Anda di halaman 1dari 17

Historiografi Kolonial Dan 

Nasional
HISTORIOGRAFI KOLONIAL

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah


penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan
oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah
melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri
Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau
mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya yaitu historiografi
kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia.
Lebih tepat disebut sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa
demikian? Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah bangsa
Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan
Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau
Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah
aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni
(orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam
menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan
(rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.

Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu
penjajahan Belanda di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari historiografi kolonial tersebut
adalah :

1. Penulisannya                     : Merupakan orang Belanda yang memandang orang


Indonesia
dari sudut pandang Belanda / kolonial

1. Bentuknya                         : Berupa laporan-laporan


2. Sifatnya                             : Bersifat Eropa sentris atau lebih fokusnya Belanda
sentris
3. Sumber penulisan              : Berita-berita dari orang pribumi
4. Isi Penulisan                      : Berupa memori serah jabatan atau laporan khusus
khusus
kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaan dan

perluasan wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya

dilengkapi dengan angka-angka statistik yang cukup cermat

sehingga memantapkan gambaran suatu daerah. Dalam penulisannya sangat jarang


membicarakan tentang kondisi rakyat di tanah jajahan.

Historiografi kolonial ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Historiografi


kolonial memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-tempat yang kemudian
menjadi bagian dari Indonesia sebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Banyak
peristiwa – peristiwa yang tidak dicatat oleh bangsa Belanda karena adanya
kepentingan lain. Karena memandang orang Indonesia dari sudut Belanda / kolonial
sehingga dalam penulisannya terdapat perbedaan / penyimpangan dalam
penulisannya.

Contoh dan penulis dari penulisan dari Historiografi kolonial sebagai berikut.

a)      Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.

b)      Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.

c)      Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.

d)

KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL

Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses


naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan
kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta
sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak
dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.

KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL


1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda

Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial


pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut
orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang
menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan
Eropasentrisme pada umumnya.

Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa
perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun
yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan.

2. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial

Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-
buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir
seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi
yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang
merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair,
hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka
karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya
tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-
bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh
lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.

3. Kekurangan Kuantitatif

Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh
sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang
menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang
banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan
kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial
yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang
berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang
sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak
lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki
hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga
penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan
yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia
sangatlah minim.

HISTORIOGRAFI NASIONAL

Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka


masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk
kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai
perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.

Ditandai dengan:

bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.

c)      Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah,


mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada a)      Mulai muncul gerakan
Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah
Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

b)      Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan
kebutuhan historiografi kolonial.

d)     Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar
posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.

Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai
penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana
orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur
ceritanya tetap sama.
Sesudah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekan pada tahun 1945; maka sejak
saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya
bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus
diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada; sebab yang dimaksud dengan sejarah
Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat
Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dengan demikian maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat atau ciri-
ciri sebagai berikut.

1)Mengingat adanya character and nation-building.

2) Indonesia sentris.

3) Sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.

4) Disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang


memahami dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.

Contoh historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.

1. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme,


editor Sartono Kartodirdjo.
2. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo.
3. Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
4. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H.
Nasution, dan masih banyak lagi.

Monday, September 22, 2014


Perkembangan Historiografi di Indonesia

Perkembangan historiografi Indonesia tidak terlepas dari pertumbuhan historiografi dan


ilmu sejarah pada umumnya. Persoalan yang langsung menyangkut historiografi
Indonesia, antara lain diferensiasi dalam bidang-bidang sejarah, seperti sejarah gerakan
sosial, hubungan internasional, struktur sosial, jadi hubungan yang semakin erat antara
sejarah dengan ilmu pengetahuan sosial, sedangkan metodologi mengambil peranan yang
semakin penting (Rohman, 2013). Perkembangan historiografi seiring dengan
perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia, baik melalui upaya-upayanya maupun
setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan
modern.

