Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Suaedi (2016) langsung menguraikan sejarah filsafat menjadi bagian; masa


yunani, masa abad pertengahan, masa abad modern, dan masa abad dewasa ini.
Sedangkan Muhammad Adib (2011) menggolongkan periode sejarah filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam tiga periode; yaitu filsafat Yunani (6SM-M), kelahiran Nabi Isa as
(0M-6M), periode kebangkitan Islam (6-13 M), dan periode kebangkita Eropa (Abad 14
– 20).
Burhanuddin (1918) menyatakan bahwa sejarah filsafat ilmu identik dengan
sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejarah filsafat ilmu terdiri dari tiga periode besar
yaitu periode klasik, abad pertengahan, dan periode modern dan kontemporer.
Penggolongan tersebut relatif memiliki kemiripan. Oleh karena itu akan diuraikan
dengan mengakomodir berdasarkan ketiga pendapat tersebut.
Periode klasik atau kuno terjadi antara tahun 4000 SM – 400 M, periode
pertengahan antara 400 M – 1500 M, periode modern dimulai pada abad XVII Masehi,
serta periode kontemporer dipahami sebagai periode kekinian (Burhanudin, 2018).
Masing-masing periode tersebut terdiri dari beberapa sub periode dan kejadian di
dalamnya.

A. Periode Klasik
1. Periode Mesir dan Babilonia
Periode filsafat Yunani adalah periode sangat penting dalam sejarah peradaban
manusia karena saat itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi
logo-sentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengenal
mitos untuk menjelaskan fenomena alam,seperti gempa bumi dan pelangi. Namun,
ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai
aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas (Suaedi, 2016).
Perkembangan pengetahuan manusia ini terjadi sekitar tahun 4000 SM dengan
dua pusat peradaban penting, yaitu Mesir di lembah sungai Nil, dan peradaban
Babilonia di sepanjang sungai Tigris. Perkembangan pengetahuan khusus pada zaman
ini adalah kemampuan menulis dan berhitung yang dapat dilihat di Babilonia seperti
peta perbintangan; siklus yang terdiri dari siklus mingguan, bulan dan matahari, yang
kemudian melahirkan kalender untuk mengatur upacara-upacara keagamaan
(Burhanudin, 2018).
Selanjutnya menurut Burhanudin (2018), kemampuan lainnya yang dicapai pada
periode ini adalah kemampuan mengukur, menetapkan segitiga siku-siku dengan sisi
tiga, empat, dan lima unit. Inilah cikal bakal aritmathics dan geometry. Pada masa ini
pengetahuan manusia masih dihubungkan dengan hal-hal gaib, dengan demikian belum
dikategorikan sebagai pengetahuan dalam pengertian modern, disamping tak ada nama-
nama yang tercatat sebagai penemunya.
2. Periode Yunani
Perkembangan periode Yunani menurut Dr. Nunu Burhanudin (2018), ditandai
pembabakan sejarah pengetahuan, mulai dari zaman mitologi, filsuf alam, kemudian
muncul filsuf Sophis, hingga lahir masa keemasan Yunani, dengan zaman logos, dan
kemudian muncul zaman Second Adventue, dan diakhiri dengan zaman
Hellenistik.Perkembangan pengetahuan tersebut berlangsung antara tahun 600 SM
sampai dengan 30 SM. Berbeda dengan Babilonia dan Mesir, orang-orang Yunani
sudah memperkenalkan nama-nama ilmuan yang mereka miliki, menggunakan akal
dalam penjelasan ilmiah tanpa bertumpu pada hal-hal yang bersifat gaib.
Menurut Suaedi (2016) Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah Thales
(625–545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika. Likipos dan
Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan ilmu
kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan teori
tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles mengembangkan
teori tentang dunia dan benda serta berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang
(ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan
sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih terkenal. Para
ahli pikir Yunani Kuno ini mencobamembuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun
sebelumnya sudah adatentang konsep tersebut, tetapi konsepnya bersifat mitos, yaitu
mite kosmogonis(tentang asal-usul alam semesta) dan mite kosmologis (tentang asal-
usul serta sifatkejadian-kejadian dalam alam semesta) sehingga konsep mereka sebagai
mencariasche (asal mula) alam semesta dan mereka disebutnya sebagai filsuf alam.
Karenaarah pemikiran filsafat pada alam semesta, corak pemikirannya
kosmosentris.Sementara para ahli pikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang
hiduppada masa Yunani Klasik karena arah pemikirannya pada manusia maka
corakpemikiran filsafatnya antroposentris. Hal ini disebabkan arah pemikiran para
ahlipikir Yunani Klasik tersebut memasukkan manusia sebagai subjek yang
harusbertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
3. Periode Romawi
Periode Romawi dimulai sejak berkuasanya Julius Caesar di Mesir.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Bangsa Yunani memiliki perhatian besar terhadap
teori-teori ilmiah. Sedangkan Bangsa Romawi cenderung menyukai pengetahuan praktis
(Burhanuddin, 2018). Diantara ilmuwan yang terkenal adalah; (1) Galen (129-199 SM).
Ia terkenal di bidang kedokteran dan ilmu urai tubuh dan logika. Galen
memperkenalkan tiga spirit yang menghuni tubuh manusia, yaitu hewani
(mengendalikan pikiran), vital (mengatur pergerakan), dan alamiah (dari sumber
makanan), (2) Ptolemy, seorang yang namanya mirip dengan nama Dinasti Ptolemous,
dinasti Yunani di Mesir. Ia memiliki keahlian dibidang ilmu pasti dan ilmu
perbintangan.
Perkembangan berikutnya dunia keilmuan mengalami kemunduran dan
cenderung stagnan. Hal ini dipicu dengan berkembangnya agama Nasrani, hingga
orang-orang lebih tertarik untuk mengembangkan agama daripada ilmu pengetahuan.

