Anda di halaman 1dari 112

Lembar

Fakta
Omnibus
Law
UU Cipta
Kerja
Kehutanan
n Hidup
l
l L in g k u n g a
l Perhuta
nan Sosial n
e r t an ia n d an Perkebuna
lP
l Masyar
akat Adat
ia d an Tat a Ruang
l Agra r
daftar isi

Pengantar 3

Kehutanan 10
Lingkungan Hidup 39
Perhutanan Sosial 64
Pertanian dan Perkebunan 74
Masyarakat Adat 89
Agraria dan Tata Ruang 98
Pengantar

U
NTUK pertama kali dalam sejarah politik dan
tata negara, Indonesia memiliki omnibus law.
Penyederhanaan aturan yang biasa dipakai di negara-
negara yang menganut common law ini ditujukan
untuk mendatangkan investasi dan menggenjot
ekonomi agar bisa menyerap 2,2 juta angkatan kerja
baru tiap tahun. Presiden Joko Widodo menandatangani
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja
pada 2 November 2020 yang memangkas 1.244 pasal dalam
79 undang-undang ke dalam 186 pasal utama setebal 1.187
halaman.
Penyusun omnibus law mengklaim penciptaan lapangan
kerja baru per tahun sebanyak 2,5 juta selama ini tidak
cukup karena selain angkatan kerja baru, ada 7,05 juta
pengangguran, 8,14 juta setengah penganggur, dan 28,41
juta pekerja paruh waktu. Juga penduduk yang bekerja di
sektor informal sebanyak 70,49 juta orang.
Lapangan kerja baru yang tercipta sekarang terdorong
oleh angka pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5%
per tahun. Angka ini hanya mampu mendatangkan—atau
ditopang oleh—investasi Rp 721 triliun pada 2018 dan Rp
792 triliun pada 2019. Angka ini juga hanya menjadikan
pendapatan per kapita penduduk Indonesia Rp 4,6 juta per
bulan. Para penyusun omnibus law bermimpi Indonesia
memiliki pendapatan domestik bruto sebesar US$ 7 triliun
agar menghasilkan pendapatan per kapita penduduk

Halaman 3 dari 112


Pengantar

sebesar Rp 27 juta per bulan—tentu dengan syarat tanpa ada


ketimpangan.
Masalahnya, menurut para penyusun omnibus law, cita-
cita itu terhambat oleh tumpang tindih regulasi. Saat
ini ada 4.451 peraturan pemerintah pusat dan 15.965
peraturan pemerintah daerah yang bertentangan atau
saling meniadakan satu sama lain sehingga menyulitkan
para pemodal menjalankan atau memulai bisnis mereka.
Penyusun omnibus law percaya, faktor obesitas aturan
ini yang membuat investasi mandek dan pertumbuhan
ekonomi tak kunjung melesat.
Fokus Undang-Undang Cipta Kerja adalah ekosistem
investasi dan penyederhanaan syarat serta kemudahan
izin berusaha, dan pengadaan lahan, dengan berbasis pada
risiko. Karena berangkat dari cara berpikir tumpang tindih
aturan antara pusat dan regulasi daerah sebagai konsekuensi
otonomi, pemerintah pusat hendak mengambil kembali
kekuasaan yang didelegasikan sebagai hasil Reformasi 1998
itu. Padahal, regulasi tumpeng-tindih bukan semata aturan
pemerintah pusat dan daerah, juga antar aturan pemerintah
pusat sendiri.
Seperti tertuang dalam bab Penjelasan, penyusun omnibus
law menempuh cara penyederhanaan dan harmonisasi 79
undang-undang ini dengan alasan lebih efektif. Harmoni-
sasi aturan satu per satu, kata mereka, butuh waktu lama—

Halaman 4 dari 112


Pengantar

meskipun belum pernah dilakukan. Pemerintah menge­


sampingkan Ketetapan MPR IX/2001 tentang pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang memberi­
kan mandat kepada Presiden untuk mengkodifikasi atur-
an yang bertentangan agar pembangunan nasional ramah
lingkungan. Pemerintah memilih menempuh omnibus law
yang tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Seperti nama dan asal-usulnya, omnibus law seperti bus
besar yang akan membawa Indonesia ke sebuah tujuan,
yakni kemakmuran dan kesejahteraan yang dibayangkan
oleh para pembuatnya. Maka omnibus ini akan melabrak
apa saja yang dianggap menghambat bus melaju ke tujuan
tersebut. Hambatan-hambatan itu dihapus atau diubah
agar selaras dengan tujuan tersebut, yakni memudahkan
industri, dunia usaha, dan para pebisnis mendapatkan izin,
mendapatkan lahan, memperoleh kemudahan-kemudahan
menjalankan perniagaan.
Ada begitu banyak pasal yang dibereskan dalam waktu
yang sempit sehingga partisipasi publik dalam berpendapat
terhadap perubahan tersebut menjadi minim. Para ahli
politik, karena itu, menilai omnibus law tak sejalan dengan
prinsip demokratis yang mengutamakan transparansi.
Maka jika DPR dan pemerintah sangat tertutup dalam
membahas pasal-pasal dalam omnibus law RUU Cipta
Kerja, karena secara natural cara seperti ini tak menampung

Halaman 5 dari 112


Pengantar

aspirasi orang banyak. Di Amerika Serikat saja, negara


common law, omnibus law dianggap tak demokratis karena
terbuka peluang anggota parlemen membawa kepentingan
politik menyusupkan pasal atau ayat yang bertentangan
dengan cita-cita bersama dan prinsip demokrasi.
Hanya dalam sembilan bulan, DPR bisa menuntaskan
pembahasan 1.244 pasal, dengan memangkas, mengubah,
menambahkan pasal-pasal ke dalam undang-undang baru ini.
Waktu penyusunan ini sebuah rekor baru pembuatan undang-
undang di era Reformasi jika dibandingkan dengan rancangan-
rancangan lain yang memakan puluhan tahun pembahasan.
Revisi Undang-Undang Kesehatan baru jebol tahun 2009
yang diajukan sejak 1992. Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Hukum Adat tak kunjung dibahas sejak 2009
hingga berganti nama berkali-kali dan bolak-balik masuk
program legislasi nasional.
Di negara-negara civil law, yang mendasarkan hukum pada
aturan tertulis—tak seperti common law yang memakai
yurisprudensi—harmonisasi aturan biasanya melalui
pembaruan kitab hukum. Sebab, secara alamiah, negara civil
law memproduksi banyak aturan di tiap jenjang kekuasaan.
Harmonisasi berupa penyelarasan atau kodifikasi satu
kelompok aturan yang segaris untuk disederhanakan agar
mendukung satu-sama-lain.

Halaman 6 dari 112


Pengantar

Seperti di Prancis atau Vietnam, parlemennya membahas


banyak kitab hukum untuk diselaraskan isi dan
ketentuannya. Karena itu di Indonesia, pada 2001, MPR
menerbitkan Ketetapan Nomor IX tentang pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam itu. Pasal 5 ayat 1
huruf a Tap itu memandatkan presiden agar menyelaraskan
aturan yang berbasis pada pengelolaan lingkungan
berkelanjutan.
Dalam versi final Undang-Undang Cipta Kerja 812 halaman,
Tap Nomor IX ini dikutip dalam konsideran “mengingat”.
Dalam versi sebelum dan sesudah pengesahan 5 Oktober
2020, Tap ini tak tercantum dalam naskah mana pun. Karena
kedudukan Tap MPR lebih tinggi dari undang-undang, draf
RUU Cipta Kerja awal sebetulnya bisa dianggap menyalahi
konstitusi karena tak mengikuti pakem urut-urutan dalam
menyusun peraturan di Indonesia.
Di luar soal pertanyaan-pertanyaan dasar konstitusional
menjalankan omnibus law, dari segi nama, RUU Cipta Kerja
juga menyeleweng dari pakem. Tak seperti banyak undang-
undang lain, omnibus law tak mengatur objek seperti pada
Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan,
Pertanian, Pertahanan. RUU Cipta Kerja mengatur harapan
dan cita-cita.
Ia tak mengatur objek karena yang ada di dalamnya
beragam-macam: dari tenaga kerja hingga perizinan, dari

Halaman 7 dari 112


Pengantar

urusan tata ruang hingga sanksi bagi masyarakat adat dan


tradisional. Sehingga jika tahun depan jumlah tenaga kerja
tak terserap, ekonomi tak tumbuh, penghasilan per kapita
tak sampai angka yang diharapkan, undang-undang ini
bisa dikatakan gagal memenuhi cita-cita itu.
Berikut ini adalah analisis isi Undang-Undang Cipta Kerja
terhadap enam sektor. Pembagian ke dalam sektor ini
semata untuk memudahkan pemahaman karena tiap-tiap
sektor saling terkait satu sama lain dan tak bisa dipisahkan
satu sama lain. Sektor yang ditelaah adalah kehutanan,
lingkungan, perhutanan sosial, pertanian dan perkebunan,
agraria dan tata ruang, dan masyarakat adat. Pembahasan
melibatkan tujuh ahli di masing-masing sektor. Mereka
adalah:
• Profesor Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan
kehutanan IPB University, yang membahas dampak
omnibus law terhadap kehutanan dan lingkungan
• Profesor Dodik Ridho Nurrohmat, guru besar kebijakan
kehutanan IPB University, yang membahas dampak
Undang-Undang Cipta Kerja terhadap sektor kehutanan
dan investasi.
• Dr. Soeryo Adiwibowo, penasihat senior Menteri Ling­
kungan Hidup dan Kehutanan.
• Dr. Ernan Rustiadi, dosen IPB University, yang memba­

Halaman 8 dari 112


Pengantar

has soal agraria dan tata ruang.


• Henri Subagiyo, praktisi hukum lingkungan, yang
membahas sektor lingkungan hidup, kehu–tanan, tata
ruang, pertanian, dan perkebunan.
• Erwin DK dari Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, LSM yang
fokus mengadvokasi masyarakat adat, yang membahas
soal masyarakat adat.
• Profesor Didik Suharjito, guru besar IPB University yang
membahas perhutanan sosial.
Teknik pengumpulan analisis melalui diskusi tertutup
secara online dan kajian secara tertulis. Bahan telaah adalah
dokumen Undang-Undang Cipta Kerja versi 905 halaman
dan 812 halaman. Dua naskah ini tak berubah dalam naskah
final Undang-Undang Cipta Kerja yang ditandatangani
Presiden untuk enam klaster dalam lembar fakta ini.

Halaman 9 dari 112


Masa Depan
Hutan Indonesia DPR telah mengesahkan omnibus
law Rancangan Undang-Undang
Luas hutan Cipta Kerja untuk mendongkrak
92,3% Indonesia:
ekonomi dan membuka lapangan
Hutan 94,1 juta
negara kerja baru. Industrialisasi selalu
hektare membutuhkan lahan dan hutan
akan » menjadi tumpuan untuk
keperluan tersebut. Beleid
sapu jagat itu mencantumkan
50,1% dua pasal yang mengubah dua
Rasio hutan undang-undang: pasal 36 yang
terhadap luas mengubah 19 pasal dalam
wilayah Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan
dan pasal 37 yang mengubah
23 pasal Undang-Undang
462,4 ribu 18/2013 tentang pencegahan dan
hektare pemberantasan perusakan hutan.
Deforestasi
per tahun Secara umum perubahan pasal-
pasal dalam dua undang-undang
ini memangkas peran pemerintah
daerah sehingga perlindungan
lingkungan menjadi semakin
luas meng­ingat proteksi
3,43 juta dan memanfaatkan hutan
hektare memerlukan kolaborasi dan
Perkebunan sawit integrasi pusat dan daerah. Juga
di kawasan hutan kemungkinan angka deforestasi
naik yang menyebabkan emisi
gas rumah kaca naik, sementara
Indonesia punya target
menurunkan emisi 853 juta ton
setara CO2 pada 2030.
Kehutanan

A
PABILA kita ingin memahami kehutanan di
Indonesia secara menyeluruh, sekarang dan nanti,
kita perlu memahami dua hal: pertama, akibat atau
implikasi sebuah undang-undang bisa dilihat dari
apa yang diubah dalam beleid itu; kedua, meski
undang-undang penting, ia bukan faktor tunggal yang
menentukan kondisi dan arah kehutanan ke depan. Penentu
kinerja pembangunan adalah perkembangan politik, kinerja
kelembagaan negara dan tata kelolanya, dan besar-kecilnya
partisipasi masyarakat.

Politik dan Tata Kelola


World Economic Forum (2017) dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
periode 2013-2018 meneliti dan menyimpulkan bahwa
hambatan berusaha di Indonesia paling besar adalah
korupsi—suap, pemerasan, konflik kepentingan, maupun
state capture corruption yang menggunakan instrumen
negara untuk keuntungan kelompok—dan pelayanan
administrasi oleh birokrasi. Survei penilaian integritas (SPI)1
KPK pada 2018 menemukan fakta bahwa proses terjadinya
korupsi di dalam tubuh lembaga pemerintahan dengan

1 Indikator SPI adalah budaya organisasi, sistem anti korupsi, pengelolaan


SDM dan anggaran daerah, yang dilakukan terhadap enam kementerian, 15
pemerintah provinsi dan 15 pemerintah kota.

Halaman 11 dari 112


Kehutanan

karakteristik seperti ini:


Hasil survei terhadap 15 lembaga negara terdapat kesim-
pulan bahwa ada perantara dalam pelayanan publik dan
17% pegawai di lingkungan lembaga itu melihat para per-
antara bekerja memudahkan pelayanan dengan imbalan.
Bentuknya macam-macam, dari gratifikasi/suap serta pe­
merasan dengan frekuensi yang semakin meningkat di
beberapa provinsi. Selain itu juga terungkap pengalaman
pegawai yang terkait dengan kecenderungan penyalahgu-
naan wewenang oleh atasan mereka serta adanya anggapan
di kalangan pegawai pemerintah provinsi bahwa pelapor
kejadian korupsi tidak terjamin tidak dikucilkan2, tidak
diberi sanksi, serta tak ada jaminan kariernya dihambat.
Kajian lebih baru terhadap pengukuran risiko korupsi di
kehutanan oleh KPK (2019)3 serta oleh jaringan korupsi
di sektor kehutanan Indonesia oleh Jacqui Baker (2020)4
menemukan bahwa pelaksanaan berbagai kebijakan bisa
menyimpang bukan semata-mata oleh ketidaktepatan,
tumpang tindih regulasi, atau kewenangan berlebihan,

2 Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018. Survai Penilaian Integritas. Direktorat


Penelitian dan Pengembangan. Kedeputian Bidang Pencegahan. KPK. Jakarta.
3 KPK (2019). Pengukuran Resiko Korupsi Kehutanan di Kalimantan Timur.
Jakarta.
4 Jacqui baker (2020). Jaringan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia: Politik
dan Pulp di Pelalawan, Riau

Halaman 12 dari 112


Kehutanan

tapi akibat terbentuknya jaringan korupsi kehutanan dan


sumber daya alam yang begitu masif.
Korupsi seperti itu selain membuat jalannya proses perizin-
an menjadi lambat dan mahal, juga memicu pelanggaran
penataan ruang, keberpihakan kepada perusahaan secara
berlebihan, hilangnya kekayaan negara yang disebabkan
penebangan ilegal, pengurangan pembayaran pajak, atau ti-
dak dipenuhinya berbagai bentuk kewajiban finansial peru-
sahaan, juga menggelembungkan dana pembangunan yang
tidak perlu (KPK, 2018)5. Untuk itu implikasi pelaksanaan
Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak bisa dilepaskan dari
buruknya tata kelola itu.

