Anda di halaman 1dari 22

Tatalaksana Asma Pada Anak Di Masa Pandemi COVID–19

Heda Melinda Nataprawira


KSM/Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Pajajaran – Rumah Sakit Hasan Sadikin

Pendahuluan
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID–19) yang disebabkan oleh infeksi Severe Acute Respiratory
Syndome Coronavirus 2 (SARS–CoV–2) telah menjadi sebuah pandemi dan berdampak pada
seluruh golongan usia. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa manifestasi klinis pada anak
lebih ringan sehingga sebagian besar studi berfokus pada populasi dewasa. Berbagai faktor risiko
yang berkaitan dengan mortalitas dan derajat keparahan COVID–19 pada populasi dewasa di
antaranya penyakit kronis, obesitas, keadaan imunosupresi, usia yang lebih tua serta keganasan.
Literatur faktor risiko COVID–19 pada anak masih terbatas.1,2
Infeksi COVID–19 bersifat multisistem, dengan predominasi kerusakan pada paru-paru.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) menjabarkan bahwa pasien dengan penyakit
paru kronis, termasuk asma sedang hingga berat atau asma yang tidak terkontrol memiliki risiko
lebih tinggi terjadinya COVID-19 yang berat. Data dari Amerika Serikat dan Inggris
menunjukkan asma sebagai salah satu komorbiditas. Perubahan dramatik selama pandemi yang
meliputi, perubahan lingkungan, keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, perubahan praktik
klinis, diantaranya minimalisasi prosedur yang menghasilkan aerosol, turut mengubah
tatalaksana asma pada anak selama masa pandemi COVID-19. Berbagai pedoman telah
dikeluarkan tentang tatalaksana pasien asma selama pandemi COVID–19 dari beberapa
organisasi internasional, termasuk Centers for Disease Control (CDC) 2020 dan Global
Initiative for Asthma (GINA) 20203-5
Pemahaman mengenai patogenesis COVID–19 pada asma anak dan interaksi antara COVID–
19 penting untuk diketahui sehingga tatalaksana asma selama pandemi COVID 19 dapat
memberikan luaran yang baik.

Risiko Covid-19 pada Anak dengan Asma


Pada pasien asma terjadi defisiensi respon antivirus. Studi menunjukkan bahwa produksi IFN £/ß
oleh sel epitel bronkial dan sel dendritik plasmasitoid (pDC) terganggu pada pasien asma.
Patologi ini mengakibatkan gangguan apoptosis dan peningkatan replikasi virus. Defisiensi IFN

1
berkorelasi kuat dengan viral load dan derajat keparahan dari eksaserbasi asma. Ikatan silang
immunoglobulin E (IgE) yang merupakan ciri khas penyakit alergi diketahui dapat mengurangi
respons kekebalan antivirus dengan menghilangkan respons IFN-α, mengurangi upregulasi Toll
like receptors-7 (TLR-7) dan mengganggu pematangan sel dendritik plasma. Sekalipun studi
eksperimental dilakukan pada sampel dengan etiologi agen penyebab eksaserbasi asma tersering
yaitu virus influenza atau rhinovirus, namun dapat disimpulkan respon antiviral pada pasien
asma secara umum terganggu. Defosforilasi dan deubikitinasi pada virus SARS-COV mampu
untuk menghambat sinyal IFN sehingga virus terlindung dari respon imun tubuh. 6
Eosinofil telah diketahui memiliki peran sentral dalam penyakit alergi, termasuk asma. Efek
potensial eosinofil pada infeksi COVID-19 masih diteliti lebih lanjut. Riset menunjukkan bahwa
eosinofil memiliki peran potensial dalam viral clearance dan pertahanan antivirus inang. Pada
riset in vitro telah menunjukkan bahwa neurotoksin turunan eosinofil (ribonuklease eosinofil)
mampu mengurangi infektivitas respiratory synctial virus (RSV), yang dapat diinhibisi dengan
inhibitor ribonuklease. Hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa eosinofil dapat
menargetkan pada genom RNA (ssRNA) singlestranded dari virus pernapasan (seperti pada
RSV) dengan sekresi ribonucleases. Eosinofil juga dapat diaktifkan melalui triger jalur
pensinyalan TLR-7, yang menyebabkan pembersihan RSV dan pembatasan disfungsi paru yang
disebabkan oleh virus. Kadar eosinophil yang tinggi diduga dapat memberikan perlindungan
terhadap infeksi sehingga didapatkan prevalensi rendah individu asma di antara pasien dengan
COVID-19.6

2
COVID-19 ASMA

Alergen
Mukus
Sel terinfeksi
Gambar 1. Interaksi antara COVID-19 dan asma
Keterangan: CTL = limfosit T sitotoksik; DC = sel dendritik; Ig = imunoglobulin; IL = interleukin; ILC-2
Efektor CTL Produksi
= kelompok 2 sel limfoid bawaan; pCTL = prekursor limfosit Inhalasi T sitotoksik;
mukus SARS-CoV-2 = sindrom
kortikosteroid
pernafasan akut coronavirus-2; Th0 = sel T naif;Sitokin Th1 = T helper 1 cell; Th2 = T helper 2 cell; Th17 = sel
proinflamasi
T helper 17; Treg = sel T regulator; TSLP = limfopoietin
Sitokin
stroma timus
6
Sumber: Liu Shuang, 2020
antiinflamasi

Makrofag
Setelah COVID-19 memasuki
Sel B selNeutrofil
inang, aktivasi sistem kekebalan tubuh bawaan
Makrofag Ribonukleosus
menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi (IL-6, TNF-α, dll.) yang merekrut sel-sel efektor
(neutrofil, makrofag, dll.) dan mengaktifkan pelepasan mediator
Eosinofilinflamasi sitokin. Pada respons
Sitokin Tipe-2