B. Periode Abad Pertengahan


Periode ini terbentang antara 500 – 1500 M. Periode ini dapat juga disebut
sebagai jembatan penghubung antara periode klasik dan modern sekarang ini. Charles
Singer dalam (Burhanuddin, 2018) membagi abad pertengahan menjadi dua bagian,
yaitu abad gelap Eropa dan abad kegemilangan peradaban Islam.

1. Periode Abad Gelap Eropa


Pada periode ini hanya dikenal beberapa ilmuwan, seperti Boethius (480-524 M)
yang menekuni bidang aritmetika dan penerjemah karya Euclides ke dalam bahasa
Latin. Ilmuwan lainnya adalah Matianus Capella yang menyusun dasar-dasar
pendidikan manusia melalui tujuh kecakapan, atau dikenal dengan the seven leberal
arts. Ketujuh kecakapan itu adalah trivium (memuat kecakapan grammar, dialektika,
dan retorika), quadrivium (memuat kecakapan geometri, aritmetika, astronomi, dan
musik). Ilmuwan lain yang muncul di periode ini adalah Bishop Isidore dari Seville
(560-636 M). Ia menulis ensiklopedia sains secara lengkap (Burhanuddin, 2018).
Selanjutnya Burhanuddin (20180 menyatakan bahwa selain tiga nama di atas,
terdapat nama-nama filsuf yang cukup terkenal, diantaranya Plotinus, Augustinus,
Anselmus, dan Thomas Aquinas. Pada periode ini lebih menonjolkan isi keyakinan
ketimbang berpikir logis. Garis pemikiran mereka berpijak pada diktum Credo ut
Intellegum (percaya supaya mengerti). Dapat dipahami saat itu perkembangan ilmu
pengetahuan masyarakat Barat nyaris cenderung oleh doktrin-doktrin gereja. Suaedi
(2016) menyebutkan bahwa pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas agama
sehingga corak kefilsafatannya bersifat teosentris.
2. Periode Islam
Periode antara 7500 – 1200 M adalah abad masa keemasan dunia Islam. Plato
dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar terhadap mazhab-mazhab Islam,
khususnya mazhab paripatetik.
Suaedi (2016) menuliskan di kalangan para ahli pikir Islam (periode filsafat
Skolastik Islam), muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu
Tufail, dan Ibnu Rusyd. Periode skolastik Islam ini berlangsung tahun 850–1200. Pada
masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang dengan
pesat. Akan tetapi, setelah jatuhnya Kerajaan Islam di Granada, Spanyol tahun 1492
mulailah kekuasaan politik barat menjarah ke timur. Para filsuf Islam sendiri sebagian
menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan Al-Qur’an adalah benar,
mereka mengadakan perpaduan serta sinkretisme antara agama dan filsafat.
Filsuf Muslim pertama adalah Abu Ya’kub Al-Kindi yang dianggap sebagai
filsuf Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi
sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy). Buku-
buku beliau membahas mengeanai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri,
arotmetika, astronomi, musik, logika, dan filsafat. Ibnu Abi Usaibi’a menganggap Al-
Kindi sebagai penerjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dalam bahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab. Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah yang
ditulis oleh Al-Kindi, dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib
entah kemana. Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropa pada Abad pertengahan.
Bukunya yang telah disalin ke dalam bahasa Latin di Eropa berjudul De Aspectibus
berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron,
dan Ptelemeus. Salah satu orang yang sangat kagum terhadap berbagai tulisannya
adalah filsuf kenamaan Roger Bacon (Burhanuddin, 2018).
Filsuf yang lainnya adalah Abu Nasr Al-Farabi yang sangat berjasa dalam
mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan
Aristoteles seperti Categories, Hermenutics, First dan Second Analisys, telah
diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan tentang
berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Selain itu, beliau
dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakannya dari yang
dibuat pendahulunya, Phitagoras. Oleh karena jasanya di bidang logika, maka Al-
Farabi diberi gelar Guru Kedua (The Second Master/Muallim al-Tsani), sedang Guru
Pertama disandang oleh Aristoteles.
Kontribusi lain yang dilakukan oleh Al-Farabi adalah usahanya mengklasifikasi
ilmu pengetahuan. Al-Farabi membagi ilmu pengetahuan menjadi tujuh cabang yaitu:
logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fikih (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian, yaitu bahasa, gramatika, sintaksis,
syair, menulis, dan membaca. Selain itu, masih banyak lagi karya Al-Farabi yang
terkenal.
Filsuf Muslim lainnya lagi adalah Ibnu Sina, yang dikenal di Barat dengan
Avicenna. Beliau dikenal juga sebagai seorang dokter dan penyair. Bukunya yang
terkenal berjudul Qanon, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona di Toledo. Buku ini menjdi buku teks pada beberapa perguruan tinggi di
Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montepellier. Ibnu Sina menekankan pentingnya
penelitian eksperimental tentang khasiat suatu obat. Daya kesembuhan suatu obat
tergantung pada dosis yang diberikan. Kitab lainnya yang dituli oleh Ibnu Sina adalah
Al-Syifa yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan Aventhaut Ben
Daud) di Toledo. Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan
praktis. Pada bagian teoritis meliputi matematika, fisika, dan metafisika, sedangkan
bagian yang praktis meliputi politik dan etika.
Ibnu Sina mengelompokkan ilmu pada tiga jenis: (1) objek-objek yang cecara
niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisika), (2) objek-objek yang
senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika), dan (3) objek-objek yang pada
dirinya immaterial tapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak
(matematika).
Masih banyak lagi filsuf Muslim yang terkenal pada periode ini, diantaranya
adalah Ibnu Khaldun merupakan seorang filsuf dan sosiolog terkenal di dunia Islam
yang menulis buku Al-Muqaddimah. Ia membagi matematika ke dalam empat subdivisi,
yakni (1) geometri; trigonometri dan kerucut, surveiying tanah, dan optik. (2)
Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar, aritmetika bisnis, dan faraid (hukum waris);
(3) musik, dan (4) astronomi. Ibnu Rusydi seorang ahli bidang ilmu mineral, dalam
karya besarnya Al-Jawahir (Batu-batu Permata). Pada Abad ke-11 Al-Biruni dikenal
sebagai The Master of Observationdi bidang geologi dan geografi. Beliau
menyimpulkan bahwa keliling bumi adalah 24.778,5 mil dengan diameter 7.878 mil.
Penemuan luar biasa saat itu yang ukuran modern, yaitu 24.585 mil(selisih 139 mil) dan
diameter 7.902 mil.
Di bidang ilmu farmakologi dan medis, Abu Bakar Ar-Razi merupakan
pengarang kitab Al-Hawi. Dalam bidang nutrisi, dikenal nama Ibnu Bathar yang
mengarang kitab Al-Jami li Mufradat al-Adawwiyah wa Al-Aghdziyah. Di bidang
zoologi dikenal nama Al-Jahizh yang mengarang kitab Al-Hayawan, dan kitabHayat Al-
Hayawandikarang oleh Al-Damiri. Ibnu Zahrawi seorang ilmuwan lain ahli bedah telah
mewarnai dunia kedokteran yang menciptakan ratusan a latbedah yang sangat maju
untuk ukuran zamannya.