Perubahan Isi Undang-Undang


Pasal 36 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah 19 pasal
dalam Undang-Undang Kehutanan dan menambahkan
tiga pasal baru. Sementara pasal 37 mengubah 15 pasal
dalam Undang-Undang Perlindungan Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. Ada empat pasal dihapus
dan empat pasal tambahan.
Perubahan pasal-pasal untuk setiap topik dan implikasinya
tersaji dalam tabel berikut ini:

5 KPK (2018). Nota Sintesa Pengelolaan SDA. Evaluasi Gerakan Nasional


Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta.

Halaman 13 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 15 Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan (1) P
 engukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dilakukan melalui proses: Pasal 14 dilakukan melalui:
a. penunjukan kawasan hutan, a. penunjukan kawasan hutan;
b. penataan batas kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan;
c. p
 emetaan kawasan hutan, dan c. p
 emetaan kawasan hutan; dan
d. penetapan kawasan hutan. d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan (2) P
 engukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. wilayah.
(3) P
 engukuhan kawasan hutan
dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan koordinat
geografis atau satelit.
(4) P
 emerintah Pusat memprioritaskan
percepatan pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada daerah yang
strategis.
(5) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
prioritas percepatan pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Halaman 14 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Tidak ada penjelasan mengenai pengertian dan penjelasan teknis soal “daerah
strategis” yang membuat pengukuhan hutan tak memperbaiki kesalahan
sebelumnya, yakni legalitas status dan fungsi kawasan hutan, dengan
mendapatkan legitimasi seluruh masyarakat.

rekomendasi
Peraturan pemerintah terkait kawasan hutan sebaiknya disatukan—setidaknya
disusun berdasarkan satu kerangka pemikiran—untuk sekaligus memperhatikan
penguasaan tanah di dalam kawasan hutan negara serta fungsi-fungsi hutan
yang seharusnya dipertahankan. Dalam menyelesaikan tumpang tindih
penggunaan kawasan hutan, juga perlu membedakan kemudahan bagi
perorangan tanpa izin atau kepentingan umum daripada pemegang izin private,
sehingga memerlukan kebijakan afirmatif, serta sanksi tegas kepada pejabat
yang lalai atau melakukan pembiaran masuknya usaha ke dalam kawasan hutan.

Halaman 15 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 18 Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan (1) P
 emerintah Pusat menetapkan dan
mempertahankan kecukupan luas mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan dan penutupan kawasan hutan dan penutupan
hutan untuk setiap daerah aliran hutan untuk setiap daerah aliran
sungai dan atau pulau, guna sungai, dan/atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, pengoptimalan manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat manfaat sosial, dan manfaat
ekonomi masyarakat setempat. ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus (2) P
 emerintah Pusat mengatur luas
dipertahankan sebagaimana kawasan yang harus dipertahankan
dimaksud pada ayat (1) minimal sesuai dengan kondisi fisik dan
30 % (tiga puluh persen) dari geografis daerah aliran sungai dan/
luas daerah aliran sungai dan atau pulau.
atau pulau dengan sebaran yang (3) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
proporsional. luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan ialah termasuk
pada wilayah yang terdapat proyek
strategis nasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Implikasi
Penetapan luas dan fungsi hutan memakai mekanisme pasar akan mendorong
konversi untuk keperluan lain. Apalagi ada ketentuan konversi dengan
pertimbangan proyek strategis nasional. Penghapusan ambang batas ini juga
menyulitkan program perhutanan sosial dan reforma agraria di pulau yang
hutannya kurang dari 30%.

rekomendasi
Selain perlu tinjauan detail aspek-aspek biofisik, juga perlu pertimbangan
risiko atas kurangnya luas hutan pada setiap wilayah dengan karakteristik

Halaman 16 dari 112


Kehutanan

berbeda-beda, seperti dalam pasal 5 UU PPLH mengenai ekoregion. Peraturan


pemerintah terkait luas kecukupan hutan hendaknya mengintegrasikan
pembentukan ekoregion agar manfaat hutan mencakup sosial, ekonomi, dan
lingkungan.
Negara perlu mengintervensi pasar agar niat jangka pendek mengubah kawasan
menjadi keperluan bisnis tidak masif. Untuk itu seluruh hutan lindung dan
konservasi harus ditetapkan terlebih dahulu sebagai hutan tetap dengan porsi
pemanfaatan langsung secara terbatas yang diatur pasal 26 Undang-Undang
Kehutanan.

Menghilangkan batas minium luas hutan 30% per daerah aliran


sungai dan/atau pulau.

Konversi hutan akan mementingkan keperluan


industrialisasi.

Kesulitan menerapkan program perhutanan


sosial dan tanah untuk reforma agraria di pulau
yang luas hutannya tak proporsional

Tak ada kewajiban rehabilitasi dan reboisasi


lahan untuk mencapai rasio tutupan hutan.

Ancaman banjir dan longsor mengingat daya


dukung tutupan tajuk terhadap curah hujan
sebesar 30% dari luas permukaan lahan.

Halaman 17 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 19 Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi (1) P
 erubahan peruntukan dan
kawasan hutan ditetapkan oleh perubahan fungsi kawasan hutan
Pemerintah dengan didasarkan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
pada hasil penelitian terpadu. dengan mempertimbangkan hasil
(2) Perubahan peruntukan kawasan penelitian terpadu.
hutan sebagaimana dimaksud pada (2) K
 etentuan mengenai tata cara
ayat (1) yang berdampak penting perubahan peruntukan dan
dan cakupan yang luas serta perubahan fungsi kawasan hutan
bernilai strategis, ditetapkan oleh sebagaimana dimaksud pada
Pemerintah dengan persetujuan ayat (1) diatur dalam Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah.
(3) Ketentuan tentang tata cara
perubahan peruntukan kawasan
hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Implikasi
Undang-Undang Cipta Kerja tak memiliki rambu-rambu mengatasi dampak buruk
perubahan kawasan hutan untuk pembangunan. Perubahan peruntukan hutan
pada dasarnya melepas kawasan hutan negara untuk pembangunan di luar
sektor kehutanan. Selama ini perubahan kawasan hutan untuk pembangunan,
terutama industri, adalah pengambilan kayu dalam pembersihan lahan lalu
menelantarkannya. Perubahan peruntukan lahan hutan juga menjadi cara
pengumpulan aset tanah sehingga ada akumulasi kekayaan kepada sekelompok
orang.

Halaman 18 dari 112


Kehutanan

rekomendasi
Peraturan pemerintah yang sebaiknya memperhatikan implikasi serta substansi
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 untuk mengidentifikasi pemilik
manfaat dari seluruh proses perubahan peruntukan kawasan hutan agar
penentuan lokasinya berjalan adil.

Meski memangkas birokrasi dan biaya, menghapus ketentuan


persetujuan DPR dalam penentuan konversi hutan memiliki
konsekuensi sebagai berikut:

Penentuan konversi kawasan


hutan makin tertutup

Diskresi pemerintah sangat luas

Mementingkan industri dibanding


luas hutan

Halaman 19 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 26 Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat (1) P
 emanfaatan Hutan Lindung dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan pemungutan hasil hutan bukan
kayu. kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung (2) P
 emanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud pada
izin usaha pemanfaatan kawasan, ayat (1) dilakukan dengan
izin usaha pemanfaatan jasa pemberian Perizinan Berusaha dari
lingkungan, dan izin pemungutan Pemerintah Pusat.
hasil hutan bukan kayu.

Implikasi
Mengukuhkan ketimpangan pemanfaatan hasil hutan antara masyarakat
tradisional dan usaha besar.

rekomendasi
Pengaturan pemanfaatan hasil hutan mesti adil, merata, dan lestari dengan
membatasi perizinan berusaha melalui pembatasan luas, pembatasan jumlah izin
usaha, dan penataan lokasi usaha oleh setiap badan usaha. Substansi tersebut
sangat terkait dengan area izin korporasi dan program perhutanan sosial. Tanpa
menjalankan pasal itu alokasi kawasan hutan sebagai kekayaan negara semakin
sulit dilaksanakan.

Pemanfaatan Mengukuhkan ketidakadilan akses


hutan lindung bagi masyarakat adat atau tradisional
untuk industri. dalam memanfaatkan hutan lindung.

Halaman 20 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 28 Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat (1) P
 emanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta pemungutan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi (2) P
 emanfaatan hutan produksi
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud ayat (1)
izin usaha pemanfaatan kawasan, dilakukan dengan pemberian
izin usaha pemanfaatan Perizinan Berusaha dari
jasa lingkungan, izin usaha Pemerintah Pusat.
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil
hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.

Implikasi
Menarik jenis pemanfaatan hanya dengan izin berusaha akan menyulitkan
identifikasi jenis usaha dan pengawasannya.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menjelaskan detail jenis usaha pemanfaatan hutan
produksi dan pemanfaatan kawasan hutan sehingga sejak awal bisa ditelaah
dampak dan manfaatnya untuk masyarakat.

Halaman 21 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 29A
(1) P
 emanfaatan hutan lindung dan
hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan
Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan sosial.
(2) P
 erhutanan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan
c. koperasi.

Implikasi
Tak menjawab isu utama perhutanan sosial, yakni legalitas karena tak ada
penjelasan frasa “kegiatan”. Juga tak ada penjelasan kedudukan masyarakat
hukum adat yang menempati areal hutan sehingga aspek keadilan terhadap
mereka tak secara tegas dijelaskan dibanding kelompok lain.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti secara kuat mengandung kebijakan afirmatif untuk
masyarakat adat.

Pasal sisipan • Perhutanan sosial hanya satu opsi


pemanfaatan pemanfaatan hutan lindung.
hutan lindung bisa • Penerima izinnya pun bisa
melalui kegiatan perorangan yang membuka peluang
perhutanan percaloan dan penguasaan manfaat
sosial. hutan oleh pemodal besar.

Halaman 22 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 35 Pasal 35
(1) Setiap pemegang izin usaha (1) S
 etiap pemegang Perizinan
pemanfaatan hutan sebagaimana Berusaha terkait pemanfaatan
dimaksud dalam Pasal 27 dan hutan dikenakan penerimaan
Pasal 29, dikenakan iuran izin negara bukan pajak di bidang
usaha, provisi, dana reboisasi, dan kehutanan.
dana jaminan kinerja. (2) P
 enerimaan negara bukan pajak
(2) Setiap pemegang izin usaha di bidang kehutanan sebagaimana
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dimaksud dalam Pasal 27 dan berasal dari dana reboisasi hanya
Pasal 29 wajib menyediakan dana dipergunakan untuk kegiatan
investasi untuk biaya pelestarian rehabilitasi hutan dan lahan.
hutan. (3) S
 etiap pemegang Perizinan
(3) Setiap pemegang izin pemungutan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan sebagaimana dimaksud hutan wajib menyediakan dana
dalam Pasal 27 dan Pasal 29 investasi untuk biaya pelestarian
hanya dikenakan provisi. hutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana (4) S
 etiap pemegang Perizinan
dimaksud pada ayat (1), ayat Berusaha terkait pemungutan hasil
(2), dan ayat (3) diatur dengan hutan hanya dikenakan penerimaan
Peraturan Pemerintah. negara bukan pajak berupa provisi
di bidang kehutanan.
(5) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Halaman 23 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Tak memperbaiki kegagalan rehabilitasi akibat ketidakjelasan pemakaian dana
dari pemilik konsesi pemanfaatan kawasan hutan dan sumber-sumbernya.
Problem rehabilitasi di lapangan tak semata menanam, tapi juga memerlukan
komunikasi dengan masyarakat, pemetaan sosial, membentuk kelompok,
meyakinkan manfaat dari hasilnya, bahkan menyelesaikan konflik lahan.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti membuka peluang sumber pendanaan lain,
memperluas pengertian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, atau mensyaratkan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan ketika lokasinya sudah
disiapkan sebelumnya. Juga perlu penjelasan rinci yang dimaksud dengan “dana
investasi untuk pelestarian hutan”.masyarakat adat.

Halaman 24 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 50A
(1) D
 alam hal pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d
dan/atau huruf e dilakukan oleh
orang perseorangan atau kelompok
masyarakat yang bertempat
tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan paling singkat 5
(lima) tahun secara terus menerus
dikenai sanksi administratif.
(2) P
 engenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau
kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima)
tahun secara terus-menerus
dan terdaftar dalam kebijakan
penataan Kawasan Hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.

Halaman 25 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Pasal sisipan ini adalah hukuman bagi perorangan yang mendapat izin berusaha
di kawasan hutan negara yang merusak hutan. Pasal ini berpotensi jadi pasal
karet bagi masyarakat adat yang baru mendapatkan pengakuan negara
terhadap komunitasnya dan hak mengelola hutan adat di bawah lima tahun. Bagi
masyarakat adat yang belum dianggap tinggal lima tahun akan mendapatkan
sanksi administratif, berupa denda, penghentian izin berusaha yang bisa
ditafsirkan sebagai pencabutan izin mengelola hutan adat.

rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu detail mengatur klausul tinggal lima tahun berturut-
turut untuk masyarakat adat dengan penjelasan bahwa pengenaan sanksi bagi
mereka tidak mencabut hak masyarakat adat mengelola hutan adat yang telah
dikukuhkan sebagai hak inheren seperti putusan Mahkamah Konstitusi tahun
2012. Klausul ketentuan lama tinggal bisa berlaku tidak adil kepada usaha besar
dan masyarakat adat.

Sanksi bagi masyarakat yang merusak hutan dengan


pengecualian bagi mereka yang tinggal sekurangnya lima tahun.

Pembatasan tinggal lima tahun mengancam


akses masyarakat adat yang belum diakui
negara.

Sanksi administratif bagi masyarakat adat bisa


melebar ke pencabutan izin memanfaatkan
hutan adat.

