Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG DAN SINDROM


KORONER AKUT

Pembimbing :

dr. Hari Sutanto, Sp.PD

Disusun oleh :

Andy Susanto

406182009

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 12 APRIL 2020 – 26 APRIL 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

1.1 Definisi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat
atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru
atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat.

1.2 Epidemiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang
terus meningkat. Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan
lebih dari 550,000 kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung
bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rawatan
yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah
sakit masing –masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami
hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan.1
Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun 2007, biaya langsung
dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya
hospitalisasi untuk bagian yang lebih besar sekitar 54%.1
Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab
paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar
sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.1
Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa penggolongan klinis
terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dengan perburukan gagal
jantung. Studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung
memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat  masuk rumah sakit dan umumnya mengalami
left ventricular ejection fraction (LVEF).3

2
1.3 Etiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang paling
umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau hilangnya otot
jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau
berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari
pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.2

Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur
dan fungsionalnya menjadi abnormal  [dengan ketiadaan penyakit jantung koroner,
hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan
terjadinya abormalitas miokard.2
Tabel 1. Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit
miokardial)2

Penyakit jantung coroner Banyak manifestasi


Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi
ventrikel kanan dan fraksi ejeksi
Kardiomiopati Faktor genetic dan non – genetic
(termasuk yang didapat seperti
myocarditis)
Hypertrophic (HCM), dilated (DCM),
restrictive (RCM), arrhythmogenic right
ventricular (ARVC), yang tidak
terklasifikasikan
Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists,
antiarrhythmics, cytotoxic agent
Toksin Alkohol, cocaine, trace elements
(mercury, cobalt, arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, 
hypo/hyperthyroidism, Cushing
syndrome, adrenal insufficiency,
excessive growth hormone,
phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine.
Obesitas, kaheksia
Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis,
haemochromatosis, penyakit jaringan
ikat
Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV,
peripartum cardiomyopathy, gagal ginjal
tahap akhir

3
1.4 Gejala Klinis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering
tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan
pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang
diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk
pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk
dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.3

Tabel 2. Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung2

Gambaran Klinis yang Gejala Tanda


Dominan
Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Edema Perifer,
Anoreksia peningkatan vena
jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
(kongesti), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang berat Crackles atau rales pada
saat istirahat paru-paru bagian atas,
efusi, Takikardia,
takipnea
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang
output syndrome) dingin pada perifer buruk, Systolic Blood
Pressure (SBP) <
90mmHg, anuria atau
oliguria
Tekanan darah tinggi Sesak napas Biasanya terjadi
(gagal jantung peningkatan tekanan
hipertensif) darah, hipertrofi ventrikel
kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel
kanan, peningkatan JVP,
edema perifer,

4
hepatomegaly, kongesti
usus.

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated


Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain
tertera dalam tabel berikut.1

Tabel 3. Gejala dan Tanda Acute Decompensated Heart Failure1


Volume Overload
-          Dispneu saat melakukan kegiatan
-          Orthopnea
-          Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
-          Ronchi
-          Cepat kenyang
-          Mual dan muntah
-          Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali
-          Distensi vena jugular
-          Reflex hepatojugular
-          Asites
-          Edema perifer
Hipoperfusi
-          Kelelahan
-          Perubahan status mental
-          Penyempitan tekanan nadi
-          Hipotensi
-          Ekstremitas dingin
-          Perburukan fungsi ginjal

1.5 Diagnosis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

5
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan
manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pasien yang datang
dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk didiagnosis. Mereka umunya
memiliki tanda dan gejala kongesti paru ( dispneu saat melakukan kegiatan, Orthopnea,
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), dan Ronchi). Sedangkan  manifestasi cepat
kenyang, mual dan muntah merupakan akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI).
Kongesti pada hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan Hepatosplenomegali,
hepatomegali, atau splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya peningkatan tekanan
vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan edema perifer
juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum  dan perifer.1.5
Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan gejala
dan tanda tidak spesifik (tabel 4). Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal merupakan tolok
ukur objektif terhadap hipoperfusi.1
      Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu
berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit ini.
Pemeriksaan dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheter
yang merupakan gold standart untuk pengukuran tekanan intrakardiak dan cardiac output,
sayangnya katerisasi jantung merupkan prosedur invasif yang mungkin menimbulkan
komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan biomarker terhadap gagal jantung seperti B –
Type Natriuretic Peptide (BNP), yaitu suatu neurohormonal  yang dilepaskan dari
ventrikel jantung (miokardium) sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan
ketegangan dinding (misalnya perenggangan), merupakan penunjang dignostik untuk
ADHF dan merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang dikaitkan dengan
gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai organ
endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume
cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B –
Type Natriuretic Peptide , suatu hormone diuretik, natriuretic dan bekerja menrelaksasi
otot polos vascular.1.3.5.6
     
