Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KONSEP AQIDAH

DISUSUN OLEH:
KHOLIFATUN NIKMAH
PRODI:
PENDIDIKAN FISIKA

DOSEN:
MUHAMMAD MUHLIS, S.PdI, M. Pd

Program study pemdidikan fisika


Institut Teknologi Sains Nahdhotul Ulama’
Jl Raya Warungdowo Utara Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa, yang telaj mengutus Nabi Muhammad
untuk mempertebal iman kita. Semoga sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada beliau
yang telah berhasil mengemban amanah Allah, serta seluruh keluarga dan sahabat beliau.

Pelajaran aqidah adalah salah satu ilmu yang sangat penting dipelajari oleh kaum
muslimin, sebagai acuan untuk berfikir, bertingkah laku sehari-hari, lebih-lebih bagi yang awam
tentang aqidah.

Makalah ini memuat masalah masalah penting yang mengenai aqidah umat manusia, yang
begitu dekat pengambilannya untuk difahami. Sungguh makalah ini bagi para awam yang masih
tidak mau meyaqini atau tidak mengetahi bahwa “Allah itu mempunyai tangan, mata, wajah dan
betempat”. Disebabkan banyak yang belum mengetahui bahwa “Allah itu mempunyai tangan,
mata, wajah dan betempat” saya membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga usaha ini bermanfaat sebaimana yang dihrapkan dan merupakan amalan sholih
bagi penulis dan siapa saja yang membaca makalah ini. Amin
Daftar isi

Contents
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah.........................................................................................................................4
1.3 Tujuan masalah...................................................................................................................................4
A. ALLAH MEMPUNYAI TANGAN, DUA MATA, BERSEMAYAM..................................................................5
a. Tangan ALLAH...................................................................................................................................5
a.Allah mempunyai tangan...................................................................................................................5
Allah mempunyai 2 tangan kanan.........................................................................................................6
Tanagn kanan dan kiri Allah..................................................................................................................7
Tangan yang lain...................................................................................................................................7
b. Dua mata ALLAH................................................................................................................................8
Allah mempunyai mata.........................................................................................................................8
Apa tafsirannya.....................................................................................................................................9
c. Allah bertempat..............................................................................................................................10
Allah bersemayam di arsy atau Allah di dekat kita..............................................................................10
B. B. ALLAH BERUPA................................................................................................................................16
d. a. Allah berupa................................................................................................................................16
e. Memandang wajah Allah.................................................................................................................19
C. PENUTUP.............................................................................................................................................25
D. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................26
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia membutuhkan sumberdaya manusia yang tidak lamgsung menelan makna


secara langsung lebih-lebih makna tentsng aqidah. Buat mempenuhi keinginan tersebut saya
membuat makalah yang membahas tentang aqidah “allah mempunyai mata; tangan; bertempat
dan allah mempunyai wajah”
Banyak orang zaman sekarang yang menga mengartikan tangan allah, mata allah sama
seperti kita. Ini jelas paham yang sesat lagi menyesatkan. Mata allah dan tangan allah tidak
sama seprti kita maha sici allah.
Dan banyak di zama sekarang yang menunggah kata-kata “aku yang berupa tidak di
sayang apalagi tuhanmu yang tak berupa’. Ini adalah tulisan, perkataan jika diucapkan yang
salah dan menyesatkan, karna sesunngunya allah itu berupa dzat dan ulama’ berijtihat allah
mempunyai wajah.
Tanagn allah, mata allah, tempat allah dan wajah allah tidak sama seperti manusia atau
makhluq yang lain.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah allah mempunyai tangan, mata dan mempunyai tempat?


2. Apakah allah itu berupa/ mempunyai wajah?

1.3 Tujuan masalah

1. Memberikan penjelasan bahwa allah memiliki tangan, mata, dan tempat atpi semua itu
beda sama makhluqnya

2. Memberikan penjelasan bahwa itu berupa dan mempunai wajah dsan wajahnya tidak
sama dengan makhluqnya. Hanya orang terpilih yang dapat meliaht Allah
Pembahasan
A. ALLAH MEMPUNYAI TANGAN, DUA MATA,
BERSEMAYAM.

a.Tangan ALLAH

a. Allah mempunyai tangan

Salah satu bahasan aqidah yang paling sering disalahpahami adalah soal ayat-ayat yang
sepintas mengisyaratkan bahwa Allah punya anggota tubuh sehingga dalam benak
sebagian orang terbayang seolah Dzat Allah adalah jism (sosok tiga dimensi) yang
tersusun dari organ-organ tubuh tertentu. Ini adalah kesalahan fatal sebab hal ini adalah
aqidah para Mujassimah. Aqidah Mujassimah ini adalah salah satu yang dilawan oleh para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) dan disepakati sebagai salah
satu aqidah yang menyimpang.
Di antara contoh yang paling sering dibahas dalam tema ini adalah tentang kata
“yadullah” yang secara harfiah berarti “tangan Allah” yang disebutkan dalam Al-Qur’an
maupun hadits. Di antara ayat yang menyebut kata ini adalah:    

َ‫ى ۖ أَ ْستَ ْكبَرْ تَ أَ ْم ُكنتَ ِمنَ ْٱل َعالِين‬ ُ ‫ال ٰيَٓإ ِ ْبلِيسُ َما َمنَ َعكَ أَن تَ ْس ُج َد لِ َما َد َخلَ ْق‬
َّ َ‫ت بِي‬ َ َ‫ق‬   

"Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
‘kedua tangan-Ku’. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad: 75)1

‫ق َك ۡيفَ يَشَآ ۚ ُء‬


ُ ِ‫سوطَتَا ِن يُنف‬
ُ ‫بَلۡ يَدَاهُ َم ۡب‬
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana
Dia kehendaki.”  (al-Maidah: 64)

Hal ini sangatlah tidak aneh lagi, karna kita mengetahui sesungguhnya diri kita
mempunyai sifat dengan beberapa siafat seperti sifat tahu mengetaui, kemampuan dan
kehendak, padahal kita tidak mengetahui bagaimana cara sifat-sifat tersebut Berada pada
diri kita, bahkan sesungguhnya kita mendengar dan melihat. Sedangkan kita tidak tau

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/106971/makna-tangan-allah-menurut-imam-ahmad-bin-
hanbal
bagaimana cara terjadinyaaran pendengaran dan penglihatan itu. Bahkan kita bicara,
sedangkan kita tidsk menegtahui bagaimana cara terjadinya pembicaraan tersebut
‫ى‬ ُ ‫( َد َخلَ ْق‬telah Ku-ciptakan dengan ‘kedua tangan-Ku) kata yadahu ini banyak
َّ َ‫ت بِي‬
oran yang menyalahkan artinya. Tidak banyak orang berfikiran bahwa allah mempunyai
tangan seperti tangan manusia, mempunyai mata. seperti mata manusia, bertempat tinngal
seperti seperti tempat tinggal manuia pada umumnya
Oleh seba itu ulama’ mutaakhir bersepalat untuk menafsirkan bahwa tanagan Allah
adalah kenikmatan atau kekuasaan dan mata Allah di tafsirkan menjaga dan mengawasi2
Bagi ulama, terdahulu atau bisa sdisebut ulma’ qidim mengartiakn atau kata
yadaayya bagi Allah adalah tetap tangan Allah tidak berubah arti atau di tafsirkan lain
karan menurut ulama’ terdahulu pendapat ini atau pengartian ini lebi selamat dan
bijaksana.
Penafsiran ini dilakukan oleh beliau semata-mata mencari ridho Allah dan
meluruskan bagi mereka yang cara pandang rendah terhadap isi Al-Quran. Setiap orang
yang menafsirkan bahwa Allah itu sama seperti manusia adalah sesat.

