Anda di halaman 1dari 9

Bakau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
?
Rhizophora

Pohon bakau, Rhizophora


racemosa.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malpighiales
Famili: Rhizophoraceae
Genus: Rhizophora
Spesies
Rhizophora apiculata
Rhizophora mangle
Rhizophora mucronata
Rhizophora racemosa
Rhizophora stylosa

Bakau adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae.
Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu,
pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar
ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang,
tanjang (Jw.); tinjang (Md.); bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lain-lain.

[sunting] Habitus
Pohon besar, dengan akar tunjang yang menyolok dan bercabang-cabang. Tinggi total 4-30 m,
dengan tinggi akar mencapai 0.5-2 m atau lebih di atas lumpur, dan diameter batang mencapai 50
cm. Bakau merupakan salah satu jenis pohon penyusun utama ekosistem hutan bakau.

Daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan kuncup tertutup daun
penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal licin serupa kulit, hijau atau hijau
muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai, 3,5-13 × 7-23 cm. Daun penumpu cepat rontok,
meninggalkan bekas serupa cincin pada buku-buku yang menggembung.

Bunga berkelompok dalam payung tambahan yang bertangkai dan menggarpu di ketiak, 2-4-8-16
kuntum, berbilangan 4. Tabung kelopak bertaju sekitar 1,5 cm, kuning kecoklatan atau
kehijauan, melengkung. Daun mahkota putih berambut atau gundul agak kekuningan,
bergantung jenisnya. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Buah bakau, perhatikan hipokotilnya yang berwarna hijau memanjang.

Buah berbentuk telur memanjang sampai mirip buah pir yang kecil, hijau coklat kotor. Hipokotil
tumbuh memanjang, silindris, hijau, kasar atau agak halus berbintil-bintil.

[sunting] Keragaman jenis, habitat dan penyebaran


Ada tiga jenis bakau yang biasa dijumpai di hutan-hutan bakau di Indonesia. Jenis-jenis tersebut
ialah:

[sunting] Bakau minyak

Memiliki nama ilmiah Rhizophora apiculata Bl. (atau sering pula disebut R. conjugata L.),
bakau minyak juga disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain.
Tandanya, dengan warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.

Bunga biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buah
kecil, coklat, panjangnya 2 – 3,5 cm. Hipokotil dengan warna kemerahan atau jingga, dan merah
pada leher kotiledon bila sudah matang. Panjang hipokotil sekitar 18 – 38 cm.

Menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena pengaruh
masukan air tawar yang tetap dan kuat. Menyebar mulai dari Sri Lanka, Semenanjung Malaya,
seluruh Indonesia, sampai ke Australia tropis dan pulau-pulau di Pasifik.

[sunting] Bakau kurap

Nama ilmiahnya adalah Rhizophora mucronata Poir. Juga disebut dengan nama-nama lain
seperti bakau betul, bakau hitam dan lain-lain. Kulit batang hitam, memecah datar.

Bunga berkelompok, 4-8 kuntum. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 9 mm. Buah
bentuk telur, hijau kecoklatan, 5 – 7 cm. Hipokotil besar, kasar dan berbintil, panjang 36 – 70
cm. Leher kotiledon kuning jika matang.

Sering bercampur dengan bakau minyak, namun lebih toleran terhadap substrat yang lebih
keras dan berpasir. Lebih menyukai substrat yang tergenang dalam dan kaya humus; jarang
sekali didapati di tempat yang jauh dari pasang surut. Menyebar luas mulai dari Afrika timur,
Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, Melanesia dan Mikronesia.
Diintroduksi ke Hawaii.

[sunting] Bakau kecil

Pohon dengan satu atau banyak batang. Tidak seperti dua kerabatnya terdahulu yang dapat
mencapai 30 m, bakau kecil hanya tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 m. Nama ilmiahnya
adalah Rhizophora stylosa Griff.

Bunga dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih, berambut panjang
hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang s/d 4 cm. Hipokotil berbintil agak halus, 20-35 cm
(kadang-kadang 50 cm); leher kotiledon kuning kehijauan ketika matang.

Bakau ini menempati habitat yang paling beragam. Mulai dari lumpur, pasir sampai pecahan
batu atau karang. Mulai dari tepi pantai hingga daratan yang mengering. Terutama di tepian
pulau yang berkarang. Diketahui menyebar di Taiwan, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, dan
Australia tropis. Di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua.