C. Periode Modern dan Kontemporer


1. Filsafat Modern
Suaedi (2016) menyatakan bahwa pada abad modern ini pemikiran filsafat
berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan
sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafat mendasarkan
pada akal pikir dan pengalaman.
Burhanuddin (2018) menyebutkan bahwa filsafat modern dirintis sejak
renaissance dimana pemikiran filsafat pada abad pertengahan bersifat teologis-agamais.
Gereja sebagai institusi pada waktu itu menjadi satu-satunya otoritas yang mengakui
kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal
perkembangan ilmu pengetahuan di luar kontrol gereja sudah berjalan sangat pesat,
terutama bidang astronomi, sehingga upaya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan
di dalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Terjadilah sekularisasi ilmu yakni
pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas ilmiah.
Suaedi (2016) lebih jauh menyatakan bahwa munculnya Renaisance dan
Humanisme sebagai awal masa abad modern, di mana para ahli (filsuf) menjadi pelopor
perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor
perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Pemikiran filsafat masa abad
modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran
filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada
upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam menggunakan berbagai
penemuan ilmiah.
Burhanuddin (2018) menyatakan bahwa zaman modern merupakan zaman
tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme. Pada zaman
modern peranan substansi dimabil alih oleh manusia sebagai “subjek”, pemikul
kenyataan yang melingkupinya.Oleh karena itu, zaman modern sering disebut zaman
subjektivitas karena seluruh sejarah filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai mata
rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas.
Menurut Ginting dan Situmorang (2008) Pada zaman modern paham-paham
yang muncul dalam garis besarnya adalah rasionalisme, idealisme, dan empirisme.
Paham rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh
dan menguji pengetahuan. Paham idealisme mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah
jiwa, spirit. Ide ini merupakan ide Plato yang memberikan jalan untuk mempelajari
paham idealisme zaman modern. Paham empirisme dinyatakan bahwa tidak ada sesuatu
dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman.
2. Filsafat Kontemporer
Pada abad ke-20, kelahiran filsafat kontemporer juga sebagai reaksi terhadap
pemikiran modern yang telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir
sebagai respon sikap dogmatis Abad Pertengahan menurut kaum kontemporer telah
terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos baru ini adalah keyakinan
bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam teknologi,
segala permasalahan kemanusian dapat diselesaikan. Padahal kenyataannya tidak,
banyak agenda kemanusiaan membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Di sinilah
kontemporerisme menggugat modernisme yang telah menjadi mandek dan berubah
menjadi mitos baru.
Beberapa tinjauan tentang filsafat kontemporer menurut Syarifuddin (2011),
adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan manusia abad XX adalah kehidupan yang rumit dan penuh dengan
berbagai persoalan. Para filsuf menemukan bahwa sumber dari kerumitan ini adalah
pada cara berpikirnya. Oleh karena itu, mereka sangat peduli untuk menelitinya dengan
mengikuti metode ilmiah secara tepat dan cermat. Mereka mulai mengkaji bahasa,
makna, dan simbol. Mereka juga mengkaji emosi-emosi yang ada pada manusia serta
sikap hidup manusia.
2. Pada masa ini, ilmu pengetahuan telah memperoleh banyak kemenangan dalam
disiplin ilmu-ilmu alam serta pemahaman terhadap realitas. Orientasi inilah yang ingin
dicapai oleh filsafat-filsafat kontemporer. Maka kita menemukan kebanyakan filsafat-
filsafat ini bersifat realis, jika kita menafikan beberapa filsuf yang menyerukan dan
sangat berpegang pada idealisme.
3. Zaman kita juga mempunyai ciri kemajuan peradaban dan teknologi sebagai akibat
dari pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam berbagai lapangan kehidupan yang berbeda.
Kemajuan teknologi ini telah memudahkan berbagai persoalan hidup umat manusia,
sehingga membuatnya mampu mengeksploitasi dan menguasai alam. Akan tetapi pada
saat yang sama, jiwa manusia telah berubah menjadi seperti mesin. Ia kehilangan
banyak ketegangan batin dan jiwanya. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaannya
menjadi goyah, khususnya setelah terjadi dua perang dunia yang sangat destruktif dan
menyisakan ancaman perang atom, yang tidak hanya membahayakan sekelompok orang
saja, melainkan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, kita menemukan bahwa banyak
filsuf kontemporer yang mengorientasikan kajiannya untuk mendalami dan menyelami
persoalan manusia, bagaimana perjalanan hidupnya, melakukan kritik terhadapnya, dan
kritik terhadap kemanusiaannya.
4. Jika sebagian pemikir menyangka bahwa pertentangan antara para filsuf akan
mengakibatkan hancurnya filsafat dan mencukupkan diri pada ilmu pengetahuan saja,
maka sesungguhnya pertentangan ini telah membawa pada bertambah besarnya pada
kebutuhan akal manusia terhadap filsafat dengan bukti semakin banyak dan semakin
bertambahnya produk filsafat, sehingga sebagian filsuf ada yang berpaling kepada sastra
untuk mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan filsafatnya, seperti juga semakin
luasnya wilayah hubungan antar para filsuf di berbagai benua melalui berbagai seminar.
5. Kita juga melihat bahwa para filsuf kontemporer diam-diam berusaha untuk
membangun sebuah mazhab filsafat yang saling menyempurnakan, sehingga kita dapat
mengatakan bahwa tak ada lagi bentuk aliran dalam filsafat kontemporer. Hal yang
menjadi perhatian filsafat saat ini adalah membangkitkan sebuah persoalan dan
kemudian melakukan kajian yang absah terhadapnya sebagai ganti dari ketergesa-
gesaan dalam mengajukan sebuah solusi palsu, atau ketergesa-gesaan dalam
menyampaikan pendapat yang salah

Anda mungkin juga menyukai