Allah itu bersifat tidak sama dengan makhluqnya (Mukholafatul Lilhawaditsi), berdiri
sendiri, tidak butuh siapaun, apapun malah kita sebagai manusia yang membutukan Allah.
Allah muhal memiliki sifat Mumatsalatu lil hawaditsi (Menyerupai makhluknya).  Allah SWT
adalah yang pencipta, maka Allah sudah pasti berbeda dengan makhluk ciptaanya. Tidak ada
satupun yang mampu sebanding denganNya dan mampu menyerupai keagunganNya.

Dalil aqli sifat Almukholafah lil hawadist adalah” Apabila Allah menyerupai makhluknya
berarti Allah itu baru (keberadaan-Nya ada permulaan dan juga pasti ada akhirnya). Kalau
Allah baru, pasti membutuhkan muhdist (yang membarukan). Muhdist itupun sama
membutuhkan muhdist yang lain dst. Bila hal ini terjadi, pasti akan muncul daur atau tasalsul.
Sedangkan keduanya itu mustahil. Bila keduanya mustahil, pasti mustahil pula Allah
membutuhkan muhdist. Bila demikian Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru berarti tidak sama
dengan makhluknya. Kalau Dia tidak sama dengan makhluk-Nya, berarti Dia disifati dengan
almukholafa lil hawadist.3

Dlam Al-quran telah diterangkan menengenai ayat-ayat tersebut


‫سمِي ُع ۡٱل َبصِ ي ُر‬ َ ‫س َكم ِۡثلِهِۦ‬
َّ ‫ۖء َوه َُو ٱل‬ٞ ‫ش ۡي‬ َ ‫لَ ۡي‬ 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

Allah mempunyai 2 tangan kanan

Dalam hadist nabi yang diriwaykan dalam kitabnya shohih muslim


ٌ‫َو ِك ْلتَا يَ َد ْي ِه يَ ِمين‬
2
Kitab “jawahirul kalamiyah (AL-MIFTAH Surabay, 1997. Syaikh Thahir bin Sholeh al-Jazani)
3
Kitab “kifayatul awam (AL-MIFTAH Surabaya. Syaikh Ibrahim Al-baijuri)
“kedua tangan Allah kanan”. (HR. Muslim)
suda jelas bahwa hadist diatas menerangkan bahwa Allah mempunysi tangan tapi ingat
tanagn Allah tidak sama seperti makhluqnya Maha suci Allah. Allah mempunyai 2 tangan.
Menurut Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari Salaful Ummah yaitu yang terdiri dari
para Sahabat, Taabi’in dan Taabi’ut Taabi’in bersama dengan orang yang mengikuti mereka dari
para Imam dan para Ulama dan seterusnya dari zaman ke zaman sampai hari kiamat, mereka
semuanya mengatakan: 

Bahwa Allah ‫ عزوجل‬mempunyai kedua tangan yang mulia sebagaimana Allah ‫ عزوجل‬telah
memberitahukan kepada kita di dalam kitab-Nya yang mulia dan juga Rasulullah ‫صلى هللا عليه وسلم‬
di dalam sabda-sabda suci beliau dari hadits-hadits yang shahih.4

Tanagn kanan dan kiri Allah

Nabi berfirman:

 ‫ َي ْط ِوى‬ ‫ ُث َّم‬ ‫ا ْل ُم َت َك ِّب ُرونَ ؟‬  َ‫أَ ْين‬ ‫ا ْل َج َّبا ُرونَ ؟‬  َ‫أَ ْين‬ ،ُ‫ا ْل َملِك‬ ‫أَ َنا‬ :ُ‫ َيقُول‬ ‫ ُث َّم‬ ‫ا ْل ُي ْم َنى‬ ‫ ِب َي ِد ِه‬  َّ‫ َيأْ ُخ ُذهُن‬ ‫ ُث َّم‬ ‫ا ْلقِ َيا َم ِة‬ ‫ َي ْو َم‬ ‫ت‬ َّ ‫ال‬ َّ ‫ َو َجل‬ ‫ َع َّز‬ ُ‫هللا‬ ‫َي ْط ِوى‬
ِ ‫س َم َوا‬
َ‫ا ْل ُم َت َك ِّب ُرون‬  َ‫أَ ْين‬ ‫ا ْل َج َّبا ُرونَ ؟‬  َ‫أَ ْين‬ ،ُ‫ا ْل َملِك‬ ‫أَ َنا‬ :ُ‫ َيقُول‬ ‫ ُث َّم‬ ‫ ِبشِ َمالِ ِه‬  َ‫اأْل َ َرضِ ين‬

Allah ‘azza wa jalla melipat langit-langit pada hari kiamat lalu mengambilnya dengan tangan
kanan-Nya seraya berkata, “Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-
orang yang sombong?”
Lalu Allah melipat bumi-bumi dengan tangan kiri-Nya seraya berkata, “Akulah Sang Raja, di
manakah para diktator? Di manakah orang-orang yang sombong?” (HR. Muslim)5
Saya ingatkan lagi bahwa tangan allah tida sama dengan makhluqnya Maha Suci Allah
dari shifat yang muhak bagi Allah dan jangan sampe kita membayangkan dzat allah karna Allah
bersifat muhkolafatul lil hawadisti.

