Nasional
HISTORIOGRAFI KOLONIAL
Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu
penjajahan Belanda di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari historiografi kolonial tersebut
adalah :
Contoh dan penulis dari penulisan dari Historiografi kolonial sebagai berikut.
d)
Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa
perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun
yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan.
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-
buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir
seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi
yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang
merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair,
hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka
karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya
tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-
bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh
lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.
3. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh
sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang
menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang
banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan
kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial
yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang
berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang
sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak
lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki
hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga
penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan
yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia
sangatlah minim.
HISTORIOGRAFI NASIONAL
Ditandai dengan:
b) Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan
kebutuhan historiografi kolonial.
d) Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar
posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai
penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana
orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur
ceritanya tetap sama.
Sesudah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekan pada tahun 1945; maka sejak
saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya
bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus
diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada; sebab yang dimaksud dengan sejarah
Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat
Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dengan demikian maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat atau ciri-
ciri sebagai berikut.
2) Indonesia sentris.
1. Historiografi Tradisional
Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan sejarah yang
banyak ditulis oleh para pujangga kraton, karya-karya mereka bertujuan untuk
melegitimasi kedudukan raja. Dengan demikian, historiografi pada masa ini
mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral, menekankan kultus, dewa raja dan
mitologi, bersifat anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk
memberi kohesi pada suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu
dinasti (Indriyanto, 2001, hal. 2).
Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil
karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk
historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan hindu/budha
sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3. Babad Tanah
Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad Sriwijaya, dan lain-
lain. Sedangkan karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan
Islam diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad
Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten, 3. Babad Dipenogoro yaitu karya yang
mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak yaitu karya tulis dari
Kerajaan Islam Demak, 5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman, 2012).
Karena banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya
dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat dan
banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya. Melukiskan
kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan fakta
(Kuntowijoyo, 1995, hal. 8). Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu
dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama
tokoh, nama wilayah/daerah dan tahun kejadian (Jayusman, 2012).
2. Historiografi Kolonial
Dalam historiografi kolonial Belanda diciptakan juga berbagai mitos untuk menonjolkan
superioritas bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia (Dasuki, 2003, hal. 348). Inti
cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya
Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia
Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh
Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang
dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya
mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai suatu
bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda (Jayusman,
2012). Dalam mitos Hindia Belanda dibuat fiksi bahwa seakan-akan kekuasaan kolonial
Belanda di Indonesia secara apriori sudah dimuali pada tahun 1596. Perang-perang
kolonial pada abad ke-19 terhadap daerah-daerah yang menentang untuk
mempertahankan kehidupan masyarakat dan kebudayaan dimitoskan dengan disebut
“pasifikasi” (Dasuki, 2003, hal. 348).
Contoh karya historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis
oleh Raffles dengan judul History Of Java. Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis
H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia).
Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den Indischen Archipel (Sejarah
Nusantara). Karya G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener aconomische Geschiedenis
van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda) (Jayusman, 2012).
Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang
sebenarnya (Dasuki, 2003, hal. 348). Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk
membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial
sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan
untuk pertahanan masyarakat serta kebudayaannya (Rohman, 2013).
Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta
sejarah. Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-
ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu
periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi
sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip metode
sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam
analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya peran analisa tekstual
dengan bantuan filologi terhadap studi sejarah Indonesia modern. Di sini yang harus
diperbaiki adalah alat-alat analitis serta metodologis.
Bertolak dari hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam
studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka referensi
bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro. Sejarah nasional
sebagai macro-historymencakup interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran,
perdagangan, perang, penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan antara
lembaga-lembaga nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah
dari sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal
diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).
