Pembimbing :
dr. Hari Sutanto, Sp.PD
Disusun oleh :
Prima Putri Pentana
406182005
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis telah diberi
kesempatan untuk menyusun referat yang berjudul Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Anemua. Penyusunan laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan mahasiswa/i tentang Migrain. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Hari Sutanto, Sp.PD sebagai pembimbing bagian Ilmu Penyakit Dalam, yang
telah memberikan bimbingan, ilmu pengetahuan, serta pengajaran yang baik
selama penulis mengikuti kepaniteraan.
2. Teman – teman dan para sahabat yang selalu membantu selama proses penulisan
referat ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Penulis
PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ANEMIA
DEFINISI
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun
dilapangan. Untuk mendapatkan pengertian tentang anemia maka kita perlu menetapkan
definisi anemia : (1) Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. (2) secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar
hemoglobin, yaitu eritrosit dan hematokrit (packed red cell). Berdasarkan data World Heath
Organization (WHO), dinyatakan anemia bila nilai kadar Hb laki-laki dewasa <13g/dL,
perempuan dewasa tak hamil <12 g/dL, perempuan hamil <11g/dL, anak umur 6-14 tahun
<12g/dL, anak umur 6 bulan – 6 tahun <11g/dL. Derajat anemia antara lain ditentukan oleh
kadar hemoglobin, klasifikasi derjat anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut :
sangat ringan Hb 10g/dl – cut off point, ringan Hb 8-9,9 g/dL, sedang 6-7,9g/dL, berat Hb <6
g/dL. Penyebab anemia dikarenakan menurunnya produksi sel darah merah, kehilangan darah
dan peningkatan destruksi sel darah merah.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran morfologis eritrosit pada
pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit (tabel 1-1) dan klasfikasi
etiopatogenesis yang berdasrakan etiologi dan pathogenesis terjadinya anemia (tabel 1-2).
Tabel 1-1 . Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit
D. Bentuk campuran
MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum anemia sindrom anemia atau anime syndrome adalah gejala yang timbul dalam
setiap kasus anemia, apapun penyebabnya dan apabila kadar hemoglobin turun di bawah nilai
tertentu.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia disebut juga sindrom anemia. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu
(Hb <7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari terasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan
dyspepsia. Peredaran darah yang hiperdinamik mungkin tampak sebagai takikardia,
denyut nadi yang melonjak, pembesaran jantung dan bising aliran sistolik khususnya pada
apeks. Pada pemeriksaan, yang terlihat pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, Telapak tangan dan jaringan kuku
2. Gejala khas masing-masing anemia.
a. Anemia defisiensi besi: sebagian, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).
b. Anemia Megaloblastik : glositis, ulkus kaki dengan sel Sabit, gangguan
neurologic pada defisiensi vitamin B 12.
c. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
d. anemia aplastic: perdarahan dan tanda tanda infeksi
Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang, pembengkakan parotis dan
warna kuning pada telapak tangan seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan
gejala berupa perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah
atau lendir.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat kompleks.
Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu diperlukan:
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus ditujukan
untuk mengeksplorasi
a. Riwayat penyakit sekarang
- Gejala spesifik bisa membantu untuk identifikasi dan diagnosis anemia;
riwayat trauma baru, hematochezia, melena, hemoptysis, hematemesis,
hematuria, atau menorrhagia yang menunjukan kemungkinan anemia.
- Riwayat ikterus, urin berwarna teh pekat: hemolitik
b. Riwayat penyakit dahulu
- Gambaran riwayat penyakit lain termasuk komorbiditas yang relevant seperti
penyakit peptic ulcers, penyakit hati kronis dan penyakit ginjal kronis
c. Riwayat gizi
- Anemia nutrisional
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik serta riwayat
pemakaian obat;
- Pekerjaan pasien : petani, penyemprot hama, zat kimia
- Riwayat tempat tinggal : daerah malaria
Tabel 1-3. Obat yang memproduksi stress oksidatif pada RBC dan menimbulkan
hemolysis
e. Riwayat keluarga
- Riwayat penyakit keluarga seperti thalassemia dan penyakit genetik lain
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian
khusus diberikan pada berikut:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, icterus, kulit telapak tangan kuning seperti
jerami;
b. Purpura: petechie dan ecchymosis;
c. Kuku: koilonychias (kuku sendok);
d. Mata: icterus , konjunctiva pucat, perubahan fundus;
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan
stomatitis angularis;
f. Limfadenopati;
g. Hepatomegaly;
h. Splenomegaly;
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum;
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi;
k. Pembengkakan testis;
l. Pembengkakan parotis;
m. Kelainan sistem saraf;
3. Pemeriksaan laboratorium hematologik
Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap. Pemriksaan
berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu sehingga
lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk
morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :
i. Kadar hemoglobin
ii. Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan
electronic counting di bidang hematologi maka hasil HB, WBC(darah
putih) dan PLT (trombosit) serta indeks eritrosit dapat diketahui sekaligus.