Halaman 26 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Undang-Undang Cipta Kerja dalam


bidang kehutanan secara keseluruhan
memotong peran pemerintah daerah.
Pemerintah daerah hanya menentukan
norma, standar, prosedur, dan
kriteria bersama pemerintah pusat
dan menjalankannya terbatas pada
pelaksanaan perlindungan hutan.

Implikasi
Secara empiris pengelolaan kawasan atau teritorial kehutanan memerlukan
kolaborasi dan integrasi kewenangan pusat dan daerah untuk memperkuat
institusi kehutanan. Luasnya diskresi pemerintah pusat akan melemahkan
pengawasan dan perlindungan hutan.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti mendelegasikan dengan rigid peran pemerintah
daerah agar manajemen hutan tetap memiliki jangkar di tingkat tapak yang begitu
luas dan beragam masalahnya.

Halaman 27 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

Dihapus
Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, Presiden
membentuk lembaga yang
menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. unsur Kementerian
Kehutanan;
b. unsur Kepolisian Republik
Indonesia;
c. unsur Kejaksaan Republik
Indonesia; dan
d. unsur lain yang terkait.
(4) Pelaksanaan tugas lembaga
se­ba­gaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang
ini.

Halaman 28 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Hilang mandat bagi Presiden membentuk lembaga yang berwenang mencegah
dan memberantas perusakan hutan. Padahal penguatan kelembagaan
penegakan hukum memegang peran penting dalam pemberantasan kejahatan
terorganisir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18/2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.

Rekomendasi
Mengembangkan kembali penegakan hukum satu atap sesuai mandat Undang-
Undang 32/2009 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014
mengenai amanat pembentukan penegakan hukum terpadu dalam perkara
lingkungan hidup dan kejahatan lainnya yang terkait.

Halaman 29 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

Pasal 84 Pasal 84
(4) Korporasi yang membawa (3) K
 orporasi yang membawa alat-alat
alat-alat yang lazim digunakan yang lazim digunakan untuk mene-
untuk menebang, memotong, bang, memotong, atau membelah
atau membelah pohon di dalam pohon di dalam kawasan hutan tan-
kawasan hutan tanpa izin pejabat pa Perizinan Berusaha sebagaima-
yang berwenang sebagaimana na dimaksud dalam Pasal 12 huruf f
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana bagi:
dipidana dengan pidana penjara a. pengurusnya dengan pidana
paling singkat 2 (dua) tahun penjara paling singkat 2
dan paling lama 15 (lima belas) (dua) tahun dan paling lama
tahun dan pidana denda paling 15 (lima belas) tahun dan
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua pidana denda paling sedikit
miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
Rp15.000.000.000,00 (lima belas rupiah) dan paling banyak
miliar rupiah). Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah); dan/atau
b. korporasi dikenai pemberatan 1/3
dari denda pidana yang dijatuhkan.
Implikasi
Memisahkan korporasi dan pengurus sebagai dua subjek hukum yang terpisah
akan otomatis mengubah subjek hukum dan mengaburkan sanksi. Para pemilik
korporasi bisa menghindar dengan mengorbankan para pengurus perusahaan
untuk menghadapi tuntutan pidana dan denda.

Rekomendasi
Perlu penjelasan tentang kewajiban pemilik usaha dalam menghadapi gugatan
pidana atas tuduhan perusakan hutan kepada perusahaannya. Ketentuannya
mesti mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi.

Halaman 30 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

Pasal 110A
(1) S
 etiap orang yang melakukan
kegiatan usaha yang telah terba-
ngun dan memiliki Perizinan Ber­
usaha di dalam kawasan hutan
sebelum berlakunya Undang- Un-
dang ini yang belum memenuhi
persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undang­an di bidang kehutanan,
wajib menyelesaikan persyaratan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.
(2) J ika setelah lewat 3 (tiga) tahun
sejak berlakunya undang-undang
ini tidak menyelesaikan persya­
ratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dikenai
sanksi administratif, berupa:
a. pembayaran denda
administratif; dan/atau
b. pencabutan Perizinan
Berusaha.
(3) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengenaan sanksi
administratif dan tata cara
penerimaan negara bukan
pajak yang berasal dari denda
administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Halaman 31 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Tak menyelesaikan problem ketelanjuran yang menjadi cita-cita pasal ini.
Pemutihan usaha di kawasan hutan terlalu berpihak kepada usaha besar.
Karena, menurut Yayasan Auriga (2018), ada 3,43 juta hektare kebun sawit di
dalam kawasan hutan dan 1,2 juta hektare di antaranya berupa kebun rakyat.
Pasal ini tidak bisa menyelesaikan kebun sawit rakyat di kawan hutan karena
umumnya mereka tidak berizin. Sementara 2,23 juta hektare milik usaha besar
dan hanya seluas 367.613 hektare yang mempunyai izin usaha perkebunan.
Artinya pasal ini tidak bisa menyelesaikan kebun swasta besar seluas 1,865 juta
hektare.
Ketentuan ini juga tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah
penggunaan kawasan hutan yang bentuknya telanjur menjadi desa atau
perkampungan, fasilitas sosial maupun fasilitas umum, karena penduduknya
tidak berizin.
Penyebab ketelanjuran di kawasan hutan adalah tindakan pejabat yang dengan
sengaja atau lalai menjalankan tugasnya atau melakukan pembiaran sehingga
terjadi penggunaan kawasan hutan negara yang tidak sah (pasal 28 UU P3H)
yang sejauh ini tak mendapat hukuman.
Selain itu dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan tidak bisa dilepaskan
dari persoalan hutan adat yang ditetapkan berdasarkan pasal 67 Undang-
Undang Kehutanan yang tak diubah dalam omnibus law. Dalam kenyataannya,
masyarakat hukum adat itu bisa berada di dalam lokasi perizinan berusaha yang
tidak mendapat kebijakan afirmasi untuk menyelesaikannya. Padahal kelancaran
suatu usaha di hutan negara juga sangat ditentukan oleh adanya kepastian
status kawasan hutan negara itu.

Rekomendasi
Penyelesaian kawasan hutan di pasal ini sangat tergantung pada penjabaran
pasal 18 mengenai kecukupan kawasan hutan.
Peraturan pemerintah yang menjabarkan Pasal 110A ayat (2) mesti mengatur
peta beserta luasan keterlanjuran yang dimaksud sejak undang-undang ini
ditetapkan. Hal ini perlu dipastikan mengingat Pasal ini termasuk pengaturan
transisi bagi keadaan hukum yang terjadi sebelumnya dan akan diatur dengan

Halaman 32 dari 112


Kehutanan

Pasal 110A ini. Oleh karena itu, perlu kepastian obyek yang akan diatur melalui
Pasal 110A ini melalui peta keterlanjuran dan luasannya.
Tanpa adanya kepastian luasan dan peta dalam PP, pasal ini sangat berpotensi
digunakan sebagai instrumen untuk menyelundupkan hukum bagi pelanggaran/
kejahatan kawasan yang terjadi setelah UU Cipta Kerja.

Perubahan penting Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan adalah pasal sisipan tentang
pemutihan usaha ilegal di kawasan hutan yang
mendapatkan izin pemerintah daerah. Total usaha
(perkebunan, pertambangan, dan usaha lain) di
kawasan hutan sekitar 7 juta hektare.

Angka deforestasi naik, jumlah emisi gas rumah


kaca akan naik.

Melegalkan keputusan yang keliru di masa lalu.

Preseden perambahan hutan oleh industri.

Halaman 33 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

Pasal 110B
(1) S
 etiap orang yang melakukan
pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b, huruf c, dan/atau huruf
e, dan/atau Pasal 17 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan/atau huruf
e, atau kegiatan lain di kawasan
hutan tanpa memiliki Perizinan
Berusaha yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang- Undang
ini dikenai sanksi administratif,
berupa:
a. penghentian sementara
kegiatan usaha;
b. pembayaran denda
administratif; dan/atau c.
paksaan pemerintah.
(2) D
 alam hal pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan yang bertempat
tinggal di dalam dan/atau di
sekitar kawasan hutan paling
singkat 5 (lima) tahun secara
terus menerus dengan luasan
paling banyak 5 (lima) hektar,
dikecualikan dari sanksi
administratif dan diselesaikan
melalui penataan kawasan hutan.

Halaman 34 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

(3) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengenaan sanksi
administratif dan tata cara
penerimaan negara bukan
pajak yang berasal dari denda
administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Implikasi
Ketentuan ini tidak adil bagi perambah perorangan vis a vis usaha besar.
Biasanya mereka tak memiliki izin karena masuk ke dalam kawasan hutan (open
access) dalam kelompok. Untuk mereka pemerintah akan langsung menetapkan
denda yang besarnya diatur dalam rumus di penjelasan pasal ini. Akibatnya
pemilik usaha perorangan akan terdorong menjual atau memindahtangankan
lokasi usaha mereka kepada korporasi yang akan mendapatkan pengampunan
dalam tiga tahun.

rekomendasi
Pasal 110A dan 110B memerlukan langkah penyelesaian sistematis. Hal-hal
yang perlu diatur dalam peraturan pemerintah:
(1) Penetapan luas dan peta keterlanjuran yang diakui dan akan diselesaikan
berdasarkan Pasal 110A dan 110B;
(2) Identifikasi aktor dalam peta dan luasan ketelanjuran;
(3) Berdasarkan identifikasi di atas, adanya larangan pengalihan tanggung jawab
antar aktor;
(4) Penghitungan biaya pemulihan atas kawasan yang telah diduduki sebelum
Undang-Undang Cipta Kerja pada akhir pengusahaan sehingga tidak terjadi
pengalihan tanggung jawab pemulihan setelah pemanfaatan kepada negara;
(5) Prioritas pengukuhan kawasan hutan.

Halaman 35 dari 112


Kehutanan

Pencabutan usaha tak berizin (perorangan) di kawasan hutan.

Angka deforestasi naik

Ketidakadilan perlakuan bagi perambah


perorangan dan industri.

Memicu pemindahtanganan usaha ilegal


perorangan kepada industri.

Halaman 36 dari 112


Kehutanan

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN

Pasal 84 Pasal 84
(4) Korporasi yang membawa (3) K
 orporasi yang membawa
alat-alat yang lazim digunakan alat-alat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong, untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat kawasan hutan tanpa Perizinan
yang berwenang sebagaimana Berusaha sebagaimana dimaksud
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dalam Pasal 12 huruf f dipidana
dipidana dengan pidana penjara bagi:
paling singkat 2 (dua) tahun a. pengurusnya dengan pidana
dan paling lama 15 (lima belas) penjara paling singkat 2
tahun dan pidana denda paling (dua) tahun dan paling lama
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua 15 (lima belas) tahun dan
miliar rupiah) dan paling banyak pidana denda paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah); dan/
atau
b. korporasi dikenai pemberatan
1/3 dari denda pidana yang
dijatuhkan.

Halaman 37 dari 112


Kehutanan

Implikasi
Memisahkan korporasi dan pengurus sebagai dua subjek hukum yang terpisah
akan otomatis mengubah subjek hukum dan mengaburkan sanksi. Para pemilik
korporasi bisa menghindar dengan mengorbankan para pengurus perusahaan
untuk menghadapi tuntutan pidana dan denda.

rekomendasi
Perlu penjelasan tentang kewajiban pemilik usaha dalam menghadapi gugatan
pidana atas tuduhan perusakan hutan kepada perusahaannya. Ketentuannya
mesti mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi.

Memisahkan subjek hukum perusahaan dan pengurus


perusahaan dalam tindak pidana perusakan hutan.

Perubahan otomatis subjek hukum dari institusi


ke manajemen perorangan.

Pemilik usaha berpeluang tak terjerat karena


bukan pelaku lapangan.

Halaman 38 dari 112


kian rentan
ENAM perubahan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup berpotensi melemahkan
usaha-usaha perlindungan lingkungan akibat terlalu
condong pada pemberian izin untuk investasi. Apalagi
ada diskresi luas pemerintah pusat menafsirkan tiap
pasal.

165
lisensi
penyusun
amdal (2018)

87 63%
Kegiatan wajib memakai
amdal dalam kriteria sendiri
15 bidang pada dan tak jelas 83
2019, naik dari ukurannya. dokumen
58 pada 2006. amdal
(2018)

<90%
disusun 334
saat detail orang ketua
desain, tim amdal
konstruksi, pemegang
setelah sertifikat
konstruksi kompetensi
amdal
Rp 5,4 miliar
anggaran 429
Direktorat
Pencegahan orang
Dampak anggota
Lingkungan Usaha
dan Kegiatan penyusun
KLHK amdal
Lingkungan Hidup

A
DA enam perubahan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Perubahan enam
pasal itu berpotensi melemahkan usaha-usaha
perlindungan lingkungan hidup akibat pengelolaan
yang terlalu condong pada pemberian izin untuk industri.
Perubahan atas pasal-pasal di undang-undang ini membuka
diskresi kepada pemerintah pusat sangat luas karena banyak
aturan didelegasikan kepada peraturan pemerintah yang
lebih tertutup dalam penyusunannya. Pemerintah pusat
punya keleluasaan menafsirkan bunyi tiap pasal dalam
Undang-Undang Cipta Kerja.

Halaman 40 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 1 Nomor 12 Pasal 1 Nomor 12


Upaya pengelolaan lingkungan hidup Upaya pengelolaan lingkungan hidup
dan upaya pemantauan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan
hidup, yang selanjutnya disebut hidup yang selanjutnya disebut
UKL-UPL, adalah pengelolaan dan UKL-UPL adalah rangkaian proses
pemantauan terhadap usaha dan/atau pengelolaan dan pemantauan
kegiatan yang tidak berdampak penting lingkungan hidup yang dituangkan
terhadap lingkungan hidup yang dalam bentuk standar untuk digunakan
diperlukan bagi proses pengambilan sebagai prasyarat pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan keputusan serta termuat dalam
usaha dan/atau kegiatan. Perizinan Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.

Implikasi
Masih mewajibkan UKL-UPL dalam proses izin berusaha akan menumbuhkan
korupsi dan tak memangkas birokrasi. Dalam praktik, UKL-UPL tidak
membangkitkan dampak penting. Seharusnya UKL-UPL diubah menjadi standar
prosedur operasi yang terintegrasi dalam perizinan berusaha.

Rekomendasi
Perlu pendalaman potensi korupsi dalam perizinan dan penyusunan UKL-UPL.
Penyusunan UKL-UPL dan perizinan harus transparan dan akuntabel, termasuk
kejelasan mekanisme pengaduan oleh publik dan dunia usaha.

Halaman 41 dari 112


Lingkungan Hidup

Masih mewajibkan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)


dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dalam proses izin
berusaha.

Tak memangkas birokrasi yang membuka


peluang korupsi.

UKL-UPL tak membangkitkan dampak penting.

