Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Dasar Teori

Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi
proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas
cakupannya. Namun untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu
agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan penyakit. Selain itu agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat
mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Farmakologi mencakup pengetahuan
tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan
biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan
penggunaan obat. Seiring berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu
tersebut telah berkembang menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)

Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu


farmakologi yang memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang
merupakan sumber obat, farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat,
memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat. farmakologi klinik
ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia.
farmakoterapi cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam
pencegahan dan pengobatan penyakit, toksikologi ialah ilmu yang
mempelajari keracunan zat kimia, termasuk obat, zat yang digunakan dalam
rumah tangga, pestisida dan lain-lain serta farmakokinetik ialah aspek
farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya dan farmakodinamik yang mempelajari efek
obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai oran tubuh serta mekanisme
kerjanya. Pada penulisan makalah ini akan di bahas tentang aspek farmakologi
yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.

1
1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa itu


farmakokinetik dan farmakodinamik dalam bidang farmakologi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 obat, yaitu proses absorbsi
(A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme dan
ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat
(Gunawan, 2009).

2.1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya,
tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum),
kulit, paru-paru, otot, dan lain-lain. yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah
usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas,
yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai
dengan vili dan mikrovili) (Gunawan, 2009).
Absorbsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan
kedalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Pada leverl seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa
metode, terutama transport aktif dan transport pasif.
a. Metode absorbsi
 Transport Pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya
dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan
kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.
Transport aktif terjaid selama molekul-molekul kecil dapat

3
berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila konsentrasi pada
kesua sisi membran seimbang.
 Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan
obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan
konsentrasi obat tinggi.
b. Kecepatan absorbsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sistemik hanya
sedikit sel, absorbsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level
pengobatan dalam tubuh.
- Detik s/d menit : SL, IV, inhalasi
- Lebih lambat : oral, IM, topikal kulit, lapisan intestinal, otot
- Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari : per rektal, sustained
frelease
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorbsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorbsi
3. Waktu kontak permukaan absorbsi
d. Kecepatan absorpsi
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi
pergerakan saluran cerna, retensi gaster.
2. Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat
pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorbsi
obat.
3. Faktor bentuk obat
Absorbsi dipengaruhi formulasi obat : tablet, kapsul,
cairan, sustained release, dll.
4. Kombinasi dengan obat lain

4
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan
atu memperlambat tergantung jenis obat.

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebeblum


beredar ke seluruh tubuh. Hepar metabolisme banyak obat sebelum
masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek first-pass.
Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga
menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis
obat yang diberikan harus banyak.

2.1.2 Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkualasi
sistemik ke jaringan dan cairan tubuh.
a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke
organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran
darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi
ke organ lain sepertikulit, lemak dan otot lebih lambat.
b. Permeabilitas kapiler
Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat.
c. Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan
protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif
dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan
efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat
protein.
2.1.3 Metabolisme
Metabolisme / biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang
keluar tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;

5
b. Menjadi metabolitaktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri
dan bisa dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian
setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme
yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak,
dan  kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar
(larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui
ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah
menjadi inaktif, tapi sebagian berubah  menjadi lebih aktif, kurang
aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi
metabolisme, al. Penyakit hepar seperti sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang
dapat memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain
lambat.
3. PengaruhLingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme,
contohnya: Rokok, Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi,
Cedera.
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi
vs dewasa vs orang tua.
2.1.4 Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi / pembuangan obat dari tubuh.
Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin.

6
Obat juga dapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah,
payudara), kulit dan taraktus intestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3
proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal
mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa
menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah
melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi
melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan,
2009).

Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:  


a. Waktu Paruh
Waktuparuh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat
dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi,
metabolism dan ekskresi.
Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat
harus diberikan.
b. Onset, puncak, and durasi
Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa
kerjanya. Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat.
Puncak, setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka
konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat.
Durasi, durasi kerja adalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi.

2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya (setaiwati dkk,1995) Tujuan mempelajari
mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi

7
obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon
yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi
nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

2.2.1 Mekanisme Kerja Obat


Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada
sel suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan
perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat
tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh fungsi baru, tetapi hanya
memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen
secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang setiap komponen
makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk
ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya
menyerupai senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang
tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif
efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut
antagonis.

2.2.2 Reseptor Obat


1. Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah
protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.).
asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting
misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan
ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya
merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa
ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lam kerja obat
sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikina ikatan non
kovalen yang aafinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.

8
2. Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya
terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil
dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat
menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam
strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya
lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya
obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi
terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor
fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan
autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh
ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain
) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar
tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel
lain yang dikenal sebagai second messenger.

Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secaraerat


dengan protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain
menimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor
mengatur aktivitas adenilat siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP
sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lahyang berfungsi
sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam
protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain berfungsi
sebagai penghamabatan sinyal. Berikut ini akan dibahas berbagai reseptor
fisiologik tersebut.