Dengan pemeriksaan yang baru in maka juga diketahui RDW (red cell
distribution width) yang menunjukan tingkat anisositosis sel darah merah.
Tabel 1-4. Sel darah marah nomal pada dewasa
b. Pemeriksaan rutin : pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia,
untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang
harus dikerjakan adalah:
i. Laju endap darah;
ii. Hitung diferensial;
iii. Hitung retikulosit;
c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian
besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada
beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum
tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita telah
mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk
mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain:
i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferrin dan ferritin
serum
ii. Anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
iii. Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb
iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia
4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan yang perlu dikerjakan antara
lain:
a. Faal ginjal;
b. Faal endokrin;
c. Asam urat;
d. Faal hati;
e. Biakan kuman;
f. Dan lain-lain.
5. Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsy kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologis
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, CT-scan, limfangiografi.
c. Pemeriksaan sitogenik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR= polymerase chain reaction, FISH =
flurosence in situ hybridization dan lain-lain)
Pendekatan klinik bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik untuk
dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda khas masing- masing anemia, serta
gejala penyakit dasar. Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis
hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya : pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus(tabel 1-8). Pendekatan epidemiologik sangat
penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui pola etiologi anemia di suatu
daerah makan petunjuk manuju diagnosis etiologik lebih mudah dikerjakan.
Dibawah ini diajukan algorithma pendekatan diagnostic anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium :
PRINSIP TERAPI
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien
jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah :
1. Terapi gawat darurat
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
3. Terapi kausal
4. Terapi ex-juvantivus
1. Terapi untuk mengatasi keadaan gawat darurat
Pada kasus anemia dengan upaya jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera
diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (packed red
cell) untuk menjaga perburukan payah jantung tersebut. Dalam keadaan demikian,
spesimen untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfusi harus diambil terlebih
dahulu, seperti apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum, dan lain lain.
Tidak semua pasien dengan anemia diberikan transfusi darah kecuali pasien dengan
perdarahan akut. Keputusan untuk dilakukan transfusi RBC harus disesuaikan dengan
masing-masing pasien dengan mempertimbangkan gejala klinis, usia pasien, adanya
penyakit komorbiditas dan kemungkinan kehilangan darah lebih lanjut. Pada umumnya,
pasien yang memiliki gejala dan ketidaksatabilan hemodinamik dan menunjukan bukti
hipoksia jaringan harus mendapatkan transfusi RBC. Sebagian besar pasien dengan
anemia karena kehilangan darah akut dapat bermanfaat dengan transfusi pada kadar
hemoglobin 6-8 g/dL. Strategi transfusi liberal (didefinisikan sebagai ambang hemoglobin
9,5 hingga 10 g/dL) tidak terkait dengan manfaat klinis, sehingga ambang batas nilai
hemoglobin 6-8 g/dL untuk transfusi RBC direkomendasikan dalam sebagian besar
situasi. Berdasarkan kategori perdarahan akut dikategorikan ke dalam 4 kelompok, yakni
(untuk pasien dengan berat badan 70kg) :
Perdarahan derajat 1 : kehilangan darah s/d 750 ml = s/d 15% volume cairan
tubuh
Perdarahan derajat 2 : kehilangan darah 750 -1500 ml = s/d 15 - 30% volume
cairan tubuh
Perdarahan derajat 3 : kehilangan darah s/d 1500-2000 ml = 30-40% volume
cairan tubuh
Perdarahan derajat 4 : kehilangan darah >2000 ml => 40% volume cairan tubuh
Pada pasien dengan perdarahan kelas 3 dan 4 merupakan indikasi untuk dilakukan
transfusi. Pasien di IGD dengan anemia kronis atau anemia yang baru didiagnosis,
etiologi tidak pasti yang tidak menyebabkan kehilangan darah akut tidak memerlukan
transfusi segera kecuali mereka secara hemodinamik tidak stabil, hipoksia atau memiliki
asidosis atau iskemia jantung yang sedang berlangsung.
2. Terapi khas untuk masing- masing anemia
Terapi bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya preparat besi untuk anemia
defisiensi besi, asam folat untuk anemia defisiensi asam folat, dan lain lain. (tabel 1-7)
(tabel 1-8)
Tabel 1-7. Terapi spesifik anemia
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam Subbab
Pendekatan terhadap Pasien Anemia, ed. 4., hal: 2575-2579. Jakarta: Interna
Publishing.
2. Bakta I, M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas., hal: 11-25. Jakarta: EGC.
3. Keith C. 2011. CURRENT Diagnosis and Treatment Emergency Medicine, ed. 7.,
hal :720-724. Texas: The McGraw- Hill Companies.
4. Judith E. 2016. Tintinalli’s Emergency Medicine, ed. 8.,hal 1483-1487. California:
Mc Graw Hill Education
5. Long, B., & Koyfman, A. (2018). Emergency Medicine Evaluation and Management
of Anemia. Emergency Medicine Clinics of North America, 36(3), 609–
630. doi:10.1016/j.emc.2018.04.009.