Halaman 42 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 24 Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana (1) D
 okumen Amdal merupakan dasar
dimaksud dalam Pasal 22 merupakan uji kelayakan lingkungan hidup
dasar penetapan keputusan kelayakan untuk rencana usaha dan/atau
lingkungan hidup. kegiatan.
(2) U
 ji kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tim uji kelayakan
lingkungan hidup yang dibentuk
oleh lembaga uji kelayakan
lingkungan hidup Pemerintah
Pusat.
(3) T
 im uji kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas unsur Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli
bersertifikat.
(4) P
 emerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah menetapkan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup
berdasarkan hasil uji kelayakan
lingkungan hidup.
(5) K
 eputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) digunakan sebagai
persyaratan penerbitan Perizinan
Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.

Halaman 43 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

(6) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
tata laksana uji kelayakan
lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Implikasi
Meski ada ketentuan pemerintah pusat bisa melakukan sendiri uji kelayakan
lingkungan hidup, tidak berarti ada integrasi antara kelayakan lingkungan dan
perizinan berusaha. Sebab setiap tahap perizinan umumnya melekat pada unit
kerja atau bahkan lembaga berbeda.
Badan Penelitian dan Pengembangan KPK 2015-2019, menemukan ada
transaksi pada setiap tahap jika tidak ada pengendalian secara elektronik dan/
atau keterbukaan informasi bagi publik.
Pasal ini tak memperbaiki posisi amdal sebagai informasi menentukan rencana
kegiatan, hanya sebagai instrumen administrasi sehingga belum bisa menjadi
andalan mengendalikan kerusakan lingkungan hidup.
Selama ini amdal tidak menjadi akumulasi pengetahuan tata-cara pengelolaan
dampak lingkungan. Akibatnya, alih-alih makin berkurang, kegiatan wajib amdal
bertambah dari tahun ke tahun yang mendorong biaya transaksi makin besar.

Rekomendasi
Uji kelayakan lingkungan hidup perlu mengatur pertimbangan aspek sosial yang
berhubungan dengan lingkungan hidup, selain aspek teknis. Beberapa aspek
sosial yang perlu diatur dalam tata laksana uji kelayakan adalah:
a. Standar dan mekanisme transparansi dan partisipasi publik dalam setiap
tahapan uji kelayakan lingkungan;
b. Mekanisme keberatan atau pengaduan dalam proses uji kelayakan bagi publik
dan dunia usaha sebagai bagian pencegahan korupsi.

Halaman 44 dari 112


Lingkungan Hidup

Amdal dan uji kelayakan tak terintegrasi dalam izin berusaha.

Biaya transaksi makin besar

Menambah kegiatan wajib amdal yang membuat


dokumen rawan comot-pasang dari dokumen
sebelumnya.

Halaman 45 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 26 Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana (1) D
 okumen Amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dimaksud dalam Pasal 22
disusun oleh pemrakarsa dengan disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan masyarakat. melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus (2) P
 enyusunan dokumen Amdal
dilakukan berdasarkan prinsip dilakukan dengan melibatkan
pemberian informasi yang masyarakat yang terkena dampak
transparan dan lengkap serta langsung terhadap rencana usaha
diberitahukan sebelum kegiatan dan/atau kegiatan.
dilaksanakan. (3) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
(3) Masyarakat sebagaimana proses pelibatan masyarakat
dimaksud pada ayat (1) meliputi: sebagaimana dimaksud pada
a. yang terkena dampak; ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
b. pemerhati lingkungan hidup;
dan/atau
c. y ang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses
amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal.

Implikasi
Penghapusan ahli dan organisasi lingkungan sebagai anggota penyusun
amdal membuat posisi pihak ketiga menjadi lemah. Mereka yang terdampak
langsung oleh rencana sebuah kegiatan atau usaha tanpa pendampingan
membuat posisinya inferior secara politik. Umumnya mereka yang terdampak

Halaman 46 dari 112


Lingkungan Hidup

secara langsung oleh kegiatan industri berada di wilayah pedalaman. Akibatnya,


penyusunan amdal akan timpang dan menyisihkan peran kelompok independen
sekaligus menghentikan distribusi serta pemakaian ilmu pengetahuan.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu mengatur:
a. Kriteria masyarakat yang terkena dampak langsung, termasuk bagaimana
menentukan masyarakat terkena dampak langsung yang umumnya tidak
dapat didekati hanya dengan wilayah administrasi usaha saja;
b. Pelibatan masyarakat yang tak terkena dampak langsung, perlu tetap diatur
dengan standar dan mekanisme yang jelas karena hak atas lingkungan hidup
tidak dapat hanya didekati dengan wilayah administrasi usaha. Dampak
lingkungan dapat bersifat kumulatif dan sekaligus bersifat lintas wilayah
administrasi usaha;
c. Standar dan mekanisme transparansi dan keberatan dalam penyusunan
Amdal. Hal ini penting untuk memastikan proses partisipasi tetap terjamin dan
sekaligus mencegah terjadinya korupsi dalam proses penyusunan Amdal.
d. Perlu diatur standar dan mekanisme transparansi dan partisipasi publik dalam
tahapan proses penyusunan Amdal.

Ahli dan organisasi lingkungan bukan anggota penyusun amdal.

Penyusunan amdal makin tertutup yang


membuka peluang transaksi

Masyarakat yang terkena dampak tidak


langsung tak bisa menggugat akibat negatif
kegiatan industri.

Tak ada mekanisme keberatan terhadap


dampak negatif kegiatan industri.

Halaman 47 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 37 Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/ Perizinan Berusaha dapat dibatalkan
walikota sesuai dengan apabila:
kewenangannya wajib menolak a. persyaratan yang diajukan dalam
permohonan izin lingkungan permohonan Perizinan Berusaha
apabila permohonan izin tidak mengandung cacat hukum,
dilengkapi dengan amdal atau UKL- kekeliruan, penyalahgunaan,
UPL. serta ketidakbenaran dan/atau
(2) Izin lingkungan sebagaimana pemalsuan data, dokumen, dan/
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) atau informasi;
dapat dibatalkan apabila: b. penerbitannya tanpa memenuhi
a. persyaratan yang diajukan syarat sebagaimana tercantum
dalam permohonan izin dalam Keputusan Kelayakan
mengandung cacat hukum, Lingkungan Hidup atau
kekeliruan, penyalahgunaan, Pernyataan Kesanggupan
serta ketidakbenaran dan/atau Pengelolaan Lingkungan Hidup;
pemalsuan data, dokumen, dan/ atau
atau informasi; c. kewajiban yang ditetapkan dalam
b. penerbitannya tanpa memenuhi dokumen Amdal atau UKL-
syarat sebagaimana tercantum UPL tidak dilaksanakan oleh
dalam keputusan komisi tentang penanggung jawab usaha dan/
kelayakan lingkungan hidup atau atau kegiatan.
rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam
dokumen amdal atau UKL-
UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan.

Halaman 48 dari 112


Lingkungan Hidup

Implikasi
Pasal ini merupakan bentuk akuntabilitas atas kepatuhan lingkungan hidup
terhadap keputusan izin lingkungan. Penghapusan izin lingkungan dan membuat
syarat pembatalan izin berusaha, membuat kontrol kepatuhan lingkungan
terhadap penanggung jawab usaha/kegiatan. Di sisi lain, ketentuan ini ditentukan
oleh ego-sektoral di pemerintahan yang selama ini masih tinggi. Pelanggaran
lingkungan yang ditemukan oleh institusi lingkungan tidak mendapatkan tindak
lanjut yang memadai.

rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu mengatur mekanisme dan tata cara pembatalan
perizinan berusaha yang melanggar ketentuan ini, sekaligus mengatur hubungan
kerja antar instansi lingkungan dengan instansi pemberi izin berusaha dalam
proses pembatalannya.
Perlu diatur juga sistem akuntabilitas yang memastikan pembatalan izin usaha
karena pelangaran terhadap pasal ini, termasuk temuan pelanggaran yang
diperoleh dari instansi lingkungan hidup.

Halaman 49 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Dihapus
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin
lingkungan dapat dibatalkan melalui
keputusan pengadilan tata usaha
negara.

Implikasi
Gugatan ke pengadilan tata usaha negara tertuju pada izin berusaha sebagai
dokumen final dalam kegiatan industri.

rekomendasi
Agar prinsip pasal 37-38 tetap berlaku sebagai mekanisme kontrol, peraturan
pemerintah menegaskan bahwa keputusan kelayakan lingkungan atau
kesanggupan pengelolaan lingkungan bisa digugat ke pengadilan.

Pasal 38 dihapus

Kerancuan antara dokumen final industri yang


bisa dibatalkan pengadilan tata usaha negara.
Pembatalan izin berusaha sepenuhnya ada di
tangan pemerintah pusat.

Halaman 50 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 39 Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/ (1) K
 eputusan Kelayakan Lingkungan
wali kota sesuai dengan Hidup diumumkan kepada
kewenangannya wajib masyarakat.
mengumumkan setiap permohonan (2) P
 engumuman sebagaimana
dan keputusan izin lingkungan. dimaksud pada ayat (1) dilakukan
(2) Pengumuman sebagaimana melalui sistem elektronik dan/atau
dimaksud pada ayat (1) dilakukan cara lain yang ditetapkan oleh
dengan cara yang mudah diketahui Pemerintah Pusat.
oleh masyarakat.

Implikasi
Pergantian menjadi secara elektronik tak menjamin distribusi informasinya
menjadi mudah bagi masyarakat lokasi kegiatan industri berada. Akibatnya,
selain amdal hanya menjadi kegiatan rutin, ia kehilangan pengawas yang lebih
luas, bahkan oleh mereka yang terdampak secara langsung.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah maupun NSPK perlu mengatur secara rinci beberapa hal:
(1) tahapan pengumuman dilakukan sejak dini atau awal yang memastikan setiap
masyarakat, khususnya masyarakat terdampak dapat mengetahui sejak awal
yaitu sajak permohonan izin diajukan sehingga memiliki cukup waktu untuk
melakukan partisipasi dalam pengambilan keputusan pemberian Perizinan
Berusaha;
(2) muatan atau substansi pengumuman perlu memuat kriteria usaha/kegiatan
dan kemungkinan dampaknya bagi masyarakat sekitar;
(3) saluran pengumuman perlu diatur dengan memastikan keragaman saluran
informasi dan kepastian untuk menjangkau masyarakat secara luas
khususnya masyarakat terdampak.

Halaman 51 dari 112


Lingkungan Hidup

Industri tak wajib menyediakan informasi amdal dan izin lingkungan


yang mudah diakses.

Amdal menjadi dokumen tertutup

Masyarakat terdampak tidak langsung tak


mengetahui potensi dampak buruk industri di
sekitar mereka.

Halaman 52 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Dihapus
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan
Tidak ada lagi
persyaratan untuk memperoleh izin
kontrol terhadap
usaha dan/atau kegiatan.
izin berusaha,
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin termasuk jika ada
usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. perubahan kegiatan industri, yang
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan sebelumnya ditentukan oleh izin
mengalami perubahan, penanggung lingkungan.
jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib memperbarui izin lingkungan.

Implikasi
Pemerintah tak bisa memberikan serangkaian sanksi jika ada pelanggaran
lingkungan terhadap izin berusaha dan kewajiban industri memperbarui izin jika
ada perubahan kegiatan industri yang membahayakan.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah dan norma, strandar, prosedur, kriteria (NSPK) perlu
mengatur:
(1) hubungan antara implikasi pelanggaran lingkungan dengan Perizinan Berusaha,
(2) mekanisme atau tata hubungan antara instansi lingkungan dengan instansi
pemberi Perizinan Berusaha jika terjadi pelanggaran lingkungan;
(3) sistem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran lingkungan namun tidak
dilakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran tersebut oleh instansi
pemberi Perizinan Berusaha;
(4) transparansi atas tindakan pengawasan dan pelanggaran lingkungan hidup;
serta
(5) mekanisme keberatan atau pengaduan bagi masyarakat apabila terjadi
pelanggaran lingkungan hidup.

Halaman 53 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 69 Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang: (1) Setiap orang dilarang:
h. melakukan pembukaan lahan h. melakukan pembukaan lahan
dengan cara membakar; dengan cara membakar;
(2) Ketentuan sebagaimana (2) K
 etentuan sebagaimana dimaksud
dimaksud pada ayat (1) huruf h pada ayat (1) huruf h dikecualikan
memperhatikan dengan sungguh- bagi masyarakat yang melakukan
sungguh kearifan lokal di daerah kegiatan dimaksud dengan
masing-masing. memperhatikan sungguh-sungguh
kearifan lokal di daerah masing-
masing.

Halaman 54 dari 112


Lingkungan Hidup

Implikasi
Ketentuan ini sempat hilang dalam draf sebelum final.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah atau pedoman pelaksana bagi masyarakat dan pemerintah
daerah dalam menjalankan ketentuan pengecualian.
Beberapa pengaturan atau pedoman setidaknya berisi:
a. Kriteria lahan, luasan lahan, jenis vegetasi/tanaman, waktu/musim dan tata
cara pelaksanaan pembukaan lahan oleh masyarakat adat berdasarkan
kearifan lokal tersebut;
b. Mekanisme pengawasan dan koordinasi antar kelembagaan pada saat
mengaplikasikan pasal tersebut, yakni koordinasi antar kelompok masyarakat,
ketua atau pimpinan adat, perangkat desa, hingga dinas setempat dan aparat
lainnya yang diperlukan;
c. Roadmap kebijakan dan pelaksanaan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB)
bagi pertanian tradisional yang lebih solid dalam jangka Panjang. Kebijakan
ini dapat memuat pengembangan kapasitas masyarakat, aspek sosial budaya
masyarakat adat/lokal dalam melaksanakan pertanian tanpa bakar, serta
bantuan teknis dan teknologi dari pemerintah dan pemerintah daerah bagi
pertanian tradisional tanpa bakar.

