Askep CPD
Askep CPD
DEFINISI
CPD adalah tidak ada kesesuaian antara kepala janin dengan bentuk
dan ukuran panggul.
Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin
tidak dapat keluar melalui vagina.
Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin
tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan
oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.
Cephalopelvic Disproportion (CPD) adalah diagnosa medis digunakan
ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar untuk muat melewati
panggul ibu. Sering kali, diagnosis ini dibuat setelah wanita telah
bekerja keras selama beberapa waktu, tetapi lain kali, itu dimasukkan
ke dalam catatan medis wanita sebelum ia bahkan buruh. Sebuah
misdiagnosis of CPD account untuk banyak yang tidak perlu dilakukan
bedah caesar di Amerika Utara dan di seluruh dunia setiap tahunnya.
Diagnosis ini tidak harus berdampak masa depan seorang wanita
melahirkan keputusan. Banyak tindakan dapat diambil oleh ibu hamil
untuk meningkatkan peluangnya untuk melahirkan melalui vagina.
a. Ukuran Panggul
1. Pintu Atas Panggul
Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra
sacrum, linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata
diagonalis adalah jarak dari pinggir bawah simfisis ke promontorium,
Secara klinis, konjugata diagonalis dapat diukur dengan memasukkan
jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan menyusur naik ke seluruh
permukaan anterior sacrum, promontorium teraba sebagai penonjolan
tulang. Dengan jari tetap menempel pada promontorium, tangan di
vagina diangkat sampai menyentuh arcus pubis dan ditandai dengan
jari telunjuk tangan kiri. Jarak antara ujung jari pada promontorium
sampai titik yang ditandai oleh jari telunjuk merupakan panjang
konjugata diagonalis.
Konjugata vera yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium
yang dihitung dengan mengurangi konjugata diagonalis 1,5 cm,
panjangnya lebih kurang 11 cm. Konjugata obstetrika merupakan
konjugata yang paling penting yaitu jarak antara bagian tengah dalam
simfisis dengan promontorium, Selisih
antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika sedikit sekali.
2. Panggul Tengah (Pelvic Cavity)
Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran
klinis panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung. Terdapat
penyempitan setinggi spina isciadika, sehingga bermakna penting
pada distosia setelah kepala engagement. Jarak antara kedua spina
ini yang biasa disebut distansia interspinarum merupakan jarak
panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter anteroposterior
setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm. Diameter sagital posterior,
jarak antara sacrum dengan garis diameter interspinarum berukuran
4,5 cm.3,4 .
3. Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri dari
dua segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang
menghubungkan tuber isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah
panggul yang dapat diperoleh melalui pengukuran klinis adalah jarak
antara kedua tuberositas iscii atau distansia tuberum (10,5 cm), jarak
dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia tuberum atau diameter
sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara pinggir bawah simpisis ke
ujung sacrum (11,5 cm).
b. Etiologi CPD (Cephalus Pelvix Disproporsional )
Distosia adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu
lambatnya kemajuan persalinan. Distosia dapat disebabkan oleh
kelainan pada servik, uterus, janin, tulang panggul ibu atau obstruksi
lain di jalan lahir. Kelainan ini oleh ACOG dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Kelainan kekuatan (power) yaitu kontraktilitas uterus dan upaya
ekspulsif ibu.
a. Kelainan his : inersia uteri / kelemahan his
b. kekuatan mengejan yang kurang misalnya pada hernia atau sesak
nafas.
2. Kelainan yang melibatkan janin (passenger), misalnya letak lintang,
letak dahi, hidrosefalus.
3. Kelainan jalan lahir (passage), misalnya panggul sempit, tumor
yang mempersempit jalan lahir. Pola Kelainan Persalinan, Diagnostik,
Kriteria dan Metode Penanganannya
Pola Persalinan Kriteria Diagnostik Penanganan yang dianjurkan
Penanganan Khusus
Panggul dengan ukuran normal tidak akan mengalami kesukaran
kelahiran pervaginam pada janin dengan berat badan yang normal.
