Anda di halaman 1dari 11

1.

Pendapat Hukum mengenai rencana investasi penanam modal asing untuk membuat pabrik
sumpit di Indonesia.

Kepada: 23 Mei 2007


Tuan ABC
di
Tempat
Pendapat Hukum
Dengan Hormat,
Saya adalah Konsultan Hukum yang tergabung dalam Tasha Pratiwi &Associates. Dalam
hal ini, Saya memberikan pendapat hukum mengenai keinginan Tn.ABC untuk menanamkan
modal di perusahaan Indonesia berkaitan dengan dampak hukum yang akan terjadi pada
penanaman modal tersebut.
Untuk keperluan pendapat hukum ini kami telah memeriksa seluruh peraturan
perundang-undangan yang kami anggap perlu dan relevan.
Tn. ABC adalah calon investor asing yang berdomisili di luar Indonesia. Tn. ABC
berkeinginan untuk menanamkan modal di Indonesia di bidang industri pembuatan sumpit.
Menurut Daftar Negatif Investasi (DNI), bidang usaha ini terbuka dengan syarat harus bekerja
sama dengan Usaha Kecil dan Menengah.

Kwalifikasi
1. Pendapat Hukum ini diberikan berdasarkan seluruh peraturan perundang-undangan
yang kami anggap perlu dan relevan, yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengenai ketentuan, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha ( Pasal 28 s/d 34, Pasal 50 s/d 52), serta Hak Pakai
(Pasal 41 s/d 43, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 52)
b. Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
c. Undang-undang No.1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
d. Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
e. Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
f. Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang Persyaratan Pemilikan Saham
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
g. Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas
Penanaman Modal di Bidang-Bidang tertentu dan/atau Daerah-daerah tertentu
h. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1992 Tentang
Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha
Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
i. Keputusan Presiden No.115 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden No.97 Tahun 1993 tentang Tatacara Penanaman Modal
j. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
2. Pendapat Hukum ini diberikan dalam ruang lingkup proses penananan modal terhadap
badan usaha Indonesia yang bergerak di bidang industri pembuatan sumpit.
3. Pendapat Hukum ini diberikan semata-mata berdasarkan fakta yang disampaikan oleh
para pihak, dan kami tidak memeriksa dokumen pendukung dalam bentuk apapun.
4. Pendapat Hukum ini berlaku sejak saat diberikan, yakni pada tanggal 23 Mei 2007.
5. Apabila terjadi perubahan mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dari Pendapat Hukum ini, maka saya tidak berkewajiban untuk
memberitahukan mengenai perubahan mengenai ketentuan tersebut serta tidak
berkewajiban untuk melakukan perubahan atas Pendapat Hukum ini.
Asumsi
Pendapat Hukum ini diberikan dengan asumsi sebagai berikut:
1. Para pihak yang disebutkan dalam pendapat hukum ini berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum mewakili masing-masing persero yang disebutkan dalam Pendapat
Hukum ini berdasarkan Anggaran Dasar masing-masing persero.

2. Fakta yang disampaikan oleh para pihak adalah benar adanya.

3. Dokumen yang diberikan oleh para pihak merupakan dokumen asli yang dibuat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaan Hukum
A. Apakah bentuk usaha yang diwajibkan menurut ketentuan investasi di Indonesia?
B. Apa saja insentif yang akan didapatkan oleh Tn.ABC dalam proses penanaman modal
tersebut?
C. Apa saja yang diperlukan dalam rangka pemberian perizinan hak atas tanah berkaitan
dengan rencana Tn.ABC membuka perkebunan bambu?
D. Apa saja alternatif penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada proses penanaman
modal tersebut?
Pendapat Hukum dan Argumentasi
Atas pertanyaan hukum yang telah diajukan tersebut diatas, maka berikut pendapat kami:
A. Bentuk usaha yang diwajibkan menurut ketentuan investasi di Indonesia.
1. Menurut Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing
dan Perubahannya Undang-undang No.11 Tahun 1970
Pasal 5 ayat (2)
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang.
Dengan demikian ada dua kemungkinan daripada perusahaan yang d
ijalankan di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri, yaitu:
1. Perusahaan yang dijalankan untuk seluruhnya di Indonesia atau
2. Perusahaan yang dijalankan untuk bagian terbesar di Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.25 Tahun 2007 sebagaimana
diuraikan diatas, bahwa sebagai satu kesatuan perusahaan tersendiri haruslah
berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.
Pasal 5 ayat (3), menyebutkan secara tidak langsung bahwa perusahaan modal asing
itu terbagi dalam saham. Dengan demikian badan hukum Indonesia itu merupakan
perseroan terbatas dalam arti yang disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
Pasal 1 angka 1 UU No.1 Tahun 1995, perseroan terbatas adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Terkait dengan rencana penanaman modal Tn.ABC, Tn.ABC harus terlebih dahulu
mendirikan perusahaan yang berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.
Dengan demikian perusahaan yang didirikan TN.ABC tersebut berbentuk badan usaha
Perseroan Terbatas yang tunduk kepada hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.

2. Menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang Persyaratan


Pemilikan Saham Dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
Pasal 1 menyebutkan bahwa persetujuan penanaman modal asing harus didirikan
dalam bentuk perseroan terbatas.
Terkait dengan rencana penanaman modal Tn.ABC menurut PP No.20 Tahun 1994 pun,
Tn.ABC harus terlebih dahulu mendirikan perusahaan yang berbentuk badan hukum
yang berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian perusahaan yang didirikan tersebut
berbentuk badan usaha Perseroan Terbatas tunduk kepada hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

B. Insentif yang mungkin didapatkan oleh Tn.ABC dalam rencana penanaman


modal.
Dalam proses penanaman modal di Indonesia, TN.ABC dapat menerima berbagai insentif di
bidang perpajakan dan non-perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu antara lain:
 Pasal 18 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 mengatur secara keseluruhan tentang
kelonggaran perpajakan yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Pembebasan Pajak
1. Pajak Penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu;
2. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin,
atau perlatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi yang
belum dapat diproduksi di dalam negeri;
3. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong
untuk keperluan produksi untuk jangks waktu tertentu dan persyaratan
tertentu;
4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang
modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat;
6. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

C. Persyaratan yang diperlukan dalam rangka pemberian perizinan hak atas tanah
berkaitan dengan rencana TN.ABC membuka perkebunan bambu.
Dalam pemberian perizinan hak atas tanah bagi penanam modal asing, diatur dalam pasal
21 dan 22 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 yaitu fasilitas penanaman modal dalam hal
pemberian perizinan hak atas tanah kepada penanam modal. Pemberian izin hak atas tanah
tersebut dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundangan yang terkait dalam hal
ini adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah No.40 Tahun 1996.
Pemberian perizinan hak atas tanah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hak Guna Bangunan
Pasal 35 ayat (1) UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
tenggang waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.
Jangka waktu Hak Guna Bangunan diberikan dengan jangka waktu 80 tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat
diperbaharui selama 30 tahun;
Perusahaan Penanaman Modal Asing yang mempunyai Hak Guna Bangunan dapat
menjadikan tanah tersebut sebagai jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan sesuai dengan pasal 4 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
2. Hak Guna Usaha
Pasal 28 ayat (1) UUPA, hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan dan
peternakan.
Jangka waktu Hak Guna Usaha menurut pasal 22 ayat (1) adalah 25 Jangka waktu
Hak Guna Usaha diberikan dengan jangka waktu 95 tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat
diperbaharui selama 35 tahun;
3. Hak Pakai
Pasal 41 UUPA, hak pakai adalah hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
atau tanah milik orang lain memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah yang tidak bertentangan dengan UUPA.
Pasal 41 ayat (2) UUPA diatur bahwa Hak Pakai diberikan selama jangka waktu
tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu Jangka waktu
Hak Pakai pada pasal 22 ayat (1) diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara
dapat diberikan dengan jangka waktu 45 tahun dan dapat diperbaharui selama 25
tahun.
Jadi, hak yang dapat diberikan kepada Tn.ABC adalah Hak Guna Usaha sesuai
dengan rencana peruntukan tanah tersebut, yakni perkebunan bambu oleh Tn.ABC.
2. Terkait dengan rencana pembukaan perkebunan bambu oleh TN.ABC,
menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007
Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
1. Pasal 1 angka 8,
Perusahaan perkebunan adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.
Dengan demikian, TN.ABC dalam hal ini tetap diwajibkan mendirikan anak
perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
2. Syarat dan tata cara permohonan izin usaha perkebunan diatur dalam Bab
III Pasal 15-21 yakni sebagai berikut:
Pasal 15
Untuk memperoleh IUP-B (Izin Usaha Perkebunan), perusahaan perkebunan
mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota atau gubernur
sesuai dengan lokasi areal dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a. Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Surat keterangan domisili;
d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota dari bupati/walikota (untuk IUP-B yang diterbitkan oleh
gubernur);
e. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan
perkebunan provinsi dari gubernur (untuk IUP-B yang diterbitkan oleh
bupati/walikota);
f. Izin lokasi dari bupati/ walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan
skala 1:100.000 atau 1:50.000;
g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi Kehutanan
(apabila areal berasal dari kawasan hutan);
h. Rencana kerja pembangunan perkebunan;
i. Hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UPl) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
j. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan;
k. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untukmelakukan
pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran;
I. Pernyataan kesediaan membangun kebun untuk masyarakat sesuai Pasal11 yang
dilengkapi dengan rencana kerjanya; dan
m. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan.
Pasal 16

