Pembimbing :
Disusun oleh :
Andy Susanto
406182009
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat
atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru
atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat.
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang
terus meningkat. Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan
lebih dari 550,000 kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung
bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rawatan
yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah
sakit masing –masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami
hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan.1
Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun 2007, biaya langsung
dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya
hospitalisasi untuk bagian yang lebih besar sekitar 54%.1
Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab
paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar
sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.1
Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa penggolongan klinis
terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dengan perburukan gagal
jantung. Studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung
memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat masuk rumah sakit dan umumnya mengalami
left ventricular ejection fraction (LVEF).3
2
1.3 Etiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang paling
umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau hilangnya otot
jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau
berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari
pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.2
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur
dan fungsionalnya menjadi abnormal [dengan ketiadaan penyakit jantung koroner,
hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan
terjadinya abormalitas miokard.2
Tabel 1. Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit
miokardial)2
3
1.4 Gejala Klinis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering
tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan
pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang
diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk
pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk
dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.3
4
hepatomegaly, kongesti
usus.
5
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan
manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pasien yang datang
dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk didiagnosis. Mereka umunya
memiliki tanda dan gejala kongesti paru ( dispneu saat melakukan kegiatan, Orthopnea,
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), dan Ronchi). Sedangkan manifestasi cepat
kenyang, mual dan muntah merupakan akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI).
Kongesti pada hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan Hepatosplenomegali,
hepatomegali, atau splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya peningkatan tekanan
vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan edema perifer
juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum dan perifer.1.5
Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan gejala
dan tanda tidak spesifik (tabel 4). Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal merupakan tolok
ukur objektif terhadap hipoperfusi.1
Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu
berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit ini.
Pemeriksaan dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheter
yang merupakan gold standart untuk pengukuran tekanan intrakardiak dan cardiac output,
sayangnya katerisasi jantung merupkan prosedur invasif yang mungkin menimbulkan
komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan biomarker terhadap gagal jantung seperti B –
Type Natriuretic Peptide (BNP), yaitu suatu neurohormonal yang dilepaskan dari
ventrikel jantung (miokardium) sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan
ketegangan dinding (misalnya perenggangan), merupakan penunjang dignostik untuk
ADHF dan merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang dikaitkan dengan
gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai organ
endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume
cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B –
Type Natriuretic Peptide , suatu hormone diuretik, natriuretic dan bekerja menrelaksasi
otot polos vascular.1.3.5.6
1.6 Penatalaksanaan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara
signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang
digunakan untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara
lain yaitu :
6
Gambar 1. Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure
di instalasi gawatdarurat.7
7
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.
ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP, bi-
level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic peptide; CI, cardiac index;
CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion; HJR,
hepatojugular reflex; JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary
wedge pressure; PND, paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure;
SCr, serum creatinine; SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.7
8
BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV
Intravenous; SBP Systolic blood pressure
Gambar 3. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure7
9
2.2 Gejala Klinis Sindrom Koroner Akut
2.2.1 Unstable Angina (UA)
Unstable angina merupakan suatu kondisi percepatan terjadinya gejala iskemia. Hal
tersebut dapat berupa adanya pola cressendo pada pasien yang memang sudah sering
mengalami stable angina secara kronis. Frekuensi, durasi dan atau intensitas episode
iskemiknya meningkat. Kondisi lain yang juga merupakan tanda unstable angina adalah
adanya angina yang terjadi saat istirahat, tanpa provokasi. Episode angina baru, yang
dirasakan begitu berat, pada pasien yang sebelumnya belum pernah mengalami gejala
penyakit arteri koroner. 8
10
Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya biomarker serum
penanda nekrosis miokardium. Selain itu, pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau
gelombang T yang lebih persisten. Pada STEMI, gambaran EKG menunjukan adanya
elevasi segmen ST ditambah dengan terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis
miokardium. 8
11
dan batu empedu rupanya menjadi diagnosis utama pasien nyeri dada yang datang ke
rumah sakit. Selain itu, ada penyakit jantung iskemik, sindrom dinding dada, perikarditis,
pleuritis, pneumonia, emboli paru, kanker paru, aneurisma aorta, stenosis aorta dan herpes
zoster. 9
Terdapat beberapa karakteristik nyeri dada yang dapat membantu kita untuk
mengarahkan pada penyebab nyeri tersebut, antara lain adalah9:
Nyeri kostokondral atau dinding dada: nyeri terlokalisir, terasa seperti ditusuk-
tusuk, tajam atau bisa juga nyeri tumpul dan persisten. Nyeri muncul apabila
dilakukan tekanan pada area yang nyeri.
Penyakit tulang belakang toraks dan leher dengan kompresi radiks saraf: nyeri
tajam, dapat tersebar sesuai distribusi radikular. Nyeri diperberat dengan
pergerakan leher dan punggung.
Nyeri esofagus atau lambung: berkaitan dengan adanya disfagia atau GERD. Nyeri
dapat diperberat dengan alkohol, aspirin, makanan tertentu, posisi supinasi. Nyeri
seringkali mereda dengan pemberian antasida.
Nyeri bilier: Berkaitan dengan intoleransi makanan berlemak, tenderness pada
perut kanan atas.
Iskemia Miokardium: Nyeri diperberat dengan aktivitas atau saat terjadi emosi.