imun adaptif,
Ikatan
IgE-FccRI
sel penyaji antigen (APC), dalam hal ini sel dendritik mempresentasikan antigen
Basofil
COVID-19 ke sel-T, menyebabkan diferensiasi
Badaisel Th0 menjadi subset Th1, Th2, dan Th17. Sel-
Sitokin
(IL-6, TNF-α, dll)
T sitotoksik, sel natural killer dapat juga berpartisipasi dalam
Sel Mast
membunuh sel yang terinfeksi
virus. Sel ini masing-masing akan memediasi imunitas seluler dan humoral. Keseimbangan
Sel Plasma
Anti-IgE
antibodi
monoklonal Imunoterapi Anti-IgE
antibodi
Alergen
monoklonal
3
antara respon imun adaftif dan respon imun bawaan sangat penting dalam respons antivirus. Jika
respon imun adaptif kurang mampu untuk menghilangkan virus, maka respons imun bawaan
cenderung diperkuat, yang dapat menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi yang tidak
terkendali (yaitu, "badai sitokin"), yang berdampak pada derajat keparahan penyakit.6
Pada asma, paparan alergen dari lingkungan diambil oleh sel dendritik dan kemudian
dipresentasikan ke sel Th0. Dengan kehadiran IL-4, sel Th0 berdiferensiasi menjadi Th2 dan
menghasilkan sitokin Tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-13, dll.). IL-33, IL-25, dan Thymic Stromal
Lymphopietin (TSLP) juga berkontribusi terhadap akumulasi sitokin Tipe 2 melalui stimulasi
Type-2 Innate Lymphoid Cells (ILC2), dan mungkin bekerja pada sel dendritik. Semua ini
mengarah pada respons imun tipe 2 yang menyebabkan perubahan patofisiologis pada asma,
termasuk produksi IgE, eosinofilia lokal, produksi lendir, dan aktivasi sel efektor, seperti
eosinofil, basofil, dan sel mast.6
Respons imun tipe 2 dan terapi asma konvensional dapat memberikan efek perlindungan
potensial terhadap infeksi COVID-19. Beberapa sitokin tipe 2 dapat menghambat produksi
sitokin proinflamasi. Lendir yang melapisi epitel mungkin berfungsi sebagai barier fisik yang
menghalangi invasi virus. Ribonuklease yang merupakan neurotoksin yang dilepaskan oleh
eosinofil teraktivasi bekerja pada pembersihan virus. Penggunaan rutin kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dapat mengurangi peradangan saluran napas dini yang disebabkan oleh infeksi
virus, sementara sel-T regulator (Treg) yang diinduksi oleh imunoterapi alergen mungkin juga
menekan peradangan dan membatasi kerusakan jaringan dengan menurunkan regulasi induksi
dan proliferasi subset sel T lainnya. Pengobatan dengan antibodi monoklonal anti-IgE biasanya
memberikan manfaat pada asma melalui blokade pengikatan bentuk bebas IgE ke FcεRI
(reseptor afinitas tinggi IgE) pada sel efektor (seperti sel mast dan basofil). Anti-IgE antibodi
monoklonal memiliki efek sinergis pada terapi immuno alergen melalui penginduksian
perkembangan sel Treg. Selain itu, pengobatan dengan antibodi anti-IgE juga dapat
meningkatkan produksi IFNs melalui pencegahan cross-linking IgE-FcεRI pada sel dendritik.6

4
Peran Angiotensin Converting Enzym (ACE)2 pada Pasien Asma
Seri kasus besar yang terdahulu telah mengidentifikasi sejumlah faktor risiko untuk penyakit
COVID-19 yang berat, termasuk usia yang lebih tua, hipertensi, diabetes, penyakit
kardiovaskular, paparan tembakau, dan penyakit paru obstruktif kronis, dengan secara logis
mempertimbangkan bahwa banyak virus respiratorik yang dapat menyebabkan penyakit yang
lebih serius pada mereka yang memiliki penyakit saluran respiratorik kronis seperti asma.
Namun, asma dan alergi respiratorik belum diidentifikasi sebagai faktor risiko signifikan untuk
penyakit COVID-19 yang lebih berat dalam serangkaian kasus dari Cina. Laporan tersebut
memberikan mempertanyakan apakah fitur alergi dan / atau asma dapat dikaitkan dengan potensi
pengurangan keparahan pada penyakit COVID-19.12,13
Infeksi pelbagai virus respiratori adalah pemicu paling umum eksaserbasi asma pada anak dan
orang dewasa, namum riset epidemiologi dari pandemi COVID-19 di Cina tidak
mengidentifikasi asma sebagai faktor risiko terkait penyakit COVID-19.12,13
COVID-19 menggunakan ACE2 sebagai reseptor selulernya. Ekspresi ACE2 yang lebih
tinggi meningkatkan kerentanan secara in vitro terhadap infeksi COVID-19. Sebuah riset yang
mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi ekspresi gen ACE2 telah mengungkapkan bahwa
upregulasinya terkait dengan merokok, diabetes, dan hipertensi, yang semuanya berhubungan
dengan peningkatan keparahan penyakit COVID-19.13
Pada analisis histologis saluran respiratorik, ACE2 terdeteksi di trakea, bronkus utama dan
alveoli, dan terkadang juga di bronkus kecil. Hasil ini menunjukkan bahwa ACE2 terdapat pada
sel epitel di beberapa bagian saluran respiratorik, sehingga epitel trakea atau bronkial memiliki
kerentanan terhadap infeksi oleh COVID-19. Situs infeksi utama semacam ini dapat
memfasilitasi penyebaran virus ke alveoli, tempat kerusakan utama terjadi pada infeksi COVID-
19.14
Sebuah riset menyelidiki lokalisasi protein ACE2 di pelbagai organ manusia, diantaranya
terdapat pada mukosa oral dan hidung, nasofaring, paru-paru, lambung, usus kecil, usus besar,
kulit, kelenjar getah bening, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, dan otak. Temuan yang
paling luar biasa adalah ekspresi permukaan protein ACE2 pada sel epitel alveolar paru dan
enterosit dari usus kecil.15

