Faktor Resiko Terhadap Kejadian Stunting
Faktor Resiko Terhadap Kejadian Stunting
ABSTRAK: Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis.
Masalah gizi merupakan masalah yang penting didunia dan dapat ditemukan khususnya di
Negara-negara miskin atau Negara berkembang. Penyebab stunting pada balita cukup beragam
seperti asupan makanan, penyakit infeksi, dan status social ekonomi keluarga. Dari beberapa
faktor tersebut, maka stunting memberikan dampak buruk bagi penderita. Hal yang paling sering
kita lihat adalah tumbuh pendek saat remaja.
Kata Kunci: Masalah Gizi & Stunting
Pendahuluan
Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidak cukupan nutrisi
yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai dengan usia 24 bulan. Stunting merupakan
suatu permasalahan gizi yang banyak dihadapi dunia khususnya negara berkembang dan negara-
negara miskin (Mitra, 2015). Seseorang akan dikatakan stuting jika indeks TB/U-nya
menghasilkan skor Z <-2 (WHO 2006). Stunting merupakan dampak dari asupan gizi yang
kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, angka kesakitan yang tinggi, atau kombinasi
dari keduanya (Gibson, 2005). Stunting (kerdil) merupakan suatu kondisi balita dengan panjang
atau tinggi badan yang tidak sesuai dengan tinggi badan standar deviasi median standar
pertumbuhan anak menurut WHO. Stunting pada balita merupakan masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan
pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Pada masa akan datangbalita stunting akan
mengalami kesulitan mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI,
2018).
Stunting pada balita (bayi lima tahun) perlu mendapatkan perhatian khusus hal ini
disebabkan karena terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembal mental dan status kesehatan pada
anak. Pada suatu studi terkini menunjukkan bahwa seorang anak yang mengalami stunting akan
mengalami prestasi sekolah yang buruk, pendapatan yang rendah saat dewasa dan pendidikan
yang rendah. Seorang anak yang yang mengalami stunting memiliki kemungkinann lebih besar
akan tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak sehat dan miskin. Stunting yang terjadi pada
anak juga sangat berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap penyakit, baik
penyakit menular maupun Penyakit Tidak Menular (PTM) serta peningkatan risiko overweight
dan obesitas. Keadaan overweight dan obesitas jangka panjang dapat meningkatkan risiko
penyakit degeneratif. Kasus stunting pada anak dapat dijadikan prediktor rendahnya kualitas
sumber daya manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan
kognitif, rendahnya produktivitas, serta (Setiawan, eko., et al. 2018)
Banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya kejadian stunting pada balita, hal ini
juga disebabkan karena masyarakat masih belum menyadari stunting sebagai suatu masalah
dibandingkan dengan permasalahan kurang gizi lainnya. Sehingga secara global kebijakan yang
dilakukan untuk menurunkan angka kejadian stunting difokuskan pada kelompok 1000 hari
pertama atau yang disebut dengan Scaling Up Nutrition (Mitra, 2015). Kondisi gagal tumbuh
yang dialami oleh balita(bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga
ank tersebut terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan
dan pada masa awal setelah bayi lahir tetapi, kondisi stunting tersebut akan anmpak setelah bayi
berusia 2 tahun (TNP2K, 2017).
Pada penelitian oleh Mugianti., etal (2018) dihasilkan bahwa faktor penyebab stunting
yaitu asupan energi rendah sebanyak 93,5%, penyakit infeksi sebanyak 80,6%, asupan protein
rendah sebanyak 45,2% dan tidak ASI Ekslusif sebanyak 32,3% dan ibu yang bekerja sebanyak
29,0%. Faktor tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang pemenuhan
gizi. Faktor penyebab stunting pendidikan ibu rendah sebanyak 48,4%, pendidikan ayah rendah
sebanyak 32,3% mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang konsumsi gizi, diperlukan lintas
sektor dalam penanganannya sedangkan faktor penyebab stunting jenis kelamin laki-laki
sebanyak 64,5% Faktor BBLR, imunisasi tidak lengkap, ayah yang tidak bekerja dan status
ekonomi tidak menjadi faktor penyebab terjadinya stunting.
ISI
Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan ketidakcukupan
zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis. Stunting diukur
sebagai status gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis kelamin
balita. Kebiasaan tidak mengukur tinggi atau panjang badan balita di masyarakat menyebabkan
kejadian stunting sulit disadari. Hal tersebut membuat stunting menjadi salah satu fokus pada
target perbaikan gizi di dunia sampai tahun 2025 (Safitri CA, Nindya TS. 2017).
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua
tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,
menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa.
Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi Indonesia (MCA Indonesia, 2013). Pertumbuhan dapat dilihat dengan
beberapa indikator status gizi. Secara umum terdapat 3 indikator yang bisa digunakan untuk
mengukur pertumbuhan bayi dan anak, yaitu indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi secara kronis. Hal
ini ditunjukkan dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Z- score) di bawah minus 2
( Rahayu., et.al. 2018)
Masalah gizi di Indonesia cukup berat yang ditandai dengan banyaknya kasus gizi
kurang. Malnutrisi merupakan suatu dam- pak keadaan status gizi. Salah satunya keadaan
malnutrisi berhubungan dengan stunting. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada
negara di Asia Tengga- ra, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) dan
menduduki pering- kat ke-5 dunia. Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. Intervensi
yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pravalensi stunting, perlu dilakukan pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Pencegahan stunting dapat dilakukan
antara lain dengan cara 1.Peme- nuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. 2.ASI eksklusif sampai
umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup
jumlah dan kualitasnya. 3.Memantau pertumbuhan balita di posyandu. 4.Meningkatkan akses
terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan (Sutarto et al.