Pada pemeriksaan EKG, didapatkan adanya deviasi segmen ST. Nyeri dapat
mereda dengan cepat, hanya sekitar (<5 menit) dengan pemberian TNG.
Diseksio aorta: nyeri seperti robek (tearing atau ripping) dan menjalar dari dinding
anterior dada ke bagian punggung sisi tengah. Diseksio aorta berkaitan sekali
dengan hipertensi dan sindrom marfan. Pulsasi melemah dan dapat terjadi
ketidaksimetrisan pulsasi perifer.
Perikarditis akut: nyeri seperti diremas-remas, tajam, pleuritik, dan membaik
apabila duduk condong ke depan. Perikarditis berkaitan dengan riwayat infeksi
saluran nafas atas, atau kondisi lain yang menjadi predisposisi perikarditis.
Emboli paru: nyeri pada emboli paru bersifat tajam, pleuritik, dan dapat disertai
dengan batuk (dapat berdarah atau tidak). Seringkali berkaitan dengan imobilisasi
atau riwayat operasi.
Pneumotoraks akut: nyeri sangat tajam dan pleuritik. Berkaitan dengan riwayat
trauma sebelumnya, atau penyakit paru obstruktif kronis.
12
Ruptur esofagus: nyeri intens pada substernal dan epigastrium; biasanya disertai
dengan muntah atau pun hematemesis. Kondisi ini berkaitan dengan riwayat
muntah berulang sebelumnya.
13
Sementara itu, untuk skoring TIMI pada kasus STEMI, kriteria sedikit berbeda, yaitu:
(sebelumnya pertimbangkan tanda dan gejala berikut: nyeri dada lebih dari 30 menit, ST
elevasi, onset kurang dari 6 jam).11
1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 poin)
2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3 poin)
3. Denyut nadi > 100 BPM (2 poin)
4. Kelas Killip II-IV (2 poin)
5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 poin)
6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 poin)
7. Waktu onset hingga penatalaksanaan lebih dari 4 jam (1 poin)
Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark
miokard sebagai berikut.11
0 poin: 0,8%
1 poin: 1,6%
2 poin: 2,2%
3 poin: 4,4%
4 poin: 7,3%
5 poin: 12%
6 poin: 16%
7 poin: 23%
8 poin: 27%
9-14 poin: 36%
14
pemeriksaan tanda vital,
mendapatkan akses intravena,
perekaman dan analisis EKG,
anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pengambilan sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta
pemeriksaan koagulasi
15
mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yang lebih cepat dan optimal. Sebagai
tambahan, antiplatelet intravena berupa penghambat reseptor GpIIb/IIIa seperti tirofiban
dapat diberikan. 12
Antikoagulan diberikan pada semua pasien selain anti platelet berupa heparin
(unfractioned heparin atau low molecular weight heparin). Antikoagulan yang tersedia
berupa enoxaparin atau fondaparinux. 12
Pada pasien resiko sedang dan tinggi, angiografi koroner dini dilakukan <72 jam
diikuti oleh PCI atau CABG. Jika pasien mengalami angina refrakter atau berulang disertai
perubahan segmen ST, gagal jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik
tidak stabil, direkomendasikan dilakukan angiografi koroner urgensi. 12
Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah ACE inhibitor atau ARB dan statin. 12
Pada pasien dengan resiko rendah, terapi yang diberikan adalah aspirin dan beta
blocker. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi di IGD.
Selanjutnya, pada rawat jalan, dapat dipertimbangkan uji latih jantung dan ekokardiografi.
12
16
Monitoring aPTT dilakukan pada 3,6,12,24 jam setelah memulai terapi. Selain
UFH, dapat digunakan juga LMWH pada pasien berusia <75 tahun, dengan fungsi ginjal
yang masih baik (Cr<2,5mg/dL pada laki-laki atau <2,0 mg/dL pada wanita). 12
Apabila terdapat fasilitas PCI (intervensi koroner perkutan primer), PCI
direkomendasikan pada presentasi > 3 jam. Juga, apabila PCI dapat dilakukan dengan
cepat, fibrinolitik dikontraindikasikan serta resiko tinggi dengan gagal jantung kongestif
(killip kelas 3). 12
Kontraindikasi Fibrinolitik absolut di antaranya adalah12:
Riwayat perdarahan intrakranial
Lesi struktural serebrovaskular
Tumor intrakranial
Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir
Dicurigai diseksi aorta
Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
Kontraindikasi relatif fibrinolitik antara lain adalah12:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik >180 mmHg atau
TD diastolik > 110 mmHg)
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial selain yang
terdapat pada kontraindikasi absolut
Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
minggu
Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
Terapi antikoagulan oral
Kehamilan
Non-compressible puncture
Ulkus peptikum aktif
Khusus streptokinase atau anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya (>5 hari)
atau riwayat alergi zat tersebut.
Bedah pintas dilakukan apabila terjadi kegagalan PCI di mana terjadi oklusi
mendadak arteri koroner selama proses kateterisasi, PCI tidak memungkinkan, syok
17
kardiogenik, pasien dengan kompilkasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral,
maupun pasien dengan iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi
medikamentosa dengan anatomi yang sesuai dengan tindakan bedah. 12
18
DAFTAR PUSTAKA
19
9. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed.
Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.
10. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-
ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making.
JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42
11. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-elevation
myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at
presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II
trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7
12. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung
Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia; 2009. P.81-92
20