1. Historiografi Tradisional

Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan  sejarah  yang 
banyak  ditulis  oleh para  pujangga  kraton,  karya-karya  mereka  bertujuan   untuk  
melegitimasi   kedudukan   raja.   Dengan   demikian, historiografi pada masa ini
mempunyai ciri-ciri magis, religius,  bersifat  sakral,  menekankan  kultus,  dewa  raja  dan
mitologi, bersifat anakronisme,  etnosentrisme,  dan  berfungsi  sosial  psikologis  untuk 
memberi  kohesi  pada  suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu
dinasti (Indriyanto, 2001, hal. 2).

Selanjutnya Soedjatmoko (1965) mengemukakan bahwa  historiografi tradisional


nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita,
wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung (Sjamsuddin, 2007, hal.
10). Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair). Kartodirdo (1982)
menyebutkan historiografi tradisional itu berkembang setelah suatu kelompok dalam
masyarakat Indonesia membentuk suatu kesatuan politik. Dengan timbulnya kerajaan atau
kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan politk, dibina pula historiografi yang
menghasilkan naskah sebgai karya sastra sejarah. Pembinaan historiografi
diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah
yang dihasilkan terdiri dari naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di
dalamnya masih difungsikan sebagai mitos (Dasuki, 2003, hal. 347).

Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil
karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk
historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan hindu/budha
sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3. Babad Tanah
Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad Sriwijaya,   dan lain-
lain. Sedangkan karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan
Islam diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad 
Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten,    3. Babad Dipenogoro yaitu karya yang
mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak yaitu karya tulis dari
Kerajaan Islam Demak,  5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman, 2012).

Karakteristik Historiografi Tradisional adalah sebagai berikut (Jayusman, 2012; Dasuki,


2003, hal. 346-347):
 Bersifat istana/kraton sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak
mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata
tidak  mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.

 Bersifat Religio-magis, , artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis


sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan
gaib. Tujuannya agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya,
sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan
memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai
perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.

 Bersifat regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada kedudukan


sentral raja, sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi
tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti
Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.

 Bersifat etnosentris artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan


penekanan pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam
wilayah kerajaan.

 Bersifat psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para


pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya
historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka
mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi
tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya
penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.

Karena banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya
dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat dan
banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya. Melukiskan
kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan fakta
(Kuntowijoyo, 1995, hal. 8). Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu
dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama
tokoh, nama wilayah/daerah dan tahun kejadian (Jayusman, 2012).

2. Historiografi Kolonial

Historiogrofi kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial untuk


mengokohkan kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka
tehadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi
sejarah nasional.  Historiografi Kolonial adalah karya  sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis 
pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman
VOC (1600) sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara
pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia
Belanda yang dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif
menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah karya tulis
sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial berkuasa di
Nusantara Indonesia (Jayusman, 2012).

Kartodirdjo (1995) dalam (Indriyanto, 2001, hal. 2) mengemukakan historiografi  kolonial 


yang  sudah  mendasarkan  pada  tradisi  studi sejarah  kritis.  Namun  demikian,  
perspektif   yang   menonjol   masih   menunjukkan   Neerlandosentrisme   sebagai
penyempitan  wawasan  Eropasentris.  Asal  mulanya  karya  sejarawan  Belanda 
terutama   mengisahkan   perjalanan pelayar-pelayar  Belanda  serta  kemudian 
perkembangan  VOC  dilanjutkan   dengan   pemerintah   kolonial   beserta penguasa-
penguasanya.  Dalam hal ini kita menjumpai   penulisan   sejarah   berdasarkan   tradisi  
historiografi konvensional yang lebih berupa riwayat orang-orang berkuasa, antara lain
Gubernur Jendral, raja-raja,  panglima,  dan sebagainya.  Sebuah  model  sejenis 
historiografi  ini  adalah  karya  W.F.  Stapel,  Geschiedenis  van  Nerlands-Indie