5
Pada semua jenis sel yang diselidiki, pneumosit dan enterosit usus kecil secara konsisten telah
terbukti menjadi target infeksi COVID-19. Namun, respons seluler dan jaringan di situs ini
berbeda. Kemungkinan adanya reseptor seluler atau ko-reseptor lain dapat dipertimbangkan.16
Semua jaringan dan tipe sel lain yang mengekspresikan ACE2 dapat menjadi target potensial
infeksi COVID-19. Namun, sel-sel endotel, yang mengekspresikan ACE2 pada tingkat yang
lebih tinggi, belum terbukti terinfeksi oleh COVID-19. Ada juga bukti bahwa tipe sel tanpa
ekspresi ACE2 yang terdeteksi juga dapat terinfeksi oleh virus ini. Riset lebih lanjut pada model
kultur sel manusia baru telah mengindikasikan bahwa keberadaan ACE2 saja tidak cukup untuk
mempertahankan infeksi virus. Oleh karena itu, reseptor atau ko-reseptor virus lain mungkin
diperlukan dalam jaringan yang berbeda. Selain itu, interaksi antara COVID-19 dan sistem
imunologis atau limfoid masih harus diidentifikasi lebih lanjut. Jelas bahwa efek infeksi COVID-
19 berbeda pada jenis sel yang berbeda dan ada kemungkinan bahwa virus dapat menggunakan
reseptor yang berbeda, atau melibatkan pelbagai ko-reseptor, dalam sel yang berbeda ini.16
Pada pengamatan selama ini, muncul suatu hipotesis bahwa asma dan penyakit alergi lainnya
tidak menjadi faktor risiko penyakit COVID-19 yang berat yang mungkin disebabkan karena
berkurangnya ekspresi gen ACE2 dalam sel saluran respiratorik, dengan demikian mengurangi
kerentanan terhadap infeksi. Untuk menguji hipotesis ini, terdapat suatu riset yang memeriksa
apakah asma dan alergi respiratorik berhubungan dengan berkurangnya ekspreksi gen ACE2
dalam sel respiratorik dari 3 kelompok yang berbeda pada anak dan dewasa. Pada ketiga
penelitian, RNA total diekstraksi dari hidung atau sampel brush ephitelial saluran respiratori
bawah, dengan sekuensing RNA dilakukan secara independen untuk setiap studi. Biomarker
peradangan tipe 2 diperiksakan, termasuk fraksional nitrik oxide yang dihembuskan, kadar
eosinofil darah perifer, dan kadar IgE total, dievaluasi dengan menggunakan metode standar.13

6
Ekspresi ACE2 (log2)

(-) Asma (-) Asma (+) Asma (+) Asma (+) Asma (+) Asma (+) Asma (+) Asma
(-) IgE Sens (+) IgE Sens(-) IgE Sens(+) IgE Sens IgE Sens Tidak/Min IgE Sens Medium
IgE Sens Rendah IgE Sens Tinggi

Pengelompokan Asma / Atopi


Tingkat Kepekaan pada Asma
Gambar 2. Penurunan ekspresi ACE2 pada epitel nasal anak dengan sensitisasi alergi dan asma.
Ekspresi ACE2 menurun pada epitel hidung anak dengan sensitisasi alergi (Sens) dan asma alergi. A, tingkat
ekspresi ACE2 dalam nasal brush dari anak berusia 11 tahun pada kelompok URECA (Urban Environment and
Childhood Asthma) menurut diagnosis asma pada usia 10 tahun, dikotomi sebagai tidak (-) atau ya (+), dan lintasan
sensitisasi IgE pada usia 10 tahun, didikotomisasi sebagai tidak / minimal (tidak / min) peka IgE (-) atau peka-IgE
(+), menunjukkan tingkat ACE2 yang lebih rendah pada anak-anak dengan atopi dan asma atopik. B, ekspresi ACE2
pada anak URECA dengan asma, dibagi menurut tingkat kepekaan IgE dan menunjukkan tingkat ACE2 yang
semakin rendah sesuai dengan tingkat kepekaan IgE di antara anak dengan asma. Anak-anak dengan asma dan
sensitisasi IgE tertinggi memiliki yang tingkat ekspresi ACE2 terendah. Level ekspresi adalah perubahan log2. Yang
ditunjukkan adalah nilai median (horizontal), rentang interkuartil (kotak), dan rentang interkuartil 1,53 (whiskers).
FC yang dicantumkan adalah untuk non-log2-mentransformasikan nilai ekspresi untuk membantu dalam interpretasi
ukuran efek
Sumber: Jackson DC, 202013

Pada kelompok Urban Environment and Childhood Asthma (URECA), sensitisasi alergi
berbanding terbalik dengan ekspresi ACE2 di epitel hidung terlepas dari status asma. Pada anak
dengan asma, sensitisasi alergi sedang dan sensitisasi alergi yang tinggi dikaitkan dengan
penurunan yang semakin besar pada ekspresi ACE2 dibandingkan pada anak dengan asma tetapi
tidak / sensitisasi alergi minimal. Ekspresi ACE2 juga secara signifikan berbanding terbalik

7
dengan biomarker tipe 2, termasuk jumlah positif hasil tes IgE spesifik alergen, nitrat oksida
fraksional yang dihembuskan, dan ekspresi epitel nasal dari IL-13.13
Ekspresi ACE2 tidak berkorelasi signifikan dengan tingkat eosinofil darah perifer. Sebagai
catatan, 10 peserta melaporkan penggunaan kortikosteroid hidung pada saat pengambilan sampel
hidung, namun hal itu tidak terkait dengan perubahan pada ekspresi ACE2.13

Ekspresi ACE2 (log2)

Post paparan
alergen bronkial

Titik Waktu Pengumpulan Sampel

Gambar 2. Penurunan ekspresi ACE2 pada epitel nasal dan bronkial individu dengan alergi setelah
disensitisasi.
Ekspresi ACE2 menurun pada epitel nasal dan bronkial individu dengan alergi sesudah paparan alergen. A. Ekspresi
ACE2 menurun secara signifikan pada sampel nasal brush dari orang dewasa dalam kelompok dengan rinitis alergi
dan sensitisasi alergen kucing baik 8 jam setelah Nasal Cat Allergen (NAC) dan 8 jam setelah hari kedua
Environmental Exposure Chamber (EEC) (n = 24). B, Ekspresi ACE2 menurun secara signifikan pada sampel
bronchial epithelial brush dari orang dewasa dengan asma alergi 48 jam setelah paparan alergen bronkial segmental
(n = 23). Level ekspresi adalah perunahan log2. Yang ditunjukkan adalah nilai median (horizontal), rentang
interkuartil (kotak), dan1,53 rentang interkuartil (whiskers). FC yang dicantumkan adalah untuk nilai ekspresi
perubahan non-log2 untuk membantu dalam interpretasi ukuran efek.
Sumber: Jackson DC, 202013

8
Epitel Hidung Epitel Bronkial

Ekspresi ACE2 Ekspresi ACE2

Gambar 5. Stimulasi IL-13 menurunkan ekspresi ACE2 pada epitel nasal dan bronkial
Stimulasi IL-13 menurunkan ekspresi ACE2 pada epitel nasal dan bronkial. Stimulasi IL-13 pada sel epitel saluran
respiratori menurunkan ekspresi ACE2 dalam epitel hidung (FC 50,44; P 5 5.8E – 4; n 5 2 per kondisi) (A) dan
epitel bronkial (FC 5 0,80; P 5 5.1E-3; n 5 4 per kondisi) (B). Yang ditunjukkan adalah tingkat ekspresi rata-rata
(merah) dan titik-titik individual mewakili ulangan biologis
Sumber: Jackson DC, 202013