Halaman 55 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 71 Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali (1) P
 emerintah Pusat atau Pemerintah
kota sesuai dengan kewenangannya Daerah melakukan pengawasan
wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jawab usaha dan/atau kegiatan atas atas ketentuan yang ditetapkan
ketentuan yang ditetapkan dalam dalam peraturan perundang-
peraturan perundang-undangan undangan di bidang pelindungan
di bidang perlindungan dan dan pengelolaan lingkungan hidup.
pengelolaan lingkungan hidup. (2) P
 emerintah Pusat atau Pemerintah
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/ Daerah dapat mendelegasikan
wali kota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/
pengawasan kepada pejabat/ instansi teknis yang bertanggung
instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
pengelolaan lingkungan hidup. (3) D
 alam melaksanakan pengawasan,
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Menteri, gubernur, atau bupati/wali Daerah menetapkan pejabat
kota menetapkan pejabat pengawas pengawas lingkungan hidup yang
lingkungan hidup yang merupakan merupakan pejabat fungsional.
pejabat fungsional. (4) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
pejabat pengawas lingkungan
hidup diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Halaman 56 dari 112


Lingkungan Hidup

Implikasi
Pasal 71-73 mengatur tentang pengawasan terhadap ketaatan lingkungan bagi
pemegang perizinan berusaha. Terkait dengan kemudahan berusaha, rangkaian
tata cara pengawasan perlu dilakukan sedemikian rupa untuk memperketat
pelaksanaan pengawasan yang selama ini masih banyak persoalan, antara lain:
(1) Lemahnya ketersediaan sumber daya (teknologi, petugas pengawas dan
anggaran) dari pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan;
(2) Abainya instansi daerah dalam melakukan tugas pengawasan;
(3) Lemahnya transparansi hasil pengawasan kepatuhan pemegang izin.
(4) Tingginya harapan publik terhadap Instansi Pusat (KLHK) untuk serius
mengambil alih pengawasan daerah sesuai dengan Pasal 73 karena adanya
pelanggaran serius atau pengabaian tugas pengawasan oleh daerah.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah maupun pedoman pelaksanaan tentang pengawasan perlu
mengatur:
(1) Standar operasional pengawasan (teknologi, petugas pengawas, dan
anggaran) yang harus dialokasikan untuk melakukan pengawasan. Alternatif
pendanaan seperti dana jaminan pemulihan dapat dipertimbangkan untuk
memperkuat sumber daya pengawasan;
(2) Sistem akuntabilitas atau integritas bagi daerah yang abai dalam menjalankan
pengawasan;
(3) Mekanisme pengambilalihan pengawasan oleh Menteri (KLHK) dalam hal
terjadi pengabaian dan pelanggaran serius di bidang lingkungan dengan
melibatkan pengaduan masyarakat;
(4) Sanksi bagi daerah yang tidak menjalankan pengawasan dengan baik sesuai
dengan standar;
(5) Pengawasan perlu ditegaskan mulai dari self monitoring pemegang izin,
pengawasan rutin maupun pengawasan yang bersifat insidental.

Halaman 57 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 72 Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/wali Pemerintah Pusat atau
kota sesuai dengan kewenangannya Pemerintah Daerah sesuai dengan
wajib melakukan pengawasan ketaatan kewenangannya berdasarkan norma,
penanggung jawab usaha dan/atau standar, prosedur, dan kriteria yang
kegiatan terhadap izin lingkungan. ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
wajib melakukan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap Perizinan Berusaha,
atau persetujuan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.

Halaman 58 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 73 Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan Menteri dapat melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang jawab usaha dan/atau kegiatan yang
izin lingkungannya diterbitkan oleh Perizinan Berusaha atau persetujuan
pemerintah daerah jika Pemerintah Pemerintah Daerah diterbitkan oleh
menganggap terjadi pelanggaran yang Pemerintah Daerah jika Menteri
serius di bidang perlindungan dan menganggap terjadi pelanggaran
pengelolaan lingkungan hidup. yang serius di bidang pelindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup
berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

Halaman 59 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 76 Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali (1) P
 emerintah Pusat atau Pemerintah
kota menerapkan sanksi administra- Daerah menerapkan sanksi
tif kepada penanggung jawab usaha administratif kepada penanggung
dan/atau kegiatan jika dalam peng­ jawab usaha dan/atau kegiatan
awasan ditemukan pelanggaran jika dalam pengawasan ditemukan
terhadap izin lingkungan. pelanggaran terhadap Perizinan
(2) Sanksi administratif terdiri atas: Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
a. teguran tertulis;
Daerah.
b. paksaan pemerintah;
(2) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
c. pembekuan izin lingkungan; atau tata cara pengenaan sanksi diatur
d. pencabutan izin lingkungan. dalam Peraturan Pemerintah.

Implikasi
Pasal 76-77 yang mengatur tentang sanksi administrasi atas pelanggaran
lingkungan dan Perizinan Berusaha perlu menjadi perhatian serius mengingat
masih banyaknya persoalan dalam penegakan hukum administrasi ini. Beberapa
persoalan tersebut antara lain:
(1) Tingginya egoisme lembaga mengakibatkan tersisihnya aspek perlindungan
lingkungan;
(2) Rendahnya sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh pemerintah daerah
dalam mencegah munculnya dampak atas pelanggaran lingkungan;
(3) Tingginya harapan publik terhadap instansi lingkungan pusat (KLHK)
untuk menggunakan secondline enforcement (Pasal 77) atas pelanggaran
lingkungan yang selama ini terjadi di daerah namun tidak mendapatkan
tindakan sanksi dari instansi pemberi izin daerah. Seharusnya mekanisme
secondline enforcement ini tidak hanya diterapkan secara vertikal (pusat-
daerah) namun juga dengan penghapusan izin lingkungan semestinya trade
off sangat wajar jika juga diterapkan secara horizontal.

Halaman 60 dari 112


Lingkungan Hidup

Rekomendasi
PP dan NSPK terkait dengan penjatuhan sanksi administrasi perlu mengatur
beberapa hal berikut ini:
(1) Keterhubungan antara tindakan pengawasan dengan penjatuhan sanksi
administrasi;
(2) Keterbukaan informasi bagi hasil pengawasan dan sanksi yang telah
dijatuhkan pemerintah, termasuk upaya yang telah dilakukan pemegang izin
dalam mematuhi sanksi tersebut;
(3) Mekanisme dan hubungan antara pengawasan, sanksi administrasi dan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
(4) Mekanisme penerapan Pasal 77 secara vertikal (jika terjadi pelanggaran
serius atau daerah abai menerapkan sanksi administrasi);
(5) Mekanisme penerapan Pasal 77 secara horizontal (jika terjadi pelanggaran
serius atau instansi sektoral abai menerapkan sanksi administrasi atas
pelanggaran lingkungan);
(6) Mekanisme dan hubungan antara sanksi atas pelanggaran persetujuan
lingkungan dengan Perizinan Berusaha;
(7) Sistem integritas atas pengabaian oleh pemerintah daerah dan instansi
sektoral pemberi Perizinan Berusaha apabila terbukti ditemukan adanya
pelanggaran lingkungan namun tidak ditindak secara tegas.
(8) Instansi lingkungan (pusat-daerah) harus tetap diberikan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administrasi terhadap Perizinan Berusaha apabila terjadi
pelanggaran lingkungan. Hal ini sebagai implikasi dari peleburan persyaratan
lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha.

Halaman 61 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 77 Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi Menteri dapat menerapkan sanksi
administratif terhadap penanggung administratif terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jawab usaha dan/atau kegiatan
jika Pemerintah menganggap dalam hal Menteri menganggap
pemerintah daerah secara sengaja Pemerintah Daerah secara sengaja
tidak menerapkan sanksi administratif tidak menerapkan sanksi administratif
terhadap pelanggaran yang serius di terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan bidang pelindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. lingkungan hidup.

Halaman 62 dari 112


Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP

Dihapus
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal
Pemerintah tak
tanpa memiliki sertifikat kompetensi
bisa memberikan
penyusun amdal sebagaimana
sanksi kepada
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
penyusun amdal
huruf i, dipidana dengan pidana
yang tak memiliki sertifikat
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
kompetensi.
dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Implikasi
Penghapusan pasal ini membuat penyusun amdal yang tak bersertifikat akan
lolos. Penghapusan pasal ini melanggengkan praktik pinjam-meminjam sertifikat
di kalangan konsultan pembuat amdal. Akibatnya, penegakan hukum terhadap
amdal yang dibuat asal-asalan oleh mereka yang tak kompeten sangat lemah.

Rekomendasi
Perlu kriteria ahli bersertifikat yang akan duduk dalam Tim Uji Kelayakan
Lingkungan Hidup maupun penyusun Amdal. Juga data sebaran ahli bersertifikat
tersebut di daerah.
Mekanisme akuntabilitas ahli bersertifikat juga perlu diatur termasuk sanksi
apabila ahli yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan di luar koridor
profesionalisme keahliannya.
Perlu pula diatur implikasi Amdal yang disusun oleh ahli yang tidak bersertifikat.

Halaman 63 dari 112


Persaingan
Sempurna
UNTUK pertama kali sebuah undang-undang menyediakan
satu pasal khusus perhutanan sosial. Namun, penyebutannya
hanya di bidang kehutanan membuat perhutanan sosial tetap
jadi isu sektoral. Padahal usaha hutan sosial terentang di banyak
bidang. Undang-undang ini juga membuka persaingan usaha
hutan sosial semakin terbuka antara masyarakat tradisional dan
badan usaha swasta, bahkan perusahaan luar negeri.

5
skema perhutanan
sosial: hutan adat, hutan
kemasyarakatan, hutan
desa, hutan tanaman rakyat,
kemitraan kehutanan

4.378.215 6.632 13,8 juta


hektare surat hektare
perhutanan keputusan target
sosial hutan perhutanan
sosial sosial

Rp 700.000 Rp 314,8 miliar


pendapatan per anggaran
kapita petani perhutanan sosial
hutan sosial 2019
Perhutanan Sosial

O
MNIBUS law UU Cipta Kerja ini mengubah Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004. Paragraf 4 pasal 35 UU Cipta
Kerja menyebutkan bahwa beleid ini memberikan
kemudahan bagi masyarakat terutama pebisnis dalam
mendapatkan perizinan berusaha dan investasi di sektor
kehutanan.
Nasib masyarakat desa hutan juga cerah karena perhutanan
sosial disebut dalam undang-undang untuk pertama kali
setelah konsepnya bergulir sejak 1978 dan pengaturan
masifnya dimulai pada 2014. Namun, penyebutan
perhutanan sosial hanya di sektor kehutanan membuat
program ini tetap menjadi isu sektoral.

Halaman 65 dari 112


Perhutanan Sosial

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 26 Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat (1) P
 emanfaatan Hutan Lindung dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan pemungutan hasil hutan bukan
kayu. kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung (2) P
 emanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud pada
izin usaha pemanfaatan kawasan, ayat (1) dilakukan dengan
izin usaha pemanfaatan jasa pemberian Perizinan Berusaha dari
lingkungan, dan izin pemungutan Pemerintah Pusat.
hasil hutan bukan kayu.

rekomendasi
Perlu penjelasan detail soal urutan perizinan berusaha. Apakah urutan dalam
pasal 27 itu sebagai prioritas atau sekadar penempatan saja. Penjelasan ini
penting untuk menjamin keadilan akses kepada masyarakat desa sekitar hutan
dalam program perhutanan sosial.

Halaman 66 dari 112


Perhutanan Sosial

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 27 Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Perizinan Berusaha sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam dimaksud dalam Pasal 26
Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan ayat (2) dapat diberikan kepada:
kepada:
a. perseorangan;
a. perorangan,
b. koperasi;
b. koperasi.
c. badan usaha milik negara;
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa
d. badan usaha milik daerah; atau
lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2), dapat e. badan usaha milik swasta.
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. Koperasi,
c. b
 adan usaha milik swasta
Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2), dapat
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.

Halaman 67 dari 112


Perhutanan Sosial

rekomendasi
Masyarakat desa hutan semakin terpinggirkan aksesnya terhadap sumber daya
hutan karena pasal ini meluaskan izin berusaha tak hanya kepada perorangan
dan koperasi membuat kesempatan masyarakat desa hutan memanfaatkan
hutan di sekitar mereka menjadi sempit.
Apabila perizinan berusaha ini diberikan kepada BUMN, BUMD, dan BUMS
tingkat pemanfaatannya akan lebih intensif dan dampak negatif lingkungan
(ekologis) dan sosialnya akan lebih besar.
Penghapusan kata “Indonesia” dalam badan usaha swasta membuka peluang
badan usaha swasta asing ikut memanfaatkan hutan dan bersaing dengan
masyarakat desa hutan.

Menghapus kata Indonesia dalam izin usaha hutan untuk sektor


swasta.

Persaingan antara masyarakat dan industri


besar menjadi terbuka

Izin usaha hutan sosial meluas tak hanya


perorangan, koperasi, dan BUMN

Halaman 68 dari 112


Perhutanan Sosial

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 28 Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat (1) P
 emanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta pemungutan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi (2) P
 emanfaatan hutan produksi
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud ayat (1)
izin usaha pemanfaatan kawasan, dilakukan dengan pemberian
izin usaha pemanfaatan Perizinan Berusaha dari
jasa lingkungan, izin usaha Pemerintah Pusat.
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil
hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.

implikasi
Ketentuan ini membingungkan. Selama ini izin perhutanan sosial diberikan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika nanti peraturan pemerintah
mendelegasikan izin tetap kepada Menteri, hutan sosial tetap jadi isu sektoral
dan sentralistis. Padahal mengangkatnya ke dalam undang-undang untuk
menghilangkan sentralisme dalam hutan sosial karena jenis usahanya tak
semata di hutan, tapi juga di laut, di pantai, dan di pertanian, perkebunan, dan
peternakan.

Halaman 69 dari 112


Perhutanan Sosial

Pengaturan izin perhutanan sosial di hutan produksi

Menjadi isu sektoral jika pemberi izin tetap


Menteri Kehutanan.

Tak menyentuh hutan konservasi sebagai


penyelesaian konflik, terutama, negara dengan
masyarakat adat.

Halaman 70 dari 112


Perhutanan Sosial

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 29A
(1) P
 emanfaatan hutan lindung dan
hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan
Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan sosial.
(2) P
 erhutanan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan c.
koperasi.

implikasi
Nilai positif penyebutan perhutanan sosial dalam undang-undang adalah program
hutan sosial menjadi program strategis nasional, lintas kementerian, atau
setidak-tidaknya kementerian bidang kehutanan mendapat posisi yang lebih kuat
dalam negosiasi anggaran di APBN, dan program perhutanan sosial menjadi
mainstream dalam pembangunan kehutanan.
Masalahnya, pengaturan tentang perhutanan sosial ini tidak mencakup
pemanfaatan hutan konservasi (untuk zona tertentu) yang masih menyimpan
banyak konflik tenurial, terutama negara dengan masyarakat adat.

rekomendasi
Perlu penjelasan detail di peraturan pemerintah mengenai “perorangan” agar
problem hutan tanaman rakyat yang ditunggangi calo menjadi tidak kian masif
karena naik derajat diakui dalam undang-undang.
Perlu penjelasan detail di peraturan pemerintah mengenai “perorangan” agar
problem hutan tanaman rakyat yang ditunggangi calo menjadi tidak kian masif
karena naik derajat diakui dalam undang-undang.

Halaman 71 dari 112


Perhutanan Sosial

Juga, pengaturan ini perlu ditindaklanjuti melalui percepatan target pencapaian


melalui kebijakan yang memperkuat:
(1) Kelembagaan kementerian, termasuk petugas dan dukungan anggaran bagi
kementerian;
(2) Pelibatan daerah dalam pencapaian target perhutanan sosial;
(3) Pembagian peran antara kementerian kehutanan dengan instansi lainnya
untuk memperkuat kelembagaan masyarakat, baik dari sisi pengembangan
kapasitas, pembiayaan dan pasar.

