenturiata.
koagulopati • Inspekulo :
• Inversio Uteri – untuk melihat robekan pada serviks, vagina
dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan laboratorium :
– periksa darah, hemoglobin, clot
observation test (COT), dan lain-lain.
Hemorrhagia Post Partum: Definisi

• Definisi Lama
– Kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan
pervaginam
– Kehilangan darah > 1000 mL setelah persalinan sesar
(SC)
• Definisi Fungsional
– Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk
menyebabkan gangguan hemodinamik
• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis
yang selalu ada Kadang-kadang ada kemungkinan

•Uterus tidak berkontraksi dan lembek •Syok Atonia uteri


•Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

•Perdarahan segera •Pucat Robekan jalan


•Darah segar yang mengalir segera setelah bayi •Lemah lahir
lahir •Menggigil
•Uterus kontraksi baik
•Plasenta lengkap

•Plasenta belum lahir setelah 30 menit •Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
•Perdarahan segera (P3) berlebihan
•Uterus kontraksi baik •Inversio uteri akibat tarikan
•Perdarahan lanjutan

•Plasenta atau sebagian selaput (mengandung •Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap fundus tidak berkurang sebagian plasenta
•Perdarahan segera (kontraksi hilang-timbul)
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis
yang selalu ada Kadang-kadang ada kemungkinan

•Uterus tidak teraba •Syok neurogenik Inversio uteri


•Lumen vagina terisi massa •Pucat dan limbung
•Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
•Perdarahan segera
•Nyeri sedikit atau berat

•Sub-involusi uterus •Anemia Perdarahan


•Nyeri tekan perut bawah •Demam terlambat
•Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Endometritis atau
Perdarahan sekunder atau P2S. Perdarahan sisa plasenta
bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau (terinfeksi atau
tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi) tidak)

•Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal •Syok Robekan dinding


dan / atau pervaginam •Nyeri tekan perut uterus (Ruptura
•Nyeri perut berat atau akut abdomen •Denyut nadi ibu cepat uteri
373. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Nausea in pregnancy
• the initial treatment approach involves counseling about dietary changes and
trigger avoidance.
• Ginger and/or pyridoxine or doxylamine-pyridoxine is added if symptoms do not
improve

Diet
• Meals and snacks
– Women with nausea should eat before, or as soon as, they feel hungry to avoid an empty
stomach, which can aggravate nausea
– A snack before getting out of bed in the morning and snacks during the night (eg, crackers
with peanut butter or cheese taken prior to bathroom trips) may be helpful.
– Meals and snacks should be eaten slowly and in small amounts every one to two hours to
avoid an overly full stomach, which can also aggravate nausea for some women
– Foods high in sugar may exacerbate symptoms.
– Women should determine what foods they tolerate best and try to eat those foods. Dietary
manipulations that help some women include eliminating coffee and spicy, odorous, high-fat,
acidic, and very sweet foods, and substituting snacks/meals that are protein-dominant, salty,
low-fat, bland, and/or dry (eg, nuts, pretzels, crackers, cereal, toast)
– Drinking peppermint tea or sucking peppermint candies may reduce postprandial nausea
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
374. Mastitis
• Inflamasi / infeksi payudara

Diagnosis
• Payudara (biasanya unilateral) keras,
memerah, dan nyeri
• Dapat disertai benjolan lunak
• Dapat disertai demam > 38 C
• Paling sering terjadi di minggu ke-3
dan ke-4 postpartum, namun dapat
terjadi kapan saja selama menyusui

Faktor Predisposisi
• Menyusui selama beberapa minggu setelah melahirkan
• Puting yang lecet
• Menyusui hanya pada satu posisi, sehingga drainase payudara tidak sempurna
• Bra yang ketat dan menghambat aliran ASI
• Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui
375. Ketuban Pecah Dini
• Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan
(sebelum onset persalinan berlangsung)
• PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan
< 37 minggu
• PROM (Premature Rupture of Membranes): usia
kehamilan > 37 minggu

• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa

• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban,


menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin
dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
376. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
377. Toksoplasmosis pada Kehamilan
• Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode
diagnostik primer
• Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun 
(+): indikasi infeksi pada suatu waktu lampau  uji IgM
• Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection)

• Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas


– IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan  tes ulang 2 minggu
kemudian dengan spesimen II
• Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG
(+) tinggi
• Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak
terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II  uji di lab lain yang
menggunakan metode tes berbeda untuk konfirmasi
– IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
Toksoplasmosis pada Kehamilan: Uji Aviditas
• Uji aviditas tinggi pada kehamilan usia 12-16:
menyingkirkan infeksi terjadi pada masa gestasi

• Uji aviditas rendah: belum tentu infeksi  dapat


akibat adanya persisten low IgG avidity dalam
beberapa bulan setelah infeksi

• Wanita hamil yang dicurigai terinfeksi harus diuji


ulang di lab lain
– Bila terdapat gejala yang sesuai tapi titer IgG rendah  uji
ulang 2-3 minggu kemudian  bila terdapat kenaikan titer:
infeksi toksoplasma (+)

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Algoritma Imunodiagnosis Toksoplasma

* Except Infant

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
378. Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar
penghasil mukus di
permukaan serviks
tersumbat epitel skuamosa

• Gejala & Tanda


– Berbentuk seperti beras
dengan permukaan licin

• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi

• Terapi: observasi ; Bila simptomatik  drainase


https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001514.htm
379-380. Ca ovarium
• Ovarian cancer is the leading cause of death from
gynecologic malignancy in the United States.
• In the United States each year, there are
approximately 22,000 new cases of ovarian
cancer and 14,000 cancer-related deaths
• Worldwide, the number of new cases of ovarian
cancer each year is approaching 250,000
• It is the seventh most common cancer in women,
and incidence rates are highest in developed
countries.
• The incidence of ovarian cancer increases with
age
Symptoms
• A symptom index has been developed to aid
clinicians in evaluating women for early
symptoms of epithelial ovarian cancer.
• The symptom index is considered to be positive if
a woman reports any of the following symptoms
that are (1) new to her within the past year and
occur more than 12 times per month :
– Pelvic or abdominal pain
– Increased abdominal size or abdominal bloating
– Difficulty eating or feeling full quickly
381. Taksiran usia janin
382. Eklamsia
• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya
epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan
meningitis)
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
383. Konseling KB
• Prinsip pelayanan kontrasepsi saat ini adalah memberikan kemandirian
pada ibu dan pasangan untuk memilih metode yang diinginkan.
• Pemberi pelayanan berperan sebagai konselor dan fasilitator, sesuai
langkah-langkah di bawah ini.
1. Jalin komunikasi yang baik dengan ibu
– Beri salam kepada ibu, tersenyum, perkenalkan diri Anda.
– Gunakan komunikasi verbal dan non-verbal sebagai awal interaksi
dua arah.
– Tanya ibu tentang identitas dan keinginannya pada kunjungan ini.
2. Nilailah kebutuhan dan kondisi ibu
– Tanyakan tujuan ibu berkontrasepsi dan jelaskan pilihan metode
yang dapat diguakan untuk tujuan tersebut.
– Tanyakan juga apa ibu sudah memikirkan pilihan metode tertentu.
384. Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis
yang selalu ada Kadang-kadang ada kemungkinan

•Uterus tidak berkontraksi dan lembek •Syok Atonia uteri


•Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

•Perdarahan segera •Pucat Robekan jalan


•Darah segar yang mengalir segera setelah bayi •Lemah lahir
lahir •Menggigil
•Uterus kontraksi baik
•Plasenta lengkap

•Plasenta belum lahir setelah 30 menit •Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
•Perdarahan segera (P3) berlebihan
•Uterus kontraksi baik •Inversio uteri akibat tarikan
•Perdarahan lanjutan