Tangan yang lain

َ‫ا ْل ُم َت َك ِّب ُرون‬  َ‫أَ ْين‬  َ‫ا ْل َج َّبا ُرون‬  َ‫أَ ْين‬ ‫ا ْل َملِ ُك‬ ‫أَ َنا‬ ُ ‫ َيقُول‬ ‫ ُث َّم‬ ‫األ ُ ْخ َرى‬ ‫بِ َي ِد ِه‬ : ِ‫ا ْل َعالَء‬  ُ‫ا ْبن‬ َ ‫َقال‬

Ibnul ‘Ala`, salah seorang perawi hadits mengatakan, “… dengan tangan- Nya yang lain, lalu
Allah ‘azza wa jalla berkata, ‘Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-
orang yang sombong?’.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Dari beberapa riwayat di atas, para ulama berbeda pendapat setelah ulama Ahlus Sunnah
sepakat bahwa Allah memiliki dua tangan. Hanya saja, tangan kiri Allah ‘azza wa jalla tidak boleh
dipahami seperti kiri pada makhluk. Sebab, kiri pada makhluk identik dengan kelemahan dan
4
https://aslibumiayu.net/19769/kedua-tangan-allah-itu-kanan-hadits-tentang-tangan-allah-itu-kiri-derajatnya-
lemah/
5
https://asysyariah.com/dua-tangan-allah/
kekurangan, sementara tangan kiri Allah ‘azza wa jalla tidak memiliki kelemahan dan kekurangan
sama sekali. Tangan kiri Allah ‘azza wa jalla tetap sempurna dalam segala hal.

b.Dua mata ALLAH

Allah mempunyai mata

Diantara sifat-sifat Allah adalah bashor artinya maha melihat dan kaunuhu bashiiron artinya
dzat yang Maha Melihat. Sudah jelas Allah bisa melihat kita. Dimana pun kita berada, bersama
siapapun allah selalu melihat dan mengawasi kita sekalipun kamu berada di dalam lorong yang
gelap sendirian satupun orang tidak tau, tetap Allah tau kamu.
Dalam Al-Quran alla telah berfirman
َ ‫َوٱصْ َن ِع ْٱلفُ ْل َك ِبأَعْ ُي ِن َنا َو َوحْ ِي َنا َواَل ُت ٰ َخطِ ْبنِى فِى ٱلَّذ‬
َ ‫ِين َظلَم ُٓو ۟ا ۚ إِ َّنهُم م ُّْغ َر ُق‬
‫ون‬

“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) mata-mata dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu
akan ditenggelamkan” (QS. Huud: 37)
Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, "Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk
menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-
Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang
yang menafikkan dari Allah Tabaraka Wa Ta'ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di
dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap kabar yang berasal
dari-Nya, melalui firman-Nya: ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl:
44). Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai
dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Quran) yang
tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat
pengajian” (Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla, hal. 97, tahqiq: Dr.
‘Abdul-Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H).6
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala menyatakan :

‫الذاتية‬ ‫الصفات‬ ‫من‬ ‫وهما‬ ، ‫به‬ ‫الالئق‬ ‫الوجه‬ ‫على‬ ‫حقيقة‬ ‫بهما‬ ‫ينظر‬ ، ‫اثنتين‬ ‫عينين‬ ‫هلل‬ ‫ أن‬: ‫والجماعة‬ ‫السنة‬ ‫أهل‬ ‫مذهب‬

“Madzhab ahlissunnah wal jamaah menetapkan bahwa Allah memiliki dua mata. Allah melihat
dengan keduanya dengan proses melihat yang sebenarnya sesuai dengan ke-maha besaran Allah,

6
https://www.alquranpedia.org/2018/06/benarkah-allah-mempunyai-mata.html#:~:text=Dan%20antara%20sifat
%2Dsifat%20yang,adalah%20Allah%20mempunyai%20dua%20mata.&text=Imam%20Ibnu%20Khuzaimah
%20rahimahullah%20berkata,sifat%20'ain%20(mata).
dan kedua mata ini termasuk sifat dzatiyah.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin : 4/58).

Diantara dalil akan penetapan mata bagi Allah adalah firman Allah ta’ala :

‫ َو َوحْ يِنَا‬ ‫بِأ َ ْعيُنِنَا‬  َ‫ ْالفُ ْلك‬ ‫َواصْ ن َِع‬

“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan kami dan petunjuk wahyu Kami.”


(QS Hud : 37).

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma tatkala menafsirkan ayat ini (QS Hud : 37) berkata :

‫وتعالى‬ ‫تبارك‬ ‫هللا‬ ‫بعين‬

“Dengan mata Allah tabaraka wa ta’ala.”


(HR Baihaqi dalam Asma’ Was-Sifat : 2/116).

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala menyatakan lagi :

‫وإثبا‬ ، ‫موضع‬ ‫غير‬ ‫في‬ ‫الرؤية‬ ‫وأثبت‬ ، ‫موضع‬ ‫غير‬ ‫في‬ ‫لنفسه‬ ‫أثبتها‬ ‫هللا‬ ‫أن‬ ‫ذلك‬ ‫ودليل‬ ، ٌ‫حقيقية‬ ‫عين‬
ٌ  ‫هي‬ ‫وتعالى‬ ‫سبحانه‬ ‫هلل‬ ‫والعين‬
‫آخر‬ ‫شي ٌء‬ ‫والعين‬ ، ‫شي ٌء‬ ‫فالرؤية‬ ، ‫بينهما‬ ‫التغاير‬ ‫على‬ ‫يدل‬ ً‫تارة‬ ‫وهذا‬ ‫تارة‬ ‫هذا‬ ‫ت‬ 

“Mata Allah subhanahu wa ta’ala adalah mata yang hakiki. Dalil akan hal itu adalah Allah
menetapkan mata untuk diri Nya sendiri di banyak lokasi. Dan menetapkan penglihatan di banyak
lokasi.

Penetapan mata sesekali, dan penetapan penglihatan pada kali yang lain menunjukkan
adanya perbedaan diantara keduanya. Penglihatan adalah sesuatu sedangkan mata adalah sesuatu
yang lain.”
(Syaarah Aqidah As-Sifariniyyah : 192).7

Apa tafsirannya

Banyak yang tidak tepat bab ini. Pasalnya ilmu seseorang berbeda bahkan ada yang tidak
tau. Kadang ada juga orag yang tidak tau pura-pura tau. Allah maha melihat, dan Allah tidak
pernah tidur dan allah tidak pernah lupa, Maha Suci Allah.

7
https://bimbinganislam.com/penjelasan-sifat-melihat-allah/
Ulama’ akhir bermujtahit bahwa mata Allah sama dengan “menjaga dan mengawasi” 8.
Menjaga dalam aspek semua makhluq baik yang hidup maupun yang sudah mati. Mengawasi
dalam segala tingkah yang dilakukan, segala perkattaan hati, segala sesuatu Allah mengawasi.

Sekali lagi saya ingatkan mata Allah tidak seperti makhluqnya Allah Maha suci. Aalah
memiliki shifat mukholafatul lil hawadisti yang artinya Allah tidak sama dengan makhluqnya.

c. Allah bertempat

Allah bersemayam di arsy atau Allah di dekat kita

Sebelum kami jelaskan masalah yang anda tanyakan, kami kutipkan terlebih dahulu ayat-
ayat yang menyatakan bahwa Allah bersemayam diatas ‘Arsy dan ayat-ayat yang menyatakan
bahwa Allah adalah sangat dekat dengan kita:

ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َو ْاألَر‬ َ َ‫… إِ َّن َربَّ ُك ُم هللاُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬

“Sesungguhnya Tuhan kami ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam diatas ‘Arsy…” (al-A’raf (7): 54).
Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy diulang sebanyak 8 kali,
pada surat Yunus (10): 3, ar-Ra’d (13):2, Thaha (20):5, al-Furqan (25):59, al-Qasas (28):14, as-
Sajdah (32): 4, Fushilat (41): 11, an-Najm (53): 6 dan al-Hadid (57): 4
Ayat-ayat tersebut semuanya menjelaskan bahwa Allah bersemayam diatas ‘Arsy.
Adapun ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah adalah dekat disebutkan dalam al-Qur’an
sebanyak 5 kali, antara lain ialah:

….‫… َونَحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِريد‬.