Pada model in vitro yang menilai efek IL-13, sitokin tipe 2 sangat terkait dengan asma alergi
pada ekspresi ACE2 dalam sel epitel saluran respiratorik. IL-13 secara signifikan mengurangi
ekspresi ACE2 di kedua hidung dan epitel bronkial. (Gambar 5) 13
Riset ini melaporkan bahwa alergi respiratorik dan eksposur alergen masing-masing terkait
dengan pengurangan yang signifikan ekspresi ACE2. Ekspresi ACE2 terendah didapat pada yang
memiliki tingkat kepekaan alergi dan asma yang tinggi. Namun, asma nonatopik tidak dikaitkan
dengan penurunan ekspresi ACE2. Mengingat bahwa ACE2 berfungsi sebagai reseptor untuk
COVID-19, riset mengarahkan pada mekanisme potensial mengurangi keparahan COVID-19
pada pasien dengan alergi respiratorik. Namun, ada kemungkinan bahwa faktor tambahan di luar
ekspresi ACE2 memodulasi respons terhadap COVID-19 pada individu dengan alergi, dan
penjelasan faktor-faktor ini juga dapat memberikan wawasan penting ke dalam patogenesis
penyakit COVID-19.13

9
Penting untuk dicatat bahwa data awal di Amerika Serikat menunjukkan tingkat asma yang
lebih tinggi pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk penyakit COVID-19 yang berat,
tetapi data tidak ditentukan apakah asma tersebut merupakan alergi, yang merupakan perbedaan
penting terhadap hasil riset sebelumnya. Data juga tidak menyebutkan potensi adanya
komorbiditas lain, seperti obesitas, yang telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penyakit
COVID-19. Modulasi ekspresi ACE2 oleh proses inflamasi tipe 2 perlu dievaluasi secara
komprehensif untuk mengetahui lebih lanjut peran regulasi imun tipe 2 pada patogenesis
COVID-19. Penjelasan lebih lanjut dari hubungan ini dapat mengidentifikasi strategi terapi baru
untuk lebih efektif mengendalikan pandemi ini.13

Perbedaan Asma dari COVID–19


Tumpang tindih presentasi klinis antara asma yang memburuk dan infeksi COVID–19 serta
peningkatan penyebaran pada komunitas menyebabkan berkurangnya kepastian terhadap dugaan
pasti suatu kasus COVID–19. Skrining untuk COVID–19 diperlukan, jika tersedia, pada pasien
asma yang datang ke perawatan medis dengan batuk yang memburuk atau sesak napas.3
Gejala COVID–19 bisa mirip dengan asma yang memburuk, atau eksaserbasi asma. Batuk
kering dan sesak napas, yang merupakan gejala umum pada asma, adalah salah satu gejala
COVID–19 yang paling umum muncul dalam serangkaian kasus anak yang dirawat di rumah
sakit di Cina.3,5,11
Demam merupakan gejala COVID–19 yang umum muncul yang dapat membantu
membedakan COVID–19 dari eksaserbasi asma, meskipun demam juga dapat muncul pada
eksaserbasi asma yang dipicu oleh virus. Gejala lain yang kurang umum pada COVID–19, lebih
banyak muncul pada populasi orang dewasa, yang dapat membantu membedakan COVID–19
dari asma, diantaranya mialgia, sakit kepala, faringitis, rhinorrhea, kehilangan indera penciuman
dan indera pengecapan, diare, mual dan muntah. Riwayat perjalanan, riwayat kontak dekat
dengan seseorang yang terinfeksi COVID–19, dan tidak adanya riwayat atopi sebelumnya pada
anak juga membantu membedakan keduanya.3,5,11

Tatalaksana Asma Selama Pandemi COVID–19


Selain beban COVID–19 saat ini, musim pancaroba merupakan waktu untuk eksaserbasi asma
akibat kemunculan alergi yang berkaitan dengan musiman, dan virus respiratorik lainnya. Cara

10
terbaik untuk mencegah eksaserbasi adalah penggunaan obat yang tepat secara konsisten untuk
mengendalikan asma, seperti kortikosteroid inhalasi dan / atau montelukast, sehingga anak harus
tetap menggunakan obat asma yang sedang mereka gunakan selama pandemi COVID–19.
Rekomendasi ini didukung oleh berbagai organisasi internasional. Dianjurkan agar pasien tidak
turun jenjang (step down) obat pengontrol apa pun selama masa pandemi ini, kecuali jelas
menguntungkan dari sudut pandang individu, dengan pertimbangan keseimbangan antara
manfaat dan bahaya. Rekomendasi lain untuk mempertahankan kontrol asma yang utama adalah
menghindari pemicu asma yang diketahui seperti aeroallergens, sering mencuci tangan, menjaga
jarak fisik, dan meninjau teknik penggunaan inhaler secara teratur. Jika terjadi eksaserbasi, anak
harus dibawa ke fasilitas kesehatan, dimana hal ini akan menempatkan mereka pada peningkatan
risiko terkena infeksi COVID–19 selama pandemi ini.3,5,17
Beberapa terapi biologis, seperti omalizumab (anti-IgE) dan mepolizumab (anti-IL5),
disetujui untuk digunakan pada asma sedang hingga berat pada remaja. Rekomendasi saat ini
untuk remaja yang menggunakan obat-obatan ini adalah melanjutkan penggunaannya. Tidak ada
bukti saat ini bahwa penggunaan obat-obatan ini meningkatkan risiko infeksi COVID–19 atau
morbiditas.3,5
GINA 2020 menyarankan bahwa orang dengan asma harus terus menggunakan obat kontrol
asma inhalasi mereka termasuk Inhaled Corticosteroids (ICS) selama epidemi COVID–19.
Terapi biologis harus digunakan pada pasien asma berat untuk membatasi kebutuhan Oral
Corticosteroids (OCS) sebanyak mungkin.5
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (AAAAI) menyatakan bahwa tidak
ada bukti yang menunjukkan respons kekebalan tubuh terhadap COVID–19 akan terganggu pada
pasien asma yang diobati dengan anti-IL5 (anti-IL5Ra), anti-IL4 / IL13, atau obat anti-IgE. 18
Dengan tidak adanya data yang mengindikasikan potensi bahaya, maka akan masuk akal untuk
melanjutkan pemberian terapi biologis pada pasien yang terapinya ditunjukkan dengan jelas dan
telah dikaitkan dengan efikasi. AAAAI menekankan untuk pemilihan obat yang dapat diberikan
di rumah untuk pemberian terapi biologis yang sesuai, untuk mengurangi risiko kehilangan satu
atau beberapa dosis. Namun demikian, beberapa pasien mungkin masih memerlukan interaksi
tatap muka langsung untuk administrasi terapi biologis.18
American College of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI) merekomendasikan bahwa
pasien dengan asma tetap menggunakan obat-obatan mereka, karena tidak satu pun dari obat-