Mengakui perhutanan sosial dalam undang-undang.

Negosiasi anggaran menjadi lebih kuat.

Izin hutan sosial untuk perorangan rawan


ditunggangi calo.

Halaman 72 dari 112


Perhutanan Sosial

UNDANG-UNDANG KEHUTANAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 30 Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha masyarakat, setiap badan usaha milik
milik negara, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
daerah, dan badan usaha milik swasta dan badan usaha milik swasta yang
Indonesia yang memperoleh izin usaha memperoleh Perizinan Berusaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hutan, wajib bekerja
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sama dengan koperasi masyarakat
dan bukan kayu, diwajibkan bekerja setempat.
sama dengan koperasi masyarakat
setempat.

implikasi
Tak mendorong koperasi menjadi tangguh dan berdaya karena tak ada timbal
balik kerja sama. Jika yang mendorong kerja sama adalah usaha besar,
mereka akan menjadi superior sehingga cita-cita pemberdayaan masyarakat
kemungkinan akan sama seperti sebelumnya.

Halaman 73 dari 112


Karpet Merah
Pangan Impor
UNDANG-Undang Cipta Kerja mengubah politik ketahanan
pangan. Impor menjadi sederajat dengan pemenuhan pangan
dalam negeri. Sementara industri perkebunan terbebas dari
membuat dan menerapkan kewajiban menjaga lingkungan
dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan
(amdal). Komoditas perkebunan Indonesia akan mendapat
tantangan berat di tengah pelaksanaan Prinsip Ekuator yang
lebih peduli lingkungan di tengah isu pemanasan global.

17,6 juta 33,5 81% 8%


rumah tangga
mengandalkan juta petani petani
usaha petani gurem usia
pertanian 20-39
tahun
5,5 juta Rp 1 juta per
penurunan bulan pendapatan
jumlah petani rumah tangga
2003-2013 petani (2013)

7,46 juta 25,4 juta


hektare hektare
sawah lahan
perkebunan
2019

31,3 juta
ton produksi
beras 2019
Pertanian dan Perkebunan

I
SU utama perubahan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang perkebunan adalah alokasi 20%
untuk kebun plasma, pemindahan hak atas tanah, dan
kewajiban studi lingkungan dalam dokumen analisis
mengenai dampak lingkungan. Ada ketentuan yang
menghapus kewajiban usaha perkebunan membuat dan
menerapkan amdal.
Undang-Undang Cipta Kerja terlalu longgar memproteksi
lingkungan dengan tidak menjadikannya kewajiban bagi
industri. Juga membuka pengukuhan areal perkebunan
di wilayah masyarakat adat. Undang-Undang Cipta Kerja
menguatkan pasal yang selama ini memicu konflik lahan
akibat tercantum dalam Undang-Undang Perkebunan.
Dalam bidang pertanian, UU Cipta Kerja mengubah
politik pangan lewat perubahan Undang-Undang Nomor
18/2012 tentang pangan. Impor sebagai bagian dari strategi
ketahanan pangan bukan lagi pilihan terakhir jika produksi
dan cadangan dalam negeri tak mencukupi kebutuhan.

Halaman 75 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 14 Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat menetapkan (1) P
 emerintah Pusat menetapkan
batasan luas maksimum dan luas batasan luas maksimum dan
minimum penggunaan lahan untuk luas minimum penggunaan
Usaha Perkebunan. lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2) Penetapan batasan luas sebagaimana (2) P
 enetapan batasan luas
dimaksud pada ayat (1) harus sebagaimana dimaksud
mempertimbangkan: pada ayat (1) harus
a. jenis tanaman; mempertimbangkan:
b. ketersediaan lahan yang sesuai a. jenis tanaman; dan/atau
secara agroklimat; b. ketersediaan lahan yang
c. modal; sesuai secara agroklimat.
d. kapasitas pabrik; (3) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
penetapan batasan luas diatur
e. tingkat kepadatan penduduk;
dalam Peraturan Pemerintah.
f. pola pengembangan usaha;
g. kondisi geografis;
h. perkembangan teknologi; dan
i. pemanfaatan lahan berdasarkan
fungsi ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang tata ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan batasan luas diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Halaman 76 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

implikasi
Tak ada batas luas maksimum bagi usaha perkebunan dan perorangan membuat
pasal ini tak memperbaiki Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas
tanah. Pasal 5 ayat (1) dan (2).
Pembatasan luas areal HGU untuk perorangan minimal 5 hektare dan maksimal
25 hektare, sedangkan untuk perusahaan tidak ditetapkan luas maksimalnya.

rekomendasi
Peraturan pemerintah tegas mengatur luas maksimum yang bisa dimiliki oleh
usaha agar terjadi keadilan dalam penguasaan lahan. Juga memerinci batas luas
areal perkebunan sesuai dengan karakteristik komoditas suatu wilayah.
Juga mengatur batasan luas maksimum dengan teknis dua lapis:
(a) Ada batasan standar luas maksimum sesuai dengan kriteria lahan dan
tanaman;
(b) Ada pengaturan bahwa luas batasan maksimum di atas dapat diperkecil
apabila berdasarkan penilaian pemohon izin dinyatakan tidak memiliki
kemampuan untuk mengolah lahan. Hal ini mencegah terjadinya
penyelundupan hukum melalui spekulasi luas izin perkebunan yang dapat
memicu terjadinya penelantaran lahan.

Penetapan batas luas minimum dan maksimum usaha perkebunan dan


perorangan tanpa menyebut angkanya.

Tak ada batas luas usaha perkebunan bagi


korporasi.

Halaman 77 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 15 Pasal 15
Perusahaan Perkebunan dilarang Perusahaan Perkebunan yang
memindahkan hak atas tanah Usaha melakukan kegiatan kemitraan atau
Perkebunan yang mengakibatkan inti plasma dilarang memindahkan
terjadinya satuan usaha yang kurang dari hak atas tanah Usaha Perkebunan
luas minimum sebagaimana dimaksud yang mengakibatkan terjadinya
dalam Pasal 14. satuan usaha yang kurang dari luas
minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.

implikasi
Penambahan frasa “melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma”
mempersempit pengertian larangan memindahkan hak atas tanah. Karena itu
muncul peluang pemindahan izin atau hak atas tanah bagi perusahaan yang tak
melakukan kemitraan plasma dengan petani.

rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu memperjelas pengertian yang terkandung dalam
pasal ini agar larangan memindahkan izin berlaku adil bagi semua pelaku usaha
perkebunan.

Larangan bagi usaha perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan


memindahkan hak atas tanah.

Mempersempit pengertian larangan memindahkan


hak atas tanah.

Muncul peluang pemindahan izin atau hak atas tanah


bagi perusahaan yang tak melakukan kemitraan
plasma dengan petani.

Halaman 78 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 16 Pasal 16
(1) Perusahaan Perkebunan wajib (1) P
 erusahaan Perkebunan
mengusahakan Lahan Perkebunan: wajib mengusahakan Lahan
a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah Perkebunan paling lambat 2
pemberian status hak atas tanah, (dua) tahun setelah pemberian
Perusahaan Perkebunan wajib status hak atas tanah.
mengusahakan Lahan Perkebunan (2) J ika Lahan Perkebunan tidak
paling sedikit 30% (tiga puluh diusahakan sesuai dengan
perseratus) dari luas hak atas ketentuan sebagaimana
tanah; dan dimaksud pada ayat (1), Lahan
b. paling lambat 6 (enam) tahun Perkebunan yang belum
setelah pemberian status hak atas diusahakan diambil alih oleh
tanah, Perusahaan Perkebunan wa- negara sesuai dengan ketentuan
jib mengusahakan seluruh luas hak peraturan perundang-undangan.
atas tanah yang secara teknis dapat
ditanami Tanaman Perkebunan.
(2) Jika Lahan Perkebunan tidak
diusahakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bidang Tanah Perkebunan yang belum
diusahakan diambil alih oleh negara
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Halaman 79 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

implikasi
Memperpendek waktu pengusahaan lahan setelah izin dan menghapus
ketentuan usaha 30% menghindarkan pengusaha menelantarkan lahan setelah
pemerintah menerbitkan izin. Ayat 2 memperkuatnya dengan pengambilalihan
oleh negara sehingga terjadi kepastian hukum bagi lahan yang sudah dibebani
izin usaha perkebunan. Pasal ini sempat hilang dalam draf pembahasan dari
pemerintah, muncul kembali dalam draf final.

Rekomendasi
Perlu ketentuan yang mengatur:
(a) definisi mengusahakan lahan. Hal ini perlu diatur untuk memberikan kepastian
tentang apa yang dimaksud mengusahakan lahan perkebunan tersebut
mengingat banyaknya tahapan operasi atau usaha perkebunan. Apakah yang
dimaksud mengusahakan lahan adalah kegiatan berjalan dalam pembukaan,
persiapan lahan, atau penanaman.
(b) ketegasan mengenai mekanisme pengambilalihan lahan oleh pemerintah
karena penelantaran atau pelanggaran ketentuan pasal ini.

Kewajiban bagi korporasi perkebunan mengusahakan lahan maksimal


dua tahun setelah mendapatkan izin serta menghapus ketentuan
pengusahaan lahan 30%.

Memperpendek waktu pengusahaan lahan


setelah izin.

Menghindarkan pengusaha menelantarkan


lahan.

Memperkuat peran negara mengambil alih


lahan yang telantar.

Halaman 80 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 17 Pasal 17
(1) Pejabat yang berwenang dilarang (1) P
 ejabat yang berwenang
menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang menerbitkan Perizinan
di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Berusaha Perkebunan di atas
Hukum Adat. Tanah Hak Ulayat Masyarakat
(2) Ketentuan larangan sebagaimana Hukum Adat.
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan (2) K
 etentuan larangan
dalam hal telah dicapai persetujuan sebagaimana dimaksud pada
antara Masyarakat Hukum Adat dan ayat (1) dikecualikan dalam
Pelaku Usaha Perkebunan mengenai hal telah dicapai persetujuan
penyerahan Tanah dan imbalannya antara Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal dan Pelaku Usaha Perkebunan
12 ayat (1). mengenai penyerahan Tanah
dan imbalannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1).

implikasi
Pasal ini mengukuhkan dominasi usaha perkebunan di wilayah hak ulayat
masyarakat adat. Praktik yang terjadi selama ini akibat ayat 2 adalah pemaksaan
terhadap masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan. Masyarakat
adat yang lemah posisi politiknya akan terus menjadi objek dalam konflik
lahan dengan perusahaan perkebunan. Semestinya, mengingat ada putusan
Mahkamah Konstitusi perlunya penghargaan kepada masyarakat adat yang
menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, pasal ini berhenti di ayat 1.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menegaskan bahwa pengecualian ayat 1 pada
ayat 2 berupa kemitraan dengan masyarakat adat, bukan persetujuan atas
pengambilan hak atas lahan.
Ketentuan pasal ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa percepatan pengakuan entitas

Halaman 81 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

masyarakat adat dan wilayah kelolanya, termasuk tanah hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini.
Oleh karenanya perlu ada setidaknya tiga kebijakan untuk mendukungnya:
(1) Percepatan identifikasi, verifikasi dan pengakuan masyarakat hukum adat;
(2) Percepatan pengakuan dan pemberian wilayah kelola termasuk tanah hak
ulayat bagi masyarakat adat.
Kedua kebijakan di atas merupakan pegangan atau prasyarat yang harus segera
dilakukan jika ingin memberikan kecepatan pelayanan izin serta demi menjamin
kepastian bagi seluruh pihak, baik masyarakat, pemohon izin maupun pejabat
pemberi izin.
Presiden perlu mengeluarkan kebijakan berupa peraturan atau instruksi untuk
percepatan pengakuan entitas masyarakat adat dan wilayah kelolanya dalam
jangka waktu yang terukur, misalnya 2-3 tahun sejak Undang-Undang Cipta
Kerja disahkan.

Larangan izin perkebunan di wilayah ulayat adat tapi memberi jalan


usaha bisa berjalan jika mendapat persetujuan masyarakat adat.

Mengukuhkan dominasi usaha perkebunan


di wilayah hak ulayat masyarakat adat.

Membuka peluang negosiasi usaha


perkebunan dengan masyarakat adat.

Halaman 82 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 58 Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang (1) P
 erusahaan Perkebunan
memiliki izin Usaha Perkebunan yang mendapatkan Perizinan
atau izin Usaha Perkebunan untuk Berusaha untuk budi daya yang
budi daya wajib memfasilitasi seluruh atau sebagian lahannya
pembangunan kebun masyarakat berasal dari:
sekitar paling rendah seluas 20% a. area penggunaan lain yang
(dua puluh perseratus) dari total luas berada di luar hak guna
areal kebun yang diusahakan oleh usaha; dan/atau
Perusahaan Perkebunan.
b. areal yang berasal dari
(2) Fasilitasi pembangunan kebun pelepasan kawasan
masyarakat sebagaimana dimaksud hutan, wajib memfasilitasi
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pembangunan kebun
pola kredit, bagi hasil, atau bentuk masyarakat sekitar seluas
pendanaan lain yang disepakati 20% (dua puluh persen) dari
sesuai dengan ketentuan peraturan luas lahan tersebut.
perundang-undangan.
(2) F
 asilitasi pembangunan kebun
(3) Kewajiban memfasilitasi masyarakat sebagaimana
pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui pola kredit,
dilaksanakan dalam jangka waktu bagi hasil, bentuk kemitraan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak lainnya, atau bentuk pendanaan
guna usaha diberikan. lain yang disepakati sesuai
(4) Fasilitasi pembangunan kebun dengan ketentuan peraturan
masyarakat sebagaimana dimaksud perundang-undangan.
pada ayat (1) harus dilaporkan (3) K
 ewajiban memfasilitasi
kepada Pemerintah Pusat dan pembangunan kebun
Pemerintah Daerah sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada
kewenangannya. ayat (1) harus dilaksanakan
dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak hak
guna usaha diberikan.

Halaman 83 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

(4) Fasilitasi pembangunan kebun


masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaporkan
kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.

implikasi
Perubahan bunyi ayat 1 huruf b dari “paling rendah” menjadi “sekitar 20%” akan
mendorong perusahaan melonggarkan kewajiban membuat luas kebun plasma
bersama petani.

rekomendasi
Perlu diatur lebih rigid dalam peraturan pemerintah tentang batas minimal
penyediaan kebun plasma agar angka 20% tak menjadi ketentuan yang lentur
dan bisa ditafsirkan secara bebas oleh pengusaha perkebunan.