Ukuran panggul dapat menjadi lebih kecil karena pengaruh gizi,
lingkungan atau hal lain sehingga menimbulkan kesulitan pada
persalinan pervaginam. Panggul sempit yang
penting pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun panggul
sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan
panggul. Selain panggul sempit dengan ukuran yang kurang dari
normal, juga terdapat panggul sempit lainnya.
Panggul ini digolongkan menjadi empat, yaitu:
1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan intrauterine: panggul
Naegele, panggul Robert, split pelvis, panggul asimilasi.
2. Kelainan karena kelainan tulang dan/ sendi: rakitis, osteomalasia,
neoplasma, fraktur, atrofi, nekrosis, penyakit pada sendi sakroiliaka
dan sendi sakrokoksigea.
3. Kelainan panggul karena kelainan tulang belakang: kifosis,
skoliosis, spondilolistesis.
4. Kelainan panggul karena kelainan pada kaki: koksitis, luksasio
koksa, atrofi atau kelumpuhan satu kaki.
Setiap penyempitan pada diameter panggul yang mengurangi
kapasitas panggul dapat menyebabkan distosia saat persalinan.
penyempitan dapat terjadi pada pintu atas panggul, pintu tengah
panggul, pintu bawah panggul, atau panggul yang menyempit
seluruhnya.
a. Penyempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior
terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila
diameter transversal terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter
anteroposterior pintu atas panggul sering diperkirakan dengan
mengukur konjugata diagonal secara manual
yang biasanya lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan
pintu atas panggul biasanya didefinisikan sebagai konjugata diagonal
yang kurang dari 11,5 cm.Mengert (1948) dan Kaltreider (1952)
membuktikan bahwa kesulitan persalinan meningkat pada diameter
anteroposterior kurang dari 10 cm atau
diameter transversal kurang dari 12 cm. Distosia akan lebih berat
pada kesempitan kedua diameter dibandingkan sempit hanya pada
salah satu diameter.
Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit
bagi janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter
anteroposterior kurang dari 10 cm. Wanita dengan tubuh kecil
kemungkinan memiliki ukuran panggul yang kecil, namun juga
memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms
pada 362 nullipara diperoleh rerata berat badan anak lebih rendah
(280 gram) pada wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita
dengan panggul sedang atau luas.
Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu
atas panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus
secara langsung menekan bagian selaput ketuban yang menutupi
serviks. Akibatnya ketuban dapat pecah pada pembukaan kecil dan
terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah
selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap
serviks dan segmen bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif
dan pembukaan berjalan lambat atau tidak sama sekali. Jadi,
pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi prognosa buruk
pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.3,4
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah
masuk dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya
penyempitan pintu atas panggul menyebabkan kepala janin
megapung bebas di atas pintu panggul sehingga dapat menyebabkan
presentasi janin berubah. Pada wanita dengan panggul
sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan
prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan
wanita dengan panggul normal atau luas.
b. Penyempitan panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen isciadikum cukup luas, dan spina isciadika
tidak menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah
tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin.
Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering dibandingkan pintu
atas panggul.Hal ini menyebabkan terhentunya kepala janin pada
bidang transversal sehingga perlu tindakan forceps tengah atau
seksio sesarea. Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat
didefinisikan secara pasti seperti penyempitan pada pintu atas
panggul. Kemungkinan penyempitan pintu tengah panggul apabila
diameter interspinarum
ditambah diameter sagitalis posterior panggul tangah adalah 13,5 cm
atau kurang. Ukuran terpenting yang hanya dapat ditetapkan secara
pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah distansia interspinarum.
Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai kemungkinan
kesukaran persalinan apalagi bila diikuti
dengan ukuran diameter sagitalis posterior pendek.
c. Penyempitan Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua
segitiga dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya.
Penyempitan pintu bawah panggul terjadi bila diameter distantia
intertuberosum berjarak 8 cm atau kurang. Penyempitan pintu bawah
panggul biasanya disertai oleh penyempitan pintu tengah panggul.
Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu
besar dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting
dalam menimbulkan robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus
pubis yang sempit, kurang dari 900 sehingga oksiput tidak dapat
keluar tepat di bawah simfisis pubis,
melainkan menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan
mudah terjadi robekan.
d. Perkiraan Kapasitas Panggul Sempit
Perkiraan panggul sempit dapat diperoleh dari pemeriksaan umum
dan anamnesa. Misalnya padatuberculosis vertebra, poliomyelitis,
kifosis. Pada wanita dengan tinggi badan yang kurang dari normal ada
kemungkinan memiliki kapasitas panggul sempit, namun bukan berarti
seorang wanita dengan tinggi badan yang normal tidak dapat memiliki
panggul sempit. Dari anamnesa persalinan terdahulu juga dapat
diperkirakan kapasitas panggul. Apabila pada persalinan terdahulu
berjalan lancar dengan bayi berat badan normal, kemungkinan
panggul sempit adalah kecil.
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan salah satu cara untuk
memperoleh keterangan tentang keadaan panggul. Melalui pelvimetri
dalama dengan tangan dapat diperoleh ukuran kasar pintu atas dan
tengah panggul serta memberi gambaran jelas pintu bawah panggul.
Adapun pelvimetri luar tidak memiliki banyak arti.
Pelvimetri radiologis dapat memberi gambaran yang jelas dan
mempunyai tingkat ketelitian yang tidak dapat dicapai secara klinis.
Pemeriksaan ini dapat memberikan pengukuran yang tepat dua
diameter penting yang tidak mungkin didapatkan dengan pemeriksaan
klinis yaitu diameter transversal pintu atas dan
diameter antar spina iskhiadika. Tetapi pemeriksaan ini memiliki
bahaya pajanan radiasi terutama bagi janin sehingga jarang
dilakukan. Pelvimetri dengan CT scan dapat mengurangi pajanan
radiasi, tingkat keakuratan lebih baik dibandingkan radiologis, lebih
mudah, namun biayanya mahal. Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan dengan MRI dengan keuntungan antara lain tidak ada
radiasi, pengukuran panggul akurat, pencitraan janin yang lengkap.
Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena biaya yang mahal.
Dari pelvimetri dengan pencitraan dapat ditentukan jenis panggul,
ukuran pangul yang sebenarnya, luas bidang panggul, kapasitas
panggul, serta daya akomodasi yaitu volume dari bayi yang terbesar
yang masih dapat dilahirkan spontan.
Pada kehamilan yang aterm dengan presentasi kepala dapat
dilakukan pemeriksaan dengan metode Osborn dan metode Muller
Munro Kerr. Pada metode Osborn, satu tangan menekan kepala janin
dari atas
kearah rongga panggul dan tangan yang lain diletakkan pada kepala
untuk menentukan apakah kepala menonjol di atas simfisis atau tidak.
Metode Muller Munro Kerr dilakukan dengan satu tangan memegang
kepala janin dan menekan kepala ke arah rongga panggul, sedang
dua jari tangan yang lain masuk ke vagina
untuk menentukan seberapa jauh kepala mengikuti tekanan tersebut
dan ibu jari yang masuk ke vagina memeriksa dari luar hubungan
antara kepala dan simfisis.
e. Janin yang besar
Normal berat neonatus pada umumnya 4000gram dan jarang ada
yang melebihi 5000gram. Berat badan neonatus lebih dari 4000gram
dinamakan bayi besar. Frekuensi berat badan lahir lebih dari
4000gram adalah 5,3%, dan berat badan lahir yang melihi 4500gram
adalah 0,4%. Biasanya untuk berat janin 4000-
5000 gram pada panggul normal tidak terdapat kesulitan dalam
proses melahirkan. Factor keturunan memegang peranan penting
sehingga dapat terjadi bayi besar. Janin besar biasanya juga dapat
dijumpai pada ibu yang mengalami diabetes mellitus, postmaturitas,
dan pada grande multipara. Selain itu, yang dapat
menyebabkan bayi besar adalah ibu hamil yang makan banyak, hal
tersebut masih diragukan.
Untuk menentukan besarnya janin secara klinis bukanlah merupakan
suatu hal yang mudah. Kadang-kadang bayi besar baru dapat kita
ketahui apabila selama proses melahirkan tidak terdapat kemajuan
sama sekali pada proses persalinan normal dan biasanya disertai oleh
keadaan his yang tidak kuat. Untuk kasus seperti ini sangat
dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui apakah terjadi
sefalopelvik disproporsi. Selain itu, penggunaan alat ultrasonic juga
dapat mengukur secara teliti apabila terdapat bayi dengan tubuh
besar dan kepala besar.