11
obat tersebut, termasuk kortikosteroid dan agen biologis yang dihirup, telah terbukti
meningkatkan risiko terinfeksi COVID–19. Tidak ada informasi saat ini bahwa agen biologis
(untuk asma berat) harus dihentikan. Pasien asma yang berat ini dapat memiliki peningkatan
risiko untuk infeksi COVID–19, dan kontrol optimal dari kondisi kronis mereka adalah hal yang
paling penting.18
European Respiratory Society (ERS) dan European Lung Foundation (ELF) memberikan
rekomendasi mereka tentang anti IL5s. Namun, tidak ada informasi yang diberikan pada produk
lain termasuk dupilumab atau omalizumab. Saran yang diberikan adalah: “untuk tidak
menghentikan atau memodifikasi pemberian obat asma karena kekhawatiran tentang COVID–19,
karena hal tersebut dapat menghambat kontrol asma. Anti-IL5 tidak meningkatkan risiko
terinfeksi COVID–19, dan melanjutkan penggunaannya secara teoritis dapat mengurangi risiko
serangan asma jika terjangkit virus”.18
Perkumpulan organisasi nasional lainnya, seperti British Thoracic Society (BTS)
merekomendasikan untuk melanjutkan terapi biologis, dan mereka juga menyoroti perlunya
upaya transisi (dari klinik ke perawatan rumah). Pusat pelayanan kesehatan harus mengatur
untuk mempromosikan pemberian agen biologik berbasis rumah, dan pasien harus disarankan
untuk melanjutkan perawatan mereka.18
Jika seorang anak menggunakan obat pereda asma nebulisasi, maka harus dialihkan ke dalam
bentuk inhaler dosis terukur (metered-dose inhaler/MDI) atau inhaler serbuk kering (dry powder
inhaler/DPI) sediaan turbuhaler atau diskus untuk setiap keadaan. Nebulisasi meningkatkan
risiko deposisi virus pada bagian paru yang lebih rendah. Nebulisasi juga meningkatkan risiko
penularan infeksi baik karena merangsang refleks batuk, juga karena menghasilkan volume
aerosol pernapasan yang tinggi yang dapat didorong pada jarak yang lebih jauh daripada pola
dispersi alami. Tercatat dalam riset baru-baru ini, secara signifikan bahwa terdapat kemungkinan
pada terapi nebulisasi pasien dengan infeksi COVID–19 dapat mentransmisikan virus corona
pada individu yang rentan. Satu-satunya alasan yang mungkin untuk seorang anak menggunakan
nebulisasi di rumah selama pandemi COVID–19 adalah karena respons yang buruk terhadap
MDI/spacer, anak yang tidak kooperatif atau tidak dapat mengikuti arahan yang diperlukan
untuk penggunaan MDI.3,5,17
Berikut merupakan pedoman sementara yang dikeluarkan GINA 2020 untuk menejemen
asma selama pandemi COVID–19, yaitu : 5

12
1. Menyarankan pasien asma untuk terus melanjutkan terapi obat asma yang diresepkan,
terutama obat kortikosteroid inhalasi, dan kortikosteroid oral jika diresepkan.
2. Memastikan bahwa semua pasien memiliki Rencana Aksi Asma (RAA) / Asthma Action
Plan (AAP) yang tertulis.
3. Jika memungkinkan, hindari penggunaaan nebulisasi karena resiko transmisi infeksi kepada
pekerja tenaga kesehatan dan pasien lain.
4. Menghindari penggunaan spirometer pada pasien yang terkonfirmasi atau dicurigai COVID–
19.
5. Mengikuti rekomendasi kontrol infeksi jika harus melakukan prosedur yang menghasilkan
aerosol.
6. Mengikuti kebijakan kesehatan lokal, diantaranya strategis kebersihan dan penggunaan alat
pelindung diri.
Rekomendasi GINA terbaru 2020 pada tatalaksana asma ringan tidak lagi menggunakan
terapi beta agonis kerja pendek/short acting beta-2 agonis (SABA) tunggal tanpa kortikosteroid
inhalasi/inhaled corticosteroid (ICS). Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi risiko pasien dari
serangan asma berat, karena penggunaan SABA tunggal yang sering dapat meningkatkan risiko
eksasebasi dan penurunan fungsi paru.5
Tatalaksana non medikamentosa meliputi program komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
merupakan unsur yang sangat penting pada tatalaksana asma. Penerapan program KIE dimulai
saat pertama kali diagnosis ditegakkan dan berlangsung terus menerus dan terintegrasi kedalam
setiap langkah tatalaksana asma. Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam
bentuk Rencana Aksi Asma (RAA). Rencana ini berisi tentang instruksi kapan meningkatkan
dosis pengobatan, bagaimana caranya, lamanya pengobatan dinaikan, serta penentuan kapan
harus mencari pertolongan medis. Penghindaran pencetus asma merupakan bagian penting dari
tatalaksana asma. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, akibat kegagalan dalam
farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari faktor pencetus.5,7
Kondisi pandemik COVID–19 menuntut untuk dilakukan konsultasi secara online.
Mengingat risiko konsultasi tatap muka, kontak ini sekarang sering dilakukan melalui
telemedicine. Ruang lingkup dari telemedicine dalam pengelolaan anak asma, yaitu terutama
pada tindak lanjut pasien. Kepatuhan dan teknik seorang anak dapat diperiksa dan diperbaiki
melalui konferensi video, dan pendidikan kesehatan tentang rencana aksi asma untuk

13
memburuknya gejala. Hal ini dapat mengurangi kunjungan ke fasilitas kesehatan yang tidak
mendesak.1,4,19,20