Kewajiban korporasi perkebunan membangun kebun masyarakat dari


“paling rendah” menjadi “sekitar” 20% dari luas izin.

Mendorong perusahaan melonggarkan kewajiban


membuat luas kebun plasma bersama petani.

Halaman 84 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 67 Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan (1) S
 etiap Pelaku Usaha
wajib memelihara kelestarian fungsi Perkebunan wajib memelihara
lingkungan hidup. kelestarian fungsi lingkungan
(2) Kewajiban memelihara kelestarian hidup.
fungsi lingkungan hidup sebagaimana (2) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
dimaksud pada ayat (1) dilakukan kewajiban memelihara
sesuai dengan ketentuan peraturan kelestarian fungsi lingkungan
perundang-undangan. hidup sebagaimana dimaksud
(3) Untuk memelihara kelestarian fungsi pada ayat (1) diatur dalam
lingkungan hidup sebagaimana Peraturan Pemerintah.
dimaksud pada ayat (1), sebelum
memperoleh izin Usaha Perkebunan,
Perusahaan Perkebunan harus:
a. membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau
upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup;
b. memiliki analisis dan manajemen
risiko bagi yang menggunakan hasil
rekayasa genetik; dan
c. m
 embuat pernyataan kesanggupan
untuk menyediakan sarana, prasa-
rana, dan sistem tanggap darurat
yang memadai untuk menanggu­
langi terjadinya kebakaran.
(4) Setiap Perusahaan Perkebunan
yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditolak permohonan izin usahanya.

Halaman 85 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

implikasi
Penghapusan ayat 3 dan 4 pasal ini melonggarkan pengusaha perkebunan
membuat dan menerapkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan
(amdal) sebagai bagian dari syarat izin berusaha. Penghapusan dua ayat ini
membuat usaha perkebunan bisa berjalan tanpa didukung amdal.

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti lebih menegaskan ketentuan ayat 1 dalam
kewajiban memelihara kelestarian lingkungan. Apalagi didukung oleh sanksi bagi
pejabat yang menerbitkan izin di wilayah hukum adat di pasal 103 dan sanksi
kepada pengusaha seperti diatur pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Ketentuan ayat (3) dan (4) yang dihapus perlu dimasukkan ke dalam ketentuan
mengenai pertimbangan risiko dalam sistem perizinan berbasis risiko yang akan
dikembangkan pemerintah.

Menghapus kewajiban membuat dan menerapkan amdal bagi usaha


perkebunan.

Dampak buruk lingkungan akibat usaha perkebunan


makin tinggi.

Halaman 86 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Dihapus
Pasal 68
Setelah memperoleh izin usaha
perkebunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (3), Pelaku Usaha
Perkebunan wajib menerapkan:
a. analisis mengenai dampak
lingkungan hidup atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan
hidup;
b. analisis risiko lingkungan hidup; dan
c. pemantauan lingkungan hidup.

implikasi
Sama dengan penjelasan pasal 67

rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menegaskan dengan jelas kewajiban-kewajiban
usaha perkebunan dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Halaman 87 dari 112


Pertanian dan Perkebunan

UNDANG-UNDANG 18/2012 UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA


TENTANG PANGAN

Pasal 1 nomor 7 Pasal 1 nomor 7


Ketersediaan Pangan adalah kondisi Ketersediaan Pangan adalah
tersedianya Pangan dari hasil produksi kondisi tersedianya Pangan dari
dalam negeri dan Cadangan Pangan Na- hasil produksi dalam negeri,
sional serta impor apabila kedua sumber Cadangan Pangan Nasional, dan
utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Impor Pangan.

implikasi
Mengubah politik pangan dari impor yang menjadi pilihan akhir menjadi sederajat
dengan cara pemenuhan pangan lainnya. Perubahan pasal ini sejalan dengan
prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam menghapus impor sebagai
pilihan akhir.

Rekomendasi
Impor tetap menjadi pilihan terakhir sehingga pemerintah perlu mengatur atau
memperkuat pencapaian pemenuhan pangan melalui produksi dalam negeri. Hal
ini harus diterjemahkan dalam kebijakan perencanaan pembangunan sehingga
Indonesia tidak mengalami ketergantungan pangan dari negara asing.

Menghapus ketentuan impor sebagai strategi terakhir setelah cadangan


pangan dan produksi dalam negeri tak cukup memenuhi konsumsi.

Mengubah politik pangan.

Membuka peluang rente mengingat impor masih memakai


kuota.

Sejalan dengan prinsip Organisasi Perdagangan Dunia


(WTO) dalam menghapus impor sebagai pilihan akhir.

Halaman 88 dari 112


Yang Terhempas
dan yang Putus
ATURAN tentang masyarakat adat melekat pada berbagai
beleid, terutama yang menyangkut tata ruang di Undang-
undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang Cipta Kerja
mengukuhkan doktrin negara memiliki sumber daya alam yang
membuat konflik lahan berbasis izin makin menguat.

17,6 juta 726


rumah tangga wilayah adat yang
mengandalkan teregistrasi
usaha
pertanian 8%
komunitas 47
adat wilayah adat yang
tertindih terverfikasi
izin usaha

40%
tercatat

1.337
wilayah adat
574.199 35.150 65
hektare hektare luas hutan adat
wilayah 28 hutan adat yang diakui
indikatif wilayah yang diakui negara
hutan adat adat yang negara
tersertifikasi
Masyarakat Adat

P
ENGATURAN tentang masyarakat hukum adat
tidak secara spesifik mengingat Rancangan Undang-
Undang Masyarakat Hukum Adat belum dibahas
hingga kini. Aturan yang mengatur masyarakat
adat melekat pada berbagai aturan, terutama yang
menyangkut tata ruang di Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil.
Secara umum, Undang-Undang Cipta Kerja terlalu bias
pada pembukaan lapangan kerja melalui koperasi, usaha,
dan industri besar. Padahal lapangan pekerjaan akan
terbuka jika melalui proses yang inklusif, yakni membuka
akses yang adil bagi masyarakat, terutama mereka yang tak
memiliki lahan atau kesulitan mendapatkan akses kepada
sumber daya.
Masyarakat adat salah satu komunitas yang acap tersisih
dari akses terhadap sumber daya yang ada di sekelilingnya
akibat doktrin negara mempunyai hak memiliki sumber
daya alam. Dengan bias mengutamakan sektor formal,
usaha-usaha masyarakat adat belum diakui sebagai bagian
dari pembukaan lapangan kerja.

Halaman 90 dari 112


Masyarakat Adat

UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
KECIL

Pasal 22 Pasal 22
HP-3 tidak dapat diberikan pada (1) K
 ewajiban memenuhi Perizinan
Kawasan Konservasi, suaka Berusaha terkait pemanfaatan di
perikanan, alur pelayaran, kawasan laut sebagaimana dimaksud dalam
pelabuhan, dan pantai umum. Pasal 16 ayat (2) dikecualikan bagi
Masyarakat Hukum Adat di wilayah
kelola Masyarakat Hukum Adat.
(2) M
 asyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan pengakuannya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

implikasi
Pasal ini mengukuhkan doktrin “hak memiliki oleh negara” yang memberikan
syarat pengakuan terlebih dahulu kepada masyarakat adat memakai legalitas
sebelum perlindungan dan pemberian hak untuk mereka. Masyarakat hukum
adat yang akan mengelola hutan atau lingkungan sekitarnya untuk tujuan
ekonomi atau kebutuhan hidup mesti mendapatkan pengakuan negara atas
keberadaan mereka. Pengakuan negara menjadi syarat mutlak agar masyarakat
adat memiliki hak setara dengan warga negara lain dalam hal memiliki izin
berusaha memanfaatkan sumber daya alam. Ketentuan ini akan mempengaruhi
klausul pengakuan dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.

Halaman 91 dari 112


Masyarakat Adat

Pengukuhan masyarakat adat melalui peraturan dan undang-undang.

Pengakuan negara dahulu, memberikan hak


kemudian.
Pengakuan negara menjadi syarat mutlak
masyarakat adat memiliki hak setara
memanfaatkan sumber daya alam.
Mempengaruhi klausul pengakuan dalam RUU
Masyarakat Hukum Adat.

Halaman 92 dari 112


Masyarakat Adat

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN


2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 1 nomor 31 Pasal 1 nomor 31


Masyarakat hukum adat adalah Masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang secara kelompok masyarakat yang secara
turun temurun bermukim di wilayah turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum. ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

implikasi
Pengertian yang tak berubah ini tak mengakomodasi masyarakat adat yang
masih nomaden. Doktrin hak memiliki oleh negara berdasarkan pengakuan
legal membuat keberadaan masyarakat adat tak mendapat tempat dalam sistem
hukum di Indonesia yang mengutamakan bukti identitas yang diakui negara.

Halaman 93 dari 112


Masyarakat Adat

UNDANG-UNDANG NOMOR 18
TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN
HUTAN

Pasal 7 Pasal 7
Pencegahan perusakan hutan Pencegahan perusakan hutan
dilakukan oleh masyarakat, badan dilakukan oleh masyarakat, badan
hukum, dan/atau korporasi yang hukum, dan/atau korporasi yang
memperoleh izin pemanfaatan hutan. memperoleh Perizinan Berusaha
Penjelasan: terkait pemanfaatan hutan.
Masyarakat hukum adat adalah Penjelasan:
masyarakat tradisional yang masih Masyarakat hukum adat adalah
terkait dalam bentuk paguyuban, masyarakat tradisional yang masih
memiliki kelembagaan dalam bentuk terkait dalam bentuk paguyuban,
pranata dan perangkat hukum memiliki kelembagaan dalam bentuk
adat yang masih ditaati, dan masih pranata dan perangkat hukum
mengadakan pemungutan hasil hutan adat yang masih ditaati, dan masih
di wilayah hutan sekitarnya yang mengadakan pemungutan hasil
keberadaannya dikukuhkan dengan hutan di wilayah hutan sekitarnya
Peraturan Daerah. yang keberadaannya dikukuhkan
dengan Peraturan Daerah.

implikasi
Mengukuhkan syarat pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah
yang selama ini menjadi kendala utama pengakuan masyarakat adat dan
memicu tumpang-tindih izin mengelola sumber daya alam dengan korporasi
yang mendapatkan izin berusaha di atas hutan adat yang belum mendapatkan
pengakuan pemerintah daerah.

Rekomendasi
Menegaskan kembali pengakuan hak masyarakat adat terhadap hutan mereka
sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat
bukan hutan negara. Hal ini akan sejalan dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap masyarakat adat yang akan diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.

Halaman 94 dari 112


Masyarakat Adat

Pengertian masyarakat hukum adat yang mesti mendapatkan izin


pemerintah daerah.
Pengakuan hak masyarakat adat makin
terkendala.

Konflik tenurial berbasis izin menguat.

Kriminalisasi masyarakat adat oleh korporasi kian


terbuka.

Halaman 95 dari 112


Masyarakat Adat

UNDANG-UNDANG NOMOR 18
TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN
HUTAN

Pasal 12A
(1) O
 rang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/
atau di sekitar kawasan hutan
paling singkat 5 (lima) tahun secara
terus menerus yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 12 huruf a sampai dengan
huruf f dan/atau huruf h dikenai
sanksi administratif.
(2) P
 engenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau
kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima)
tahun secara terus-menerus
dan terdaftar dalam kebijakan
penataan kawasan hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.

Halaman 96 dari 112


Masyarakat Adat

implikasi
Pasal sisipan ini mengamplifikasi ketentuan lain yang menuntut syarat
pengakuan negara atas keberadaan masyarakat dan wilayah hukum adat.
Pasal ini merupakan sanksi atas perbuatan merusak hutan yang dikecualikan
kepada masyarakat adat. Namun, pengecualiannya menuntut syarat, yakni
tinggal menetap minimal lima tahun. Mereka yang melanggar pasal 12 yang
dikategorikan merusak hutan akan terbebas dari sanksi administratif jika bisa
membuktikan sudah tinggal di sana selama lima tahun. Tak ada penjelasan dan
batasan pembuktian tinggal membuat masyarakat adat rentan dikriminalisasi.

REKOMENDASI
Peraturan pemerintah mesti menerakan dengan jelas batasan tinggal lima tahun
terus menerus: berdasarkan pengakuan dan kesaksian masyarakat adat atau
perlu membuktikan dengan dokumen resmi.

Pengecualian sanksi bagi masyarakat adat yang merusak hutan


dengan syarat telah tinggal lima tahun berturut-turut.

Mengancam masyarakat adat yang masih hidup


nomaden.
Mengancam masyarakat adat yang baru
mendapatkan pengakuan negara di bawah lima
tahun.

Membuat masyarakat adat rentan dikriminalisasi.

Halaman 97 dari 112


Bias Kota
KARENA pijakannya mendorong industrialisasi, Undang-
Undang Cipta Kerja memberikan kemudahan perizinan
berusaha di perkotaan dibanding izin bisnis di perdesaan. Izin
berusaha berbasis risiko yang diukur tiap pengajuan izin usaha
juga tak mengindahkan akumulasi dampak terhadap daya
dukung sebuah wilayah. Belum tersedianya data daya dukung
dan daya tampung lingkungan di tingkat kabupaten membuat
kemudahan bisnis akan mencederai tata ruang yang ramah
lingkungan. Diskresi pemerintah menentukan tata ruang untuk
investasi begitu luas.

941.000
29 30 kilometer persegi
investor investor lahan berhutan
luar negeri dalam negeri

52.000
hektare luas
kawasan
industri 112
kawasan
industri

1.922.570 270 juta


kilometer persegi penduduk
daratan

1.922.570
3.257.483 kilometer
persegi lautan
Agraria dan Tata Ruang

I
SU utama agraria dan tata ruang adalah bias keberpihakan
pada perencanaan wilayah perkotaan dalam menggenjot
investasi. Karena pijakannya mendorong industrialisasi,
perizinan berusaha lebih mudah di perkotaan dibanding
izin bisnis untuk perdesaan. Izin berusaha berbasis
risiko yang diukur tiap pengajuan izin usaha juga tak
mengindahkan akumulasi dampak terhadap daya dukung
sebuah wilayah.
Belum tersedianya data daya dukung dan daya tampung
lingkungan di tingkat kabupaten membuat perizinan
berusaha yang akan dipermudah mengabaikan tata ruang.
Apalagi, rencana detail tata ruang (RDTR) baru 5% dari
seluruh kabupaten. Jika perizinan bisnis patuh pada
ketersediaan RDTR, wilayah yang tak memilikinya akan
tersisih dari investasi, meski pun ada diskresi pemerintah
pusat memakai tata ruang nasional untuk memberikan izin
kepada investor.
Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang menyangkut
tata ruang tak semata terkait Undang-Undang Nomor 26 Ta-
hun 2007 tentang penataan ruang, tapi juga undang-undang
lain karena perizinan berusaha menyangkut kebutuhan lah-
an dan dampak terhadap lingkungan serta masyarakat.