Pada panggul normal, biasanya tidak menimbulkan terjadinya
kesulitan dalam proses melahirkan janin yang beratnya kurang dari
4500gram. Kesulitan dalam persalinan biasanya terjadi karena kepala
janin besar atau kepala keras yang biasanya terjadi pada
postmaturitas tidak dapat memasuki pntu atas panggul,
atau karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Bahu yang
lebar selain dapat ditemukan pada janin yang memiliki berat badan
lebih juga dapat dijumpai pada anensefalus. Janin dapat meninggal
selama proses persalinan dapat terjadi karena terjadinya asfiksia
dikarenakan selama proses kelahiran kepala anak sudah lahir, akan
tetapi karena lebarnya bahu mengakibatkan terjadinya macet dalam
melahirkan bagian janin yang lain. Sedangkan penarikan kepala janin
yang terlalu kuat ke bawah dapat mengakibatkan terjadinya cedera
pada nervus brakhialis dan muskulus sternokleidomastoideus.
2. Seksio Sesarea
Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat
dengan kehamilan aterm, atau disproporsi sephalopelvik yang nyata.
Seksio juga dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila
ada komplikasi seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang
tak dapat diperbaiki. Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan
selama beberapa waktu) dilakukan karena peralinan perobaan
dianggap gagal atau ada indikasi untuk menyelesaikan persalinan
selekas mungkin sedangkan syarat persalinan per vaginam belum
dipenuhi.
3. Simfisiotomi
Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan
pada simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi.
5. Kleidotomi
Tindakan ini dilakukan setelah janin pada presentasi kepala
dilahirkan, akan tetapi dialami kesulitan untuk melahirkan bahu karena
terlalu lebar. Setelah janin meninggal, tidak ada keberatan untuk
melakukan kleidotomi (memotong klavikula) pada satu atau kedua
klavikula. Dibawah perlindungan spekulum dan
tangan kiri penolong dalam vagina, klavikula dan jika perlu klavikula
belakang digunting, dan selanjutnya kelahiran anak dengan
berkurangnya lebar bahu tidak mengalami kesulitan. Apabila tindakan
dilakukan dengan hati-hati, tidak akan timbul luka pada jalan lahir.
Pada janin yang telah mati dapat dilakukan kraniotomi atau
kleidotomi. Apabila panggul sangat sempit sehingga janin tetap tidak
dapat dilahirkan, maka dilakukan seksio sesarea.
D. PENATALAKSANAAN
Sebenarnya panggul hanya merupaka salah satu faktor yang
menentukan apakah anak dapat lahir spontan atau tidak, disamping
banyak faktor lain yang memegang peranan dalam prognosa
persalinan. Bila konjugata vera 11 cm, dapat dipastikan partus biasa,
dan bila ada kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan oleh faktor
panggul. Untuk CV kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak
mungkin melewati panggul tersebut.
1. CV 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan
berakhir dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau
ditolong dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric
lainnya
2. CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer
3. CV = 6 cm dilakukan SC primer mutlak.
Disamping hal-hal tersebut diatas juga tergantung pada :
1. His atau tenaga yang mendorong anak.
2. Besarnya janin, presentasi dan posisi janin
3. Bentuk panggul
4. Umur ibu dan anak berharga
5. Penyakit ibu
I. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin
dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu
histerotomi
untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
III. Indikasi
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal
mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin,
dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses
persalinan normal lama / kegagalan proses persalinan normal
( Dystasia )
- Fetal distress
- His lemah / melemah
- Janin dalam posisi sungsang atau melintang
- Bayi besar ( BBL ³ 4,2 kg )
- Plasenta previa
- Kalainan letak
- Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala
dan panggul)
- Rupture uteri mengancam
- Hydrocephalus
- Primi muda atau tua
- Partus dengan komplikasi
- Panggul sempit
- Problema plasenta
IV. Komplikasi
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
1. Infeksi puerperal ( Nifas )
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan
perut sedikit kembung
- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
- Perdarahan pada plasenta bed
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
peritonealisasi terlalu tinggi
4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya
V. POST PARTUM
A. DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS
Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta
dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu.