Dalam historiografi kolonial Belanda diciptakan juga berbagai mitos untuk menonjolkan
superioritas bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia (Dasuki, 2003, hal. 348). Inti
cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya
Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia
Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh
Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang
dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya
mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai suatu
bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda (Jayusman,
2012). Dalam mitos Hindia Belanda dibuat fiksi bahwa seakan-akan kekuasaan kolonial
Belanda di Indonesia secara apriori sudah dimuali pada tahun 1596. Perang-perang
kolonial pada abad ke-19 terhadap daerah-daerah yang menentang untuk
mempertahankan kehidupan masyarakat dan kebudayaan dimitoskan dengan disebut
“pasifikasi” (Dasuki, 2003, hal. 348).

Contoh karya historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis
oleh Raffles dengan judul History Of Java. Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis
H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia).
Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den Indischen Archipel (Sejarah
Nusantara). Karya G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener aconomische Geschiedenis
van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda) (Jayusman, 2012).

Karakteristik historiografi kolonial adalah sebagai berikut:


 Belanda Sentrisme atau Neerlando Sentrismus artinya sejarah Indonesia di tulis
dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah)
di Nusantara Indonesia saat itu (Jayusman, 2012).

 Eropasentrisme, artinya selain ditulis dari sudut pandang kepentingan orang


Belanda, ditulis juga sesuai dengan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.

 Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang
sebenarnya (Dasuki, 2003, hal. 348). Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk
membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial
sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan
untuk pertahanan masyarakat serta kebudayaannya (Rohman, 2013).

 ahistoris  artinya Orang Belanda dianggap sebagai manusia paliang sempurna


dalam berbagai kehidupan di Nusantara, peran mereka ditulais dalam historiografi Kolonial
sampai berlembar-lembar sementara peran rakyat pribumi sebagai pemilik sangat
sederhana dan dituangkan dalam halaman yang sangat minim. Sejarawan kolonial
menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai non-faktor dalam sejarah. Contoh historiografi
Kolonial dalam buku Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut: Zaman purbakala dan Hindu
(25 Halaman), Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di Indonesia (8 halaman), VOC-
kongsi dagang Belanda (152 halaman) dan pemerintah Belanda (150 halaman)
(Jayusman, 2012).
3. Historiografi Modern

Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta
sejarah. Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-
ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu
periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi
sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip metode
sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam
analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya peran analisa tekstual
dengan  bantuan filologi terhadap studi sejarah Indonesia modern. Di sini yang harus
diperbaiki adalah alat-alat analitis serta metodologis.

Bertolak dari hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam
studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka referensi
bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro. Sejarah nasional
sebagai macro-historymencakup interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran,
perdagangan, perang, penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan antara
lembaga-lembaga nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah
dari sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal
diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).

Historiografi modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi 


Indonesia atau nasional.  Diawali dengan munculnya karya Husein
Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah  Banten,  kemudian  karyakarya
sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh karya ini, yaitu dengan
dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk melengkapi  atau  menulis  suatu 
karya  sejarah (Indriyanto, 2001, hal. 2). Di Jaman Jepang Sanusi Pane dan Douwes
Dekker sudah memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan semangat nasionalisme.
Karya mereka walaupun dari sudut ilmiah tidak mendapat penilaian yang tinggi, namun
telah banyak membantu guru yang mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan
jaman berikutnya (Dasuki, 2003, hal. 349).

Sejumlah tulisan sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan metodologis untuk
menangani masalah-masalah penulisan sejarah nasional Indonesia, secara komprehensif
dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali dengan Judul Pengantar Ilmu Sedjarah
Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang menerapkan metode yang sophisticated dengan
pendekatan neo sosial ilmiah dengan menggunakan konsep-konsep yang dipinjam dari
ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula
antara sejarah naratif dan non naratif (Dasuki, 2003, hal. 350).

Sejarah naratif, sebagai hasil dari historiografi konvensional, menyusun cerita untuk
membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi” melalui
seleksi “kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu dalam urutan
kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera yang merangkaikan
deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada masalah (problem oriented).