Sejumlah tulisan sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan metodologis untuk
menangani masalah-masalah penulisan sejarah nasional Indonesia, secara komprehensif
dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali dengan Judul Pengantar Ilmu Sedjarah
Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang menerapkan metode yang sophisticated dengan
pendekatan neo sosial ilmiah dengan menggunakan konsep-konsep yang dipinjam dari
ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula
antara sejarah naratif dan non naratif (Dasuki, 2003, hal. 350).
Sejarah naratif, sebagai hasil dari historiografi konvensional, menyusun cerita untuk
membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi” melalui
seleksi “kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu dalam urutan
kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera yang merangkaikan
deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada masalah (problem oriented).
Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara
ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
HISTORIOGRAFI TRADISIONAL
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa
setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha
maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 16 M.
Berdasarkan lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar), Noorduyn
memandang bahwa karya historiografi tradisioal dianggap sebagai corak
penulisan yang dingin dan tidak diterima dalam kelompok karya kritis ilmiah.
Karya-karya seperti babad, hikayat, tambo, silsilah atau karya sejenis sepintas
tidak lulus sebagai karya sejarah dalam pengertian yang modern. Di situ ada
kecenderungan umum adalah mencari keterangan kepada sesuatu yang berada
di luar sejarah. Yang penting tidak terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa,
tetapi pada kekuatan yang berada secara alamiah di luar sejarah, di mana
ditonjolkan suasana religiomagis, dan bukan kritis ilmiah. Karya tersebut lebih
menonjolkan nasib, kutukan, rahmat, bukan berhasil atau gagal.
Pemahaman terhadap karya historiografi tradisional itu ditentukan oleh
penghayatan cultural dari pembaca sehingga tanpa pengahayatan tersebut,
maka kredibilitas itu menjadi lebur, atau hampir lembur dengan objeknya. Para
penulis karya historiografi tradisional memang tidak bertujuan untuk menyatakan
benar tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi. Fakta yang
terkandung dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut
sebagai gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada
peristiwa. Oleh karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat
campuran unsur-unsur mitologis, eskhatologis, kronologis, religi-magis dan
kosmogonis.
Historiografi tradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap
sebagai sebagai karya yang tidak dapat dianggap sebagai karya yang sudah
selesai. Jadi, sebagai sumber, historigrafi tradisional berkedudukan sebagai
bahan atau sumber primer yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan
hati-hati karena historiografi tradisional cenderung mengaburkan 2 macam
realitas, yaitu:
1. Realitas yang objektif terjadi (pengalaman yang aktual).
2. Realitas yang riil dalam diri (penghayatan cultural yang kolektif).
Historiografi tradisional dalam penelitian harus melalui tahap:
1. Kritik ekstern pada penelitian sejarah.
2. Kritik intern seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
3. Diperlukan kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar
belakang cultural masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
Kemudian perbandingan sumber-sumber ekstern dilakukan seperti Tiongkok
(Cina), Belanda, atau tradisi lisan. Pengetahuan latar belakang kultural dapat
membantu membersihkan fakta dari unsur legenda mitos dan dongeng. fakta
dalam waktu tertentu dikelilingi oleh legenda, mitos, dan dongeng.
Ada kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Wiliams
bermuatan The Myth of Concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk
memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi
kematapan nilai dan tata yang berlaku. Penguatan kekuatan magis penguasa,
titisan dewa, legitimasi dengan penonjolan dalam penerimaan wahyu, wangsit,
atau pulung, memberikan legitimasi bagi struktur yang mendukung tuntutan
kultural. Struktur tersebut diwakili raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau
semua kalangan masyarakat, yang kemantapan kosmos terpelihara. Struktur
kekuasaan dan sosial harus selalu ada bagi kepentingan kosmos yang teratur,
mantap, dan dijauhkan dengan situasi chaos berarti kehancuran dan situasi yang
tidak menentu.
Pada intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati
dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan The myth
of concern). Kedua hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang
sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat
langsung dalamhal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya
yaitu peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.