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya
kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi,
1983)
B. PERIODE
Masa nifas dibagi dalam 3 periode:
1. Early post partum
Dalam 24 jam pertama.
2. Immediate post partum
Minggu pertama post partum.
3. Late post partum
Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.
2.
3.
4.
Segera setelah
lahir
1 jam setelah
lahir
12 jam setelah
lahir
setelah 2 hari
Pertengahan simpisis
dan umbilikus
Umbilikus
1 cm di atas pusat
Turun 1 cm/hari
Lembut
Terjadi
Berkurang
Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.
- Lochea
• Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe.
• Tahap
a. Rubra (merah) : 1-3 hari.
b. Serosa (pink kecoklatan)
c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.
• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
- Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu
tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.
- Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai
ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih. Ibu tidak menyusui mulai pada
minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat,
dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
- Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa
hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal
melebar dan tampak bercelah.
- Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati
ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping
lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
- Perineum
• Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.
• Laserasi
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
b. Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak
karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang
tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting
mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan
mengecil pada 1-2 hari.
c. Sistem Endokrin
- Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak
terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus
menstruasi.
- Hormon pituitari
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun
sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan
pada minggu I post partum.
d. Sistem Kardiovaskuler
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi
pada awal post partum terjadi bradikardi.
- Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
- Perubahan hematologik
Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
- Jantung
Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
e. Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan
asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
f. Sistem Gastrointestinal
- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
- Nafsu makan kembali normal.
- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
g. Sistem Urinaria
- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi
karena trauma.
- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
h. Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil.
Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
i. Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
j. Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.
VII. Pathways
A. Pengkajian
1. Sirkulasi : Kehilangan darah selama prosedur kira-kira 400 – 500
cc.
2. Makanan / cairan : Abdomen lunak tidak ada distensi.
3. Neurosensori : Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat
anestesi spinal epidural
4. Nyeri / Ketidaknyamanan: Mungkin mengeluh ketidaknyamanan
dari berbagai sumber misalnya trauma bedah atau insisi, nyeri
penyerta, distensi kandung kemih atau abdomen, efek-efek anestesi,
mulut kering.
5. Pernafasan : Bunyi paru jelas dan vasikuler.
6. Keamanan : Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda darah
atau kering.
7. Organ Reproduksi : Fundus uteri berkontraksi kuat dan terletak di
umbilicus.
8. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan berlebihan atau banyak.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengeos E.marllyn (2001), Diagnosa keperawatan pada
klien pra dan pasca SC adalah sebagai berikut :
1. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi
tentang prosedur perawatan sebelum dan sesudah melahirkan
melalui operasi SC
2. Nyeri berhubungan dengan kondisi pasca operasi
3. Cemas berhubungan dengan ancaman pada konsep diri.
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan merasa gagal
dalam kehidupan.
5. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi
fisiologis dan cidera jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan,
penurunan Hb, pasca prosedur invasif.
7. Gangguan pola eliminasi, konstipasi berhubungan dengan
penurunan tonus otot.
8. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan cidera operasi dan
efek anestasi
9. Kurangnya pemahaman mengenai perubahan fisiologi pada masa
pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi :
1. Perhatikan dan catat jumlah dan warna urin.
2. Berikan cairan peroral (6-8 gelas/hari ).
3. Palpasi kandung kemih, pantau tinggi fundus uteri, lokasi dan
jumlah aliran lokia.
4. Perhatikan tanda dan gejala ISK ( warna keruh, bau busuk, sensasi
terbakar setelah pengangkatan kateter).
5. Gunakan metode untuk memudahkan pengangkatan kateter
setelah berkemih (membasuh dengan air hangat ke perineum ).
6. Lepaskan kateter sesuai indikasi (biasanya 6-12 jam post partum).
D. Pelaksaaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan bertujuan untuk mengatasi masalah
keperawatan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Didalam pelaksanaannya terdapat tidak terlepas dari berbagai upaya
upaya lain dalam hal kolaborasi, memfasilitasi koping, kesemuanya itu
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC
Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan
dan
pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC
Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka
Sarwono Prawirohardjo