Karakteristik historiografi modern adalah sebagai berikut:


 Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan
sebagai sejarah nasional (Dasuki, 2003, hal. 348) dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat
Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah“membongkar dan merevisi” 
historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial
yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental
bangsa   (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini (Jayusman, 2012).

 Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan


pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.

 Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara
ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

 HISTORIOGRAFI TRADISIONAL

 Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa
setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha
maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 16 M.
 Berdasarkan lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar), Noorduyn
memandang bahwa karya historiografi tradisioal dianggap sebagai corak
penulisan yang dingin dan tidak diterima dalam kelompok karya kritis ilmiah.
Karya-karya seperti babad, hikayat, tambo, silsilah atau karya sejenis sepintas
tidak lulus sebagai karya sejarah dalam pengertian yang modern. Di situ ada
kecenderungan umum adalah mencari keterangan kepada sesuatu yang berada
di luar sejarah. Yang penting tidak terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa,
tetapi pada kekuatan yang berada secara alamiah di luar sejarah, di mana
ditonjolkan suasana religiomagis, dan bukan kritis ilmiah. Karya tersebut lebih
menonjolkan nasib, kutukan, rahmat, bukan berhasil atau gagal.
 Pemahaman terhadap karya historiografi tradisional itu ditentukan oleh
penghayatan cultural dari pembaca sehingga tanpa pengahayatan tersebut,
maka kredibilitas itu menjadi lebur, atau hampir lembur dengan objeknya. Para
penulis karya historiografi tradisional memang tidak bertujuan untuk menyatakan
benar tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi. Fakta yang
terkandung dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut
sebagai gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada
peristiwa. Oleh karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat
campuran unsur-unsur mitologis, eskhatologis, kronologis, religi-magis dan
kosmogonis.
 Historiografi tradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap
sebagai sebagai karya yang tidak dapat dianggap sebagai karya yang sudah
selesai. Jadi, sebagai sumber, historigrafi tradisional berkedudukan sebagai
bahan atau sumber primer yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan
hati-hati karena historiografi tradisional cenderung mengaburkan 2 macam
realitas, yaitu:
 1. Realitas yang objektif terjadi (pengalaman yang aktual).
 2. Realitas yang riil dalam diri (penghayatan cultural yang kolektif).
 Historiografi tradisional dalam penelitian harus melalui tahap:
 1. Kritik ekstern pada penelitian sejarah.
 2. Kritik intern seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
 3. Diperlukan kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar
belakang cultural masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
 Kemudian perbandingan sumber-sumber ekstern dilakukan seperti Tiongkok
(Cina), Belanda, atau tradisi lisan. Pengetahuan latar belakang kultural dapat
membantu membersihkan fakta dari unsur legenda mitos dan dongeng. fakta
dalam waktu tertentu dikelilingi oleh legenda, mitos, dan dongeng.
 Ada kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Wiliams
bermuatan The Myth of Concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk
memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi
kematapan nilai dan tata yang berlaku. Penguatan kekuatan magis penguasa,
titisan dewa, legitimasi dengan penonjolan dalam penerimaan wahyu, wangsit,
atau pulung, memberikan legitimasi bagi struktur yang mendukung tuntutan
kultural. Struktur tersebut diwakili raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau
semua kalangan masyarakat, yang kemantapan kosmos terpelihara. Struktur
kekuasaan dan sosial harus selalu ada bagi kepentingan kosmos yang teratur,
mantap, dan dijauhkan dengan situasi chaos berarti kehancuran dan situasi yang
tidak menentu.
 Pada intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati
dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan The myth
of concern). Kedua hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang
sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat
langsung dalamhal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya
yaitu peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.