•Plasenta atau sebagian selaput (mengandung •Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap fundus tidak berkurang sebagian plasenta
•Perdarahan segera (kontraksi hilang-timbul)
Atonia uteri
385. Postpartum cervical laceration
• Risk factors for significant cervical lacerations
(ie, associated with excessive bleeding or
requiring repair) include:
– precipitous labor,
– operative vaginal delivery (vacum or forceps) and
– cerclage
– However, absence of such risk factors should not
preclude re-examination of the birth canal.
Treatment
• repair heavily bleeding vaginal and cervical
lacerations with a running locked #0 absorbable
suture.
• Exposure is facilitated by using a Gelpi retractor
 to spread the distal vaginal sidewalls
• Heaney or Breisky retractors to access the upper
vagina.
• If available, use of several assistants with Deaver
retractors placed laterally is also effective.
Maternal Effect of Anemia
• Obviously, severe anemia has adverse effects on the mother and the
fetus.
• Major maternal complications directly related to anemia are not common
in women with a hemoglobin level greater than 6 gr/dl.
• However, Hb levels even lower may lead to significant morbidity in
pregnant women, such as infections, increased hospital stays, and other
general health problems.
• In more severe cases, especially in pregnant women with hemoglobin
levels less than 6 gr/dl, significant life-threatening problems secondary to
high-output congestive heart failure and decreased oxygenation of tissues,
including heart muscle may be encountered.
• severe iron deficiency anemia or methemorragic anemia may be
presented by complications of pregnancy, such as placenta previa or
abruptio placenta, operative delivery and post partum hemorrhage.

Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Fetal Effect of Anemia
• effects the maternal anemia has on the fetus
are not well defined; however, several reports
in the literature associate the reduction in
hemoglobin level with prematurity,
spontaneous abortions, low birth weight, and
fetal death.

Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
386. Shoulder Dystocia
Definition
• impaction of anterior shoulder above symphysis
• inability to delivery shoulders by usual methods

Incidence
• 1 to 2 per 1000 deliveries
• 16 per 1000 deliveries of babies > 4000 g
Complications of Shoulder Dystocia
• Fetal/neonatal
- death
- asphyxia and sequelae
- fractures - clavicle, humerus
- brachial plexus palsy
• Maternal
- postpartum hemorrhage
- uterine rupture
Risk Factors
Risk factors are present in < 50% of cases
• post-term pregnancy
• maternal obesity
• fetal macrosomia
• previous shoulder dystocia
• operative vaginal delivery
• prolonged labour
• poorly controlled diabetes
Distosia Bahu: Faktor Predisposisi
387. Plasenta previa
• Plasenta yang berimplantasi di atas atau mendekati
ostium serviks interna. Terdapat empat macam
plasenta previa berdasarkan lokasinya, yaitu:
– Plasenta previa totalis – ostium internal ditutupi
seluruhnya oleh plasenta
– Plasenta previa parsialis – ostium interal ditutupi sebagian
oleh plasenta
– Plasenta previa marginalis – tepi plasenta terletak di tepi
ostium internal
– Plasenta previa letak rendah – plasenta berimplantasi di
segmen bawah uterus sehingga tepi plasenta terletak
dekat dengan ostium
Tatalaksana Plasenta Previa
Tatalaksana Umum
• PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
• Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
• Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
• Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
• Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Terapi Konservatif
• Agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.
• Syarat terapi ekspektatif:
– Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau
tanpa pengobatan tokolitik
– Belum ada tanda inpartu
– Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal)
– Janin masih hidup dan kondisi janin baik
• Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.
• Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.
• Berikan tokolitik bila ada kontraksi:
– MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3 x 20 mg/hari
– Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk
pematangan paru janin
• Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan.
• Pastikan tersedianya sarana transfusi.
• Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu dapat
dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Terapi aktif
• Rencanakan terminasi kehamilan jika:
– Usia kehamilan cukup bulan
– Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
– Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa
memandang usia kehamilan
– Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi
kepala pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam masih
dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea
• Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan
u

dari tempat plasenta:


– Jahit lokasi perdarahan dengan benang,
– Pasang infus oksitosin 10 unitin 500 ml cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit
– Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai,
seperti ligasi arteri dan histerektomi
388. Etiology of postpartum
pregnancy
• The majority of postterm pregnancies have no known etiology.
• One-third to one-half of the variation in postterm birth in a
population can be attributed to maternal or fetal genetic influence
on the initiation of parturition
• In rare cases, postterm pregnancy has been attributed to defects in
fetal production of hormones involved in parturition :
– For example, fetal disorders associated with placental sulfatase
deficiency (eg, X-linked ichthyosis) result in extremely low estriol levels
and other hormonal changes compared with normal pregnancies.
• Anencephaly, which results in absence or hypoplasia of the
hypothalamus and pituitary and adrenal hypoplasia, often results in
postterm pregnancy when polyhydramnios is absent (mean
gestational age at delivery: 311 days with no polyhydramnios versus
253 days with polyhydramnios
• Nulliparity
• Male fetus
• Obesity
• Older maternal age
• Maternal (and to a lesser extent paternal)
personal history of postterm birth
• Maternal race/ethnicity (non-Hispanic white
women are at higher risk than African-American,
Hispanic, and Asian women)
389. Polihidramnion
• Volume air ketuban lebih 2000 cc
• Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu

• Etiologi
– Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik

• Gejala
– Sering pada trimester terakhir kehamilan
– Fundus uteri ≥ tua kehamilan
– DJJ sulit didengar
– Ringan : sesak nafas ringan
– Berat : air ketuban > 4000 cc
– Dyspnoe & orthopnea
– Oedema pada extremitas bawah

• Diagnosis
– Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana
• Identifikasi penyebab
• Kronik hidramnion : diet protein ↑, cukup istirahat
• Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi
• Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
• Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis
• Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari
• Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik

• Komplikasi
– Kelainan letak janin
– partus lama
– solusio plasenta
– tali pusat menumbung dan
– PPH
– Prematuritas dan kematian perinatal tinggi

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO


390. Hepatitis
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks),
for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis
C from 15– 160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days
(mean, 5–6 weeks).
• The prodromal symptoms
– Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise,
arthralgias, myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza
may precede the onset of jaundice by 1–2 weeks.
– Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5
days before the onset of clinical jaundice.
• The clinical jaundice
– The constitutional prodromal symptoms usually diminish.
– The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right
upper quadrant pain and discomfort. Spleen may enlarge.
• During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but
usually some liver enlargement and abnormalities in liver biochemical
tests are still evident
• Diagnosis:
– Adanya infeksi kronik Hepatitis B ditentukan dengan hasil pemeriksaan
skrining HbsAg yang (+)
• Tatalaksana:
a. Tatalaksana Umum : Setiap ibu hamil perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg
pada trimester pertama kehamilannya.
b. Tatalaksana Khusus :
a. Bila ibu dengan HbsAg positif maka bayi diberikan suntikan HBIG 0,5 ml IM pada
lengan atas segera setelah lahir (dalam 12 jam kelahiran) dan vaksin hepatitis B
dengan dosis 0,5 ml (5 µg) IM pada lengan atas sisi lain pada saat yang sama kemudian
pada usia 1 bulan dan 6 bulan.
b. Bila ibu dengan HbsAg negatif maka bayi hanya diberikan vaksin hepatitis B 0,5 ml
(5 µg) pada usia ke-0, 1 bulan, dan 6 bulan
c. Tidak ada perbedaan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B pada bayi prematur
namun pemberian vaksinasi hepatitis B diberikan dalam empat kali pemberian
yaitu pada bulan ke-0, 1, 6, dan 8 bulan.
d. Tidak ada larangan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu HbsAg positif
terutama bila bayi telah divaksinasi dan diberi HBIG setelah lahir

Anda mungkin juga menyukai