“…dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya…” (Qaf (50): 16). Kemudian
disebutkan pada: surat al-Baqarah (2): 186, Hud (11): 61, Saba’ (34): 50 dan al-Waqi’ah (56): 85.

Ayat-ayat tesebut memberikan pengertian bahwa Allah sangat dekat kepada kita. Jika
dilihat secara sepintas, seakan-akan ayat-ayat tersebut bertentangan, anatara ayat yang
menyatakan bahwa Allah adalah jauh, dan ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah dekat.
Sebenarnya ayat-ayat tersebut tidaklah bertentangan, sebab dapat dikompromikan antara satu ayat
dengan ayat lainnya.9

8
Kitab “jawahirul kalamiyah (AL-MIFTAH Surabay, 1997. Syaikh Thahir bin Sholeh al-Jazani)

9
https://fatwatarjih.or.id/apakah-allah-bersemayam-di-atas-arsy/
‘Arsy, para ahli bahasa mengartikan ‘Arsy sebagai singgasana, bangunan, istana atau tahta.
Kata tersebut berasal dari ‘arasya – ya’rusyu, yang berarti membangun.
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ‘Arsy; Rasyid Ridha dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa ‘arsy adalah pusat pengendalian segala persoalan semua makhluk Allah SWT di alam
semesta, sebagaiman dijelaskan firman Allah pada surat Yunus (10): 3…‫… ثم استوى على الع«رش‬
“Kemudian Dia bersemayam dia tas ‘Arsy”
Gambaran fisik ‘Arsy, merupakan hal gaib yang tiada seorangpun dapat mengetahuinya,
kecuali Allah, di mana letaknya dan berapa besarnya. Masalah ‘Arsy telah lama menjadi topik
pembicaraan yang kontroversial, apakah ‘Arsy itu bersifat material ataukah bersifat immaterial.
Hal ini terjadi karena tidak ada penjelasan rinci baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadits.
Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa al-‘Arsy adalah singgasana. Maka kami berpendapat bahwa
kita wajib menyakini keberadaannya, yang hakikatnya hanya diketahui Allah SWT, kita tidak
perlu mencari-cari seberapa besarnya dan seberapa jauhnya atau tingginya.
Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah beristiwa’ atau bersemayam di
atas ‘Arsy, dan kita wajib beriman kepada-Nya dengan tidak perlu bertanya-tanya bagaimana dan
dimana.
Adapun yang dimaksud dengan qarib, (dekat) ialah: Bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu, Dia mendengar perkataan manusia, dan melihat segala macam perbuatannya, tidak ada
hijab antara Allah dan manusia, tiada perantara atau wali yang menyampaikan doa’a mereka
kepada Allah, tiada yang membantu-Nya dalam mengabulkan permohonan manusia kepada-Nya,
Allah akan mengabulkan do’a manusia tanpa perantara seorangpun, apabila sesorang berdo’a
kepada-Nya, sebab Allah-lah yang menciptakannya, Dia Maha Mengetahui segala apa yang ada
dalam hati setiap orang. Demikianlah yang dimaksud dengan “aqrabu ilaihi min hablil warid”.
(lebih dekat kepadanya daripada urat leher) yang disebutkan dalam surat Qaf (50): 16.

Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan guru senior beliau Imam Malik (wafat 179 H), meyakini
bahwa Allah berada di atas Arsy.

Begitu pula Imam Abu Hanifah (wafat 150 H), Imam Ahmad (wafat 241 H), dan para
Imam Ahlussunnah lainnya, semoga Allah merahmati mereka semua.

Inilah fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun yang jujur dan
objektif.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan:

“Makna firman Allah dalam kitab-Nya:

َّ ‫َم ْن فِي ال‬


‫س َما ِء‬
“…Dzat yang berada di atas langit…”  (Qs. Al Mulk: 16).

di atas Arsy, sebagaimana Dia firmankan:

ِ ْ‫الرَّحْ َم ُ«ن َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬

“Allah yang Maha Pengasih itu berada di atas Arsy” (QS. Thaha: 5).

Maka, Allah itu di atas Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan sendiri, tanpa perlu
mempersoalkan bagaimananya.

ِ َ‫س ِمي ُ«ع ْالب‬


‫صي ُر‬ َّ ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (QS. Asy-Syuro: 11) [lihat: Manaqibusy Syafi’i lil Baihaqi 1/397-398].

Perhatikanlah bagaimana Imam Syafi’i rahimahullah mengumpulkan dua ayat di atas.


Itu menunjukkan bahwa dua ayat itu saling melengkapi, dan tidak boleh dipertentangkan.

Kesimpulan dari dua ayat itu menurut Imam Syafi’i rahimahullah adalah, bahwa “Allah tidak
sama dengan makhluk dalam keberadaan-Nya di atas Arsy.”

Inilah pemahaman yang harus kita teladani, bukan malah mempertentangkan dua ayat
tersebut, dan mengatakan: karena Allah tidak sama dengan makhluk, maka Allah tidak berada
di atas Arsy.

Inilah yang menjadikan Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan: “tanpa mempersoalkan


bagaimananya”, karena mempersoalkan hal itu akan menggiring orang untuk
mempertentangkan dua ayat tersebut, lalu menafikan keberadaan Allah di atas Arsy-Nya.

Ini pula yang menjadikan Imam Malik rahimahullah membid’ahkan pertanyaan tentang


‘bagaimana’ keberadaan Allah di atas Arsy-Nya [Lihat: Al-Asma was Sifat lil Baihaqi 2/360].

Karena memang hal itu tidak pernah dipersoalkan oleh para sahabat radhiallahu anhum,
dan kita juga tidak akan tahu jawabannya, bagaimanapun kita mengusahakannya, karena itu
adalah hal gaib, dan kita tidak boleh mengatakan satu huruf pun tentang itu, kecuali dari sumber
yang maksum.

Contoh mudahnya: kita tahu ada kurma di surga dan kita juga tahu bahwa nikmat di
surga tidak sama dengan nikmat di dunia. Bolehkah kita mempersoalkan ‘bagaimana’ hakikat
kurma itu? Lalu setelah itu, kita mentakwilnya atau menafikannya? Tentu tidak boleh.
Kita akan tetap mengatakan, bahwa ada kurma di surga, walaupun kita tidak tahu
bagaimana detilnya, tapi yang jelas kurma itu jauh lebih baik dan lebih enak dari kurma yang
ada di dunia.