2018).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Terjadinya Stunting
Faktor penyebab langsung yang menyebabkan stunting yaitu asupan makanan dan adanya
penyakit infeksi. Asupan energi menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan selain
mongomsumsi protein, seng, dan zat besi dengan kejadian stunting. Protein yang berfungsi
sebagai pembentuk jaringan baru pada masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh,
memperbaiki, dan memeliharaserta mengganti jaringan yang rusak. Sehingga anak yang
mengalami difisiensi asupan protein yang berlangsung cukup lama meskipun dia memiliki
asupan enrgi yang tercukupi akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat
(Almatsier., et al. 2011). Asupan zat gizi yang tidak sesuai dan terinfeksi menjadi penyebab
utama terhambatnya suatu pertumbuhan. Zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan mineral juga
sangat berguna untuk berbagai fungsi dalam tubuh. Defisiensi salah satu zat gizi mikro akan
terkait dengan defisiensi zat gizi mikro lainnya, seperti pada defisiensi seng, akan terkait dengan
defisiensi zat besi. Penelitian di Denpasar menunjukkan bahwa defisiensi seng dan zat besi pada
balita akan berisiko mengalami stunting sebesar 16,1 kali dibandingkan pada balita yang tidak
defisiensi (Mardini KW, 2014).
Status sosial ekonomi pada suatu keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang
tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian stunting
yang terjadi banyak dipengaruhi oleh orang tua yang pendapatan dan pendidikan yang rendah.
Keluarga yang memliki pendapatan yang tinggi akan mempermudah untuk memperoleh akses
pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik (Ni’mah dan siti, 2015).
Bertambahnya berat badan saat hamil mmerupakan faktor penting dalam perkembangan
fisik janin dalam perut, karena hal ini berhubungan erat dengan jumlah asupan makanan yang
diterima janin. Penambahan berat badan yang kurang disebabkan karena adanya rawan pangan
pada ibu, gejalan sakit saat kehamilan yang mempengaruhi nafsuh makan dan lingkungan.
Sehingga hal ini sangat berhubungan erat dengan kejadian stunting. Beberapa orang akan
mengalami hyperemesis gravidarum atau mual muntah saat hamil, tentu saja hal ini membuat
konsumsi makan ibu berkurang, dan penurunan berat badan drastis pada trimester I. Pola makan
yang tidak beraturan dan konsumsi makanan seimbang yang kurang menyebabkan penambahan
berat badan pada trimester III kurang maksimal (Nur dan Tri, 2019).
Ciri- Ciri Anak Stunting
Agar kita dapat mengetahui kejadian stunting pada anak maka perlu diketahui ciri-ciri
anak yang mengalami stunting (Rahayu Atikah, at al., 2018), sehingga jika anak mengalami
stunting dapat ditangani sesegerra mungkin, 1. Tanda pubertas terlambat 2. Usia 8-10 tahun anak
menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye contact 3. Pertumbuhan terhambat 4. Wajah
tampak lebih muda dari usianya 5. Pertumbuhan gigi terlambat 6. Performa buruk pada tes
perhatian dan memori belajar.
Pubertas merupakan salah satu periode penting dalam proses pematangan seksual pada
anak. Pubertas ditandai dengan munculnya karakteristik seks sekunder dan diakhiri dengan
datangnya menars pada anak perempuan dan lengkapnya perkembangan genital pada anak laki-
laki. Usia awal pubertas pada anak laki-laki berkisar antara 9–14 tahun dan perempuan berkisar
8–13 tahun. Pubertas terlambat apabila perubahan fisik awal pubertas tidak terlihat pada usia 13
tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki, karena keterlambatan
pertumbuhan dan maturasi tulang. Calon ibu yang menderita anemia, kekurangan gizi, atau
kehilangan berat badan secara drastis di masa kehamilan akan meningkatkan resiko sang calon
bayi untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Kondisi ini dapat diperburuk bila sang ibu
menolak untuk memberikan ASI kepada bayi, yang membuatkan kehilangan banyak nutrisi
penting yang dibutuhkannya untuk bertumbuh dan berkembang (Rahayu Atikah, at al., 2018).
Dampak Buruk
Berbagai dampak yang dapat ditimbulkan jika seorang anak terkena Stunting: 1. Jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh. 2. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,
kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua
(Rahayu Atikah, at al., 2018).
pertumbuhan stunting yang tejadi pada usia dini dapat mengakibatkan untuk tumbuh
pendek pada usia remaja. Seorang anak yang tumbuh pendek pada usia dini 0-2 tahun akan
memiliki risiko 27 kali untuk tetap pendek pada usia 4-6 tahun sebelum memasuki usia pubertas.
Sebaliknya seorang anak yang tmbuh normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering 14
kali tumbuh pendek pada saat berusia 4-6 tahun pra pubertas. Oleh karena hal itu, masih tetap
dibutuhkan intervensi untuk mencegah pertumbuhan stunting setelah melampau 1000 HPK
(Aryastami, N.K, 2015).
DAFTAR PUSTAKA