Halaman 99 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 6 ayat 8
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian
antara pola ruang rencana tata
ruang dan kawasan hutan, izin dan/
atau hak atas tanah, penyelesaian
ketidaksesuaian tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

implikasi
Ayat tambahan ini tak menjelaskan tata cara penyelesaian ketidaksesuaian yang
selama ini diberikan waktu tenggang agar izin tersebut sesuai dengan tata ruang
kehutanan. Tak ada penjelasan akan membuka ruang tafsir bahwa izin bisnis
berada di atas tata ruang.
Ketidakjelasan ini juga berpotensi mengakibatkan penyelundupan hukum bagi izin
atau hak atas tanah yang muncul dikemudian hari.

REKOMENDASI
Perlu penegasan panduan umum penyelesaian ketidaksesuaian dan cara
penyelesaiannya dengan mengutamakan tata ruang di atas izin usaha.
Seharusnya izin tanpa menyesuaikan rencana tata ruang dan kawasan hutan
merupakan bentuk maladministrasi. Oleh karenanya, perlu pengaturan sanksi bagi
pejabat yang melakukannya.
Peraturan pemerintah perlu mengatur:
(1) Perlu penegasan ketentuan ini hanya berlaku bagi izin atau hak atas tanah
yang telah ada sebelum Undang-Undang Cipta Kerja;
(2) Kewajiban hukum bagi pejabat pemberi izin untuk tetap mengacu pada tata

Halaman 100 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

ruang dan kawasan hutan sebagai dasar pemberian Perizinan Berusaha


setelah meskipun UU Cipta Kerja berlaku;
(3) Apabila terdapat ketelanjuran izin sebelum UU Cipta Kerja maka
penyelesaiannya yang diatur dalam peraturan pemerintah ini; dan
(4) Penyelarasan antara tata ruang dengan kawasan hutan perlu diatur
secara tegas dan memberikan kepastian hukum kapan hal tersebut harus
diselesaikan. Ini merupakan tugas dan kewajiban hukum pemerintah yang
tidak boleh diabaikan atau ditunda jika memang pemerintah serius ingin
menjamin kepastian hukum bagi dunia usaha, masyarakat dan lingkungan
hidup secara berkeadilan.

Penyelesaian ketidaksesuaian antara pola ruang rencana tata ruang


dan kawasan hutan yang diserahkan kepada peraturan pemerintah.

Terbuka ruang tafsir bahwa izin investasi lebih


penting dibanding tata ruang yang memproteksi
lingkungan.

Membuka penyelundupan hukum bagi izin atau


hak atas tanah di kemudian hari.

Halaman 101 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 14A
(1) P
 elaksanaan penyusunan rencana
tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan dengan
memperhatikan:
a. daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dan kajian
lingkungan hidup strategis; dan
b. kedetailan informasi tata ruang
yang akan disajikan serta
kesesuaian ketelitian peta
rencana tata ruang.
(2) P
 enyusunan kajian lingkungan
hidup strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan dalam penyusunan
rencana tata ruang.
(3) P
 emenuhan kesesuaian
ketelitian peta rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui
penyusunan peta rencana tata
ruang di atas Peta Dasar.
(4) D
 alam hal Peta Dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) belum tersedia, penyusunan
rencana tata ruang dilakukan
dengan menggunakan Peta Dasar
lainnya.

Halaman 102 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

implikasi
Kata “memperhatikan” tidak punya daya paksa yang kuat sehingga kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS) hanya sekadar dokumen yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang dan rencana wilayah, bukan
kewajiban. Padahal tata ruang merupakan instrumen mencegah dampak buruk
sebuah kegiatan usaha.
Ayat 2 makin mempersempit KLHS yang hanya dilakukan dalam penyusunan
RTRW. Padahal, KLHS seharusnya menjadi bagian integral dari evaluasi RTRW
seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah 46/2016 tentang KLHS.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya perlu memastikan
pelaksanaan kewajiban untuk mempertimbangkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan melalui KLHS. Karena itu perlu aturan tata cara dalam
proses penyusunan dan evaluasi RTRW.
Definisi penyusunan RTRW dalam ketentuan ini perlu dimaknai juga termasuk
evaluasi sebagai bahan untuk perbaikan tata ruang ke depan yang tentu
berjalan secara dinamis. Daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terus
berkembang membuat KLHS menjadi instrumen yang seharusnya melekat dalam
setiap proses penyusunan maupun evaluasi RTRW.

Halaman 103 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 17 ayat 5 Pasal 17 ayat 5


Dalam rangka pelestarian lingkungan Dalam rangka pelestarian lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dalam rencana tata ruang wilayah (4), pada rencana tata ruang wilayah
ditetapkan kawasan hutan paling ditetapkan luas kawasan hutan
sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas dan penutupan hutan untuk setiap
daerah aliran sungai. pulau, daerah aliran sungai, provinsi,
kabupaten/kota, berdasarkan kondisi
biogeofisik, iklim, penduduk, dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat
setempat.

implikasi
Implikasi dihilangkannya batas 30% tutupan hutan tiap daerah aliran sungai
(DAS) atau pulau dalam pasal 18 Undang-Undang Kehutanan membuka peluang
konversi hutan untuk tujuan ekonomi dan menyesuaikan dengan rencana
strategis nasional seperti tujuan omnibus law untuk mendorong investasi. Juga
berisiko bagi kelestarian dan keselamatan warga dari potensi terjadinya bencana.

Rekomendasi
Peraturan pemerintah harus mengatur instrumen kajian untuk menentukan dan
menetapkan proporsi luas kawasan hutan atau tutupan hutan secara obyektif,
terukur dan akuntabel. Peraturan pemerintah juga menjamin kajian sebagai dasar
penentuan proporsi tersebut terbuka untuk publik dan memastikan penerapan
pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi juga betul-betul diperhatikan secara
memadai dan obyektif.
Kajian menentukan proporsi luas kawasan hutan dan tutupan hutan mesti
terintegrasi ke dalam KLHS yang merupakan bagian dari kajian daya dukung dan
daya tampung lingkungan sebagai dasar dari penyusunan serta evaluasi rencana
tata ruang wilayah (RTRW).

Halaman 104 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 18 Pasal 18
(1) Penetapan rancangan peraturan (1) P
 enetapan rencana tata ruang
daerah provinsi tentang rencana wilayah provinsi atau kabupaten/
tata ruang wilayah provinsi kota dan rencana detail tata ruang
dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari
persetujuan substansi dari Menteri. Pemerintah Pusat.
(2) Penetapan rancangan peraturan (2) S
 ebelum diajukan persetujuan
daerah kabupaten/kota tentang substansi kepada Pemerintah
rencana tata ruang wilayah Pusat, rencana detail tata ruang
kabupaten/kota dan rencana rinci kabupaten/kota yang dituangkan
tata ruang terlebih dahulu harus dalam rancangan Peraturan
mendapat persetujuan substansi Kepala Daerah Kabupaten/Kota
dari Menteri setelah mendapatkan terlebih dahulu dilakukan konsultasi
rekomendasi Gubernur. publik termasuk dengan Dewan
(3) Ketentuan mengenai muatan, Perwakilan Rakyat Daerah.
pedoman, dan tata cara (3) B
 upati/Wali Kota wajib menetapkan
penyusunan rencana tata ruang rancangan peraturan kepala daerah
wilayah provinsi sebagaimana kabupaten/kota tentang rencana
dimaksud pada ayat (1) dan detail tata ruang paling lama 1
penyusunan rencana tata (satu) bulan setelah mendapat
ruang wilayah kabupaten/kota persetujuan substansi dari
sebagaimana dimaksud pada Pemerintah Pusat.
ayat (2) diatur dengan peraturan (4) D
 alam hal bupati/wali kota tidak
Menteri. menetapkan rencana detail tata
ruang setelah jangka waktu
sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (3), rencana detail tata ruang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Halaman 105 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

(5) K
 etentuan lebih lanjut mengenai
muatan, pedoman, dan tata cara
penyusunan rencana tata ruang
wilayah provinsi atau kabupaten/
kota dan rencana detail tata ruang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

implikasi
Penambahan ayat 4 membuat pemerintah punya kekuasaan yang kuat dan luas
dengan mengambil alih pembuatan RDTR kabupaten/kota. Hanya saja karena
pemerintah pusat, jangkauannya terlalu jauh dan bisa memakai tata ruang
nasional yang paradigmanya dominasi jenis bisnis dalam suatu wilayah. Tata
ruang akan bisa dilaksanakan jika berada dalam level teknis di kabupaten/kota.
Membuat RDTR juga memiliki transaksi yang tinggi di setiap tahap.
Pengambilalihan kewenangan justru akan meluaskan transaksi dalam
pembuatannya. Tanpa insentif membuat RDTR bagi pemerintah daerah,
pelaksanaan ayat 4 ini akan semakin terbuka.

Pengambilalihan penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR)


kabupaten oleh pemerintah pusat.

Diskresi pemerintah pusat yang tiada batas

Pembagian wilayah memakai dominasi bisnis


karena jadi mengacu rencana tata ruang wilayah
nasional
Tata ruang bisnis dan lingkungan menjadi
simplistis.

Halaman 106 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 20 ayat 5 Pasal 20 ayat 5


Dalam kondisi lingkungan strategis Peninjauan kembali rencana tata ruang
tertentu yang berkaitan dengan dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
bencana alam skala besar yang dalam periode 5 (lima) tahun apabila
ditetapkan dengan peraturan terjadi perubahan lingkungan strategis
perundang-undangan dan/atau berupa:
perubahan batas teritorial negara a. bencana alam skala besar yang
yang ditetapkan dengan Undang- ditetapkan dengan peraturan
Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah perundang-undangan;
Nasional ditinjau kembali lebih dari 1
b. perubahan batas teritorial
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
negara yang ditetapkan dengan
Undang-Undang;
c. p
 erubahan batas wilayah daerah
yang ditetapkan dengan Undang-
Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional
yang bersifat strategis.

implikasi
Perubahan pasal ini berangkat dari anggapan bahwa tata ruang sebagai
penghambat investasi. Maka untuk menopangnya, tata ruang akan diubah untuk
menyesuaikan dengan proyek strategis nasional tanpa ada penjelasan jenis-
jenis proyek strategis tersebut. Padahal tata ruang sebagai instrumen mencegah
dampak buruk dari pembangunan strategis.

Rekomendasi
Perlu pengaturan kriteria dan basis kajiannya. Karena proyek strategis nasional
mendapatkan kemudahan, penetapannya mesti memakai konsultasi publik yang
memadai.

Halaman 107 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

Peninjauan kembali rencana tata ruang lebih dari satu kali selama
lima tahun karena bencana, perubahan wilayah, atau kebijakan
strategis nasional.

Pembangunan di atas tata ruang: tata ruang


menyesuaikan pembangunan.

Tata ruang dianggap menghambat investasi.

Tata ruang bukan pencegah dampak buruk


pembangunan terhadap masyarakat dan
lingkungan.

Halaman 108 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 34A
(1) D
 alam hal terdapat perubahan
kebijakan nasional yang bersifat
strategis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d,
Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal
26 ayat (6) huruf d belum dimuat
dalam rencana tata ruang dan/
atau rencana zonasi, pemanfaatan
ruang tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan setelah
mendapat rekomendasi kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang dari
Pemerintah Pusat.

Halaman 109 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

implikasi
Pasal sisipan ini menunjukkan diskresi dan kewenangan pemerintah pusat
dalam mengatur tata ruang. Keputusan pemerintah pusat bisa menjadi landasan
membagi ruang kendati belum ada dalam rencana tata ruang atau rencana
zonasi yang membuka peluang keputusan tak sesuai KLHS. Padahal KLHS
adalah basis pembuatan tata ruang.

REKOMENDASI
Penjelasan detail dalam peraturan pemerintah untuk menghindari salah tafsir
atas ayat ini.
Perlu diatur dasar pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam memberikan
rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sehingga tidak merusak
sistem perencanaan tata ruang maupun zonasi.
Pasal ini seharusnya selaras dengan keharusan kajian atau pertimbangan
memutuskan suatu kegiatan atau proyek termasuk sebagai rencana strategis
nasional.
Sebagai bentuk keharmonisan tata ruang, setelah keputusan pemberian
rekomendasi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengatur penyesuaian
tata ruang dan zonasi setelah keputusan proyek strategis nasional.

Halaman 110 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Pasal 60 Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang Dalam penataan ruang, setiap orang
berhak untuk: berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang; a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai b. menikmati pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang sebagai akibat penataan
ruang; ruang;
c. memperoleh penggantian yang c. m
 emperoleh penggantian yang
layak atas kerugian yang timbul layak atas kerugian yang timbul
akibat pelaksanaan kegiatan akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai pembangunan yang sesuai
dengan rencana tata ruang; dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada d. mengajukan tuntutan kepada
pejabat berwenang terhadap pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di dengan rencana tata ruang di
wilayahnya; wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan e. mengajukan tuntutan
pembatalan izin dan penghentian pembatalan persetujuan
pembangunan yang tidak sesuai kegiatan penataan ruang dan/
dengan rencana tata ruang atau penghentian pembangunan
kepada pejabat berwenang; dan yang tidak sesuai dengan
f. m
 engajukan gugatan ganti rencana tata ruang kepada
kerugian kepada pemerintah pejabat berwenang; dan
dan/atau pemegang izin apabila f. m
 engajukan gugatan ganti
kegiatan pembangunan yang kerugian kepada Pemerintah
tidak sesuai dengan rencana tata Pusat, Pemerintah Daerah dan/
ruang menimbulkan kerugian. atau kepada pelaksana kegiatan
pemanfaatan ruang apabila
kegiatan pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.

Halaman 111 dari 112


Agraria dan Tata Ruang

implikasi
Perubahan bunyi ayat d yang mengubah “keberatan” menjadi “tuntutan” tidak
lazim karena kewenangan menuntut ada di tangan jaksa. Dalam bahasa
percakapan, menuntut tidak berarti menggugat secara hukum, seperti pada frase
“menuntut ilmu”. Perubahan ini bisa mengaburkan esensi keberatan yang bisa
ditolak hakim karena tak sesuai kewenangan dan hak masyarakat.

REKOMENDASI
Perlu penjelasan di peraturan pemerintah tentang makna kata “menuntut” agar
ayat ini bisa menjadi pedoman masyarakat dalam mempertahankan hak di mata
hukum dengan mekanisme jelas serta terukur dalam pengajuan keberatan atau
tuntutan

Halaman 112 dari 112

Anda mungkin juga menyukai