[sunting] Kegunaan
Kayu bakau memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan terutama
sebagai bahan pembuat arang. Kulit kayu menghasilkan tanin yang digunakan sebagai bahan
penyamak.

Sebagai kayu bakar, secara tradisional masyarakat biasa memakai jenis Xylocarpus (Nirih atau
Nyirih). Sedangkan untuk bahan baku pembuat arang biasa dipakai Rhizophora sp., sedangkan
penggunaan kulit kayu bakau untuk diambil tanninnya, hampir-hampir tidak terdengar lagi.

Satu lagi kegunaan kayu bakau, adalah untuk bahan kertas. Kayu bakau biasa dicincang dengan
mesin potong menghasilkan serpihan kayu / wood chips. Menurut berita, jenis kertas yang dibuat
dari kayu bakau adalah termasuk kertas kualitas tinggi.

Kegunaan dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan sumber
(langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir, di mana peran pemerintah untuk
pengaturannya masih sangat minim.

[sunting] Lihat pula


Untuk manfaat dan ekologi hutan bakau, lihat pada artikel-artikel berikut:

 Hutan bakau
 Margasatwa hutan bakau

[sunting] Rujukan
 Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
 van Steenis, CGGJ. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta.
BIOLA adannya benthos

METODELOGI

Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik
(Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan
tanaman spesifik.  Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa
kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik.  Tidak
ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik,
sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau
kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).

Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif
dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik.  Metode ini dikembangkan
berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi
dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran.  Model yang umum
digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan
dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).

Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk
menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.  Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya
keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.

Indeks keragaman jenis (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis,
untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing
jenis dalam suatu komunitas.  Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks keragaman
Shannon – Wiener.

Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman


populasi, yang disimbulkan dengan huruf E.  Nilai E ini berki-sar antara 0 – 1.  Semakin kecil
nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap
jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya
semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi.  Untuk melihat dominasi suatu
spesies digunakan indeks dominansi (C).

Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi
Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air.  Wilhm (1975) menyatakan bahwa air
yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu.  Jika berkisar antara
satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar.  Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya
besar dari tiga.  Staub et all.  dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks
keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (0<H’<1), setengah
tercemar (1<H’<2), tercemar ringan (2<H’<3) dan tercemar sangat ringan (3<H<4,5).  Kisaran
nilai H’ tersebut merupa-kan bagian dari penilaian kualitas air yang dilakukan secara terpadu
dengan faktor fisika kimia air.  Sedangkan Lee et all. (1978) menyatakan bahwa nilai indeks
keragaman (H) pada perairan tercemar berat, kecil dari satu (H<1), tercemar sedang (1,0 – 1,5),
tercemar ringan (1,6 – 2,0), dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0).

Pengembangan metode indeks diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May (1975) dalam
Magurran (1988), yaitu menggunakan model distribusi kelimpahan jenis.  Model distribusi
kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan parameter yang sama namun dalam
perhitungannya lebih bervariasi misalnya rangking spesies, kelimpahan observasi, kelimpahan
teoritis, dan uji kesesuaian model, sehingga model ini lebih mendekati keadaan perairan
sesungguhnya.
Model distribusi kelimpahan spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian dan
pemanfaatan sumber daya dalam komunitas (Magurran, 1988).  Model-model tersebut adalah:
Model Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken Stick.  Model Geometrik
menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana organisasi komunitas bersifat kompetitif
dan mengalami gangguan, produktifitas rendah, pembagian sumber daya dalam komunitas tidak
merata (Southwood, 1978) dan dalam tingkat suksesi awal atau lingkungan sangat terganggu
(Magurran, 1988).  Model Log normal menggambarkan organisasi komunitas yang layak,
pembagian relung yang mantap atau merata, lingkungan perairan yang stabil sehingga
mencirikan suatu komunitas yang seimbang.  Model Broken Stick menggambarkan suatu
komunitas yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian relung mengacak tanpa tumpang
tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif (Southwood, 1978).

Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan struktur komunitas
makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.  Analisa lebih detail dapat
dilakukan dengan “principle components analysis”. Dari gambaran ini diharapkan dapat
diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang diduga dapat digunakan sebagai indikator kualitas
perairan serta faktor fisika kimia apa saja yang terutama mempengaruhi keberadaan
makrozoobentos di perairan tersebut.

Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan
bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a).  mudah diidentifikasi, b). 
tersebar secara kosmopolit, c).  kelimpahan dapat dihitung, d).  Variabilitas ekologi dan genetik
rendah, e).  ukuran tubuh relatif besar, f).  mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama, g). 
karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h).  terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta
i).  cocok untuk digunakan pada studi laboratorium.  Rondo (1982) mengemukakan bahwa suatu
takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus ekslusif dengan fekuensi
kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi kehadiran 50%, dan predominan.  Suatu
takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya minimal 10%.

Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan
organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-
kimia (Hynes, 1978).  Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran
organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan
diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap
kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). 
Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi
seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masing-masing bentik memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi sejalan
dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal tersebut
memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas bentik. Dalam
menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah mengembangkan berbagai
bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud adalah adaptasi ukuran tubuh,
adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan memperkuat dinding tubuh serta
mengembangkan alat pelekat. Semua organisme bentik berukuran sangat kecil. Adaptasi yang
sangat nyata terhadap lingkungan dinamis adalah ukuran dan bentuk tubuh. Ukuran tubuh bentik
berkisar 0.63–1 mm (63–1.000 µm). Kebanyakan organisme bentik mempunyai bentuk tubuh
memanjang atau seperti plat, dan ada juga berbentuk silinder. Umumnya bentik melakukan
pelangsingan tubuh dan meningkatkan fleksibilitas tubuh. Bentuk tubuh seperti flat, organisme
bentik dapat melekatkan dirinya pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini agar
bentik dapat tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga terbebas dari pengaruh
selama proses suspensi kembali (resuspensi) ke atas. Dalam lingkungan sedimen yang gelap,
bentik melakukan adaptasi dengan mereduksi mata dan pigmen tubuhnya (Webber & Thurman,
1999).

Kehadiran bentik dalam suatu ekosistem dapat mempengaruhi struktur komunitas makrofauna
secara nyata. Bentik yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut memiliki peranan yang amat
penting, yaitu sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi
dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi, dan memberikan kontribusi dalam
menopang kehidupan organisme trofik yang lebih tinggi seperti kepiting, ikan dan udang. Terkait
dengan responnya terhadap lingkungan, bentik mempunyai kepekaan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi terhadap lingkungannya, sehingga jenis tertentu dari bentik, seperti
Nematoda dan Copepoda sering digunakan sebagai indikator dalam menyatakan kelimpahan
bahan organik. Perbandingan Nematoda dan Copepoda (rasio N/C) dapat digunakan sebagai alat
biomonitoring pencemaran organik dalam komunitas bentik. Pengaruh utama akumulasi bahan
organik adalah pengurangan kandungan oksigen dalam sedimen dan selanjutnya menstimulasi
pembentukan lapisan hidrogen sulfida (Odum, 1993).

Keuntungan menggunakan bentik untuk studi pencemaran adalah:


1) Biasanya bentik mempunyai kemampuan untuk bertambah dalam lingkungan bentik yang
terganggu/tercemar, tidak seperti makrofauna;
2) Umumnya bentik mempunyai siklus hidup yang pendek (sekitar 30–40 hari), menghasilkan
generasi dalam setahun, organisme yang terekspos tahan terhadap toksikan dan siklus hidupnya
lebih komplit;
3) Ukuran bentik yang kecil dapat diberikan untuk ukuran sampel yang kecil pula;
4) Komunitas bentik sifatnya lebih stabil, baik kualitas maupun kuantitasnya terhadap musim
dan dari tahun ke tahun daripada makrofauna.
komunitas merupakan kumpulan beberapa populasi pada ruang dan waktu yang sama. Didalam
komunitas digunakan beberapa pendekatan yaitu:
pendekatan struktural yang bersifat kuantitatif. Kekayaan spesies yaitu dengan adanya
keragaman spesies.

BAB V

KESIMPULAN

Sebagai organisme yang hidupnya cenderung menetap di dasar perairan, maka pemanfaatan
makrozoobentos untuk mengetahui kualitas perairan, akan dapat memberikan gambaran kondisi
perairan yang lebih tepat. Namun dalam hal ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,
diantaranya proses pengambilan makrozoobentos dan pengidentifikasian.

Penentuan kualitas perairan dengan menggunakan makrozoobentos dapat dilakukan dengan


menghitung tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi serta dengan menggunakan
model-model kelimpahan. Adapun untuk melihat keterkaitannya dengan faktor fisika-kimia
perairan dapat dilakukan dengan pengujian secara regresi atau melalui analisa komponen utama.
Sehingga makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.

Anda mungkin juga menyukai