1.6 Penatalaksanaan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara
signifikan selama 30  tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang
digunakan untuk mengevaluasi  diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara
lain yaitu :

6
Gambar  1. Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure
di instalasi gawatdarurat.7

7
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.
ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP, bi-
level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic  peptide; CI, cardiac index;
CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion; HJR,
hepatojugular reflex; JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary
wedge   pressure; PND, paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure;
SCr, serum creatinine; SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.7

8
BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV
Intravenous; SBP Systolic blood pressure
Gambar 3. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure7

2. Sindrom Koroner Akut


2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut
Sindrom koroner akut atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu
kondisi yang mengancam nyawa. Sindrom ini bervariasi dari pola angina pektoris tidak
stabil hingga terjadinya infark miokard yang luas. Infark miokard merupakan nekrosis otot
jantung terjadi secara irreversible.8

9
2.2 Gejala Klinis Sindrom Koroner Akut
2.2.1 Unstable Angina (UA)
Unstable angina merupakan suatu kondisi percepatan terjadinya gejala iskemia. Hal
tersebut dapat berupa adanya pola cressendo pada pasien yang memang sudah sering
mengalami stable angina secara kronis. Frekuensi, durasi dan atau intensitas episode
iskemiknya meningkat. Kondisi lain yang juga merupakan tanda unstable angina adalah
adanya angina yang terjadi saat istirahat, tanpa provokasi. Episode angina baru, yang
dirasakan begitu berat, pada pasien yang sebelumnya belum pernah mengalami gejala
penyakit arteri koroner. 8

2.2.2 Infark Miokard Akut


Tanda dan gejala pada infark miokard berkaitan dengan beratnya iskemia yang
terjadi, serta komplikasi dari kematian sel. Nyeri pada infark miokard terjadi lebih berat,
lebih lama dan dapat menjalar lebih luas. Nyeri secara tipikal terjadi pada daerah
substernal yang dapat menjalar ke regio dermatom C7 hingga T4 seperti leher, pundak, dan
lengan. Istirahat belum cukup untuk meredakan nyeri, begitu juga dengan pemberian
nitrogliserin sublingual yang hanya menghasilkan sedikit respon. Namun, tidak semua
pasien infark miokard mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman di dada. Sekitar 25%
pasien ternyata dapat mengalami kejadian infark miokard akut yang asimptomatik,
terutama pada pasien diabetes yang mengalami gangguan persepsi nyeri karena adanya
neuropati perifer. 8
Selain nyeri, tanda dan gejala seperti berkeringat serta kulit dingin dan lembab
dapat muncul karena adanya aktivasi simpatis. Di sisi lain, efek vagal dapat memicu
timbulnya mual muntah serta rasa lemas. Pada pemeriksaan jantung bisa didapatkan gallop
S3 dan atau S4, dyskinetic buldge dan murmur sistolik. Jika ada gagal jantung, bisa
ditemukan ronki serta distensi vena jugularis.8

2.3 Diagnosis Sindrom Koroner Akut


Diagnosis pasien ACS didasarkan pada tiga dasar, yaitu gejala, abnormalitas EKG
akut, dan deteksi penanda serum untuk nekrosis miokardium spesifik. UA didiagnosis
berdasarkan gejala klinis, abnormalitas ST sementara pada EKG yang biasanya berupa
depresi segmen ST, dan atau inversi gelombang T. Pada pemeriksaan biomarker serum
tidak didapatkan adanya peningkatan. 8

10
Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya biomarker serum
penanda nekrosis miokardium. Selain itu, pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau
gelombang T yang lebih persisten. Pada STEMI, gambaran EKG menunjukan adanya
elevasi segmen ST ditambah dengan terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis
miokardium. 8

Gambar 4. Abnormalitas EKG pada Unstable Angina dan NSTEMI8

Gambar 5. Evolusi EKG selama STEMI8

2.3.1 Pendekatan Klinis Nyeri Dada


Nyeri dada dapat disebabkan oleh gangguan bermacam organ seperti jantung, paru,
pembuluh darah hingga organ pencernaan. Infark miokard menjadi diagnosis utama pasien
yang datang ke rumah sakit karena nyeri dada. Selain infark miokard, kelainan pada
saluran cerna seperti refluks gastroesofagus, kelainan motilitas esofagus, ulkus peptikus