Seperti inilah para ulama salaf memahami semua kabar gaib, baik tentang Allah jalla
wa’ala, malaikat, alam kubur, timbangan amal, shirat, surga, neraka, dan hal-hal gaib lainnya,
karena mereka-reka hal itu tanpa sumber yang maksum akan menjatuhkan seseorang pada
kesalahan.

Imam Abu Hanifah rahimahullah juga meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy, beliau
mengatakan:

ِ ْ‫من« لم يقر أن هللا« على العرش قد« كفر ألن« هللا تعالى يقول {الرَّحْ َم ُ«ن َعلَى ْال َعر‬
‫ش ا ْستَ َو ى} وعرشه فوق سبع سموات‬

“Orang yang tidak mengikrarkan bahwa Allah di atas Arsy, maka dia telah kufur, karena Allah
ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Allah yang maha pengasih itu berada di atas Arsy’ (Qs. Thaha:
5), dan Arsy-Nya itu berada di atas langit yang tujuh” [Lihat: Kitabul ‘Arsy lidz Dzahabi
2/178].

Lihatlah, bagaimana kerasnya pengingkaran beliau dalam masalah ini, karena beliau
hidup di zaman yang tergolong masih awal dalam sejarah Islam, beliau lahir tahun 80 H, masih
ada beberapa sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ‘yang hidup ketika itu, sehingga
kesesatan dalam bidang akidah ketika itu masih tergolong sedikit. Wajar bila ‘mengingkari
keberadaan Allah di atas Arsy’ dianggap kufur saat itu.

Adapun Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, maka beliau juga sama dengan imam-
imam ahlussunnah sebelumnya dalam meyakini keberadaan Allah di atas Arsy-Nya.

Dalam bantahannya kepada kelompok Jahmiyah, beliau mengatakan:

 ‫استوى‬ ‫أنكرتم أن يكون« هللا على العرش وقد« قال تعالى الرحمن على العرش‬

“Mengapa kalian mengingkari bahwa Allah berada di atas Arsy? Padahal Dia sendiri telah
mengatakan: ‘Allah yang maha pengasih itu berada di atas Arsy’ (Qs. Thaha: 5)” [lihat: Arradd
alaz Zanadiqah, hal 287].

Beliau juga dengan tegas mengatakan:

‫وهو على العرش وقد أحاط علمه بما دون العرش وال يخلو من« علم هللا مكان‬

“Dia berada di atas Arsy, tapi pengetahuan-Nya meliputi apapun yang ada di bawah Arsy, tidak
ada satupun tempat yang luput dari pengetahuan-Nya” [Lihat: Arrad alaz Zanadiqah, hal 293].
Bahkan, inilah akidah seluruh ulama Ahlussunnah di masa awal-awal Islam, Imam Ibnu
Abdil Barr rahimahullah (wafat 463 H) mengatakan:

‫أهل السنة« مجموعون على اإلقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة واإليمان بها وحمله««ا على الحقيق««ة ال على المج««از‬
‫إال أنهم ال« يكيفون شيئا من ذلك« وال يحدون فيه ص««فة محص««ورة وأم««ا أه««ل الب««دع« والجهمي«ة« والمعتزل««ة كله««ا والخ««وارج فكلهم‬
‫ينكرها وال يحمل شيئا منها« على الحقيقة ويزعمون« أن من أقر بها مش««به وهم عن«د« من« أثبته««ا ن««افون للمعب««ود« والح««ق فيم««ا قال««ه‬
‫القائلون« بما نطق به« كتاب هللا« وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد« هلل‬

“Ahlussunnah telah ber-ijma’ (sepakat), dalam mengikrarkan dan mengimani semua sifat-sifat
Allah yang datang dalam Alquran dan Assunnah.

Mereka memaknai sifat-sifat itu dengan makna hakiki, bukan dengan makna majazi, dan
mereka tidak mem-bagaimana-kan satupun dari sifat-sifat itu. Mereka juga tidak membatasi
Allah dengan sifat yang terbatas.

Adapun para ahli bid’ah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij: mereka semua
mengingkari sifat-sifat itu, mereka tidak memaknainya dengan makna hakiki, bahkan
beranggapan bahwa orang yang mengikrarkan sifat-sifat itu sebagai ‘musyabbih’ (orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebaliknya, mereka di mata orang-orang yang
menetapkan sifat-sifat itu adalah orang-orang yang meniadakan sesembahannya.

Dan kebenaran ada di pihak mereka yang mengatakan dengan apa yang dikatakan oleh
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, merekalah para imam (ahlussunnah wal) jama’ah,
walhamdulillah”. [Lihat: Attamhid libni Abdil Barr 7/145]. 10

Telah maklum dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Allah bukanlah jisimatau
eksistensi fisikal yang mempunyai volume. Tak dapat dihitung jumlah ulama yang
memustahilkan makna fisikal (jismiyah) dari Allah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin
Hanbal yang dengan tegas berkata:  

‫ك‬
ٍ ‫ض َو َس ْم‬ٍ ْ‫ي ْال ِج ْس َم – َعلَى ِذي ِطو ٍل َو َعر‬ ِ َ‫ضعُوا هَ َذا اال ْس َم – أ‬ َ ‫ َوأَ ْه ُل اللُّ َغ ِة َو‬،‫إِ َّن األَ ْس َما َء َمأْ ُخو َذةٌ ِمنَ ال َّش ِري َع ِة َواللُّ َغ ِة‬
‫ َولَ ْم‬،‫ك ُكلِّ ِه – أي ُمن َّزهٌ َع ْنه – فَلَ ْم يَج ُْز أَ ْن يُس َّمى ِج ْس ًما لِخرو ِج ِه ع َْن َم ْعنَى ْال ِج ْس ِميّ ِة‬ َ ِ‫خَار ٌج ع َْن َذل‬ِ ُ‫ َوهللا‬،‫يف‬ ٍ ِ‫ُور ٍة َوتَأْل‬
َ ‫ب َوص‬ ٍ ‫َوتَرْ ِكي‬
َ َ‫يَ ِجى ْء في ال َّش ِري َع ِة َذلِكَ فَب‬
‫طل‬

  "Sesungguhnya istilah-istilah itu diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan bahasa
sedangkan ahli bahasa menetapkan istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang punya panjang, lebar,
tebal, susunan, bentuk dan rangkaian, sedangkan Allah berbeda dari itu semua. Maka dari itu,
10
https://muslim.or.id/35542-imam-syafii-meyakini-bahwa-allah-berada-di-atas-arsy.html
tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jisim sebab Allah tak punya makna jismiyah. Dan,
istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian". (Abu al-Fadl
at-Tamimy, I’tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin Hanbal, 45).