 Collingwood menyatakan bahwa semua sejarah adalah pikiran, sejarahwan tidak
perlu jauh melibatkan diri bahwa manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang
dilihat aktor sejarah belum tentu sama dengan sejarawan. Dengan menyatakan
situasi dari si aktor, sejarawan sadar dengan interpretasinya sendiri. Kritik
terhadap the myth of concernImenyangsingkan kesahan yang mutlak. Kritik
tersebut disebut juga counter-myth (mitos perlawanan). The myth of
concern adalah mitos yang dimiliki oleh kelompok atau golongan yang sedang
berkuasa dan menang dalam persaingan sejarah. Mereka menciptakan versi
yang terbaik bagi kelompoknya. Sementara itu, counter myth adalah milik dari
orang atau kelompok yang kalah dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang
yang tersingkir dan tidak layak berada di pentas sejarah. Orang-orang yang
kalah adalah orang-orang yang harus dimatikan selamanya. Kalau mereka bisa
bertahan dan melakukan perlawanan untuk mengubah kesan negatife yang
sudah ditimbulkan oleh the myth of concern. Adapun ciri-ciri dari historiografi
tradisonal adalah sebagai berikut:
 1) Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja
(keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga sentris
atau dinasti sentris.
 2) Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan
kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut
tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan
ekonomi dari kehidupan rakyat.
 3) Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang
gaib.
 4) Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
 5) Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan
kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja; agar supaya raja tetap
dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi.
 6) Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak
dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di
daerah tersebut.
 7)  Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma
(bertuah, sakti).
 8) Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa
penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
 9) Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga
seringkali anakronitis (tidak cocok)
 10)  Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi
lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
 11) Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya
bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
 12) Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang
mustahil untuk dibuktikan.
 13) Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis
sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
 14)  Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan
dan kekuasaan sang raja.
 Tradisi lisan penting bagi masyarakat yang belum atau sedikit mengenal
kebudayaan tertulis karena dapat mengisi kekosongan data dari sumber-sumber
lain, serta mengetahui sikap dan pengertian yang diberikan masyarakat bawah
terhadap peristiwa tertentu.
 Menurut Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari realitas. Tradisi lisan tidak
identik dengan realitas atau peristiwa, tetapi kebiasaan peristiwa itu dimengerti
oleh masyarakat. Yang bisa dimengerti adalah realitas baru. Realitas baru
memberi patokan dalam melihat peristiwa atau situasi yang kemudian dan waktu
yang diterapkan pada alam religiomagis memunculkan realitas baru. Realitas
baru dapat berbentuk metaformosis personafikasi, yaitu suatu norma atau ide
demi kelanjutan dapat berubah menjadi tokoh historis
atau depersonafikasi sebagai perubahan bentuk dari peristiwa, nilai, dan tokoh
sejarah menjadi legenda, kemudian dikelilingi oleh mitos, akhirnya menjadi
lambing atau simbol dari ide atau nilai tertentu.
 Metaformosis memang agak ekstrim, tapi yang muncul adalah realitas baru yang
merupakan fakta sementara yang harus dihadapkan dengan fakta yang berasal
dari sumber lain. Penjelasan terhadap fakta sementara itu harus memperhatikan
untaian sebelum dan sesudah, mata rantai sebab-akibat, bergelimang dengan
masalah-masalah struktural, mobilisasi penduduk, dan dinamika aspek-aspek
yang mempengaruhi situasi.
 Fenomena personafikasi adalah perubahan yang memunculkan tokoh sejarah
dalam arti Historiografi tradisional. Penokohan itu dimaksudkan untuk
melanggengkan suatu norma, ide, nilai, atau konsep kehidupan yang mungkin
dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup.
 Depersonifikasi adalah gejala perubahan dari tokoh menjadi nilai-nilai. Di sini,
sejarah dinilaikan berdasarkan perilaku dan dikap tokoh tertentu. Namun
mendepersonifikasi seorang tokoh itu tidak mudah sehingga ada usaha untuk
mempersonifikasikan kembali nilai-nilai dalam bentuk tokoh.

Anda mungkin juga menyukai