11
dan batu empedu rupanya menjadi diagnosis utama pasien nyeri dada yang datang ke
rumah sakit. Selain itu, ada penyakit jantung iskemik, sindrom dinding dada, perikarditis,
pleuritis, pneumonia, emboli paru, kanker paru, aneurisma aorta, stenosis aorta dan herpes
zoster. 9
Terdapat beberapa karakteristik nyeri  dada yang dapat membantu kita untuk
mengarahkan pada penyebab nyeri tersebut, antara lain adalah9:
 Nyeri kostokondral atau dinding dada: nyeri terlokalisir, terasa seperti ditusuk-
tusuk, tajam atau bisa juga nyeri tumpul dan persisten. Nyeri muncul apabila
dilakukan tekanan pada area yang nyeri.
 Penyakit tulang belakang toraks dan leher dengan kompresi radiks saraf: nyeri
tajam, dapat tersebar sesuai distribusi radikular. Nyeri diperberat dengan
pergerakan leher dan punggung.
 Nyeri esofagus atau lambung: berkaitan dengan adanya disfagia atau GERD. Nyeri
dapat diperberat dengan alkohol, aspirin, makanan tertentu, posisi supinasi. Nyeri
seringkali mereda dengan pemberian antasida.
 Nyeri bilier: Berkaitan dengan intoleransi makanan berlemak, tenderness pada
perut kanan atas.
 Iskemia Miokardium: Nyeri diperberat dengan aktivitas atau saat terjadi emosi.
Pada pemeriksaan EKG, didapatkan adanya deviasi segmen ST. Nyeri dapat
mereda dengan cepat, hanya sekitar (<5 menit) dengan pemberian TNG.
 Diseksio aorta: nyeri seperti robek (tearing atau ripping) dan menjalar dari dinding
anterior dada ke bagian punggung sisi tengah. Diseksio aorta berkaitan sekali
dengan hipertensi dan sindrom marfan. Pulsasi melemah dan dapat terjadi
ketidaksimetrisan pulsasi perifer.
 Perikarditis akut: nyeri seperti diremas-remas, tajam, pleuritik, dan membaik
apabila duduk condong ke depan. Perikarditis berkaitan dengan riwayat infeksi
saluran nafas atas, atau kondisi lain yang menjadi predisposisi perikarditis.
 Emboli paru: nyeri pada emboli paru bersifat tajam, pleuritik, dan dapat disertai
dengan batuk (dapat berdarah atau tidak). Seringkali berkaitan dengan imobilisasi
atau riwayat operasi.
 Pneumotoraks akut: nyeri sangat tajam dan pleuritik. Berkaitan dengan riwayat
trauma sebelumnya, atau penyakit paru obstruktif kronis.

12
 Ruptur esofagus: nyeri intens pada substernal dan epigastrium; biasanya disertai
dengan muntah atau pun hematemesis. Kondisi ini berkaitan dengan riwayat
muntah berulang sebelumnya.

2.3.2 Stratifikasi Risiko dengan TIMI Score


Pada saat melakukan diagnosis kasus sindrom koroneri akut, prognosis pasien juga
perlu dipertimbangkan. Saat ini, salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah
TIMI Score (Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI)). Skor TIMI berbeda antara
kasus STEMI (ST-elevation myocardial infarction) dengan kasus NSTEMI (non ST-
elevation myocardial infarction).10
Pada kasus N-STEMI, sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa: nyeri
dada iskemi pada saat istirahat dalam 24 jam terakhir, dengan disertai bukti penyakit
jantung koroner (dapat berupa deviasi segmen ST atau peningkatan penanda enzim
jantung). Dalam menentukan skor TIMI untuk kasus N-STEMI, informasi yang perlu
digali adalah sebagai berikut.10
1. Usia >=65 tahun
2. 3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner
3. Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat stenosis
>50%
4. Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
5. Angina berat dalam 24 jam terakhir
6. Peningkatan penanda enzim jantung
7. Deviasi segmen ST >0,5 mm
Masing-masing kriteria mendapatkan 1 poin.10
Kaitan Skor TIMI tersebut dengan kematian dalam 2 minggu, resiko kematian akibat
infark miokard, terjadinya miokard infark adalah sebagai berikut10
 0-1 point: 3-5%
 2 poin : 3-8%
 3 poin: 5-13%
 4 poin: 7-20%
 5 poin: 12-26%
 6-7 poin: 19-41%