Terapi Eksaserbasi Asma Selama COVID–19


CDC dan WHO telah merekomendasikan untuk tidak menggunakan OCS sebagai pengobatan
untuk COVID–19. Rekomendasi ini didasarkan pada pengalaman terhadap influenza, SARS-
CoV, dan Sindrom Respiratorik Timur Tengah (MERS-CoV), dimana penggunaan OCS
menyebabkan replikasi virus yang berkepanjangan dan dikaitkan dengan pembersihan virus yang
berkepanjangan, peningkatan tingkat komplikasi, peningkatan risiko penggunaan ventilasi
mekanik dan peningkatan tingkat kematian yang lebih tinggi. Selain itu, terapi OCS
meningkatkan risiko infeksi nosokomial dan infeksi sekunder. Namun, terdapat perbedaan antara
penggunaan OCS sebagai terapi untuk COVID–19 dan penggunaan OCS sebagai pengobatan
pada eksaserbasi asma. Eksaserbasi asma harus diterapi secara agresif dan sesuai dengan
rekomendasi pedoman saat ini. Berbagai organisasi nasional dan internasional seperti GINA
2020 merekomendasikan penggunaan OCS sesuai kebutuhan, dan sesuai dengan rencana terapi
asma pada anak selama COVID–19.3,4,21
Penggunaan obat-obatan nebulisasi sangat tidak dianjurkan dalam seting pelayanan kesehatan
karena risiko penularan infeksi ke pasien rentan lainnya. Jika nebulisasi digunakan, maka
diperlukan alat pelindung diri (APD) yang tepat. Harus dipertimbangkan juga bahwa droplet
virus nebulisasi dapat bertahan di udara selama berjam-jam.3
GINA 2020 memberikan rekomendasi pada tatalaksan eksaserbasi asma ringan atau sedang
dengan menggunakan SABA pressurized meter dose inhaler (pMDI) dengan spacer 4–10 kali
semprot, diulang tiap 20 menit sampai 1 jam, dan menggunakan steroid sistemik.1,5,17
Untuk setiap anak dengan asma yang memiliki gejala progresif atau perburukan, maka
protokol skrining COVID–19 harus dilakukan untuk membantu menentukan tingkat risiko dan
menilai kebutuhan untuk tes terhadap COVID–19 di fasilitas yang sesuai.3
Pada anak yang dirawat di rumah sakit dengan eksaserbasi asma baik terdiagnosa atau diduga
terkait dengan COVID–19 yang mengalami progresifitas, mungkin dapat dipertimbangkan untuk
menggunakan salah satu agen terapi COVID–19 pada dewasa seperti hidrokloroquin atau
antiviral seperti remdesivir. Saat ini belum ada data tentang keamanan dan kemanjuran agen ini
pada anak, sehingga penggunaannya sesuai kebijakan rumah sakit. Meskipun dosis obat ini pada

14
remaja mungkin mirip dengan orang dewasa, namun penyesuaian yang tepat untuk anak di
bawah 12 tahun masih harus ditetapkan.3

Efek Terapi Kortikosteroid dan Terapi Biologis Pada Infeksi COVID–19


Pedoman asma saat ini menganjurkan terapi dengan kortikosteroid sistemik pada eksaserbasi
akut. Eksaserbasi asma berhubungan dengan peningkatan inflamasi saluran respiratorik yang
menyebabkan peningkatan gejala respiratorik. Kortikosteroid adalah agen imunosupresif yang
mengurangi gejala ini untuk meningkatkan pemulihan klinis. Sebaliknya, pedoman terbaru dari
WHO menyarankan agar tidak menggunakan kortikosteroid jika dicurigai COVID–19, walaupun
dengan catatan dipertimbangkan adanya asma atau COPD yang mendasari. Rekomendasi
penghindaran telah dirumuskan berdasarkan data sebelumnya yang menunjukkan bahwa,
meskipun berpotensi memberikan efek antiinflamasi, kortikosteroid (inhalasi atau sistemik)
dapat merusak respons protektif imun bawaan antivirus dengan menghambat produksi interferon
antivirus mediator tipe I dan III yang penting. Hal ini telah ditunjukkan dalam berbagai studi
pada manusia dan hewan in vitro dan in vivo untuk beberapa virus yang berhubungan dengan
asma termasuk rhinovirus, influenza dan virus syncytial respiratori (RSV). Efek ini memicu
peningkatan replikasi virus dan meningkatkan patologi yang disebabkan oleh virus termasuk
hipersekresi lendir dan infeksi bakteri sekunder. Selain itu, riset pada pasien dengan infeksi
coronavirus lainnya (mis. SARS CoV-1, MERS-CoV) telah menunjukkan bahwa kortikosteroid
meningkatkan viraemia dan memperlama waktu pembersihan virus tanpa ada bukti manfaat
klinis. Efek merugikan serupa diasumsikan terjadi pada penggunaan kortikosteroid dalam
konteks COVID–19.11,20,21
Asma dikaitkan dengan penurunan respons interferon terhadap infeksi virus. Pada konteks
penyakit virus yang berlebihan, penghambatan interferon lebih lanjut oleh kortikosteroid dalam
keadaan yang sudah kurang baik sebelumnya dapat memiliki konsekuensi yang buruk. Namun,
beberapa bukti lain pada asma menunjukkan bahwa pada kasus eksaserbasi asma memiliki
patogenesis unik yang merupakan suatu sindrom terkait dengan peningkatan peradangan tipe 2,
suatu fitur penyakit yang diketahui secara langsung menghambat kekebalan antivirus.
Kortikosteroid, melalui efek supresinya pada peradangan tipe 2, cenderung mengembalikan
kekebalan antivirus yang rusak pada asma, berbeda dengan subyek non-asma, sehingga memiliki
efek klinis yang bermanfaat dalam konteks infeksi COVID–19. 11,20,21