Collingwood menyatakan bahwa semua sejarah adalah pikiran, sejarahwan tidak
perlu jauh melibatkan diri bahwa manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang
dilihat aktor sejarah belum tentu sama dengan sejarawan. Dengan menyatakan
situasi dari si aktor, sejarawan sadar dengan interpretasinya sendiri. Kritik
terhadap the myth of concernImenyangsingkan kesahan yang mutlak. Kritik
tersebut disebut juga counter-myth (mitos perlawanan). The myth of
concern adalah mitos yang dimiliki oleh kelompok atau golongan yang sedang
berkuasa dan menang dalam persaingan sejarah. Mereka menciptakan versi
yang terbaik bagi kelompoknya. Sementara itu, counter myth adalah milik dari
orang atau kelompok yang kalah dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang
yang tersingkir dan tidak layak berada di pentas sejarah. Orang-orang yang
kalah adalah orang-orang yang harus dimatikan selamanya. Kalau mereka bisa
bertahan dan melakukan perlawanan untuk mengubah kesan negatife yang
sudah ditimbulkan oleh the myth of concern. Adapun ciri-ciri dari historiografi
tradisonal adalah sebagai berikut:
1) Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja
(keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga sentris
atau dinasti sentris.
2) Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan
kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut
tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan
ekonomi dari kehidupan rakyat.
3) Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang
gaib.
4) Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5) Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan
kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja; agar supaya raja tetap
dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi.
6) Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak
dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di
daerah tersebut.
7) Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma
(bertuah, sakti).
8) Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa
penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
9) Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga
seringkali anakronitis (tidak cocok)
10) Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi
lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
11) Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya
bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
12) Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang
mustahil untuk dibuktikan.
13) Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis
sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
14) Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan
dan kekuasaan sang raja.
Tradisi lisan penting bagi masyarakat yang belum atau sedikit mengenal
kebudayaan tertulis karena dapat mengisi kekosongan data dari sumber-sumber
lain, serta mengetahui sikap dan pengertian yang diberikan masyarakat bawah
terhadap peristiwa tertentu.
Menurut Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari realitas. Tradisi lisan tidak
identik dengan realitas atau peristiwa, tetapi kebiasaan peristiwa itu dimengerti
oleh masyarakat. Yang bisa dimengerti adalah realitas baru. Realitas baru
memberi patokan dalam melihat peristiwa atau situasi yang kemudian dan waktu
yang diterapkan pada alam religiomagis memunculkan realitas baru. Realitas
baru dapat berbentuk metaformosis personafikasi, yaitu suatu norma atau ide
demi kelanjutan dapat berubah menjadi tokoh historis
atau depersonafikasi sebagai perubahan bentuk dari peristiwa, nilai, dan tokoh
sejarah menjadi legenda, kemudian dikelilingi oleh mitos, akhirnya menjadi
lambing atau simbol dari ide atau nilai tertentu.
Metaformosis memang agak ekstrim, tapi yang muncul adalah realitas baru yang
merupakan fakta sementara yang harus dihadapkan dengan fakta yang berasal
dari sumber lain. Penjelasan terhadap fakta sementara itu harus memperhatikan
untaian sebelum dan sesudah, mata rantai sebab-akibat, bergelimang dengan
masalah-masalah struktural, mobilisasi penduduk, dan dinamika aspek-aspek
yang mempengaruhi situasi.
Fenomena personafikasi adalah perubahan yang memunculkan tokoh sejarah
dalam arti Historiografi tradisional. Penokohan itu dimaksudkan untuk
melanggengkan suatu norma, ide, nilai, atau konsep kehidupan yang mungkin
dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup.
Depersonifikasi adalah gejala perubahan dari tokoh menjadi nilai-nilai. Di sini,
sejarah dinilaikan berdasarkan perilaku dan dikap tokoh tertentu. Namun
mendepersonifikasi seorang tokoh itu tidak mudah sehingga ada usaha untuk
mempersonifikasikan kembali nilai-nilai dalam bentuk tokoh.