  Lalu bagaimana dengan suatu ungkapan yang terbilang lumrah di telinga penduduk
Indonesia bahwa Allah bersemayam di atas Arasy? Bolehkah mengatakan Allah bersemayam
meskipun bersemayam adalah sebuah tindakan fisikal yang hanya bisa dilakukan oleh jism
(materi)?   Apabila kita membaca Al-Qur’an terjemahan Kementerian Agama dari surat at-Taha
ِ ْ‫ الرَّحْ ٰ َمنُ َعلَى ْال َعر‬  Maka akan kita dapati terjemahannya adalah: “Tuhan
ayat 5 berikut:   ‫ش ا ْستَ َو ٰى‬
yang Mahapemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy”. Terjemahan ini diberi catatan sebagai
berikut: “Bersemayam di atas ‘Arasy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dan kesucian-Nya”. (Lihat: Al Qur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian
Agama).

 Bila kita terima begitu saja terjemahan tersebut berarti jawabannya sudah jelas: Ya, Allah
bersemayam. Tetapi masalahnya tak sesederhana ini. Kita tak boleh membahas masalah aqidah
hanya berdasarkan pada terjemahan saja sebab bisa jadi terjemahannya tidak tepat. Dan, tentu saja
cara seseorang menerjemah tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang
bisa berbeda dengan lainnya, apalagi ini terkait dengan ayat Al-Qur’an yang memang kaya
makna.   Ayat tersebut menggunakan redaksi istawayang diterjemahkan sebagai “bersemayam”.

Bila kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk,
berkediaman, tinggal atau bila konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya
adalah terpatri dalam hati. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam peristilahan bahasa
Indonesia, kalimat “bersemayam di atas ‘Arasy” artinya adalah duduk, berdiam atau tinggal di
atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna jismiyah yang seharusnya dibuang
jauh-jauh dari Allah sebab tak layak bagi kesucian-Nya.  

Makna duduk sendiri secara tegas dikecam sangat keras oleh Imam Syafi’i, bahkan
hingga level dianggap kafir. Imam Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Qadli Husain
menjelaskan bahwa di antara yang dianggap kafir adalah sebagai berikut:  

‫ وكذا‬،‫ ومن ال يؤمن بالقدر‬،‫ وبأنه ال يعلم المعدومات قبل وجودها‬،‫ كالقائلين بخلق القرآن‬:‫ومن كفرناه من أهل القبلة‬
‫من يعتقد أن هللا جالس على العرش؛ كما حكاه القاضي الحسين هنا عن نص الشافعي‬.  

“Orang yang kami kafirkan dari kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang berkata bahwa
al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tak mengetahui sesuatu sebelum terjadinya, juga orang
yang tak percaya takdir, demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy.
Seperti diriwayatkan oleh Qadli Husain dari penjelasan literal Imam Syafi’i.” (Ibnu ar-Rif’ah,
Kifâyat al-Nabîh fî Syarh at-Tanbîh, juz IV, halaman 23).  
Tentang vonis kafir terhadap aliran sesat di atas sebenarnya bukanlah hal yang disepakati
di kalangan ulama, namun setidaknya semua sepakat bahwa pendapat seperti di atas adalah sesat.
Bagaimana tidak sesat, mengatakan Allah duduk di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa
Allah punya pantat yang menempel di atas Arasy; mengatakan Allah tinggal atau berdiam di
Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya volume dan ukuran fisik sehingga pasti
Allah juga makhluk. Kesemuanya sama sekali mustahil bagi Allah dan Maha Suci Allah dari
semua itu.   

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mengatakan Allah bersemayam di atas Arasy
adalah ungkapan yang tidak tepat. Tim penerjemah dari Kementerian Agama tampaknya sadar
akan celah ini sehingga mereka memberi catatan “Bersemayam di atas ‘Arasy ialah satu sifat
Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya” seolah mau
menjelaskan bahwa bersemayam yang mereka maksud bukanlah bersemayam dalam arti duduk,
tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan kesucian Allah, tetapi
makna lain yang layak bagi-Nya.

  Namun bagaimanapun harus diakui bahwa diksi yang dipilih oleh tim penerjemah
Kementerian Agama tersebut kurang tepat sebab kata bersemayam tak punya arti lain dalam
kamus bahasa Indonesia selain makna jismiyah tersebut. Diksi yang kurang tepat ini rawan
menimbulkan salah paham bagi orang awam. Padahal, dalam bahasa Arab kata istawa tak selalu
bermakna jismiyah, namun bisa diartikan bermacam-macam sesuai konteksnya.   

Hal ini berbeda kasusnya dengan kata “yad” yang oleh Kementerian Agama diterjemah
sebagai “tangan”. Meskipun kata “tangan” juga berkonotasi jismiyah, namun dalam KBBI kata
ini tak hanya bermakna tangan sebagai organ tubuh tetapi bisa juga bermakna non-jismiyah
seperti makna kekuasaan, perintah dan sebagainya sehingga penerjemahan kata “yad” menjadi
“tangan” lebih bisa dimaklumi. Yang justru paling aman adalah tidak menerjemah kata-kata
berupa sifat khabariyah ini tetapi membiarkannya apa adanya lalu diberi catatan berbagai
kemungkinan makna yang layak bagi Allah.Wallahua’lam.11

B. B. ALLAH BERUPA DAN BERWAJAH

11
: https://islam.nu.or.id/post/read/94918/bolehkah-mengatakan-allah-bersemayam-di-atas-arasy
d.a. Allah berupa

Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,

‫صي ُر‬ َّ ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال‬


ِ َ‫س ِمي ُ«ع الب‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab


tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang
menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam
Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah
husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”

Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar
segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan
yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di
dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”

Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah
wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan
sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang
menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:

‫ْس َك ِم ْثلِ ِ«ه َش ْي ٌء‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”

Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah
-ed) dalam firman-Nya

‫صي ُر‬ َّ ‫َوهُ َو ال‬


ِ َ‫س ِمي ُ«ع الب‬

“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

(Taisir Karimir Rahman ).12

Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai
pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perlu kita ketahui
bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allah, kita harus bersikap sebagaimana

12
 https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html
sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan
segala berita yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada
Rasulullah dan berita yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud
Rasulullah.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan
pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya.
Bukankah Allah ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa. Allah juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menunjukkan
kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas dengan seksama.

Pada penggalan ayat yang pertama Allah menyatakan (‫ْس َك ِم ْثلِ ِ«ه َش ْي ٌء‬
َ ‫) لَي‬. Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya. («‫)ال ِم ْثل‬ dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan Nadhiir (serupa
dan sepadan) (lihat Mu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854). Maka arti dari ayat
ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan Allah. Pada penggalan ayat
yang kedua Allah menyatakan (‫صي‬ َّ ‫) َوهُ َو ال‬ Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (
ِ َ‫س ِمي ُع الب‬
َّ ‫)ال‬ berasal dari kata («‫) َس ِم َع‬ yang artinya mendengar. Sedangkan (‫صي ُر‬
‫س ِمي ُع‬ ِ َ‫)الب‬ berasal dari kata (‫ص َر‬
َ َ‫ب‬
) yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal
jawab berikut ini.

1. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan
sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
2. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
3. Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allah sama dengan
kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
4. Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan melihat yang
dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
5. Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
6. Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat
mendengar dan melihat yang ada pada Allah ? Anda tentu menjawab tidak.
7. Apakah letak kesamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama
namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.
8. Nah, dari sini, maka kalau Allah menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allah
memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada
pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan sifat
makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama.
Manusia punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan
kaki manusia. Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang
berbeda. Maka antara makhluk dengan Allah tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati
dengan berbagai kekurangan sedangkan Allah disifati dengan berbagai kesempurnaan.
Apakah sama Zat yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka
demikian pula dalam menyikapi sifat wajah. Allah telah menyebutkan di dalam Al
Quran maupun As Sunnah bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa
wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah.
Lalu apa susahnya (mengakui bahwa Allah memiliki wajah -ed)? 13

Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian
banyak ayat yang menyebutkan tentang wajah Allah. Di antaranya adalah:

“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah


Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)

“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada
fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.”  (QS. Ar-Ruum: 38)

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”  (QS. Ar-Ruum: 39)

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”   (QS. Ar-
Rahman: 27)

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha
tinggi.”  (QS. Al-Lail: 20).14

e. Memandang wajah Allah

Melihat wajah Allah Ta’ala di surga adalah kenikmatan terbesar yang akan diperoleh
seorang mukmin. Orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Ta’ala di akhirat,

13
https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html

14
https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html
melihat secara langsung dengan mata kepala mereka, sebagaimana mereka melihat bulan
purnama atau melihat matahari di siang hari yang cerah tanpa tertutup awan.

Aqidah ini berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam  dan juga merupakan ijma’ para ulama ahlus sunnah. Yang mengingkari dan tidak
meyakini hal ini hanyalah sekte-sekte yang menyimpang dari aqidah  ahlus sunnah wal
jama’ah.

Allah Ta’ala telah menyatakan,

)23( ٌ‫) إِلَى َربِّهَا نَا ِظ َرة‬22( ٌ‫ض َرة‬


ِ ‫ُو ُجوهٌ يَوْ َمئِ ٍ«ذ نَا‬

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka
melihat” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23).

Maksudnya, wajah orang beriman akan tampak cemerlang, cerah atau berseri-seri karena
melihat wajah Allah Ta’ala secara langsung. Hal ini karena dalam bahasa Arab, kata ‫ نظر‬ jika
digandengkan dengan ‫ إلي‬sebagaimana ayat di atas, maksudnya berarti “melihat dengan mata
kepala sendiri”.

Hal ini juga sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ْ ‫ْف ُرفِ َع‬


)18( ‫ت‬ ْ َ‫أَفَاَل يَ ْنظُ ُرونَ إِلَى اإْل ِ بِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬
َّ ‫) َوإِلَى ال‬17( ‫ت‬
«َ ‫س َما ِء َكي‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan? Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan?” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17-18).

Artinya, tidakkah mereka melihat secara langsung makhluk-makhluk yang menakjubkan ini,
yang menunjukkan kekuasaan Allah Ta’ala? Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala beriman,

ٌ‫ين أَحْ َسنُوا ْال ُح ْسنَى َو ِزيَادَة‬


«َ ‫لِل َّ ِذ‬

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan  tambahannya” (QS.
Yunus [10]: 26).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan  ‫( الحسني‬pahala


terbaik) adalah surga. Sedangkan yang dimaksud dengan ‫( الزي««ادة‬tambahan pahala) adalah
melihat wajah Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

‫لَهُ ْم َما يَ َشاءُونَ فِيهَا َولَ َد ْينَا« َم ِزي ٌد‬


“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi kami
ada tambahannya” (QS. Qaaf [50]: 35).

Yang dimaksud dengan «‫( مزيد‬tambahan) dalam ayat ini adalah melihat wajah Allah
Ta’ala.

Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jumlahnya sangat banyak,


sehingga mencapai derajat mutawatir.  Di antaranya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ِ‫ون فِي ُر ْؤيَتِه‬ َ ُ‫« الَ ت‬،‫ َك َما تَ َروْ نَ هَ َذا القَ َم َر‬،‫إِن َّ ُك ْم َستَ َروْ نَ َرب َّ ُك ْم‬
«َ ‫ضا ُّم‬

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (pada hari kiamat), sebagaimana kalian melihat
bulan ini (purnama). Kalian tidak berdesak-desakan ketika melihat-Nya”  (HR. Bukhari no.
554, 573, 4851, 7434 dan Muslim no. 633).

“Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan melihat


wajah Allah Ta’ala itu sebagaimana kita melihat matahari yang jernih dan terang tanpa tertutup
awan” (HR. Bukhari no. 806, 6573, 7437 dan Muslim no. 182).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan dengan tegas,

‫إِن َّ ُك ْم َستَ َروْ نَ َرب َّ ُك ْم ِعيَانًا‬

“Kalian akan melihat Rabb kalian secara langsung (dengan mata kepala)”  (HR. Bukhari no.
7435).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjelaskan bahwa ketika melihat wajah Allah


Ta’ala, orang-orang yang beriman tidak perlu antri berdesak-desakan. Karena setiap orang bisa
memandang wajah Allah Ta’ala di tempatnya masing-masing tanpa berdesakan, sebagaimana
ketika mereka memandang matahari dan bulan. Kita bisa saksikan sendiri jika kita melihat
sesuatu yang tinggi semacam matahari dan bulan, maka kita tidak perlu berdesak-desakan.

Perlu mendapatkan catatan adalah bahwa dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam  tidaklah menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya (matahari dan bulan).
Yang Rasulullah samakan adalah “kaifiyyah”,  yaitu bagaimana “cara memandang” Allah
Ta’ala di hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidaklah menyamakan “objek
yang dilihat” dalam hal ini adalah Allah Ta’ala dengan matahari dan bulan. Hal ini karena Allah
Ta’ala adalah Dzat Yang Maha besar, yang tidak serupa dan tidak semisal dengan satu pun
makhluk-Nya.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita ke surga dan mendapatkan nikmat untuk
memandang wajah-Nya. 15

Salah satu prinsip dasar Ahlus sunnah wal jamâ’ah yang tercantum dalam kitab-kitab
aqidah para Ulama salaf adalah kewajiban mengimani bahwa kaum Mukminin akan melihat
wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia di akhirat nanti.

Ini adalah balasan terhadap keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allâh
Azza wa Jalla semasa hidup di dunia.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, salah seorang imam Ahlus sunnah wal jamâ’ah di
zamannya, menegaskan prinsip dasar Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau
rahimahullah, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani
(bahwa kaum Mukminin) akan melihat (wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia) pada hari
kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits-hadits yang shahih”

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani rahimahullah berkata “Pada hari kiamat, para penghuni
surga akan melihat (wajah) Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla), mereka tidak merasa ragu dan
bimbang dalam melihat Allâh Azza wa Jalla, sehingga wajah-wajah mereka akan ceria dengan
kemuliaan dari-Nya dan dengan karunia-Nya mata-mata mereka akan melihat kepada-Nya, dalam
kenikmatan (hidup) yang kekal abadi”.