13
Sementara itu, untuk skoring TIMI pada kasus STEMI, kriteria sedikit berbeda, yaitu:
(sebelumnya pertimbangkan tanda dan gejala berikut: nyeri dada lebih dari 30 menit, ST
elevasi, onset kurang dari 6 jam).11
1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 poin)
2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3 poin)
3. Denyut nadi > 100 BPM (2 poin)
4. Kelas Killip II-IV (2 poin)
5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 poin)
6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 poin)
7. Waktu onset hingga penatalaksanaan lebih dari 4 jam (1 poin)

Ditambah dengan kriteria usia11:


1. usia lebih dari atau sama dengan 75 tahun (3 poin)
2. 65-74 tahun (2 poin)
3. kurang dari 65 (0 poin)

Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark
miokard sebagai berikut.11
 0 poin: 0,8%
 1 poin: 1,6%
 2 poin: 2,2%
 3 poin: 4,4%
 4 poin: 7,3%
 5 poin: 12%
 6 poin: 16%
 7 poin: 23%
 8 poin: 27%
 9-14 poin: 36%

2.4 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut


2.4.1 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut tanpa Elevasi Segmen ST
Tatalaksana  awal untuk pasien yang diduga mengalami sindrom koroner akut
harus segera dilakukan. Dalam 10 menit, perlu dilakukan12:

14
 pemeriksaan tanda vital,
 mendapatkan akses intravena,
 perekaman dan analisis EKG,
 anamnesis dan pemeriksaan fisik,
 pengambilan sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta
pemeriksaan koagulasi

EKG harus segera dilakukan. Selanjutnya, EKG direkam berkala untuk


mendapatkan ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T diukur saat masuk dan jika
normal diulang 6-12 jam. Kemudian, CK dan CK-MB diperiksa pada pasien dengan onset
<6jam dan pada pasien pasca infark <2 minggu dengan iskemik berulang untuk
mendeteksi reinfark atau infark periprosedural. 12
Di unit emergensi, tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan sindrom koroner
akut adalah pemberian oksigen 4L/menit (saturasi oksigen dipertahankan >90%).
Kemudian, pasien diberikan aspirin 160 mg (dikunyah), nitrat 5 mg sublingual yang dapat
diulang sebanyak tiga kali jika masih nyeri. Jika nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat,
dapat diberikan morfin 2,5-5 mg. 12
Tatalaksana lebih lanjut berdasarkan pada skor risiko TIMI. Pada pasien dengan
resiko tinggi atau sedang, diberikan anti iskemik berupa beta blocker, nitrat atau calcium
channel blocker. Beta blocker diberikan pada pasien dengan hipertensi dan takikardi.
Nitrat intravena maupun oral juga dapat bermanfaat untuk meredakan nyeri dada akut.
Sementara itu, CCB dapat mengurangi gejala pada pasien yang telah menerima nitrat dan
beta blocker. Juga, CCB bermanfaat apabila terdapat kontraindikasi pemberian beta
blocker serta pada angina vasospastik. Kontraindikasi pemberian beta blocker antara lain
adalah terdapat tanda-tanda gagal jantung akut, hipotensi, dan peningkatan risiko syok
kardiogenik. Kontraindikasi relatifnya berupa PR interval >0,24, blok AV derajat 2 atau 3,
asma bronkial aktif atau kelainan saluran napas reaktif. 12
Antiplatelet oral berupa aspirin atau clopidogrel diberikan pada pasien sindrom
koroner akut. Dosis awal aspirin untuk semua pasien sindrom koroner akut adalah sebesar
160-325 mg, selanjutnya diberikan 75-100 mg per hari. Pilihan lainnya adalah clopidogrel
dengan dosis awal 300 mg per oral, dilanjutkan 75 mg per hari. Clopidogrel  dapat
diberikan hingga 12 bulan kecuali terdapat komplikasi perdarahan berlebihan. Apabila
pasien direncanakan menjalani PCI, clopidogrel dapat diberikan dengan dosis loading 600

15
mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yang lebih cepat dan optimal. Sebagai
tambahan, antiplatelet intravena berupa penghambat reseptor GpIIb/IIIa seperti tirofiban
dapat diberikan. 12
Antikoagulan diberikan pada semua pasien selain anti platelet berupa heparin
(unfractioned heparin atau low molecular weight heparin). Antikoagulan yang tersedia
berupa enoxaparin atau fondaparinux. 12
Pada pasien resiko sedang dan tinggi, angiografi koroner dini dilakukan <72 jam
diikuti oleh PCI atau CABG. Jika pasien mengalami angina refrakter atau berulang disertai
perubahan segmen ST, gagal jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik
tidak stabil, direkomendasikan dilakukan angiografi koroner urgensi. 12
Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah ACE inhibitor atau ARB dan statin. 12
Pada pasien dengan resiko rendah, terapi yang diberikan adalah aspirin dan beta
blocker. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi di IGD.
Selanjutnya, pada rawat jalan, dapat dipertimbangkan uji latih jantung dan ekokardiografi.
12