(1) Untuk memperoleh IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 perusahaan


perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota
atau gubernur sesuai dengan lokasi areal dengan dilengkapi persyaratan sebagai
berikut:
a. Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Surat keterangan domisili;
d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
dari bupati/walikota untuk IUP-P yang diterbitkan oleh gubernur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan perkebunan
provinsi dari gubernur untuk IUP-P yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi
dengan skala 1:100.000 atau 1:50.'000;
g. Rekomendasi lokasi dari pemerintah daerah lokasi unit pengolahan;
h. Jaminan pasokan bahan baku yang diketahui oleh Bupati/Walikota;
i. Rencana kerja pembangunan unit pengolahan hasil perkebunan;
j. Hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
k. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan.
(2) Untuk industri pengolahan hasil kelapa sawit, selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pertimbangan teknis
ketersediaan lahan dari instansi Kehutanan (apabila areal budidaya tanaman
berasal dari kawasan hutan) dan rencana kerja budidaya tanaman perkebunan.
Pasal 19
(1) Bupati/walikota atau gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, Pasal 16, atau Pasal 17 diterima harus memberikan jawaban menunda,
menolak atau menerima.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bupati/walikota atau gubernur belum memberikan jawaban, maka
permohonan dianggap telah lengkap.
(3) Permohonan yang diterima sebagaimana ayat (1) atau yang dianggap lengkap
sebagaimana ayat (2) diterbitkan IUP, IUP-B atau IUP-P.
Pasal 20
(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila
setelah dilakukan pemeriksaan dokumen masih ada kekurangan persyaratan
yang harus dipenuhi.
(2) Penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dengan disertai alasan penundaannya.
(3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak menerima pemberitahuan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) pemohon belum dapat melengkapi kekurangan persyaratan, maka
permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 21
(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila
setelah dilakukan pemeriksaan dokumen ternyata persyaratannya tidak benar,
usaha yang akan dilakukan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau
perencanaan makro pembangunan perkebunan.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya.
4. Alternatif penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada proses penanaman
modal antara para pihak
Dalam Pasal 32 Undang-Undang Penanaman Modal dijelaskan bahwa Penyelesaian sengketa
antara Pemerintah dengan Investor asing terlebih dahulu diselesaikan dengan musyawarah
mufakat. Apabila tidak tercapai kata sepakat, maka salah satu pihak dapat mengajukan
sengketa tersebut ke Pengadilan untuk dimintakan putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap akan sengketa tersebut atau melalui arbitrase internasional. Hal ini dapat
dilhat dari Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antar
Warga Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal. Dalam Konvensi
ICSID tersebut ditentukan dua cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui Konsiliasi atau
Arbitrase, yakni:
(1) Penyelesaian sengketa melalui Konsiliasi adalah dibentuknya Komisi Konsiliasi
berdasarkan kesepakatan para pihak. Komisi ini berkewajiban menjelaskan
permasalahan yang menjadi sengketa dan mengusahakan agar kedua belah pihak
yang bersengketa mencapai kesepakatan penyelesaian menurut syarat-syarat yang
dapat diterima oleh masing-masing pihak. Apabila para pihak telah mencapai kata
sepakat, Komisi akan membuat laporan tentang masalah yang akan disengketakan
dan mencatat bahwa para pihak telah mencapai kata sepakat.
(2) Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Penyelesaian melalui Arbitrase dilakukan
dengan menunjuk badan arbitrase yang sudah ada atau membentuk arbitrase ad hoc,
yaitu Dewan Arbitrase yang didirikan setelah terjadinya sengketa. Arbitrase dapat
dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri.
Dengan demikian, TN.ABC sebagai penanam modal di Indonesia dapat menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul dalam proses penanaman modal nantinya dengan Partner
lokal dengan memilih salah satu pilihan yang telah disediakan di atas.

PENUTUP

1. Pihak yang berhak menggunakan Pendapat Hukum ini adalah Tn ABC sebagai pihak yang
mengajukan permintaan untuk dibuatkan pendapat hukum ini. tidak untuk keperluan pihak
lain manapun, serta tidak dimaksudkan untuk keperluan lain.
2. Pendapat Hukum ini telah menjelaskan pertanyaan-pertanyaan hukum yang telah diajukan
oleh TN.ABC.
3. Tn. ABC tidak diperbolehkan untuk mempublikasikan pendapat hukum ini, kecuali dengan
persetujuan tertulis dari Tasha Pratiwi &Associates
4. Pendapat Hukum ini terbatas pada hukum Negara Republik Indonesia yang berlaku pada
saat Pendapat Hukum ini diberikan.

Hormat Saya,

Tasha Iguna Pratiwi, S.H., LL.M.

Anda mungkin juga menyukai