Demikian pula imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah [4] menegaskan prinsip yang
agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya,

“Memandang wajah Allâh Azza wa Jalla bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang
wajib diimani), (dengan pandangan) yang tidak menyeluruh (artinya, tidak melihat secara
keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana
yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an):

ٌ‫﴾ إِلَ ٰى َربِّهَا نَا ِظ َرة‬٢٢﴿ ٌ‫ض َرة‬


ِ ‫ُوجُوهٌ يَوْ َمئِ ٍ«ذ نَا‬

Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah
mereka melihat [al-Qiyâmah/75:22-23]

Penafsiran ayat ini haruslah sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki (bukan
berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu

15
https://muslim.or.id/29994-kebahagiaan-melihat-wajah-allah-taala-di-akhirat.html
‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
inginkan.

Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang
sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu
kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk
dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihyhi wa sallam, serta
mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya
(para ulama Ahlus sunnah)”[5] .

DASAR PENETAPAN AQIDAH INI


1. Firman Allâh Azza wa Jalla:

ٌ‫﴾ إِلَ ٰى َربِّهَا نَا ِظ َرة‬٢٢﴿ ٌ‫ض َرة‬


ِ ‫ُوجُوهٌ يَوْ َمئِ ٍ«ذ نَا‬

Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah
mereka melihat [al-Qiyâmah/75:22-23]

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah
Allâh Azza wa Jalladengan mata mereka di akhirat nanti.

Karena dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menggandengakan kata “melihat”
dengan kata depan “ilâ” yang berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah
mereka. Artinya mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalladengan indera penglihatan mereka

Bahkan firman Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang
indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah
dengan mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalla.

Dan waktu mereka melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan
tingkatan surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan
petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pecan

2. Firman Allâh Azza wa Jalla:

َ ِ‫ق ُوجُوهَهُ ْم قَتَ ٌر َواَل ِذلَّةٌ ۚ أُو ٰلَئ‬


َ‫ك أَصْ َحابُ ْال َجنَّ ِة ۖ هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬ ُ َ‫لِلَّ ِذينَ أَحْ َسنُوا ْال ُح ْسن َٰى َو ِزيَا َدةٌ ۖ َواَل يَرْ ه‬

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat
wajah Allâh Azza wa Jalla). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya [Yûnus/10:26]
Kata “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang shahih, yaitu dengan kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla,
dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allâh
Azza wa Jalla.

Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ك َوتَ َعالَى تُ ِري ُدونَ َش ْيئًا أَ ِزي ُد ُك ْم فَيَقُولُ«ونَ أَلَ ْم تُبَيِّضْ ُوجُوهَنَ«ا أَلَ ْم تُ« ْد ِخ ْلنَا ْال َجنَّةَ َوتُنَجِّ نَ«ا ِم ْن‬ َ ‫إِ َذا َدخَ َل أَ ْه ُل ْال َجنَّ ِة ْال َجنَّةَ قَا َل يَقُو ُل هَّللا ُ تَبَا َر‬
ُ‫«ر بْنُ أَبِي َش« ْيبَةَ َح« َّدثَنَا يَ ِزي« ُد بْن‬ ُ
ِ «‫اب فَ َما أ ْعطُوا َش ْيئًا أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ْم ِم ْن النَّظَ ِر إِلَى َربِّ ِه ْم َع َّز َو َج« َّل َح« َّدثَنَا أَبُ««و بَ ْك‬ َ ‫ار قَا َل فَيَ ْك ِشفُ ْال ِح َج‬ ِ َّ‫الن‬
ٌ‫هَارُونَ ع َْن َح َّما ِد ْب ِن َسلَ َمةَ بِهَ َذا اإْل ِ ْسنَا ِد َوزَا َد ثُ َّم تَاَل هَ ِذ ِه اآْل يَةَ لِلَّ ِذينَ أَحْ َسنُوا ْال ُح ْسنَى َو ِزيَا َدة‬

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (yang artinya)

“Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari
kenikmatan surga)?”

Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?

Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab)
neraka?”

Maka (pada waktu itu) Allâh membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha
Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka
sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa Jalla”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membaca ayat tersebut di atas.16

C. PENUTUP
16
https://aslibumiayu.net/19759/allah-memiliki-wajah-bahkan-kenikmatan-tertinggi-di-surga-
adalah-memandang-wajah-allah-secara-langsung/
A. KESIMPULAN PERTAMA

1. Tanganan Allah bermakna kekuasaan dan kenikmatan

2. Mata aalah bermakna menjaga dan mengawasi

3. Allah itu dekat dengan kita dan allah bertempat di arsy

Semua yang disandarkan pada allah tidak sama dengan makhluqnya maha suci allah

B. KESEMPULAN YANG KEDUA

Bahwa allah itu mempunyai wajah. Dan wajah allah tidak sama seperti makhluqnya maha
suci allah suci allah.

D. DAFTAR PUSTAKA
1.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/106971/makna-tangan-allah-menurut-imam-
ahmad-bin-hanbal
2. Kitab “jawahirul kalamiyah (AL-MIFTAH Surabay, 1997. Syaikh Thahir bin Sholeh al-Jazani)
3. Kitab “kifayatul awam (AL-MIFTAH Surabaya. Syaikh Ibrahim Al-baijuri)
4. https://aslibumiayu.net/19769/kedua-tangan-allah-itu-kanan-hadits-tentang-tangan-allah-itu-kiri-
derajatnya-lemah/
5. https://asysyariah.com/dua-tangan-allah/
6. https://www.alquranpedia.org/2018/06/benarkah-allah-mempunyai-mata.html#:~:text=Dan%20antara
%20sifat%2Dsifat%20yang,adalah%20Allah%20mempunyai%20dua%20mata.&text=Imam%20Ibnu
%20Khuzaimah%20rahimahullah%20berkata,sifat%20'ain%20(mata).
7. https://bimbinganislam.com/penjelasan-sifat-melihat-allah/
8. Kitab “jawahirul kalamiyah (AL-MIFTAH Surabay, 1997. Syaikh Thahir bin Sholeh al-Jazani)
9. https://fatwatarjih.or.id/apakah-allah-bersemayam-di-atas-arsy/
10. https://muslim.or.id/35542-imam-syafii-meyakini-bahwa-allah-berada-di-atas-arsy.html
11. : https://islam.nu.or.id/post/read/94918/bolehkah-mengatakan-allah-bersemayam-di-atas-arasy
12.  https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html

13. https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html

14. https://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html

15. https://muslim.or.id/29994-kebahagiaan-melihat-wajah-allah-taala-di-akhirat.html
16. https://aslibumiayu.net/19759/allah-memiliki-wajah-bahkan-kenikmatan-tertinggi-di-
surga-adalah-memandang-wajah-allah-secara-langsung/

Anda mungkin juga menyukai