2.4.2 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST


Pada pasien SKA dengan elevasi segmen ST, tatalaksana awal yang diberikan tidak
jauh berbeda dengan SKA tanpa elevasi segmen ST. Termasuk di antaranya adalah
pemberian oksigen, aspirin, nitrat hingga morfin. Namun, yang penting untuk diperhatikan
adalah pemilihan revaskularisasi dan reperfusi miokard yang harus dilakukan pada pasien
STEMI akut dengan presentasi <12 jam. Di ruang perawatan intensif, dalam 24 jam
pertama datang, pasien perlu dimonitor secara kontinyu 24 jam. Nitrogliserin oral kerja
cepat dapat diberikan untuk mengatasi nyeri dada. Pemberian intravena kontinyu diberikan
pada gagal jantung, hipertensi atau tanda-tanda iskemi yang menetap. 12
Terapi fibrinolitik direkomendasikan pada pasien dengan presentasi ≤3 jam atau
jika tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat. Apabila waktu antara
pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90 menit atau jika waktu antara pasien tiba
sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu antara pasien tiba sampai dengan proses
fibrinolitik > 1 jam, terapi fibrinolitik tetap direkomendasikan. 12
Penggunaan heparin dilakukan dengan pemberian UFH sebagai ko-terapi bolus IV
60 U/kgBB maksimum 4000 U. Dosis pemeliharaan per drip 12 U/kgBB selama 24-48 jam
dengan maksimum 1000 U/jam dengan target aPTT 50-70 detik. 12

16
Monitoring aPTT dilakukan pada 3,6,12,24 jam setelah memulai terapi. Selain
UFH, dapat digunakan juga LMWH pada pasien berusia <75 tahun, dengan fungsi ginjal
yang masih baik (Cr<2,5mg/dL pada laki-laki atau <2,0 mg/dL pada wanita). 12
Apabila terdapat fasilitas PCI (intervensi koroner perkutan primer), PCI
direkomendasikan pada presentasi > 3 jam. Juga, apabila PCI dapat dilakukan dengan
cepat, fibrinolitik dikontraindikasikan serta resiko tinggi dengan gagal jantung kongestif
(killip kelas 3). 12
Kontraindikasi Fibrinolitik absolut di antaranya adalah12:
 Riwayat perdarahan intrakranial
 Lesi struktural serebrovaskular
 Tumor intrakranial
 Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir
 Dicurigai diseksi aorta
 Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
 Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
Kontraindikasi relatif fibrinolitik antara lain adalah12:
 Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
 Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik >180 mmHg atau
TD diastolik > 110 mmHg)
 Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial selain yang
terdapat pada kontraindikasi absolut
 Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
minggu
 Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
 Terapi antikoagulan oral
 Kehamilan
 Non-compressible puncture
 Ulkus peptikum aktif
 Khusus streptokinase atau anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya (>5 hari)
atau riwayat alergi zat tersebut.

Bedah pintas dilakukan apabila terjadi kegagalan PCI di mana terjadi oklusi
mendadak arteri koroner selama proses kateterisasi, PCI tidak memungkinkan, syok
17
kardiogenik, pasien dengan kompilkasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral,
maupun pasien dengan iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi
medikamentosa dengan anatomi yang sesuai dengan tindakan bedah. 12

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the


Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet].
California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2020 April].
Available from www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
2. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug [cited
2020 April]. Available from
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH.
3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated
Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited
2020 April]; 16 (6): [about 23 p]. Available from 
http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guidelin
e_sec_12.pdf.
4. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology.
Journal of Medicine [serial on the internet].  2010 [cited 2020 April].  Available
from http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3
5. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated Heart
Failure. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency
Medicine University of Pennsylvania; 2001 [cited 2020 Aprill]. Available from
www.emcreg.org.
6. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure.
[monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 [cited
2020 April]. Available from http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF
7. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To
Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia :
Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2020
April]. Available from www.emcreg.org.
8. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome. 5thed.
Philadelphia: Lippincott Wliiams&Wilkins;2011 . p. 162-75

19
9. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed.
Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.
10. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-
ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making.
JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42
11. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-elevation
myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at
presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II
trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7
12. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung
Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia; 2009. P.81-92

20

Anda mungkin juga menyukai