9
2.2.3 Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis iyalah proses yang menyebabkan suatu
substansi extra seluler ( extracellular chemikal ) menimbulkan suatu respons
seluler fisiologis yang spesifik. Sistem penghantaran ini di mulai dengan
pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma
oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar. Contoh
transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin,
TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah
steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D.
Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang
sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara
langsung ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur
lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin
memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem
reseptor-efektor ) misalnay adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor
mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklik-AMP.
Yang merupakan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut
pengikat DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi
gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan
meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang
mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan
akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang
mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin. Kelompok
reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth factor,
p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida
yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya
yang berupa protein kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino
hidrovobik yang menembus membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel
ini bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-

10
GMP. Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu membentuk kanal
ion selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya
dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh
kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat,
aspartap,dan glisin. Reseptor ini merupakan protein multi-subunit yang
rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion.
Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di
bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu
protein efektor tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein
yang di kenal sebagai protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor
untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein lainnya. Reseptor ini
bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang
selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat
siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa
protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat mempunyai 5
atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan respon
terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor
yang berbeda pula.
Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam
sitoplasma dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa
cAMP, ion Ca2+ , dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol
trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini memenuhi
kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat,
bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak
ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP ialah second
messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui
stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon terhadap aktivitas
bermacam-macam reseptor.

11
2.2.4 Interaksi Obat – Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan
enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der
waals) dan jarang berupa ikatan kovalen
1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek
Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy),
intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang
diduduki atau diikat nya, dan intensitasnya efek mencapai maksimal
bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-
reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka di sini
berlaku persamaan michaelis-menten.
Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya
efek E terlihat sebagai kurva dosis-intensistas efek (graded dose-
effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi kurva log
dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk sigmoid.. Bila efek
yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC
dapat bermacam-macam , tetapi masing-masing berbentuk sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang
dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar
efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ), sehingga lebih mudah untuk
memperbandingkan beberapa DEC.
1/KD menunjukan afinitas obat terhadap reseptor, artinya
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya
kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan
obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD
(= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil afinitas
obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas intrinsik atau
efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks obat-reseptor
untuk menimbulkan aktivitas dan/atau efek farmakologik.

12
2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat
Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya
tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam
menghasilkan efek. Efek antihipertensi, misalnya merupakan
kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,dan sistem saraf. Walaupun
demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-
kurva sederhana untuk masing- masing komponennya. Kurva
sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel
yaitu potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik.
Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek.
Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang
tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan afinitas obat terhadap
reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik
digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang
terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu
besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau
membayangkan bila obatnya mudah menguap atau di serap melalui
kulit.
Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan
obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh
akyivitas intrinsik obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada
DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi oleh timbulnya efek
samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik
mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini
merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin
berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat
menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek
maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya.
Slopeatau lereng log DEC merupakan variabel yang penting
karena menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang curam,
misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis yang

13
menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
dosis yang menimbulkan sedasi/tidur.
Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam
besarnya respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Suatu
graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu, tetapi
dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal yang
berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis
horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk
menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi
di perlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa
pemberian obat dengan dosis tertentu pada populasi akan
menimbulkan suatu intensitas efek
.
2.2.5 Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan
reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi
dengan ion molekul kecil, atau masuk komponen sel.
1. Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran
Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ),
misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga
mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek
diuretik. Dengan demikian juga katartik osmotik (MgSO4), gliserol yang
mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil pirolidon =
PVP) untuk menambah volume intravaskuler
Perubahan sifat asam/asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid
dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine,
dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai
antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam saluran
vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik digunakan
sebagai antiseptik dan disenfektan, dan kontrasepsi, contohnya, (1)
detergen merusak integritas membran lipoprotein;(2) halogen, peroksida,

14
dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak integritas
dan kapasitas sibseluler dan protein.
Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap
misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan
melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya
menurun
2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion
Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya
CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif
pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat Cu2+
bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite)
pada keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yangf terbentuk
larut dalam air sehingga mudah dikelurkan melalui ginjal.
3. Masuk ke dalam Komponen Sel
Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat
berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya.
Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-
merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti
mokroba lain.

2.2.6 Terminologi
1. Spesifisitas dan Selektivitas
Suatu obat dikatak spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis
reseptor, dan dikatak selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis
rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang
spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik dengan
sendirinya tidak selektif. Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena
ia bekerja pada berbagai jenis reseptor; kolinergik, adrenergik dan
histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin adalah
bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena
reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol ialah agonis bheta-

15
adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini memblok reseptor
bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus.
Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari
cara pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan
meningkatkan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat ini
pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan sebagai obat
semprot langsung ke saluran napas.
2. Istilah Lain
Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan
dosis tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah
hipersensitif digunakan untuk efek yang berhubungan dengan alergi obat.
Istilah supersensitif di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat denervasi
atau akibat pemberian kronik suatu bliker reseptor yang merupakan
denervasi farmakologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan
hiporeaktif akibat pajanan obat bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang
terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa dosis obat di
sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat
pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya
terhadap insulin. Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang
aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis
dan sangat jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang
siur maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi

16
BAB III

KESIMPULAN

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian


umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik.

Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan


fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja
obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel,
dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Setiawati dkk., 1995. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4.
Jakarta : Gaya Baru
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Katzung, G Betram. 2002. Farmokologi dasar dan klinik edisi 2. Jakarta : Salemba
medika  
Katzung, G Betram. 2002. Farmokologi dasar dan klinik edisi 3. Jakarta : Salemba
medika

18

Anda mungkin juga menyukai