15
Peningkatan peradangan sel Th2 muncul pada sebagian besar subyek asma dan ditambah pada
infeksi virus. Sputum eosinofilia berkorelasi negatif dengan gangguan induksi IFN pada sel asma
yang dikultur, dan mediator Th2 (IL-4, IL-13) dapat secara langsung menghambat produksi
epitel IFN tipe-I. IFN-α juga dapat menekan polarisasi sel Th2 dalam model kultur sel T
sehingga melemahkan ekspresi IL-4, IL-5 dan IL-13. Riset yang dilakukan pada tikus yang
kekurangan reseptor IFN tipe I telah menunjukkan peningkatan eosinofilia paru dan peradangan
tipe 2 dalam menanggapi infeksi influenza. Namun, ketika kortikosteroid digunakan untuk
menekan peradangan tipe 2, penggunaan dalam konteks COVID–19, maka eksaserbasi terkait
dapat mengarah pada efek menguntungkan dari restorasi sekunder imunitas antivirus yang
terganggu (lihat Gambar 7). Hal ini ditunjukan oleh riset sebelumnya yang menunjukkan bahwa
budesonide inhalasi tidak mengganggu infiltrasi sel T CD8+ ke dalam epitel bronkial setelah
infeksi rhinovirus eksperimental pada pasien asma, bertentangan dengan efek supresi
kortikosteroid pada sel T yang diamati tanpa adanya peradangan Th2 yang sudah ada
sebelumnya. Dengan demikian, dalam sebuah riset baru-baru ini tentang temuan otopsi
histopatologis dari pasien non-asma dengan COVID–19 yang diobati dengan kortikosteroid
sistemik, terdapat penekanan jumlah sel CD8+ pada darah tepi.11
Paru Non-Asma Paru Asma

↑replikasi virus ↓replikasi virus

↓pelepasan Inflamasi ↑pelepasan


interferon tipe-I interferon tipe-I
Tipe 2

Terapi
Kortikosteroid
Infeksi Infeksi
SARS-CoV2 SARS-CoV2

Gambar 7. Perbedaan efek terapi kortikosteroid pada subyek asma dan non-asma yang terinfeksi
COVID–19
Sumber: Sankar J dan Dhochak N, 202011

16
Terapi biologik seperti anti IL-5 memiliki efek utama yang menargetkan pada penurunan
eosinofil. Dengan demikian, apakah eosinofil atau produk yang dihasilkan eosinofil (terutama
melalui mekanisme T2) memiliki peran dalam memodifikasi kerentanan, keparahan, kekebalan,
atau resistensi terhadap infeksi virus. Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti apakah
eosinofil berperan penting secara mekanis pada infeksi COVID–19.18
Bukti objektif peningkatan inflamasi tipe 2 dapat dipastikan dengan adanya bronkokonstriksi
(akibat mediator tipe 2, khususnya IL–13, yang merupakan pendorong utama hiperresponsivitas
jalan napas) atau dengan pengukuran biomarker objektif inflamasi tipe 2 seperti eosinofil darah.
Hal yang menarik, dalam seri kasus hingga saat ini, infeksi COVID–19 tampaknya dikaitkan
dengan eosinofil darah rendah. Hipotesis selanjutnya untuk dieksplorasi adalah apakah kehadiran
eosinofil yang normal atau meningkat pada pasiem asma yang terinfeksi COVID–19 dapat
mencerminkan proses inflamasi tipe 2 yang dapat digunakan sebagai penanda biologis untuk
terapi kortikosteroid. Meskipun steroid sistemik sangat efektif pada penyakit eosinofilik,
eksaserbasi penyakit saluran napas bersifat heterogen dan eksaserbasi virus juga dapat ditandai
dengan peradangan neutrofilik yang biasanya kurang responsif terhadap steroid. Saat ini masih
belum jelas apakah penundaan steroid aman pada pasien dengan jumlah eosinofil darah yang
rendah, meskipun riset yang membahas pertanyaan ini masih diperlukan. Selain itu, data awal
menunjukkan bahwa fokus utama patologi paru pada COVID-19 mungkin pada parenkim
daripada saluran respiratotik dengan dilaporkan adanya bukti kerusakan alveolar difus,
deskuamasi pneumosit dan infiltrat inflamasi mononuklear interstitial.11
Pertanyaannya berikutnya adalah apakah penekanan terhadap mekanisme yang berkaitan
dengan T2 bermanfaat atau berbahaya pada kerentanan atau perkembangan COVID–19 melalui
efek pada ACE2 dan pada enzim TMPRSS2. Terdapat beberapa bukti bahwa pada terapi inhalasi
kortiksteroid dikaitkan dengan pengurangan ekspresi gen ACE2 dan TMPRSS2 dari dahak. Data
ini dapat menyiratkan bahwa obat lain yang menghambat fungsi kekebalan tubuh seperti anti-IL-
6 dapat menjadi target terapi untuk infeksi COVID-19.10,18,22
Hal ini merupakan pemahaman tahap awal tentang bagaimana COVID–19 memengaruhi
pasien dengan penyakit respiratorik kronis seperti asma, dan strategi manajemen yang optimal
masih perlu ditentukan dan disempurnakan. Namun, kontraindikasi terhadap kortikosteroid yang
sedang diadvokasi untuk pasien yang terinfeksi COVID–19, sebagian besar didasarkan pada
kurangnya efikasi dalam mengobati penyakit COVID–19, daripada adanya bukti yang

17
merugikan. Hal ini harus diseimbangkan dengan efikasi yang terbukti dalam mengurangi gejala
asma dan risiko kekambuhan pada pasien dengan asma, terutama terhadap bukti pada
peradangan tipe 2 yang meningkat dimana penggunaan kortikosteroid dapat mengembalikan
kekebalan antivirus dan memberi manfaat.11,20,21
Manajemen pasien dengan asma berat selama pandemi COVID–19 merupakan suatu
tantangan, terutama yang menggunakan terapi kortikosteroid maupun terapi biologik seperti anti-
IgE antibodi monoclonal dan anti-IL yang menargertkan pada respon imun tipe-2. Pada keadaan
terinfeksi COVID–19, maka terapi asma yang sedang dijalankan tetap harus dipertahankan
walaupun saat infeksi sedang aktif.18
Keputusan untuk mengobati pasien asma yang terinfeksi COVID–19 akan memerlukan
pertimbangan yang cermat berdasarkan basis per-pasien. Riset di masa depan harus fokus pada
karakterisasi imunopatologi eksaserbasi asma terkait COVID–19 termasuk sejauh mana
peningkatan peradangan tipe-2 mendorong patologi. Hal ini akan memfasilitasi penentuan
pendekatan optimal untuk manajemen pasien.11,20,21

Simpulan
COVID-19 memiliki dampak terhadap pada penyakit kronis terkait dalam hal perubahan
tatalaksana. Risiko morbiditas dan mortalitas dari asma pada pasien dengan COVID-19 masih
kontradiktif. Gejala eksaserbasi asma akut dan COVID-19 seringkali tumpeng tindih sehingga
menjadi tantangan tersendiri untuk membedakan kedua penyakit tersebut. Penggunaan obat-obat
kortikosteroid inhalasi atau LTRA dianjurkan oleh CDC dan GINA untuk kontrol pada anak
dengan asma selama masa pandemi. Anak dan remaja dengan asma juga direkomedasikan untuk
menghindari aeroallergen, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dan pemahaman yang tepat
penggunaan Teknik inhaler. Pengobatan eksaserbasi asma dapat mencakup kortikosteroid oral
jika diperlukan. Manajemen asma selama masa pandemi COVID–19 ini penting dilakukan untuk
penghindaran risiko terhadap kekambuhan dan paparan terhadap infeksi COVID–19.
Penggunaan alat yang dapat memicu aerosol, seperti nebulisasi atau spirometer sangat tidak
dianjurkan bagi penderita asma selama masa pandemic COVID-19.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

1. Abrams EM, Szelfer SD. Managing asthma during coronavirus Disease-2019: an example for
other chronic conditions in children and adolescents. J Pediatr. 2020;222: 221–6.
2. Rodriguez JA, Forno E. Asthma and COVID-19 in children - a systematic review and call for
data. Pediatr Pulmonol. 2020. Tersedia dari :doi : 10.1002/ppul.24909 
3. Licari A, Votto M, Brambilla I, Castagnoli R, Piccotti E, et al. Allergy and asthma in
children and adolescent during COVID outbreak: what we know and how we could prevent
allergy and asthma flares.  Eur J Allergy Clin Immunol.2020. Tersedia dari:
doi:10.1111/all.14369
4. Oreskovic MN, Kinane B, Aryee E, Kuhlthau KA, Perrin JM. The Unexpected Risks of
COVID-19 on Asthma Control in Children. J Allergy Clin Immunol.2020. Tersedia dari:
doi : https://doi.org/10.1016/j.jaip.2020.05.027.
5. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention.
Fontana, USA: Global Initiative for Asthma; 2020. [diunduh 5 Mei 2020]. Tersedia dari:
http://www.ginasthma.org/
6. Liu Shuang, Zhi Yuxiang, Ying Sun. Covid-19 and asthma: reflection during the pandemic.
Clin Rev Allerg Immunol. 2020. Tersedia dari: doi: 10.1007/d12016-020-08797-3.
7. Kumar K, Hinks TSC, Singanayagam A. Treatment of COVID-19-exacerbated asthma:
should systemic corticosteroid be used?.Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.
2020;318:1244–7.
8. Morais-Almeida M, Bousquet J. COVID-19 and asthma: to have or not to have T2
inflammation makes a difference?. Pulmonol. [preprint] 2020. [diunduh 13 Mei 2020].
Tersedia dari: doi: 10.1016/j.pulmoe.2020.05.003.
9. Jackson DJ, Busse WW, Bacharier LB, Kattan M, O’Connor GT, Wood RA. Association of
respiratory allergy, asthma, and expression of the SARS-CoV-2 receptor ACE2 . J Allergy

20
Clin Immunol. [preprint] 2020. [diunduh 13 Mei 2020]. Tersedia dari: doi:
10.1016/j.jaci.2020.04.009.
10. Ren X, Glende J, Al-Falah M, de Vries V, Schwegmann-Wessels C, Qu X. Analysis of
ACE2 in polarized epithelial cells: surface expression and function as receptor for severe
acute respiratory syndrome-associated coronavirus. J Gen Virol. 2006; 87:1691–5.
11. Hamming I, Timens W, Bulthuis MLC, Lely AT, Navis GJ, Van Goor H. Tissue distribution
of ace2 protein, the functional receptor for sars coronavirus. a first step in understanding sars
pathogenesis. J Pathol. 2004; 203: 631–7.
12. To KF, Wi Lo A. Exploring the pathogenesis of severe acute respiratory syndrome (sars): the
tissue distribution of the coronavirus (sars-cov) and its putative receptor, angiotensin-
converting enzyme 2 (ace2). J Pathol. 2004; 203: 740–3.
13. Levin M, Anstegui IJ, Bernstein J, Chang YS, Chikhladze M, Ebisawa M. Acute asthma
management during SARS-CoV2-pandemic 2020. World Allergy Organ. 2020;13(5):1–7
14. Morais-Almeida M, Aguiar R, Martin B, Ansotegui IJ, Ebisawa M, Arruda LK, et al.
COVID-19, asthma, and biological therapies: what we need to know. World Allergy Organ.
2020;13(5):1-9.
15. Crist Carolyn. COVID-19 may affect asthma control in children. Medscape. [Internet] 2020.
Tersedia dari: https://www.medscape.com/viewarticle/932225.
16. Halpin DMG, Faner R, Sibila O, Badia JR, Agusti A. Do chronic respiratory diseases or their
treatment affect the risk of SARS-CoV-2 infection? Lancet Respir Med. 2020;8(5):436–8.
17. Centers for Disease Control and Prevention. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): People
Who Are At High Risk. [Internet] 2020. Tersedia
dari: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/asthma.html.
18. Conti P, G Ronconi, A Caraffa, CE Gallenga, R Ross, I Frydas, et al. Induction of pro-
inflammatory cytokines (IL-1 and IL-6) and lung inflammation by coronavírus-19: anti-
inflammatory strategies. J Biol Regul Homeost Agents. 2020;34(2):11–5.
19. Rasmussen SA, Thompson LA. Coronavirus disease 2019 and children: what pediatric health
care clinicians need to know. JAMA Pediatr. [preprint] 2020. Tersedia dari: doi:
10.1001/jamapediatrics.2020.1224.

21
20. Tagarro A, Epalza C, Santos M, Sanz-Santaeufemia FJ, Otheo E, Moraleda C. Screening and
severity of coronavirus disease 2019 (COVID-19) in children in Madrid, Spain. JAMA
Pediatr. [preprint] 2020. Tersedia dari: doi: 10.1001/jamapediatrics.2020.1346.
21. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and important lessons from the coronavirus disease
2019 (COVID-19) outbreak in China: summary of a report of 72314 cases from the Chinese
Center for Disease Control and Prevention. JAMA. [preprint] 2020.Tersedia dari: doi:
10.1001/jama.2020.2648.

22

Anda mungkin juga menyukai